NIM : 190103040097
1
Diana Vidya Fakhriyani, Kesehatan Mental, (Pamekasan: Duta Media Publishing, 2019), Hlm. 10-11
putus asa, patah hati atau marah, dan selalu tabah menghadapi hidup. Dalam ilmu tasawuf,
sabar diartikan sebagai dorongan seseorang untuk memiliki kesabaran terhadap apa yang
dialami, dilihat, didengar, diucapkan dan dirasakan dalam ketentuan Allah sehingga tidak
berdaya dalam segala sesuatu. Dalam ilmu akhlak, sabar merupakan akhlaqul karimah yang
dibutuhkan oleh seorang muslim dalam masalah dunia dan agama.
Sabar juga merupakan madrasah terbesar tempat di mana Allah ingin menguji manusia.
Sebagaimana dalam pada Qur‟an surah Muhammad ayat 31 yang artinya “Dan sungguh kami
benar-benar akan menguji kamu sehingga kami mengetahui orang yang benar-benar
berjihad dan bersabar diantara kamu dan akan kami uji perihal kamu.” (Q.S Muhammad :
31).
Menurut tafsir al-Qur‟an, menguji adalah ujian yang diberikan oleh Allah berupa perintah
jihad, untuk dapat membedakan orang yang berjihad dengan sungguh-sungguh, orang yang
benar benar sabar menghadapi cobaan, orang yang beriman sebenarnya dan orang yang
beriman palsu atau munafik. Sedangkan tafsir lain mengatakan yang dimaksud dengan
menguji disini adalah menguji keimanan, di mana Allah akan menguji keimanan kaum
muslimin sehingga Allah mengetahui siapa saja yang benar-benar berjihad di jalan-Nya dan
siapa saja yang tidak. Allah juga mengetahui orang-orang yang bersabar dan ragu-ragu.
Orang yang bersabar maka akan bertambah keimanan seseorang, sedangkan orang yang ragu-
ragu akan semakin berkurang keimanan seseorang.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa sabar adalah menahan diri
dari berkeluh kesah saat menghadapi ujian yang diberikan oleh Allah swt, yaitu dengan
mendekatkan diri kepada Allah, berusaha menjauhkan diri dari semua larangan-Nya dan
senantiasa menghadapi ujian dengan hati yang tenang.2
C. Sabar Dalam Psikologi Islam
Dalam kaitannya dengan psikologi, sabar digambarkan dengan teori psikoanalisis dari
Sigmund Freud yang dapat dikaitkan sebagai superego. Freud menjelaskan bahwa superego
merupakan moralitas dan otoritas dari orang tua, termasuk di dalamnya suara hati yang dapat
memberitahu saat diri berbuat salah. Aktivitas superego menyatakan diri dalam konflik
dengan ego yang dapat memunculkan perasaan seperti bersalah, menyesal, malu dan lain
2
Amita Darmawan Putri dan Lukmawati, Makna Sabar Bagi Terapis (Studi Fenomenologis di Yayasan
Bina Autis Mandiri Palembang), PSIKIS-Jurnal Psikologi Islami, Vol. 1 No. 1, Juni 2015, hlm. 50-52.
sebagainya. Rasa bersalah, menyesal, dan malu merupakan fungsi dari suara hati. Sementara
itu dalam Psikologi Islam, sabar dapat dikaitkan dengan nafs muthmainah, dengan alasan
kerena sabar dan nafs muthmainnah memiliki kata yang sama, yaitu tenang. Nafs
muthmainah diartikan sebagai jiwa yang merasakan kebersamaan dan kedamaian Allah.
Nafs muthmainnah adalah kepribadian yang dapat merasakan ketenangan karena mampu
untuk menumbuhkan sifat-sifat yang terpuji dan meninggalkan sifat-sifat yang tercela.
Ketenangan tersebut dapat diperoleh apabila seseorang telah mencapai pada tahap sabar yang
sempurna. Kesabaran yang sempurna adalah kesabaran yang diuji, baik ujian dalam nikmat
maupun kesengsaraan. Nafs muthmainnah terdiri dari dua faktor, yaitu faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal berupa daya kalbu manusia yang mampu mencapai
ketenangan dan keimanan. Ketenangan dapat diperoleh karena mendapatkan pertolongan dari
Allah dan selalu ingat kepada Allah. Sedangkan faktor eksternal berupa penjagaan dari
malaikat dan hidayah dari Allah Swt. Penjagaan malaikat berupa bisikan yang mendorong
manusia untuk berbuat baik, taat, jujur dan ikhlas hanya kepada Allah, sehingga dapat
memberikan kebahagiaan dan keselamatan dunia akhirat.3
D. Hubungan Sikap Sabar dengan Kesehatan Mental
Sikap sabar pada diri seseorang berfungsi untuk mengontrol kondisi mental, pola pikir,
perilaku, dan kebesaran jiwa agar dalam menjalani kehidupan tidak melewati batasan yang
telah ditetapkan dan juga tidak mengarah terhadap perbuatan yang negatif. Dengan begitu
hubungan sikap sabar dengan kesehatan mental sangat erat. Adapun keterkaitan antara sikap
sabar dengan kesehatan mental sebagai berikut:
1. Sikap sabar merupakan salah satu indikator terwujudnya kesehatan mental. Mampu untuk
menanggung beban dari segala persoalan hidup, dapat bersikap tegar, juga sabar dalam
menghadapi musibah ataupun ujian adalah indikator penting bagi kesehatan mental.
2. Sabar menjadi salah satu sarana bagi terciptanya pengembangan diri yang sehat secara
mental, dengan bersikap sabar berarti menunjukan kepribadian yang sehat mental. Sabar
dapat dibarengi dengan kecerdasan emosional yaitu, suatu kemampuan dalam
mengendalikan diri dalam menghadapi persoalan atau tekanan. Menerima semua
ketentuan yang telah Allah sudah tetapkan, kemudian semakin mendekatkan diri kepada-
Nya adalah bukti dari implementasi sikap sabar. Dengan bersikap sabar, diri menjadi
3
Amita Darmawan Putri dan Lukmawati, ibid, hlm. 52.
lebih kuat dalam menghadapi permasalahan dalam hidup, juga dapat berpengaruh positif
terhadap kecerdasan emosi, dan orang dapat dikatakan sebagai pribadi yang sudah
matang, jika orang tersebut telah memiliki kecerdasan emosi yang baik.
3. Sabar bisa menjadi terapi untuk mental seseorang. Sabar memiliki manfaat untuk
memperbaharui semangat yang sudah mulai memudar, sehingga semangatnya dalam
menjalani kehidupan kembali lagi bahkan lebih dari sebelumnya. Dengan begitu, sikap
sabar bisa menjadi suatu terapi atau alernatif kesehatan bagi terwujudnya mental yang
sehat. Orang yang memiliki sikap sabar di dalam jiwanya akan selalu merasakan
ketenangan, dan ketenangan jiwa akan memberikan pengaruh positif terhadap pikiran
juga kesehatan. Ketika jiwa merasa tenang, hidup pun akan lebih merasakan
kenyamanan.4
4
Asyifa Qurotul Ain, Kontribusi Sikap Sabar Bagi Kesehatan Mental Di Masa Pandemi Covid-19 (Studi
Kasus pada Mahasiswa Jurusan Tasawuf dan Psikoterapi Tingkat Akhir Angkatan 2017), Jurnal Penelitian Ilmu
Ushuluddin, Vol. 2 No. 1, 2021, Hlm. 9-10.
yang akan dilakukannya. Ketika berbicara ia akan senantiasa memperhatikan dan
mempertimbangkan baik buruknya dari apa yang ingin dibicarakannya.
b. Menerima kenyataan
Orang yang memiliki sikap sabar dalam dirinya akan lebih mudah menerima
kenyataan hidup, lebih-lebih lagi apabila kenyataan berbanding terbalik dengan harapan,
seseorang bisa saja mengalami respon berduka atau bahkan putus asa. Sabar merupakan
solusi terbaik dalam menghadapi persoalan seperti ini, meskipun tidak mudah untuk
menerima situasi dan kondisi yang yang dapat mengganggu ketenangan hati. Kesabaran
akan melahirkan kekuatan dan semangat ketika kita sedang mengalami kesulitan, karena
orang yang bersabar akan lebih mampu menerima kenyataan hidup dengan lapang dada
dan kerelaan hati.
c. Berfikir tenang dan hati-hati
Apapun yang dihadapinya, betapa pun sulit situasinya akan selalu ada jalan keluar
yang terbaik selama ia manpu berpikir jernih dan berhati-hati dalam menetapkan
keputusan. Dengan sikap seperti ini seseorang akan lebih mudah bersikap postif terhadap
berbagai persoalan dan tidak mudah menarik kesimpulan yang negatife. Sikap sabar akan
menghindarkan seseorang dari penilaian subjektif yang dipengaruhi oleh emosi semata,
sehingga menyebabkan lahirnya kesimpulan yang salah dan keptusan yang kurang bijak.
d. Teguh pendirian dan tidak mudah putus asa
Sikap sabar juga akan melahirkan sikap gigih dan tidak gampang putus asa. Gigih
mengandung makna sebagai perilaku pekerja keras dan ulet dalam berikhtiar sehingga
tidak mudah putus asa. Jika ia mendapat ujian atau cobaan ia cepat bangkit kembali dari
keterpurukannya. Ia akan lebih cepat memperbaiki keadaan sulit yang tengah
dihadapinya, bahkan tidak jarang ujian dan cobaan yang di alaminya malah berubah
menjadi motivasi untuk lebih maju di kemudian hari.
e. Sikap tenang tidak buru-buru
Kesabaran akan membiasakan seseorang untuk berfikir sebelum berbuat, berhati-
hati sebelum bertindak dan bersikap teliti dalam menyelasaikan setiap masalah. Bersikap
tenang dalam menghadapi setiap masalah akan memudahkan dalam menemukan solusi
dari setiap masalah yang ada.
f. Memupuk Sikap Memaafkan
Memaafkan merupakan kalimat yang mudah diucapkan tetapi sulit di praktekkan,
hanya orang-orang yang memiliki kesabaran yang tinggi yang bisa memaafkan kesalahan
orang lain dengan mudah
g. Ikhlas
Sikap ikhlas juga cerminan dari perilaku individu yang mampu menerapkan sikap
sabar dengan baik. Karena keikhlasan lahir dari kebiasaan bersabar dalam menghadapi
musiah dan ujian. Sifat ikhlas akan membuat individu lebih tenang, reda, dan bersyukur
atas hasil pencapaian usahanya, terlepas dari susah atau senang, mudah ataupun sulit
jalan yang harus dilaluinya. Sikap ikhlas akan membuat seseorang lebih bahagia dengan
hasil yang di capainya meskipun terkadang hasil yang diperoleh tidak seimbang dengan
usaha yang telah dilakukan.
h. Mengendalikan emosi
Kesabaran juga akan membuat seseorang bisa mengendalikan emosi dengan baik.
Emosi yang stabil akan membuat ia lebih nyaman dalam beraktifitas. Produktivitasnya
pun akan lebih terjaga karena emosinya cenderung stabil, sehingga individu akan lebih
mudah melahirkan berbagai karya dalam kondisi emosi yang stabil. Ibn Qayyim al-
Jauziyyah menjelaskan, bahwa sabar artinya menahan diri dari rasa gelisah, cemas dan
amarah, menahan lidah dari keluh kesah, menahan anggota tubuh dari kekacauan yang
disebabkan tidak stabilnya emosi seseorang ketika mengalami suatu masalah.
Sabar merupakan tetap tegaknya dorongan agama dalam menghadapi dorongan
hawa nafsu. Tetap tegaknya dorongan agama adalah suatu hal yang dihasilkan oleh
adanya ma‟rifah untuk memusuhi nafsu syahwat serta melawannya. Dalam menjalani
kehidupan dan mencapai kebahagiaan, manusia menghadapi goncangan dan tekanan
berupa strees dan ketidaktenangan hati yang menjadi jiwanya gersang dan memerlukan
solusi dalam memecahkan persoalan hidupnya.Hubungan kebahagiaan dan diri sendiri itu
menyentuh pada aspek karekter yang baik yang berlandaskan dari ilmu, karena Islam
mengajarkan bahwa tempat bersemayamnya pengetahuan pada manusia adalah subtansi
spirutual yang secara beragam di tunjuk Al-Qur‟an sebagai hati (qalb),jiwa atau diri
(nafs) atau intelek (aql) atau ruh.5
5
Mohammad Syadzili Ilham Ghozali, Sabar Sebagai Terapi Penyakit Hati Menurut Al-Ghazali, Program
Studi Aqidah Dan Filsafat Islam, Ushuluddin, Universitas Darussalam Gontor Ponorogo, Hlm. 8.
F. Tahapan Terapi Sabar
1. Refleksi masalah
Pada tahapan awal ini klien di haruskan untuk menceritakan perasaan negatif yang
sedang mengganggu pikiran klien, secara sedetail semua perasaan yang membuatnya
tertekan tersebut. Refleksi ini diharapkan membuat klien bisa katarsis, sehingga semua
yang diungkapkan dapat sejujur-jujurnya, apapun yang membuat klien kesal boleh
diutarakan dengan penuh emosi. Refleksi masalah dapat dibantu dengan cermin, dan
klien dapat katarsis refleksi dirinya di depan cermin.
2. Berwudhu
Saat klien telah menyelesaikan katarsis, klien diminta untuk bersuci dan
berwudhu, sebelum berwudhu terapis dapat mengarahkan klien untuk memaknai setiap
air yang diusapkan ke bagian tubuh nantinya. Hal ini dimaksudkan untuk membuat suatu
keyakinan pada klien bahwa air wuduk dengan izin Allah akan dapat membantu emosi
yang ada.
3. Setelah berwudhu, klien diminta untuk duduk kembali
Terapis mengarahkan klien untuk dapat memaknai kata-kata sabar, dan terapis
pun memandu klien sebelumnya dengan menjelaskan energi yang ada dalam kata-kata
sabar, seperti energi penolong, energi pembawa keberuntungan, energi yang
mendatangkan keuntungan yang besar. Pastikan klien benar-benar mengerti dengan apa
yang di maknainya tentang sabar.
4. Mengatur pernafasan
Klien di haruskan melakukan beberapa kali pengaturan pernafasan yang ideal,
seperti menghirup pelan dari hidung, dan menghembuskan kembali melalui mulut,
yakinkan klien setiap menghirup pernafasan adalah bagian untuk menghirup energi sabar
sebanyak-banyaknya dan mengeluarkan pernafasan lewat mulut adlah mengeluarkan
semua emosi negatif.
5. Mengistirahatkan fikiran (relaksasi)
Klien diminta untuk relaksasi seperti relaksasi yang terapi lainnya lakukan, dalam
hal ini klien memposisikan dirinya benar-benar relaks dan tanpa ada satupun fikiran yang
mengganggu. Ketika klien dalam keadaan yang relaks terapis bisa membantu klien
dengan sugesti positif bahwa klien adalah seutuhnya orang sabar.
6. Mempersentasekan 100% kesabaran
Terapis mengarahkan klien untuk dapat memberikan persentase tertinggi tentang
kepositifan sabarnya setelah melakukan beberapa sesi sebelumnya. Hal ini dimaksudkan
agar memastikan bahwa dalam diri klien sudah tertanam energi sabar, sehingga kapanpun
klien menggunakan kata-kata sabar dapat menjadi positif dalam mengatasi tekanan dan
masalah-masalah selanjutnya.
7. Terminasi
Setelah klien yakin dengan pilihannya untuk mengakui bahwa sabar itu akan lebih
bermakna dalam kehidupannya, dan telah yakin bahwa kata-kata sabar akan menjadi
sesuatu yang positif dalam kehidupannya, maka terapis sudah bisa mengakhiri proses
terapi sementara, pengakhiran terapi atau terminasi ini melibatkan peran terapis
mengkontruksi ulang tentang tiap sesi terapi, lalu meminta klien untuk menyimpulkan
terapi tersebut.6
6
Luluk Dina Islamiyah, Terapi Sabar dengan Teknik Sufistik (Takhalli, Tahalli dan Tajalli) Untuk
Mengatasi Stres Seorang Ibu Akibat Sudden Death Pada Anak di Desa Mentaras Dukun Gresik, (UINSBY:
Surabaya: 2017), hlm. 100-109.
7
Lahmuddin, Psikoterapi Dalam Perspektif Bimbingan Konseling Islam, Miqot, Vol. 36 No. 2, Juli-
Desember 2012,Hlm. 402.
Fakhriyani, Diana Vidya. 2019. Kesehatan Mental. Pamekasan: Duta Media Publishing.
Ghozali, Mohammad Syadzili. Sabar Sebagai Terapi Penyakit Hati Menurut Al-Ghazali,
Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam. Ushuluddin. Universitas Darussalam Gontor
Ponorogo.
Islamiyah, Luluk Dina. 2017. Terapi Sabar dengan Teknik Sufistik (Takhalli, Tahalli dan
Tajalli) Untuk Mengatasi Stres Seorang Ibu Akibat Sudden Death Pada Anak di Desa
Mentaras Dukun Gresik. UINSBY: Surabaya.
Lahmuddin. Psikoterapi Dalam Perspektif Bimbingan Konseling Islam. Miqot. Vol. 36 No.
2. Juli-Desember (2012).
Putri, Amita Darmawan, dan Lukmawati. Makna Sabar Bagi Terapis (Studi Fenomenologis
di Yayasan Bina Autis Mandiri Palembang). PSIKIS-Jurnal Psikologi Islami. Vol. 1 No.
1. Juni (2015).