Anda di halaman 1dari 11

Latar Belakang

Sebagaimana dimaklumi salah satu agenda reformasi di bidang keuangan negara adalah dari penganggaran
tradisional menjadi penganggaran berbasis kinerja. Dengan berbasis kinerja ini, arah penggunaan dana pemerintah
tidak lagi berorientasi pada input tetapi pada output.

Pendekatan penganggaran berbasis kinerja sangat diperlukan bagi satuan kerja pemerintah daerah yang memberikan
pelayanan kepada publik dengan cara mewiraswastakan pemerintah (enterprising the government) yang telah diatur
dalam UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara.

Selanjutnya dengan pasal 68 dan pasal 69, UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, instasi pemerintah yang
tugas pokok dan fungsinya memberi pelayanan kepada masyarakat dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan
yang fleksibel dengan menonjolkan produktivitas, efisiensi dan efektivitas.

Sebagai tindak lanjut atas peraturan di atas, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 61 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah yang
menjadi dasar dalam penerapan pengelolaan keuangan bagi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).

Bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Unit Kerja pada Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah
Daerah yang ingin menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan – Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) harus
memenuhi persyaratan subtantif, teknis dan administratif.

Persyaratan substantif: SKPD yang menyelenggarakan layanan umum berupa:

1. Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan
masyarakat;
2. Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan
umum; dan/atau
3. Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat.

Persyaratan teknis:

1. Kinerja pelayanan di bidang tugas dan fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLUD
atas rekomendasi Sekretaris Daerah untuk SKPD atau kepala SKPD untuk Unit Kerja;
2. Kinerja keuangan SKPD atau Unit Kerja yang sehat.

Persyaratan administratif apabila SKPD atau Unit Kerja membuat dan menyampaikan dokumen yang meliputi:

1. Surat pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi masyarakat;
2. Pola tata kelola;
3. Rencana strategis bisnis;
4. Standar pelayanan minimal;
5. Laporan keuangan pokok atau prognosa/proyeksi laporan keuangan; dan
6. Laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen.
Pengertian BLUD dan PPK-BLUD
Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Unit Kerja pada Satuan Kerja
Perangkat Daerah di lingkungan pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat
berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam
melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

Pola Pengelolaan Keuangan BLUD, (PPK-BLUD) adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas
berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai
pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.

Manfaat Menjadi PPK-BLUD


Satuan Kerja Perangkat Daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berpotensi untuk
mendapatkan imbalan secara signifikan terkait dengan pelayanan yang diberikan, maupun dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Satuan kerja yang memperoleh pendapatan dari layanan kepada publik secara signifikan dapat diberikan keleluasaan
dalam mengelola sumber daya untuk meningkatkan pelayanan yang diberikan. Hal ini merupakan upaya peng-
agenan aktivitas yang tidak harus dilakukan oleh lembaga birokrasi murni, tetapi oleh instansi pemerintah daerah
yang dikelola “secara bisnis”, sehingga pemberian layanan kepada masyarakat menjadi lebih efisien dan efektif
yaitu dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan BLUD.

Satuan Kerja Perangkat Daerah yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan BLUD mempunyai manfaat sebagai
berikut :

1. Dapat dilakukan peningkatan pelayanan instasi pemerintah daerah kepada masyarakat dalam rangka
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
2. Instasi pemerintah daerah dapat memperoleh fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip
ekonomi dan produktivitas dengan menerapkan praktek bisnis yang sehat.
3. Dapat dilakukan pengamanan atas aset Negara yang dikelola oleh instansi terkait.

Peran BPKP Dalam Pengembangan BLUD


BPKP sebagai auditor internal pemerintah selain berfungsi sebagai pengawal kebijakan pemerintah juga
memberikan bantuan perbaikan sistem pengendalian manajemen agar dapat meningkatkan kinerja yang lebih efektif
dan efisien serta dapat dipertanggungjawabkan.

Sejalan dengan penerapan PPK-BLUD maka BPKP yang telah secara aktif melakukan pengembangan dan pelatihan
kemampuan manajemen maupun kemampuan teknis di bidang manajemen baik sektor bisnis maupun sektor publik
(New Public Management) juga melakukan pengembangan asistensi bagi satuan kerja perangkat pemerintah daerah
dalam memenuhi persyaratan administrasi untuk dapat menerapkan PPK-BLUD dan tentunya dalam meningkatkan
kinerja pelayanan sesuai dengan amanat PP 23 tahun 2005 tentang PPK-BLU maupun peraturan terkait lainnya.

Mekanisme Kerja Asistensi yang Diberikan


Pekerjaan asistensi diberikan oleh BPKP dalam upaya membantu SKPD menyiapkan persyaratan kelengkapan
administrasi untuk menerapkan PPK-BLUD. Mulai dari tahap persiapan, sampai penyusunan draft yang berupa
dokumen persyaratan administrasi. Dalam asistensi ini pada dasarnya BPKP hanya sebagai pendamping bagi pihak
manajemen, sehingga diperlukan peran aktif dari manajemen atau focus group yang dibentuk untuk melaksanakan
penyusunan persyaratan terutama dari segi teknis operasi.
Tanggung jawab dari dokumen yang dipersyaratkan tetap pada pihak manajemen, sedang tanggung jawab BPKP
adalah atas penyediaan metodologi pengumpulan data maupun pengolahannya sehingga dapat dijadikan alat untuk
melakukan penilaian bagi tim penilai penetapan BLUD.

Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)


Terbit 20 Oktober 2016 Kategori Ragam by LenteraK - dibaca 2.009 kali

Latar Belakang Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) tidak terlepas dari peraturan tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum (Daerah) yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007
tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah.

Hal ini disebabkan kondisi pelayanan publik yang diberikan oleh penyelenggara Negara dewasa ini dirasa
belum memuaskan masyarakat, contohnya,

1. dalam memberikan pelayanan tidak cepat namun terjadi prosedur yang berbelit-belit (kalau bisa dipersulit
mengapa dipermudah?, bukannya kalau bisa dipermudah mengapa dipersulit?);
2. adanya diskriminasi pelayanan, kalau masyarakat yang bersangkutan mempunyai jabatan atau uang, akan
cepat dilayani, akan tetapi kalau masyarakat biasa (miskin) entar dulu;
3. biaya tidak transparan, katanya gratis tetapi kenyataan di lapangan masih harus bayar, membayarnyapun
tidak ada standarnya;
4. adanya budaya kerja aparatur yang belum baik, hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa kalau sudah
jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), kerja tidak kerja gajinya sama;
5. waktu penyelesaian pemberian pelayanan yang tidak jelas, katanya kalau mengurus KTP dapat selesai dua
hari, kenyatan di lapangan bisa sampai dua minggu;
6. banyaknya praktek pungutan liar, ini yang sampai saat ini masih susah di tanggulangi, alasannya klasik “
gaji” kurang, yang menjadi pertanyyan apa iya gaji kurang? Apakah bisa dijamin remunerasinya tinggi
pungli tidak ada?
Kondisi tersebut memberikan citra negative terhadap penyelenggara pelayanan di mata masyarakat. Sehingga
akan berdampak pada rendahnya daya saing bangsa dan juga pertumbuhan ekonomi nasional, kenapa? Karena
investor tidak mau lagi menanamkan modalnya di Indonesia, belum-belum sudah dipalak sehingga
mengakibatkan biaya tinggi. Akibatnya banyak yang lari ke Negara lain seperti Vietnam, Singapura dan lain-
lainnya.

Seperti kita ketahui, ada tiga jenis lembaga di pemerintah daerah yang memberikan pelayanan kepada
masyarakat.

1. Public goods, yaitu pelayanan yang diberikan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang
operasionalnya seluruhnya dengan APBD, sifatnya tidak mencari keuntungan (non profit);
2. Quasi Public Goods, yaitu perangkat daerah yang dalam operasionalnya sebagian dari APBD dan sebagian
lagi dari hasil jasa layanan yang diberikan, sifatnya tidak semata-mata mencari keuntungan (not for
profit); dan
3. Private Goods, yaitu lembaga milik pemerintah daerah yang biaya operasionalnya seluruhnya berasal dari
hasil jasa layanan (seperti BUMD, Perusahaan daerah) dan bersifat mencari keuntungan (profit oriented).
Konsep pendanaan ke depan bagi perangkat daerah yang bersifat quasi public goods, adalah lembaga tersebut
diberi kemudahan dalam pengelolaan keuangannya, khususnya yang berasal dari jasa layanan, dengan
konsekuensi lambat laun pendanaan yang bersumber dari APBD presentasenya semakin dikurangi. Sehingga
diharapkan dikemudian hari bisa mandiri.

Alokasi anggaran berasal dari APBD yang selama ini dipergunakan untuk membiayai perangkat daerah
tersebut dialihkan untuk membiayai perangkat daerah yang bersifat public goods, misal untuk pembangunan
sekolahan, menambah kesejahteraan guru (kaitannya dengan mencerdaskan kehidupan bangsa), membangun
jalan, irigasi (kaitannya dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat). Sehingga ke depan APBD hanya
fokus untuk digunakan pada pelayanan masyarakat yang bersifat public goods.

Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan, bagaimana caranya? Salah satunya adalah dengan menerapkan Pola
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) pada perangkat daerah yang secara
operasional memberikan pelayanan langsung pada masyarakat.

Sekarang yang menjadi pertanyaan, kenapa dengan BLUD?


Esensi dari BLUD adalah peningkatan pelayanan dan efisiensi anggaran. Hal ini dapat dilihat dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan
Umum Daerah, disebutkan bahwa BLUD adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau Unit Kerja pada
SKPD di lingkungan pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat
berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam
melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

Makna dari pengertian ini adalah:

1. BLUD merupakan perangkat daerah, mempunyai pengertian bahwa BLUD asetnya merupakan aset daerah
yang tidak dipisahkan;
2. Perangkat daerah yang dapat menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan BLUD adalah SKPD (sebagai
Pengguna Anggaran) atau Unit Kerja pada SKPD (sebagai Kuasa Pengguna Anggaran);
3. Memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa
mengutamakan mencari keuntungan, mempunyai pengertian bahwa SKPD atau Unit Kerja tersebut
memberi pelayanan langsung kepada masyarakat dan tidak semata-mata mencari keuntungan;
4. Kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas, mempunyai arti bahwa BLUD dterapkan
dalam rangka efisiensi anggaran dan peningkatan pelayanan pada masyarakat.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa BLUD masuk dalam perangkat pemerintah daerah yang
bersifat quasi public goods.

Selanjutnya, dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut juga disebutkan bahwa BLUD merupakan Pola
Pengelolaan Keuangan yang diterapkan pada SKPD atau Unit Kerja dengan diberikan fleksibilitas, yaitu
berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa,
sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.

Dari pengertian tersebut, SKPD atau Unit Kerja dapat disebut BLUD kalau SKPD atau Unit Kerja sudah
menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan BLUD (PPK-BLUD). Hal ini untuk menepis adanya pemahaman
bahwa BLUD merupakan suatu “kelembagaan”, padahal hanya merupakan Pola Pengelolaan Keuangan saja.

Untuk itu, kalau mau menerapkan PPK-BLUD “lembaganya harus ada terlebih dahulu”. Pengaturan
kelembagaan di daerah dengan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, dengan mempedomani
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 tentang Penataan Organisasi Perangkat Daerah.

Persyaratan Menerapkan PPK-BLUD


Dalam Permendagri tersebut juga disebutkan bahwa untuk menerapkan PPK-BLUD harus memenuhi beberapa
persyaratan. Pemerintah Daerah harus selektif dan obyektif dalam menetapkan SKPD atau Unit Kerja untuk
menerapkan PPK-BLUD. Sehingga tidak semua SKPD atau Unit Kerja yang memberikan pelayanan pada
masyarakat dapat menerapkan PPK-BLUD.
Persyaratan untuk menerapkan PPK-BLUD, meliputi: (1) substantif; (2) teknis; dan (3) administratif.

Persyaratan substantif dipenuhi kalau SKPD atau Unit Kerja tersebut menurut tugas dan fungsinya memberi
pelayanan langsung kepada masyarakat dalam bentuk (a) penyediaan barang dan jasa, seperti penyediaan
layanan dalam bidang kesehatan (Rumah Sakit Daerah, Puskesmas, dan Laboratorium), pendidikan (sekolahan,
pendidikan dan pelatihan), transportasi (terminal, jasa penyeberangan, jasa transportasi), pariwisata
(pengelolaan wisata daerah), perdagangan (pasar tradisional), kebersihan (pengelolaan sampah, limbah),
penyediaan bibit/pupuk, dan lain-lainnya; (b) pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan
meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum, seperti pengelolaan kawasan ekonomi di suatu
wilayah; (c) pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada
masyarakat, seperti pengelolaan dana bergulir, pengelolaan dana perumahan.

Persyaratan teknis terpenuhi, apabila SKPD atau Unit Kerja tersebut kinerja pelayanan di bidang tugas dan
fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLUD, serta kinerja keuangannya sehat.

Persyaratan administratif, apabila SKPD atau Unit kerja menyampaikan dokumen persyaratan, yang meliputi
(1) surat pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi
masyarakat; (2) pola tata kelola; (3) rencana strategis bisnis; (4) standar pelayanan minimal; (5) laporan
keuangan pokok atau prognosa/proyeksi laporan keuangan; dan (6) laporan audit terakhir atau pernyataan
bersedia untuk diaudit secara independen.

Dari ketiga persyaratan tersebut, persyaratan administratif yang sangat menentukan dapat tidaknya SKPD atau
Unit Kerja menerapkan PPK-BLUD. Hal ini disebabkan dari dokumen administratif tersebut akan dinilai oleh
tim penilai yang ditetapkan oleh Kepala Daerah, yang anggotanya paling sedikit terdiri dari: (1) Sekretaris
Daerah, sebagai ketua merangkap anggota; (2) Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD), sebagai sekretaris
merangkap anggota; (3) Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, sebagai anggota; (4) Inspektorat
Daerah, sebagai anggota; (5) Tenaga ahli (kalau diperlukan) sebagai anggota.

Dari tim penilai ini dikeluarkan rekomendasi kepada Kepala Daerah, layak tidaknya usulan SKPD atau Unit
Kerja tersebut untuk menerapkan PPK-BLUD. Untuk itu, tim penilai harus betul-betul memahami konsepsi
BLUD. Kalau tidak paham, penerapan BLUD hanya sekedar ganti nama belaka dan tidak akan tercapai tujuan
BLUD.

Untuk itu, dalam memudahkan tim penilai dalam menilai dokumen administratif, Menteri Dalam Negeri telah
mengeluarkan Surat Edaran Nomor: 900/2759/SJ tanggal 10 September 2008 perihal Pedoman Penilaian
Penerapan PPK-BLUD. Setelah Kepala Daerah menerima hasil penilaian dari tim penilai, Kepala Daerah
memutuskan menerima atau menolak usulan SKPD atau Unit Kerja untuk menerapkan PPK-BLUD. Kalau
usulan diterima, penetapan penerapkan PPK-BLUD dengan Keputusan Kepala Daerah (tidak dengan Peraturan
Kepala Daerah atau Peraturan Daerah).
Penetapannya dengan Status BLUD Penuh atau BLUD Bertahap, yang membedakan dari status BLUD
tersebut adalah dalam pemberian fleksibilitasnya. Untuk BLUD dengan status penuh, diberikan seluruh
fleksibilitas sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut. Sedangkan BLUD Bertahap,
diberikan fleksibilitas pada batas-batas tertentu berkaitan dengan jumlah dana yang dapat dikelola langsung,
pengelolaan barang, pengelolaan piutang, serta perumusan standar, kebijakan, sistem, dan prosedur
pengelolaan keuangan serta tidak diberikan fleksibilitas dalam hal pengelolaan investasi, pengelolaan utang,
dan pengadaan barang dan/atau jasa.

Fleksibilitas BLUD
SKPD atau Unit Kerja yang menerapkan PPK-BLUD diberikan fleksibilitas dalam Pola Pengelolaan
Keuangannya, antara lain:

1. Pendapatan BLUD yang berasal dari jasa layanan dapat digunakan langsung untuk membiayai kegiatannya,
sehingga tidak masuk kas daerah terlebih dahulu. Hal ini sangat terasa pada Rumah Sakit Daerah, kalau
Rumah Sakit Daerah tidak menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan BLUD, pendapatan harus disetor ke Kas
Daerah (tidak boleh digunakan langsung). Kita mungkin perlu merenung, apa yang akan terjadi kalau sebuah
RSD memerlukan obat bagi pasiennya dengan sangat segera, sementara obat di RSD tersebut sudah tidak
mencukupi atau mungkin sudah tidak ada. Kalau RSD tersebut belum menerapkan PPK-BLUD maka
pencairan dananya harus melalui mekanisme dalam APBD sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13
Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Berapa waktu yang harus diperlukan sampai
tersedianya obat-obatan tersebut? Bisa jadi pasiennya tidak tertolong jiwanya. Selain itu, penerimaan yang
bersumber dari APBD atau APBN dapat diberlakukan sebagai pendapatan BLUD, hal ini mempunyai makna
bahwa BLUD yang telah memberi jasa layanan pada masyarakat, namun pemerintah (melalui APBN) atau
pemerintah daerah (melalui APBD) yang membayar untuk jasa layanan tersebut. Dalam hal ini Pemerintah
atau Pemerintah Daerah membeli jasa layanan yang telah diberikan oleh BLUD. Sehingga APBN atau APBD
tersebut dapat diberlakukan sebagai pendapatan BLUD.

2. Dalam pelaksanaan belanja (biaya), BLUD boleh melampaui pagu yang telah ditetapkan (flexsible budget)
sepanjang pendapatan atau belanjanya bertambah atau berkurang. Sementara kalau SKPD biasa tidak boleh
melampaui anggaran yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA).

3. BLUD boleh melakukan utang/piutang, investasi, dan kerjasama. Utang atau pinjaman dan investasi jangka
panjang harus dengan persetujuan Kepala Daerah. Sementara kalau SKPD biasa tidak boleh melakukan
utang/piutang, investasi dan kerjasama, yang diperbolehkan adalah Pemerintah Daerah.

4. Pengadaan barang dan jasa untuk pendapatan yang berasal selain dari APBD atau APBN boleh tidak dengan
Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
atau perubahannya. Makna dari pemberian fleksibilitas dalam pengadaan barang dan jasa dimaksud, adalah
untuk mempercepat pelayanan yang diberikan. Namun tetap dengan prinsip efisien, efektif, transparan,
bersaing, adil/tidak diskriminatif, akuntabel dan praktek bisnis yang sehat.

5. Pengelolaan barang, BLUD boleh menghapus aset tidak tetap. Sebagai contoh, RSD yang telah menerapkan
BLUD, boleh menghapus aset-aset yang sudah tidak produktif atau sudah tidak efisien lagi. Seperti tempat
tidur pasien yang sudah reyot, dari pada memenuhi ruangan/gudang lebih baik dijual. Hasil dari penjualan aset
tersebut merupakan pendapatan BLUD.

6. Pejabat Pengelola dan pegawai BLUD, boleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Non PNS. Pegawai Non PNS
diperlukan sepanjang BLUD yang bersangkutan sangat membutuhkan dan dalam rangka peningkatan pelayan.
Kriteria pengelola dan pegawai BLUD baik PNS maupun Non PNS harus yang betul-betul profesional, jangan
sampai pegawai yang ada di BLUD karena titipan dari para pejabat yang berpengaruh di daerah tersebut.
Pemimpin BLUD harus mempunyai komitmen dan berani menolak kalau memang tidak masuk dalam kriteria
yang telah ditetapkan. Perlu disadari, bahwa setiap tahun antara pemimpin BLUD dengan kepala daerah
menandatangani perjanjian kinerja (contractual performance agreement). Apa makna dari perjanjian kinerja
dimaksud? Kepala daerah menugaskan pemimpin BLUD untuk menyelenggarakan kegiatan pelayanan umum
dan berhak mengelola dana sesuai yang tercantum dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) BLUD. Apa
sanksi kalau kinerjanya tidak tercapai? Pemimpin BLUD bisa dicopot dari jabatannya. Untuk itu, pengelola
dan pegawai BLUD harus yang benar-benar profesional, karena jabatan taruhannya. Sehingga jadi pemimpin
BLUD, seperti duduk di kursi panas, setiap tahun bisa dilengserkan.

7. BLUD boleh mengangkat Dewan Pengawas, sepanjang asset maupun omsetnya memenuhi persyaratan
sebagaimana yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Untuk saat ini diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 109/PMK.05/2007 tentang Dewan Pengawas Badan Layanan Umum. Dalam Peraturan
Menteri Keuangan tersebut, disebutkan bahwa Dewan Pengawas dapat berjumlah 3(tiga) orang kalau nilai
asetnya sebesar 75 (tujuh puluh lima) miliar rupiah sampai dengan 200 (dua ratus) miliar rupiah, atau nilai
omsetnya antara 15 (lima belas) miliar sampai dengan 30 (tiga puluh) miliar rupiah setahun. Sementara itu,
Dewan Pengawas dapat berjumlah antara 3 (tiga) atau 5 (lima) orang kalau nilai asetnya diatas 200 (dua ratus)
miliar rupiah atau nilai omsetnya di atas 30 milai rupiah setahun. Lalu siapa yang berhak jadi Dewan
Pengawas? Untuk BLUD-SKPD adalah Sekretaris Daerah, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah dan Tenaga
Ahli. Sedangkan BLUD Unit Kerja, terdiri dari Kepala SKPD induk, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah, dan
Tenaga Ahli. Bolehkah Kepala Daerah menjadi Dewan Pengawas? jawabannya tidak. Karena dilihat dari tugas
Dewan Pengawas salah satunya adalah melaporkan kepada Kepala Daerah tentang kinerja BLUD. Kalau
Kepala Daerah menjadi Dewan Pengawas, maka Kepala Daerah tersebut melaporkan kepada dirinya sendiri,
bisa diistilahkan jeruk makan jeruk.

8. Remunerasi pejabat pengelola BLUD, dewan pengawas, sekretaris dewan pengawas dan pegawai BLUD
dapat diberikan remunerasi sesuai dengan tingkat tanggungjawab dan tuntutan profesionalisme yang
diperlukan. Sehingga tidak lagi pengaturannya seperti PNS, kalau golongan dan masa kerja sama, gaji yang
diterima setiap bulan akan sama. Namun kalau sudah jadi BLUD besaran remunerasi dapat dihitung
berdasarkan indikator penilaian antara lain: (1) pengalaman dan masa kerja (basic index); (2) ketrampilan, ilmu
pengetahuan dan perilaku (competency index); (3) resiko kerja (risk index); (4) tingkat kegawatdaruratan
(emergency index); (5) jabatan yang disandang (position index); dan (6) hasil/capaian kinerja (performance
index).

9. Penetapan tarif BLUD, ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah (bukan dengan Peraturan Kepala
Daerah). Kenapa? Karena untuk mempercepat proses penetapan dan efisiensi biaya. Namun demikian,
penetapan tarif harus mempertimbangkan kontinuitas dan pengembangan layanan, daya beli masyarakat, serta
kompetisi yang sehat. Selain itu, dalam penetapan tarif, Kepala Daerah dapat membentuk tim untuk mengkaji
kelayakan besaran tarif yang akan ditetapkan, yaitu dengan melibatkan pembina teknis, pembina keuangan,
unsur perguruan tinggi dan lembaga profesi. Penetapan tarif pada BLUD mestinya berdasarkan unit cost.
Untuk itu, perlu dipahami oleh jajaran pemerintah daerah, bahwa SKPD atau Unit Kerja yang sudah
menerapkan PPK-BLUD, kewajiban pemerintah daerah dalam hal ini APBD masih tetap diperlukan dalam
meningkatkan pelayanannya. Karena pendapatan BLUD itu minimal sama dengan belanja/biayanya.

10. Dalam menyusun Laporan Keuangan, BLUD merupakan perangkat daerah yang tidak dipisahkan. Untuk
itu laporan keuangan BLUD merupakan bagian dari laporan keuangan SKPD atau Pemerintah Daerah. BLUD
akuntansinya wajib menggunakan Standar Akuntansi Keuangan yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan
Indonesia (IAI), sementara laporan Keuangan Pemerintah menggunakan Standar Akuntansi Pemerintahan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan, maka di sini perlu adanya konsolidasian dalam menyusun laporan keuangan BLUD.

Dengan adanya kemudahan/fleksibilitas yang diberikan sebagaimana tersebut di atas, hendaknya menerapkan
PPK-BLUD jangan hanya mengejar fleksibilitas dimaksud. Namun harus disadari, menerapkan PPK-BLUD
karena mempunyai kemauan untuk meningkatkan kinerja keuangan, kinerja manfaat dan kinerja pelayanan.
Dilain pihak, dalam implementasinya sampai saat ini masih ada keragu-raguan dari para pejabat di daerah
tentang keberadaan dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 dimaksud, karena di dalam
hirarki perundang-undangan Peraturan Menteri tidak termasuk di dalamnya. Sehingga sering muncul
pertanyaan, “masa Permendagri menabrak Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah”.

Untuk itu, dapat kami jelaskan bahwa keberadaan Peraturan Menetri Dalam Negeri 61 Tahun 2007 tersebut
ada karena amanat dari Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,
khususnya Pasal 150, dimana disebutkan “Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
Daerah ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan Menteri Keuangan”. Untuk itu,
keberadaan Peraturan Menetri Dalam Negeri tersebut sangat kuat. Oleh karena itu, dalam membaca Peraturan
Menetri Dalam Negeri tersebut hendaknya bersamaan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005,
karena antara keduanya merupakan satu kesatuan.

Keberhasilan Implentasi Penerapan BLUD


Apa yang harus dipersiapkan daerah dalam menunjang keberhasilan implementasi BLUD?

1. Perlunya peningkatan kapasitas SDM, perubahan pola pikir (maindset), semangat kewirausahaan
(enterpreneurship) bagi stakeholder terkait mulai dari kepala daerah, sekretaris daerah, PPKD, Kepala
BAPPEDA, Inspektur Daerah dan pejabat pengelola BLUD.
2. Perlunya penyiapan regulasi dan instrumen pendukung sebagai penjabaran dari ketentuan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 untuk digunakan sebagai pedoman operasional
implementasi PPK-BLUD, antara lain penetapan Tim Penilai, Standar Pelayanan Minimal, dan Peraturan
yang ditetapkan oleh Kepala Daerah terkait dengan fleksibilitas yang diberikan.
3. Perlu adanya pemahaman tentang konsepsi mengenai Rencana Strategis (RENSTRA) Bisnis, Rencana
Bisnis dan Anggaran (RBA), Tata Kelola, Standar Pelayanan Minimal, Standar Akuntansi Keuangan
(SAK), konsolidasian RBA dan laporan keuangan dengan APBD.

Kesimpulan
1. Menerapkan PPK-BLUD harus selektif dan obyektif oleh Pemerintah Daerah, tidak semua SKPD atau Unit
Kerja yang memberi pelayanan pada masyarakat dapat menerapkan PPK-BLUD, harus dilihat kesiapan SDM-
nya dan perangkat pendukungnya;

2. Penerapan PPK-BLUD jangan hanya mengejar fleksibilitas yang diberikan, tetapi dalam rangka peningkatan
kinerja pelayanan, kinerja manfaat, dan kinerja keuangan;

3. BLUD merupakan quasi public goods, sehingga peran APBD masih tetap diperlukan dalam peningkatan
pelayanan; dan

4. Untuk keberhasilan implementasi BLUD, perlunya peningkatan kapasitas SDM, perubahan pola pikir
(maindset), semangat kewirausahaan (enterpreneurship) bagi stakeholder terkait, penyiapan peraturan
pendukung, serta pemahaman tentang konsepsi BLUD.

Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)


Ditulis oleh Ir. Bejo Mulyono. MML
Pemerhati Keuangan Daerah
bije59@yahoo.co.id – blud-mulyono.blogspot.co.id

Anda mungkin juga menyukai