Penyunting:
Roy Thaniago
Yovantra Arief
Tim Peneliti:
Moh. Ismail
Hani Sukma Adji
Akfin Risqiantine
Grace Esther
Nadia Silvarani
Rayhana Anwarie
Setyo Manggala Utama
Yulia Angraini
Peneltian ini merupakan hasil kerja Divisi Penelitian Remotivi. Materi tayangan televisi yang digu-
nakan untuk keperluan analisis diperoleh dari rekaman yang dilakukan Remotivi, dan sebagian
kecil lainnya didapat dari Komisi Penyiaran Indonesia. Penelitian ini terselenggara atas dukungan
Dewan Pers.
Kecuali dinyatakan berbeda, seluruh isi laporan ini dilindungi dengan lisensi Creative Common
Attribution 3.0.
Remotivi adalah sebuah inisiatif warga untuk kerja pemantauan tayangan televisi di Indonesia.
Cakupan kerjanya turut meliputi aktivitas pendidikan melek media, penelitian, dan advokasi,
yang bertujuan (1) mengembangkan tingkat kemelekmediaan masyarakat, (2) menumbuhkan,
mengelola, dan merawat sikap kritis masyarakat terhadap televisi, dan (3) mendorong profe-
sionalisme pekerja televisi untuk menghasilkan tayangan yang bermutu, sehat, dan mendidik.
I. LATAR BELAKANG
I
ndependensi media adalah syarat bagi berlangsungnya sebuah
demokrasi yang berkualitas. Menyongsong pesta demokrasi Pemilu 2014,
independensi media kian dibutuhkan publik. Sebab, tanpa adanya media
yang menyajikan informasi yang berkualitas, berimbang, dan akurat, maka
publik berpotensi tidak mampu mengambil keputusan yang tepat dalam
kehidupannya sebagai warga negara. Namun faktanya kita tahu, dibalik segala
teori normatif media, realitasnya media tak pernah begitu saja bisa terpisah
dari kepentinganekonomi dan politik, sebagaimana minyak terpisah dari air.
Kenyataan tersebut terutama bisa disimak pada masa menjelang pemilihan
umum, dimana media massa kerap digunakan sebagai sarana kampanye
politik.
Media hari ini berada di dalam tegangan kekuatan-kekuatan politik yang ada.
Salah satu media yang berada dalam arus politik yang kuat adalah televisi.
Sebagai media yang menjangkau publik paling luas, peran televisi sentral dalam
mengenalkan figur ataupun partai politik pada publik. Inilah mengapa televisi
dan berita televisi khusus jadi ruang pertarungan politik untuk memperebutkan
hati publik. Hubungan tegak lurus antara masifnya kampanye politik di media
terhadap keputusan politik warga negara pada Pemilu telah dibuktikan lewat
berbagai penelitian, seperti yang terjelaskan pada nukilan berikut:
Riset yang dilakukan Institut Studi Arus Informasi (ISAI), TIFA, dan
Media Development Loan Fund pada Pemilu 2004 menunjukkan bahwa
frekuensi kemunculan seorang politikus di media berbanding lurus
dengan jumlah perolehan suara rakyat. Begitu pula riset ISAI dan TIFA
lima tahun kemudian, yakni pada Pemilu 2009. Kemenangan pasangan
SBY-JK pada 2004 dan SBY-Boediono pada 2009 dilatari oleh aktivitas
tampil di media dengan jumlah terbanyak. Maka bisa jadi: kemenangan
politik bermula dari kemenangan menguasai media (Roy Thaniago,
Koran Tempo, 26 Juli 2013).
Peran penting media sebagai sarana kampanye politik bagi elit dan harapan
normatif media sebagai sarana informasi yang jernih bagi publik dalam proses
demokrasi membuat pentingnya upaya mengawal independensi media. Umum
diketahui, beberapa grup usaha media dimiliki oleh orang-orang yang terafiliasi
langsung dengan partai politik tertentu, dan ini yang memunculkan pertanyaan:
munginkah media mampu menghadirkan informasi yang jernih bagi publik
dalam situasi demikian? Bertumpu pada kerangka pemikiran demikianlah,
penelitian ini dilakukan dengan tujuan memotret aktivitas televisi menjelang
Pemilu 2014. Dalam upaya ini, penelitian ini menjadikan 6 stasiun televisi
02 Independensi Media Remotivi, 2014
Pertanyaan Penelitian
• Berapa banyak (frekuensi) dan lama (durasi) tokoh dan partai politik
muncul di siaran produk non-berita, baik kehadirannya langsung, secara
simbolik, maupun sebagai pembicaraan?
• Dalam produk non-berita, dalam bentuk dan tema macam apa saja
tokoh dan partai politik muncul di siaran televisi, baik kehadirannya
secara langsung, simbolik, maupun sebagai pembicaraan?
1. Objek amatan
• 6 stasiun televisi
Karena itu penelitian ini mengamati stasiun televisi yang mewakili grup
usaha atau kepemilikan, yaitu: RCTI (MNC Group), SCTV (EMTEK Group),
Trans TV (Trans Corp), TV One (Viva News), dan Metro TV (Media Group).
Tokoh politik yang menjadi subjek dalam penelitian ini mengacu kepada
hasil survey majalah Indonesia 2014 mengenai 36 tokoh yang dinilai
berpeluang menjadi calon presiden (capres) pada 2014. Pilihan untuk
menggunakan data Indonesia 2014 sebagai acuan adalah karena
versi ini yang paling akomodatif. Ini berbeda dari hasil lembaga survei
yang, selain terus menerus berubah (sehingga tokoh yang bisa dilihat
sangat terbatas), kerapkali memiliki hasil yang relatif terhadap pemesan
survei. Sebagai contoh, pada saat penelitian dimulai, November 2013,
belum banyak pihak yang mendeklarasikan diri maju sebagai capres.
Sementara itu, kita tahu bahwa dinamika politik bergerak amat cepat.
Mereka yang hari ini bukan calon, dalam satu atau dua minggu bisa jadi
calon. Itulah alasan kami menjatuhkan pilihan pada data versi Indonesia
2014 Beberapa dari 36 nama ini memang terbilang tidak mungkin lagi
untuk maju pada pemilihan presiden, seperti Anas Urbaningrum dan
Luthfi Hasan Ishaaq yang terjerat kasus korupsi. Namun demi taat azas
metodologi, maka tetap dihitung tiap kemunculannya di televisi.
04 Independensi Televisi Remotivi, 2014
Namun, melihat proporsi ruang saja tidak cukup. Pasalnya bisa jadi
ada partai atau capres yang banyak diberitakan (juga ditonjolkan) tapi
dengan isu dan bingkai pemberitaan yang negatif. Dengan demikian,
pemberian porsi yang besar itu tidak selalu berarti positif. Itu artinya
dibutuhkan variabel lain untuk mengukur independensi selain
proporsi ruang (frekuensi, durasi, dan durasi penonjolan), yaitu “nada
pemberitaan”.
• Populasi data
310 buah berita dengan durasi 64.810 detik, 215 spot iklan, dan 98
titik kemunculan dalam program non-jurnalistik.
2. Definisi Operasional
• Frekuensi
Frekuensi dihitung berdasarkan tiap kemunculan kontestan politik
dalam setiap item berita, iklan, dan non-berita.
• Durasi
Durasi adalah lama waktu tayang sebuah berita, iklan, dan non-
berita(hitungan detik) dalam memunculkan tokoh dan partai politik.
[1] Contoh paling fenomemal mengenai medium kuis sebagai sarana kampanye, bisa dilihat
pada Kuis Kebangsaan yang tayang di RCTI dan Indonesia Cerdas di Global TV. Kuis ini merupa-
kan sarana kampanye Partai Hanura,calon legislatifnya, dan capres-cawapresnya, Wiranto dan
Hary Tanoesoedibjo.
[2] Heychael, Muhamad dan Roy Thaniago. Ketika Televisi Peduli: Potret Dilematis Filantropi
Media. Jakarta: Remotivi, 2012.
TOKOH DAN PARTAI POLITIK DALAM PRODUK BERITA 07
P
ada bagian ini, pemaparan akan difokuskan pada pembicaraan
mengenai kemunculan tokoh politik pada produk berita. Pertama-
tama akan ditampilkan data umum yang diperoleh dari enam
stasiun televisi. Ini untuk melihat gambaran besar hiruk-pikuk media
dalam memunculkan tokoh-tokoh. Baru setelah itu pemaparan data akan
dilanjutkan dalam tiap stasiun televisi.
Berdasarkan data total dari enam stasiun televisi, Joko Widodo (Jokowi)
adalah tokoh yang durasi pemberitaannya paling tinggi (9.557 detik). Tapi,
dari sisi “durasi penonjolan”, Jokowi hanya mendapat 1.479 detik, atau
nomor kedua setelah Surya Paloh. Tokoh yang paling banyak memperoleh
“durasi penonjolan” adalah Surya Paloh (2.745 detik), dan 90% durasi
penonjolan tersebut terjadi di Metro TV, stasiun televisi miliknya.
Durasi tertinggi kedua diperoleh oleh Surya Paloh (6.575 detik), yang
sebagian besar ditayangkan dari Metro TV, lalu menyusul Mahfud MD di
urutan ketiga (6.562). Sekadar catatan, ketika penelitian ini berlangsung
di awal November 2013, media kita sedang ramai memberitakan
[3] Dari 36 tokoh yang menjadi subjek penelitian ini, hanya 20 orang yang mendapat porsi
pemberitaan selama periode penelitian. 16 sisanya sama sekali luput dari pemberitaan, dan
mereka adalah Megawati Soekarno Putri, Sutiyoso, Endiartono Sutanto, Yusril Ihza Mahendra,
Agus Martowardojo, Anies Baswedan, Chairul Tandjung (satu-satunya pemilik media yang tidak
mendapat porsi pemberitaan), Djoko Suyanto, Irman Gusman, Prabowo Subianto, Pramono Edhie
Wibowo, Puan Maharani, Rizal Ramli, Sri Mulyani Indrawati, dan Sri Sultan Hamengkubuwana X.
08 Independensi Televisi Remotivi, 2014
[4]
[5]
[6]
TVRI
[4] Persentase lima tokoh politik ini dihitung dari total durasi penonjolan semua tokoh politik di
6 stasiun televisi yang jumlah totalnya sepanjang 7.325 detik.
[5] Persentase dihitung berdasarkan berita postif yang diperoleh masing-masing tokoh politik
berbanding dengan total seluruh berita bernada positif di 6 stasiun televisi yang jumlahnya 55
buah.
[6] Persentase dihitung berdasarkan pada berita negatif yang diperoleh masing-masing tokoh
politik berbanding total seluruh berita bernada negatif di 6 stasiun televisi yang jumlahnya 40
buah.
10 Independensi Televisi Remotivi, 2014
SCTV
[7] [8]
RCTI
RCTI memberikan durasi tayang berita yang cukup banyak untuk Jokowi,
yakni 1.048 detik. Hari Tanoesoedibjo, pemilik RCTI sekaligus tokoh
Hanura berada di urutan kedua, dengan durasi 518 detik. Muhaimin
Iskandar berada di urutan ketiga (314 detik). Jokowi tetap mendapatkan
durasi penonjolan terbanyak, yakni sepanjang 133 detik. Hary
Tanoesoedibjo adalah tokoh kedua yang ditonjolkan paling banyak (119
detik). Yang menarik adalah, hanya RCTI yang mempunyai durasi berita
dan durasi penonjolan berita untuk Hary Tanoesoedibjo. Selain RCTI,
tidak ada stasiun TV yang menjadikan Hary Tanoesoedibjo sebagai subjek
berita.
[9] [10]
Trans TV
[9] RCTI hanya memiliki dua berita positif. Satu untuk Muhaimin Iskandar dan satu lagi untuk
Hary Tanoesoedibjo.
[10] RCTI hanya memiliki dua berita negatif dan semuanya untuk Muhaimin Iskandar.
TOKOH DAN PARTAI POLITIK DALAM PRODUK BERITA 13
TV One
Meski porsi ruang diberikan TV One kepada Bakrie tidak begitu besar,
namun semua berita mengenai pemilik TV One itu bernada positif.
Bakrie adalah tokoh yang paling banyak diberitakan secara positif oleh
TV One. Ini jelas berbeda dengan Jokowi, yang meski meraih frekuensi
pemberitaan paling banyak, banyak juga pemberitaan di antaranya
bernada negatif. Jokowi adalah tokoh yang paling banyak diberitakan
secara negatif oleh TV One. Hal yang kurang lebih sama terjadi dengan
Mahfud MD. Banyaknya durasi penonjolan terhadap dirinya juga
berbanding lurus dengan nada pemberitaan negatif mengenainya.
Metro TV
Surya Paloh juga adalah tokoh yang paling banyak diberitakan secara
positif di Metro TV. Dari 17 berita mengenainya, 12 di antaranya bernada
positif dan 5 lainnya bernada netral. Sementara tiga tokoh lainnya, yaitu
Hidayat Nur Wahid, Mahfud MD, dan Lutfhi Hasan Ishaaq, merupakan tiga
teratas tokoh yang paling banyak diberitakan dengan isu korupsi. Hidayat
Nur Wahid diberitakan melalui kasus korupsi suap impor daging sapi yang
sedang mendera petinggi Partai Keadilan Sejahtera, Luthfi Hasan Ishaaq.
Sementara Mahfud MD terkait dengan isu korupsi di tubuh Mahkamah
Konstitusi yang dilakukan oleh Akil Mochtar.
TOKOH DAN PARTAI POLITIK DALAM PRODUK BERITA 15
16 Independensi Televisi Remotivi, 2014
Hal yang menarik dalam pemberitaan mengenai partai politik selama awal
November 2013 adalah SCTV dan Trans TV merupakan dua stasiun televisi
yang tidak pernah menayangkan berita, iklan, dan program non-berita
yang memunculkan partai politik. Sementara Metro TV adalah stasiun
televisi yang paling banyak menayangkan berita, iklan, dan non-berita
yang memunculkan partai politik.
Di Metro TV, paling tidak ada 5 kali berita dengan judul “Gerakan
Perubahan” dan 3 kali berita berjudul “Gerakan Restorasi Indonesia”(6 dan
7 November 2013). Kedua judul tersebut, sama dengan slogan Nasdem.
Model pemberitan semacam ini berpotensi mengaburkan batas antara “judul
sebuah berita” dan “slogan partai”.
Hal lain yang patut dicatat datang dari TV One. Pada 3 November 2013
stasiun televisi milik keluarga Bakrie ini menayangkan Mubes Kosgoro
sebagai berita. Lalu pada 5 November 2013 TV One menayangkan
peringatan 1 Muharram 1435 Partai Golkar, dan pada 7 November 2013
menayangkan berita berjudul “Pemenangan Golkar”. Hal ini patut dicatat
sebab ketiga berita tersebut isinya bersifat amat internal partai Golkar, yang
barangkali tidak bersangkut-paut dengan publik tersebut.
TVRI
Perolehan berita bernada positif tersebar dengan tidak ada satu parpol
pun yang dominan. Dari total 12 berita bernada positif di TVRI, tiga
partai meraih dua berita bernada positif, yaitu Nasdem, PDIP, dan
Gerindra. Sementara sisanya masing-masing satu berita. Sedangkan,
parpol paling banyak diberitakan secara negatif adalah PKS. Dari 9
berita bernada negatif, PKS memperoleh 4. Keempatnya berkisar
mengenai kasus korupsi suap impor daging sapi yang tengah menimpa
petinggi PKS.
18 Independensi Televisi Remotivi, 2014
RCTI
[11]
[12]
TV One
[13]
[14]
Metro TV
[13] Hanya ada lima berita bernada positif di TV One, dengan perincian sebagai berikut: Golkar
(3), PKS (1), dan Demokrat (1).
[14] Hanya ada 8 berita bernada negatif di TV ONE, dan 4 diantaranya berita soal Demokrat.
TOKOH DAN PARTAI POLITIK DALAM PRODUK BERITA 21
22 Independensi Televisi Remotivi, 2014
D
ari lima tokoh yang mengiklankan diri di televisi nasional, Bakrie
tercatat sebagai tokoh politik yang paling sering beriklan, yakni
sebanyak 152 kali selama satu minggu dengan durasi 6.060
detik di TV One. Durasi itu 10 kali lipat dari durasi kemunculan berita
tentangnya di stasiun televisi miliknya tersebut.
Wiranto adalah tokoh politik dengan durasi iklan terbanyak kedua (5.685
detik). Ia beriklan 38 kali di Metro TV dan 66 kali di RCTI, stasiun televisi
milik Hary Tanoe, calon wakil presiden Hanura. Dalam hal durasi, iklan
Wiranto di Metro TV (2.963 detik) lebih banyak ketimbang di RCTI (2.722
detik). Sementara itu, tokoh politik ketiga yang mempunyai durasi iklan
paling banyak adalah Hary Tanoesoedibjo, yakni sebanyak 2.693 detik
dari 66 kali kemunculannya di RCTI. Berbeda dari Wiranto yang sesekali
muncul sendiri (dalam iklan di Metro TV), di RCTI iklan Wiranto selalu
bersandingan dengan pasangannya, Hary Tanoesoedibjo. Itulah mengapa
frekuensi kemunculan iklan keduanya di RCTI berjumlah sama, yaitu 66
kali.
Sementara itu, tokoh politik yang tidak memiliki stasiun televisi, seperti
Gita Wirjawan dan Marzuki Alie, hanya mempunyai frekuensi dan durasi
yang sedikit untuk iklan. Artinya, dalam iklan, kepemilikan media turut
mempengaruhi banyaknya frekuensi dan durasi tokoh politik muncul di
televisi. Yang menarik pada kasus Marzuki Alie, iklan yang dimaksud di
sini bukanlah iklan politik sebagaimana dilakukan oleh tokoh-tokoh lain,
melainkan iklan produk “Maspion” yang ia bintangi. Penelitian ini tetap
mencatatnya sebagai sebentuk iklan, sekadar agar taat azas metodologi.
Apalagi patut dicatat bahwa dalam era politik media hari ini, kemunculan
di televisi dalam bentuk apapun bisa jadi keuntungan politik, karena
frekuensi muncul dalam televisi berarti juga memperoleh kesempatan
lebih besar untuk diingat oleh publik.
TOKOH DAN PARTAI POLITIK DALAM IKLAN 23
Hal yang menarik adalah bahwa dalam seminggu hanya tiga partai
tersebut yang beriklan di televisi. Ketiganya pun hanya beriklan di
stasiun yang dimiliki oleh petinggi partai tersebut. Ini menguatkan
dugaan bahwa dalam hal iklan politik, kepemilikan atas televisi
menentukan kesempatan beriklan di televisi.
24 Independensi Televisi Remotivi, 2014
R
CTI menayangkan Kuis Kebangsaan selama 14 kali dalam
seminggu. Dalam kuis ini menampilkan Partai Hanura dan/atau
Wiranto-Hary Tanoesoedibjo baik riil maupun hanya simbol. Selain
itu, terdapat program Sejuta Kisah Mahfud MD yang menampilkan
Mahfud MD dan ditayangkan setiap hari sekali. Data ini menempatkan
RCTI sebagai televisi yang paling banyak memuat tokoh politik, dalam hal
ini pemiliknya, dalam program non-berita.
[16]
[17]
[18]
[15] Untuk program non-berita, kami hanya menghitung jumlah frekuensi kemunculan tokoh
dan partai politik, tanpa mengkalkulasi durasinya. Hal ini terutama akibat dari kesulitan teknis
coding untuk melokalisir durasi kemunculan dalam format tayangan seperti sinetron, reality
show, kuis dan banyak lainnya, yang sering kali terjadi secara acak. Untuk menghindari kemung-
kinan eror, kami memutuskan untuk hanya menghitung frekuensi kemunculan.
[16] Kemunculan tokoh capres dan atau partai politik dalam sebuah program non –berita yakni
ketika seorang tokoh capres dan parpol (baik nama, slogan, term yang menggantikan misalnya
“Win-HT” atau figure yang berasal dari parpol tersebut) muncul dalam tayangan. Pada prak-
tiknya, pada satu tayangan kuis misalnya: setiap kemunculan sebagaimana definisi di atas,
kami hitung sebagai satu. Dan pada sebuah program umumnya terjadi lebih dari satu kali kemun-
culan dan bahkan hingga mencapai puluhan.
[17] Mahfud MD memiliki tayangan di RCTI yang berjudul Sejuta Kisah Mahfud MD. Tayang
seminggu sekali dengan durasi 4-5 menit. Tayangan ini berisi kisah-kisah inspiratif yang dib-
awakan Mahfud MD, seperti: “Salahudian dan Suportivitas”, “Toleransi Sebagai Ajaran Agama”,
dll.
[18] Din Syamsudin muncul di Hot Shot dan Halo Selebriti.
TOKOH DAN PARTAI POLITIK DALAM PRODUK NON-BERITA 25
Setidaknya ada dua hal yang patut dicatat terkait kemunculan partai
politik dalam program non-berita. Pertama, hanya ada dua televisi
yang memuat partai politik dalam program non-berita yaitu; TV One dan
Metro TV. Kedua, Demokrat adalah partai yang paling banyak mendapat
porsi penayangan, yang sebagian besar disumbang TV One (sebanyak
8 tayangan dari total 9 tayangan). Kebanyakan adalah talkshow TV One
seperti Debat, Berita Parlemen, Indonesia Lawyers Club, Talkshow Apa
Kabar Indonesia, dll. PDIP menduduki urutan kedua dengan 7 tayangan.
Pada posisi tiga ada Nasdem dengan 3 tayangan. Kemunculan Nasdem
terdapat pada program Indonesia Bersuara (tgl 4 dan 6 November) serta
Forum Indonesia (7 November) yang membahas soal spionase Amerika
Serikat di Indonesia serta menampilkan pembicara dari Partai Nasdem.
26 Independensi Televisi Remotivi, 2014
VI. KESIMPULAN
S
urya Paloh adalah pemilik stasiun televisi yang paling masif
menjadikan media miliknya sebagai sarana politik. Hal ini bisa
diidentifikasi dari empat hal.
Pertama, Surya Paloh adalah pemilik stasiun televisi yang paling masif
memberitakan dirinya sendiri. Metro TV menayangkan 15 judul berita
dengan durasi 6297 detik mengenai Surya Paloh (dari durasi tersebut
sebanyak 2745 detik memberi penonjolan padanya). Dari jumlah
tersebut, 10 berita bernada positif dan lima lainnya netral. Kedua,
frekuensi pemberitan Partai Nasdem di Metro TV adalah yang kedua
tertinggi setelah partai Golkar, yaitu 21 kali.
Aburizal Bakrie, selaku Ketua Umum Golkar dan sekaligus pemilik TV One,
memang tidak banyak mendapat porsi pemberitaan di televisi miliknya
(hanya 7 kali). Namun ini bukan berarti TV One adalah stasiun TV yang
independen. Sebab, dari 7 berita mengenai Bakrie enam bernada positif
dan satu sisanya netral. Bakrie adalah tokoh politik dengan nada berita
positif tertinggi di TV One. Hal yang sama terjadi pada partai Golkar
yang diketuai oleh Bakrie. Partai itu mendapat porsi pemberitaan positif
tertinggi di TV One, 60% dari total seluruh berita positif. Sebaliknya, pada
partai lain yang merupakan lawan politik pemilik, TV One Cenderung
memberitakannya secara negatif. Hal ini ditandai dengan fakta bahwa
Partai Demokrat mendapat pemberitaan negatif tertinggi di TV One (50%
dari seluruh berita negatif di TV One).
KESIMPULAN 27
Fakta lain adalah, meski tidak masif diberitakan, frekunsi dan durasi iklan
politik Aburizal di TV One merupakan yang tertinggi yaitu: 152 kali dengan
durasi 6060 detik. Jumlah ini merupakan frekuensi dan durasi iklan tokoh
politik tertinggi sepanjang awal November di semua stasiun televisi. Hal
ini bisa diartikan bahwa Aburizal Bakrie memilih jalan yang berbeda dari
Surya Paloh. Bakrie lebih banyak menggunakan saran iklan ketimbang
berita. Ini konsisten dengan data frekuensi iklan politik partai Golkar di TV
One yang mencapai 49 kali. Bakrie dan Partai Golkar menggunakan 201
Spot di TV One untuk beriklan sepanjang 1-7 November.
Heychael, Muhamad dan Roy Thaniago. Ketika Televisi Peduli: Potret Dilematis
Filantropi Media. Jakarta: Remotivi, 201
Thaniago, Roy. 2013. “Mewaspadai Televisi di Tahun Politik”. Koran Tempo, 26 Juni
2013.
Meier, A Mewer, “Media Ownership Does it Matter?”, dalam Networking Knowledge for
Information Societies: Institutions & Intervention, diedit oleh Robin Mansell, Ro-
han Samarajiva dan Amy Mahan, 2002: Delft University Press. http://lirne.net/
resources/netknowledge/meier.pdf
http://www.indonesia-2014.com/majalah
INDEPENDENSI TELEVISI
MENJELANG PEMILU PRESIDEN
2014
Ketika Media Jadi Corong Kepentingan
Politik Pemilik (Bag. 2)
Muhamad Heychael
INDEPENDENSI TELEVISI MENJELANG PEMILU PRESIDEN 2014:
Ketika Media Jadi Corong Kepentingan Politik Pemilik (Bagian 2)
Muhamad Heychael
©Remotivi, 2014
Penyunting:
Roy Thaniago
Yovantra Arief
Tim Peneliti:
Fina Azmiya
Grace Esther
Ika Prahasti Nuriana
Nadia Hanum
Nadia Silvarani
Rayhana Anwarie
Setyo Manggala Utama
Perdana Putri
Infografik:
Ellena Ekarahendy
Peneltian ini merupakan hasil kerja Divisi Penelitian Remotivi. Materi tayangan televisi yang digunakan untuk
keperluan analisis diperoleh dari rekaman yang dilakukan Remotivi, dan sebagian kecil lainnya didapat dari
Komisi Penyiaran Indonesia. Penelitian ini terselenggara atas dukungan dana Yayasan Tifa.
Kecuali dinyatakan berbeda, seluruh isi laporan ini dilindungi dengan lisensi Creative Common Attribution 3.0.
Remotivi adalah sebuah inisiatif warga untuk kerja pemantauan tayangan televisi di Indonesia. Cakupan
kerjanya turut meliputi aktivitas pendidikan melek media, penelitian, dan advokasi, yang bertujuan (1)
mengembangkan tingkat kemelekmediaan masyarakat, (2) menumbuhkan, mengelola, dan merawat sikap
kritis masyarakat terhadap televisi, dan (3) mendorong profesionalisme pekerja televisi untuk menghasilkan
tayangan yang bermutu, sehat, dan mendidik.
Keberimbangan informasi dan keadilan representasi adalah syarat bagi terwujudnya ide media
massa sebagai ruang publik. Menurut Habermas, media sebagai sarana komunikasi perlu menjadi
ruang yang setara bagi semua orang untuk mengakses informasi dan menyatakan pendapatnya
(Jones, 2009). Dalam momen-momen pemilu presidensial di Indonesia seperti sekarang ini, tuntutan
pada media untuk menjalankan fungsinya sebagai sebagai ruang publik semakin mendesak.
Tak pelak lagi, media yang independen adalah syarat mutlak bagi terpenuhinya kebutuhan akan
informasi yang berimbang dan berorientasi pada kepentingan publik. Studi ini merupakan bagian
dari rangkaian penelitian Remotivi yang bertujuan mengukur indepenpendesi stasiun televisi selama
Pemilu 2014. Penelitian sebelumnya telah diterbitkan dengan tajuk “Independensi Televisi
Menjelang Pemilu 2014: Ketika Media Menjadi Corong Kepentingan Politik Pemiliknya”.
Pada saat penelitian ini dilakukan, yakni pada 1-7 Meil 2014, terdapat lima tokoh yang sudah
dideklarasikan oleh partainya masing-masing, yakni Aburizal Bakrie (Capres Golkar), Prabowo
Subianto (Capres Gerindra), Joko Widodo (Capres PDIP), Wiranto (Capres Hanura), dan Hary
Tanoesoedibjo (Cawapres Hanura). Maka, untuk mengukur independensi tiap stasiun televisi, kami
meneliti program berita1, iklan2, dan non-berita3 berdasarkan kemunculan lima tokoh politik
tersebut.
Dalam program berita, kami mencatat kehadiran tokoh politik melalui tiga variabel, yaitu:
“frekuensi”4, “durasi”5, dan “durasi penonjolan”6. Namun, itu saja tidak cukup. Banyaknya ruang
kemunculan yang diberikan pada capres/cawapres tidak selalu menguntungkan. Sebab, untuk
mengonstruksi opini publik atas seorang tokoh politik, media kerap menggunakan bingkai
pemberitaan. Oleh karena itu, kami juga mengukur “nada pemberitaan”7.
1
Produk berita yang dimaksud dalam penelitian ini adalah program reguler berita di masing-masing stasiun
televisi. Misalnya, Liputan 6 di SCTV, Metro Pagi di Metro TV, Seputar Indonesia di RCTI, dan seterusnya.
2
Iklan dalam pengertian ini adalah commercial break yang di dalamnya memunculkan lima tokoh politik
sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Dengan definisi yang demikian, baik iklan politik maupun iklan
komersial sekalipun, jika memunculkan salah satu tokoh politik maka akan di-coding sebagai bentuk
kemunculan. Pada iklan politik kami hanya menghitung frekuensi dan durasi kemunculan.
3
Program non-berita adalah semua program di luar kategori iklan dan berita. Termasuk di dalamnya kuis,
reality show, talkshow, dan lain-lain. Pada program non-berita, kami hanya menghitung kemunculan saja
3
(frekuensi) . Seorang tokoh capres disebut muncul dalam program non-berita ketika tokoh capres tersebut
hadir atau direpresentasikan (baik dalam bentuk nama, slogan, atau term yang menggantikan, misalnya “Win-
HT”) dalam tayangan. Pada praktiknya, pada satu tayangan kuis misalnya, setiap kemunculan sebagaimana
definisi di atas, kami hitung sebagai satu. Dan pada sebuah program umumnya terjadi lebih dari satu kali
kemunculan dan meski demikian tetap kami hitung satu. Artinya, hanya mungkin satu kemunculan pada satu
program untuk tiap capres dan cawapres.
4
Frekuensi dihitung berdasarkan kemunculan tokoh politik dalam setiap item berita, iklan, dan non-berita.
5
Durasi adalah lama waktu tayang sebuah berita, iklan, dan non-berita (hitungan detik) dalam memunculkan
tokoh politik.
6
Durasi Penonjolan dalam berita adalah ketika suara (berupa kalimat yang utuh, tidak termasuk kalimat
sapaan) tokoh politik muncul di dalam tayangan visual, baik diwawancarai langsung maupun ketika sedang
berpidato atau beraktivitas lainnya.
7
Nada pemberitaan adalah bingkai yang diciptakan media atas sebuah berita melalui kata sifat yang terdapat
pada teks/audio yang dibacakan oleh pembaca berita. Bingkai pemberitaan ini yang menghasilkan nada
pemberitaan: netral, positif, dan negatif.
Terakhir, berbeda dengan penelitian terdahulu, kami menambahkan variabel “topik berita”8 untuk
melihat strategi pembingkaian dari tiap stasiun televisi atas tiap capres-cawapres. Topik juga
berguna untuk memberikan potret wacana politik kita hari ini.
Selama periode pemantauan, populasi data yang kami jadikan sampel meliputi : 512 berita berdurasi
72.879 detik, 229 spot iklan berdurasi 14.168 detik, dan 58 titik kemunculan program non-berita.
Berdasar data itulah kami melakukan analisis terhadap 11 stasiun televisi bersiaran nasional.
Sebagaimana temuan pada penelitian sebelumnya, wajah televisi pada cuaca politik seperti saat
sekarang ini tak juga berubah. Data dalam riset ini masih menunjukkan kesimpulan yang sama, yaitu
stasiun televisi yang berafiliasi dengan partai politik terindikasi menggunakan medianya bagi
kepentingan golongan. Stasiun televisi tak ubahnya buletin internal partai politik, yang hanya lancar
berbicara dari satu sisi saja. Televisi kita hari ini adalah televisi satu dimensi.
Di Metro TV, misalnya, Jokowi diberikan porsi kemunculan yang tinggi (secara frekuensi 74,4%,
secara durasi 73,9%) dengan nada yang positif (31,3%). Bandingkan dengan rivalnya, yakni Prabowo,
yang hanya mendapat 12% (frekuensi) dan 12,2% (durasi), dengan 16,7% berita bernada negatif.
Metro TV menayangkan footage Prabowo yang sedang berjoged, dalam kontrasnya dengan Jokowi
yang diliput ketika sedang bekerja atau blusukan. Temuan lain juga menunjukkan bahwa hanya
Jokowi yang beriklan di Metro TV, dengan 31 spot (100%) iklan serta durasi 931 detik (100%). Lalu,
Aburizal Bakrie, yang hari ini mendukung pencapresan Prabowo adalah tokoh yang paling banyak
diberitakan secara negatif (53,8%).
Sebaliknya, di TV One, Prabowo mendapat ruang yang dua kali lipat lebih banyak ketimbang Jokowi
(secara frekuensi 38,4%, secara durasi 38,2%). Begitupun Aburizal Bakrie, yang mendapat 39%
(frekuensi) dan 37,7% (durasi).
Yang menarik adalah, peta koalisi politik sangat menentukan peta atau arah pemberitaan masing-
masing televisi. Pergerakan media hanyalah bayangan dari pergerakan politik pemiliknya. Sebagai
misal, pada penelitian Remotivi sebelumnya (1-7 November 2013), pemberitaan atas Jokowi di
Metro TV tidak lebih dari 12% (Heychael dan Rafika, 2014:15). Ini menunjukkan bahwa media massa
hari ini hanya menjadi medium pertemuan antarsyahwat kekuasaan9.
Sementara itu, TV One dan ANTV adalah dua stasiun televisi yang memberi frekuensi pemberitaan
paling tinggi pada Aburizal Bakrie (ANTV 50% frekuensi dan TV One 39%). Dari total durasi berita 419
detik di ANTV, 26% di antaranya menonjolkan Bakrie (jumlah tersebut adalah penonjolan tertinggi di
8
Topik merupakan ide utama berita yang menjadi tema paling dominan dalam narasi. Topik ditentukan lewat
headline (judul berita) dan sub-judul. Bila pada hal tersebut belum jelas topik yang diusung, coder diminta
untuk memperhatikan narasi berita secara keseluruhan untuk mendapatkan gambaran umum mengenai tema
utama pemberitaan. Pada peneltian ini, karena beragamnya topik-topik berita yang tidak terantisipasi oleh
kategori awal yang telah dibuat, sebagian topik ditentukan secara induktif.
9
Koalisi antara PDIP dan Nasdem Baru terjadi setelah pemilahan legislatif
ANTV). Hal yang serupa juga terjadi di TV One. Dari jumlah durasi berita 11.681 detik, 12,3% di
antaranya menonjolkan Bakrie (ini adalah jumlah penonjolan tertinggi di TV One).
Statistik yang berbeda ditunjukkan oleh MNC Grup. Global TV, RCTI, dan MNC TV secara ekslusif
hanya menyiarkan iklan dan program non-berita dari pasangan Wiranto dan Hary Tanoesoedibjo. Di
Global TV, kuis Indonesia Cerdas yang memuat slogan dan atribut pasangan tersebut ditayangkan
sehari sekali. Tidak hanya sampai di situ, RCTI pun menayangkan reality show Mewujudkan Mimpi
Indonesia, yang juga memuat atribut pasangan ini. Selain lewat kuis dan reality show, mereka juga
beriklan di stasiun televisi milik MNC Group. Kalkulasi iklan mereka di tiga televisi ini mencapai 99
(100%) titik dan menghabiskan durasi 6.765 detik (100%).
Panorama di atas adalah bukti bahwa yang bertanding bukan hanya kandidat capres-cawapres,
melainkan juga media yang mengusung mereka. Pertandingan politik media ini tidak hanya diikuti
oleh dua televisi saja. Studi ini menunjukkan bahwa independensi media yang pemiliknya berafilisasi
langsung dengan partai politik punya problem dalam hal independensi. Pasalnya, proporsi
pemberitaan, iklan, dan program non-berita dari tiga kelompok bisnis media (MNC Group, Viva
Group, dan Media Group) terindikasi bias kepentingan politik pemiliknya.
Temuan-temuan di atas adalah satu tanda bahwa dalam hiruk-pikuk penyiaran politik dewasa ini,
publik diposisikan hanya sebagai penonton. Media penyiaran, yang menggunakan frekuensi publik,
telah dengan sewenang-wenang dipergunakan sebagai alat politik elit. Televisi partisan jelas
membahayakan demokrasi dan publik yang butuh informasi jernih bagi alat mengambil keputusan.
Televisi satu dimensi jelas tak akan mampu menghadirkan informasi yang utuh dan menyeluruh,
karena kemampuan itu telah lebih dulu dibunuh oleh keharusan yang lebih besar: melayani
pemiliknya.
Bias dalam dunia pertelevisian kita ini menunjukkan bahwa diskurus berita politik lebih
mementingkan kepentingan politik elit ketimbang mengakomodasi perspektif publik. Media kurang
peka dalam mengenali masalah-masalah yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Hal ini
tergambar dengan jelas dari pemilihan topik berita.
Media diharapkan mampu menyediakan informasi tentang kemampuan serta komitmen capres dan
cawapres untuk menyelesaikan persoalan publik. Namun demikian, topik-topik yang berhubungan
dengan persoalan publik tidak mendapatkan perhatian yang layak. Isu yang paling dominan selama
periode 1-7 Mei di 11 stasiun televisi bersiaran nasional adalah “koalisi partai politik” (lihat
lampiran).
Tentu saja, informasi mengenai koalisi menjelang Pilpres adalah penting bagi publik yang hendak
menentukan pilihan. Namun, ketika pemberitaan koalisi partai politik diberikan porsi yang demikian
besar—bahkan di atas isu-isu seperti jaminan sosial, ketenagakerjaan, dan lainnya—maka kita harus
bertanya: siapa yang sebenarnya butuh koalisi? Suara siapa yang sebetulnya diwakili televisi?
Takluknya stasiun televisi pada agenda pemilik menemukan bentuknya yang paling gamblang dalam
pemberitaan Hary Tanoe dalam kaitannya dengan mengenai bisnis yang ia jalankan (20%). Melalui
tiga stasiun televisi miliknya (RCTI, MNC TV, dan Global TV), Hary Tanoe kerap muncul dalam berita-
berita mengenai ekspansi bisnisnya, semisal kerjasama MNC Group dengan ABC (Australia
Brodcasting Commision) atau bahkan rapat RUPS pemegang saham PT Global Mediatama. Melalui
berita-berita ini, MNC Group melakukan dua hal sekaligus: pertama, memanfaatkan berita sebagai
ajang promosi silang perusahaan, dan kedua, membentuk citra Hary Tanoe, selaku cawapres dari
Hanura, sebagai pengusaha sukses.
Memang terdapat beberapa pengecualian. Ada beberapa topik publik yang melekat pada
pemberitaan capres. Jokowi misalnya, dilekatkan pada topik “seputar kinerja Pemda DKI” dan
Prabowo dengan topik “ketenagakerjaan”. Hampir setiap pemberitaan tentang keduanya terkait
dengan dua hal tersebut. Kedua isu tersebut juga terbilang isu publik. Kinerja pemda merupakan
bekal publik menilai kinerja Jokowi. Sedangkan visi Prabowo mengenai ketenagakerjaan juga
merupakan informasi penting bagi publik untuk menetukan pilihan politiknya.
Namun, soalnya menjadi lain ketika topik-topik publik menjadi sarana politisasi kepentingan elit
pemilik media. Hal ini tampak dari tidak munculnya topik “kinerja Pemda DKI” di TV One dan ANTV.
Kedua stasiun televisi milik Aburizal Bakrie tersebut sama sekali tidak membuat berita Jokowi
berkaitan dengan kinerjanya selaku Gubernur DKI. Sebaliknya, TV One dan ANTV termasuk yang
menyumbang paling banyak melekatkan isu “Dugaan kampanye dalam soal Ujian Nasional” pada
Jokowi (TV One 12% dan ANTV 33%). Di sisi lain, besarnya porsi pemberitaan Jokowi dengan topik
“Kinerja Pemda DKI” di Metro TV (16,3%) juga perlu dipertanyakan, apakah dibingkai dalam
kerangka publik atau pesan sponsor dari pemilik?
Strategi pembingkaian dengan penghindaran isu juga dilakukan oleh MNC Group. Ketika banyak
televisi memberi porsi pemberitaan menyakut konflik politik di tubuh partai Hanura, tidak satu pun
televisi milik Hary Tanoe—yang ketika penelitian dilakukan masih menjabat sebagai Ketua Badan
Pemenangan Pemilu Partai Hanura—menyiarkan berita tersebut.
Lebih dari sekadar melakukan sensor informasi, televisi bahkan dijadikan alat untuk memoles citra
diri pemiliknya. Praktik ini teridentifikasi, misalnya, lewat TV One yang memberikan porsi
pemberitaan sebesar 3% untuk Aburzal Bakrie dengan topik “pembangunan ramah lingkungan”10.
Mudah bagi kita untuk mengingat bawah Aburizal Bakrie adalah juga pemilik Lapindo Brantas, yang
diduga bertanggungjawab atas bencana lumpur di Sidoarjo. Pemberitaan bertema pembangunan
ramah lingkungan, betapa pun kecilnya, bisa berarti upaya pembersihan nama. Ini sekali lagi bukti
bahwa televisi menjadikan agenda kepentingan politik pemiliknya sebagai agenda publik11.
***
10
TV One secara berulang memberitakan pidato Aburizal Bakrie di Indonesia Green Infrastructur Summit 2014.
Tidak ada televisi lain yang memberitakan Aburizal Bakrie dengan topik “pembangunan ramah lingkungan”,
selain TV One
PROPORSI
Berita, Iklan, & Program Non-Berita
TVRI
Berita
22.2% 21.2%
41.5%
43.4% 5.1% 8.1%
22.3% 24.2%
41.4% 4.8% 7.2%
0% 0% 100%
5.3% 0% 0%
0%
5% 8%
24%
100% 43%
100% 94.7%
20% 100% 87.5%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0% 100%
12.5%
Iklan
0% 0% 0% 0% 0%
0% 0% 0% 0% 0%
Non-Berita
TV ONE
Berita
15.2% 1.8%
39% 38.5%
38.4% 5.5%
37.7%
37.8% 13.4% 38.2% 4%
6.6%
12.3%
65% 0% 32%
6% 3%
2.2% 0%
33%
1.6% 0% 0% 67%
22.2% 0%
15% 4% 2%
98.4%
39% 95.8% 100%
40% 77.8% 100%
0% 100%
4.2% 0% 0% 0%
Iklan
0% 0% 0% 0% 0%
0% 0% 0% 0% 0%
Non-Berita
27.3% 18.2%
13.6% 9.1%
31.8%
Metro TV
Berita
12.8% 74.4% 12% 0.8% 0%
12.7%
12.7% 73.9% 12.2% 1.2% 0%
15%
15.9% 75%
13.8% 9%
9.4% 2%
18.6% 0%
15.4%
7% 31.3%
90% 8.3% 0%
3% 0%
6%
30.8% 80% 13% 1%
100% 0%
68.7% 75% 0%
78%
53.8% 0%
6% 22%
16.7% 0% 0%
Iklan
0% 100% 0% 0% 0%
0% 100% 0% 0% 0%
Non-Berita
0% 50% 50% 0% 0%
ABURIZAL JOKO PRABOWO HARY
BAKRIE SUBIANTO TANOE WIRANTO
WIDODO
SOEDIBJO
SCTV
Berita
22.7% 41%
40.9% 31.8% 4.5% 0%
20.3% 4%
39% 35.1% 5.6%
19%
10.7% 51%
14.8% 8.1% 5%
9.6%
25% 0%
0% 0% 0% 0%
0% 0% 0% 0% 0%
Iklan
0% 0% 0% 0% 0%
0% 0% 0% 0% 0%
Non-Berita
0% 0% 0% 0% 0%
Indosiar
Berita
11.1% 72.2% 16.7% 0% 0%
9.6% 7.1%
71% 19.4%
19.3% 0% 0%
6% 76%
16.3% 18% 18.6%
0% 0%
9.8% 14.4%
0% 100%
8.3% 0% 0% 0%
13% 19%
100% 69%
91.7% 100% 0% 0%
0% 0% 0% 0% 0%
Iklan
0% 0% 0% 0% 0%
0% 0% 0% 0% 0%
Non-Berita
0% 100% 0% 0% 0%
ABURIZAL JOKO PRABOWO HARY
BAKRIE SUBIANTO TANOE WIRANTO
WIDODO
SOEDIBJO
RCTI
Berita
0% 0% 100% 0% 0%
0% 0%
39% 100% 0% 0%
0% 0% 100%
27.4% 0% 0%
0% 0% 0% 0% 0%
0% 0% 0% 0% 0%
0% 0% 100% 0% 0%
Iklan
0% 0% 0% 50% 50%
0% 0% 0% 50% 50%
Non-Berita
0% 0% 0% 45% 55%
MNC TV
Berita
10%
20% 20% 35% 15%
13%
8.5% 18.2% 17%
6.2% 9%
18.4% 33.7%
34%
27%
33%
50% 0% 33% 17%
50% 17%
33.3% 33.3%
100% 33%
50%
17% 25% 66.7% 50%
8% 66.7%
17%
0% 0% 0% 0% 0%
Iklan
0% 0% 0% 50% 50%
0% 0% 0% 50% 50%
Non-Berita
0% 0% 0% 0% 0%
ABURIZAL JOKO PRABOWO HARY
BAKRIE SUBIANTO TANOE WIRANTO
WIDODO
SOEDIBJO
Global TV
Berita
30.7%
30.8% 15.4% 15.4% 38.5% 0%
31.7% 10.6%
39% 19.8% 37.9% 0%
13%
8.4% 51%
0% 0% 36% 0%
19.6%
0% 0% 0% 0% 0%
20% 80%
50% 100% 100% 100% 100%
100%
50% 0% 0% 0%
0%
Iklan
0% 0% 0% 50% 50%
0% 0% 0% 50% 50%
Non-Berita
0% 0% 0% 50% 50%
Trans TV
Berita
17.6 47.1%
17.6 35.3% 0% 0%
0% 100%
50% 0% 0%
50% 0%
33.3%
50% 50%
0% 12.5% 16.7% 0% 0%
100%
27% 27%
37.5% 45%
83.3% 0% 0%
Iklan
0% 0% 0% 0% 0%
0% 0% 0% 0% 0%
Non-Berita
0% 0% 0% 0% 0%
ABURIZAL JOKO PRABOWO HARY
BAKRIE SUBIANTO TANOE WIRANTO
WIDODO
SOEDIBJO
Trans 7
Berita
25% 45.8% 29.2% 0% 0%
27.6% 40.8%
40.9% 31.6% 0% 0%
21%
3.9% 67%
8.4% 12%
1.9% 0% 0%
18% 64%
63.3% 18%
33.3% 28.6% 0% 0%
50%
17% 33%
16.7% 27.3% 28.6% 0% 0%
43%
50% 14%
0% 43%
0% 0% 0%
Iklan
0% 0% 0% 0% 0%
0% 0% 0% 0% 0%
Non-Berita
0% 0% 0% 0% 0%
ANTV
Berita
50% 30% 20% 0% 0%
51.3% 24.7% 0% 0%
24%
75% 0% 25%
17.8% 0% 0%
26%
0% 0% 100%
50% 0% 0%
29% 14%
57% 0% 0%
100% 66.7% 50%
0% 100%
33.3% 0% 0% 0%
Iklan
0% 0% 0% 0% 0%
0% 0% 0% 0% 0%
Non-Berita
0% 0% 0% 0% 0%
topik
TOPIK
Pemberitaan
TVRI /////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////
2.5%
Jaminan
Sosial 10%
18.2% 5%
Dugaan Kampanye
Lainnya 27.3% Lainnya Pada Soal Ujian Nasional
Koalisi Partai
Politik 25% 12.5%
Kandidat Koalisi Partai
18.2% Cawapres Politik
Kandidat
Cawapres 2.5%
13.6% Profil Capres
Survey 15%
Politik Kinerja 15%
ABURIZAL 22.7% Pemda DKI Survey
BAKRIE Dukungan Politik
dari Ormas JOKO 12.5%
WIDODO Dukungan
dari Ormas
25%
19% 40% Konflik
Kandidat Konflik Internal
Cawapres Internal Partai
52.4% Partai
Koalisi
Partai 75%
14.3% Koalisi
Ketenaga Politik
Partai
kerjaan
Politik
60%
14.3% Koalisi
Survey Partai
Politik PRABOWO Politik HARY WIRANTO
SUBIANTO TANOE
TV One /////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////
8% 6% 12% 12%
Dukungan Pembangunan Dukungan Dugaan Kampanye
dari Ramah Lingkungan Pada Soal Ujian Nasional
dari
Ormas Ormas
86% 76%
Koalisi Partai Koalisi Partai
Politik Politik
5% 100% 100%
Ketenaga Koalisi Partai Politik Koalisi Partai Politik
kerjaan
95%
Koalisi
Partai
Politik
ANTV /////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////
33%
40% Lainnya
60% 33%
Profil Koalisi Partai Koalisi Partai
Capre/ Politik
34% Politik
Cawapress
Profil
Capres/
Cawapres
22%
Lainnya
50%
Dukungan
dari
50%
Ketenaga Ormas
kerjaan 78%
Koalisi
Partai
Politik
SCTV /////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////
11%
Kandidat Cawapres
20% 45%
Profil Capres/ Profil Capres/
Cawapres 33% Cawapres
60%
Ketenaga
Kandidat
kerjaan
Cawapres 20%
Survey
Politik 11%
Kinerja
Pemda DKI
100%
Kandidat Cawapres
43%
57%
Kandidat
Ketenaga
Cawapres
kerjaan
Indosiar /////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////
25%
Kandidat 16%
Cawapres Koalisi Partai
50% 50% Politik
Kandidat Koalisi Partai 17%
Cawapres Politik Ketenaga
25%
kerjaan
Profil Capres/
Cawapres
17%
Kinerja
Pemda DKI
34%
Kandidat 33%
Cawapres Koalisi Partai
Politik
33%
Ketenaga
kerjaan
RCTI /////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////
100%
Ketenagakerjaan
MNC TV /////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////
22%
71% Bisnis
Dukungan Capres /
29%
Ketenaga dari Cawapres
kerjaan Ormas
78%
Koalisi
Partai
Politik
Global TV /////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////
20%
Koalisi
100% Partai Politik
Koalisi
Partai
Politik 80%
Bisnis Capres /
Cawapres
Trans TV /////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////
13%
Kinerja 25%
Pemda DKI “Perang” antar
Pendukung Capres
100% di Dunia Maya
Koalisi
Partai 62%
Politik Koalisi
Partai
Politik
33%
“Perang” antar
Pendukung Capres
di Dunia Maya
67%
Koalisi
Partai
Politik
Trans 7 /////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////
17%
Profil Capres
9%
Dugaan Kampanye
28% Pada Soal Ujian Nasional
Kandidat
83% Cawapres
Koalisi 18%
Partai Koalisi
Politik Partai
Politik
18%
Ketenaga 9%
14% 14% Profil
kerjaan
Profil Capres / Survey Capres /
Cawapres Politik
Cawapres
9% 9%
Kinerja Survey
Pemda DKI Politik
72%
Koalisi
Partai
Politik
Metro TV /////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////
13.3%
Kandidat
Cawapres
46.7%
Koalisi
Partai
Politik
50%
50% Koalisi 40%
Kandidat Partai Ketenaga
Cawapres Politik kerjaan
4.3%
20.7% Lainnya
Kandidat
Cawapres
50%
Koalisi
6.5% Partai
Ketenaga Politik
kerjaan
100% 16.3%
Koalisi Partai Politik Kinerja 2.2%
Pemda DKI Dukungan
dari Ormas
INDEPENDENSI TELEVISI
MENJELANG PEMILU PRESIDEN
2014
Ketika Media Jadi Corong Kepentingan
Politik Pemilik (Bagian 3)
Muhamad Heychael
INDEPENDENSI TELEVISI MENJELANG PEMILU PRESIDEN 2014:
Ketika Media Jadi Corong Kepentingan Politik Pemilik (Bagian 3)
Muhamad Heychael
©Remotivi, 2014
Penyunting:
Yovantra Arief
Tim Peneliti:
Fina Azmiya
Grace Esther
Gabriela Eriviany Gondokusumo
Nadia Hanum
Nadia Silvarani
Rayhana Anwarie
Setyo Manggala Utama
Perdana Putri
Suci wulan Ningsih
Penelitian ini merupakan hasil kerja Divisi Penelitian Remotivi. Materi tayangan televisi yang digunakan untuk
keperluan analisis diperoleh dari rekaman yang dilakukan Remotivi, dan sebagian lainnya didapat dari Komisi
Penyiaran Indonesia. Penelitian ini terselenggara atas dukungan dana Yayasan Tifa.
Kecuali dinyatakan berbeda, seluruh isi laporan ini dilindungi dengan lisensi Creative Common Attribution 3.0.
Remotivi adalah sebuah inisiatif warga untuk kerja pemantauan tayangan televisi di Indonesia. Cakupan
kerjanya turut meliputi aktivitas pendidikan melek media, penelitian, dan advokasi, yang bertujuan (1)
mengembangkan tingkat kemelekmediaan masyarakat, (2) menumbuhkan, mengelola, dan merawat sikap
kritis masyarakat terhadap televisi, dan (3) mendorong profesionalisme pekerja televisi untuk menghasilkan
tayangan yang bermutu, sehat, dan mendidik.
Penelitian ini adalah bagian terakhir dari serial penelitian Remotivi mengenai Independensi televisi
selama pemilu 2014. Dua penelitian sebelumnya telah dipublikasikan dengan tajuk yang sama
dengan mengambil data amatan pada 1-7 November 2013 dan 1-7 Mei.
Ada konteks yang berbeda antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya (1-7 Mei). Dalam
temuan kami sebelumnya, terindikasi adanya pengaruh koalisi politik pada isi siaran televisi. Dalam
penelitian kali ini, eskalasinya jauh meningkat.
Dalam penelitian periode 1-7 Mei kami lalu, hanya ada satu koalisi yang resmi terbentuk, yakni PDIP
(Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) dengan Partai Nasdem (Nasional Demokrat). Hal yang
berbeda terjadi pada periode amatan kali ini. Sepanjang minggu awal Mei hingga saat penelitian ini
dilakukan (1-7 Juni), telah terjadi dua kesepakatan koalisi baru. Yaitu kesepakatan koalisi Gerindra
dengan Golkar yang terjadi pada 19 Mei, dan disusul oleh kesepakatan Prabowo dengan Harry
Tanoesoedibjo pada 22 Mei. Fakta-fakta koalisi tersebut kian menunjukkan garis demarkasi yang
jelas antara dua kubu. Sebagaimana nanti dijelaskan pada sub-bab temuan, fakta koalisi ini ikut
menyeret televisi yang dimilik Aburizal bakrie (TV One dan ANTV) dan Harry Tanoe (MNC TV, Global
TV, dan RCTI) untuk turut menjadi sarana propaganda politik.
Berlandaskan tujuan yang sama dengan dua riset sebelumnya, kami mencoba mengamati
indepedensi televisi di tahun politik ini dengan melihat kencenderungan praktik penyiaran (Berita,
iklan, dan program non berita) di tengah meningkatnya ekskalasi politik menjelang pemilu.
Untuk tujuan itu, kami mengamati isi siaran televisi terkait dua pasang capres dan cawapres
(Prabowo-Hatta Rajasa dan Jokowi-Jusuf Kalla) yang telah ditetap KPU (Komisi Pemilihan Umum) di
11 stasiun televisi. Maka, untuk mengukur independensi tiap stasiun televisi, kami meneliti program
berita1, iklan2, dan non-berita3.
Masih sama dengan penelitian sebelumnya, pada tayangan berita kami mencatat kehadiran dua
pasang capres dan cawapres melalui tiga variabel, yaitu: “frekuensi”4, “durasi”5, dan “durasi
1
Produk berita yang dimaksud dalam penelitian ini adalah program reguler berita di masing-masing stasiun
televisi. Misalnya, Liputan 6 di SCTV, Metro Pagi di Metro TV, Seputar Indonesia di RCTI, dan seterusnya.
2
Iklan dalam pengertian ini adalah commercial break yang di dalamnya memunculkan lima tokoh politik
sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Dengan definisi yang demikian, baik iklan politik maupun iklan
komersial sekalipun, jika memunculkan salah satu tokoh politik maka akan di-coding sebagai bentuk
kemunculan. Pada iklan politik kami hanya menghitung frekuensi dan durasi kemunculan.
3
Program non-berita adalah semua program di luar kategori iklan dan berita. Termasuk di dalamnya kuis,
reality show, talkshow, dan lain-lain. Pada program non-berita, kami hanya menghitung kemunculan saja
3
(frekuensi) . Seorang tokoh capres disebut muncul dalam program non-berita ketika tokoh capres tersebut
hadir atau direpresentasikan (baik dalam bentuk nama, slogan, atau term yang menggantikan, misalnya “Win-
HT”) dalam tayangan. Pada praktiknya, pada satu tayangan kuis misalnya, setiap kemunculan sebagaimana
definisi di atas, kami hitung sebagai satu. Dan pada sebuah program umumnya terjadi lebih dari satu kali
kemunculan dan meski demikian tetap kami hitung satu. Artinya, hanya mungkin satu kemunculan pada satu
program untuk tiap capres dan cawapres.
4
Frekuensi dihitung berdasarkan kemunculan tokoh politik dalam setiap item berita, iklan, dan non-berita.
5
Durasi adalah lama waktu tayang sebuah berita, iklan, dan non-berita (hitungan detik) dalam memunculkan
tokoh politik.
penonjolan”6. Namun, itu saja tidak cukup. Banyaknya ruang kemunculan yang diberikan pada
capres/cawapres tidak selalu menguntungkan. Untuk mengonstruksi opini publik atas seorang tokoh
politik, media kerap menggunakan bingkai pemberitaan. Oleh karena itu, kami juga mengukur “nada
pemberitaan”7.
Tak hanya itu, untuk memberi gambaran strategi framing yang dilakukan televisi terhadap masing-
masing capres dan cawapres kami menambahkan variabel “topik berita”8. Topik juga berguna untuk
memberikan potret wacana politik kita hari ini.
Selama periode pemantauan, populasi data yang kami jadikan sampel meliputi : 3.305 Berita
berdurasi 500.981 detik, 1043 spot iklan berdurasi 30.482 detik, dan 191 titik kemunculan program
non-berita. Berdasar data itulah kami melakukan analisis terhadap 11 stasiun televisi bersiaran
nasional.
Jumlah berita politik dalam periode ini meningkat tajam dibanding dengan periode pemantauan
sebelumnya, hingga mencapai enam kali lipat9. Seiring dengan itu kontestasi politik media juga ikut
meningkat tajam. Hal ini misalnya tercermin dari praktik siaran televisi pasca kesepakatan koalisi
politik pemiliknya.
Pasca kesepakatan koalisi Gerindra dengan Golkar, pemberitaan Prabowo di TV One meningkat.
Peningkatan itu terlihat dengan meningkatnya jumlah “penonjolan” Prabowo di TV One yang pada
periode sebelumnya hanya 32% kini mencapai 70%. Seiring dengan itu berita bernada positif
mengenai Prabowo juga meningkat tajam. Dalam periode sebelumnya, TV One sama sekali tidak
memberi berita positif untuk Prabowo, dan dalam periode kali ini, 52% dari pemberitaan positif di TV
One diberikan pada Prabowo. Hal yang sama juga terjadi pada durasi iklan Prabowo, yang pada
periode sebelumnya tidak ada sama sekali, kini meroket menjadi 62%.
Selaras dengan TV One, pemberitaan Prabowo di ANTV, televisi yang juga dimiliki Aburizal Bakrie,
mengalami peningkatan frekuensi. Dalam periode 1-7 Mei hanya ada 20% berita Prabowo di ANTV,
kini ada 32%. Penonjolan Prabowo pun meningkat dari 25%, menjadi 34%.
6
Durasi Penonjolan dalam berita adalah ketika suara (berupa kalimat yang utuh, tidak termasuk kalimat
sapaan) tokoh politik muncul di dalam tayangan visual, baik diwawancarai langsung maupun ketika sedang
berpidato atau beraktivitas lainnya.
7
Nada pemberitaan adalah bingkai yang diciptakan media atas sebuah berita melalui kata sifat yang terdapat
pada teks/audio yang dibacakan oleh pembaca berita. Bingkai pemberitaan ini yang menghasilkan nada
pemberitaan: netral, positif, dan negatif.
8
Topik merupakan ide utama berita yang menjadi tema paling dominan dalam narasi. Topik ditentukan lewat
headline (judul berita) dan sub-judul. Bila pada hal tersebut belum jelas topik yang diusung, coder diminta
untuk memperhatikan narasi berita secara keseluruhan untuk mendapatkan gambaran umum mengenai tema
utama pemberitaan. Pada peneltian ini, karena beragamnya topik-topik berita yang tidak terantisipasi oleh
kategori awal yang telah dibuat, sebagian topik ditentukan secara induktif.
9
Pada periode pemantauan 1-7 Mei, jumlah berita politik yang menjadi data pemantauan berjumlah 512.
Bandingkan dengan jumlah berita pada periode ini yang mencapai 3.305.
TV ONE
1-7 Mei 1-7 Juni
Hatta Jusuf
Prabowo Jokowi Prabowo Rajasa Jokowi Kalla
Frekuensi berita 38.5% 15.2% 34% 32% 20% 14%
Penonjolan dalam Berita
(kemunculan dalam bentuk
audio dan visual :
Wawancara, pidato,dll) 32% 0% 70% 14% 14% 2%
Berita positif 0% 0% 52% 44% 4% 0%
Berita Negatif 0% 100% 0% 0% 80% 20%
Durasi Iklan 0% 0% 62% 9% 15% 14%
Kemunculan dalam program
non berita 31.8% 13.6% 27% 27% 23% 23%
Hal yang sama terjadi pada grup MNC. Setelah Harry Tanoesoedibjo resmi berkoalisi dengan
Prabowo Subianto, mulai terlihat perubahan praktik siaran; porsi besar yang diberikan pada Partai
Hanura sebelum pemilu, kini dilimpahkan pada Prabowo. Hal ini terlihat gamblang dalam praktik
siaran RCTI. Pada periode sebelumnya, RCTI hanya memiliki satu berita mengenai Prabowo, dan itu
pun bernada negatif. Kini Prabowo adalah tokoh capres yang paling banyak diberitakan (41%)
sekaligus di tonjolkan (78%). 100% berita bernada positif yang ada di RCTI adalah berita Prabowo.
Tidak hanya itu, 100% slot iklan di RCTI selama 1-7 Juni adalah milik pasangan capres nomer urut
satu tersebut.
RCTI
1-7 Mei 1-7 Juni
Hatta Jusuf
Prabowo Jokowi Prabowo Rajasa Jokowi Kalla
Frekuensi berita 100% 0% 41% 27% 21% 11%
Penonjolan dalam Berita
(kemunculan dalam bentuk
audio dan visual :
Wawancara, pidato,dll) 100% 0% 78% 18% 1% 3%
Berita positif 0% 0% 100% 0% 0% 0%
Berita Negatif 100% 0% 0% 0% 100% 0%
Durasi Iklan 0% 0% 27% 19% 27% 27%
Kemunculan dalam program
non berita 0% 0% 50% 50% 0% 0%
Pada dua stasiun televi milik grup MNC lainnya, tren yang sama terjadi. Berita Positif mengenai
Prabowo di MNC TV meningkat dari periode sebelumnya yang berjumlah 33% menjadi 55%. Total
berita positif pasangan nomer urut satu di MNC TV mencapai 100% (Prabowo 55% dan Hatta 45%).
Sementara di Global TV frekuensi pemberitaan Prabowo yang pada periode sebelumnya hanya
15.4% meningkat menjadi 37%. Prabowo juga adalah tokoh yang paling banyak ditonjolkan di Global
TV dengan persentase mencapai 83%.
Bersamaan dengan meningkatnya pemberitaan dan iklan politik Prabowo di Grup Viva dan MNC,
juga terjadi pemberiaan proporsi yang tidak berimbang pada lawan politik. Jokowi adalah figur yang
paling banyak diberitakan secara negatif di dua televisi milik Aburizal Bakrie (TV One 80% dan ANTV
100%). Sementara televisi yang tergabung dalam Grup MNC juga mencatatkan hal yang kurang lebih
sama. Seluruh (100%) berita negatif yang ada di RCTI adalah berita Jokowi, sementara Global TV
mencatat 43% berita negatif mengenai Jokowi.
Fakta sebaliknya ditemukan dalam televisi milik Surya Paloh, ketua pembina Partai Nasdem, salah
satu partai pengusung capres nomor urut dua. Berbeda dengan dua grup televisi lainnya, eskalasi
politik yang terjadi di Metro TV lebih merupakan peningkatan “serangan” atas lawan politik.
Pasalnya, televisi yang dimiliki oleh ketua partai rekan koalisi PDIP ini, sejak periode awal penelitian
telah memberikan porsi pemberitaan yang tinggi pada Jokowi. Jumlah berita negatif mengenai
Prabowo yang, dalam periode 1-7 Mei, sebesar 22% meningkat menjadi 65% dalam periode ini.
Angka tersebut belum termasuk berita negatif yang diperoleh pasangan Prabowo, Hatta Rajasa
sebesar 35%. Dengan demikian, seluruh berita negatif yang ada di Metro TV adalah milik pasangan
nomor urut satu.
Metro TV
1-7 Mei 1-7 Juni
Hatta Jusuf
Prabowo Jokowi Prabowo Rajasa Jokowi Kalla
Frekuensi berita 12% 74.4% 17% 13% 38% 32%
Penonjolan dalam Berita
(kemunculan dalam bentuk
audio dan visual :
Wawancara, pidato,dll) 9% 75% 13% 2% 54% 31%
Berita positif 3% 90% 2% 2% 51% 45%
Berita Negatif 22% 0% 65% 35% 0% 0%
Durasi Iklan 0% 100% 0% 0% 54% 46%
Kemunculan dalam program
non berita 50% 50% 4% 2% 86% 8%
Serangkaian temuan di atas menujukkan bahwa isi siaran televisi bergerak seiring jalan dengan
koalisi politik. Pada titik ini, sesungguhnya televisi tidak sedang mempertontonkan siaran pemilu,
melainkan kenyataan bahwa media adalah bentuk komoditas yang lain. Komoditas yang bisa
diperjual belikan dalam pasar politik. Independensi media dibungkam kepentingan politik dan
ekonomi pemilik. Dalam dalam situasi yang demikian, publik sekadar penoton yang “perhatiannya”
(akumulasi dalam bentuk rating) menjadi nilai tukar dalam pasar politik pemilu 2014.
Konstruksi Berita Capres Dalam Bingkai Media Partisan
Secara umum isu berita politik di 11 stasiun televisi bersiar nasional selama 1-7 Juni didominasi oleh
pemberitaan soal dukung mendukung capres dan cawapres. Layar televisi kita dipenuhi oleh
informasi mengenai pernyataan dan deklarasi dukungan dari publik figur atau pun organisasi
masyarakat. Situasi ini adalah petanda minimnya substansi yang bisa menjelaskan alasan kelompok
tertentu dukung seorang capres. Yang bisa kita dapatkan hanya sebatas ujaran normatif.
Kesimpulan penelitian pada periode sebelumnya belum berubah. Bahwa agenda televisi adalah
agenda elit. Televisi gagal menjadi ruang publik yang mampu mengetengahkan persoalan-persoalan
publik yang penting kecuali sebatas mengikuti rangkaian kegiatan pemilu yang telah ditetapkan KPU.
Itulah mengapa berita mengenai deklarasi damai dan berintegritas memenuhi layar kaca kita pada
periode penelitian ini. Bukan hanya itu, televisi lebih banyak melaporkan kerja kampanye masing-
masing capres di berbagai wilayah Indoensia. Tak ada isu politik kecuali sorak-sorai dengan narasi
semacam, “Kampanye capres nomor urut satu dipenuhi oleh ribuan massa,” atau “Kedatangan
capres nomor urut dua dinantikan publik sejak pagi hari”, dll.
Namun demikian, di luar isu yang umum, terdapat isu khas dua capres di televisi. Sayangnya
kekhasan ini bukan merupakan hasil ketekunan untuk memberitakan apa yang jadi kepentingan
publik terhadap dua capres tersebut, melainkan suara televisi partisan yang berupaya membingkai
lawan politik secara negatif serta memberikan bingkai positif pada capres yang diusungnya. Dalam
kerangka ini, publik tetaplah objek yang jadi sasaran agenda setting media.
Di Metro TV, “pelanggaran Hak Azasi Manusia” dan “penyalahgunaan simbol negara” menjadi berita
khas Prabowo yang dibingkai secara negatif. Pada isu pertama, topik berita banyak mengangkat
masa lalu Prabowo yang diberhentikan dari militer akibat keterlibatannya dalam peristiwa
penculikan aktivis pada tahun 1997-1998. Pernyataan Prabowo yang hendak mengangkat presiden
Soeharto sebagai Pahlawan pun, oleh Metro TV, dibingkai dalam perspektif HAM dengan memberi
latar belakang peristiwa kemanusian selama kekuasaan Soeharto.
Topik Berita Negatif Prabowo di Metro TV
1-7 Juni 2014
24% 24%
21%
10% 10%
5% 6%
Sementara dalam topik soal “penyalahgunaan lambang negara”, simbol garuda merah yang
digunakan pasangan capres nomer urut satu, yang dinilai menyalahi aturan perundangan, menjadi
strategi pembingkaian negatif Metro TV. Tak hanya itu, Metro TV juga kerap menurunkan berita
yang mempersoalkan sikap nasionalisme Prabowo yang dikatakan oleh adiknya Hasim sebagai pro-
Amerika Serikat.
9%
8% 12%
12%
Dukungan
Kinerja
Ormas Pada Survey
Pemda DKI Profil
Capres/ Politik Lainnya
Cawapres
Sementara itu, di Metro TV, Jokowi adalah figur yang didukung publik, terlihat dari banyaknya berita
positif mengenai dukungan organsisasi masyarakat padanya. Kinerja sebagai gubernur DKI Jakarta
juga mendapatkan pemberitaan yang positif, selain survey politik yang selalu menempatkannya lebih
unggul atas kubu capres nomor urut satu. Jokowi pun ditampilkan sebagai sosok yang sederhana
dengan, misalnya, menunggang bajaj ketika hendak mengambil nomor urut di KPU.
Dugaan
Pelanggaran Dugaan KTP
Jokowi Palsu Korupsi (Trans
Kampanye Lainnya
Jakarta)
Hal berbeda terjadi di TV One. Bila di Metro TV kinerja Jokowi di DKI Jakarta dibingkai sebagai
prestasi, maka di TV One pemberitaan menyoal ini cenderung negatif, dengan penekanan pada
kasus, misalnya tentang korupsi TransJakarta. Bahkan lebih jauh, TV One pernah secara khusus
mengangkat berita mengenai KTP palsu Jokowi. Terdapat pula berita tentang video wawancara Jusuf
Kalla yang tidak setuju dengan pencapreasan Jokowi, atau bahkan berita kemacetan yang
diakibatkan oleh kampanye Jokowi.
Topik Berita Positif Prabowo di TV One
1-7 Juni 2014
50%
25%
25%
Survey Politik
Dukungan Ormas
Pada Lainnya
Capres/cawapres
“Wajah” Prabowo sebagai pelanggar HAM di Metro TV dipulas dengan cara berbeda oleh TV One. Di
TV One, Prabowo adalah figur yang dicintai publik; kita disuguhkan pada tayangan-tayangan yang
menggambarkan banyaknya aliran dukungan organisasi massa. Survey versi TV One pun selalu
mengunggulkan Prabowo.
Singkat kata, apa yang kita saksikan di Metro TV dan TV One adalah representasi wajah media
partisan, yang hanya pandai bernarasi dari satu sisi. Media partisan “membunuh” kesempatan publik
untuk melihat kompleksitas figur capres yang ada. Kita tidak akan menemukan kompleksitas rekam
jejak dan gagasan capres yang komprehensif dan berimbang. Media partisan mengungkap sambil,
pada saat bersamaan, menyembunyikan. Dengan sendirinya, media partisan melakukan sensor atas
hak publik akan informasi. Serangkaian fakta ini kemudian mengarahkan kita pada tanya yang sulit
dijawab; benarkah hari ini kita tengah menikmati kebebasan pers?