Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH SABAR Kelompok 3

MAKALAH TASAWUF

“sabar”

Disusun oleh :
Julia Anggraini 12 35 0082
Jumiroh 12 35 0084
Jurniatun 12 35 0085
Muhammad Kamilin 12 35 0101

Dosen Pembimbing :
Drs. Muhammad Rizal, MH

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN & PEMIKIRAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG

2014

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.......................................................................................................I
PENDAHULUAN..............................................................................................1
Latar Belakang Masalah......................................................................................1
Rumusan Masalah...............................................................................................1
Tujuan pembahasan..............................................................................................1
PEMBAHASAN.................................................................................................2
1. Pengertian Sabar............................................................................................2
2. Penjelasan sabar menurut kajian Ilmu psikologi................................................3
3. Fungsi dan tujuan sabar..................................................................................6
4. Hadis Yang menjelaskan Sabar......................................................................7
5. Ayat Al-Quran Yang Menjelaskan Tentang Sabar..........................................8
PENUTUP..........................................................................................................14
Kesimpulan..................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................15

PENDAHULUAN
a. Latar belakang masalah
Kehidupan yang kita jalani saat ini tidaklah selalu mengarah kepada hal yang baik-baik saja
atau berjalan sesuai dengan keinginan diri. Segala sesuatu yang sebelumnya kita rencanakan
terlebih dahulupun tidak akan berjalan sesuai dengan apa yang kita rencanakan. Pasti akan ada
halangan dan rintangan yang akan kita hadapi.
Oleh karena itu kita dituntut untuk memiliki sikap sabar. Jangan jadikan kesusahan dan
kegagalan sebagai landasan pikiran bahwa Allah SWT tidak menyayangi manusia, tapi
jadikanlah kesusahan dan kegagalan sebagai sebuah anugerah yang diberikan oleh Allah SWT
sebagai wujudnya bahwa Allah SWT masih memberikan kesempatan untuk mengingat.

b. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan sabar?
2. Bagaimana penjelasan sabar menurut ilmu psikologi ?
3. Apa fungsi dan tujuan dari sabar ?
4. Bagaimana ayat Al-Quran menjelaskan tentang sabar ?

c. Tujuan pembahasan
Dari penyajian makalah ini penulis berharap, pembaca mendapat pengetahuan baru tentang
“sabar”. Walaupun tidak dibahas secara rinci namun penulis berusaha menyajikan yang terbaik
dan dimungkinkan bisa memberi wawasan baru pembaca.

PEMBAHASAN
1. Pengertian
Secara etimologis, sabar berasal dari bahasa Arab, shabara, “shbara” yang arti
dasarnya menahan (al-habs), seperti habs al-hayawan (mengurung hewan), menahan diri,dan
mengendalikan jiwa.[1]
Secara istilah, definisi sabar adalah : Menahan diri dalam melakukan sesuatu atau
meninggalkan sesuatu untuk mencari keridhaan Allah. [2]
Sabar dalam pengertian lughawi (bahasa) adalah “menahan atau bertahan”. Jadi, Sabar
adalah menahan diri dari rasa gelisah, cemas, marah, menahan lidah, dari keluh kesah serta
menahan anggota tubuh dari kekacauan.[3]
Secara psikologi, sabar disebut dengan kontrol diri. Yaitu menjaga dan menahan emosi
dalam menghadapi suatu keadaan.
Pengertian sabar menurut beberapa ahli :
1. Calhoun dan Acocella
pengaturan proses-proses fisik, psikologis, dan perilaku seseorang; dengan kata lain
serangkaian proses yang membentuk dirinya sendiri.
2. Goldfried dan Merbaum (dalam Lazarus, 1976)
suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku
yang dapat membawa individu ke arah konsekuensi positif.
3. Bandura dan Mischel
kemampuan individu dalam merespon suatu situasi.
4. Hurlock (1984)
bagaimana individu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan yang terdapat dalam
dirinya.
Jadi kesimpulannya, sabar adalah menerima apa yang diberikan Allah baik yang berupa nikmat
maupun penderitaan..
2. Penjelasan sabar menurut kajian Ilmu psikologi
Kesabaran merupakan sesuatu yang berkembang menuju kesempurnaan. Secara psikologis,
tingkat perkembangan orang sabar dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1) Orang yang sanggup meninggalkan dorongan sahwat. Mereka termasuk katagori orang-orang
yang bertaubat (al-ta’ibin).
2) Orang yang ridha (senang atau puas) menerima apaun yang ia terima dari Tuhan, mereka
termasuk katagori zahid.
3) Orang yang mencintai apa pun yang diperbuat Tuhan untuk dirinya, mereka termasuk katagori
shiddiqin.[4]
Dalam kaitannya dengan psikologi, sabar (kontrol diri) dapat digambarkan juga dengan
teori dari Psikoanalisis Sigmund Freud dan dianalogikan sebagai “ super ego “. Seperti yang
kita ketahui bersama teori Psikoanalisis Freud menjelaskan mengenai tiga aspek pemunculan
perilaku, diantaranya : id, ego, superego.[5]
Walaupun pengertian sabar mencakup hal yang lebih luas, sabar dapat dikatakan salah
satu bentuk perilaku pertahanan diri. Namun sabar memiliki karakter yang berbeda dengan
respons pertahanan psikologis pada umumnya. Sabar merupakan respons positif dari masalah
yang dihadapi seseorang. Orang yang sabar mampu mengumpulkan sumber daya yang ia miliki
sehingga ia memiliki kekuatan atau daya tahan dalam menghadapi masalah. Orang yang sabar
mampu mencegah atau menahan diri dari tindakan yang keliru dalam memecahkan masalah
atau tekanan yang ia hadapi. Sabar merupakan mekanisme yang baik dari reaksi pertahan
psikologis, yang tidak terlepas dari dimensi spiritual.[6]
Bagi orang-orang yang tidak memiliki “ ketahanan diri” dalam bentuk kesabaran, maka
kesedihan dan kemarahan yang timbul akan sangat tidak terkendali, sehingga bisa merusak diri
sendiri, bahkan orang lain. Dalam keadaan seperti itulah kesabaran tidak lain sebagai
mekanisme “ketahanan diri” yang sangat anggun, dimana potensi kesedihan dan kemarahan
(hawa nafsu) dikendalikan secara efektif. Kemampuan inilah yang membedakan sekaligus
mengistimewakan manusia, seperti kata Al-Ghazali, dari mahluk Allah yang lain (hewan).
Dalam hidup keseharian, sabar biasanya hanya dipersepsi sebagai sikap menghidari
ketegasan, yakni bertindak secara berhati-hati yang identik dengan tindakan yang dilakukan
perlahan-lahan. Biasa juga diasosiasikan dengan sikap ”sanggup menunggu”, dengan kata lain,
akomodatif terhadap dimensi waktu.
Dalam menerangkan psikoanalisisnya tentang sabar, Freud menjelaskan tiga dimensi
psikologi manusia yaitu, Id, Ego, Superego. Freud menjelaskan superego sebagai suatu sistem
nilai hati nurani individu. Superego bukanlah bawaan sejak lahir, tetapi ia dipelajari karena ia
berhubungan dan berkaitan kepada kebudayaan (peradaban), sedangkan Id adalah bawaan
sejak lahir, dengan beberapa proses terjadi pada tingkatan yang tidak disadari. Dan dimensi
ketiga dari stuktur kepribadian manuusia adalah ego, yaitu sebagai mediator (pendamaian)
terhadap superego dan Id.[7]
Id
Pada bagian inti dari kepribadian manusia tentang sabar yang sepenuh nya tak disadari
adalah wilayah psikis yang disebut sebagai id, yaitu istilah yang diambil dari dari kata ganti
untuk “sesuatu” atau ”itu” (the it) atau komponen yang tak sepenuhnya diakui oleh kepribadian
sabar seseorang. Id tidak punya kontak dengan cara memuaskan hasrat-hasrat dasar. Ini
dikarenakan satu-satunya fungsi id adalah untuk memperoleh kepuasan dalam bersabar
sehingga kita menyebutnya sebagai prinsip kesenangan (pleasure principle).
Menurut Freud, id merupakan bagian aspek kepribadian instingtif yang bersumber dari
energi fisikal atas dasar prinsip kesenangan.[8] Id dalam pemahaman Freud merupakan bagian
dari naluri primitif, bagian bawah sadar manusia. Id mempunyai muatan yang
berisikan dorongan-dorongan yang paling dasar dari keperibadian manusia. Id adalah
kumpulan ketaksadaran yang bersifat impulsif dan mendorong ekspresi dan tarik-menarik
tanpa memperdulikan apa akibatnya, tanpa pertimbangan pemikiran yang berarti.[9]
Oleh karena sifatnya yang tidak realistis dan mencari kesenangan, id ini tidak logis
maupun memuaskan pikiran-pikiran yang saling bertentangan satu dengan yang lainnya.
Seluruh energi id dicurahkan demi satu tujuan semata-mencari kesenanagan tanpa peduli
dampak kesenangan tersesebut sesuai atau tidak untuk ditampilkan. Id mempunyai wilayah
yang primitif, kacau balau, dan tak terjangkau oleh alam sadar. Dalam id juga tidak bisa diubah,
amoral, tidak logis, tak bisa diatur, dan penuh energi yang datang dari dorongan-dorongan
dasar serta dicurahkan semata-semata untuk memuaskan prinsip kesenangan.
Sebagai wilayah bagi dorongan-dorongan dasar (dorongan utama), id beroprasi
berdasarkan proses pertama (primary process). Oleh karena id menggunakan kacamata kuda
dalam upayanya memenuhi prinsip kesenangan , maka id bertahan dengan cara bergantung
pada pengembangan proses sekunder (secondary process), yang membuat dapat
berhubung dengan dunia luar. Fungsi proses sekunder ini dijalankan oleh ego. [10]
Ego
Ego, atau saya, adalah satu-satunya wilayah pikiran yang memiliki kontak dengan relita.
Ego dikendalikan oleh prinsip kenyataan (reality principle), yang berusaha menggantikan
prinsip kesenangan milik id. Sebagai satu-satunya wilayah dari pikiran yang berhubungan
dengan dunia luar, maja ego pun mengambil peran eksekutif atau pengambilan keputusan dari
kepribadian.
Sumber energi ego berasal dari id. Dalam perkembangan selanjutnya, ego akan bediri
sendiri, terpisah dari id, tetapi sumber energinya tetap berasal dari id. Fungsi utama ego adalah
menghadapi realitas dan menerjemahkan untuk id. Oleh karena itu, dikatakan bahwa ego
berfungsi atas dasar prinsip realitas (reality principle).[11]
Superego
Dalam psikologi Freudian, superego mewakili aspek-aspek moral dan ideal dari
kepribadian serta dikendalikan oleh prinsip-prinsip moralitas dan idealis yang
berbeda dengan prinsip kesenangan dari id dan prinsip realitis dari ego.
Superego memiliki dua substem yaitu, suara hati dan ego ideal. Frued tidak membedakan
kedua fungsi ini secara jelas, tetapi secara umum, suara hati lahir dar pengalaman-pengalaman
mendapatkan hukuman atas prilaku yang tidak pantas dan mengajari kita tentang hal-hal yang
sebaliknya tidak dilakukan, sedangkan ego ideal dengan berkembang dari
pengalaman mendapatkan imbalan atas perilaku yang tepat dan mengarahkan kita pada hal-
hal yang sebaliknya dilakukan.
3. Fungsi dan tujuan sabar
Fungsi:
Secara psikologi sabar dapat membantu seseorang dalam melatih kemampuan
seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain
di sekitarnya yang sering disebut dengan kecerdasan emosi (eQ). Karena dengan “sabar” maka
seseorang akan mampu menyadari dan mengelola emosi diri sendiri, memiliki kepekaan
terhadap emosi orang lain, mampu merespon dan bernegosiasi dengan orang lain tidak secara
emosional, serta dapat menggunakan emosi sebagai alat untuk memotivasi diri.
4. Hadis Yang menjelaskan Sabar
Selain sebagai alat untuk melatih kecerdasan emosi, sabar juga sangat di anjurkan oleh
agama untuk mendapat pahala dari Allah SWT seperti yang di jelaskan dalam suatu hadist :
َ‫ضتُهُ ِم ْن ُهما َ ْال َجنَّة‬ ْ ‫لى قَا َل ِإذَا ا ْبتَلَ ْيتُ َع ْبد‬
َ َ‫ِي ِب َح ِب ْيبَت َ ْي ِه ف‬
ْ ‫ص َب َر َع َّو‬ َ ‫ا َِّن هللاَ ت َ َع‬
Sesungguhnya Allah pernah berfirman. “Apabila Aku uji hamba-Ku pada kedua
anggota yang disayanginya, lalu ia bersabar, niscaya aku menggantikan keduanya dengan
surga.”
(HR Imam Bukhari 5653).
Tujuan :
Dalam psikologi, sabar sering disebut sebagai kontrol diri dan tujuan dari kontrol diri
adalah untuk menahan diri dan tindakan luapan emosi, untuk mengendalikan perilaku,
kecenderungan menarik perhatian, keinginan mengubah perilaku agar sesuai untuk orang lain,
menyenangkan orang lain, selalu nyaman dengan orang lain, dan menutupi perasaannya.
Sedangkan tujuan sabar secara agama adalah Untuk mencapai kemenangan di dunia dan
kebahagaiaan di akhirat. Yang mana perbedaannya, kontrol diri diarahkan pada urusan
keduniawian, sedangkan sabar selain keduniawian juga untuk kehidupan akhirat individu.
Sedangkan persamaannya, Sama-sama mengarah pada hal-hal yang bersifat positif, seperti
ketentraman ataupun kebahagiaan hidup.

‫ص ِفيَّهُ ِمن َء ْه ِل الدُّ ْنيا َ ث ُ َّم‬ ْ ‫ِي ْال ُمو ْء ِم ِن ِع ْند‬


ْ َ‫ِي َجزَ ا ٌء إزَ ا قَب‬
َ ُ‫ضت‬ َ ‫يَقُ ْو ُل هللاُ تَعَل‬
ْ ‫ئ ما َ ِلعَ ْبد‬
.ُ‫اال َجنَّة‬ ْ َّ‫سبَهُ إِل‬ َ َ ‫احت‬
ْ
Allah SWT telah berfirman, “Bagi hamba-Ku yang mukmin, apabila aku mengambil orang
yang disayanginya dari kalangan penduduk dunia, kemudian dia bersabar karena
mengharapkan pahala Allah, maka tiada lain baginya disisi-Ku kecuali surga.”
(HR Imam Bukhari 6424)
5. Ayat Al-Quran Yang Menjelaskan Tentang Sabar

Surat Ali- imran Ayat 200:

‫ْا‬‫ُو‬
‫ْبِر‬
‫اص‬ ‫ُوا‬ ‫من‬ََ
‫ا‬ َ
‫ين‬ ‫َذ‬
ِْ ‫َاالل‬ َُّ
‫يه‬ ‫يا‬َ
َ
‫ْن‬ ‫ِح‬
‫ُو‬ ‫ْل‬
‫تف‬ُ ْ
‫ُم‬ َّ‫ْهللاا َلع‬
‫َلك‬ َُ
‫و‬ َّ ‫ْا و‬
‫َاتق‬ ‫ُو‬‫ِط‬
‫َب‬‫َر‬
‫ْاو‬‫ُو‬
‫ِر‬‫َاب‬
‫َص‬‫و‬
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian, dan
tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu), dan bertaqwalah kepada Allah supaya
kalian beruntung”.
Surah Ali ‘Imran ini dan penafsirannya sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam
tafsirnya.
Mengenai firman Allah yang artinya, ”Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah,
kuatkanlah kesabaran itu dan kokohlah.” Hasan al-Bashri berkata, “Mereka diperintahkan
untuk bersabar dalam menjalankan agama mereka yang diridhai Allah, yaitu agama Islam. Me-
reka tidak memohon kepada Allah, hanya untuk mendapat kebaikan dan menolak kemudaratan;
untuk menolak kesulitan dan meraih kesejahteraan. Mereka terus memohon kepada-Nya
hingga meninggal dalam keadaan beragama Islam. Hendaklah mereka juga bersabar dalam
menghadapi musuh yang menyembunyikan agamanya.” Demikianlah penafsiran yang
diberikan oleh banyak ulama salaf.
Sabar bukanlah sesutu yang harus diterima seadanya, bahkan sabar adalah prosedur
kesungguhan yang merupakan sifat Tuhan yang sangat mulia dan tinggi. Sabar adalah
menahan diri dalam memikul suatu penderitaan, baik suatu urusan yang tidak diinginkan
maupun dalam kehilangan sesuatu yang disenangi.[12]
Sabar merupakan sikap jiwa yang ditampilkan dalam penerimaan sesuatu, baik
berkenaan dengan penerimaan tugas dalam bentuk perintah dan larangan, maupun dalam
bentuk perilakuan orang lain, serta sikap menghadapi suatu musibah.[13]
Sabar merupakan sifat yang secara holistik yang harus dimemiliki oleh orang muslim.
Sabar sendiri tidak mengenal bentuk ancaman dan ujian; seorang muslim mestinya berada
dalam ketabahan dan kesabaran yang utuh.
Menurut syeikh Ibnu Qoyyim Al-jauziyah, bahwa sabar merupakan budi pekerti yang
bisa dibentuk oleh seseorang. Ia menahan nafsu, Menahan sedih, menahan jiwa dari
kemarahan, menahan lidah dari merintih kesakitan, dan juga menahan anggota badan dari
melakukan yang tidak pantas. Sabar merupakan ketegaran hati terhadap takdir dan hukum-
hukum syari’at.
Terkadang kita meyakini bahwa kesabaran mempunyai titik batas sehingga kalau sudah
melebihi batasnya manusia boleh melakukan apapun. Tapi bukan seperti ini tujuannya, semua
yang telah kita kerjakan harus kembali kepada Allah SWT sebagai dasar atas segala perilaku
yang kita kerjakan. Hal ini dapat memberikan nilai positif bagi diri kita sendiri, karena segala
sesuatu yang kita kerjakan atas nama Allah SWT pasti yang dikerjakan akan mengarah kepada
yang baik. Sikap sabar juga merupakan sikap dasar dari ciri-ciri orang yang bertaqwa.[14]
Surat Al-Baqarah (2:153)
َ‫صابِ ِرين‬ َّ َّ‫ص ََل ِة ۚ إِن‬
َّ ‫َّللاَ َم َع ال‬ َّ ‫ص ْب ِر َوال‬ ْ ‫يَا أَيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا ا‬
َّ ‫ست َ ِعينُوا بِال‬
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu,
sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. (QS. Al- Baqarah: 153)
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian
itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini
bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya”. (Al
Baqarah: 45-46)
Keutamaan sifat iffah dan sabar
“Hadis riwayat Abu Said Al-Khudri ra.: Bahwa sebagian orang Ansar meminta kepada
Rasulullah saw., maka beliau memberi mereka. Kemudian mereka meminta lagi, beliau pun
memberi mereka, sampai ketika telah habis sesuatu yang ada pada beliau, beliau bersabda:
Apapun kebaikan yang ada padaku, maka aku tidak akan menyembunyikannya dari kalian.
Barang siapa menjaga kehormatan diri, maka Allah akan menjaga kehormatan dirinya. Barang
siapa yang merasa cukup, maka Allah akan mencukupinya. Barang siapa yang bersabar, maka
Allah akan membuatnya sabar. Seseorang tidak diberi suatu pemberian yang lebih baik dan
lebih luas daripada kesabaran.”( HR.MUSLIM No:1745 )
Ibnu Katsir menjelaskan satu prinsip dan kaidah dalam memahami Al Qur’an
berdasarkan ayat ini bahwa meskipun ayat ini bersifat khusus ditujukan kepada Bani Israel
karena konteks ayat sebelum dan sesudahnya ditujukan kepada mereka, namun secara esensi
bersifat umum ditujukan untuk mereka dan selain mereka. Bahkan setiap ayat Al Qur’an,
langsung atau tidak langsung sesungguhnya lebih diarahkan kepada orang-orang yang beriman,
karena hanya mereka yang mau dan siap menerima pelajaran dan petunjuk apapun dari
Kitabullah. Maka peristiwa yang diceritakan Allah Taala tentang Bani Israil, terkandung di
dalamnya perintah agar orang-orang yang beriman mengambil pelajaran dari peristiwa yang
dialami mereka. Begitulah kaidah dalam setiap ayat Al Qur’an sehingga kita bisa mengambil
bagian dari setiap ayat Allah subhanahu wa ta’ala. “Al Ibratu bi ’Umumil Lafzhi La bi Khusus
Sabab. Yang harus dijadikan dasar pedoman dalam memahami Al Qur’an adalah umumnya
lafazh, bukan khususnya sebab atau peristiwa yang melatarbelakanginya.”
Perintah dalam ayat di atas sekaligus merupakan solusi agar umat secara kolektif bisa
mengatasi dengan baik segala kesulitan dan problematika yang datang silih berganti. Sehingga
melalui ayat ini, Allah memerintahkan agar kita memohon pertolongan kepada-Nya dengan
senantiasa mengedepankan sikap sabar dan menjaga shalat dengan istiqamah. Kedua hal ini
merupakan sarana meminta tolong yang terbaik ketika menghadapi berbagai kesulitan.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam selaku uswah hasanah, telah memberi contoh yang
konkrit dalam mengamalkan ayat ini. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dijelaskan bahwa, “Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam apabila
menghadapi suatu persoalan, beliau segera mengerjakan shalat.”
Huzaifah bin Yaman menuturkan, “Pada malam berlangsungnya perang Ahzab, saya
menemui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, sementara beliau sedang shalat seraya
menutup tubuhnya dengan jubah. Bila beliau menghadapi persoalan, maka beliau akan
mengerjakan shalat.” Bahkan Ali bin Abi Thalib menuturkan keadaan Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam pada perang Badar, “Pada malam berlangsungnya perang Badar, semua kami
tertidur kecuali Rasulullah, beliau shalat dan berdo’a sampai pagi.”[15]
Dalam riwayat Ibnu Jarir dijelaskan bagaimana pemahaman sekaligus pengamalan
sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam terhadap ayat ini. Diriwayatkan bahwa ketika
Ibnu Abbas melakukan perjalanan, kemudian sampailah berita tentang kematian saudaranya
Qatsum, ia langsung menghentikan kendaraanya dan segera mengerjakan shalat dua raka’at
dengan melamakan duduk. Kemudian ia bangkit dan menuju kendaraannya sambil membaca,
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu
sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.”
Secara khusus untuk orang-orang yang beriman, perintah menjadikan sabar dan shalat
sebagai penolong ditempatkan dalam rangkaian perintah dzikir dan syukur. “Karena itu,
ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu dan bersyukurlah kepadaku dan
janganlah kamu mengingkari (nikmat)Ku. Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan
shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa bersama
dengan orang-orang yang sabar.” (Al Baqarah: 152-153). Dalam kaitan dengan dzikir,
menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong adalah dzikir. Siapa yang berdzikir atau
mengingat Allah dengan sabar, maka Allah akan mengingatnya dengan rahmat.
Masih dalam konteks orang yang beriman, sikap sabar yang harus selalu diwujudkan
adalah dalam rangka menjalankan perintah-perintah Allah Taala, karena beban berat yang
ditanggungnya akan terasa ringan jika diiringi dengan sabar dan shalat. Ibnul Qayyim
mengkategorikan sabar dalam rangka menjalankan perintah Allah Taala termasuk sabar yang
paling tinggi nilainya dibandingkan dengan sabar dalam menghadapi musibah dan persoalan
hidup.
Syaikh Sa’id Hawwa menjelaskan dalam tafsirnya, Al Asas fit Tafasir kenapa sabar dan
shalat sangat tepat untuk dijadikan sarana meminta pertolongan kepada Allah Taala. Beliau
mengungkapkan bahwa sabar dapat mendatangkan berbagai kebaikan, sedangkan shalat dapat
mencegah dari berbagai perilaku keji dan munkar, disamping juga shalat dapat memberi
ketenangan dan kedamaian hati. Keduanya (sabar dan shalat) digandengkan dalam kedua ayat
tersebut dan tidak dipisahkan, karena sabar tidak sempurna tanpa shalat, demikian juga shalat
tidak sempurna tanpa diiringi dengan kesabaran. Mengerjakan shalat dengan sempurna
menuntut kesabaran dan kesabaran dapat terlihat dalam shalat seseorang.
Lebih rinci, Syaikh Sa’id Hawwa menjelaskan sarana lain yang terkait dengan sabar
dan shalat yang bisa dijadikan penolong. Puasa termasuk ke dalam perintah meminta tolong
dengan kesabaran karena puasa adalah separuh dari kesabaran. Sedangkan membaca Al
Fatihah dan doa termasuk ke dalam perintah untuk meminta tolong dengan shalat karena Al
Fatihah itu merupakan bagian dari shalat, begitu juga dengan do’a.
Memohon pertolongan hanya kepada Allah merupakan ikrar yang selalu kita lafadzkan
dalam setiap shalat kita, “Hanya kepada-Mu-lah kami menyembah dan hanya kepadamulah
kami mohon pertolongan.” Agar permohonan kita diterima oleh Allah, tentu harus mengikuti
tuntunan dan petunjuk-Nya. Salah satu dari petunjuk-Nya dalam memohon pertolongan adalah
dengan sentiasa bersikap sabar dan memperkuat hubungan yang baik dengan-Nya dengan
menjaga shalat yang berkualitas. Disinilah shalat merupakan cerminan dari penghambaan kita
yang tulus kepada Allah.
Esensi sabar menurut Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dapat dilihat dari dua hal:
Pertama, sabar karena Allah atas apa yang disenangi-Nya, meskipun terasa berat bagi jiwa dan
raga. Kedua, sabar karena Allah atas apa yang dibenci-Nya, walaupun hal itu bertentangan
keinginan hawa nafsu. Siapa yang bersikap seperti ini, maka ia termasuk orang yang sabar yang
Insya Allah akan mendapat tempat terhormat.[16]

PENUTUP
a. Kesimpulan

Di dalam mempelajari ilmu tasawuf, sabar menjadi salah satu kajian yang selalu
dibahas. Sabar sendiri memiliki arti menerima apa yang diberikan Allah baik yang berupa
nikmat maupun penderitaan.
Sabar sendiri memiliki tujuan untuk mendapatkan ridha dari Allah SWT. Yang mana
di dalam pengerjaannya harus didasari dengan niat yang ikhlas dan tulus.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Mubarok, Jiwa dalam Al-Qur’an, Paramadina, Jakarta, 2000

Aliah B. Purwakani, Pengantar Psikologi Kesehatan Islami, Rajawali Pers, Jakarta 2008

Al-Khudhari, Muhammad bin Abdul Aziza, Hakekat Sabar Menurut al-Qur’an, Darul Haq, Jakarta,

2000

Ibnu al-Qayyim al-jauziyyah, Madarij al-Salikin bain Manazil Iyyal Na’bud wa Iyyak Nasta’in, (terj.

Khatsur Sukardi), Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 1998

Jess Feist, Gregory, j, Teori Kepribadian, Salemba Humanika, Jakarta, 2010

Makluf, Luis, Al-Munjid fi Al-Lughat wa Al-Alam, Dar Al-Masyrik, Beirut, 1896

Nurdin, Muslim, Moral dan Kondisi Islam, al-Fabeta, Bandung, 1993

Quazwain, M. Khatid, Mengenal Allah: Suatu Pengajian Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh Aabdul

Samad al-Palimbani, Bulan Bintang, Jakarta, t.th

Sarwono, Sarlito Wirawan, Teori-Teori Psikologi Sosial, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2006

Schultz, Duane. P. dan Sydney Ellen Schultz, Teories of Personality, Wads Worth Thomsom

Learning, Canada, 2001

Syauqi Nawawi, Rif’at, Kepribadian Qur’ani, Amzah, Jakarta, 2011


Makalah Sabar

Makalah Sabar

Disusun oleh:
Ayu Meidhita Putri
Dafin M. Kasyfillah
Evi Wulandari Sanita

Nur Indah Hidayati

Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) SEBI


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sabar memiliki kaitan yang tidak mungkin dipisahkan dari keimanan: Kaitan antara sabar dengan
iman, adalah seperti kepala dengan jasadnya. Tidak ada keimanan yang tidak disertai kesabaran,
sebagaimana juga tidak ada jasad yang tidak memiliki kepala. Untuk melaksanakan berbagai
kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal kesabaran. Untuk meninggalkan berbagai larangan
dibutuhkan bekal kesabaran. Sabar termasuk kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba, sehingga
ia pun bersabar menanggung ketentuan takdir Allah. Ungkapan rasa marah dan tak mau sabar yang
banyak muncul dalam diri orang-orang tatkala mereka mendapatkan ujian berupa ditimpakannya
musibah. Maka dari itu, dalam makalah ini kami akan membahas tentang “Sabar” sehingga kita
dapat mengetahui bagaimana sabar yang sebenarnya.

1.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu :


1. Apakah pengertian Sabar?
2. Apakah keutamaan Sabar?

3. Apa saja Macam-macam Sabar?

4. Apa saja penerapan Sabar?

1.3. Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini, yaitu :

1. Agar mahasiswa dapat mengetahui pengertian sabar.

2. Agar mahasiswa dapat mengetahui macam-macam sabar.


1.4. Kegunaan / Manfaat

Pembuatan makalah ini dapat memberikan suatu manfaat bagi kita semua, yaitu:

1. Sebagai tempat untuk menambah wawasan kita.

2. Sebagai sumber informasi untuk pembuatan makalah selanjutnya.

BAB II

PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN SABAR

Secara bahasa: Berasal dari kata “‫ يصبر‬- ‫ ”صبر‬yang artinya menahan.

Secara istilah: Menahan diri dari kesusahan dan menjaga lisan dari celaan, serta menahan anggota
badan dari berbuat dosa.

Definisi sabar menurut sufi ternama Dzun-nun Al-Mishri, “Sabar ialah menajuhi perselisihan,
bersikap tenang dalam menghadapi cobaan yang menyesakkan hati, dan menampakkan rasa
kecukupan ketika ditimpa kesusahan dalam kehidupan”. Sedikit berbeda dengan Ar-Raghib Al-
Ashfihani, yang mengatakan bahwa sabar memiliki makna yang berbeda sesuai dengan konteks
kejadiannya. Menahan diri saat ditimpa musibah dinamakan shabr (sabar), sedangkan lawan katanya
jaza’ (gelisah, cemas, risau), menahan diri dalam peperangan dinamakan syaja’ah (keberanian) dan
lawan katanya jubn (pengecut, lari dari peperangan), menahan diri dari kata-kata kasar disebut
kitman (diam) dan lawan katanya ihdzar/hadzar (mengecam, marah). Namun secara umum, semua
yang berkaitan dengan menahan biasanya dikategorikan sabar.
Sabar ini tidak hanya identik dengan cobaan saja. Karena menahan diri untuk tidak bersikap
berlebihan atau menahan diri dari pemborosan harta bagi yang mampu juga merupakan bagian dari
sabar. Bukan hanya ketika kita dalam kesulitan, tapi ketika dalam kemudahaan dan kesenangan.

2. KEUTAMAAN SABAR

Allah menyebutkan orang-orang yang sabar dengan berbagai sifat dan menyebutkan kesabaran
dalam al-Qur’an lebih dari sembilan puluh tempat. Bahkan Allah menambahkan keterangan tentang
sejumlah derajat yang tinggi dan kebaikan dan menjadikannya sebagai buah kesabaran . Firman-Nya:
“dan kami jadikan diantara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan
perintah kami ketika mereka bersabar .”(as-Sajdah:24)

Setiap ibadah pahalanya ditentukan kecuali sabar. Oleh karena itu, puasa memiliki pahala yang
sangat besar karena ia merupakan separuh kesabaran .

Allah berfirman: “Dan bersabarlah kalian sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar .”(al-
Anfal:46)

Allah mengaitkan kemenangan dengan kesabaran .

Firmannya:” Ya,(Cukup) ,jika kamu bersabar dan bersiap siaga ,dan mereka datang menyerang kamu
dengan seketika itu juga ,niscya Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang memkai
tanda.” (Ali Imran :125)

Kesabaran ada dua macam :

Pertama: Kesabaran yang berkaitan dengan fisik , seperti ketabahan dan ketegaran memikul
beban dengabn badan .Kesabaran ini kadang dengan perbuatan ,seperti melakukan amal perbuatan
yang berat berupa ibadah atau yang lainnya.

Kedua: Kesabaran yang terpuji dan sempurna yaitu kesabaran yang berkaitan dengan jiwa
dalam menahan diri dari berbagai keinginan tabi’at dan tuntunan hawa nafsu.

Berdasar kan kemudahan dan kesulitannya, kepada:

1. Terasa sulit dan berat bagi jiwa sehingga tidak bisa mempertahankannya kecuali dengan
perjuangan yang berat dan melelahkan .Ini disebut tashabbur(usaha keras untuk sabar ).
2. Tidak terlalu melelah kan ,bahkan dengan sedikit ketabahan jiwa .Ini disebut sabar. Oleh karena
itu,Allah berfirman :

“ Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah )dan bertaqwa dan
membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga) ,maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan
yang mudah.”( al-Lail:5-7)

Perumpamaan pembagian sabar ini seperti seorang pegulat yang kuat melawan pegulat yang lainnya
yang lemah .

Sebagaian orang yang’arif berkata: Orang yang sabar memiliki 3 maqam:

1. Meninggal kan syahwat ,ini merupakan tingkatan orang-orang yang bertaubat .

2. Ridha kepada apa yang telah ditakdirkan ,ini merupan tingkatan orang yang zuhud .

3. Mencintai apa yang di perbuat tuannya terhadap dirinya ,ini merupakan tingkatan orang-orang yang
siddiq .

Ketahuilah bahwa sabar berdasar kan hukum , kepada: Fardhu ,Sunnah, Makruh dan Haram .

Kehidupan ini tidak terlepas dari dua macam keadaan :

1. Keadaan yang sejalan dengan hawa nafsu nya.

Yaitu kesehatan,keselamatan,harta kekayaan,kedudukan,banyak anak, kemudahan sarana ,banyak


pengikut dan pendukung dan semua kelezatan dunia .jika ia tidak dapat mengendalikan hawa
nafsu,kecenderungan kepadanya atau tenggelam dalam kelezatannya .

Sahl berkata :”Bersabar terhadap kesenangan lebih berat ketimbang bersabar terhadap musibah.”

2. Keadaan yang tidak sejalan dengan hawa nafsu bahkan di bencinya .

Kadang tidak terkait dengan ikhtiar hamba ,seperti musibah dan bencana .tetapi ia memiliki ikhtiar
untuk menghilangkannya seperti membalas dendam kepada orang yang menyakitinya .

Memerlukan kesabaran dalam kedua keadaan tersebut .


3. MACAM-MACAM SABAR

Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih, sabar itu terbagi menjadi 3 macam:

1. Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah SWT


Menahan diri kita agar tetap istiqomah dalam menjalankan apa yang diperintahkan Allah SWT.
Sebagaimana yang telah Allah janjikan yaitu surga bagi hamba-Nya yang menjalankan perintah-Nya
dengan baik sesuai syariat yang telah Allah SWT turunkan. Mulai dari shalat, zakat, puasa, dakwah,
dan lain-lain. Itu semua harus kita jalani dengan sabar.

2. Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah SWT

Tenar sekali salah satu lagu yang dinyanyikan oleh Raja Dangdut H.Rhoma Irama dimana ada sebagian
liriknya yang berbunyi “mengapa semua yang asik-asik, itu diharamkan? mengapa semua yang enak-
enak itu dilarang?” karena semua itu adalah memang godaan setan yang merayu kita dengan
kenikmatan-kenikmatan duniawi. Semua kenikmatan itu mengarahkan kita ke tempat terburuk yaitu
jalan yang ditunjukan oleh setan menuju neraka. Dan kita sebagi umat Islam harus bersabar dari apa
yang dilarang oleh Allah SWT. Yakinlah bahwa semua larangan itu pasti ada maksudnya. Tidaklah Allah
SWT melarang kita untuk berbuat dosa, kecuali dalam dosa itu pasti ada sebuah kerugian yang akan
didapat jika kita melakukannya.

3. Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah SWT


Jika ada salah satu dari kita ditakdirkan dengan kondisi fisik yang kurang, maka kita juga harus tetap
bersabar. Karena bersabar dengan ketentuan Allah SWT merupakan salah satu dari macam sabar. Dan
balasan lain dari sabar kita itu adalah surga.

Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya Allah SWT berfirman “Jika hambaku diuji dengan kedua
matanya dan dia bersabar, maka Aku akan mengganti kedua matanya dengan surga” (HR. Bukhori).

Semoga Allah SWT menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang sabar dalam menjalankan perintah-Nya,
menjauhi larangan-Nya, dan dari apa yang telah ditakdirkan-Nya. Dan kita harus tetap melatih sifat
sabar ini dalam kehidupan kita sehingga nantinya kita akan dapat menyikapi semua aspek hidup ini
dengan sabar.
4. PENERAPAN SABAR

Sabar menahan cobaan memang bukan hal yang mudah, tapi itu juga bukan sebuah hal yang
mustahil. Kedudukan orang-orang yang sabar di mata Allah SWT sangat tinggi.

Kita bisa mengambil pelajaran dari suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW. Beliau adalah seorang
penyabar, dikisahkan setelah Rasulullah wafat – Abu bakar RA mendatangi seorang pengemis Yahudi
buta dan memberikan makanan itu kepadanya.

Ketika Abubakar RA mulai mnyuapinya, si pengemis marah sambil berteriak,

“Siapakah kamu?”

“Aku orang yang biasa datang”. Abubakar RA menjawab.

“Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku,”jawab si pengemis buta itu.

“Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya
makanan tersebut dengan mulutnya, setelah itu ia berikan padaku dengan mulutnya sendiri”.

Abubakar tidak dapat menahan airmatanya, ia menangis sambil berkata dengan pengemis itu,

“Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya,
orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW”.

Setelah pengemis itu mendengar cerita Abubakar RA ia pun menangis dan kemudian berkata,
“Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah
memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia”.

Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat dihadapan Abubakar RA.

Siapa yang tidak terketuk hatinya dengan kisah ini. Kita bisa melihat dari kisah diatas bagaimana
Rasullah SAW begitu sabarnya dalam berdakwah dan menghadapi pengemis Yahudi itu. Walaupun
Beliau disakiti dengan hinaan, fitnah, dll. Tapi Beliau tetap menunjukan kemuliaan akhlaknya. Dan
kita sebagai umat Islam dan pengikutnya, jelaslah harus mengikuti akhlak Beliau.

Sebagaimana firman Allah SWT: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan
sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’,” (QS. Al-
Baqarah:45).

Dalam ayat ini kata “Sabar” digandengkan dengan “shalat”, dan kita mengetahui bahwa shalat itu
hukumnya wajib. Dan jika ada dua kata perintah dalam satu konteks ini maka dalam hal ini sabar
juga merupakan suatu hal yang diwajibkan Allah SWT.

Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan
terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai
macam cobaan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kedudukan sabar dalam iman laksana
kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam
tubuh.”

Berikut adalah resume dari acara Mario Teguh Golden Ways MetroTV, edisi 22 Agustus 2010, dengan

Topik “Sabar Sampai Kapan?“. Kesabaran adalah masalah hati tetapi solusi kesabaran
dapat ditemukan dalam jalan-jalan yang terang. Dalam bahasan ini kita akan mempelajari bagaimana
membangun kesabaran yang tidak lagi bertentangan dengan rasa hormat kepada diri kita, tetapi
melalui cara pandang yang logis, sehingga kita menjadi pribadi yang sabar karena tujuannya jelas.

Kesabaran bukanlah sebuah sifat tetapi sebuah keputusan karena pengertian yang baik, sebetulnya
tidak ada orang yang punya sifat sabar.
Kesabaran adalah pengertian yang dibutuhkan untuk bersikap baik, selama menunggu hasil dari
upaya kita. Pengertiannya karena upaya itu membutuhkan waktu untuk baik, membutuhkan do’a
untuk dijawab, maka kita bersabar.

Dalam membangun kesabaran ada yang harus ditunggu, dan yang paling sering berhasil dalam
proses menunggu adalah yang sibuk. Maka sibuk-lah dalam menunggu, karena semua orang sedang
menunggu, dan yang paling akhir adalah menunggu kematian. Maka jadilah pribadi yang sibuk dalam
menunggu supaya hasil yang didapat sesuai keinginan. Dalam menghadapi sebuah kesulitan,
menjadikan yang tadinya sulit menjadi mudah.

Contoh sederhana, jika ada rotan dan ada akar yang lebih dahulu dipakai tentunya rotan, tetapi jika
tidak ada rotan maka akarlah yang dipakai.Ingatlah janji Tuhan “Bersama setiap kesulitan, datang
kemudahan”, tetapi kita manusiawi sekali untuk hanya memperhatikan kesulitan.Sehingga orang
yang ramah terhadap kehidupan melihat kehidupan ini seharusnya mudah, karena tidak ada niatan
Tuhan menyulitkan Kita.Jadi kalau ada kesulitan itu kita seharusnya senang, karena bersamanya ada
kemudahan hanya saja kita belum lihat. Jadi kalau datang sebuah kesulitan segera palingkan wajah
anda untuk melihat kemudahannya.Jadi kalau kita ikhlas, Tuhan itu memberikan kita kesulitan
supaya hidup kita mudah.Setiap orang pasti menginginkan sesuatu, tetapi belum tentu setiap orang
berkeinginan besar dan mempunyai rencana besar; karena banyak sekali orang tidak tahu mau jadi
apa.

Tuhan memiliki rencana bagi setiap jiwa dan setan sangat bersemangat menggagalkan jiwa muda
yang dilahirkan dengan rencana besar. Untuk itu setan meniupkan rasa malas ke hati anda sehingga
anda gemar menunda dan ahli mengatakan tidak mungkin. Lalu bersahabat dan bergaul dengan
sesama pemalas.Berapa banyak orang tua yang seharusnya sekarnag menjadi pejabat tinggi, pemuka
masyarakat, yang berpengaruh tetapi memboroskan waktu hidupnya semasa muda dan sekarang
menyesal.

Dan berapa banyak anak muda yang meniru cara yang sama, sekarang.Semakin buruknya masalah
yang mengganggu anda, menunjukan semakin besarnya rencana Tuhan bagi anda. Semakin anda
direncanakan jadi orang besar, maka semakin besar pula kekuatan setan untuk menganggu
anda.Pada dasarnya semua orang pemalas, tetapi yang bisa berhasil adalah yang tetap bekerja
walaupun dia malas.Tidak boleh kita memaksakan sesuatu yang harusnya terjadi karena proses yang
panjang dan baik, sekarang. Kita marah tentang kehidupan, karena kita minta yang seharusnya
dicapai dengan proses yang baik, tetapi hasilnya sekarang. Orang yang tidak punya pilihan harus
bersabar kepada satu2nya pilihan. Kalau anda tidak suka dengan satu pilihan, jadilah pribadi yang
pilihannya banyak.
Orang berabar itu harus cerdik, bukan masalah sifat tetapi masalah keputusan tentang pengertian
yang baik.Ada yang dinamakan istilah Jangkar Prilaku, jadi semua pengertian yang baru kita terima
seyogyanya segera ditransfer dalam bentuk tindakan.Orang yang pengetiannya dalam bentuk
tindakan tidak lagi harus menghafal. Sehingga pikirannya terbuka luas bagi pengertian-pengertian
baru.Orang yang kurang bertindak, kapasitas pikirannya cepat habis, orang yang banyak betindak
dan menjadikan pengetian sebagai prilaku kesehariannya, ia tidak lagi banyak berfikir.

Orang yang menjadikan do’a-do’anya sebagai prilakunya, tidak banyak lagi dia harus berdo’a karena
kehidupannya adalah do’a. Sehingga dia tidak lagi melafalkan do’a secara formal tetapi berharapan
besar untuk bisa membantu orang yang kekurangan, maka langsung diberikan kesempatan
untuk berejeki baik, bagi sedekah yang lebih besar.

Jika anda bertemu orang, selalu temukan cara supaya orang itu menyukai dirinya sendiri. Jika anda
menemukan cara terhadap orang lain untuk melihat dirinya berdiri dibawah sinar yang lebih terang,
anda akan dicintai orang, anda akan dilibatkan dalam pergaulan2 baik, anda akan lebih dicintai istri
anda.

Maka mulai dari sekarang, lihatlah setiap orang sebagai target penggembiraan. Dan tanpa sadar kita
membangun kekuatan diluar diri kita,untuk membantu kita menjadi pribadi yang gembira.

Kalau anda mengeluh tentang lambannya kehidupan, maka cek yang anda kerjakan. Apakah
keinginan anda besar tetapi yang anda lakukan kecil?, Jika jawabannya ‘ya’ maka anda sulit bersabar.

Inginkan yang besar, perhatikan orang lain bagaimana mencapai kebesaran, ikhlaslah rayakan
kehebatan orang lain, jangan dengki orang berhasil.

Iri itu bahaya, karena membuat kita dengki orang kaya, padahal tidak semua orang kaya, kaya
dengan ketidak-jujuran.

Salah satu cara untuk mengenali diri dan kemudian tubuh adalah mengakui kehebatan orang lain.
Dengannya kita lebih ikhlas melihat diri sebagai pribadi yang harus belajar.

Jadi kalau yang kita inginkan besar, maka tertariklah kepada orang2 yang berhasil melakukan hal2
yang besar; lalu tiru-lah dia. Meniru sesuatu sesuatu yang baik, membuat yang lemah dalam
kehidupan kita lemah. Sehingga jika kita bersabar, kita bersabar dalam perjalanan naik. Bukan
bersabar menyesuaikan diri dengan kelemahan.

Semua keberhasilan terbaik anda datang setelah kekecewaan yang anda hadapi dengan sabar. Jika
kita sudah jujur, sudah bekerja keras, sudah patuh sama Tuhan tetapi belum berhasil, tidak ada cara
lain kecuali bersabar.
Kita akan bersabar selama kesabaran dibutuhkan, sampai kapanpun tidak ada batasnya.

Tuhan berjanji “Bersama kesulitan ada kemudahan” dan janji itu diulang dua kali. Marilah kita
membiasakan diri untuk menerima kesulitan dengan damai, lalu menjernihkan pikiran untuk melihat
kemudahan yang datang bersama kesulitan.

Kapanpun kesulitan itu datang kepada anda, upayakanlah untuk mencari hal2 yang sekarang
menjadi mudah bagi anda. Lalu perhatikan apa yang terjadi.

Rasulullah saw bersabda,"Demi Allah, saya tidak takut dengan kemiskinan kalian, akan tetapi saya
takut jikalau dunia menjadi lapang bagi kalian sebagaimana umat sebelum kalian sehingga mereka
saling memperebutkannya."

Gejala inilah yang nampak di tengah-tengah masyarakat kita. Sebuah pola hidup baru bagi sebuah
masyarakat agraris. Gotong royong lambat laun pupus oleh egoisme individu yang berkembang.
Kejujuran hilang ditutupi dengan kebohongan. Persaudaraan sulit ditemukan kecuali di dalamnya
terdapat uang. Kesombongan menggeser sifat lugu, sopan, dan ketawadhuan. Perubahan cara
pandang ini selanjutnya mengubah gaya hidup masyarakat.

Akan tetapi, jika masyarakat kita tidak berusaha untuk mencari kekayaan duniawi ini, masyarakat
kita akan menjadi masyarakat bawah yang lemah dan mudah diombang-ambingkan. Rasulullah saw
bersabda, "Seorang mukmin yang kuat lebih dicintai oleh Allah dari pada seorang mukmin yang
lemah." Dengan logika sederhana pun, seseorang pasti akan membenarkan hadits ini.

Logika ini membentuk sebuah asumsi, jika umat ini ingin menjadi besar sudah saatnya meninggalkan
idealismenya menuju pada hal-hal yang pragmatis. Kita harus membangun rumah sakit, lembaga
pendidikan, panti asuhan, dan lembaga-lembaga lain yang memiliki tujuan membantu kehidupan
umat. Untuk melaksanakan hal tersebut tidak mungkin terlaksana dengan finansial yang lemah.
Beranjak dari pemikiran ini, manakah yang lebih baik antara orang miskin yang sabar dengan orang
kaya yang bersyukur? Seorang idealis mungkin akan memilih poin pertama, sebaliknya orang yang
pragmatis akan memilih poin yang kedua.

Pertanyaan ini terlihat sederhana, tetapi tidak mudah untuk menjawabnya. Bahkan, para ulama
telah berselisih pendapat mengenai hal ini. Abu Ishaq bin Syaqilan, Qadhi Abu Ya'la, dan para
pengikutnya mengatakan bahwa orang miskin yang bersabar itu lebih baik. Sebaliknya, Ibnu
Qutaibah dan jamaahnya berpendapat bahwa orang kaya yang bersyukur lebih baik. Jika kita runut
ke belakang, kita akan temukan orang-orang miskin yang sabar, bahkan yang berpredikat nabi
sekalipun.
Mereka adalah Isa bin Maryam as, Yahya bin Zakaria as, Ali bin Abi Thalib, Abi Dzar Al-Ghifari,
Mush'ab bin Umair, dan Salman AI-Farisi. Sedangkan orang-orang kaya yang bersyukur, di antaranya
Ibrahim as, Ayub as, Dawud as, Sulaiman as, Usman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Thalhah,
Zubeir, Sa'ad bin Muadz ra, dan masih banyak lagi. Lalu mana yang paling baik?Kalau kebenaran kita
sandarkan hanya kepada akal, jawaban tersebut tidak akan ditemukan. Tetapi jika standar
kebenaran adalah Al-Qur`an,

Jawaban tersebut sangat jelas. Allah SWT berfirman :

‫يايها الناس انا جلقناكم من ذكر وانثى وجعلنا كم شعوبا وقبائل لتعارفوا ان اكرمكم عند هللا‬
‫اتقاكم ان هللا عليم خبير‬

"Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian"
(QS Al-Hujurat: 13)

Lalu, seperti apa takwa yang diinginkan Islam? Kalau kita kembali runut dalam Al-Qur'an jawabannya
akan semakin terlihat. Allah SWT berfirman :

‫فتقو هللا فرضا حسنا يضعفه ويغفر لكم وهللا شكر حليم‬

"Maka bertakwalah sesuai kadar kemampuan kalian." (QS At-Taghabun: 16)

Artinya, stressing point dari lafal "takwa" adalah proses, dalam hal ini adalah usaha. Yakni, usaha
seorang hamba untuk menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya (QS AI-Hasr: 7).
Artinya, kebaikan bukan terletak pada kaya-miskinnya, tetapi lebih pada syukur dan sabarnya.
Bertolak dari hal ini maka kita akan temukan golongan ketiga yang sangat sulit untuk dicari pada
zaman ini. Golongan ini mendapat dua predikat sekaligus; miskin dan kaya. Karena
kesederhanaannya golongan ini terlihat miskin, di sisi lain merupakan golongan orang yang berada
dengan pendapatan yang melimpah. Dia adalah Nabi kita Muhammad saw. Wallahu a'lam.

 Obat Sabar dan Hal yang Diperlukannya

Dzat yang menurunkan obat juga telah menjanjikan kesembuhan .sabar itu berat atau sangat sulit
tetapi masih bisa diperoleh melalui adonan ilmu dan amal, Sabar itu berbagai macam demikian
penyakit

Yang menghalanginya berbagai macam .Arti pengobatan adalah antitesa terhadap penyakit dan
mengikisnya .

Berikut beberapa contoh:

Apabila diperlukan bersabar menahan diri dari syahwat seksual ,maka sebagaimana telah kami
kemukakan ,bahwa sabar adalah ibarat tentang pertarungaan antara dorongan agama dan dorongan
hawa nafsu .karna itu, kita harus memperkuat dorongan agama dan melemahkan dorongan syahwat
.

Jalan untuk melemahkan dorongan syahwat ada 3:

Pertama ,kita lihat pasokan kekuatan nya yaitu berbagai makanan yang lezat yang membangkitkan
.syahwat baik dari segi kwalitas ataupun kwantitas lalu kitaharus memotongnya dengan senantiasa
berpuasa .misalnya, menghindari makan daging dan makanan yang bisa mengakibatkan syahwat.

Kedua, memotong segala penyebab yang bisa membangkitkan syahwat. Pandangan bisa
menggerakkan hati dan hati bisa menggerakkan syahwat. Pandangan adalah anak panah yang di
bidikkan oleh syetan yang terkutuk.jika anda berpaling dari haluan gambar maka anda tidak akan
terkena anah panah nya .

Ketiga, menghiburkan jiwa dengan halyang mubah yang berasal dari jenis yang di senanginya yaitu
nikah. Itulah terapi yang lebih bermanfaat bagi kebanyakan orang.

Memperkuat dorongan agama dapat dilakukan melalui dua jalan :


Pertama ,menumbuhkan keinginan nya terhadap berbagai keutamaan mujahadah dan hasil-hasilnya
bagi agama dan dunia. Hal ini dilakukan dengan memperbanyak berfikir tentang berbagai khobar
.jika pengetahuan ini kuat maka akan mampu memperkuat dorongan agama dan
membangkitkannya.Jika pengetahuan ini lemah maka akan melemah pula dorongan agamanya
.Kekuatan iman hanya di ungkap kan dengan kenyakin yang merupakan penggerak bagi tegarnya
kesabaran .

Kedua,melatih dorongan agama untuk mengalahkan dorongan hawa nafsu hingga mendapatkan
lezatnya kemenangan terhadapnya,lalu dorongan agama itu membangkitkan keberanian untuk
melawan dorongan hawa nafsu dan memperkuat semangat anda dalam melawannya.

Jadi terapi pertama sama dengan menumbuhkan ambisi seorang petarung dengan menjanjikan
berbagai macam penghargaan jika ia menang .sedangkan terapi kedua sama dengan pembiasaan
anak kecil yang ingin dipersiapkan menjadi seorang petarung dan petempur ,dengan melakukan
berbagai latihan sejak kecil sehingga ia terbiasa .tumbuh keberaniannya dan kuat semangatnya.

 Rahasia Syukur, Sabar, dan Istighfar

Dalam mukaddimah kitab Al Waabilush Shayyib, Imam Ibnul Qayyim mengulas tiga hal di atas
dengan sangat mengagumkan. Beliau mengatakan bahwa kehidupan manusia berputar pada tiga
poros: Syukur, Sabar, dan Istighfar. Seseorang takkan lepas dari salah satu dari tiga keadaan:

1. Ia mendapat curahan nikmat yang tak terhingga dari Allah, dan inilah mengharuskannya untuk
bersyukur. Syukur memiliki tiga rukun, yang bila ketiganya diamalkan, berarti seorang hamba
dianggap telah mewujudkan hakikat syukur tersebut, meski kuantitasnya masih jauh dari ‘cukup’.
Ketiga rukun tersebut adalah:
a. Mengakui dalam hati bahwa nikmat tersebut dari Allah.
b. Mengucapkannya dengan lisan.
c. Menggunakan kenikmatan tersebut untuk menggapai ridha Allah, karena Dia-lah yang
memberikannya.Inilah rukun-rukun syukur yang mesti dipenuhi

2. Atau, boleh jadi Allah mengujinya dengan berbagai ujian, dan kewajiban hamba saat itu ialah
bersabar.
Definisi sabar itu sendiri meliputi tiga hal:
a. Menahan hati dari perasaan marah, kesal, dan dongkol terhadap ketentuan Allah.
b. Menahan lisan dari berkeluh kesah dan menggerutu akan takdir Allah.
c. Menahan anggota badan dari bermaksiat seperti menampar wajah, menyobek pakaian, (atau
membanting pintu, piring) dan perbuatan lain yang menunjukkan sikap ‘tidak terima’ terhadap
keputusan Allah.
Perlu kita pahami bahwa Allah menguji hamba-Nya bukan karena Dia ingin membinasakan si hamba,
namun untuk mengetes sejauh mana penghambaan kita terhadap-Nya. Kalaulah Allah mewajibkan
sejumlah peribadatan (yaitu hal-hal yang menjadikan kita sebagai abdi/budak-nya Allah) saat kita
dalam kondisi lapang; maka Allah juga mewajibkan sejumlah peribadatan kala kita dalam kondisi
sempit.

Banyak orang yang ringan untuk melakukan peribadatan tipe pertama, karena biasanya hal tersebut
selaras dengan keinginannya. Akan tetapi yang lebih penting dan utama adalah peribadatan tipe
kedua, yang sering kali tidak selaras dengan keinginan yang bersangkutan.

Ibnul Qayyim lantas mencontohkan bahwa berwudhu di musim panas menggunakan air dingin;
mempergauli isteri cantik yang dicintai, memberi nafkah kepada anak-isteri saat banyak duit; adalah
ibadah.

Demikian pula berwudhu dengan sempurna dengan air dingin di musim dingin dan menafkahi anak-
isteri saat kondisi ekonomi terjepit, juga termasuk ibadah; tapi nilainya begitu jauh antara ibadah
tipe pertama dengan ibadah tipe kedua. Yang kedua jauh lebih bernilai dibandingkan yang pertama,
karena itulah ibadah yang sesungguhnya, yang membuktikan penghambaan seorang hamba kepada
Khaliqnya.

Oleh sebab itu, Allah berjanji akan mencukupi hamba-hamba-Nya, sebagaimana firman Allah,

ُُ‫ع ْبدَه‬
َ ٍ‫َّللاُ ِب َكاف‬
َّ ‫ْس‬َ ‫أَلَي‬

“Bukankah Allah-lah yang mencukupi (segala kebutuhan) hamba-Nya?” (QS. Az Zumar: 36).
Tingkat kecukupan tersebut tentulah berbanding lurus dengan tingkat penghambaan masing-masing
hamba. Makin tinggi ia memperbudak dirinya demi kesenangan Allah yang konsekuensinya harus
mengorbankan kesenangan pribadinya, maka makin tinggi pula kadar pencukupan yang Allah
berikan kepadanya. Akibatnya, sang hamba akan senantiasa dicukupi oleh Allah dan termasuk dalam
golongan yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:

ً ‫ان َو َكفَى ِب َر ِب َِّك َو ِك‬


‫يل‬ ٌ ‫ط‬َ ‫س ْل‬
ُ ‫علَ ْي ِه ْم‬
َ ‫ْس لَ َك‬
َ ‫ِإ َّن ِع َبادِي لَي‬

“(Sesungguhnya, engkau (Iblis) tidak memiliki kekuasaan atas hamba-hamba-Ku, dan cukuplah
Rabb-mu (Hai Muhammad) sebagai wakil (penolong)” (QS. Al Isra’: 65).

Hamba-hamba yang dimaksud dalam ayat ini adalah hamba yang mendapatkan pencukupan dari
Allah dalam ayat sebelumnya, yaitu mereka yang benar-benar menghambakan dirinya kepada Allah,
baik dalam kondisi menyenangkan maupun menyusahkan. Inilah hamba-hamba yang terjaga dari
gangguan syaithan, alias syaithan tidak bisa menguasai mereka dan menyeret mereka kepada
makarnya, kecuali saat hamba tersebut lengah saja.

Sebab bagaimana pun juga, setiap manusia tidak akan bebas 100% dari gangguan syaithan selama
dia adalah manusia. Ia pasti akan termakan bisikan syaithan suatu ketika. Namun bedanya, orang
yang benar-benar merealisasikan ‘ubudiyyah (peribadatan) kepada Allah hanya akan terganggu oleh
syaithan di saat dirinya lengah saja, yakni saat dirinya tidak bisa menolak gangguan tersebut… saat
itulah dia termakan hasutan syaithan dan melakukan pelanggaran.

dengan demikian, ia akan beralih ke kondisi berikutnya.

3. Yaitu begitu ia melakukan dosa, segera lah ia memohon ampun (beristighfar) kepada Allah. Ini
merupakan solusi luar biasa saat seorang hamba terjerumus dalam dosa. Bila ia hamba yang
bertakwa, ia akan selalu terbayang oleh dosanya, hingga dosa yang dilakukan tadi justeru
berdampak positif terhadapnya di kemudian hari. Ibnul Qayyim lantas menukil ucapan Syaikhul Islam
Abu Isma’il Al Harawi yang mengatakan bahwa konon para salaf mengatakan: “Seseorang mungkin
melakukan suatu dosa, yang karenanya ia masuk Jannah; dan ia mungkin melakukan ketaatan, yang
karenanya ia masuk Neraka”. Bagaimana kok begitu? Bila Allah menghendaki kebaikan atas
seseorang, Allah akan menjadikannya terjerumus dalam suatu dosa (padahal sebelumnya ia seorang
yang shalih dan gemar beramal shalih).
Dosa tersebut akan selalu terbayang di depan matanya, mengusik jiwanya, mengganggu tidurnya
dan membuatnya selalu gelisah. Ia takut bahwa semua keshalihannya tadi akan sia-sia karena dosa
tersebut, hingga dengan demikian ia menjadi takluk di hadapan Allah, takut kepada-Nya, mengharap
rahmat dan maghfirah-Nya, serta bertaubat kepada-Nya. Nah, akibat dosa yang satu tadi, ia
terhindar dari penyakit ‘ujub (kagum) terhadap keshalihannya selama ini, yang boleh jadi akan
membinasakan dirinya, dan tersebab itulah ia akan masuk Jannah.

Namun sebaliknya orang yang melakukan suatu amalan besar, ia bisa jadi akan celaka akibat
amalnya tersebut. Yakni bila ia merasa kagum dengan dirinya yang bisa beramal ‘shalih’ seperti itu.
Nah, kekaguman ini akan membatalkan amalnya dan menjadikannya ‘lupa diri’. Maka bila Allah tidak
mengujinya dengan suatu dosa yang mendorongnya untuk taubat, niscaya orang ini akan celaka dan
masuk Neraka.

Demikian kurang lebih penuturan beliau dalam mukaddimah kitab tadi, semoga kita terinspirasi
dengan tulisan yang bersahaja ini.

DALAM sebuah buku yang berjudul “Jihad al-Nafs” karya Ayatullah Mazhahiri (Beirut: Al-Mahijjah Al-
Baidha, 1993, hal. 69-70) diceritakan bahwa pada masa Rasulullah SAW, ada seorang istri sholihah
yang memiliki anak kecil yang sakit.

Ketika suaminya bekerja di tempat jauh, anaknya itu wafat. Istri itu duduk dan menangisi kepergian
anaknya itu. Tiba-tiba ia berhenti menangis dan sadar bahwa sebentar lagi suaminya pulang ke
rumah. Ia bergumam, jika saya menangis terus di samping jenazah anakku ini, kehidupan tidak akan
dikembalikan kepadanya dan akan melukai perasaan suamiku. Padahal ia pulang dalam keadaan
lelah. Ia cepat-cepat meletakkan anaknya yang wafat itu pada suatu tempat.

Datanglah suaminya itu dari tempat kerjanya. Sang istri pun menyambutnya dengan senyum dan
penuh kasih sayang. Ia sediakan makanan kesukaannya dan membasuh kaki suaminya itu.

”Mana anak kita yang sakit?” tanya suami. Istrinya menjawab, “Alhamdulillah ia sudah lebih baik.”
Sang istri mengajak suaminya untuk tidur hingga terbangun menjelang waktu subuh. Sang suami
bangun, mandi, dan shalat sunah. Saat suami akan berangkat ke mesjid untuk shalat shubuh
berjamaah, istrinya berkata dengan tenang, “Suamiku aku ingin menyampaikan sesuatu padamu”.

“Silahkan, sebutkan,” kata suaminya. Sang istri pun berkata, “Jika ada yang menitipkan amanat
kepada kita, lalu pada saatnya diambil dari kita, bagaimana pendapatmu jika amanat itu kita tahan
dan kita tidak mau memberikan kepadanya?”

“Itu perbuatan paling akhlak yang buruk dan bisa disebut khianat dalam beramal. Itu merupakan
perbuatan yang sangat tercela. Kita wajib mengembalikan amanat itu kepada pemiliknya bila
dminta,” jawab suaminya.

“Sudah tiga tahun, Allah menitipkan amanat kepada kita. Hari kemarin, dengan kehendak-Nya, Allah
mengambil amanat itu dari kita. Anak kita sekarang wafat. Ia ada di kamar sebelah. Sekarang
berangkatlah engkau dan lakukanlah shalat,” timpah sang Istri.

Suami itu melihat anaknya dan kemudian pergi ke masjid untuk shalat berjamaah di masjid Nabi.
Seusai suami itu mengkabarkan kematian anaknya. Nabi Muhammad SAW langsung mendekatinya
seraya berkata, “Diberkatilah malam kamu yang tadi itu. Malam ketika suami istri bersabar dalam
menghadapi musibah”.

Begitulah seharusnya menyikapi ujian. Yakni dengan bersabar dan tawakal kepada Allah. Namun
tidak semua orang bisa memiliki kecerdasan emosional yang tinggi seperti pasangan tersebut.

 Belajar Sabar dalam Menghadapi Kesulitan


Orang yang mudah goyah menghadapi cobaan, ibarat perahu retak. Kesulitan atau penderitaan
hidup tampaknya sudah menjadi 'sunatullah ' kehidupan ini. Tiada seorang pun di dunia ini yang tak
pernah dihinggapi kesulitan atau penderitaan. Mustahil seseorang sunyi dari kesulitan itu. Yang
berbeda adalah derajat kesulitan itu dan kesanggupan pribadi seseorang dalam menghadapinya.

Rasulullah saw pernah ditanya, "Siapakah yang paling berat ujiannya? Nabi menjawab,"Para nabi,
kemudian yang terbaik, lalu yang terbaik, seseorang mendapatkan (bala) ujian sesuai dengan kadar
agamanya, bila agamanya kuat maka bertambah berat ujiannya, dan apabila agamanya dangkal,
maka Allah mengujinya sesuai dengan kadar agamanya, seorang hamba tidak akan lepas dari ujian
sampai ia berjalan di bumi dengan keadaan tidak berdosa."
Fakta telah menunjukkan bahwa manusia yang paling gampang shock, kaget, dan paling cepat
goncang menghadapi kesulitan-kesulitan hidup adalah orang-orang yang tidak beriman kepada
Allah, orang-orang yang ragu dan lemah imannya.

"Di antara manusia ada yang menyembah Allah dengan berada di tepi, maka bila ditimpa kebaikan ia
merasa tenang, dan jika ditimpa fitnah ia membalikkan wajahnya (murtad) ia merugi di dunia dan
akirat, itulah kerugian yang nyata." (QS. Al Hajj: 11).

Demikian itu karena mereka tidak beriman terhadap takdir Allah yang membuatnya rela, tidak
mengimani Tuhan yang membuat tenang. Tidak pula beriman kepada para nabi sehingga dapat
mene mukan keteladanan pada kehidupannya yang serba sulit, tidak mempercayai kehidupan
akhirat yang menghembuskan udara segarnya yang dapat melegakan nafas, mengusir kesedihan dan
membangkitkan harapan.

Orang yang mudah goyah dalam menghadapi cobaan dan ujian hidup ibarat perahu retak dan patah
layarnya dihantam gelombang dan angin, sehingga gerakan ombak atau angin kecil saja, perahu itu
akan goncang hebat dan miring, apalagi dikepung oleh gelombang dari perbagai penjuru tentu saja
perahu itu akan segera tenggelam kedalam lautan yang dalam.

Kita sering temukan kasus bunuh diri justeru di lingkungan komunitas yang tidak peduli terhadap
makna hidup beragama, dalam lingkungan masyarakat yang tidak lagi menegakkan norma-norma
agama akan lebih banyak lagi ditemukan kasus-kasus yang mengerikan. Suasana akan menjadi
kepedihan yang mematikan, duka cita yang mencemaskan dan kegelisahan yang mencekam dan
kehidupan yang kehilangan makna. Sebab kesenangan yang ada hanyalah semu, penuh kepura-
puraan dan kemunafikan.

Keteguhan Orang Beriman

Orang-orang beriman selalu sabar menghadapi bala' (malapetaka), paling teguh hatinya dan tegar
menghadapi kesulitan hidup dan lapang dada. Dan tabah mengahadapi musibah, karena mereka
tahu persis pendeknya umur untuk hidup di dunia dibandingkan keabadian di akhirat. Mereka tidak
menginginkan surga sebelum surga yang sebenarnya.

"Katakanlah (wahai Muhammad) kesenangan dunia itu sebentar, dan akhirat itu lebih baik untuk
orang-orang yang bertaqwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun." (QS. Anisa' 77).

"Kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu." (QS. Ali 'Imran: 185)

Orang beriman mengetahui sunatullah (hukum alam) bahwa manusia itu akan diuji dengan nikmat
kebebasan berkehendak dan menjadi kholifah di bumi sehingga mereka tidak menginginkan menjadi
malaikat. Mereka tahu para nabi dan para rasul adalah manusia-manusia yang paling berat ujiannya
dalam kehidupan dunia, paling sedikit menikmati kehidupan dunia, sehingga mereka tidak
menginginkan lebih baik dari mereka dan dijadikannya sebagai teladan yang baik.

Al Quran mengatakan;

"Apakah kalian menyangka masuk surga, padahal kalian belum merasakan musibah yang telah
menimpa orang-orang sebelum kalian, mereka telah ditimpa malapeteka dan kesengsaraan dan
digoncangkan sampai rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya menyatakan, "Kapan
pertolongan Allah tiba?" Katakanlah, "Sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat." (QS. Al Baqarah
214)

 Nikmat dalam Suka dan Duka


Musibah yang menimpa dalam hidup ini bagi orang yang punya iman bukanlah pukulan ngawur,
akan tetapi sesuai dengan takdir dan qodho' yang telah digariskan, hikmah azali, ketentuan ilahi
sehingga mereka yakin, bahwa apa yang akan ditimpakan tidak akan luput dan apa yang
diluputkannya tidak akan menimpanya.

"Musibah yang terjadi di bumi dan pada diri kalian adalah ditentukan sebelum kami lepaskan,
sesungguhnya hal itu mudah bagi Allah." (QS: Al Hadid 22).

Allah telah mentakdirkan dengan lembut dan halus, menguji dan meringankan. "Sesungguhnya Allah
maha halus lembut terhadap sesuatu yang ia kehendaki, sesunggunya ia maha mengetahui dan
bijaksana." (QS. Yusuf 100).

Di antara kelembutan Tuhan ialah bahwa musibah dan kesulitan adalah pelajaran yang berharga dan
pengalaman yang bermanfaat bagi agama dan dunianya, mematangkan jiwanya, mengasah imannya
dan menghilangkan karat hatinya.

Perumpamaan seorang mu'min yang ditimpa malapeteka yang berat seperti besi yang dimaksukan
api hingga hilang kotorannya dan tinggal yang baik.

Itulah nikmat-nikmat yang terdapat pada setiap musibah yang menimpa manusia, sehingga
seseorang mungkin perlu bersyukur kepada Allah disamping rela terhadap takdir dan sabar terhadap
ujiannya.

Setiap musibah dunia itu kadang-kadang diganti dengan yang lebih baik, oleh karena itu sewaktu
Yusuf as disuruh memilih antara dipenjara dan hina dengan wanita cantik yang menarik ia memilih
penjara. "Wahai Tuhanku ! penjara lebih aku sukai ketimbang dari memenuhi ajakan mereka
kepadaku." Itulah ratapan Yusuf pada Allah ketika menghadapi ujian berupa godaan wanita.
Di antara ajaran nabi kepada umatnya adalah do'a "Ya Allah janganlah engkau jadikan musibah pada
agama kami dan jangan menjadikan dunia sebagai cita-cita kami yang terbesar dan akhir
pengetahuan kami." (HR. Turmudzi).

Seorang mukmin selalu melihat nikmat yang telah diberikan Allah sebelum ia melihat nikmat yang
akan diterimanya. Ia melihat petaka yang akan terjadi (di akhirat) disamping telah melihat petaka
yang telah menimpa. Sikap ini menimbulkan kelapangan hati dan keridhoan. Bala (peteka) yang
terjadi telah ia hindari dan kenikmatan yang telah diterima cukup banyak dan menetap.

Urwah ibnu Zubair seorang ahli fiqh dari kalangan tabi'in adalah teladan yang baik bagi orang
mukmin yang sabar, ridho, menghargai nikmat Allah.

Diriwayatkan bahwa kakinya sakit kanker dan dokterpun memutuskan untuk diamputasi (dipotong)
supaya tidak menjalar, lalu dokter memberinya obat bius supaya tidak terasa sakit. Namum ia
berkata "Aku tidak yakin seorang mukmin mau minum obat yang menghilangkan kesabarannya
sehingga tidak mengenali Tuhannya untuk itu potonglah kakiku." Merekapun memotong kakinya dan
iapun diam tidak mengeluh.

Takdir telah menghendaki untuk menguji hambanya sesuai kadar imannya, di malam ia dipotong
kakinya, seorang anak yang paling ia cintai jatuh dari lantai atas dan meninggal dunia. Orang-
orangpun datang kepadanya dan menghiburnya, iapun berkata "Ya Allah, segala puji hanya
untukmu, anak tujuh, dan kau ambil satu berarti masih kau sisakan enam. Sungguh bila Engkau
mengambilnya, ya memang itu adalah pemberianmu dan jika engkau menguji dengan sakit, Engkau
telah menyembuhkannya."

 Manisnya Pahala dan Pahitnya Kepedihan


Mengharap pahala dari Allah atas musibah yang menimpanya adalah kenikmatan ruhaniah lain yang
dapat meringankan malapeteka. Pahala ini tercermin pada peleburan dosa-dosa betapun banyaknya,
dan menambah kebaikan yang sangat dibutuhkannya. Dalam suatu hadist shahih disebutkan,
"Kesusahan dan kegelisahan, kepayahan, sakit sampai duri yang melukai yang menimpa seorang
muslim tidak lain kecuali Allah menghapus dosa-dosanya denganya."

Salah seorang shaleh, kakinya terluka namun ia tidak mengeluh kesakitan, bahkan tersenyum dan
membaca inna lilahi wa inna ilahi raji'un lalu ditanya, "Kenapa tuan tidak mengeluh?"
"Sesungguhnya manisnya pahala membuat aku lupa akan pahitnya rasa sakit," jawabnya menatap.

 Bersabarlah, Karena Stok Sabar Tak Akan Habis


Sikap orang Mukmin, jika mendapatkan kelapangan hidup, ia pun bersyukur, jika ditimpa kesukaran
ia bersabar. KITA sering mendengar ungkapan “kesabaran saya sudah habis” atau “sabar itu ada
batasnya”. Ungkapan ini seolah sudah menjadi tameng bagi segenap orang untuk melampiaskan
nafsu amarah yang bercokol dalam diri mereka, atau minimal dijadikan alasan untuk mendapatkan
pemakluman agar segala tindakannya yang membabi buta dibenarkan oleh orang lain.

Misalkan, seorang guru atau orangtua menghadapi putra/putrinya yang susah diatur. Setelah
dinasehati berkali-kali, namun tetap saja tidak ada perubahan. , akhirnya terucaplah “kalimat
ampuh” tersebut untuk bertindak kasar ke pada mereka. “Kamu ini sudah dinasehati berkali-kali,
masih saja bandel. Kesabaran saya sudah habis gara-gara kamu. Ingat, kesabaran seseorang itu ada
batasnya,” damprat mereka.

Bahkan, tidak jarang setelah marah dengan verbal, diikuti pula dengan tindakan fisik.

Sekalipun apa yang ditulis di atas hanyalah sebuah ilustrasi, namun realitasnya tidak sedikit orang
telah mempraktekkannya. Tidak hanya dalam menghadapi masalah keluarga, terhadap
permasalahan sosial pun hal ini kerap terjadi.

Yang lebih membahayakan kalau kalimat-kalimat tersebut diarahkan kepada Allah. Kadangkala ada
orang yang merasa Allah telah menzaliminya dengan ujian yang dia anggap telah berada di atas
kemampuannya. Yang memprihatinkan, adegan semacam ini sering sekali menjadi tontonan
masyarakat melalui film-film ataupun sinetron-sinetron di layar kaca.

Benarkah tindakan semacam ini? Bagaimana sikap yang benar dalam menyikapi suatu
permasalahan/ujian agar justru mengundang rahmat Allah di dalamnya?

 Sabar Itu Jamu


Sabar adalah satu kata yang sangat ringan diucapkan, namun sukar untuk dilaksanakan. Setiap orang
mampu untuk mengutarakannya. Namun, apakah dia juga kuasa melaksanakannya? Belum tentu.
Hal ini masih dibutuhkan pembuktian.

Namun, yang perlu kita perhatikan, bahwa sabar merupakan cara ampuh dalam menghadapi segala
permasalahan dengan bijak. Sebaliknya, sikap reaktif memandang suatu permasalahan bisa
membuat kita bertindak gegabah, bahkan tidak jarang justru semakin memperkeruh permasalahan.

Kisah Nabi Ishaq yang mengatakan “Fa-shabrun jamiil” (maka kesabaran yang baik itulah
(kesabaranku)), ketika anak-anaknya mengabarkan kehilangan Yusuf dan Bunyamin, bisa kita jadikan
teladan. Dengan kesabarannya itu pada akhirnya Allah mengembalikan Nabi Yusuf dan Bunyamin
kepada Nabi Ishaq.
Kita bisa membayangkan, apa yang terjadi sekiranya Nabi Ishaq marah-marah, bahkan mengusir
anaknya dari tempat tinggal mereka. Dia tentu akan rugi dua kali. Pertama, dia sudah kehilangan
Yusuf dan Bunyamin; Kedua, dia akan bermasalah dengan anak-anaknya yang lain.

Teladan ini lah yang perlu kita contoh dan dijadikan rujukan dalam menghadapi permasalahan.
Sejalan dengan itu ada pribahasa Arab yang menyatakan bahwa sabar adalah solusi dari
permasalahan: “Ash-Shabru yu’iinu ‘alaa kulli ‘amalin” (Kesabaran itu membantu setiap pekerjaan).

Dengan demikian, tidak seharusnya kita kehabisan stok sabar. Justru yang seharusnya kita upayakan
adalah senantiasa memupuk dan memupuk sifat sabar dalam diri, bukan memanjakan emosi
sehingga seolah-olah berada di titik akhir kesabaran.

Orang yang tak kehabisan kesabarannya adalah orang yang istimewa dan luar biasa. Orang yang
demikian mendapat pujian dari Rasulullah, “Sungguh menakjubkan keadaan orang mukmin itu,
karena sesungguhnya semua keadaannya itu merupakan kebaikan baginya dan kebaikan yang
sedemikian itu tidak dapat diperoleh melainkan hanya oleh orang mukmin saja, yaitu apabila ia
mendapatkan kelapangan hidup, ia pun bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan baginya. Sedangkan
apabila ia ditimpa oleh kesukaran—yakni yang merupakan musibah—ia pun bersabar dan hal ini pun
adalah merupakan kebaikan baginya." (Riwayat Muslim).

Namun, yang menjadi catatan besar dalam permasalahan sabar di sini, bukan berarti pasrah,
menerima apa adanya. Hal yang demikian ini bukan merupakan sifat sabar, namun lebih kepada
keputusasaan.

Jadi sabar itu, kita harus ridha dengan apa yang kita terima, namun juga harus berikhtiar semaksimal
mungkin untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Kembali kepada kasus Nabi Ishaq, beliau
tidak hanya mengatakan “Fashabrun jamiil”, namun beliau juga melakukan suatu aksi kongkrit untuk
mencari anak-anaknya yang hilang, dengan memerintahkan anak-anaknya yang lain menyebar,
mencari tahu keberadaan dua anaknya yang hilang. Bahkan, beliau memberi ultimatum untuk tidak
kembali ke rumah terlebih dahulu, sebelum mereka berdua ditemukan.

Dengan izin Allah, pada akhirnya kedua anaknya tersebut ditemukan. Poin yang bisa kita ambil,
bahwa sabar itu bukan berarti pasrah dengan keadaan, harus diiringi dengan perjuangan mengatasi
masalah, diakhiri dengan sikap tawakkal dan ridha terhadap ketetapan Allah.

Fahami Hakikat Kehidupan

Untuk mencapai singgasana sabar dengan mulus, ada beberapa hal yang harus diperhatikan
sehingga semakin menguatkan kita untuk senantiasa bersabar dalam menghadapi segala hal.
Pertama, pahami bahwa hidup di dunia ini adalah ujian. Segala macam kondisi yang kita rasakan,
senang, susah, bahagia atau sengsara, semuanya adalah ujian.

Kedua, yakinlah bahwa Allah Maha Melihat, dan Dia Maha Mengetahui sejauhmana kemampuan
seorang hamba menerima cobaan darinya. Karena Allah tidak pernah menguji hamba-Nya di atas
kemampuan mereka.

Terakhir, yakinilah bahwa di luar diri kita terdapat orang-orang yang memiliki beban hidup jauh lebih
berat daripada yang kita pikul, dan tidak sedikit dari mereka mampu keluar dari lingkaran
permasalahan mereka masing-masing. Jadi optimislah bahwa kita sendiri pun akan mampu melewati
rintangan yang tengah kita hadapi.

BAB III

PENUTUP

2.2. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini, yaitu :

1. Sabar adalah menahan diri dari kesusahan dan menjaga lisan dari celaan, serta menahan anggota
badan dari berbuat dosa.

2. Keutamaan sabar: Allah menyebutkan orang-orang yang sabar dengan berbagai sifat dan
menyebutkan kesabaran dalam al-Qur’an lebih dari sembilan puluh tempat

3. Macam-macam Sabar:
- Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah SWT
- Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah SWT
- Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah SWT
4. Penerapan Sabar:
- Obat Sabar dan Hal yang Diperlukannya
- Rahasia Syukur, Sabar, dan Istighfar
- Belajar Sabar dalam Menghadapi Kesulitan
- Bersabarlah, Karena Stok Sabar Tak Akan Habis
- Sabar Itu Jamu

2.3. Saran
Pada dasarnya manusia memiliki potensi untuk mengembangkan sikap sabar dalam hidupnya. Sabar
tidak identik dengan kepasrahan dan menyerah pada kondisi yang ada, atau identik dengan
keterdzoliman. Justru sabar adalah sebuah sikap aktif, untuk merubah kondisi yang ada, sehingga
dapat menjadi lebih baik dan baik lagi. Oleh karena itu, marilah secara bersama kita berusaha untuk
menggapai sikap ini. Insya Allah, Allah akan memberikan jalan bagi hamba-hamba-Nya yang
berusaha di jalan-Nya. Aamiin.

Referensi:

 www.hidayatullah.com

 Indahnya Sabar, Majalah Hidayatullah

 Sederhana Itu Indah, Penerbit: Republika

 Mensucikan Jiwa, Penulis: Said bin Muhammad Daib Hawwa


AJARAN ILMU AGAMA ISLAM SAYA DARI DULU HINGGA SEKARANG
Saya merupakan anak kedua dari 3 bersaudara. Dimana saya terlahirkan dari 2
keluarga yang berbeda agama. Agama dari keluarga ibu saya itu Islam, dan agama dari
keluarga ayah saya itu rata-rata Kristen. Nah, sampai sekarang ini saya hidup dan dibesarkan
oleh 2 keluarga yang berbeda keyakinan ini. Mungkin dahulu saya tidak mengerti apa yang
dimaksud dengan agama, namun setelah beranjak remaja seperti sekarang ini saya mulai
memahami apa arti dari agama yang saya yakini sekarang yaitu agama Islam. Di dalam
agama Islam saya mempelajari arti kehidupan yang sebenarnya, dimana semua yang ada
didunia ini bersumber oleh satu pencipta yaitu Allah SWT. Tuhan itu ada dan Tuhan itu
tunggal, karena mejemuk merupakan suatu kelemahan.
Dulu sebelum saya mempelajari ajaran ilmu Islam, kelakuan saya sangat tidak
manusiawi. Dimana saya bertindak semaunya, selalu terpancing oleh emosi yang berkoar-
koar dan lebih mementingkan diri saya sendiri. Namun setelah saya lebih memahami sedikit
tentang apa arti Islam sebenarnya, sifat buruk saya sedikit demi sedikit mulai saya hilangkan.
Karena saya mulai menyadari semua kekuatan yang saya bisa kendalikan bersumber dari
Sang Pencipta, yaitu Allah SWT. Dan semua yang bersumber dari Allah akan kembali juga
kepada Allah SWT. Maka tidak sepatutnya semua yang diberikan oleh Allah SWT. untuk
saya itu saya pergunakan ke jalan yang dibenci oleh Allah SWT.
Ibu saya hanya mengajarkan tentang keislaman sesuai dengan apa yang orang
terdahulu saya ajarkan. Ibu saya tidak pernah menuntut ataupun memaksa saya jika berbicara
tentang ajaran Islam, karena menurutnya Islam itu merupakan keyakinan atau ajaran agama
yang tidak memaksakan. Setelah mempelajari ajaran Islam, saya bisa merasakan dimensi
religious – spiritual. Dimana sebenarnya kita itu membutuhkan agama beserta
pengamalannya. Dalam Bahasa sansekerta, Agama serasal dari kata A yang berarti tidak dan
Gama yang berarti kacau. Sehingga dapat disimpulkan agama itu tidak kacau. Dan hal yang
membuat saya sangat yakin akan ajaran Islam ini karena semua yang termuat dalam kitab
suci Al- Qur’an terjadi dan terbukti nyata adanya dalam dunia ini.
Mungkin ajaran tentang ilmu agama Islam saya masih sangat kurang sampai saat ini,
sehingga saya lebih ingin memperdalam ilmu saya tentang agama Islam dan mengamalkan
ajarannya.

Anda mungkin juga menyukai