Anda di halaman 1dari 9

MASALAH KOMUNIKASI DALAM PENYIARAN TELEVISI

Mata kuliah: Hukum dan Kebijakan Komunikasi

Dosen: Dr. Anne Maryani, Dra., M.Si.

Disusun Oleh :

Ananda Farah Diba (10080019004)

Nabila Secioria P (10080019033)

M. Hazzel Rayhan (1008001937)

Hadyan Faliq (10080019303)

Kelas : B

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

2020
Media Televisi

Dibanding dengan media massa lainnya, televisi mempunyai sifat istimewa. Televisi
merupakan gebungan dari media dengar dan gambar, bisa bersifat informatif, hiburan,
maupun pendidikan, bahkan gabungan dari ketiga unsur diatas. Televisi merupakan sumber
citra dan pesan tersebar (shared images and message) yang sangat besar dalam sejarah, dan
ini telah menjadi mainstream bagi lngkungan simbolik masyarakat. Dan televisi merupakan
sistem bercerita (story-telling) yang tersentralisasi. Televisi saat ini telah menjadi bagian
tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Banyak orang menghabiskan waktunya lebih lama
di depan televisi, dibandingkan menghabiskan waktu mengobrol bersama keluarganya. Siaran
televisi adalah pemancaran sinyal listrik yang membawa muatan gambar proyeksi yang
terbentuk pada sistem lensa dan suara. Menurut Peter Herford, setiap stasiun televisi dapat
menayangkan beberapa acara hiburan seperti, film, musik, kuis, talk show, dan sebagainnya.

Sejarah Perkembangan Televisi di Indonesia

Pertumbuhan media televisi di Indonesia mengalami pasang surut, sesusi dengan


perkembangan politik. Di masa pemerintahan Orde Lama TVRI merupakan satu satunya
media televise di Indonesia yang digunakan alat perjuangan sebagaimana media massa
lainnya. Dimasa pemerintahan Orde Baru TVRI, dan RRI difungsikan sebagai corong
Pemerintah, dan media pembangunan. Namun demikian pasca regulasi bidang penyiaran
wajah tele-vise di Indonesia mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Dunia
Pertelevisian (1962-1990), perkembangan dunia pertelevisian diawali ketika Indonesia
menjadi tuan rumah perhelatan olahraga akbar Asian Games IV di Jakarta tahun 1962,
dimana saat itu TVRI muncul sebagai pelopor industri televisi Nasional. Masyarakat
Indonesia mulai menikmati televisi di tahun 1962 ketika itu televisi merupakan media
komunikasi dan antara pemerintah dengan masyarakat, disamping sebagai hiburan kaum elite
politik dan pemerintahan. Deddy Mulyana menyebut TVRI sebagai televisi ideologis karena
sifatnya mengagung-agungkan pemerintah terutama para petinggi Negara yang tugas
utamanya untuk melanggengkan kekuasaan rezim saat itu. Hampir seluruh isi TVRI berupa
berita resmi dan semi resmi dari kegiatan pemerintah beserta pejabat yang sedang berkuasa.
Problematika Lembaga Penyiaran Televisi Public

Lembaga penyiaran televisi publik yang di miliki oleh Indonesia adalah stasiun TVRI.
Lembaga penyiaran tv publik sebagaimana di jelaskan pasal 14 ialah lembaga penyiaran yang
berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independent, netral, tidak
komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat serta harus
berlokasi di ibukota negara.

Salah satunya stasiun TVRI merupakan satsiun televisi pertama di Indonesia yang
mengudara sejak tahun 1962. Pada tahun 1974, TVRI di ubah menjadi salah satu bagian dari
organisasi dan tatakerja departemen penerangan RI yaitu sebagai alat komunikasi pemerintah
dan memiliki tugas untuk menyampaikan informasi seputar kebijakan pemerintah kepada
rakyat. Sejak adnyaa No. 32 tahun 2002, TVRI berubah menjadi lembaga penyiaran
publik.Sebelum tahun 1989, TVRI menjadi media populer sebab berhasil memonopoli siaran
televisi di Indonesia. TVRI tidak lagi memonopoli siaran televisi Indonesia dikarenkan
muncul televisi swasta pertama pada tahun 1990 yaitu RCTI di Jakarta dan pada tahun 1990
SCTV di Surabaya. Seiring berjalannya waktu TVRI tidak lagi menjadi media populer untuk
tontonan warga negara Indonesia padahal TVRI merupakan stasiuntv satu-satunya yang
jangkauannya terluas se Indonesia karena mencapai seluruh wilayah Indonesia dengan
estimasi persentase jangkauan sekitar 82 % penduduk Indonesia dengan dukungan 29 stasiun
jaringan di daerah serta 376 satuan transmisi yang tersebardi seluruh wilayah Indonesia.

Menurut (Masduki, 2017) penyiaran publik secara umum harus memenuhi empat
standar, yaitu: mengusung plurarisme dan diversity, independent dalam mengambil
keputusan, mengutamakan kualitas daripada kuantitas dan membuka akses publik untuk
mengontrol dan mengawasi melalui berbagai instrument kelembagaan. Berbicara tentang
diversity, berdasarkan observasi hingga tahun 2018 rupanya TVRI belum maksimal
menyajikan keberagaman (diversity). Sebagai tv publik, sangatlah penting untuk TVRI untuk
memperhatikan keberagaman konten sebagaimana di sampaikan oleh (Farchy & Ranaivoson,
2011). Analisis teoritis standar tentang kaitan antara persaingan dan keragaman
menyimpulkan bahwa persaingan tidak selalu mengarah pada keanekaragaman; sebaliknya,
persaingan cenderung mengurangi keragaman. Akibatnya, saluran publik harus mendukung
keberagaman karena mereka tidak secara langsung menanggung tekanan persaingan.

Sebagaimana di ketahui TVRI sebagai tv publik tidak memiliki saingan dalam proses
siarannya, serta di satu sisi TVRI selaku tv publik tidak membuka space untuk iklan sehingga
sangat memungkinkan untuk menyajikan diversity of content. Independensi TVRI sebagai tv
publik harus di pertanyakan kembali, dikarenakan salah satu syarat menjadi tv publik harus
independent tidak ada campur tangan dari pihak manapun. Sebuah tulisan ilmiah yang
berjudul “Idealisasi TVRI sebagai TV Publik: Studi Critical Political Economy”yang di tulis
oleh (Adhrianti, 2008), mengatakan bahwa status TVRI saat ini sebagai lembaga penyiaran
publik yang idealnya harus independen, netral belum sepenuhnya maksimal. Adhrianti
menyampaikan masih terdapat kesenjangan antara regulas penyiaran tentang lembaga
penyiaran publik dengan konsep ideal dari public spheredan konsep tv publik itu
sendiri.Selain itu, menurutnya TVRI sampai saat ini belum sepenuhnya terlepas dari
dominasi aparatus (pemerintah) dan belum bisa independen melalui kebebasan pers yang
benar-benar bermanfaat bagi demokratisasi yaitu kebebasan pers yang mendorong publiknya
untuk memperoleh keragaman konten. Serta kebebasan pers yang memfasilitasi publik untuk
mendapatkan akses terhadap informasi yang ideal dan berkualitas.

Pada pelaksanaanya, TVRI sebagai tv publik pernah ditegur oleh KPI hingga
dijatuhkan sanksi karena telah menjadi partisan salah satu partai politik yaitu dengan
menyiarkan siaran konvensi partai demokrat pada pada hari Minggu, 15 September 2013
pukul 22:02 –00:25 WIB. Bukti lainnya yang menunjukkan bahwa TVRI belum independen,
dikemukakan oleh (Darmanto, 2004), pada penelitiannya yang berjudul “Kinerja TV Publik:
Analisis Isi Berita TVRI tentang Kampanye Pemilu Legislatif 2004” yang mana dikatakan
bahwa pada pemilu 2004 TVRI cenderung lebih banyak memberitakan kegiatan kampanye
partai-partai besar terutama partai yang sedang berkuasa saat itu yaitu PDIP. Hal tersebut
membuktikan bahwa TVRI telah di dominasi oleh pihak penguasa sehingga TVRI saat itu
tidak independen dalam pemberitaan.Faktor selanjutnya yang menjadi faktor pertimbangan
mengapa TVRI sebagai stasiun tv publik tidak banyak diminati oleh publik untuk di tonton
adalah bentuk TVRI sendiri yang masih menjadi tv konvensional dan enggan melakukan
konvergensi. Apalagi dalam menghadapi era di gital saat ini, perlu kiranya TVRI
bertransformasi menjadi tv publik yang multiplatform. Sebagaimana di sampaikan oleh
(Palmeri & Rowland, 2011) dalam meninjau kondisi sosiopolitik dan kondisi kontemporer
serta perubahan dalam teknologi saat ini, maka tv publik perlu melakukan transformasi.
Sepertinya dalam hal ini TVRI perlu untuk menengok bagaimana BBC sebagai tv publik
Inggris dan ABC sebagai tv publik Australia yang menjadi media populer di negara masing-
masing walaupun keduanya berstatus tv publik. Di samping itu ABC dan BBC juga tidak
hanya menjadi stasiun tv publik saja akan tetapi juga melakukan konvergensi media sehingga
eksistensi keduanya masih tetap ada di tengah-tengah persaingan tv swasta.

Problematika Lembaga Penyiaran Televisi Swasta

Berdasarkan undang-undang No 32 Tahun 2002 pasal 17, lembaga penyiaran swasta


adalah lembaga penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan hukum dengan modal
yang seluruhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Dalam
hal ini lembaga penyiaran swasta di kategorikan menjadi tv berjaringan dan tv lokal dengan
jangkauan wilayah terbatas. Pengaturan yang ditetapkan tersebut tidak lain bertujuan untuk
menciptkan kebergaman konten dan kebergaman pemilik media. Namun dalam data yang di
dapatkan di lapangan, dari sekian banyak stasiun televisi yang ada di Indonesia hanya
dikuasai oleh segelintir orang saja. Kaitannya dengan hal tersebut adalah dengan tujuan yang
hendak di capai oleh UU No 32 Tahun 2002 yaitu keberagaman konten dan kepemilikan
menjadi tidak terealisasi dengan baik dikarenakan dalam pelakasanaanya masih sering terjadi
masalah antara keberdaan stasiun tv berjaringan dan tv lokal serta regulasi yang
mengaturnya.

Menurut (Aji, 2010) sistem penyiaran televisi komersial yang selama ini berlangsung
di Indonesia menyisakan banyak persoalan, setidaknya ada 10 stasiun televisi swasta di
jakarta yang bisa melakukan siaran secara nasional hanya dengan memanfaatkan
transmitter/relai di setiap daerah. Dengan demikian seluruh program siaran yang selama ini
dipancarkan ke seluruh rumah penduduk di Indonesia sepenuhnya di produksi dan di
pancarkan dari Jakarta. Artinya, siaran yang disaksikan oleh warga di perumahan Jakarta
sampai ke Jayapura ataudari Sabang sampai Merauke sepenuhnya diproduksi oleh sejumlah
stasiun di Jakarta. Hal ini sangat di sayangkan dikarenakan mengingat setiap warga negara
yang menetap di Indonesia berbeda dari segi budaya, geografis, politik dan ekonomi berbeda
maka penyeragaman siaran yang hanya di atur dari pusat pada dasarnya mengingkari
keberagaman itu sendiri. Oleh karenanya dengan sistem berjaringan yang telah diatur dalam
undang-undang penyiaran tersebut, tv-tv lokal yang menjadi bagian dari jaringan nasional
harulah membuat konten-konten bermuatan lokal misalnya dengan program berita lokal,
seputar pendidikan lokal, hiburan lokal. Sehingga tujuan lain yang bisa di capai adalah
manfaat ekonominya, dimana salah satu contohnya pendapatan iklan bisa di manfaatkan oleh
tv lokal dan masyarakat sekitar karena dalam proses produksi konten pasti terjadi penyerapan
sumberdaya lokal.
Akan tetapi yang terjadi sekarang dengan sistem sentralisasi siaran yang ada, seluruh
keuntungan ekonomi yang di peroleh hanya mengalir dan terpusat ke Jakarta sementara
masyarakat lokal hanya menjadi penonton saja. Dengan keadaan yang seperti itu tidak akan
ada satupun tv lokal yang akan berkembang dengan sehat. Berbicara mengenai tv lokal,
secara umum tv lokal masih menghadapi problematika yang hampir sama hingga saat ini. Tv
lokal belum bisa memperoleh perhatian pemirsa Indonesia secara signifikan dikarenakan
menurut data kepemirsaan tv lokal selama ini hanya dapat merebut 10 % pangsa pasar
pemirsa lokal dan jumlah tersebut juga masih harus berebut dengan tv lokal lainnya yang
jumlahnya cukup banyak. Sebagai sebuah permisalan, di wilayah Jawa Timur tepatnya di
wilayah layanan siar service areaSurabaya yang meliputi : Mojokerto, Bangkalan, Gresik,
Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan serta wilayah jangkauan yang meliputi : Jombang,
Nganjuk, Pasuruan dan Bojonegoro tercatat ada 11 televisi nasional dan 10 televisi lokal.

Dengan demikian terdapat 21 tv free to airdi wilayah ini sehingga kompetisi yang
ketat ini membuat tv lokal berada dalam himpitan persaingan yang sangat ketat.Begitu juga
permasalahan yang ada pada tv swasta, adalah munculnya kecurigaan bahwa jangan-jangan
tv swasta muncul sebagai bentuk baru dari “monopoli” kebijakan negara atas media
sebelumnya. Dengan munculnya tv swasta apakah membuat negara kemudian menjadi
berkurang secara peranannya atau semakin kuat? Lalu apakah televisi swasta tersebut
kemudian menjadi lembaga yang independen secara moral dan politik atau justru malah
menjadi aparatus persuasif kepentingan kelas penguasa dalam wujud yang lain. Hal tersebut
berarti bahwa media televisi khusnya, menjadi alat kepentingan negara bersama korporasi
yang dalam hal ini adalah kelompok-kelompok yang mendukung kekuasaan penguasa untuk
melanggengkan kekuasaan ekonomi politiknya. Dan hal tersebut bisa jadi merupakan
hegemoni bari dari penguasa yang sedang berkuasa dalam bentuk new communitiesatau
masyarakat baru yang bersifat apolitis, hendon dan konsumtif yang tentu saja memungkinkan
di seting agar tidak mengganggu kepentingan ekonomi politik penguasa. (Budi, 2004). Inilah
mengapa kajian ekonomi politik media penting supaya kita sebagai khalayak tidak dengan
mudahnya dijadikan sebagai komoditas oleh para kelas dominan yakni penguasa dan
konglomerat.
Permasalahan Komunikasi pada Media Televisi

Media Televisi sering menjadi sumber permasalahan dalam komunikasi, kebanyakan


kasus sifatnya komunikasi massa dan komunikasi budaya. Media Televisi bisa merubah
tatanan dunia melalui sifat komunikasi nya yang massal jika memiliki kepercayaan penuh
dari publik. Menurut Jeremy Rifkin (2000) menyebutkan bahwa kehidupan manusia kini
benar2 telah terkomodifikasi (menjadi sebatas komoditas alias barang dagangan), dan antara
komunikasi, komunion, dan komersil menjadi tak bisa dipisahkan. Kapitalisme global telah
memoles dunia menjadi seperti sebuah panggung kehidupan, tempat segala hal yang ada di
dunia ini menjadi tak lebih dari komoditi atau barang, salah satu upaya untuk memoles
kapitalisme global nya adalah melalui televisi. Di dalam masyarakat kapitalis global
eksploitasi dan komodifikasi segala sumber daya dan konsumsi produk-produknya bahkan
mencapai titik puncaknya. Dampak psikologis atau spriritual dari budaya massa merupakan
pokok bahasan Rifkin (2000) di atas. Rifkin menuturkan tentang adanya empat macam
dampak budaya massa bagi kehidupan masyarakat.

Pertama, komodifikasi dalam segala bidang kehidupan. Masyarakat yang


terkomodifikasikan ruang budayanya, dihinggapi semacam alienasi. Mereka terns
mengonsumsi, karena falsaf ah hidup mereka: "I consume therefore I am". Aku mengonsumsi
karena itu maka aku ada. Mereka teralienasi di balik kelimpahan kekayaan kebendaan, bukan
keruhanian.

Kedua, homogenisasi. Industri media global juga menjadi mesin penyeragaman


budaya. Produser budaya dan gaya hidup seperti MTV dan Hollywood menjadi penentu
selera bagi kebanyakan orang kaya dan anak-anak muda di seluruh dunia. Pada saat
menawarkan hiburan-hiburan global, mereka juga menawarkan gaya hidup, budaya dan nilai
bagi anakanak muda yang tengah mencari identitas dirinya. Gaya pakaian, corak rambut,
asesoris seakan-akan seragam. Indonesia yang kini sedang dilanda demam Korean Wave,
cenderung mengikuti gaya para artis Korea. Jika homogenisasi dalam dunia pendidikan
memasung kreativitas, maka homogenisasi budaya mengancam pluralisme.

Ketiga, fragmentasi. Industri media global melalui produk budaya massanya juga
mempengaruhi gambaran akan peristiwa kehidupan sehingga menjadi kepingan-kepingan,
penggalan-penggalan tak beraturan, fragmen-fragmen tak utuh kehidupan. Dalam iklan dan
berita, fragmentasi kehidupan dapat dengan jelas terlihat. Barn beberapa detik melihat kisah
bahagia tiba-tiba berubah menjadi kisah yang mengharukan.
Keempat, regimentasi industri media global yang berproses secara canggih dengan
bantuan teknologi informasi dan komunikasi bahkan dengan mudah mempengaruhi dunia
kehidupan.

Perkembangan industri media televisi yang kurang terkendali telah menimbulkan


kekhawatiran pada berbagai pihak. Televisi sebagai industri bisnis semakin menunjukkan
kecenderungan orientasi komersial dan hanya memberikan sedikit perhatian pada upaya
pembentukan nilai-nilai moral yang berkepribadian dan beridentitas kebangsaan serta
peningkatan kualitas intelektual.

Berbeda dengan demokratisasi dalam kehidupan pers dan komunikasi massa


penyelenggara siaran televisi swasta mengganggap Undang-undang tersebut mematikan
kebebasan media massa yang mulai diperoleh sejak era reformasi. Pemilik industri media
massa menginginkan keleluasaan yang besar dalam menentukan kebijak:an penyiaran sendiri,
terlepas dari campur tangan Negara. Padahal pemerintah yang terdiri dari kalangan eksekutif
dan legislative itu bertanggungjawab untuk melindungi masyarakat dari pengaruh negatif
media massa yang dapat merugikan pembentukan sumber daya manusia Indonesia uang
produktif dan berkepribadian.

Dampak yang dikhawatirkan adalah terjadinya pendangkalan nilai-nilai etika dan


estetika dan pandangan hidup masyarakat karena berkembangnya budaya massa yang dibawa
melalui tayangan televisi. Dampak lain yang mengkhawatirkan adalah berkembangnya
budaya konsumen, terjadinya perlombaan memperkaya diri dengan barang-barang kebutuhan
hidup konsumtif secara berlebihan. Sementara banyak orang miskin masih bergulat dengan
kesulitan untuk bertahan hidup, namun sebagian orang yang berhasil menjadi semakin kaya
justru sibuk dengan menikmati gaya hidup yang hedonistik atau bermewah-mewahan.
Daftar Pustaka

https://www.researchgate.net/profile/Atef_Fahrudin/publication/
341878046_PROBLEMATIKA_LEMBAGA_PENYIARAN_TELEVISI_DI_INDONESIA/
links/5ed79f4545851529452a8442/PROBLEMATIKA-LEMBAGA-PENYIARAN-
TELEVISI-DI-INDONESIA.pdf?origin=publication_detail

https://repository.dinus.ac.id/docs/ajar/PPT_1.pdf

https://media.neliti.com/media/publications/233785-budaya-penyiaran-televisi-di-indonesia-
32fd3922.pdf

http://digilib.uinsby.ac.id/3103/5/Bab%202.pdf

Anda mungkin juga menyukai