REFORMASI
BIROKRASI
ACEH
2013 -2017
Kerjasama antara
Pemerintah Aceh,
BAPPENAS dan United
Nations Development
Programme
0
DAFTAR ISI
Daftar Isi 1
Daftar Gambar 2
Ringkasan Eksekutif 3
Bab I Pendahuluan 6
1. latar Belakang 6
2. Maksud dan Tujuan 23
3. Ruang Lingkup 23
a. Penguatan Birokrasi Pemerintah 23
b. Tingkat Pelaksanaan 23
c. Program 23
4. Ukuran Keberhasilan 24
a. Sasaran dan Indikator 24
b. Dampak dan Indikator 25
1
RINGKASAN EKSEKUTIF
2
Upaya penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh 2012-
2017 pada dasarnya adalah jabaran dari visi dan misi Kepala Daerah terpilih dengan
memperhatikan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh dan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Berdasarkan jabaran dan sinkronisasi
tersebut, maka sepuluh prioritas bidang pembangunan untuk periode 2012-2017
adalah:
1. Penuntasan peraturan-peraturan turunan UUPA
2. Pelaksanaan reformasi birokrasi dalam rangka mewujudkan pemerintahan
yang amanah
3. Membangkitkan kembali pemahaman masyarakat terhadap budaya Aceh dan
pelaksanaan Dinul Islam
4. Pengembangan ekonomi kerakyatan melalui peningkatan produksi komoditas
unggulan
5. Pengembangan industri dan pariwisata berbasis sumber daya lokal
6. Peningkatan kualitas SDM melalui pelayanan pendidikan dan kesehatan yang
berkualitas
7. Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur yang terintegrasi dan ramah
lingkungan
8. Peningkatan kualitas dan pemanfaatan jasa lingkungan serta pengurangan
resiko bencana
9. Pengelolaan SDA yang bermanfaat untuk rakyat dan berkelanjutan
10. Pembangunan energi dengan mengutamakan sumber-sumber energi
terbarukan
Birokrasi sebagai hal yang terpenting dalam pencapaian tujuan
pembangunan Aceh masih belum menunjukkan kinerja yang diharapkan. Berbagai
permasalahan yang dihadapi birokrasi Aceh antara lain adalah sebagai berikut:
Besaran organisasi perangkat Aceh belum didasarkan pada indikator teknis
urusan pemerintahan, hasil analisis jabatan dan analisis beban kerja;
Pengelolaan keuangan daerah belum tertib dan tepat waktu, hal ini
tergambar dari hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
terhadap pengelolaan keuangan Provinsi Aceh masih dalam kategori wajar
dengan pengecualian (WDP);
Distribusi PNS yang tidak proporsional dengan tugas dan fungsi organisasi
pemerintah;
Komposisi antara jabatan teknis dengan tenaga administratif yang belum
proporsional;
Belum diterapkannya standar pelayanan pada setiap unit pelayanan publik;
Belum optimalnya penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) sesuai
3
dengan SPM yang telah ditetapkan oleh Kementerian/Lembaga Pemerintah
Non Kementerian pada Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota;
Belum dilakukan harmonisasi antara sistem perencanaan dan sistem
penganggaran dengan sistem AKIP; dan
Rencana Kinerja Tahunan belum dijadikan pedoman dalam penyusunan
Rencana Kerja Pemerintah Aceh, sehingga keterkaitan antara anggaran yang
diajukan tidak sesuai dengan kinerja yang direncanakan.
Untuk memperbaiki permasalahan birokrasi tersebut di atas, maka
Pemerintah Aceh menyusun Road Map Reformasi Birokrasi dengan maksud untuk
memberikan arah pelaksanaan reformasi birokrasi di lingkungan Pemerintah Aceh
agar berjalan secara efektif, efisien, terukur, konsisten, terintegrasi, melembaga, dan
berkelanjutan. Tujuan akhirnya dari penyusunan Road Map ini adalah untuk
peningkatan profesionalisme dan integritas birokrasi pemerintahan melalui
penguatan peraturan perundang-undangan, perubahan perilaku, penataan
organisasi, penataan tatalaksana, penerapan budaya organisasi, penataan
manajemen SDM aparatur, penguatan akuntabilitas, peningkatan kualitas pelayanan
publik, pemberantasan praktek KKN, penerapan sistem monitoring, evaluasi kinerja
dan pengawasan birokrasi yang semakin melibatkan partisipasi masyarakat.
Adapun ukuran keberhasilan Reformasi Birokrasi Pemerintah Aceh periode
RPJMA 2012-2017 dapat ditandai dengan ukuran sebagai berikut: a) berkurangnya
angka korupsi yang ditandai dengan tidak ada pelanggaran/sanksi; b) APBN dan
APBA baik; c) semua program selesai dengan baik dan tepat sasaran; d) semua
perizinan selesai dengan cepat dan tepat; e) komunikasi dengan publik baik; f)
penggunaan waktu (jam kerja) efektif dan produktif; g) penerapan reward dan
punishment secara konsisten dan berkelanjutan; dan h) hasil pembangunan nyata
(propertumbuhan, prolapangan kerja, dan propengurangan kemiskinan; artinya,
menciptakan lapangan pekerjaan, mengurangi kemiskinan, dan memperbaiki
kesejahteraan rakyat).
Untuk mewujudkan ukuran keberhasilan tersebut, dirumuskanlah beberapa
kegiatan/rencana aksi 2013-2017 yang bisa dijadikan sebagai solusi untuk
memecahkan persoalan-persoalan birokrasi saat ini. Agenda reformasi birokrasi ini
mendasarkan pada delapa area perubahan, yaitu: kelembagaan, ketatalaksanaan,
SDM aparatur, perundang-undangan, pelayanan publik, pengawasan, akuntabilitas,
budaya kerja dan pola pikir. Untuk menjalankan agenda reformasi ini maka
diperlukan adanya dukungan dana serta unit pelaksana yang bertanggung jawab
menjalankan program ini.
Sebagai bagian dari program reformasi birokrasi, maka Pemerintah Aceh
menetapkan program prioritas (quick wins), yakni suatu program unggulan yang
4
akan dijadikan sebagai alat untuk menaikkan citra birokrasi dan kepercayaan publik.
Pemerintah Aceh memilih delapan program prioritas sebagai agenda quick wins,
yaitu:
Digitalisasi dokumen LAKIP SKPA dan Pemerintah Aceh pada Portal
Pemerintah
Penambahan aplikasi sistem akuntansi keuangan Aceh
Penyusunan SOP Penanggulangan Bencana Aceh
Penandatanganan kontrak kinerja satuan kerja
Revisi SOP BP2T Terkait Pengutipan Biaya di luar Qanun
Pengembangan aplikasi yang mendukung e-gov
Pengembangan Pelayanan Kesehatan Terpadu (Integrated Health Service)
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin
Pengesahan Peraturan Gubernur Prosedur Peminjaman dan Pengembalian
Buku di Perpustakaan
5
BAB I
Pendahuluan
7
3. Besaran organisasi perangkat Aceh belum didasarkan pada indikator teknis
urusan pemerintahan, hasil analisis jabatan dan analisis beban kerja;
4. Penggabungan urusan pemerintahan menyebabkan kesulitan dalam
memperoleh kompetensi pimpinan SKPA dikarenakan satu SKPA
mempersyaratkan beberapa kompetensi dan disiplin ilmu;
5. Belum terbentuknya kelembagaan perangkat Aceh yang merupakan amanat
UUPA;
6. Pemanfaatan jabatan fungsional tertentu dan fungsional umum pada setiap
SKPA belum optimal yang memberikan konsekuensi penambahan pegawai tidak
tetap pada setiap SKPA.
Praktek KKN juga mempunyai kaitan erat dengan reformasi birokrasi. Praktek
KKN mengakibatkan tidak efisien dan tidak efektifnya pemanfaatan anggaran
pembangunan dan dapat memicu biaya ekonomi tinggi. Disamping itu, praktek KKN
juga menyebabkan tidak tepatnya sasaran pembangunan, menimbulkan persaingan
tidak sehat sekaligus mematikan kreativitas dan produktivitas masyarakat dan hasil
pembangunan akan berpihak pada kepentingan kelompok tertentu daripada
kepentingan masyarakat umum. Hal ini mengakibatkan sasaran dan kualitas
pembangunan tidak terealisasi secara maksimal.
Pengelolaan keuangan daerah belum tertib dan tepat waktu, hal ini
tergambar dari hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap
pengelolaan keuangan Provinsi Aceh masih dalam kategori wajar dengan
pengecualian (WDP). Dengan kata lain, Pemerintah Aceh belum pernah menerima
predikat wajar tanpa pengecualian (WTP). WTP merupakan tingkat pencapaian
penghargaan tertinggi dalam pengelolaan keuangan daerah. Penyebab utama
suatu daerah belum menerima predikat WTP tersebut antara lain: (1) belum
profesionalnya pengelolaan aset, (2) kapasitas sumber daya manusia (SDM) belum
profesional dalam pengelolaan keuangan dan aset publik, (3) belum transparannya
pengelolaan keuangan dan aset, (4) belum optimalnya pemanfaatan standar
operasional prosedur (SOP) dalam pengelolaan aset dan keuangan (BPK, 2012).
Hasil audit BPK tahun 2011 terhadap pengelolaan keuangan daerah provinsi
Aceh menyebutkan bahwa terdapat potensi kerugian negara sebesar 1,7 Triliyun
pada tahun 2011 dengan 122 jumlah dugaan kasus korupsi (BPK, 2012).
Selanjutnya ICW (2010) melaporkan bahwa Aceh termasuk ke dalam 4 (empat)
besar provinsi terkorup di Indonesia dengan 14 kasus dugaan korupsi. Kasus
dugaan korupsi ini sebagian besar terjadi pada kegiatan pengadaan barang dan jasa
yang masih belum transparan dan akuntabel. Salah satu penyebab terjadinya
korupsi pada pengadaan barang dan jasa tersebut karena belum sepenuhnya
satuan kerja perangkat Aceh (SKPA) menggunakaan sistem e-procurement.
8
Pengelolaan keuangan daerah agar menjadi efisien dan efektif dilakukan
dengan mengevaluasi kembali proporsi pengalokasian belanja langsung dan
belanja tidak langsung pemerintah. Hasil rekapitulasi belanja langsung dan belanja
tidak langsung Pemerintah Aceh untuk setiap tahunnya berkisar sebesar 55% untuk
belanja langsung dan 45% belanja tidak langsung. Belanja langsung ini pada
hakikatnya ditujukan untuk membiayai pembangunan daerah yang manfaatnya
diterima secara langsung oleh masyarakat. Namun, dalam belanja langsung itu pun
masih terdapat sebesar 30% untuk belanja aparatur. Dengan demikian, belanja
langsung ini secara riil hanya 25% untuk membiayai pembangunan yang
manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat. Dengan kata lain, Pemerintah
Aceh mengalokasikan belanja tidak langsung (belanja aparatur) sebesar 75% (P2K,
2012).
Tingginya belanja aparatur disebabkan oleh belum efisiennya pengaturan
perjalanan dinas, belanja barang dan jasa, dan operasional masing-masing SKPA.
Belanja perjalanan dinas perlu diatur dan dikendalikan secara ketat melalui
mekanisme yang tepat dengan metode fixed cost seperti yang diterapkan oleh
ABPN. Penggunaan biaya jasa kantor seperti pemakaian listrik, telepon, dan
internet harus dilakukan sehemat mungkin, demikian juga terhadap barang habis
pakai seperti alat tulis kantor, kertas dan tinta printer. Selanjutnya, jasa cleaning
service perlu dievaluasi efektivitas dan sistem pelaksanaannya, apakah perlu
menggunakan mekanisme swakelola atau dikontrakkan kepada pihak ketiga.
Semua hal tersebut agar dapat diimplementasikan perlu didukung oleh Peraturan
Gubernur dan komitmen seluruh aparatur pemerintahan untuk melaksanakan
kegiatan pembangunan yang efektif dan efisien.
Manajemen aparatur berkaitan erat dengan proses rekrutmen, distribusi
dan penegakan disiplin (reward and punishment). Proses rekrutmen aparatur
pemerintah harus berdasarkan pada kebutuhan riil dan profesionalisme yang
didahului dengan suatu kajian kebutuhan riil masing-masing SKPA. Latar belakang
pendidikan dan keahlian yang dimiliki menjadi salah satu indikator penilaian dalam
proses rekrutmen. Demikian juga penempatan aparatur yang perlu disesuaikan
dengan tugas dan fungsi masing-masing SKPA.
Distribusi aparatur pemerintah khususnya guru, tenaga medis dan para
medis serta penyuluh masih belum merata di semua wilayah, baik secara kualitas
maupun kuantitas. Namun, kewenangan dalam mengatur distribusi guru, tenaga
medis dan para medis serta penyuluh tersebut berada di bawah otoritas masing-
masing pemerintah kabupaten/kota. Dengan kata lain, pemerintah Aceh tidak
memiliki kewenangan untuk melakukan distribusi guru, tenaga medis dan para
medis serta penyuluh secara proporsional khususnya di daerah kepulauan dan
9
perbatasan. Oleh karena itu, Gubernur Aceh sebagai kepala Pemerintah Aceh perlu
melakukan koordinasi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota agar pendistribusian
guru, tenaga medis dan para medis serta penyuluh bisa dilakukan secara terpadu
yang diatur melalui keputusan Gubernur.
Dalam rangka pembinaan dan peningkatan kinerja aparatur, perlu diatur
suatu mekanisme pemberian penghargaan (reward) dan sanksi (punishment).
Tatacara pemberian penghargaan dilakukan secara selektif dan terukur sesuai
dengan kinerja dan produktivitas aparatur dalam rangka pelayanan kepada
masyarakat. Disisi lain juga diberikan sanksi yang tegas kepada aparatur
pemerintah yang tidak disiplin dalam menjalankan tugasnya sehingga memberi
efek jera kepada aparatur yang bersangkutan sekaligus menjadi pembelajaran bagi
aparatur lainnya. Tatacara pemberian penghargaan dan sanksi kepada aparatur
diatur lebih lanjut dengan peraturan Gubernur. Secara umum permasalahan
Aparatur Pemerintah Aceh saat ini diantaranya:
1. Distribusi PNS yang tidak proporsional dengan tugas dan fungsi organisasi
pemerintah.
2. Komposisi antara jabatan teknis dengan tenaga administratif yang belum
proporsional.
3. Mismatch antara kompetensi PNS dengan persyaratan yang dibutuhkan oleh
jabatan.
4. Produktivitas dan kinerja PNS belum mencapai standar yang diharapkan.
5. Disiplin dan etos kerja yang masih rendah serta penegakan disiplin yang belum
berjalan sesuai dengan sistem serta masih tergantung kepada komitmen
pejabat.
Aspek lainya yang masih terkendala adalah kualitas pelayanan publik yang
belum memenuhi perkembangan masyarakat. Pelayanan publik yang diberikan oleh
instansi Pemerintah, baik Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota kepada
masyarakat merupakan perwujudan fungsi aparatur negara sebagai abdi
masyarakat. Pada era otonomi daerah, fungsi pelayanan publik menjadi salah satu
fokus perhatian dalam peningkatan kinerja instansi pemerintah daerah.
Secara umum penyelenggaraan pelayanan publik belum sesuai dengan
harapan dan belum dapat mengakomodir kepentingan seluruh lapisan masyarakat
serta belum memenuhi hak-hak dasar warga negara/penduduk. Adapun
permasalahan yang dihadapi dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik
antara lain:
1. Belum diterapkannya standar pelayanan pada setiap unit pelayanan publik;
10
2. Belum optimalnya penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) sesuai dengan
SPM yang telah ditetapkan oleh Kementerian/Lembaga Pemerintah Non
Kementerian pada Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota;
3. Belum optimalnya peran dan partisipasi masyarakat dalam penyusunan standar
pelayanan dan evaluasi kinerja penyelenggaraan pelayanan publik.
Penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, efisien dan produktif dapat
tercermin dari penguatan tatalaksana pemerintahan. Permasalahan yang dihadapi
dalam penguatan tatalaksana meliputi:
1. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang belum mendorong
penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien;
2. Sistem, prosedur dan mekanisme kerja birokrasi pemerintahan yang masih
panjang dan berbelit-belit sehingga memboroskan sumber daya, energi dan
waktu;
3. Belum adanya pedoman umum untuk berbagai aspek ketatalaksanaan, sehingga
mengakibatkan adanya keanekaragaman petunjuk yang berdampak pada
adanya keanekaragaman petunjuk teknis yang dibuat oleh setiap instansi
pemerintah;
4. Budaya kerja efisien, efektif, disiplin, hemat, produktif dan hidup sederhana
yang belum berkembang.
Penerapan sistem pertanggungjawaban kinerja yang tepat, jelas, terukur dan
dapat dipertanggungjawabkan merupakan syarat penting bagi penyelenggaraan
pemerintah. Disamping itu perlu juga untuk mengetahui dengan persis
keberhasilan/kegagalan pelaksanaan misi Pemerintah Aceh dalam mencapai tujuan
dan sasaran yang telah ditetapkan. Media pertanggungjawaban terhadap
pelaksanaan administrasi pemerintahan dan penyelenggaraan pembangunan
kemasyarakatan belum dapat menggambarkan kinerja yang sesungguhnya yang
ingin diwujudkan, sehingga jika dibandingkan dengan daya serap anggaran, belum
sebanding dengan hasil pencapaian dari pelaksanaan program dan kegiatan pada
Satuan Kerja Perangkat Aceh yang dilaporkan setiap berakhirnya tahun anggaran
dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Hal ini
menunjukkan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah belum berjalan
secara optimal, salah satu dikarenakan indikator dan target kinerja untuk mengukur
keberhasilan pencapaian tujuan dan sasaran belum dirumuskan secara baik dan
belum didukung dengan data kinerja yang valid dan terukur. Mengingat arti
pentingnya akuntabilitas kinerja aparatur maka Road Map Reformasi Birokrasi
menjadi salah satu pilar utama dalam pelaksanaan Reformasi Birokrasi Pemerintah
Aceh. Namun dalam implementasinya, juga ditemukan beberapa permasalahan,
antara lain :
11
1. Belum dilakukan harmonisasi antara sistem perencanaan dan sistem
penganggaran dengan sistem AKIP.
2. Rencana Kinerja Tahunan belum dijadikan pedoman dalam penyusunan Rencana
Kerja Pemerintah Aceh, sehingga keterkaitan antara anggaran yang diajukan
tidak sesuai dengan kinerja yang direncanakan;
3. Belum dilakukan secara optimal studi kelayakan terhadap program dan kegiatan
yang direncanakan untuk menghindari pelaksanaan program dan kegiatan yang
tidak menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi SKPA;
4. Beberapa SKPA belum memiliki data kinerja yang valid, sehingga menyulitkan
dalam penyusunan dokumen AKIP;
5. Banyak instansi pemerintah belum berfokus kepada hasil;
6. Instansi pemerintah umumnya belum dapat menunjukkan akuntabilitas
kinerjanya.
Permasalahan ini menjadi tantangan besar Pemerintahan Aceh dalam
membangun Aceh selama periode 2012-2017. Untuk itu disusunlah Road Map
Reformasi Birokrasi Pemerintahan Aceh sebagai peta untuk perbaikan tata kelola
Pemerintahan Aceh secara terencana, bertahap dan berkelanjutan dengan tetap
berpedoman pada UUPA.
Road Map Reformasi Birokrasi Pemerintah Aceh (RMRB-PA) adalah bentuk
operasionalisasi Grand Design Reformasi Birokrasi Nasional (GDRB) yang disusun dan
dilakukan setiap 5 (lima) tahun sekali dan merupakan rencana rinci pelaksanaan
reformasi birokrasi dari satu tahapan ke tahapan selanjutnya, dalam masa lima
tahun, dengan sasaran tahunan yang jelas. Sasaran tahun pertama akan menjadi
dasar bagi sasaran tahun berikutnya, begitu juga sasaran tahun-tahun berikutnya
mengacu pada sasaran tahun-tahun sebelumnya.
Secara sederhana, gambar hubungan Road Map Reformasi Birokrasi
Pemerintah Aceh dengan dokumen Grand Design Reformasi Birokrasi Nasional
adalah sebagai berikut:
12
Gambar 1
Hubungan Road Map Reformasi Birokrasi Pemerintah Aceh dengan dokumen
Grand Design Reformasi Birokrasi Nasional
Gambar 2
Hubungan Road Map Reformasi Birokrasi Pemerintah Aceh dengan dokumen
Grand Design Reformasi Birokrasi Nasional
13
kelola Pemerintahan Aceh yang amanah melalui Implementasi dan penyelesaian
turunan UUPA untuk menjaga perdamaian yang abadi. Penyusunan dokumen Road
Map ini berpedoman pada Grand Design dan Road Map Reformasi Birokrasi Nasional
dan merupakan dokumen pendamping RPJM Aceh Tahun 20122017. Road Map
Reformasi Birokrasi Aceh menjadi acuan dalam pencapaian Tujuan RPJM Aceh 2012
2017, khususnya dalam pencapaian misi pertama. Tujuan misi pertama adalah
terwujudnya tata kelola Pemerintahan Aceh yang amanah melalui penyelesaian
turunan dan Implementasi UUPA untuk menjaga perdamaian yang abadi, dengan
sasaran sebagai berikut :
a. Terwujudnya penyelesaian peraturan-peraturan turunan UUPA seperti
Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Qanun dan
peraturan perundang-undangan lainnya;
b. Terwujudnya implementasi UUPA secara cepat dan akurat melalui implementasi
berbagai turunan UUPA yang mengikat dalam upaya pencapaian keutuhan,
perdamaian abadi, dan percepatan pembangunan yang berkelanjutan;
c. Terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang bermartabat, bersih, dan
amanah serta bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme, dengan
mengedepankan kualitas kerja dan profesionalisme;
d. Terwujudnya birokrasi yang kuat melalui optimalisasi pelayanan publik, menjaga
kelangsungan pembangunan yang berkelanjutan melalui terciptanya supremasi
hukum dan penegakan hak asasi manusia. Tersedianya ruang dialog publik yang
bebas dan bertanggung jawab serta peningkatan peran serta dan partisipasi
masyarakat sipil dalam kehidupan politik dan kegiatan pembangunan;
e. Terciptanya tata kelola pemerintahan yang tertib sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dengan penguatan sistem kelembagaan yang memiliki
nilai-nilai demokrasi yang menitikberatkan pada prinsip-prinsip transparansi,
akuntabilitas, non-diskriminasi, dan kemitraan.
Gambar 3
Reformasi Birokrasi dan Pembangunan Aceh
14
Mengingat peran dan fungsi penting Road Map Reformasi Birokrasi bagi
Pemerintah Aceh dan masyarakat pada umumnya, maka proses penyusunannya
dilakukan secara sistematis, akurat dan terpadu dengan melibatkan seoptimal
mungkin peran para pemangku kepentingan pembangunan. Berdasarkan alasan
tersebut maka penyusunan Road Map ini dilakukan secara transparan dan
partisipatif untuk menghasilkan dokumen perencanaan yang holistik dan
berkesinambungan. Road Map ini berisi arah kebijakan, program, dan kegiatan
rencana aksi reformasi birokrasi Pemerintah Aceh, termasuk juga program SKPA,
program lintas SKPA, dan program kewilayahan yang terintegrasi dengan baik serta
disertai dengan rencana-rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka
pendanaan yang bersifat indikatif. Dengan demikian diharapkan akan terciptanya
sinkronisasi rencana aksi reformasi birokrasi antar sektor dan wilayah baik bersifat
jangka panjang, menengah, maupun jangka pendek, sehingga terwujudnya
pembangunan yang terpadu dan berkelanjutan di Aceh.
16
Program Transmigrasi Lokal
Program Pelayanan dan Rehabilitasi Kesejahteraan Sosial
Program Pemberdayaan Ekonomi *) Program Baru
Program pengembangan perumahan
17
Program Peningkatan Partisipasi Masyarakat Dalam Membangun Gampong;
Program Penyediaan dai perbatasan, perdesaan dan perkotaan; *) Program
Baru
Program Pembinaan Dakwah dan Syiar Islam;
Program Peningkatan pemahaman keagamaan bagi masyarakat; *) Program
Baru
Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Keagamaan
Program Peningkatan Pemahaman Wawasan Islam
Program Pembinaan dan Koordinasi Wilayatul Hisbah (WH);
Program Peningkatan Sumber Daya dan Peran Ulama;
Program Peningkatan Silaturrahmi dan Koordinasi antara Umara dan Ulama;
*) Program Baru
Program Peningkatan Kualitas Kelembagaan Agama, Pelayanan Kehidupan
Beragama dan Peran Ulama;
Program Pengembangan dan Pemberdayaan Peradilan Syariah
Program Peningkatan Kehidupan Beragama dan Toleransi Umat Beragama
Program Pengembangan Keserasian Kebijakan Pemuda;
Program Peningkatan Peran serta kepemudaan;
Program Peningkatan Upaya Pertumbuhan Kewirausahaan dan Kecakapan
Hidup Pemuda;
Program Pengembangan Kebijakan dan Manajemen Olahraga;
Program Pembinaan dan Pemasyarakatan Olahraga;
Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Olahraga;
Program Pembinaan Kepanduan.
Program pembinaan olah raga seni dan budaya korpri;
Program pembinaan mental da rohani anggota korpri;
Program pembinaan olah raga tradisional Aceh; *)=Program baru
Program Keserasian Kebijakan Peningkatan Kualitas Anak dan Perempuan;
Program Penguatan Kelembagaan Pengarusutamaan Gender dan Anak;
Program Peningkatan Kualitas Hidup dan Perlindungan Perempuan;
Program Peningkatan Peran Serta dan Kesetaraan Gender Dalam
Pembangunan;
18
Program Peningkatan dan Pengembangan Ekspor
Program Optimalisasi Pengelolaan dan Pemasaran Produksi Perikanan
Program Peningkatan Efisiensi Perdagangan Dalam Negeri
Program Peningkatan Produksi (Pertanian/perkebunan)
Program Peningkatan Produksi (Pertanian/perkebunan)
Program Peningkatan Produksi Peternakan
Program pengkajian pengembangan kawasan agribisnis; *)=Program Baru
Program pengkajian pengembangan agribisnis komoditas unggulan daerah; *)
Program Baru
Program Pengembangan Perikanan Tangkap
Program Pengembangan Budidaya Perikanan
Program pengembangan kawasan minapolitan; *) Program Baru
Program Peningkatan Ketahanan Pangan
Program Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Hewan
Program Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengawasan dan Pengendalian
Sumberdaya Kelautan
Program Peningkatan Penerapan Teknologi Pertanian/Perkebunan
Program Pemberdayaan Penyuluh Pertanian/Perkebunan Lapangan
Program Pengembangan dan Peningkatan Penyuluhan
Program Peningkatan Penerapan Teknologi Pertanian/Perkebunan
Program revitalisasi industri minyak dan gas bumi; *)=Program baru
Program revitalisasi BUMA; *)=Program baru
Program Peningkatan Promosi dan Kerjasama Investasi
Program Peningkatan Iklim Investasi dan Realisasi Investasi
Program penyiapan potensi sumberdaya, sarana dan prasarana daerah; *)
Program Baru
5. Penanggulangan Kemiskinan
Program pengembangan perumahan
Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir
Program Peningkatan Kesejahteraan Petani
Program Pengembangan Pemasaran Pariwisata;
Program Pengembangan Destinasi Pariwisata;
Program Pengembangan Kemitraan
Program pengembangan ekonomi lokal masyarakat *)=Program Baru
Program pembinaan badan usaha masyarakat; *)=Program Baru
Program Pengembangan dan Pembinaan Koperasi dan UKM
Program pembentukan LKM dan BPR yang profesional; *)=Program Baru
19
Program pengembangan komoditas unggulan daerah; *)=Program Baru
Program Pengembangan Wilayah Transmigrasi
Program Transmigrasi Lokal;
Program Penataan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan
Tanah;
Program pengembangan wilayah perbatasan;
Program pengawasan konsesi izin kehutanan/perkebunan;*) Program baru;
Program Peningkatan Kesempatan Kerja
Program Perlindungan dan Pengembangan Lembaga Ketenagakerjaan
Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja
6. Pendidikan
Program Pendidikan Anak Usia Dini
Program pengembangan TK/SD dan RA/MI satu atap *) Program Baru
Program Wajib Belajar pendidikan Dasar 9 Tahun
Program pendidikan menengah
Program Pendidikan Nonformal
Program Pendidikan Luar Biasa
Program Pengembangan budaya baca dan pembinaan perpustakaan
Program pengembangan pendidikan vokasional;)* Program Baru
Program Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Program manajemen pelayanan pendidikan
Program Pembinaan dan pengembangan Pendidikan tinggi serta kualitas dan
kuantitas tenaga kependidikan
Program Pengembangan wajib belajar pada lembaga pendidikan dayah; *)
Program Baru
Program peningkatan sarana dan prasarana dayah
Program peningkatan mutu tenaga pendidik dayah
Program pendidikan dayah dan pemberdayaan santri
Program pembinaan manajemen dayah
Program peningkatan kualitas dan pengembangan dayah
7. Kesehatan
Program Pengadaan Peningkatan Sarana dan Prasarana Rumah Sakit
Umum/RS Jiwa/RS Paru/RS Mata
Program Pemeliharaan Sarana dan Prasarana Rumah Sakit/ Rumah Sakit
Jiwa/Rumah Sakit Paru-paru/Rumah sakit Mata
Program pelayanan medis
Program pelayanan penunjang medis/non medis
20
Program penanggulangan krisis kesehatan dan ambulan terpadu
Program pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana
puskesmas/puskesmas pembantu dan jaringannya
Program upaya kesehatan masyarakat
Program Peningkatan Sumber Daya Kesehatan
Program standarisasi pelayanan kesehatan
Program kemitraan peningkatan pelayanan kesehatan
Program pembinaan dan pengembangan pendidikan tinggi (Kesehatan)
Program peningkatan keselamatan ibu melahirkan dan anak
Program peningkatan pelayanan kesehatan anak balita
Program perbaikan gizi masyarakat
Program pencegahan dan penanggulangan penyakit menular dan tidak
menular
Program obat dan perbekalan kesehatan
Program pengawasan obat dan makanan
Program pengembangan obat asli Indonesia
Program promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat
Program pengembangan lingkungan sehat
21
Program Pengembangan dan Pengelolaan Jaringan Irigasi, Rawa dan Jaringan
Pengairan Lainnya
Program Pengembangan, Pengelolaan dan Konservasi Sungai, Danau dan
Sumber Daya Air Lainnya
Program tanggap darurat jalan dan jembatan; *)Program Baru
Program Pembangunan Prasarana dan Fasilitas Perhubungan
Program Rehabilitasi dan Pemeliharaan Prasarana dan Fasilitas LLAJ
Program Peningkatan Pelayanan Angkutan
Program Pembangunan Sarana dan Prasarana Perhubungan
Program Pengendalian dan Pengamanan Lalu Lintas
Program Peningkatan Kelaikan Pengoperasian Kendaraan Bermotor
Program Pengembangan Komunikasi, Informasi dan Media Massa
Program Fasilitas Peningkatan SDM Bidang Komunikasi dan Informasi
Program Kerjasama informasi dengan Mass Media
Program Pengembangan Data dan Statistik;
Program pengembangan data dan informasi;
Program desiminasi dan informasi teknologi;
Program pengaturan jasa konstruksi
Program pemberdayaan jasa konstruksi
Program pengawasan jasa konstruksi
c. Program
Program-program berorientasi hasil, baik pada tingkat meso maupun tingkat
mikro sebagaimana dikemukakan pada tabel berikut ini.
23
Tabel 1
Program Pada Tingkat Meso dan Mikro
Meso Mikro
1. Manajemen Perubahan 1. Manajemen Perubahan
2. Konsultasi dan Asistensi 2. Penataan Peraturan Perundang-
3. Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan undangan
4. Pengelolaan Pengetahuan 3. Penataan dan Penguatan Organisasi
4. Penataan Tata Laksana
5. Penataan Sistem Manajeman SDM
Aparatur
6. Penguatan Pengawasan
7. Penguatan Akuntabilitas Kinerja
8. Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
9. Mindset(Pola Pikir)/Budaya Kerja
10. Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan
Baseline Target
Sasaran Indikator
(2011) (2017)
b. Indikator Keberhasilan
Tabel 3
Dampak dan Indikator Keberhasilan Reformasi Birokrasi
Baseline Capaian
No. Indikator
(2011) (2017)
1 Pertumbuhan Ekonomi 5,02 % 7,5%
2 Tingkat Kemiskinan 19.48 % 9,5%
3 Pengangguran 7.43 % 6,5%
4 IPM 72.5 74,00
5 Angka Harapan Hidup 68,7 th 69,7 th
6 Indeks Gini 0,29 % 0,2 %
6 Nilai tukar petani 104,12 % 117%
25
7 Nilai Tukar Nelayan 109,35% 110,35%
8 Angka Partisipasi Sekolah 99.4 % 99.7 %
Cakupan Pelayanan Kesehatan
9 0.2 % 0.5 %
Rujukan Pasien Masyarakat Miskin
10 Angka kematian bayi 25 /1000 LH 12 /1000 LH
Rasio Angka Kematian Ibu melahirkan
11 158 100
per 100.000 kelahiran hidup
12 Jaminan Masyarakat Aceh 2,5 Juta Jiwa 2,5 Juta Jiwa
13 Indeks Kepuasan Pelayanan Publik 78,15% 85%
14 Produksi Tanaman Pangan 2.199.152 Ton 3.078.813 Ton
279.353
15 Produksi Perikanan 391.094 Ton
Ton
16 Produksi Komuditi Unggulan 336.000 Ton 426.720 Ton
Persentase indikasi penyimpangan
17 5% 3,9%
anggaran
Sumber data: RPJMA 2012 - 2017
26
BAB II
Gambaran Umum Pemerintah Aceh
II.1. Visi
Berdasarkan kondisi kekinian Aceh dan permasalahan dan tantangan yang
dihadapi dalam 5 (lima) tahun mendatang dengan memperhitungkan potensi
daerah yang dimiliki oleh masyarakat Aceh, maka disusunlah visi pembangunan Aceh
tahun 2012-2017 yaitu Aceh yang Bermartabat Sejahtera Berkeadilan dan Mandiri
Berlandaskan Undang-Undang Pemerintahan Aceh sebagai Wujud MoU Helsinki.
Visi ini disusun sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJPA)
2005-2025.
Makna Bermartabat dalam visi tersebut adalah kondisi masyarakat Aceh
yang dicirikan dengan ketahanan dan daya juang yang tinggi, cerdas, taat aturan,
kooperatif dan inovatif yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia
berlandaskan pada penerapan syariat Islam yang kaffah. Perwujudannya diperoleh
antara lain melalui penuntasan peraturan-peraturan turunan UUPA dan peraturan
perundang-undangan lainnya, pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik dan
bersih, bebas dari praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta penegakan
supremasi hukum dan HAM, mengangkat kembali budaya Aceh yang islami dan
pelaksanaan nilai-nilai Dinul Islam dalam tatanan kehidupan bermasyarakat.
Sejahtera adalah terwujudnya kesejahteraan masyarakat Aceh melalui
pembangunan ekonomi berasaskan pada potensi unggulan lokal dan berdaya saing,
optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam dan geopolitik Aceh, peningkatan
indeks pembangunan manusia dan pengembangan kemampuan dalam menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berkeadilan adalah terwujudnya pembangunan yang adil dan merata yang
dilakukan secara partisipatif, proporsional dan berkelanjutan berdasarkan prinsip
kebutuhan dan asas manfaat bagi masyarakat Aceh.
Mandiri adalah kemampuan untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam
yang melimpah dan keunggulan geostrategis lainnya melalui penguatan kapasitas
sumberdaya manusia secara efesien dan efektif, serta melalui penguasaan teknologi
informasi, sehingga memberi manfaat sebesar-besarnya untuk kesejahteraan
masyarakat Aceh.
Berlandaskan UUPA sebagai wujud MoU Helsinki adalah mewujudkan
pelaksanaan Pemerintahan Aceh yang efektif dan efesien sebagaimana yang telah
dituangkan dalam undang-undang tersebut guna tercapainya masyarakat Aceh yang
mandiri, makmur dan sejahtera dalam bingkai NKRI.
27
II.2. Misi
Pencapaian visi Aceh tersebut ditempuh melalui 5 (lima) misi pembangunan
Aceh sebagai berikut:
a. Memperbaiki tata kelola Pemerintahan Aceh yang amanah melalui penerapan
dan penyelesaian turunan UUPA untuk menjaga perdamaian yang abadi. Hal ini
bermakna mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan amanah
melalui implementasi peraturan-peraturan turunan UUPA yang diikuti dengan
peningkatan profesionalisme dan pengelolaan sumber daya aparatur, penguatan
sistem pendataan penyelenggaraan pemerintahan, peningkatan kualitas
pelayanan publik melalui efesiensi struktur pemerintahan, membangun
transparansi dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah.
Singkatnya, menjadikan UUPA dan segala turunan peraturannya sebagai acuan
pelaksanaan dan percepatan pembangunan Aceh secara menyeluruh serta
pengejawantahan terwujudnya perdamaian abadi di Provinsi Aceh;
b. Menerapkan nilai-nilai budaya Aceh dan nilai-nilai Dinul Islam di semua sektor
kehidupan masyarakat adalah upaya membangun masyarakat Aceh
yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, beretika dan berkarakter, dengan
mengangkat kembali budaya Aceh yang bernafaskan Islami dengan tujuan untuk
mengembalikan harkat dan martabat masyarakat Aceh. Implementasi budaya
Aceh dan nilai-nilai Dienul Islam dalam tatanan pemerintahan dan
kehidupan bermasyarakat dilakukan secara efektif dan tepat.
c. Memperkuat struktur ekonomi dan kualitas sumber daya manusia adalah
mengembangkan kerangka ekonomi kerakyatan melalui peningkatan potensi
sektor unggulan daerah dalam upaya membangun kualitas hidup masyarakat
secara optimal; menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran dalam
memenuhi capaian Millenium Development Goals (MDGs), memperluas
kesempatan kerja melalui pembangunan infrastruktur ekonomi sektor riil serta
penguatan peran UKM dan koperasi. Pembangunan ekonomi pertanian
difokuskan pada penguatan potensi lokal masing-masing wilayah.
Meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat Aceh adalah
mewujudkan kualitas pelayanan pendidikan melalui peningkatan angka
partisipasi sekolah, menurunkan angka buta aksara, meningkatkan angka
partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM) dalam berbagai tingkat
pendidikan, menurunkan disparitas partisipasi antar wilayah, gender dan sosial
ekonomi serta antar satuan pendidikan. Mewujudkan pelayanan kesehatan yang
berkualitas melalui meningkatnya angka harapan hidup, menurunnya angka
kematian bayi, menurunnya angka prevalensi gizi buruk serta efektivitas
penanganan penyakit menular guna pencapaian MDGs;
28
d. Melaksanakan pembangunan Aceh yang proporsional, terintegrasi dan
berkelanjutan adalah terwujudnya pembangunan daerah yang berbasis
kebutuhan dan kemanfaatan melalui perencanaan yang tepat, fokus dan tuntas.
Terwujudnya penanganan tata ruang terpadu dalam pelaksanaan pembangunan
daerah melalui pembangunan berbasis lingkungan, pengelolaan dan
pengendalian bencana, perbaikan sistem dan jaringan sarana dan prasarana
transportasi dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang adil dan merata;
e. Mewujudkan peningkatan nilai tambah produksi masyarakat dan optimalisasi
pemanfaatan SDA adalah terwujudnya masyarakat Aceh yang mampu
memanfaatkan potensi-potensi sumber daya alam yang berdaya guna dan
berhasil guna secara optimal dengan mendorong masyarakat agar lebih
produktif, kreatif, dan inovatif.
b. Struktur Organisasi
SKPA terdiri dari 7 Sekretariat, 22 Dinas, dan 18 Lembaga Teknis Daerah yang
ditetapkan dengan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas
Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam; Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2012 tentang Perubahan
Atas Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Dinas, Lembaga Teknis Daerah, dan Lembaga Daerah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.; Qanun Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pembentukan Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam; Qanun Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pembentukan Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Aceh; Qanun Nomor 8
Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Registrasi
Kependudukan Aceh; dan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 30 Tahun 2010 tentang
Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Dewan Pengurus Provinsi Korps
Pegawai Republik Indonesia Aceh. Secara lebih detail nomenklatur SKPA bisa kita
cermati dari tabel 4 di bawah ini :
29
Tabel 4
Nomenklatur Satuan Kerja Perangkat Aceh
Tabel 5
Jenjang Eselonering Jabatan Struktural pada SKPA
di lingkungan Pemerintah Aceh
No Eselonering Jumlah
1 I.b 1
2 II.a 45
3 II.b 20
4 III.a 324
5 III.b 31
6 IV.a 877
Jumlah 1.298
Sumber: Biro Organisasi Setda Aceh kondisi Januari 2013
c. Sumberdaya Aparatur
Pemerintahan Aceh didukung oleh sumber daya aparatur sebanyak 9.177
orang Pegawai Negeri Sipil (PNS). Komposisi PNS menurut Golongan dan Jenis
Kelamin adalah sebagaimana yang tercantum dalam tabel berikut:
Tabel 6
Jumlah PNS berdasarkan Golongan dan jenis kelamin
Jenis Kelamin
No GOLONGAN Jumlah
Laki-laki Perempuan Persentase
1 IV 658 220 878 9,57
2 III 3.247 2.271 5.518 60,13
3 II 1.716 948 2.664 29,03
4 I 110 7 117 1,27
JUMLAH 5.731 3.446 9.177 100,00
Sumber : Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Aceh Tahun Januari 2013
31
Berdasarkan tabel 6 di atas terlihat bahwa jumlah PNS laki-laki lebih dominan
dibandingkan dengan jumlah PNS perempuan, sementara itu berdasarkan golongan,
jumlah PNS lebih didominasi oleh golongan III. Berdasarkan kualifikasi pendidikan,
jumlah PNS di lingkungan Pemerintah Aceh dapat dilihat pada tabel 7 berikut ini:
Tabel 7
Jumlah PNS berdasarkan Jenjang Pendidikan
Gambar 4
S3
S2
45 S1
35 D4
25 D3
15 SLTP
D2
5 D3
D1
-5 S3 SLTA
SLTP
SD/MI
32
II.4. Permasalahan yang dihadapi
Dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih serta penyehatan
birokrasi pemerintahan, pemerintah dihadapkan pada berbagai masalah antara lain:
b. Penataan Organisasi
Kebijakan penataan kelembagaan perangkat daerah sebagaimana diatur
dalam PP Nomor 41 Tahun 2007 dan peraturan perundang-undangan lainnya
tentang Organisasi Perangkat Daerah, diarahkan pada upaya rightsizing (komposisi
yang tepat) yaitu penyederhanaan birokrasi pemerintah guna menciptakan
organisasi yang proporsional, ramping (flat), transparan, berhierarki pendek dan
kewenangan yang tidak menyebar (decentralized). Karena itu pembentukan
organisasi perangkat daerah harus berdasarkan visi dan misi yang jelas, dengan
struktur organisasi yang disusun berdasarkan kebutuhan nyata dan mengikuti
strategi dalam pencapaian visi dan misi organisasi yang telah ditetapkan.
Melalui upaya rightsizing tersebut, diharapkan organisasi perangkat daerah
tidak terlalu besar dan pembidangannya tidak melebar sebagaimana terjadi selama
ini. Disamping itu, dengan semangat pembaharuan fungsi-fungsi pemerintah
(reinventing goverment) dalam rangka mendukung terwujudnya tata pemerintahan
daerah yang baik (good local governance), diharapkan disain organisasi perangkat
daerah dapat memberi ruang partisipasi masyarakat yang lebih besar dalam
penyelenggaraan pembangunan di Daerah.
Pemerintah Aceh sudah memulai penataan perangkat Aceh dengan
penetapan sejumlah Qanun dan Peraturan Gubernur, namun sejalan dengan
perkembangan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan masih terdapat
kendala dan hambatan dalam pelaksanaan penataan perangkat daerah meliputi:
1) Pola besaran organisasi tidak sesuai dengan urusan/kewenangan,
kemampuan, kebutuhan, potensi dan karakteristik daerah;
2) Pelaksanaan urusan pemerintahan dalam satu kelembagaan perangkat
daerah menyebabkan kesulitan dalam melakukan koordinasi baik dengan
Pemerintah maupun dengan Pemerintah Kabupaten/Kota;
3) Besaran organisasi perangkat Aceh belum didasarkan pada indikator
teknis urusan pemerintahan, hasil analisis jabatan dan analisis beban
kerja;
4) Penggabungan urusan pemerintahan menyebabkan kesulitan dalam
memperoleh kompetensi pimpinan SKPA karena ada SKPA yang
mempersyaratkan beberapa kompetensi dan disiplin ilmu;
34
5) Belum terbentuknya kelembagaan perangkat Aceh yang merefleksikan
amanat Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh;
6) Pemanfaatan jabatan fungsional tertentu dan fungsional umum pada
setiap SKPA belum optimal yang berkonsekuensi pada penambahan
pegawai tidak tetap pada setiap SKPA.
d. Penataan Tatalaksana
Penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, efisien dan produktif dapat
tercermin dari penguatan tatalaksana pemerintahan. Permasalahan yang dihadapi
dalam penguatan tatalaksana meliputi:
1) Banyaknya peraturan perundang-undangan yang belum mendorong
penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien;
2) Sistem, prosedur dan mekanisme kerja birokrasi pemerintahan masih
panjang dan berbelit-belit sehingga memboroskan sumber daya, energi
dan waktu;
3) Belum adanya pedoman umum untuk berbagai aspek ketatalaksanaan,
sehingga mengakibatkan adanya keanekaragaman petunjuk dan
35
berdampak pada adanya keanekaragaman petunjuk teknis yang dibuat
oleh setiap instansi pemerintah;
4) Budaya kerja efisien, efektif, disiplin, hemat, produktif dan hidup
sederhana belum berkembang.
f. Kepemimpinan
Salah satu isu umum yang berulang kali muncul dan dinilai sangat penting
terkait dengan pelaksanan Tupoksi adalah kapasitas Kepemimpinan. Pemimpin
dalam hal ini tidak hanya terbatas pada Pimpinan Daerah maupun kepala SKPA tapi
juga mencakup kepala bagian dan kepala bidang. Proses mutasi para pejabat eselon
yang terlalu sering dinilai mengganggu stabilitas organisasi pemerintahan dalam
mengimplementasikan rencana baik di SKPA maupun SKPK. Hal ini belum termasuk
pemilihan pemimpin yang seringkali tidak mempertimbangkan kompetensi,
36
termasuk pengetahuan teknis maupun pengalaman dalam mengelola kepegawaian
pemerintahan.
h. Manajemen Keuangan
Tata kelola keuangan menjadi isu umum yang dihadapi oleh Pemerintah
Aceh. Keterlambatan baik dari segi pengesahan maupun pembelanjaan keuangan
merupakan hal-hal yang dinilai perlu diperbaiki, yang salah satunya adalah melalui
pengembangan sistem informasi keuangan yang integratif. Qanun mengenai
keuangan perlu diperkuat dengan beberapa aturan teknis, khususnya yang mengatur
insentif dan sanksi bagi SKPA maupun pejabat yang tidak memenuhi jadwal dan
aturan yang telah ditetapkan.
i. Manajemen Aset
Disadari bahwa aset Pemerintah Aceh banyak yang terbengkalai dan tidak
termanfaatkan dengan baik. Masih banyak aset yang belum dilengkapi dokumen
lengkap. Hal ini terutama ditambah juga dengan terjadinya bencana Tsunami serta
proses rehabilitasi dan rekonstruksi, dimana aset yang hilang ataupun yang
disediakan baru tidak tercatat dengan baik. Proses transfer aset dari BRR hingga saat
ini belum sepenuhnya tuntas. Sistem informasi manajemen aset daerah telah
dikembangkan, namun belum bisa digunakan dengan baik.
37
j. Manajemen Data dan Informasi
Belum adanya kejelasan mengenai lembaga mana yang mengemban fungsi
koordinator dalam pengelolaan data. Terdapat beberapa database yang pada saat
ini sangat berguna dan difungsikan oleh beberapa badan (Aceh Info, Dev Info) serta
bagian-bagian kantor pemerintah seperti PUSDATIN dan Pusat Geospasial
manajemen data. Namun, karena tidak ada sinkronisasi sistem ditambah dengan
lemahnya proses pengumpulan data serta ketrampilan untuk menganalisa membuat
data menjadi kurang memadai dan tidak akurat. Mekanisme pendistribusian
informasi yang tersedia tidak difungsikan secara optimal terutama agar dapat
diakses oleh instansi di tingkat kabupaten/kota.
39
fungsionalisasi dan teknis yang sesuai dengan bidang tugas, karena alokasi anggaran
masih cukup terbatas dan proses akreditasi lembaga penyelenggara diklat masih
dalam pertimbangan untuk dilegalisasikan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN).
Untuk mengatasi permasalahan ini Pemerintah Aceh akan berupaya mengadakan
kerjasama yang lebih intensif dengan LAN dalam penyelenggaraan berbagai diklat
teknis dan fungsional untuk memenuhi kompetensi teknis. Khusus untuk diklat
penjenjangan ke depan Pemerintah Aceh akan berupaya menyelenggarakan Diklat
PIM II yang dapat menjangkau peserta dari wilayah se-Sumatera.
e. e-Government
Jumlah aplikasi e-gov pemerintah daerah adalah 7 paket, yang sudah
direalisasikan sesuai dengan target yang ditetapkan atau tingkat capaiannya
mencapai 100%. Pencapaian kinerja ini dilaksanakan melalui kegiatan
pengembangan sistem email berbasis LDAP (mail.acehprov.go.id), pembangunan
aplikasi ticketing SIM, sarana publik perhubungan komintel Aceh berbasis GIS,
pembangunan aplikasi ticketing pengaduan jaringan, pengembangan aplikasi SIMDA,
pembangunan aplikasi kearsipan secara digital dan pembangunan aplikasi
monitoring dan evaluasi serta pembangunan website bank data pada
Dishubkomintel Aceh. Dalam rangka peningkatan pelayanan dibidang komunikasi,
informasi dan telematika, pemerintah Aceh juga menyediakan beberapa titik hotspot
yang dapat diakses secara gratis oleh masyarakat pada beberapa lokasi strategis
dalam wilayah Aceh.
g. Pendidikan
Angka Melek Huruf
Menurut Badan Pusat Statistik (2011), angka melek huruf di Provinsi Aceh
dalam kurun waktu tahun 2006-2010 terus mengalami peningkatan. Pada tahun
2006 tercatat sebesar 94,27 persen penduduk usia 15 tahun ke atas yang melek
huruf kemudian meningkat menjadi 96,88 persen pada tahun 2010 (Tabel 2.23).
Umumnya penduduk buta aksara di Aceh berada pada kelompok usia lanjut (usia 50
tahun ke atas). Pada kelompok usia 15-44 tahun tercatat 0,74 persen penduduk yang
buta aksara, pada kelompok usia 45-49 tahun sebesar 4 persen, sedangkan pada
kelompok usia 50 tahun ke atas mencapai 11,28 persen.
Dibandingkan dengan rata-rata nasional tahun 2010 sebesar 92,91 persen,
capaian angka melek huruf penduduk berusia 15 tahun ke atas di Provinsi Aceh
sudah lebih baik. Capaian di daerah perkotaan masih lebih tinggi dibandingkan
dengan perdesaan, yaitu 98,48 persen di perkotaan dan 96,22 persen di perdesaan.
Namun demikian dalam kurun waktu lima tahun terakhir kesenjangan ini menurun
tajam dari 5,02 persen pada tahun 2006 menjadi 2,26 persen pada tahun 2010.
Perincian menurut jenis kelamin menunjukkan bahwa angka melek huruf
penduduk laki-laki masih tetap lebih tinggi dari pada penduduk perempuan, masing-
masing sebesar 97,82 persen dan 95,97 persen. Di daerah perkotaan kesenjangan
angka melek huruf antara penduduk laki-laki dan perempuan lebih kecil yaitu
sebesar 1,18 persen, sedangkan di perdesaan sebesar 2,11 persen. Sungguhpun
demikian, capaian ini masih lebih baik dibandingkan kondisi tahun 2006, yang
masing-masing sebesar 1,68 persen dan 4,58 persen.
Angka Rata-Rata Lama Sekolah
41
Angka Lama Bersekolah
Angka rata-rata lama sekolah di Provinsi Aceh dalam kurun waktu tahun
2006-2010 terus mengalami peningkatan, yaitu sebesar 8,50 tahun pada tahun
2006 menjadi 8,81 tahun pada tahun 2010. Pada tahun 2010 kabupaten/kota yang
memiliki angka rata-rata lama sekolah terendah adalah Nagan Raya sebesar 7,57
tahun, kemudian disusul kota Subulussalam sebesar 7,59 tahun dan Aceh Barat
Daya sebesar 7,72 tahun. Angka tertinggi di Kota Banda Aceh sebesar 12,09 tahun,
diikuti Kota Sabang sebesar 10,55 tahun dan Kota Langsa sebesar 10,45.
Rata-rata lama sekolah penduduk di Provinsi Aceh tahun 2010 memang telah
berada di atas rata-rata nasional sebesar 7,92 (Susenas, 2010), namun apabila
ditelaah lebih lanjut masih terlihat adanya kesenjangan antara laki-laki dan
perempuan. Rata-rata lama sekolah penduduk laki-laki tercatat sebesar 9,20
sedangkan rata-rata lama sekolah penduduk perempuan sebesar 8,50. Dengan kata
lain, rata-rata penduduk laki-laki berpendidikan tamat SMP/MTs dan telah memasuki
tahun pertama jenjang pendidikan menengah sedangkan rata-rata penduduk
perempuan hanya berpendidikan sampai kelas tiga SMP/MTs dan tidak tamat.
42
jenjang pendidikan menengah, capaian APK penduduk usia 16-18 tahun di
SMA/MA/SMK/SMALB/Paket C juga mengalami peningkatan dari 72,06 persen
pada tahun 2007 menjadi 81,89 pada tahun 2010. Demikian juga APK penduduk
usia 19-24 tahun pada jenjang Pendidikan Tinggi (PT) yang meningkat dari 19,00
persen pada tahun 2007 menjadi 25,03 persen pada tahun 2009. Khusus capaian
tahun 2009 Kemdikbud menerbitkan dua indikator APK PT, yaitu APK penduduk
usia 19-24 tahun di PT sebesar 25,03 persen dan APK penduduk usia 19-23 tahun di
PT sebesar 29,45 persen.
Adapun capaian APM penduduk usia 7-12 tahun di SD/MI/SDLB/Paket
A/Pesantren Salafiyah Ula juga bergerak fluktuatif, sebesar 94,66 persen pada
tahun 2007 menjadi 94,67 persen pada tahun 2010, sedangkan APM penduduk
usia 13-15 tahun di SMP/MTs/SMPLB/Paket B/Pesantren Salafiyah Wustha
meningkat dari sebesar 76,44 persen apada tahun 2007 menjadi 78,58 persen
pada tahun 2010. Pada jenjang pendidikan menengah, capaian APM penduduk
usia 16-18 tahun di SMA/MA/SMK/SMALB/Paket C juga mengalami peningkatan
meskipun relatif kecil dari 61,95 persen pada tahun 2007 menjadi 62,71 pada
tahun 2010.
43
menamatkan D-I/II/III, sebesar 4,29 persen menamatkan D-IV/S1 dan sebesar 0,23
persen menamatkan S2/S3.
Jika dilihat berdasarkan tempat tinggal, maka penduduk di perdesaan yang
tidak/belum menamatkan SD/sederajat sebesar 24,93 persen, menamatkan
SD/sederajat sebesar 29,69 persen, SLTP/sederajat sebesar 22,10 persen,
SLTA/sederajat sebesar 18,40 persen, D-I/II/III sebesar 2,58 persen, D-IV/S1
sebesar 2,27 persen dan S2/S3 sebesar 0,04 persen. Sementara itu, penduduk
perkotaan yang tidak/belum menamatkan SD/sederajat sebesar 13,39 persen, yang
menamatkan SD/sederajat sebesar 17,21 persen, SLTP/sederajat sebesar 18,61
persen, SLTA/sederajat sebesar 35,12 persen, D-I/II/III sebesar 5,50 persen, D-IV/S1
sebesar 9,47 persen dan S2/S3 sebesar 0,71 persen.
Angka pendidikan tertinggi yang ditamatkan dalam kurun waktu 2006
sampai dengan 2010 menunjukkan peningkatan yang signifikan. Jumlah penduduk
yang tidak/belum tamat SD pada tahun 2006 mencapai angka 23,90 persen dan
menurun menjadi 21,68 persen pada tahun 2010. Penurunan angka tersebut
disebabkan oleh adanya peningkatan angka pendidikan tertinggi yang ditamatkan
untuk SD sederajat 26,18 persen, SLTP sederajat 21,11 persen, SLTA sederajat
23,10 persen, Diploma I/II/III sederajat 3,40 persen, Diploma IV/S1 4,29 persen,
S2/S3 0,23 persen pada tahun 2010.
Jika dilihat berdasarkan tempat tinggal, maka penduduk di perdesaan yang
tidak/belum menamatkan SD/sederajat sebesar 24,93 persen, menamatkan
SD/sederajat sebesar 29,69 persen, SLTP/sederajat sebesar 22,10 persen,
SLTA/sederajat sebesar 18,40 persen, D-I/II/III sebesar 2,58 persen, D-IV/S1
sebesar 2,27 persen dan S2/S3 sebesar 0,04 persen. Sementara itu, penduduk
perkotaan yang tidak/belum menamatkan SD/sederajat sebesar 13,39 persen, yang
menamatkan SD/sederajat sebesar 17,21 persen, SLTP/sederajat sebesar 18,61
persen, SLTA/sederajat sebesar 35,12 persen, D-I/II/III sebesar 5,50 persen, D-IV/S1
sebesar 9,47 persen dan S2/S3 sebesar 0,71 persen. Analisa data tersebut
menggambarkan bahwa hingga tahun 2010, jumlah penduduk yang menamatkan
pendidikan tertinggi di perdesaan memiliki kecenderungan lebih banyak
menamatkan pada jenjang SD/sederajat, diikuti SLTP/sederajat dan
SLTA/sederajat. Sedangkan di perkotaan jumlah penduduk yang menamatkan
pendidikan tertinggi didominasi pada jenjang SLTA/sederajat, SLTP/sederajat dan
perguruan tinggi.
44
Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMP & PMP) Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan menunjukkan bahwa capaian peringkat Hasil Uji Kompetensi Awal (UKA)
Guru Provinsi Aceh tahun 2012 berada pada urutan ke-28 dari 33 provinsi di
Indonesia.
Pendidikan Dasar
Angka Partisipasi Sekolah (APS)
Selama periode tahun 2008-2010, Angka Partisipasi Sekolah (APS) jenjang
pendidikan dasar terus mengalami kenaikan. APS untuk kelompok usia 7-12 tahun
naik dari 99,06 persen pada tahun 2008 menjadi 99,19 persen pada tahun 2010,
demikian juga dengan APS untuk kelompok usia 13-15 tahun yang meningkat dari
94,12 persen pada tahun 2008 menjadi 94,99 persen pada tahun 2010. Capaian
APS ini telah melampaui rata-rata nasional tahun 2010 yang masing-masing
sebesar 98,02 persen dan 86,24 persen. Bahkan capaian APS untuk kelompok usia
7-12 tahun sebesar 99,19 persen tahun 2010 menempatkan Aceh di posisi nomor
urut ketiga secara nasional (sesudah Provinsi DIY dan Kep. Riau), sedangkan
capaian APS untuk kelompok usia 13-15 tahun sebesar 94,99 persen
menempatkan Aceh di posisi nomor urut satu secara nasional.
Menurut daerah tempat tinggal, APS di daerah perkotaan lebih tinggi
dibandingkan daerah perdesaan pada semua kelompok umur. Data SP2010
menunjukkan bahwa tingkat kesenjangan APS kelompok usia 7-12 tahun antara
kota dan desa sebesar 0,10 persen dan pada kelompok usia 13-15 tahun sebesar
2,94 persen. Hal ini menggambarkan bahwa penduduk di perkotaan dan
perdesaan telah memiliki kesempatan yang relatif sama dalam mengakses
pendidikan dasar, khususnya sekolah dasar. Dalam kaitannya dengan wajib belajar
pendidikan dasar sembilan tahun, pemerataan persebaran SMP/MTs atau yang
sederajat di perdesaan terutama di wilayah yang secara geografis sulit dijangkau
masih harus mendapat perhatian.
Perbandingan menurut jenis kelamin menunjukkan bahwa APS penduduk
perempuan selalu lebih tinggi dari pada laki-laki. Pada kelompok usia 7-12 tahun
APS perempuan lebih tinggi 0,43 persen dibandingkan laki-laki, sedangkan pada
kelompok usia 13-15 tahun selisihnya mencapai 2,37 persen. Hal ini menunjukkan
semakin tingginya kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anak perempuan
ke jalur pendidikan formal.
46
Rasio Ketersediaan Sekolah Terhadap Penduduk Usia Sekolah
Rasio ini digunakan untuk mengukur ketersediaan sekolah/madrasah pada
jenjang pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) untuk setiap 10.000 penduduk
usia sekolah. Rasio ini juga mengindikasikan kemampuan (kapasitas) untuk
menampung semua penduduk usia pendidikan dasar di suatu daerah.
Pada tahun 2010 rasio ketersediaan SD/MI terhadap penduduk usia 7-12
tahun adalah sebesar 68,67 sedangkan rasio ketersediaan SMP/MTs terhadap
penduduk usia 13-15 tahun adalah sebesar 43,98. Rasio ketersediaan SD/MI
sebesar 68,67 mengandung arti bahwa untuk setiap 10.000 penduduk usia 7-12
tahun di Aceh tersedia 68 sampai 69 unit SD/MI untuk menampungnya dengan
kapasitas rata-rata 146 siswa per sekolah, sedangkan rasio ketersediaan SMP/MTs
sebesar 43,98 berarti untuk setiap 10.000 penduduk usia 13-15 tahun tersedia
sekitar 43 sampai 44 unit SMP/MTs untuk menampungnya dengan kapasitas rata-
rata 228 siswa per sekolah.
Jika dibandingkan dengan standar nasional rasio siswa per sekolah SD/MI
sebesar 180 dan standar nasional rasio siswa per sekolah SMP/MTs sebesar 270
(disesuaikan dengan Standar Pelayanan Minimum/SPM Pendidikan Dasar), terlihat
bahwa kapasitas satuan pendidikan dasar yang ada di Provinsi Aceh untuk
menampung anak usia sekolah masih belum dimanfaatkan secara optimal. Daya
tampung sekolah-sekolah yang ada masih memungkinkan untuk menampung
peningkatan jumlah anak usia sekolah sampai lima tahun yang akan datang.
Semakin dekat nilai capaian kedua indikator ini kepada standar nasional akan
mengindikasikan semakin efisiennya pemanfaatan sarana dan prasarana satuan
pendidikan dasar untuk mendukung kebijakan penuntasan Wajib Belajar
Pendidikan Dasar 9 Tahun.
Pendidikan Menengah
Angka Partisipasi Sekolah (APS)
Pada jenjang pendidikan menengah, perkembangan APS periode tahun
2008-2010 telah menunjukkan peningkatan. APS kelompok usia 16 - 18 tahun
(jenjang pendidikan menengah) pada tahun 2008 sebesar 72,32 persen meningkat
menjadi 73,53 persen pada tahun 2010. Capaian APS ini telah jauh melampaui rata-
rata nasional tahun 2010 yang hanya sebesar 56,01 persen dan secara nasional
Aceh menempati peringkat tertinggi.
memberikan informasi bahwa APS kelompok usia 16 - 18 tahun di daerah
perkotaan tercatat 8,57 persen lebih tinggi dibandingkan daerah perdesaan,
sedangkan perbandingan menurut jenis kelamin menunjukkan bahwa APS
penduduk perempuan 4,10 persen lebih tinggi dari pada laki-laki. Kondisi ini
menggambarkan kemampuan akses yang belum merata terhadap pendidikan
menengah terutama bagi masyarakat di perdesaan. Selanjutnya kesadaran
48
masyarakat untuk menyekolahkan anak perempuan ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Meskipun capaian APS penduduk 16-18 tahun di Provinsi Aceh cukup tinggi
dibandingkan rata-rata nasional, namun rasio siswa SMA berbanding SMK masih
timpang. Pada tahun 2010 rasio siswa SMA berbanding SMK sebesar 79 : 21, suatu
tingkat capaian yang terpaut sangat jauh dibandingkan dengan target nasional
sebesar 60 : 40. Hal ini disebabkan belum meratanya sebaran lembaga pendidikan
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), di samping layanan yang diberikan belum
mampu melahirkan lulusan yang memiliki daya saing di pasar kerja.
Perguruan Tinggi
Kondisi PT
Aceh saat ini memiliki 3 PTN dan 60 PTS (http://pdpt.dikti.go.id/), dan 3 PTAI
dan 17 PTAIS agama. Beberapa PT masih belum terdata dibawah DIKTI karena belum
dialihkelolakan. UU No. 30 Tahun 2004 Sistem Pendidikan Nasional mengamanahkan
semua program studi harus dibina oleh Kemdikbud, termasuk PT kedinasan.
50
Tabel 8
Data Akreditasi Perguruan Tinggi
51
Gampong yang telah dibentuk, tahun 2009 Pembangunan perpustakaan
gampong tidak dialokasikan dana Pembangunan Gedung baru, pada tahun 2010
disiapkan 25 Unit dan tahun 2011 13 Unit dalam kurun tahun 2009 sd 2011,
Perpustakaan Gampong yang telah dibangun sebanyak 38 unit (4%), Perpustakaan
Gampong yang telah dibentuk dan belum memiliki gedung sendiri (masih
menumpang) sampai tahun 2011 sebanyak 838 unit (96,50 %).
52
Kualifikasi Guru/Tengku
Teungku atau Guru yang mengajar di dayah umumnya memiliki kualifikasi
pendidikan S1/D-IV dan ada beberapa yang memiliki kualifikasi S2. Kualifikasi
Teungku/Guru yang berpendidikan S1/D-IV secara Aceh berjumlah 2.346 orang
dengan perbandingan laki-laki 1.343 orang dan wanita 1.003 orang. Sedangkan
yang memiliki kualifikasi pendidikan S2 adalah berjumlah 172 orang dengan
perbandingan laki-laki 114 orang dan wanita 58 orang. Dari data yang diperoleh
pada Kanwil Kemenag Aceh, jumlah kualifikasi pendidikan S1 yang terbanyak
terdapat pada Kabupaten Aceh Timur, sedangkan pada beberapa kabupaten tidak
terdapat satu orangpun yang berkualifikasi pendidikan S1 seperti pada Kabupaten
Aceh Tenggara, Kabupaten Pidie, Kabupaten Bireun, Kabupaten Aceh Jaya, Kota
Langsa dan Kota Sabang. Untuk kualifikasi jenjang pendidikan S2 hanya terdapat
pada 11 kabupaten, dengan jumlah terbanyak terdapat pada Kabupaten Aceh
Barat Daya sebanyak 73 orang, sedangkan jumlah yang paling sedikit ada di
Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam yang
masing-masing berjumlah 1 orang.
KESEHATAN
Status kesehatan masyarakat Aceh dapat digambarkan melalui beberapa
indikator utama, yaitu: umur harapan hidup, angka kematian, status gizi, angka
kesakitan, kesehatan lingkungan, dan perilaku.
53
Angka Kematian
Angka kematian difokuskan pada beberapa indikator kematian utama, yaitu:
Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Balita (AKABA) dan Angka Kematian Ibu
(AKI).
54
status sosial ekonomi rendah dan pada keluarga yang tinggal didaerah pedesaan
yang tidak menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat.
Status Gizi
Status gizi difokuskan pada status gizi balita yang diukur dari tiga indikator
utama, yaitu; prevalensi balita Kekurangan Gizi (gizi buruk dan gizi kurang), balita
pendek dan balita kurus serta masalah gizi lainnya.
Prevalensi Balita Kekurangan Gizi
Secara umum status gizi masyarakat di Aceh sudah menunjukkan perbaikan.
Prevalensi Balita gizi buruk dan kurang di Aceh menurun dari 26,5% pada tahun 2007
menjadi 23,7% pada tahun 2010, namun angka ini masih berada di atas angka rata-
rata nasional yang telah mencapai 17,9%.
Disparitas status gizi buruk dan kurang antar kabupaten masih relatif tinggi.
Dari 21 kabupaten/kota yang disurvey pada Riskesdas (2007) hanya 5 kabupaten
yang sudah mencapai target nasional dan 4 kabupaten/kota yang sudah mencapai
target MDGs 2015 (Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Banda Aceh dan Kota
Sabang).
55
Prevalensi Balita Pendek
Jumlah anak pendek (stunting) di Aceh masih sangat tinggi dan prevalensinya
hanya menurun sedikit. Pada tahun 2007 prevalensi stunting di Aceh mencapai
44,6% dan pada tahun 2010 hanya menurun sedikit menjadi 38,9%. Prevalensi
stunting di Aceh masih diatas angka rata-rata nasional (35,6%), seperti disajikan pada
Gambar 2.19. Beberapa kabupaten/kota di Aceh, prevalensi stunting melebihi angka
rata-rata provinsi. Dari 21 Kabupaten/kota yang disurvey di Aceh, tiga kabupaten
diantaranya mempunyai prevalensi stunting cukup tinggi, yaitu kabupaten Aceh
Tenggara (66,9%), Simelue (63,9%), Aceh Barat Daya (60,9%) dan Gayo Lues (59,9%).
56
Angka Kesakitan
Angka kesakitan disajikan disini berdasarkan data hasil survey (community
based data) dan dari facility based data berdasarkan pencatatan dan pelaporan
Puskesmas dan Rumah Sakit (terutama falitas kesehatan milik pemerintah). Angka
keluhan kesehatan (sakit), pernah mengeluh menderita salah satu penyakit selama
satu bulan yang lalu (pada saat survey dilakukan), pada tahun 2011 sebesar 30.62%,
terjadi penurunan sekitar 5% dibandingkan dengan periode 2008-2010 yang
mencapai 35%. Namun angka ini masih lebih tinggi dibandingkan angka kesakitan
tahun 2007 yang hanya sekitar 25%. Angka kesakitan masyarakat Aceh hampir dua
kali lipat lebih tinggi dari rata-rata angka kesakitan nasional yang hanya sebesar 15%.
Disamping itu, disparitas antar kabupaten/kota juga relatif tinggi. Pada tahun 2011,
angka kesakitan tertinggi terdapat di kabupaten Bener Meriah dan Pidie Jaya,
persentase melebihi 40% dari total jumlah masyarakat yang di survey di kabupaten
tersebut; sedangkan di kabupaten Simeulue kurang dari 15% (14,35)
Pola pencarian pengobatan; sebagian masyarakat yang mengeluh menderita
salah satu penyakit mencari pertolongan kesehatan ke pusat pelayanan kesehatan
dan sebagian yang lain mengobati sendiri atau tidak mencari pengobatan sama
sekali. Persentase penduduk yang mengeluh menderita salah satu penyakit dan
mencari pengobatan sebesar 55,17%, dimana 96,5% mereka mencari pengobatan ke
fasilitas kesehatan, hanya 3,5% yang mencari pengobatan tradisional.
Pola Penyakit; sepuluh jenis penyakit terbanyak yang tercatat di Puskesmas
dan Rumah Sakit. Saat ini penyakit yang diderita oleh masyarakat Aceh tidak hanya
didominasi oleh penyakit infeksi menular, tetapi penyakit kronik tidak menular juga
sudah menjadi ancaman baru kesehatan penduduk Aceh yang sebahagian besarnya
juga dipengaruhi oleh pola perilaku masyarakat.
Penyakit infeksi masih didominasi oleh penyakit ISPA dan Diare. Penyakit ini
umumnya menyerang anak balita. Penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)
masih merupakan penyebab kesakitan tertinggi anak balita di Aceh. Hasil survey
SDKI tahun 2007, rata-rata prevalensi ISPA di Aceh sekitar 16%, namun disparitas
antar kabupaten cukup tinggi. Prevelensi ISPA di Kabupaten Aceh Barat Daya, Gayo
Lues dan Aceh Barat Daya masing-masing mencapai 32,4%, 30,2% dan 28,6%.
Namun kasus ISPA yang dilaporkan Puskesmas cenderung menurun. Misalnya, total
kasus ISPA tahun 2005 sebanyak 183.459 dan tahun 2009 penyakit ISPA menurun
menjadi 168.630 kasus. Pneumonia sering menyertai ISPA. Sekitar 40-43% anak
menderita ISPA berlanjut ke Pneumonia, terutama bila pengobatan ISPA tidak
dilakukan secara adekuat. Prevalensi Pneumonia di Aceh sekitar 3,97%, lebih tinggi
dari rata-rata nasional yang hanya sekitar 2.85% (Gani, 2010).
57
Prevalensi Diare di Aceh sekitar 17,3%. Angka ini dua kali lebih tinggi dari
angka nasional (9%). Beberapa kabupaten/kota seperti Gayo Lues, Aceh Barat Daya
dan Aceh Singkil mempunyai prevalensi diare tertinggi, masing-masing 39,1%, 31,7%
dan 26.8%. Tingginya kasus ISPA dan Diare pada anak balita dibeberapa
kabupaten/kota sering dijadikan indikator proxy disparitas angka kematian anak
antar kabupaten.
Malaria masih endemis hampir diseluruh Aceh. Riskedas 2007 melaporkan
bahwa bahwa prevalensi malaria di Aceh 3,7% masih lebih tinggi dibandingkan
dengan angka nasional yang hanya sebesar 2.85%. Persentase penggunaan kelambu
yang berinsektisida (insectisida treated net) juga masih rendah (35%) dengan
disparitas antar kabupaten antara 6% di Kota Banda Aceh dan yang tertinggi di
kabupaten Subulusalam (74%).
Tuberkulosis (TBC) masih merupakan ancaman kesehatan bagi sebagian
masyarakat Aceh. Prevelensi di Aceh diperkirkan sebesar 1.45%, lebih tinggi dari
prevelensi nasional yang hanya 0.99%. Berdasarkan hasil Survei Prevalensi
Tuberkulosis tahun 2004, estimasi prevalensi TB nasional adalah 104 per 100.000
penduduk. Prevalensi TB di Sumatera adalah 160 per 100.000 pendududk. Angka
prevalensi ini juga disepakati untuk dijadikan sebagai estimasi angka insiden TB.
Indikator utama yang digunakan untuk menilai kemajuan Program Pengendalian
Penyakit TB adalah angka penemuan kasus/case detection rate (CDR) dan angka
kesuksesan pengobatan/success rate (SR). Angka penenuan kasus tahun 2011
sebesar 54,9 %, masih cukup jauh dari target nasional minimal 70%. Namun
demikian, telah terjadi peningkatan sebesar 5,2 % dibandingkan tahun 2010 yang
hanya mencapai 49,7%. Disamping itu terjadi perbedaan angka penemuan kasus
yang cukup tinggi antar kabupaten/kota. Di Kabupaten Aceh Barat Daya sudah
mencapai 120 %, sedangkan di Kabupaten Bener Meriah baru mencapai 16 %.
Sedangkan angka kesuksesan pengobatan mencapai 92 %, telah memenuhi target
nasional minimal 85 %.
Penyakit Deman Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan
utama di Aceh. Prevelensi DBD di Aceh 1.1%, lebih tinggi daripada angka nasional
sebesar 0,11%. Angka kesakitan DBD di Aceh sebesar 57,2 per 100.000 penduduk,
masih lebih tinggi dari target nasional yang ditetapkan dibawah atau sama dengan
50 per 100.000 penduduk. Terjadi penurunan bila dbandingkatan tahun 2010 yang
mencapai 64 per 100.000 penduduk. Angka kesakitan DBD tertinggi terdapat di
Kota Sabang (447 per 100.000), Banda Aceh (170,4 per 100.000) dan Aceh Besar
(149,9 per 100.000 penduduk) (Dinas Kesehatan Aceh, 2011).
Penyakit Kusta juga masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyrakat
di Aceh, dimana Aceh merupakan satu-tunya provinsi di Sumatera yang masih
tergolong sebagai daerah endemis tinggi kusta (prevalensi diatas 1 per 10.000
58
penduduk. Sampai dengan akhir tahun 2011 jumlah penderita kusta terdaftar
mencapai 594 atau prevalensi 1,2 per 10.000 penduduk. Proporsi anak diantara
kasus baru kusta yang ditemukan masih tinggi, yaitu 8,7 %, sedangkan target
nasional kurang dari 5 %. Tingginya proporsi anak menggambarkan masih terus
berlangsungnya proses penularan ditengah-tengah masyarakat. Demikian juga,
proporsi cacat tingkat 2 diantara kasus baru yang ditemukan masih tinggi, yaitu
15,6 %, sedangkan target nasional kurang dari 5 %. Hal ini menunjukkan terjadinya
keterlambatan penemuan kasus kusta oleh petugas kesehatan. (Dinas Kesehatan
Aceh, 2011).
Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I), seperti campak,
pertusis dan tetanus neonatorum masih cukup tinggi kejadiannya di Aceh. Pada
tahun 2011 dilaporkan terjadi sebanyak 708 kasus campak klinis, 93 kasus pertusis
dan 3 kasus tetanus neonatorum (Profil Kesehatan Aceh, 2011).
HIV dan AIDS merupakan fenomena permasalahan kesehatan masyarakat di
Provinsi Aceh, sebagaimana provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Jumlah kumulatif
kasus HIV dan AIDS di Aceh sampai dengan 2011 sebanyak 112 kasus yang tercatat.
Estimasi jumlah yang terinfeksi diperkirakan jauh lebih banyak dari angka tercatat
(Gambar 2.24). Disamping itu, jumlah kasus baru yang ditemukan pertahun
cenderung meningkat dan sebaran kabupaten/kota juga semakin meluas. Sebelum
tahun 2005, kabupaten/kota yang masuk dalam wilayah resiko tinggi penyebaran
HIV dan AIDS hanya di kota Banda Aceh, Kota Lhokseumawe, Kota Sabang, Kota
Langsa, Kabupaten Aceh Tamiang dan kabupaten Aceh Tenggara. Namun sekarang
hampir semua (20 dari 23) kabupaten/kota di Aceh sudah menjadi daerah
penyebaran HIV dan AIDS. Permasalahan lain adalah rendahnya tingkat pengetahuan
masyarakat tentang HIV dan AIDS (DHS, 2008). Hanya 4.3% perempuan usia 15-24
tahun di Aceh memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS dan baru
66% pria serta 49,5% wanita yang pernah mendengar AIDS. Sedangkan persentase
perempuan yang mengetahui bahwa HIV dan AIDS itu dapat ditularkan kepada
anak mereka melalui ASI, persalinan dan kehamilan hanya 26%. Lebih lanjut, rata-
rata 37.92% remaja usia 15-24 tahun di Aceh yang belum menikah mempunyai
pengetahuan yang benar tentang berbagai cara penularan HIV dan AIDS. Selain itu,
baru sekitar 5% penduduk yang mengerti tentang Voluntary Councelling and
Testing (VCT).
Penyakit Tidak Menular/PTM (non-communicable disease) sudah menjadi
ancaman baru bagi kesehatan masyarakat Aceh. Hasil survey Riskesdas tahun 2007,
Aceh berada diurutan teratas untuk beberapa jenis penyakit tidak menular,
terutama penyakit Jantung, Stroke, Hipertensi dan Diabetes Mellitus. Prevalensi
penyakit jantung dan Stroke di Aceh secara berturut-turut sebesar 12.6% dan
16.6%, dua kali lipat dari prevalensi nasional masing-masing sebesar 7.2% dan
59
8.3%. Sekitar dua orang (1,7) dari 1000 penduduk Aceh diperkirakan pernah
mendirita Stroke. Beberapa faktor resiko jantung dan stroke juga tinggi di Aceh.
Prevalensi Hipertensi (hasil pemeriksaan tenaga kesehatan) yang merupakan faktor
resiko untuk terjadi jantung Iskemik dan Stroke juga sangat tinggi di tengah-tengah
masyarakat Aceh mencapai 30,2%, sedangkan secara nasional prevalensi hipertensi
sebesar 31,7% (Riskesdas, 2007). Hal yang sama dengan prevalensi Diabetes
Mellitus yang mencapai 1.7%, sedangkan secara nasional prevalensi Diabetes
Mellitus hanya 1.1%. Penderita penyakit Diabetes mempunyai resiko lebih tinggi
untuk kejadian Jantung dan Stroke.
Gangguan Mental Emosional merupakan suatu keadaan yang
mengindikasikan individu mengalami suatu perubahan emosional yang dapat
berkembang menjadi keadaan patologis apabila terus berlanjut. Hasil riskesdas
tahun 2007 menunjukan prevalensi gangguan mental emosional di Aceh sebesar
14,1%, lebih tinggi dibandingkan angka nasional yang hanya 12,36%. Di Kabupaten
Aceh Selatan, gangguan mental emosional mencapai 32,1%, tertinggi dibandingkan
kabupaten/kota lainnya di Aceh.
Kesehatan Lingkungan
Kondisi lingkungan memberikan kontribusi yang sangat besar pada derajat
kesehatan masyarakat. Indikator yang digunakan untuk mengukur kondisi
kesehatan lingkungan yaitu akses terhadap air bersih, akses terhadap sanitasi yang
layak, penggunaan bahan bakar memasak, dan penanganan sampah. Secara umum
persentase masyarakat yang mempunyai akses terhadap air bersih (20
liter/orang/hari dari Sumber Terlindung dalam jarak 1 km atau Waktu Tempuh
Kurang Dari 30 Menit) sebesar 45,5 persen dan menjalankan sanitasi dengan baik
(Memiliki Jamban Jenis Latrin + Tangki Septik) di provinsi Aceh sebesar 32,5 persen.
Kabupaten tertinggi dalam mengakses air bersih adalah Sabang 45,5 persen dan
terendah Gayo Lues 0,4 persen. Dalam hal sanitasi, kabupaten tertinggi adalah
Banda Aceh 76,5 persen dan terendah Gayo Lues 10,6 persen Dalam hal jarak dan
waktu, pada umumnya rumah tangga di kabupaten/kota dapat menjangkau
sumber air dalam waktu kurang dari 30 menit dan jarak kurang dari 1 km.
Permasalahan yang cukup banyak dialami terkait dengan kualitas fisik air bersih
adalah kekeruhan dan warna. Kabupaten yang paling tinggi mengalami masalah
kualitas fisik (kekeruhan) adalah Aceh Besar (30,0 persen). Masih banyak rumah
tangga yang mempunyai sarana pembuangan air limbah (SPAL) yang terbuka,
paling tinggi terdapat di Langsa (87.3 persen) sedangkan yang tidak mempunyai
SPAL, tertinggi di Pidie (48.3 persen).
60
Proporsi rumah tangga yang memiliki akses yang baik terhadap jamban
pribadi dengan septic tank hanya 30,88% dan tempat sampah yang sehat juga baru
mencapai 27,22%, serta pengelolaan air limbah sehat hanya 32,60% (Profil
Kesehatan Aceh, 2010). Riskesdas 2007 memperlihatkan kepemilikan
penampungan sampah tertutup dan terbuka di dalam rumah di Aceh sebesar 5,6%
dan 15,2%. Penampungan sampah di luar rumah yang tertutup 8,7% dan terbuka
26,0%. Masih banyak rumah tangga yang lantainya bukan tanah dengan kepadatan
hunian tinggi. Proporsi tertinggi dalam penggunaan lantai tanah terdapat di
Kabupaten Aceh Utara (26.4%). Kepadatan hunian <8 m2/ kapita paling tinggi
terjadi di Kabupaten Pidie (87.3%). Penggunaan lantai tanah lebih tinggi di
pedesaan. Semakin rendah tingkat ekonomi, semakin tinggi jenis lantai tanahnya.
Perilaku
Tingginya masalah kesehatan saat ini sangat berkaitan dengan faktor sosial
dan budaya, antara lain kesadaran individu dan keluarga untuk berperilaku hidup
bersih dan sehat (PHBS). PHBS adalah semua perilaku kesehatan yang dilakukan
atas kesadaran sehingga anggota keluarga atau keluarga dapat menolong dirinya
sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kesehatan
di masyarakat.
Indikator Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di rumah tangga adalah
1). Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan 2). Pemberian ASI eksklusif 3).
Menimbang anak balita setiap bulan, 4). Menggunakan air bersih, 5). Mencuci
tangan pakai sabun, 6). Menggunakan jamban sehat 7). Mengkonsumsi sayuran
dan buah setiap hari 8). Memberantas jentik di rumah sekali seminggu 9).
Melakukan aktivitas fisik setiap hari, 10). Tidak merokok dalam rumah.
Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan; Berdasarkan data
Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan ibu dan Anak (PWS-KIA) 2011
menunjukkan angka persentase persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan
sudah mencapai 84,67 persen. Persentase persalinan di tolong oleh tenaga
kesehatan tertinggi di Kabupaten Aceh Singkil (99,41 persen) dan Kabupaten Aceh
Tamiang (97,51 persen), sedangkan terendah di Kabupaten Aceh Selatan (59,5
persen), seperti disajikan pada gambar berikut:
Bayi yang mendapatkan ASI eksklusif; (hanya air susu ibu sebagai makanan
bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan) hanya 8,58 persen (Profil Kesehatan Aceh,
2010) atau 11,4 persen (DHS, 2007) atau 3 kali lipat lebih rendah dari cakupan
nasional. Anak 6-24 bulan yang mendapatkan praktek pemberian makanan yang
baik baru sebesar 34 persen. Pada tahun 2010 cakupan pemberian ASI Ekslusif di
Aceh menurun menjadi 4,3 persen. Jika dilihat menurut Kabupaten/kota hampir
61
semua kabupaten/kota mempunyai cakupan yang sangat rendah dan hanya 1
(satu) kabupaten yang angkanya sedikit tinggi, yaitu Aceh Selatan, yaitu 14,32
persen, seperti disajikan pada gambar berikut.
Perilaku menimbang anak balita setiap bulan adalah persentase cakupan
indikator penimbangan, yaitu jumlah balita yang ditimbang dibandingkan dengan
jumlah balita sasaran penimbangan (D/S) yang menggambarkan partisipasi
masyarakat dalam menimbang balita. Hasil laporan Pencapaian Indikator
Pembinaan Gizi Masyarakat menunjukkan rata-rata cakupan D/S di Aceh tahun
2009 adalah 53,9 persen dan 54,4 persen pada tahun 2010, angka ini jauh dari
target provinsi Aceh yaitu 70 persen dan jika dibandingkan dengan 8 (depalan)
indikator program perbaikan gizi masyarakat tahun 2010-2014, yaitu 85 persen
anak ditimbang berat badannya (D/S), maka cakupan D/S Aceh masih sangat jauh
berada di bawah target tersebut. Jika dilihat menurut kabupaten/kota terdapat
tiga kabupaten yang mempunyai angka cakupan D/S sangat tinggi, yaitu Kabupaten
Aceh Utara (96,1 persen), Kabupaten Aceh Tamiang (88,9 persen) dan Kota
Lhokseumawe (85,2 persen). Sebaliknya masih banyak didapatkan kabupaten
dengan cakupan D/S sangat rendah, yaitu Kabupaten Bener Meriah (17,1 persen),
Nagan Raya (24,7 persen), Aceh Barat Daya (26,2 persen) dan Aceh Tengah (28,4
persen)
Berdasarkan perilaku merokok, persentase perokok tiap hari terbesar
terdapat di Kabupaten Bener Meriah (32,9 persen), Aceh Barat Daya (31.0 persen)
dan Aceh Barat (29,2 persen), sedangkan terendah di Nagan Raya (16.6 persen).
Prevalensi perokok provinsi dan jumlah batang rokok, 18,5 batang per hari dan
merupakan angka tertinggi di Indonesia (Riskesdas 2007).
Sementara itu perilaku konsumsi sayuran dan buah-buah masih sangat
rendah. Data Riskesdas 2007 menunjukkan 95,5 persen masyarakat Aceh kurang
mengkonsumsi sayur dan buah. Jika dilihat menurut kabupaten, Kota Langsa
memiliki angka kecukupan sayur dan buah yang paling tinggi (19.2 persen).
Sedangkan kabupaten yang memiliki angka kecukupan sayur dan buah paling
rendah adalah Aceh Selatan (0.5 persen) seperti disajikan pada Gambar 2.30.
Konsumsi sayuran dihitung dari jumlah hari konsumsi dalam seminggu dan jumlah
porsi rata-rata dalam sehari. Penduduk dikategorikan cukup konsumsi sayur dan
buah apabila makan sayur dan/atau buah minimal 5 porsi per hari selama 7 hari
dalam seminggu
Selanjutnya tingkat aktivitas fisik dilihat dari kebiasaan melakukan aktivitas
fisik berat, sedang dan ringan. Penduduk yang tidak biasa melakukan aktivitas
adalah penduduk yang tidak melakukan aktivitas fisik berat, sedang atau ringan
atau melakukan aktivitas berat, sedang dan ringan tetapi kurang dari sepuluh
menit. Secara umum prevalensi penduduk yang cukup melakukan kegiatan
62
aktivitas fisik rutin di Provinsi Aceh sebesar 62,9 persen. Prevalensi melakukan
aktivitas fisik yang tertinggi adalah Kota Sabang (89.8 persen) dan terendah di
kabupaten Nagan Raya (36,7 persen)
Penggunaan jamban sehat adalah salah satu indikator untuk menilai
perilaku yang benar dalam hal Buang Air Besar (BAB). Dari hasil Riskesdas 2007
rata-rata penduduk Aceh BAB yang benar yaitu sebesar 61,6 persen. Kabupaten
yang tertinggi adalah Banda Aceh (96,6 persen) dan terendah Aceh Barat Daya
(26,0 persen). Sedangkan berperilaku benar dalam cuci tangan di Provinsi Aceh
adalah 16,0 persen, kabupaten tertinggi adalah Nagan Raya (47,1 persen) dan
terendah Aceh Tenggara (2,0 persen).
Untuk penggunaan air per orang per hari di Aceh pada umumnya lebih dari
100 liter. Apabila dibandingkan antar wilayah kabupaten/kota, persentase tertinggi
masyarakat dengan penggunaan air lebih dari 100 liter adalah Kabupaten Aceh
Singkil (79,2 persen) dan Aceh Barat (77,8 persen). Masih terdapat beberapa
kabupaten/kota yang pemenuhan kebutuhan airnya di bawah rata-rata Nasional,
sedangkan berdasarkan ketersediaan air bersih, secara umum di Provinsi Aceh
sebanyak 21,8 persen rumah tangga mengalami kesulitan air bersih pada musim
kemarau. Kabupaten tertinggi yang mengalami kesulitan air bersih adalah Aceh
Timur 60,8 persen terendah Banda Aceh 3,1 persen.
Hasil Riskesdas, 2007 (Gambar 2.32) menunjukkan 80,4 persen rumah
tangga di Aceh belum menerapkan PHBS (kategori buruk), hanya 19,6 persen
Rumah tangga yang menerapkan PHBS (kategori baik). Menurut Kabupaten, hanya
5 (lima) kabupaten/Kota di Aceh yang mempunyai persentase Rumah Tangga yang
memenuhi kriteria baik dalam berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) agak
tinggi, yaitu Kota Sabang (35,4 persen), Aceh Tengah (32 persen), Kota Banda Aceh
(30,6 persen), Bener Meriah (30,2 persen), Bireuen (30,1 persen). Sedangkan
persentase PHBS paling rendah di kabupaten Gayo Lues (1,5 persen) dan Nagan
Raya (2,2 persen).
Dalam hal jarak dan waktu, pada umumnya rumah tangga di
kabupaten/kota dapat menjangkau sumber air dalam waktu kurang dari 30 menit
dan jarak kurang dari 1 km. Permasalahan yang cukup banyak dialami terkait
dengan kualitas fisik air bersih adalah kekeruhan dan warna. Kabupaten yang
paling tinggi mengalami masalah kualitas fisik (kekeruhan) adalah Aceh Besar (30,0
persen). Masih banyak rumah tangga yang mempunyai sarana pembuangan air
limbah (SPAL) yang terbuka, paling tinggi terdapat di Langsa (87.3 persen)
sedangkan yang tidak mempunyai SPAL, tertinggi di Pidie (48.3 persen).
Secara umum persentase masyarakat yang mempunyai akses terhadap air
bersih (20 liter/orang/hari dari Sumber Terlindung dalam jarak 1 km atau Waktu
Tempuh Kurang Dari 30 Menit) sebesar 45,5 persen dan menjalankan sanitasi
63
dengan baik (Memiliki Jamban Jenis Latrin + Tangki Septik) di provinsi Aceh sebesar
32,5 persen. Kabupaten tertinggi dalam mengakses air bersih adalah Sabang 45,5
persen dan terendah Gayo Lues 0,4 persen. Dalam hal sanitasi, kabupaten tertinggi
adalah Banda Aceh 76,5 persen dan terendah Gayo Lues 10,6 persen.
Jumlah rumah tangga yang menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS) mencakup 10 indikator PHBS yang terdiri dari enam indikator individu dan
empat indikator rumah tangga, didapatkan sebagian besar Rumah tangga di Aceh
belum menerapkan PHBS. Hasil Riskesdas, 2007 (Gambar 2.33) menunjukkan 80,4
persen rumah tangga di Aceh belum menerapkan PHBS (kategori buruk), hanya
19,6 persen Rumah tangga yang menerapkan PHBS (kategori baik). Menurut
Kabupaten, hanya 5 (lima) kabupaten/Kota di Aceh yang mempunyai persentase
Rumah Tangga yang memenuhi kriteria baik dalam berperilaku hidup bersih dan
sehat (PHBS) agak tinggi, yaitu Kota Sabang (35,4 persen), Aceh Tengah (32
persen), Kota Banda Aceh (30,6 persen), Bener Meriah (30,2 persen), Bireuen (30,1
persen). Sedangkan persentase PHBS paling rendah di kabupaten Gayo Lues (1,5
persen) dan Nagan Raya (2,2 persen).
Tenaga Kesehatan
Jumlah tenaga kesehatan untuk semua jenis tenaga meningkat dari tahun ke
tahun. Tabel 2.91 memperlihatkan jumlah tenaga kesehatan pada tahun 2009 dan
2010 menurut kategori ketenagaan yang dilaporkan pada profil kesehatan tahunan.
Sampai tahun 2010, total jumlah tenaga kesehatan sekitar 20.456 tenaga (sekitar 5
tenaga kesehatan melayani orang 1000 orang penduduk). Secara umum, rasio
tenaga kesehatan per penduduk untuk semua jenis tenaga kesehatan masih rendah,
kecuali untuk tenaga perawat dan bidan yang sudah mencukupi (standar nasional
untuk perawat dan bidang masing-masing 170 dan 100 tenaga per 100.000
penduduk). Tabel 2.91 menampilkan kondisi tenaga medis tahun 2011 per
kabupaten/kota.
Jumlah dokter umum di Aceh tahun 2011 sebanyak 1.433 orang dengan rasio
31 per 100.000 penduduk, masih rendah dibandingkan dengan standar nasional 40
per 100.000 penduduk. Jumlah dokter yang bertugas di Puskesmas saat ini sudah
mencapai 642 orang atau sekitar dua orang per Puskesmas (Profil Kesehatan Aceh,
2011). Namun demikian, distribusinya belum merata diseluruh Puskesmas.
Umumnya tenaga kesehatan bertugas di wilayah perkotaan. Di Kota Banda Aceh,
Aceh Jaya dan Sabang yang rasio dokter umumnya misalnya telah mencapai standar
nasional, bahkan di Kota Banda Aceh, rasio dokter umum per penduduk hampir
mencapai 5 kali standar nasional. Sebaliknya masih banyak kabupaten/kota yang
rasio dokter umumnya dibawah standar nasional.
Jumlah dokter spesialis di Aceh tahun 2011 sebanyak 352 orang dengan rasio
8 per 100.000 penduduk, masih jauh dari standar nasional 20 per 100.000 penduduk.
Selain jumlah, distribusi tenaga spesialis juga umumnya bertugas di ibu kota provinsi
atau kabupaten/kota. Sekitar 50% tenaga spesialis berdomisilir di Banda Aceh,
sisanya di 22 kabupaten/kota lainnya. Di Banda Aceh, dokter spesialis sudah
mencapai rasio 160 per 100.000 penduduk atau empat kali lipat di atas standar
nasional, sementara di beberapa kabupaten/kota ada yang belum memiliki dokter
spesialis. Jumlah dokter gigi di Aceh tahun 2011 sebanyak 200 orang dengan rasio
65
dokter gigi 4 per 100.000 penduduk, baru setengah dari standar nasional 9 per
100.000 penduduk.
Pembiayaan Kesehatan
Alokasi dana untuk sektor kesehatan yang bersumber dari dana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) naik sangat signifikan, hampir dua kali lipat
dari tahun 2007 ke tahun 2011. Demikian juga dengan proporsi pendanaan untuk
sektor kesehatan terus meningkat dari 4,37% pada tahun 2007 menjadi 10,44% pada
tahun 2011. Namun demikian, sebagian orang beragumentasi bahwa peningkatan
alokasi anggaran untuk sektor kesehatan disebabkan oleh alokasi anggaran untuk
program JKA. Secara mikro, alokasi anggaran kesehatan untuk beberapa program
kesehatan, seperti anggaran untuk kegiatan promosi dan pencegahan penyakit tidak
sepenuhnya meningkat. Alokasi anggaran kesehatan masih terfokus untuk kegiatan
yang bersifat kuratif padahal proporsi masyarakat yang sakit hanya berkisar antara
15%-30%. Proporsi alokasi anggaran seperti ini sering dikritik tidak efisien,
mengabaikan pentinya untuk menjaga kesehatan diri yang biayanya lebih murah
daripada biaya mengobati. Sekuat apapun fiskal pemerintah, bila focus anggaran
masih lebih kepada pengobatan, suatu saat pemerintah tidak akan mampu
sepenuhnya membiayai pengobatan orang sakit, apa lagi penyakit masyarakat Aceh
sekarang sudah mulai didominisasi oleh penyakit tidak menular degenerative
seperti diabetes, penyakit jantung, stroke dan gangguan jiwa.
66
Aspek pemberdayaan masyarakat.
Keterlibatan masyarakat dalam bidang kesehatan dapat diukur dari berbagai
segi, salah satunya dapat dilihat dari aspek peran serta masyarakat dalam membina
gampong siaga aktif, jumlah pos pelayanan terpadu (posyandu) dan jumlah kader
kesehatan. Saat ini jumlah gampong siaga aktif baru hanya 705 (11%) dari 6.450 total
gampong yang ada di Aceh. Sementara itu jumlah posyandu di Aceh tahun 2011
sudah memadai dengan jumlah posyandu 7.368 dari 6.450 desa, berarti ada 1
gampong yang memiliki lebih dari 1 posyandu. Sementara itu jumlah kader yang
tercatat sudah mencapai 26.412 kader, artinya ada 3-4 kader per posyandu, namun
demikian tingkat keaktifan kader cukup fluktuatif dan pengetahuan kader yang
cukup variatif.
KETAHANAN PANGAN
Tanaman Pangan
Produksi komoditas pangan Aceh dalam beberapa tahun terakhir secara
keseluruhan menunjukkan perkembangan yang positif. Produksi padi mengalami
peningkatan pada tahun 2009 sebesar 11,02 persen, pada tahun 2010 meningkat
sebesar 1.64 persen dan pada tahun 2011 menjadi 12.05 persen atau periode 2008-
2011 rata-rata peningkatan sebesar 8,24 persen pertahun. Selanjutnya jagung juga
mengalami peningkatan yaitu pada tahun 2009 sebesar 22,16 persen, pada tahun
2010 meningkat sebesar 21,16 persen, demikian juga pada tahun 2011 mengalami
peningkatan sebesar 1,06 persen atau rata-rata peningkatan dalam periode 2008-
2011 adalah sebesar 14,79 persen. Sedangkan untuk komoditi kedelai pada tahun
2009 mengalami kenaikan sebesar 44,55 persen, untuk tahun 2010 mengalami
penurunan sebesar 15,91 persen, demikian juga pada tahun 2011 masih mengalami
penurunan yaitu sebesar 6,26 persen. Menurunnya produksi kedelai pada tahun
2010 dan 2011 disebabkan oleh berkurangnya luas tanam kedelai akibat tingginya
curah hujan
Potensi luas lahan sawah provinsi Aceh sebesar 397.947 ha, sedangkan yang
digunakan untuk budidaya padi hanya sebesar 374.196 ha 364.259 (sensus sosial
ekonomi). Berdasarkan potensi tersebut penggunaan lahan sawah belum
sepenuhnya digunakan untuk budidaya padi seluas 23.751 ha. Selain itu, masih
rendahnya produktivitas tanaman padi yang hanya sebesar 4,74 ton/ha. Dalam
upaya peningkatan produksi padi perlu dilakukan optimalisasi penggunaan lahan
sawah yang belum dibudidayakan serta perlu adanya inovasi teknologi yang dapat
meningkatkan produksi dan produktivitas antara 5,5 - 6,2 ton/Ha untuk tanaman
padi. Meningkatnya produksi jagung setiap tahunnya mengindikasikan bahwa
pengembangan tanaman jagung sudah digemari oleh masyarakat dan adanya
67
peluang pasar yang besar sehingga untuk selanjutnya perlu adanya upaya
pengembangan komoditi ini untuk dilakukan secara intensif dan berkelanjutan. Di
sisi lain perkembangan produksi kedelai yang mengalami penurunan berbanding
negatif dengan peningkatan permintaan kedelai oleh masyarakat. Hal ini, gambarkan
dengan banyaknya impor kedelai dari luar untuk memenuhi kebutuhan lokal.
Permasalahan produksi pertanian pangan adalah masih rendahnya
produktivitas, pada tahun 2011 produktivitas padi adalah sebesar 4,6 ton/ha, kedele
1,4 ton/ha, jagung 4,0 ton/ha. Secara nasional produktivitas padi sudah mencapai
4,9 ton/ha, jagung 4,2 ton/ha, sedangkan untuk tanaman kedele produktivitasnya
sudah melampaui rata-rata nasional yaitu 1,3 ton perhektar. Rendahnya
produktivitas komoditi pangan antara lain disebabkan oleh belum memadai
infrastruktur pertanian seperti irigasi, lining, jalan usaha tani, sumberdaya petani
dan penyuluh masih rendah, sentuhan inovasi teknologi (pupuk, benih, penggunaan
alat mesin pertanian yang tepat guna dan pengendalian hama penyakit) serta pasar
yang belum berpihak kepada petani.
Untuk tercapainya target yang diinginkan sebagaimana disebutkan di atas
perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Peningkatan indeks tanam melalui optimalisasi penggunaan lahan dan
penyediaan agro input Peningkatan luas tanam (termasuk integrasi
dengan tanaman perkebunan) dengan mengoptimalkan lahan yang
tersedia.
b. Perbaikan sarana dan prasarana penunjang
c. Akses pasar, penanganan paska panen dan peningkatan nilai tambah
produk pertanian Inovasi teknologi
d. Pengembangan kawasan dan perwilayahan komoditi pertanian
e. Penguatan kelembagaan dan SDM petani
f. Membuka akses permodalan kepada lembaga keuangan baik bank
maupun non bank.
g. Peningkatan Fungsi Penyuluhan pertanian
h. Peningkatan pengkajian teknologi dan penyediaan serta penggunaan
varitas baru.
i. Akses pasar dan penanganan pasca panen
Ketahanan Pangan
Pangan adalah suatu kondisi dimana setiap individu dan rumah tangga
memiliki akses secara fisik, ekonomi dan ketersediaan pangan yang cukup, aman,
serta bergizi untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan seleranya bagi kehidupan
yang aktif dan sehat dan dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat sesuai
dengan amanat UU No. 7 Thn. 1996 tentang pangan. Implementasi program
68
ketahanan pangan dilaksanakan dengan memperhatikan tiga subsistem yaitu,
Ketersediaan, Distribusi dan Konsumsi.
Secara umum, kondisi ketahanan pangan Aceh 2005-2009 cenderung
semakin baik dan kondusif, walaupun kualitas konsumsi pangan masyarakat belum
memenuhi Pola Pangan Harapan (PPH). Kondisi ketahanan pangan yang cenderung
semakin baik, ditunjukkan oleh beberapa indikator ketahanan pangan berikut:
a. Beberapa produksi komoditas pangan penting mengalami pertumbuhan
positif dari tahun 2005, dan khusus beras mulai tahun 2008 sudah mencapai
swasembada;
b. Harga-harga pangan lebih stabil kecuali harga daging sapi baik secara umum
maupun pada saat menjelang hari-hari besar nasional pada saat menjelang
Puasa, Idul Fitri dan Idul Adha;
c. Proporsi penduduk miskin dan rawan pangan semakin menurun.
Peran serta Badan Ketahanan Pangan dalam mendorong pemantapan
ketahanan pangan tersebut, dilakukan melalui pelaksanaan koordinasi perumusan
kebijakan dan langkah-langkah implementasi pemantapan ketahanan pangan
masyarakat, melalui pengembangan desa mandiri pangan, penanganan daerah
rawan pangan, pemberdayaan lumbung pangan masyarakat, penguatan lembaga
ekonomi pedesaan (LUEP), penguatan lembaga distribusi pangan masyarakat (LDPM)
dan percepatan penganekaragaman/ diversifikasi konsumsi pangan.
Produksi komoditas pangan penting selama lima tahun telah menunjukkan
pertumbuhan yang positif. Adapun gambaran ketersediaan bahan pangan untuk
dikonsumsi dapat ditunjukkan dari hasil Neraca Bahan Makanan (NBM).
Berdasarkan hasil analisis NBM tahun 2011, bahwa rata-rata kuantitas
ketersediaan pangan perkapita perhari untuk energi mencapai 3.334,28
kkal/kap/hari dan protein 92,42 gram/kap/hari, sudah melebihi angka rekomendasi
hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII Tahun 2004, yaitu
ketersediaan energi 2200 kkal/kap/hari dan protein 57 gram/kapita/hari.
Selain aspek ketersediaan, aspek distribusi untuk pemenuhan kebutuhan
pangan penduduk secara merata dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat
juga tidak boleh dilupakan. Oleh karena itu keberhasilan dalam pembangunan
ketahanan pangan baik di provinsi dan kabupaten/kota tidak hanya bergantung
pada keberhasilan dalam meningkatkan produksi pangan. Tetapi, perlu dilihat secara
komprehensif berdasarkan tiga pilar utama yaitu ketersediaan dari produksi yang
cukup, distribusi yang lancar dan merata, serta konsumsi pangan yang aman dan
berkecukupan gizi bagi seluruh individu masyarakat. Untuk dapat memenuhi
kebutuhan individu dan/atau keluarga agar dapat memperoleh akses pangan baik
secara fisik maka proses distribusi pangan yang lancar dari produsen hingga ke pasar
konsumen menjadi persyaratan yang utama.
69
Kondisi di lapangan menunjukkan sebaran wilayah sentra produksi bahan
pangan tidak sejalan dengan sebaran wilayah pasar dan sentra konsumen. Pangan
yang dihasilkan di wilayah sentra-sentra produksi harus diangkut ke pasar agar
secara fisik semua konsumen mempunyai akses untuk mendapatkannya dan setelah
sampai di pasar harganya harus tetap terjangkau oleh konsumen. Hal ini
menggambarkan bahwa setelah tahap produksi, maka tahap berikutnya adalah
mendistribusikan bahan pangan agar tersedia bagi semua konsumen.
Indikator keberhasilan dalam distribusi pangan adalah pada saat pangan telah
mencapai ke konsumen. Bahan pangan tersebut harus cukup secara kuantitas, aman
bagi kesehatan, bergizi baik, sesuai selera konsumen, harganya terjangkau, dan
tersedia sepanjang tahun.
Permasalahan utama yang menyebabkan kurangnya pasokan bahan pangan di
wilayah yaitu masalah distribusi pangan, dimana ada 4 akar permasalah, yaitu :
Pertama, dukungan infrastruktur, yaitu kurangnya dukungan akses terhadap
pembangunan sarana jalan, jembatan, dan lainnya. Kedua, sarana transportasi yang
belum memadai. Ketiga, sistem transportasi, yakni sistem transportasi yang masih
kurang efektif dan efisien. Selain itu juga kurangnya koordinasi antara setiap moda
transportasi mengakibatkan bahan pangan yang diangkut sering terlambat sampai ke
tempat tujuan. Keempat masalah keamanan dan pungutan liar.
Indikator yang mempengaruhi kebijakan pangan antara lain : (a) kelangkaan
pangan secara cepat yang direfleksikan dengan meningkatnya harga pangan; (b)
harga pangan yang terjangkau cukup dapat menjamin akses semua orang untuk
memperoleh pangan yang memadai; (c) produksi pangan dosmetik yang cukup
(swasembada pangan) merupakan cara yang paling efektif untuk mencapai stabilisasi
harga pangan dalam negeri.
Kebijakan pemerintah di bidang pangan (harga) adalah untuk mencapai salah
satu atau kombinasi dari beberapa hal berikut : (1) membantu meningkatkan
pendapatan petani; (2) membantu petani kecil untuk tetap memiliki insentif
menghasilkan pangan; (3) mencapai swasembeda pangan dan mengurangi
ketergantungan impor; dan (4) menurunkan ketidakstabilan harga dan pendapatan
petani.
Oleh karena itu Badan Ketahanan Pangan dalam rangka melaksanakan tugas
dan fungsinya di bidang distribusi, harga dan cadangan pangan akan melaksanakan :
(a) koordinasi lintas sektor untuk merumuskan kebijakan yang terkait dalam
stabilsasi harga, pasokan pangan dan cadangan pangan baik dalam bentuk
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Instruksi Presiden maupun Peraturan
Menteri; (b) pemantauan harga, ketersediaan dan distribusi pangan untuk
menjamin ketersediaan dan pasokan pangan serta harga yang terjangkau terutama
menjelang HBKN; (c) pemantauan dan pengembangan terhadap cadangan pangan
70
masyarakat dan pemerintah; serta kegiatan Penguatan Lembaga Distribusi Pangan
Masyarakat (Penguatan-LDPM) yang dimulai pada tahun 2009 dan pengembangan
lumbung masyarakat yang dimulai sejak tahun 2000.
Untuk kegiatan DPM-LUEP, pemerintah Aceh telah menyalurkan dana
talangan yang bersumber dari APBA kepada Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan
(LUEP) di daerah sentra produksi padi, jagung dan kedelai seperti penggilingan
maupun pedagang tanpa bunga. Dana talangan tersebut dimaksudkan untuk
memperkuat modal penggilingan dan pedagang agar dapat menyerap
gabah/beras/jagung petani di saat mereka menghadapi panen raya yang pada
umumnya harga jatuh sehingga petani mengalami kerugian.
Sejak tahun 2009, terjadi perubahan di dalam pengelolaan penganggaran
kegiatan di Departemen Keuangan sehingga untuk mendukung kegiatan dalam
rangka stabilisasi harga tidak lagi diberikan dalam bentuk dana talangan kepada
LUEP tetapi menyalurkan dana Bansos kepada Gapoktan. Mengingat Gabungan
Kelopoktani (Gapoktan) merupakan wadah organisasi kelompoktani untuk
bergabung dalam rangka mensejahterakan anggotanya, maka pemerintah melalui
kegiatan Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (Penguatan-LDPM)
memberikan fasilitasi berupa dana Bansos dan pendampingan.
Cadangan pangan nasional, sesuai dengan Pasal 5 Peraturan Pemerintah
Nomor 68 Tahun 2002 terdiri dari cadangan pangan pemerintah dan cadangan
pangan masyarakat. Cadangan pangan pemerintah adalah cadangan pangan tertentu
bersifat pokok di tingkat nasional sebagai persediaan pangan pokok tertentu,
misalnya beras. Cadangan pangan pemerintah pusat dijadikan sebagai stok beras
nasional dan dikelola oleh PERUM Bulog.
CBP tersebut dimanfaatkan untuk bantuan darurat akibat bencana,
pengendalian harga beras tingkat konsumen, dan untuk penyediaan cadangan
pangan ASEAN. Dalam rangka mengatasi gejolak harga pangan dan bencana alam
serta antisipasi masa paceklik, pemerintah daerah secara bertahap mulai tahun
2012 telah mengembangkan cadangan pangan pemerintah daerah melalui kerja
sama dengan Bulog.
Sedangkan pengembangan cadangan pangan masyarakat telah dilakukan
melalui pengembangan lumbung pangan masyarakat terutama pada lokasi yang
rawan bencana dan daerah yang mengalami paceklik. Stabilitas pasokan dan harga
merupakan indikator penting yang menunjukkan kinerja subsistem distribusi.
Beberapa permasalahan terkait dengan aspek distribusi, yaitu belum memadainya
prasarana dan sarana distribusi untuk menghubungkan lokasi produsen dengan
konsumen di seluruh wilayah yang menyebabkan kurang terjaminnya kelancaran
arus distribusi pangan. Hal ini dapat menghambat akses fisik dan berpotensi memicu
kenaikan harga, sehingga dapat menurunkan kualitas konsumsi pangan.
71
Ketidaklancaran proses distribusi juga merugikan produsen, karena disamping biaya
pemasaran yang mahal, hasil pertanian merupakan komoditi yang mudah susut dan
rusak. Selain itu, ketidakstabilan harga memberatkan petani. Dengan sifat produksi
yang musiman, penurunan harga pada saat panen cenderung merugikan petani.
Sebaliknya, pada saat tertentu, harga pangan meningkat dan menekan konsumen,
tetapi peningkatan harga tersebut tidak banyak dinikmati para petani sebagai
produsen.
Permasalahan lainnya adanya pengaruh melonjaknya harga pangan dunia,
misalnya beras dan kedelai sebagai akibat kenaikan harga di dalam negeri karena
ketergantungan terhadap ekspor pangan. Dalam era otonomi daerah, banyak
peraturan daerah yang berdampak menghambat secara fisik arus distribusi pangan
berupa peningkatan biaya distribusi pangan untuk kepentingan pemasukan
keuangan daerah yang pada akhirnya dibebankan kepada konsumen.
Permasalahan dalam proses distribusi pangan antara lain adalah terbatasnya
dan/atau kurang memadainya sarana dan prasarana transportasi, kondisi iklim yang
tidak menentu (akibat kondisi musim hujan yang tidak bersahabat, sehingga banyak
jalan yang rusak, karena bencana banjir, atau ombak laut tinggi sehingga
mengganggu pelayaran) yang dapat mengganggu transportasi bahan pangan.
Permasalahan teknis dalam proses distribusi ini berdampak terhadap melonjaknya
ongkos angkut. Konsekuensi dari ongkos angkut yang tinggi akan berdampak
terhadap harga pada tingkat konsumen akan melonjak. Sebaliknya, harga pada
tingkat produsen akan jatuh. Tingginya harga pangan mengakibatkan aksesibilitas
konsumen secara ekonomi menurun. Maka kondisi ketahanan pangan tentu
terganggu.
Lamanya waktu tempuh dalam pengangkutan bahan pangan segar pada saat
terjadi gangguan transportasi, baik karena kondisi infrastruktur jalan maupun cuaca,
akan memperbesar persentase bahan pangan yang rusak. Masalah kelangkaan
pangan disuatu wilayah berdampak terhadap harga-harga pangan akan melambung
sangat tinggi yang berakibat pada terlampauinya tingkat inflasi dari tingkat inflasi
yang telah ditetapkan.
Masalah lain yang mempengaruhi ketersediaan bahan pangan di daerah
adalah belum semua kabupaten/kota menjabarkan peraturan Pemerintah No 68
tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan dan kesepakatan Gubernur dan Bupati pada
sidang Regional Dewan Ketahanan Pangan tahun 2005 kedalam kebijakan
operasional daerah. Dalam sidang Regional tersebut Gubernur dan Bupati
berkomitmen untuk membangun cadangan pangan daerah. Namun demikian daerah
masih menghadapi permasalahan dalam pengembangan cadangan pangan antara
lain belum tersusunnya payung hukum yang dapat mengkoordinasikan pengelolaan
cadangan pangan di tingkat kabupaten/kota (lembaga di daerah yang akan
72
mengelola cadangan pangan, siapa yang menetapkan kebutuhan cadangan pangan,
dan berapa besaran volume cadangan akan dikelola oleh kabupaten/kota) dan
alokasi anggaran untuk pengelolaan cadangan pangan di kabupaten/kota.
Masalah lainnya dalam rangka mendukung distribusi, harga dan cadangan
pangan adalah data dan informasi, SDM dan kelembagaan di provinsi dan
kabupaten/kota yang yang bertanggung jawab terhadap akurasi dan pengelola data
yang terkait dengan ketersediaan pangan, harga pangan, dan cadangan pangan di
provinsi/kabupaten/kota/desa untuk dapat digunakan dalam merumuskan kebijakan
distribusi, stabilsasi harga dan pasokan pangan serta kondisi cadangan pangan di
provinsi/kabupaten/kota/masyarakat.
Kemiskinan berhubungan sangat erat dengan kerawanan pangan dalam dua
dimensi yaitu dari (1) kedalamannya, dibedakan dengan kategori ringan, sedang,
dan berat; serta (2) jangka waktu/periode kejadian, dengan katagori kronis untuk
jangka panjang dan transien untuk jangka pendek/fluktuasi. Tingkat kedalaman
kerawanan pangan ditunjukkan dengan indikator kecukupan konsumsi kalori
perkapita perhari dengan nilai Angka Kecukupan Gizi (AKG) sebesar 2.000
kkal/kap/hari. Jika konsumsi perkapita kurang atau lebih kecil dari 70 persen dari
AKG dikategorikan sangat rawan pangan; sekitar 70 hingga 90 persen dari AKG
dikategorikan rawan pangan; dan lebih dari 90 persen dari AKG termasuk dalam
kategori tahan pangan. Pada 2010 jumlah penduduk miskin di Aceh secara bertahap
telah berkurang dari 19,95 persen pada tahun 2009 menjadi 21,61 persen.
Jika dilihat dari sisi kerawanan Pangan, berdasarkan Peta Ketahanan dan
Kerentanan Pangan Aceh (Food Security and Vurnalibility Atlas of Aceh/FSVA) Tahun
2010, menunjukkan bahwa dari 251 kecamatan yang dianalisis, terdapat 133
kecamatan atau sekitar 52,99 persen rentan terhadap kerawanan pangan. Penyebab
utama kerawanan pangan prioritas 1, 2 dan 3 yaitu angka kemiskinan yang masih
tinggi, tidak ada akses listrik, kasus underweight pada balita masih tinggi, tidak ada
akses jalan untuk kendaraan roda empat, tidak ada sumber air bersih, dan rasio
konsumsi normatif perkapita terhadap ketersediaan serealia masih meningkat.
Keterjangkauan pangan yang masih rendah akibat tingginya tingkat
kemiskinan dan rendahnya ketersediaan infrastruktur (jalan, listrik dan air bersih)
untuk mencapai rumah tangga terutama untuk daerah rawan pangan dan daerah
kepulauan. Dari segi konsumsi pangan, sangat kurang pengetahuan terutama
tentang pangan beragam, bergizi, berimbang dan aman. Secara umum permasalahan
utama tidak pada kuantitas pangan yang dikonsumsi, tapi lebih pada kualitas
pangannya yaitu kurang beragam dan berimbangnya kelompok pangan yang
dikonsumsi. Konsumsi protein masih didominasi oleh protein nabati dan sangat
rendah protein hewani.
73
Di sisi lain, produktivitas lahan masih rendah akibat keterbatasan modal
usaha, dan perilaku/budaya masyarakat yang kurang produktif. Rendahnya
kepemilikan lahan pertanian dan lahan pekarangan menjadi penyebab kemiskinan
dan ketidakmampuan mengakses pangan serta peran Dewan Ketahanan Pangan di
Provinsi dan Kabupaten masih belum optimal dalam menghasilkan suatu kebijakan
yang fokus.
Penanganan rawan pangan yang terlambat akan memicu terjadinya
kerawanan pangan yang berkepanjangan dalam periode yang lama menjadi
kerawanan pangan kronis, dan dapat menyebabkan rawan pangan transien. Rawan
pangan yang bersifat kronis memerlukan intervensi jangka menengah dan panjang,
yaitu melalui intervensi kegiatan Desa Mandiri Pangan (Demapan), sedangkan untuk
rawan pangan transien diperlukan intervensi jangka pendek tanggap darurat yang
bersifat segera yaitu melalui kegiatan Penanganan Daerah Rawan Pangan (PDRP)
transient dan penyaluran cadangan Pemerentah Daerah.
Program desa mandiri pangan lebih diutamakan agar terjadinya
pembelajaran bagi masyarakat desa sehingga pengetahuan, keterampilan dan sikap
dapat berubah menjadi lebih baik. Dengan adanya perubahan perilaku tersebut
diharapkan masyarakat desa mempunayi kapasitas untuk menangkap beberapa
peluang untuk peningkatan pendapatan bagi masyarakat, serta sejalan dengan salah
satu tujuaan Millenium Development Goals (MDGs), yaitu untuk mengurangi angka
kemiskinan dan kelaparan di dunia sampai setengahnya di tahun 2015.
Dengan telah dilaksanakan di 20 Kabupaten/Kota pada 187 desa reguler.
Desa-desa Reguler yang telah telah dibina selama 4 tahun dan telah menjadi desa
yang mandiri akan dijadikan desa inti, yang selanjutnya akan membina 3 desa di
sekitarnya (desa replikasi). Jumlah desa replikasi sejak tahun 2010 s/d 2012
sebanyak 69 desa, sehingga total jumlah desa yang telah dibina sebanyak 256 desa.
Untuk menunjang Program Ketahanan Pangan diantaranya Kegiatan
Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan yang telah dituangkan pada
Perpres 22 Tahun 2009, Permentan 43 Tahun 2009 dan Pergub 42 Tahun 2010, yang
telah dilaksanakan dengan kegiatan :
Pemberdayaan Kelompok Wanita Tani
Pengembangan Pangan Lokal
Sosialisasi dan Promosi Penganekaragaman Konsumsi Pangan
Pengembangan Rumah Pangan Lestari
Pada tahun 2010-2012 P2KP telah dilaksanakan dibeberapa kabupaten, untuk
lebih jelas dapat dilihat pada Tabel Perkembangan Jumlah Kecamatan Kegiatan
Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan 2010-2012 dibawah ini.
74
Tabel 9
Perkembangan Jumlah Kecamatan Kegiatan Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan 2010 2012
No. Tahun Jumlah Kecamatan Jumlah Desa Jumlah Kelompok
1 2010 14 28 140
2 2011 16 32 160
3 2012 26 52 260
Tabel 10
Jumlah Alokasi Desa Percepatan Penganekaragaman
Konsumsi Pangan Tahun 2010 2012
Jumlah Desa Alokasi P2KP
No. Kabupaten
2010 2011 2012 Total
1 Aceh Besar 4 4 5 13
2 Pidie 4 4 4 12
3 Bireun 4 4 4 12
4 Aceh Tengah 4 4 4 12
5 Aceh 4 4 4 12
6 Tenggara
Nagan Raya 4 4 4 12
7 Aceh Selatan - 4 4 8
Sampai Tahun 2012 baru terlaksana P2KP pada 13 Kabupaten, dengan jumlah
alokasi Desa sebanyak 110 Desa. Program/Kegiatan P2KP ini merupakan item ke 4
(empat) dari program utama Pemerintah saat ini (Diversifikasi/Penganekaragaman
Konsumsi).
Penganekaragaman Konsumsi Pangan penting, karena :
Pola konsumsi pangan masyarakat belum beragam, bergizi, seimbang dan
aman, dan di dominasi beras.
Pemanfaatan pangan lokal, khususnya Karbohidrat belum optimal.
Total permintaan kebutuhan beras terus meningkat sejalan daya
pertumbuhan penduduk yang masih tinggi (1,49% / tahun).
Semakin nyata dampak perubahan iklim global yang dapat mempengaruhi
kapasitas pangan domestic dan global.
Percepatan peningkatan status gizi perlu segera dilakukan karena sifat
masalah gizi yang jelas terlihat masih cukup berat.
Saat ini kita lihat untuk Pelaksanaan Potensi Penganekaragaman Pangan,
diantaranya :
Kegiatan biodiversitas pangan Nabati dan Hewani yang cukup besar dan
beragam.
75
Makanan tradisional dan spesifik lokasi dapat dikembangkan kearah yang
lebih komersial.
Teknologi pengolahan pangan makin berkembang untuk memproduksi bahan
pangan yang siap saji dan siap konsumsi.
Tumbuhnya LSM dan kelompok masyarakat lainnya yang bergerak dalam
bidang pangan dan gizi.
Jumlah konsumsi pangan dalam bentuk total energi masyarakat Provinsi Aceh
Tahun 2010 mencapai 2.139 kkal/kap/hari, yang berarti telah memenuhi 107% dari
sasaran angka kecukupan energi yang ditetapkan dalam susunan Pola Pangan
Harapan (PPH) Nasional atau berdasarkan hasil Widya Karya Nasional Pangan dan
Gizi (WKNPG VIII) Tahun 2004, yaitu 2.000 kkal/kap/hari.
Proporsi energy yang di konsumsi tersebut masing-masing bersumber dari
padi-padian 1375,3 kkal/kap/hari, umbi-umbian 19,8 kkal/kap/hari, pangan hewani
168,1 kkal/kap/hari, buah biji berminyak 77,6 kkal/kap/hari, minyak dan lemak 247,1
kkal/kap/hari, kacang-kacangan 28,6 kkal/kap/hari, gula 107,1 kkal/kap/hari serta
sayur dan buah 74,5 kkal/kap/hari.
Walaupun jumlah konsumsi energinya melebihi angka kecukupan energi,
namun secara kualitas masih rendah, hal ini tercermin dari skor mutu pangan yang
baru mencapai 72,3 dari sasaran 100, hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi
pangan masyarakat yang belum beragam, seimbang dan bergizi, karena didominasi
oleh kelompok padi-padian sementara itu kelompok pangan lainnya seperti pangan
hewani serta kelompok sayur dan buah proporsi masih dibawah sasaran skor PPH.
Rendahnya kualitas dan kuantitas konsumsi pangan ini, disamping
disebabkan oleh kemampuan masyarakat yang relatif rendah, juga faktor lainnya,
seperti kebiasaan makan, ketersediaan pangan ditingkat lokal, pengetahuan dan
kesadaran masyarakat terhadap gizi dan kesehatan relatif rendah.
Keamanan pangan merupakan salah satu aspek penting yang menentukan
kualitas sumberdaya manusia. Konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang
tidak akan berarti banyak, jika makanan yang dikonsumsi tidak aman dari cemaran,
baik cemaran kimia, mikroba maupun cemaran fisik serta adanya penggunaan bahan
tambahan pangan yang tidak dianjurkan yang berdampak buruk kesehatan manusia
serta nilai ekonomi dai bahan pangan yang bersangkutan
Penanganan keamanan pangan mulai mendapat perhatian yang lebih serius
dari pemerintah yang ditandai dengan telah diterbitkanya Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor : 28 Tahun 2004, tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan yang
merupakan penjabaran dari UU Nomor 7 Tahun 1996. PP tersebut antara lain
mengamanatkan bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mempunyai
kewenangan dalam pengaturan dan/atau penetapan persyaratan, standar,
keamanan pangan olahan dan ritel, sedang kewenangan Kementerian Pertanian
76
yang implementasinya melalui Badan Ketahanan Pangan adalah pengaturan
dan/atau penetapan persyaratan keamanan pangan segar.
Pemerintah Aceh dalam upaya penanganan keamanan pangan segar,
disamping meningkatkan peran kelembagaan struktural yang telah ada, juga telah
membentuk UPTB Laboratorium Keamanan Pangan melalui Peraturan Gubernur
Aceh Nomor 51 Tahun 2009, tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Unit
Pelaksana Teknsi Badan pada Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan. UPTB
tersebut mempunyai tugas melaksanakan sebagian teknis dibidang pengembangan,
analisis mutu dan keamanan, pengujian, penelitian dan indentifikasi dan
rekomendasi bahan pangan segar. Namun kelembagaan UPTB Laboratorium
Keamanan Pangan tersebut sampai saat ini belum dapat berjalan secara optimal
karena masih terbatas tenaga SDM dibidang teknis dan analis laboratorium serta
belum lengkapnya peralatan laboratorium yang tersedia.
Penyuluhan
Penyuluhan adalah pendidikan non formal bagi petani dan keluarganya untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sehingga dari tidak tahu menjadi
tahu, mau dan mampu untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya.
Berdasarkan kondisi yang berkembang saat ini penyelenggaraan penyuluhan
pertanian, perikanan dan kehutanan belum dilakukan secara optimal. Penyuluhan
sangat tergantung dengan ketersediaan dana yang tersedia baik diperuntukkan
untuk peningkatan SDM penyuluh, petani, kelompok tani dan GAPOKTAN, berupa
pendidikan, pelatihan, pertemuan teknis penyuluh, lokakarya, seminar, studi
banding, magang, DEMPLOT, DEMFARM, Sekolah Lapang (SL) dsb, maupun
ketepatan penyusunan program penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan,
materi penyuluhan, rencana kerja tahunan (RKT) penyuluh, supervisi dan monitoring
penyelenggaraan penyuluhan dan sebagainya. Atas dasar itu diperlukan perhatian
yang serius dari semua pihak terhadap penyelenggaraan penyuluhan termasuk dana
yang tersedia harus cukup membiayai proses penyelenggaraan penyuluhan.
Tenaga Penyuluh Pertanian (PPL) di Aceh saat ini sebanyak 2837 orang yang
terdiri dari 1016 orang PNS dan 1821 orang Tenaga Harian Lepas Bantu Penyuluh
Pertanian (THL-TB) yang tersebar di 23 Kab/Kota. Kondisi penyuluh pertanian saat ini
perlu mendapat perhatian, banyaknya tenaga penyuluh senior banyak beralih status
dari fungsional ke struktural dan juga mulai memasuki masa usia pensiun, hal ini
mengakibatkan kekurangan tenaga penyuluh lapangan baik kuantitas maupun
kualitas sehingga tidak optimalnya proses pendampingan dan pembinaan kelompok-
kelompok tani ataupun GAPOKTAN bahkan, ketergantungan penyelenggaran
penyuluhan pada para penyuluh senior, sedangkan penyuluh-pemyuluh junior yang
77
diangkat tahun 1995 keatas boleh dikatakan relatif kurang mendapat pelatihan
tekhnis penyuluhan untuk membentuk karakter dan keterampilan, sehingga
penyuluh-penyuluh junior kurang berpengalaman dalam melakukan pembinaan
kepada kelompok tani. Sementara ini latihan dasar dan teknis bagi penyuluh
difasilitasi pada UPTB Diklat Saree dan juga diklat-diklat lainnya diluar Provinsi aceh
yang dibiayai melalui APBN. Diakui penyelenggaraan latihan masi terbatas, banyak
penyuluh yang masi antri untuk memperoleh kesempatan mengikuti latihan
tersebut.
Ketersediaan penyuluh perikanan pada 15 Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh
sebanyak 103 orang, yang terbanyak terdapat pada kabupaten Aceh Utara yaitu 27
orang diikuti Kabupaten Bireuen 25 orang dan yang terendah di Kabupaten Simeulue
hanya 1 orang. Penempatan tenaga penyuluh perikanan ini sebenarnya belum sesuai
proporsi dilihat dari potensi perikanan. Kedepan penempatan tenaga penyuluh perlu
disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi perikanan yang ada.
Tenaga penyuluh kehutanan sebanyak 79 orang yang tersebar di Provinsi dan
13 Kabupaten/Kota. Dari pendataan yang ada penempatan tenaga penyuluh
kehutanan tidak sesuai dengan profesinya, dimana masih terdapat penempatan
penyuluh kehutanan pada wilayah pertanian atau lainnya. Koordinasi juga belum
berjalan maksimal antara dinas yang selama ini ditetapkan menangani urusan
penyuluhan kehutanan dengan lembaga penyuluhan di Kabupaten/Kota
Jumlah kelompok tani sebanyak 10.508 kelompok dan 522 Gabungan
kelompoktani (GAPOKTAN). Dinamika kelompok tani yang tersebar di seluruh
kabupaten/Kotamengalami pasang surut, tergantung dari program pemerintah yang
ditawarkan, boleh jadi jika program pemerintah atau bantuan pemerintah
dihentikan kelompok tani dan gabungan kelompok tani dinamikanya juga berhenti.
Pembinaan kelompok tani dan gabungan kelompok tani oleh para penyuluh, terus
dilakukan dengan sistem kunjungan baik hamparan maupun domisili berdasarkan
jadwal yang telah dibuat oleh para penyuluh. Pemanfaatan kelompok tani di
Kabupaten/Kota menimbulkan problematika karena ada dinas tertentu dengan
membentuk kelompok tani tersendiri untuk kepentingan komoditas, bukan fungsi
kelompok berdasarkan konsep pembinaan kelompok tani dan gabungan kelompok
tani, hal inilah yang menyebabkan banyaknya tumbuh kelompok-kelompok tani
berdasarkan kepentingan sesaat. Sebenarnya berdasarkan Permentan No. 273 Thn.
2007 tentang penumbuhan dan pembinaan kelompok tani dan GAPOKTAN tingkat
provinsi penanggung jawab adalah Gubernur, tingkat Kabupaten/Kota adalah
Bupati/Walikota, tingkat Kecamatan adalah Camat, dan tingkat Desa adalah Kepala
Desa, Oleh sebab itu agar tidak terjadi penumbuhan kelompok tani khususnya
dikabupaten tidak sesuai dengan ketentuan, maka penumbuhan kelompok tani di
Kabupaten/Kota harus dikukuhkan dengan Surat Keputusan (SK) Bupati untuk
78
mengarahkan semua SKPD lingkup pertanian, perikanan dan kehutanan,
memanfaatkan kelompok tani dan GAPOKTAN yang telah ada.
Sementara itu jumlah Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
(BP3K) sebanyak 254 jika dipedomani dengan undang-undang No. 16 Thn. 2006
tentang sistem penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan menyatakan bahwa
BP3K satu buah setiap kecamatan, berarti masih terdapat kekurangan 23 BP3K dari
276 Kecamatan yang ada di Provinsi Aceh. Demikian juga terhadap Pos Penyuluh
yang saat ini belum satupun didirikan di wilayah Provinsi Aceh sesuai dengan amanat
UU No. 16 Thn. 2006. Pembangunan BP3K dan perlengkapannya selayaknya
mendapat perhatian dan prioritas untuk mengisi kekurangan-kekurangan yang ada.
Keberadaan BP3K yang cukup memadai akan memperlancar penyelenggaraan
penyuluhan/pelayanan masyarakat melalui penguatan tugas dan fungsi BP3K.
Potensi Lahan sawah yang cukup luas belum diusahakan secara maksimal
mengakibatkan produksi dan produktivitasnya masih rendah yang diakibatkan oleh
rendahnya pengetahuan penyuluh dan petani terhadap teknik budidaya tanaman.
79
banyaknya permintaan masyarakat untuk mengembangkan lembaga pendidikan
PAUD/TK Non Formal. Demikian juga persentase peningkatan APK SMP/MTs/SMPLB
yang mengalami kenaikan dengan capaian sebesar 102,43% dimana target yang
ditetapkan adalah sebesar 98,50% sementara realisasinya mencapai 100,89%.
Optimalisasi dalam pencapaian kinerja ini dilakukan melalui beberapa strategi,
antara lain dengan pembebasan biaya pendidikan pada tingkat menengah, serta
dengan mengarahkan dan mendorong partisipasi masyarakat termasuk dunia usaha
agar berpartisipasi dalam hal pemerataan dan perluasan akses pendidikan.
80
BAB III
Reformasi Birokrasi Aceh
81
d. Penataan Tatalaksana
Penataan bidang ketatalaksanaan terus diupayakan dan pencapaian
reformasi birokrasi di bidang ketatalaksanaan antara lain:
1. Ditetapkannya beberapa Peraturan Gubernur Aceh tentang Hasil Analisis
Jabatan Satuan Kerja Perangkat Aceh dan UPTB/UPTD
2. Ditetapkannya Pergub Aceh No 18 Tahun 2010 tentang Pelimpahan
Kewenangan Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan di Bidang Penanaman
Modal kepada BP2T Aceh.
3. Ditetapkannya Pergub Aceh No 19 Tahun 2011 tentang Tata Kearsipan Aceh
4. Ditetapkannya Kep Sekda Aceh No 065/147/2010 tentang ABK Sekretariat
Daerah Aceh
5. Penertiban penggunaan pakaian dinas PNS di lingkungan Pemerintah Aceh (SE
Gub Aceh No 065/59405 Tanggal 30 Sept 2010).
6. Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T)
7. Pelayanan Pengadaan Barang dan Jasa secara elektronik dan transparan (LPSE).
8. Menerapkan Budaya Kerja Tidak Merokok bagi Aparatur Pemerintah Aceh (SE
Gub Aceh No.338/18186 Tanggal 5 Juli 2012)
9. Menerapkan Disiplin Kerja yang berbasis Kinerja (SE Gub Aceh Nomor
800/22476 Tanggal 15 Agustus 2012)
10. Beberapa Dinas/Badan telah mengembangkan Sistem Elektronisasi Persuratan,
Sistem Perencanaan berbasis IT (E_Planning), Sistem Akuntansi Pemerintah, dan
lain lain yang terintegrasi dalam Portal aceh.prov.go.id
82
8. Dikeluarkannya SE Gub Aceh No 270/30439 tanggal 4 Oktober 2011 tentang
Netralitas PNS dalam Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil
Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.
9. Didikeluarkan SE Gubernur Aceh No.862/18101 tentang pembinaan disiplin,
kinerja dan penjatuhan hukuman disiplin bagi PNS dilingkungan Pemerintah
Aceh
10. Perumusan Standart Kinerja Individu
83
h. Bidang Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
Pencapaian reformasi birokrasi di bidang Peningkatan Kualitas Layanan Publik antara
lain:
1) Telah dilakukan penilaian Unit Pelayanan Publik Provinsi dan Kab/Kota pada tahun
2010 untuk mendapatkan penghargaan Citra Pelayanan Prima dari Presiden
Republik Indonesia dengan hasil:
a. KPPTSP Banda Aceh mendapatkan Piala Citra
b. BP2T Aceh mendapatkan Piagam Madya
b. KPPT Aceh Barat mendapatkan Piagam Madya
c. KPTSP Aceh Besar mendapatkan Piagam Madya
d. RSUD Datu Beru Aceh Tengah mendapatkan Piagam Madya
e. RSIA Pemerintah Aceh mendapatkan Piagam Madya
f. RSUD Kabupaten Simeulue mendapatkan Piagam Pratama
2) Tahun 2011 telah dilaksanakan penilaian penyelenggaraan pelayanan publik
pemerintah kab/kota oleh Tim Penilai Pusat dalam rangka penganugerahan
penghargaan Citra Bhakti Abdi Negara. Kabupaten/Kota yang telah diusulkan
kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi adalah
sebagai berikut:
a. Kabupaten Aceh Tengah;
b. Kabupaten Aceh Barat;
b. Kabupaten Nagan Raya;
c. Kabupaten Aceh Tenggara; dan
d. Kabupaten Aceh Tamiang.
3) Pelaksanaan survey IKM pada unit pelayanan publik Provinsi dan Kabupaten/kota
Tahun 2010-2012 menghasilkan nilai-nilai sebagai berikut:
a. RSUZA dengan nilai IKM Tahun 2012 : 86,66 (Sangat Baik)
b. RSIA dengan nilai IKM Tahun 2012 : 75,54 (baik);
c. BP2T dengan nilai IKM Tahun 2012 : 83,73 (Sangat baik)
d. Badan Arsip dan Perpustakaan dengan nilai IKM Tahun 2012 : 73,34 (baik);
e. Badan Pembinaan Pendidikan Daya dengan nilai IKM Tahun 2012 : 75,27
(baik);
f. KPTSP Banda Aceh dengan nilai IKM Tahun 2012 : 82,34 (sangat baik);
g. RSUD Meuraxa Banda Aceh dengan nilai IKM Tahun 2012 : 81,50 (sangat
baik);
b. KP2TSP Bireuen, dengan nilai IKM tahun 2010 : 77,28 (baik);
c. KPPT Aceh Selatan, dengan nilai IKM tahun 2010 : 79,75 (baik);
d. KPTSP Aceh Besar, dengan nilai IKM tahun 2010 : 92,28 (sangat baik);
84
e. Setdakab Aceh Tengah, dengan nilai IKM tahun 2010 : 78,00 (baik).
Dari penilaian tersebut RSUD dr. Zainoel Abidin Tahun 2012 memperoleh Piagam
Penghargaan dari MENPAN
4) Menyurati Bupati/Walikota dalam wilayah Aceh untuk percepatan penerapan dan
pencapaian SPM sesuai dengan SPM yang telah ditetapkan oleh Kementerian dan
Lembaga Non Kementerian terkait (Surat Gubernur Aceh No 065/12111 tanggal 4
Mei 2011).
b. Penataan Perundang-Undangan
Menuntaskan penyelesaian peraturan-peraturan turunan UUPA, seperti
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, Qanun, dan
85
peraturan perundangan-undangan lainnya serta harmonisasi dan sinkronisasi
beberapa Qanun Aceh dan Peraturan Gubernur Aceh, antara lain:
1. Pembentukan tim Evaluasi Peraturan Perundangan Pemerintah Aceh;
2. Penyusunan Dokumen Perundangan turunan UU Nomor 11 tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh dan Amanat MoU Helsinki;
3. Penyusunan berbagai dokumen regulasi daerah oleh Satuan Kerja Perangkat
Aceh dalam rangka mempercepat proses pembangunan;
4. Sosialisasi dan internalisasi berbagai Perundangan/Regulasi rangka Reformasi
Birokrasi Pemerintah Aceh;
5. Penyusunan regulasi berkaitan dengan standar kompetensi pegawai dalam
bentuk peraturan gubernur;
6. Penggantian Qanun yang bertentangan dengan UU 28 Tahun 2009 tentang
Pajak daerah dan Retribusi daerah; dan
7. Penyusunan Peraturan Gubernur tentang pemenuhan indikator standar
pelayanan.
c. Penataan Tatalaksana
Untuk terselenggaranya transparansi, akuntabilitas dan standarisasi proses
penyelenggaraan pemerintahan maka akan dilakukan serangkaian kegiatan yaitu:
1. Validasi Dokumen SOP Penyelenggaraan tugas dan fungsi SKPD;
2. Internalisasi SOP terhadap setiap anggota organisasi;
3. Monitoring dan evaluasi SOP;
4. Menyusun Master Plan e-office / e-government di Pemerintah Aceh
khususnya pada Dinas Perhubungan;
5. Mengimplementasikan e-office / e-government;
6. Internalisasi pelaksanaan e-office/e-government;
7. Monitoring dan evaluasi e-government; dan
8. Pengembangan Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Aceh Secara Web
dan terintegrasi khususnya redesain pelayanan keperbendaharaan
86
5. Penataan Sistem Pengadaan dan pengendalian PNS;
6. Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan;
7. Assesment individu berdasarkan kompetensi;
8. Penerapan Penilaian Sasaran Kinerja Pegawai Aceh (SKPA);
9. Pembangunan / pengembangan data base pegawai;
10. Pengembangan DIKLAT Pegawai berbasis Kompetensi; dan
11. Pengembangan Pola Karir PNS Pemerintah Aceh.
e. Penguatan Pengawasan
1. Penerapan SPIP;
2. Monitoring dan evaluasi SPIP;
3. Peningkatan Peran Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) sebagai
Quality Assurance dan Consulting;
4. Peningkatan kapabilitas Inspektorat Pemerintah Aceh;
5. Pencanangan pengembangan wilayah integritas dan birokrasi bebas korupsi;
6. Penerapan Whistle Blower System;
7. Penyusunan Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi;
8. Percepatan Tindak Lanjut Temuan BPK dan APIP;
9. Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB);
10.Penyusunan Renja dan RKA SKPA yang mengacu pada Renstra SKPA;
11.Penertiban pengelolaan keuangan dan aset sesuai dengan peraturan yang
berlaku; dan
12.Pelaporan harta kekayaan PNS eselon III ke atas.
Tabel 11
Pelaksanaan Agenda Program dan Kegiatan Reformasi Birokrasi 2013-2017
88
KERANGKA WAKTU KET.
89
KERANGKA WAKTU KET.
90
KERANGKA WAKTU KET.
91
KERANGKA WAKTU KET.
LAKIP/SAKIP
92
KERANGKA WAKTU KET.
93
Tabel 12
Agenda Prioritas (Quick Wins) 2013
Tenaga pelaksana reformasi birokrasi Pemerintah Aceh terdiri dari atas Tim
Pengarah dan Tim Pelaksana. Adapun susunan personalia adalah sebagai berikut :
Susunan Personalia
Tim Pengarah Reformasi Birokrasi Aceh
SK Gubernur Aceh Nomor: 065/36/2013
Tim Pengarah
Ketua : Gubernur Aceh
Wakil Ketua : Wakil Gubernur Aceh
Sekretaris : Sekretaris Daerah Aceh
Anggota : a. Staf Ahli Gubernur Aceh Bidang Hukum dan Politik
b. Staf Ahli Gubernur Aceh Bidang Pemerintahan
c. Staf Ahli Gubernur Aceh Bidang Pembangunan dan
Luar Negeri
94
d. Staf Ahli Gubernur Aceh Bidang Keistimewaan
Aceh dan Sumber Daya Manusia
e. Staf Ahli Gubernur Aceh Bidang Ekonomi dan
Keuangan
Susunan Personalia
Tim Pelaksana Reformasi Birokrasi Aceh
SK Gubernur Aceh Nomor: 065/36/2013
Tim Pelaksana
Ketua : Sekretaris Daerah Aceh
Sekretaris : Asisten Administrasi Umum Sekretaris Daerah Aceh
Wakil Sekretaris : Kepala Biro Organisasi Sekretaris Daerah Aceh
Anggota : - Asisten Pemerintah Sekretaris Daerah Aceh
- Asisten Keistimewaan Aceh, Ekonomi, dan
- Pembangunan Sekretaris Daerah Aceh
- Inspektur Aceh
- Kepala Badan Kepegawaian, Pendidikan dan
Pelatihan Aceh
- Kepala Dinas Keuangan Aceh
- Kepala Dinas Pendapatan dan Kekayaan Aceh
- Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informasi
dan Telematika Aceh
- Kepala Dinas Pendidikan Aceh
- Kepala Dinas Kesehatan Aceh
- Kepala Badan Pelayanaan Perizinan Terpadu Aceh
- Direktur Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel
Abidin
- Direktur Rumah Sakit Ibu dan Anak
- Direktur Rumah Sakit Jiwa
- Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah Aceh
- Kepala Biro Tata Pemerintahan Sekretariat Daerah
Aceh
- Kepala Biro Hubungan Masyarakat Sekretariat
Daerah Aceh
95
97
98
III.6. Anggaran Pelaksanaan
(Satuan dalam Jutaan Rupiah) # Angka Perkiraan
KEBUTUHAN ANGGARAN
SKPA
PENANGGUNG
KEGIATAN RB 2013 2014 2015 2016 2017
JAWAB
3. Penataan Unit Pelaksana Teknis (UPT) 50 100 100 100 50 Biro Organisasi
di Dinas dan Badan
4. Penataan hubungan kerja antara Badan Investasi
pemerintah, swasta dan masyarakat dan Promosi
50 50 50 50 50
Aceh, Biro
Organisasi
98
KEBUTUHAN ANGGARAN
SKPA
PENANGGUNG
KEGIATAN RB 2013 2014 2015 2016 2017
JAWAB
99
KEBUTUHAN ANGGARAN
SKPA
PENANGGUNG
KEGIATAN RB 2013 2014 2015 2016 2017
JAWAB
Jumlah Kebutuhan Anggaran Program 1,025 1,338 1,035 590 160 4,148
Penataan SDM Aparatur
AREA PENGUATAN PENGAWASAN
100
KEBUTUHAN ANGGARAN
SKPA
PENANGGUNG
KEGIATAN RB 2013 2014 2015 2016 2017
JAWAB
56. Monitoring
102
KEBUTUHAN ANGGARAN
SKPA
PENANGGUNG
KEGIATAN RB 2013 2014 2015 2016 2017
JAWAB
103
BAB IV
Penutup
104
5. Melakukan monitoring dan evaluasi sesuai dengan pedoman yang telah
ditetapkan oleh Kementerian PAN dan RB; dan
6. Mempersiapkan diri untuk membantu dan/atau memfasilitasi pelaksanaan
reformasi birokrasi di tingkat kabupaten/kota.
Keberhasilan dalam melaksanakan seluruh agenda dalam road map ini
tergantung pada tingkat komitmen, keteguhan dan konsitensi untuk selalu menjaga
capaian kinerja dari masing-masing area perubahan tersebut. Tanpa dilandasi
semangat-semangat tersebut road map ini hanya akan menjadi suatu dokumen mati
yang tidak akan bisa memberikan manfaat sesuai tujuan dan target yang telah
ditetapkan, yakni membawa keberhasilan seluruh agenda pembangunan yang telah
tertuang dalam RPJMA. Apalagi untuk melihat profil birokrasi yang profesional,
berkarakter dan berintegritas tinggi dalam jangka panjang, maka akan seperti
menebar air di padang pasir.
105
DAFTAR PUSTAKA
106
107