Anda di halaman 1dari 11

KEEFEKTIFAN RATING TELEVISI

SEBAGAI INDIKATOR KESUKSESAN


TELEVISI

NAMA : - MUHAMAD RAIHAN R. (44117210025)


- TOMY RIFKY F (44117210008)
- ADHARY MAHAPUTRA (44117210020)
SEJARAH TELEVISI INDONESIA DAN
KHALAYAKNYA
 Pada tahun 1952, muncul gagasan dari Menteri Penerangan saat itu, Maldi, untuk
mendirikan sebuah stasiun televise di Indonesia. Meski jumlah pemilik pesawat televisi
masih sangat sedikit dan itu pun terpusat di Jakarta. Namun bangsa Indonesia, dari
kacamatanya, sudah memerlukan stasiun televise nasional. Sepuluh tahun kemudian,
Agusutus 1962, keinginan itu terlaksana dengan nama Televisi Republik Indonesia (TVRI).
 Ide itu sejalan dengan cita – cita Presiden Soekarno yang ingin menjadikan bangsa
Indonesia sebagai mercusuar melalui penciptaan hal – hal besar. Dengan stasiun televisi,
tujuan – tujuan pemerintah yang bersifat politis, pedagogis, dan prestise, baik internal
maupun eksternal.
 Munculnya Pengusaha
Kejenuhan masyarakat karena rendahnya mutu TVRI kemudian dibaca oleh sejumlah pengusaha.
Menjelang akhir 1980-an, beberapa orang yang dekat dengan lingkar kekuasaan tertinggi, namun bukan
pemerintah, mendirikan stasiun televisi swasta bernama Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI).
Kehadiran televisi swasta ini sontak membuat kehidupan dunia televisi tidak lagi sederhana,
Televisi yang semula berlaku hanya sebagai institusi sosial, dan karenanya hanya berkuat pada
pemahaman bagaimana mempengaruhi masyarakat secara politis, kini dihadapkan sebagai institusi bisnis
yang juga harus berpikir bagaimana mendapatkan keuntungan. Sebagai pembisnis, para pelaku dari dunia
non pers ini memandang pers sebagai peluang usaha, atau sarana pembentukan citra yang baik lewat media
yang dapat mereka control atau pengaruhi.
Perubahan televisi sebagai institusi bisnis juga membawa serta sebuah pandangan baru dari pihak stasiun
televisi terhadap masyarakat penonton televise. Berbeda dengan TVRI yang tidak peduli pada siapa yang
menonton, stasiun televise swasta kini betul- betul memperhatikan siapa yang menonton. Sebab
pemasangan iklan, sebagaimana loika perusahaan yang sedang pameran, ingin sekali produknya dilihat
oleh orang banyak.
Sejak itu, iklan mulai dijadikan tmupuan bagi keberlangsungan hidup suatu institusi media. Lambat laun,
industri media televise mulai digerakan oleh apa yang di sebut oleh Ashadi Siregar, di sebuah situs sebagai
interaksi segitiga, yaitu stasiun penyiaran (termasuk production house), khalayak pemirsa, dan sebagai
bagian dari sebuah roda yang diharapkan mampu berputar dengan baik dalam rangka mendapatkan
keuntungan (uang).
 Pemirsa yang Terpilah

Jika TVRI kerap memandang pemirsanya sebagai satu entitas tunggal yang selalu ada,
RCTI sebagai televise swasta pertama melihat pemirsanya sebagai massa yang tebelah, dimana
salah sau belahannya yakni kelas menengah-atas, harus direbut untuk digiring ke RCTI.
RCTI melihat orang-orang di kelas itu sebagai kumpulan konsumen berduit yang dipengaruhi
serta menikmati gaya hidup materialistis dan nilai-niai internasional.
Perbedaan cara memandang pemirsa tidak hanya membawa perubahan pada format berbagai
acara, tetapi juga pada jurnalisme pemberitaan. Program berita RCTI, Seputar Indonesia, tidak
sepenuhnya mengikuti gaya TVRI yang melulu berisi tentang keberhasilan pemerintah seperti
gunting pita atau pidato pejabat.
RATING TELEVISI DAN KUASANYA
Setelah TPI, secara beruntun lahir berbagai stasiun televise swasta baru di Saluran Siaran
Umum (SSU), seperti ANTV, Indosiar, Trans TV, dll. Seperti halnya RCTI, masing-masing
stasiun tersebut , pada mulanya menargetkan pemirsanya dari kalangan tertentu.
Metro TV, misalnya, sejak awal sudah berkonsentrasi pada kelas atas yang membutuhkan
berita-berita actual. Lativi, pada mulanya memilih pemirsa dari kalangan yang suka mengikuti
tren terbaru dan terkenal.
Sebagai sebuah industri, televise sangat tergantung pada keberadaan khalayak ini. Sebab
ketika seluruh pendapatan televise ditpoang sepenuhnya oleh iklan, maka klaim – klaim
tertentu berdasarkan khalayak menjadi sangat sinifikan. Perusahaan pengiklan, konon, hanya
mau atau cenderung akan beriklan di suatu stasiun atau program acara jika diketahui jumlah
penontonnya banyak. Tanpa penonton yang banyak, suatu stasiun televise terancam bangkrut.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan pengetahuan secara konkret, digelarlah penelitian tentang
perilaku khalayak televise (Television Audience Measurenment, TAM) oleh sebuah lembaga
riset internasional yang sekarang bernama Nielsen Media Research (NMR).
Selama ini, hasil rating-rating dari NMR ternyata menunjukan bahwa pemirsa televise hanya
sering menonton program acara dengan genre – genre tertentu.
POSISI RATING DALAM KEBIJAKAN
REDAKSIONAL TELEVISI

 Hari rabu adalah hari yang paling mendebarkan bagi praktisi televise. Hari itu semua
stasiun tv akan menerima laporan dari NMR tentang rating dan share yang mereka peroleh
dala seminggu. Jika angka- angkanya menunjukan peningkatan dari minggu sebelumnya,
maka semua akan senang. Namun jika menurun,, semua akan menghela napas.
KRITIK TANGKIS TENTANG RATING

 Kepercayaan kepada rating yang dihasilkan lembaga riset memang telah dianggap sebagia
suatu hal yang lazim dikalangan orang televise. Sehingga, jika ada yang mengkritik
televise sebagai penghasil teks-teks kultural rendahan atau low taste content, biasanya
temeng yang segera di kehedepankan adalah rating. Kaena rating diasumsikan sebagai
reprentaasi selera masyarakat, maka para pengkritiknya akan segera dikatakan sebagai
orang yang sedang mengkritik mekanisme pasar.

 Mereka yang mengedepankan rating sebenarnya memiliki pandangan bahwa kebenaran


sudah ada di sana dan menunggu untuk diungkap (the truth is out there) sebagai sesuatu
yang universal.
RISET KHALAYAK

 Untuk mengetahui berapa banyak penonton suatu program acara, televise (sebagai salah
satu bentuk komunikasi massa), terutama yang bisa diakses secara gratis (Saluran Siaran
Umum) dan pendanaannya dating dari iklan, dihadapan pada sejumlah orang yang tidak
saja tersebar, tapi juga heterogen dan anonym. Mereka tidak bisa seperti sauradar tuanya.
Media cetak, yang setidaknya bisa mengetahui secara lebih jelas siapa dan dari kalangan
sosial mana pembacanya melalui jumah oplah yang terjuual. Mereka tidak bisa seperti
bentuk komunikasi lainnya, misalnya komunikasi antar pribadi atau komunikasi kelompok.
Yang sedikit banyak bisa mengetahui langsung siapa dan bagaimana suanasa, respons, atau
keinginan lawan bicaranya atau anggotanya melalui transaksi symbol – symbol.
 Dengan kondisi seperti itu, hadirlah apa yang disebut sebagai riset khalayak. Riset
khalayak adalah proses pengumpulan data yang dirasa akurat mengenai jumlah penonton
pada sebuah program acara atau saluran, jenis orang – orang yang menontonnya, bahkan
kcenderungan dalam perilaku khalayak.
SEPUTAR RATING

 Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bisnis komunikasi massa dengan medium televise
(dan radio) mengandung sejumlah kesulitan yang sangat pelik. Transaksi “perdagangan”
antara yang melihat dan dilihat tidak bisa diketahui secara pasti. Di tengah kebutuhan dan
kesulitan untuk mengetahui siapa dan berapa khalayak yang menonton inilah lembaga riset
khalayak, yang bernama Nielsen Media Research (NMRR), masuk.

 Rating selain menjadi indicator tentang berapa dan dari kalangan sosial mana
penonton sebuah program acara, yang pada gilirannya menentukan layak tidaknya suatu
program acara untuk (terus) ditayangkan.
Siapa Peneliti itu?

 Nielsen Media Research (NMR) adalah bagian dariVNU Corporate yang melakukan
pengukuran khalayak media (TAM). Disamping NMR, VNU juga memiliki ACNielsen
(CAN) yang melayani pengukuran khalayak tentang suatu prouduk.
MAKASIH !

Anda mungkin juga menyukai