Anda di halaman 1dari 39

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Arsitektur Karo

2.1.1 Pola Perkampungan

Pola perkampungan karo secara umum mengelompok atau berbaris

mengikuti alur sungai sehingga peletakan rumah didasarkan pada aliran sungai,

dimana pintu utama atau depan menghadap kehulu sungau dan bagian belakang

atau pintu belakang rumah manghadap ke hilir sungai.

2.1.2 Arah Rumah Tradisional

Pada masyarakat karo mereka mengenal mata angin yang disebut “Desa

Siwaluh”, pada awalnya rumah dibuat dengan arah kenjahe-jenjulu, sesuai dengan

arah pengaliran sungai disuatu kampung, pengertian kenjahe kenjulu berbeda

dengan utara selatan, arah hilir disebut kenjahe sering disebut juga kahe-kahe atau

jahe-jahe dan arah kenjulu disebut kolu-kolu atau julu (Masri Singalimbun 1960 :

149 No. 839 & 151 No. 847).

Semua pangkal kayu utama yang digunakan pada rumah tradisional berada

disebelah kanjahe, dimana ditempatkan jabu raja, yang dianggap sebagai pangkal

atau asal dari rumah. Jabu raja tersebut terletak disebelah kiri pintu hilir (ture

jahe), sedang menurut pendapat lain (“Percikan Budaya Karo” hal 2) jabu raha

atau jabu benana kayu terletak pada kanan pintu hulu (ture jahe) diarah timur

(purba), tempat matahari terbit.

Universitas Sumatera Utara


2.1.3 Tipologi Bangunan Rumah Adat Karo

M. Nawawiy (2004) dalam buku Raibnya Para Dewa, mengatakan,

menurut bentuk atap terdapat dua tipologi rumah yaitu rumah biasa dan rumah

Raja . Pembagian lain adalah rumah dengan atap (Tersek) tak bertingkat (Rumah

Kurung Manik), rumah beratap satu tingkat (Sada Tersek), dan rumah dengan atap

bertingkat dua dilengkapi dengan menara (Anjung-anjung).

Secara umum Rumah Karo berbentuk empat persegi panjang dengan dua

buah teras (ture) sebagai pintu utama, yaitu pintu yang menuju hulu (Ture Julu)

dan pintu yang menuju hilir (Ture Jahe) sebagai pintu kedua. Bagian-bagian

atapnya berbentuk perpaduan trapesium dimana bagian depan atap berbentuk segi

tiga yang disebut dengan wajah rumah (ayo atau lambe-lambe), dan bagian

dinding yang juga berbentuk trapesium yang ditopang oleh dinding papan

berbentuk lunas perahu (dapur-dapur) yang terletak diatas beberapa tiang.

Rumah tradisional Karo diperuntukan bagi delapan keluarga (Jabu) yang

memiliki pertalian keluarga satu sama lain. Susunan ruang bagi setiap keluarga

diataur sesuai dengan kedudukan dan fungsi setiap keluarga. Jabu diartikan juga

sebagai satu bagian ruangan yang terdapat pada rumah Karo.

Kehidupan bersama di dalam rumah tradisional diatur oleh kepercayaan

dan adat. Aturan yang terdapat pada rumah yang satu dengan yang lain, mungkin

memiliki sedikit perbedaan namun prinsipnya tetap sama. Sanksi yang dikenakan

terhadap suatu pelanggaran ketentuan kepercayaan, bergantung kepada besar

kecilnya sifat pelanggaran. Seorang yang terlambat pulang pada malam hari dan

lupa memasang palang pintu (ngeruk pintun), sehingga terjadi pencurian, akan

Universitas Sumatera Utara


dikenakan sanksi membersihkan halaman dan kolong rumah yang merupakan

simbol dunia bawah atau neraka.

Rumah Adat Karo disebut juga Rumah Siwaluh Jabu karena pada

umumnya dihuni oleh Waluh Jabu (delapan keluarga), selain rumah si waluh jabu

ada juga rumah adat yang lebih besar yaitu Sepuludua Jabu (dua belas keluarga)

yang dulu terdapat di kampung Lingga, Sukanalu dan rumah adat yang terbesar

adalah Rumah adat Sepuluenem Jabu yang pernah ada di Kampung Juhar dan

Kabanjahe, tetapi sekarang rumah adat Sepuludua Jabu dan Sepuluenem Jabu

sudah tidak ada lagi. Setiap Jabu (keluarga) menempati posisi di Rumah Adat

sesuai dengan struktur sosialnya dalam keluarga. Letak Rumah Adat Karo selalu

disesuaikan dari arah Timur ke Barat yang disebur Desa Nggeluh, di sebelah

Timur disebut Bena Kayu (pangkal kayu) dan sebelah barat disebut Ujung Kayu.

Sistem Jabu dalam Rumah Adat mencercerminkan kesatuan organisasi, dimana

terdapat pembagian tugas yang tegas dan teratur untuk mencapai keharmonisan

bersama yang dipimpin Jabu Bena Kayu/Jabu Raja.

Gambar 2.1 Rangka Atap Rumah Adat Karo

(Sumber : karo.or.id)

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.2 Aksonometri Rumah Adat Karo

(Sumber : karo.or.id)

Bagian dalam si waluh jabu baik yang digunakan oleh rakyat biasa (Derip)

maupun oleh bangsawan tidak memiliki pembatas fisik yang memisahkan antara

ruang satu keluarga dan keluarga lainnya. Pemisah antara ruang yang berhadapan

hanya dapur yang digunakan oleh setiap dua keluarga yang berdekatan. Dengan

demikian bangunan ini sepintas hanya terdiri dari satu ruang besar yang ditempati

oleh delapan keluarga, yang masing-masing menempati daerah yang berukuran

kurang lebih 4,00 x 4,00 m, sehingga merekan dapat saling melihat. Meskipun

setiap ruang ditempati oleh satu keluarga, namun pada dasarnya semua ruang

dapat digunakan untuk berbagai fungsi secara komunal tergantung dari aktifitas

yang sedang dilakukan, seperti untuk tempat makan, temapat tidur, menerima

tamu, dan lain sebagainya. Namun pada kenyataannya terdapat pembatas

psikologis dan kultural yang sangat tegas diantara ruang tersebut yang disertai

dengan berbagai macam tabu yang berlaku diantara keluarga sesuai dengan

keyakinan dan adat.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.3 Nama-nama dari Ornamen pada Atap Rumah Adat Karo

(Sumber : karo.or.id)

Menurut Ir. Myrtha Soeroto (2003) dalam buku Dari Arsitektur

Tradisional Menuju Arsitektur Indonesia, Nama, Posisi dan Peran Jabu dalam

Rumah Adat Karo (Rumah Siwaluh Jabu):

1. JABU BENA KAYU Merupakan tempat bagi keluarga simanteki Kuta/

Bangsa Taneh (keluarga yang pertama mendirikan Kuta). Jabu Bena Kayu

juga disebut Jabu Raja, posisinya sebagai pimpinan seluruh anggota Jabu

dalam sebuah Rumah Adat, berperan sebagai pengambil keputusan dan

penanggung jawab (baik internal maupun eksternal) untuk segala

permasalahan dan pelaksanaan adat menyangkut kepentingan rumah dan seisi

penghuni rumah.

Universitas Sumatera Utara


2. JABU UJUNG KAYU Merupakan tempat bagi Anak Beru (pihak

perempuan/saudari) dari Jabu Bena Kayu. Jabu ujung Kayu berperan untuk

membantu Jabu Bena Kayu dalam menjaga keharmonisan seisi rumah dan

mewakili Jabu Bena Kayu dalam menyampaikan perkataan atau nasehat-

nasehatnya kepada setiap penghuni rumah. Dengan kata lain Jabu ujung Kayu

adalah pembantu utama dari Jabu Bena Kayu baik di dalam urusan dalam

rumah maupun di dalam lingkup adat.

3. JABU LEPAR BENA KAYU Merupakan tempat bagi pihak saudara dari

Jabu Bena Kayu. Jabu Lepar Bena Kayu disebut juga Jabu Sungkun-Sungkun

Berita (Tempat bertanya Kabar/berita). Penghuni Jabu ini masih termasuk

golongan bangsa taneh. Jabu Lepar Bena Kayu berperan untuk mengawasi

keadaan rumah dan keadaan Kuta (kampung) kemudian memberi kabar

kepada Jabu Bena Kayu. Jika ada permasalahan di dalam rumah atau di Kuta

seperti terjadi pencurian atau akan terjadi perang, maka Jabu Lepar Bena Kayu

harus menyelidikinya terlebih dahulu kemudian mengabarkannya kepada Jabu

Bena Kayu.

4. JABU LEPAR UJUNG KAYU Merupakan tempat bagi pihak Kalimbubu

(Pihak dari Klan ibu) dari Jabu Bena Kayu. Penghuni Jabu ini sangat

dihormati dan disegani karena kedudukannya sebagai Kalimbubu. Kalimbubu

dalam masyarakat karo merupakan derajat tertinggi dalam struktur adat. Jabu

Lepar Ujung Kayu disebut juga sebagai Jabu Simangan Minem (pihak yang

makan dan minum). Jika Jabu Bena Kayu mengadakan pesta adat maka Jabu

Universitas Sumatera Utara


Lepar Ujung Kayu akan menduduki posisi yang terhormat, dia tidak ikut

bekerja hanya hadir untuk makan dan minum.

5. JABU SEDAPUREN BENA KAYU Merupakan tempat bagi anak beru

menteri dari Jabu Bena Kayu. Jabu Sedapuren Bena Kayu juga disebut Jabu

Peninggel-ninggel (Pihak yang mendengarkan). Perannya adalah untuk

mendengarkan segala pembicaraan di dalam suatu Runggu (musyawarah) para

anggota Rumah Adat. Selain sebagai pihak pendengar, Jabu Sedapuren Bena

Kayu juga berperan sebagai saksi untuk berbagai kepentingan setiap anggota

Rumah Adat, baik di lingkup rumah maupun di lingkup Kuta.

6. JABU SEDAPUREN UJUNG KAYU Merupakan tempat anak atau saudara

dari dari penghuni Jabu Bena Kayu. Jabu ini disebut juga sebagai Jabu

Arinteneng (yang memberi ketenangan). Posisinya diharapkan dapat menjadi

penengah setiap permasalahan, memberikan ketenangan dan ketentraman bagi

seluruh Jabu di Rumah Adat. Jabu arinteneng sering juga ditempati oleh

Penggual atau Penarune (pemain musik tradisional, yang terkadang menghibur

seisi rumah dengan alunan musiknya yang menentramkan.

7. JABU SEDAPUREN LEPAR BENA KAYU Merupakan tempat bagi anak

atau saudara penghuni Jabu Ujung Kayu. Jabu Sedapuren Lepar Bena Kayu

juga disebut Jabu Singkapuri Belo (penyuguh sirih). Jabu Sedapuren Lepar

Bena Kayu berperan dalam membantu Jabu Bena Kayu dalam menerima dan

menjamu tamunya. Jabu Singkapuri Belo secara umum berperan sebagai

penerima tamu keluarga di dalam sebuah Rumah Adat dan bertugas

menyuguhkan sirih bagi setiap tamu keluarga yang menghuni Rumah Adat.

Universitas Sumatera Utara


8. JABU SEDAPUREN LEPAR UJUNG KAYU Merupakan kedudukan bagi

Guru (dukun/ tabib). Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu juga disebut Jabu

Bicara guru (yang mampu mengobati). Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu

berperan sebagai penasehat spiritual bagi penghuni Jabu Bena Kayu,

mengumpulkan ramuan-ramuan dari alam untuk pembuatan obat-obatan bagi

seisi rumah, menilik hari baik dan buruk, menyiapkan pagar (tolak bala) bagi

seisi rumah, selain itu dia juga berperan dalam pelaksanaan upacara terhadap

leluhur (kiniteken pemena) dan upacara-upacara yang menyangkut dengan

kepercayaan pada masyarakat karo jaman dahulu. Jadi Jabu Sedapuren Lepar

Ujung Kayu atau Jabu Bicara Guru berperan dalam hal pengobatan dan hal-hal

yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat Karo pada jaman dahulu.

2.1.4 Jenis Rumah Adat Karo

Rumah adat karo dapat dibedakan menjadi beberapa jenis dan ditinjau dari

dua hal, yaitu : a. Bentuk Atapnya

b. Binangunnya (rangka)

Si waluh jabu Berdasarkan bentuk atap, rumah adat karo dapat dibagi

menjadi dua bagian, yaitu :

A. Rumah Sianjung-anjung

Rumah sianjung-anjung adalah rumah bermuka empat atau lebih, yang

dapat juga terdiri atas satu atau dua tersek dan diberi bertanduk.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.4 Rumah Sianjung-anjung

(Sumber : karo.or.id)

Gambar 2.5 Jenis Atap Rumah Sianjung-anjung

(Sumber : sorasirulo.net)

Universitas Sumatera Utara


B. Rumah Mecu

Rumah mecu adalah rumah yang bentuknya sederhana, bermuka dua

mempunyai sepasang tanduk.

Gambar 2.6 Jenis Atap Rumah Mecu

(Sumber : sorasirulo.net)

Gambar 2.7 Jenis Atap Rumah Mecu

(Sumber : karo.or.id)

Universitas Sumatera Utara


Sementara menurut binangun, rumah adat Karo pun dapat dibagi atas dua

yaitu:

1) Rumah Sangka Manuk

Rumah sangka manuk yaitu rumah yang binangunnya dibuat dari balok

tindih-menindih.

Gambar 2.8 Rumah Sangka Manuk

(Sumber : karo.or.id)

Universitas Sumatera Utara


2) Rumah Sendi

Rumah sendi adalah rumah yang tiang rumahnya dibuat berdiri dan satu

sama lain dihubungkan dengan balok-balok sehingga bangunan menjadi sendi dan

kokoh.

Gambar 2.9 Rumah Sendi

(Sumber : karo.or.id)

Gambar 2.10 Detail Struktur Rumah Sendi

(Sumber : sorasirulo.net)

Universitas Sumatera Utara


2.1.5 Struktur Rumah Siwaluh Jabu

Rumah adat siwaluh jabu ini berbentuk rumah panggung dengan

ketinggian dua meter dari permukaan tanah. Ukuran rata-rata bangunan ini adalah

17×12 m2 dengan ketinggian kurang lebih 12 m. Bangunan ini simetris pada

kedua porosnya, sehingga pintu masuk pada kedua sisinya terlihat sama. Rumah

adat Batak Karo dibangun dengan 16 tiang yang bertumpu pada batu-batu alam

berukuran besar (pondasi). Terdapat pembagian penyaluran beban dari bangunan

terhadap pondasinya, dimana delapan dari tiang-tiang ini menyangga lantai dan

atap, sedangkan yang delapan lagi hanya menyangga lantai saja. Pada bangunan

ini masih menggunakan struktur post and lintel, dimana pada bagian atas

bangunan (semacam plafon) merupakan suatu penyusunan antar kayu yang

dimana balok hanya menumpu pada kolom. Namun sudah ditemukan kemajuan

dimana sudah digunakan sistem sendi pada bagian lantai untuk mengikat balok

lantainya.

Gambar 2.11 Struktur Rumah Siwaluh Jabu

(Sumber : karo.or.id)

Universitas Sumatera Utara


2.1.6 Konstruksi Rumah Siwaluh Jabu

Pembangunan rumah adat ini menggunakan tiga jenis kayu, yaitu kayu

ndarasi, ambertuah dan sibernaek. Pada pemasangan tiap-tiap bagiannya tidak

digunakan paku sama sekali. Hanya menggunakan pengikatan dengan tali ijuk

untuk menyatukan tiap-tiap bangunannya. Terkadang juga digunakan suatu bahan

untuk merekatkan bagian yang dibuat dengan bahan-bahan dari hutan.

Beberapa bagian pembentuk konstruksi rumah ini antara lain :

1. Pondasi atau Palas

Palas terbuat dari batu-batuan yang diambil dari gunung ataupun sungai.

Batu ini dugunakan sebagai pondasi rumah adat ini. Bebatuan ini akan dilubangi

bagian atasnya supaya beberapa bahan yang menurut masyarakat setempat dapat

mendukung kekuatan dan kekokohan bangunan ini. Bahan ini antara lain yaitu

belo cawir (sirih), besi mersik, dan ijuk. Hal ini tentu berkaitan dengan lokasinya

yang diapit kedua gunung sehingga sering sekali terjadi gempa. Konstruksinya

tentu spesifik dengan konstruksi tahan gempa.

Selanjutnya batang-batang kayu yang ujungnya telah diruncingkan,

dimasukkan ke dalam bolongan batu dan kemudian digunakan sebagai kolom

bangunan ini. Batu palas kemudian dipendam sebagian ke dalam tanah agar tidak

mudah bergeser.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.12 Sketsa Pondasi Rumah Adat Karo

(Sumber : karo.or.id)

2. Tangga

Pada bangunan ini dibutuhkan tangga untuk memasukinya karena letaknya

yang beradap pada ketingian dua meter dari muka tanah. Tangga terbuat dari

bambu berdiameter kurang lebih 15 cm. Terdapat dua buah tangga. Di bagian

muka berjumlah tiga sedangkan di bagian belakang berjumlah lima.

Gambar 2.13 Tangga Rumah Adat Karo

(Sumber : karo.or.id)

Universitas Sumatera Utara


3. Serambi (Ture – Naki-naki)

Merupakan bagian muka yang tersusun dari rangkaian bayu yang rapat

(diameter kurang lebih 10-15cm). Bagian ini merupakan tempat yang pada siang

hari digunakan untuk menganyam bagi kaum wanita, dan tempat pertemuan pada

malam hari. Penopang serambi ini adalah bayu yang memiliki diameter lebih

besar.

Gambar 2.14 Serambi (Ture-Naki-naki)

(Sumber : sorasirulo.net)

4. Dinding

Terbuat dari jenis kayu yang sama dengan kolom, yaitu kayu ndrasi yang

berbentuk papan atau lembaran. Masing-masing papan ini diikat dengan tali retret

yang terbuat dari ijuk atau rotan. Penalian ini menggunakan suatu pola anyaman

yang disebut pola cicak. Dinding ini tidak dibentuk lurus, namun memiliki

kemiringan sekitar 40° keluar. Dinding ruang bangunan yang miring ini juga

sebagai lambang pertemuan dunia tengah yang dipercaya sebagai tempat tinggal

manusia dengan langit yang dipercaya sebagai tempat para Dewa bersemayam.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.15 Dinding Rumah Adat Karo

(Sumber : sorasirulo.net)

5. Suhi Cuping (Sudut Dinding)

Terbuat dari kayu yang sudah tua, yang berupa lembar papan yang

berukuran 4x30cm. Posisinya terletak pada sudut-sudut dinding yang berfungsi

untuk menahan dan memikul dinding. Pemasangannya dengan menggunakan

sambungan pen. Cuping ini dibentuk dengan pola ukiran.

Gambar 2.16 Suhi Cuping (Sudut Dinding)

(Sumber : sorasirulo.net)

Universitas Sumatera Utara


6. Pintu

Terbuat dari kayu yang sudah tua berupa dua lembaran kayu tebal yang

masing-masing berukuran 5 x 40 cm. Tinggi pintu dibuat setinggi orang dewasa

dengan posisi kedua pintu menghadap ke arah timur dan barat. Dipasang pada

dinding bangunan yang miring, di atas balok bulat yang dipasang mengelilingi

bangunan. Balok ini sendiri berfungsi untuk menahan dinding bangunan.

7. Labah – Jendela

Jendela terbuat dari papan yang berukuran 8x30 cm. Dibuat miring 40 cm

keluar mengikuti kemiringan dinding. Terdapat 8 buah jendela. 2 di bagian depan,

2 di belakang, dan 4 di kanan kiri bangunan.

8. Atap

Penutup atap rumah adat karo ini terbuat dari ijuk yang bersusun-susun

sehingga mencapai tebal 20 cm. Rangkanya sendiri terbuat dari bambu yang di

belah sebesar 1 x 3 cm dan di ikat dengan rotan dengan jarak antar bambu 4 cm.

Fungsi utama dari bentuk ujung atap yang menonjol ini adalah untuk

memungkinkan asap keluar dari tungku dalam rumah.

Gambar 2.17 Atap pada Rumah Adat Karo

(Sumber : sorasirulo.net)

Universitas Sumatera Utara


9. Ornamen

Ornamen-ornamen mengandung arti mistik, ini berkaitan dengan

kepercayaan pada masa itu Secara umum menggambarkan jati diri, kebersatuan

keluarga dan permohonankeselamatan Mengunakan 5 warna : putih, merah,

hitam, biru, kuning yang melambangkan jumlah marga di tanah Karo Bahan

pewarnanya dibuat dari alam (dah atah taneh)selalu menggambarkan cicak di

dinding rumah mereka, baik nampak seperti cicak sebenarnya ataupun bentuk

yang menyerupainya Artinya, orang Batak dapat beradaptasi dengan

lingkungannya seperti hidup cicak.

Gambar 2.18 Ornamen pada Rumah Adat Karo

(Sumber : sorasirulo.net)

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.19 Ornamen pada Rumah Adat Karo

(Sumber : sorasirulo.net)

2.2 Transformasi Arsitektur

2.2.1 Pengertian Transformasi

Secara etimologis Transformasi adalah transformasi rupa (bentuk, sifat,

fungsi dan sebagainya). Pengertian Transformasi bila diterjemahkan dalam bahasa

Indonesia dalam kamus ( The New Grolier Webster International Dictionary Of

English Language ) adalah menjadi bentuk yang berbeda namun mempunyai nilai-

nilai yang sama, transformasi dari satu bentuk atau ungkapan menjadi suatu

bentuk yang mempunyai arti atau ungkapan yang sama mulai dari struktur

permukaan dan fungsi. Transformasi berarti transformasi menjadi suatu

transformasi dapat dianggap sebagai sebuah proses pemalihan total dari suatu

bentuk menjadi sebuah sosok baru yang dapat diartikan sebagai tahap akhir dari

sebuah proses transformasi sebagai sebuah proses yang dijalani secara bertahap

Universitas Sumatera Utara


faktor ruang dan waktu menjadi hal yang sangat mempengaruhi transformasi

tersebut (Webster Dictionary, 1970).

Adapun pengertian Transformasi menurut beberapa ahli, yakni:

• Menurut D’ Arcy Thompson, 1961. Transformasi adalah sebuah proses

fenomena transformasi bentuk dalam keadaan yang berubah-ubah, dengan

demikian transformasi dapat terjadi secara tak terbatas.

• Menurut Jorge Silvetti, 1977. Transformasi adalah tindakan transformasi

yang dilakukan terhadap elemen-elemen ataupun aturan-aturan (codes)

yang ada dengan cara penyimpangan, pengelompokan kembali, yang mana

mengacu pada keaslian dan diharapkan menghasilkan arti yang baru. Cara-

cara ini mampu untuk mempertahankan keasliannya dalam mengahasilkan

makna dan wujud yang baru.

• Menurut Anthony Antoniades, 1990. Transformasi adalah sebuah proses

transformasi secara berangsur-angsur sehingga sampai pada tahap

ultimate, transformasi dilakukan dengan cara memberi respon terhadap

pengaruh unsur eksternal dan internal yang akan mengarahkan

transformasi dari bentuk yang sudah dikenal sebelumnya melalui proses

menggandakan secara berulang-ulang atau melipat gandakan.

Sebuah karya arsitektur yang memiliki bentuk dan ciri yang spesifikasi

terhadap pencerminan jati diri perancangnya, akan lebih mudah dikenali oleh

setiap pengamat. Bentuk dan ruang arsitektur merupakan substansi dasar

pengadaan yang dapat dijadikan bahan dalam melakukan olah kreativitas terhadap

penghadiran sebuah karya arsitektur (Josef Prijotomo, 1995). Pengubahn bentuk

Universitas Sumatera Utara


dan ruang arsitektur akan memerlukan bentuk dasar. Penetapan bentuk dasar

dilakukan terlebih dahulu karena pengubahan menyangkut dua kesatuan yang

berbeda yaitu sebagai transformasi bentuk arsitektur dan pengubahan ruang

arsitektur. Transformasi bentuk atau transformasi bentuk bisa didapat melalui

berbagai variasi seperti dengan transformasi dimensi bentuk, pengurangan

beberapa bagian dari bentuk awal, dan penambahan beberapa bentuk.

Gambar 2.20 Proses transformasi

Sumber: imageshack.com

Kesimpulan akhir bahwa Transformasi Arsitektur adalah suatu

transformasi dari satu kondisi (bentuk awal) ke kondisi yang lain (bentuk akhir)

dan dapat terjadi secara terus menerus atau berulang kali yang dipengaruhi oleh

dimensi waktu yang dapat terjadi secara cepat atau lambat, tidak saja berhubungan

dengan transformasi fisik tetapi juga menyangkut transformasi sosial budaya

ekonomi politik masyarakat karena, tidak dapat lepas dari proses transformasi

baik lingkungan (fisik) maupun manusia (non-fisik). Transformasi fisik

Universitas Sumatera Utara


disebabkan oleh adanya kekuatan non-fisik yaitu transformasi budaya, sosial,

ekonomi & politik (Rossi, 1982 dalam sari, 2007).

2.2.2 Kategori dan Strategi Transformasi Arsitektur

Menurut Laseau, 1980 dalam Sembiring, 2006 kategori transformasi dapat

dibedakan menjadi empat kategori Transformasi yang memiliki sifat yang

berbeda, yakni:

• Transformasi bersifat (geometri) bentuk geometri yang berubah dengan

komponen pembentuk dan fungsi ruang yang sama.

• Transformasi bersifat hiasan (ornamental) dilakukan dengan menggeser,

memutar, mencerminkan, menjungkirbalikan, melipat, dan lain-lain.

• Transformasi bersifat (kebalikan) pembalikan citra pada figur objek

dirubah menjadi citra sebaliknya.

• Transformasi bersifat (merancukan) kebebasan perancangan dalam

beraktifitas.

Strategi Transformasi dalam mendisain sebuah karya sangat berkaitan erat

dengan munculnya ide-ide baru, setiap ide baru yang muncul pastilah

mempertimbangkan akan strategi yang digunakan. Dalam teori Anthony

Antoniades tentang transformasi, beliau menggambarkan ada tiga strategi

Transformasi Arsitektur, yakni:

• Strategi Tradisional adalah evolusi progresif dari sebuah bentuk melalui

penyesuaian langkah demi langkah terhadap batasan – batasan :

- Eksternal : site, view, orientasi, arah angin, kriteria lingkungan

- Internal : fungsi, program ruang, kriteria struktural

Universitas Sumatera Utara


- Artistik : kemampuan, kemauan dan sikap arsitek untuk

memanipulasi bentuk, berdampingan dengan sikap terhadap

dana dan kriteria pragmatis lainnya.

• Strategi Peminjaman (borrowing) adalah meminjam dasar bentuk dari

lukisan, patung,obyek benda - benda lainnya, mempelajari properti dua

dan tiga dimensinya sambil terus menerus mencari kedalaman

interpretasinya dengan memperhatikan kelayakan aplikasi dan

validitasnya. Tranformasi pinjaman ini adalah ‘pictorial transferring’

(pemindahan rupa) dan dapat pula diklasifikasi sebagai ‘pictorial

metaphora’ (metafora rupa).

• Dekonstruksi atau dekomposisi adalah sebuah proses dimana sebuah

susunan yang ada dipisahkan untuk dicari cara baru dalam kombinasinya

dan menimbulkan sebuah kesatuan baru dan tatanan baru dengan strategi

struktural dalam komposisi yang berbeda.

Transformasi dilakukan terhadap bentuk dan ruang dengan mengeksporasi

arti, nilai dan makna objek serta konsep desain dengan pertimbangan fungsi

bangunan merupakan cara interpretasi arsitektural tema kedalam obyek desain

(Mandey, 2011). Kebebasan perancangan dalam mengolah bentukan bahkan

dalam mentransformasikan, perlu mempertimbangkan hal-hal yang menjadi faktor

penting yang harus menjadi perhatian dalam merancang sekaligus yang akan

digunakan sebagai strategi dalam penerapan tema, selain strategi dari Antoniades,

Faktor ini tak lepas dari ketiga jenis strategi yang ada setiap perancang tak

Universitas Sumatera Utara


terlepas dan selalu memperhatikan bagian ini dalam mereka menghasilkan suatu

karya desain, antara lain:

• Skala (scale). Bnyak hal dalam transformasi yang berhubungan dengan

skala. Pembesaran atau pengurangan (pengecilan) dilakukan dalam

komposisi yang benar, agar ukuran yang baru dapat diterima dengan

statistik visual.

• Keterkaitan antar bagian (whole vs. parts). Perhatian yang kedua yakni

berupa penjelasan dan penyatuan antara bentuk keseluruhan dan

sebagainya. Setiap bagian, dalam hal ini ruang dan fungsinya mempunyai

peranan dan pengaruh yang penting dalam transformasi bentuk secara

keseluruhan.

• Pengaruh eksternal (forced eksternality). Transformasi juga terjadi dengan

mempertimbangkan pengaruh atau tekanan dari luar, lingkungan

senantiasa tidak bisa dipisahkan dan mempunyai kekuatan untuk

mempengaruhi transformasi.

• Semantik (semantic). Perhatian yang terakhir yang sangat esensial yang

berpengaruh pada proses transformasi adalah masalah semantik atau

bahasa visual. Transformasi didasarkan pada konotasi visual, berupa

bentuk, wujud, tipologi, gambaran, tapak, dan bayangan.

2.2.3 Proses dan Faktor yang Menyebabkan Transformasi

Menurut Alexander, 1987 dalam penelitian Pakilaran, 2006 proses

transformasi mengandung dimensi waktu dan transformasi sosial budaya

Universitas Sumatera Utara


masyarakat yang menempatinya yang muncul melalui proses panjang yang selalu

terkait dengan aktifitas-aktifitas yang terjadi pada saat itu.

Ada 4 proses transformasi yang dikemukan oleh Pakpahan, 2010 dalam

penelitiannya “Evaluasi Pasca Huni Perumnas Mandala Medan”, yaitu:

• Transformasi terjadi secara perlahan-lahan atau sedikit demi sedikit.

• Tidak dapat diduga kapan dimulainya dan sampai kapan proses tersebut

akan berakhir, tergantung dari faktor yang mempengaruhinya.

• Komprehensif dan kesinambungan.

• Transformasi yang terjadi mempunyai keterkaitan erat dengan emosional

(sistem nilai) yang ada dalam masyarakat.

Ada 7 faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya transformasi (Pakpahan, 2010)

adalah

• Kebutuhan identitas diri (identification). Pada dasarnya orang ingin

dikenal dan ingin memperkenalkan diri terhadap lingkungan

• Transformasi gaya hidup (life style). Transformasi struktur dalam

masyarakat, pengaruh kontak dgn budaya lain dan munculnya

penemuan-penemuan baru mengenai manusia dan lingkungannya.

• Penggunaan teknologi baru. Timbulnya perasaan ikut mode, dimana

bagian yang masih dapat dipakai secara teknis (belum mencapai

umur teknis dipaksa untuk diganti demi mengikuti mode) (Habraken,

1976 dalam Pakilaran, 2006).

Universitas Sumatera Utara


• Transformasi sosial. Faktor lingkungan fisik, transformasi penduduk,

isolasi dan kontak, struktur masyarakat, sikap dan nilai-nilai,

kebutuhan yang dianggap perlu dan dasar budaya masyarakat.

• Transformasi budaya. Budaya sebagai sistem nilai terlihat dalam

gaya hidup masyarakat yang mencerminkan status, peranan

kekuasaan, kekayaan, dan keterampilan.

• Transformasi ekonomi. Kekuatan yang paling dominan dalam

menentukan transformasi lingkungan fisik adalah kekuatan ekonomi.

• Transformasi politik. Peran aspek politis melalui bentuk intervensi

non fisik melalui kebijakan pengembangan kawasan (Rossi, 1982,

Sari, 2007).

2.3. Kajian Literatur Arsitektur dengan JudulKelangsungan Bentuk

Tradisional Dari Rumah Batak Di Pulau Samosir

2.3.1. Dr.-Ing. Himasari Hanan (2013), Kelangsungan Bentuk Tradisional

Dari Rumah Batak Di Pulau Samosir, Jurnal Sains.

Metodologi Penelitian

Penelitian lapangan telah dilakukan dalam empat perkampungan

tradisional (huta) yang memperlihatkan karakter yang berbeda dari rumah

tradisional dan usaha yang dilakukan dalam melestarikan warisan dan menjaga

lingkungan rumah tertata dengan baik. Semua perkampungan yang dipilih ini

dihuni oleh kelaurga kerabat dan sebagian rumah adalah dalam kondisi yang baik

untuk ditempati. Sebagian kecil perkampungan ini ditargetkan sebagai tujuan

Universitas Sumatera Utara


wisatawan tetapi sisanya adalah merupakan rumah tinggal keluarga. Huta Siallagan

diambil sebagai objek inti dan referensi dari penelitian untuk sejumlah alasan, :

a) perkampungan ini masih dihuni oleh anggota kerabat,

b) perkampungan ini secara fisik adalah dalam keadaan baik seperti bentuk aslinya,

c) pemukiman ini telah dikembangkan sebagai tujuan wisatawan yang penting,

d) perkampungan ini adalah perkampungan tradisional khusus dari Batak Toba.

Huta lainnya diteliti adalah daerah sekitar huta Sillagan dengan jarak yang

mendekati 20 km (1,2,3). Semua huta yang dipilih memenuhi kriteria yang sama

sebagai objek inti, kecuali salah satus ebagai tujuan wisatawan, sehingga

perbandingan antara konteks yang berbeda yang telah diuraikan. Rumah yang

dipilih adalah sampel dari penelitian yang representatif dari perubahan fisik yang

dilakukan dalam perkampungan dimaksud.

Survey lapangan dilakukan untuk mengidentifikasikan dan menganalisa

bentuk asli dari rumah dan perubahn fisik yang berlangsung di rumah, yang secara

signifikan mempengaruhi citra dan desain keseluruhan dari arsitektur tradisional.

Fokus analisis ini adalah untuk mengidentifikasikan kecenderungan dan pola

perluaan bangunan dan termasuk komposisi atap yang dapat mengatasi

kelangsungan citra budaya dari rumah Batak. Penelitian ini terbatas pada analisis

visual dari penampilan bangunan dan susunan unsur bangunan, yaitu sub struktur,

dinding, atap dan bahan bangunan.

Universitas Sumatera Utara


Tipologi perluasan bangunan

Gambar 2.21 Tipe 1 Huta Siallagan

Sumber: Field study, 2010

Rumah asli dikembangkan di bagian belakang dengan meniru gaya

bangunan aslinya. Komposisi yang harmonis dalam bagian muka bangunan adalah

tetap dipertahankan meskipun posisinya yang tidak tepat pada tingkat yang sama

pada bangunan baru dan lama. Bahan yang sama digunakan untuk substruktur,

lampiran bangunan dan atap. Berbagai bukaan dinding digunakan tanpa menganggu

krakter rumah yang lama. Atap baru merupakan versi yang paling sederhana dari

versi yang lama. Orientasi bangunan baru adalah tegak lurus pada bangunan lama

dan jenis struktur jembatan yang ada antara bangunan baru dan lama. Pemisahan

bangunn baru dari bangunan lama adalah ditunjukan pada warna yang berbeda dan

sistem struktur jembatan tetapi penampilan ritme ditetapkan dengan penempatan

tangga atau tumpuan batu di pintu masuk rumah.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.22 Tipe 2 Huta Siallagan

Sumber: Field study, 2010

Rumah asli dikembangkan dibagian belakang dengan membangun sistem

bangunan yang berbeda: bangunan pertukangan,tanpa merujuk pada rumah yang

lama. Bagunan baru adalah ditetapkan sebagai bagian yang menempel pada

bangunan yang asli, dengan ekspresi yang berbeda. Demikian juga, ini dinyatakan

sebagai subordinasi banguan utama. Struktur bangunan utama tidak ditonjolkan, tetapi

inklinasi atapnya tetap dipertahankan. Atap baru adalah dinyatakansebagai

perluasan bangunan utama. Massa dari bangunan baru adalah tegak lurus pada

bangunan lama, tetapi tidak ada struktur tradisional diantaranya. Struktur batu dan

kayu adalah ditempelkan satu sama lain tanpa melihat posisi dan sistemnya.

Konfigurasi ruang baru diciptakan di bagian depan dari bangunan baru dengan

menempatkan garis untuk menggantung pakaian. Dinding bata akan

menghhasilkan ruang sosial dari dua rumah yang bertetangga yang tidak umum

dalam pola spasial dari perkampungan tradisional. Ritme repetitif yang ada dari

Universitas Sumatera Utara


rumah tradisional adalah mengacupada kontrast dari unsur dan aktivitas bangunan

yang baru.

Gambar 2.23 Tipe 3 Huta Siallagan

Sumber: Field study, 2010

Rumah asli dikembangkan di bagian belakang dengan konstruksi dua

lantai. Meskipun bahan yang sama dapat diterapkan untuk ekstensi, tetapi warna

kontrast dan skala yang berbeda dari bangunan baru yang menganggu komposisi yang

harmonis dari rumah yang lama. Perluasan ini tidak berarti dipadukan ke dalam

rumah asli sebagai bagian yang lebih yang berlawanan dengan rumah yang lama.

Substruktur dan bentuk arsitektural dari bangunan utama tidak dihargai dan oleh

karena itu, bangunan baru didefinisikan sebagai sistem yang lain di rumah.

Konsekuensinya, dua bentuk arsitektural terpisah dan ekspresi yang digabungkan

tanpa mengacu kepada semuanya. Massa utama dari bangunan baru secara aksial

berhubungan dengan rumah yang lama, tetapi tidak ada kesatuan diantaranya.

Universitas Sumatera Utara


Ukuran yang lebih besar dari bangunan baru tidak menghargai rumah lama dan

bahkan menganggu karakter dan gaya pemukimannya.

Gambar 2.24 Tipe 4 Huta Siallagan

Sumber: Field study, 2010

Rumah asli diperluas di bagian belakang dengan membangun rumah batu

secara aksial segaris dengan rumah yang lama. Meskipun ruang bangunan ini

memiliki sistem yang berbeda namun dinding yang terbuka ini mengadopsi pola

rumah tradisional : pintu yang terbuka di bagian depan dan jendela yang

membuka ke arah samping. Sistem pembukaan ini adalah menyatakan kembali

seni tradisional dalam menempatkan satu bagian yang terbuka untuk setiap sisi

bangunan. Struktur atap dan gaya arsitekturalnya tidak berhubungandengan rumah

tradisional, dan sistem atap yang digunakan adalah merupakan bangunan

perkotaan modern dengan ukuran kecil. Pembukaan jendela dan pintu juga tipikal

dari gaya modern dari rumah perkotaan. Bangunan baru tidak menunjukkan

perbedaan dari tingkat rumah tradisional yang paling bawah dan paling atas, oleh

Universitas Sumatera Utara


karena itu tidak ada kesatuan diantara bangunan baru dan bangunan lama. Ini

adalah murni dua rumah yang berbeda dengan dua ekspresi yang berbeda yang

termasuk pada kepemilikan dan keluarga yang ssama.

Gambar 2.25 Tipe 5 Huta Siallagan

Sumber: Field study, 2010

Rumah asli dikembangkan di bagian belakang dengan meniru sistem

pembangunannya. Komposisi yang harmonis diciptakan dengan bahan dan

ekspresi bangunan yang sama. Garis horizontal di bagian depan bangunan adalah

tetap dipertahankan meskipun posisinya tidak tepat pada level yang sama dalam

bangunan baru dan lama. Variasi pembukaan dinding berlaku tanpa merusak

karakter rumah yang lama. Atap baru adalah versi yang paling sederhana dari

rumah yang lama. Orientasi dari bangunan baru itu adalah tegak lurus dengan

rumah lama dan jenis bagian atap tengah yang telah ditempatkan diantara bangunan

baru dan lama. Pemisahan bangunan baru dan lama adalah digaris bawahi oleh

sistem atap yang berbeda dan massa bangunan tetapi tangga kayu meniru versi

rumah yang lama.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.26 Tipe 6 Huta Siallagan

Sumber: Field study, 2010

Rumah asli dikembangkan di bagian belakang dengan rumah kayu satu

lantai yang secara aksial segaris dengan bangunan aslinya. Ruang bangunan

memiliki sistem yang bereda yang mengikuti sistem konstruksi atap. Struktur atap

dan gaya arsitekturalnya tidak berkaitan dengan rumah tradisional. Sistem atap yang

digunakan adalah tipikal untuk struktur bangunan berukuran kecil dibandingkan

dengan bangunan secara inkremental. Pembukaan jendela dan pintu adalah disusun

secara acak tanpa korespondensi pada semua dengan pola pembukaan di rumah

yang lama. Bangunan baru tidak menunjukkan perbedaan tingkat yang rendah

dan atas dari rumah tradisional, olah karena itu tidak ada kesatuan antara

bangunan baru dan bangunan lama. Penggunaan bahan yang sama untuk dinding

dan atap akan membantu menunjukkan proses pertumbuhan dari rumah.

Universitas Sumatera Utara


Analisis dan Pembahasan

Pengembangan rumah asli diidentifiksikan dan dianalisa dengan

melakukan perbandingan terhadap sistem tradisional menurut sistem bangunannya

dan gaya arsitektural. Sistem bangunan adalah dibagi ke dalam tiga bagian:

substruktur, bangunan utama dan atap, mengikutiklasifikasi sistem bangunan

dalam arsitektur tradisional : kepala, tubuh, kaki. Disini, perubahan penampilan fisik

terhadap rumah asli dapat diidentifikasikan dengan jelas dan harus dijelaskan.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 1. Perbandingan bangunan baru dengan sistem bangunan tradisional.

Sistem Tipe 1 Tipe 2 Tipe 3 Tipe 4 Tipe 5 Tipe 6

bangunan

SUBSTRUK

TUR

Sistem Sama Tidak Tidak Tidak Sama Tidak

struktur

Bahan Sama Tidak Tidak Tidak Sama Tidak

Pemanfaatan Sama Tidak Tidak Tidak Sama Tidak

BANGUNAN

UTAMA

Sistem Tiang- Dinding Tiang- Dinding Tiang- Dinding

struktur pintu penahan pintu penahan pintu penahan

Bahan Kayu Batu Kayu Batu Kayu Batu

Pemanfaatan Dapur Dapur Dapur Dapur Dapur Dapur

Ekspresi Selaras Tidak Tidak Tidak Selaras Selaras

arsitektural Selaras Selaras Selaras

ATAP

Universitas Sumatera Utara


Sistem Bergelo Tidak Tidak Tidak Bergelom Bergelom

struktur mbang
bang bang

Bahan Sama Sma Sama Sama` Sama Sama

Kemiringan Tidak Sasma Tidak Tidak Tidak Tidak

Sisi Atap Tegak Aksial Aksial Aksial Tegak Aksial

Dua tipe rumah secara konsisten akan mengadopsi struktur dan ruang

bangunan dari rumah yang asli ke rumah yang baru. Kedua jenis ini membentuk

massa bangunan dalam konfigurasi yang tegak lurus terhadap rumah yang lama,

sementara ini menetapkan pemahaman baru dari tata letak rumah yang

membedakan representatif bagian depan dan belakang yang suportif dari rumah.

komposisi rumah pada sudut yang tepat meningkatkan keunikan nobilitas dari

aslinya dan menyatakan potensinya sesuai dengan perkembangan dan tantangan

baru. Ketidaksamaan dari inklinasi atap mendasari hirarkhi komposisi dan

pemanfaatan ruang, dan lebih lanjut membantu memepertahankan nilai tradisional

dari rumah asli. Kurangnya substruktur dalam rumah tipe 6, bahkan melalui

komponen lain yang terkait dalam kesesuaian, mengilustrasikan bahwa

diskontinuitas dalam sistem bangunan tidak dapat dibantah tidak terkonstruktif

untuk kelangsungan. Tipologi perluasan rumah Batak Toba mengecualikan

berbagai respon orang terhadap tradisi lokal dan nilai tradisional.

Universitas Sumatera Utara


Proses pertumbuhan dari rumah tradisional Batak Toba adalah dilakukan di

belakang rumah yang menunjukkan kesadaran dan penghormatan manusia untuk

mempertahankan ekspresi simbolik dan keunikan tradisional. Namun demikian,

kebutuhan baru dan cara hidup baru dari orang-orang tersebut adalah

diakomodasikan dengan menciptakan mekanisme adaptasi yang berbeda dengan

sensitivitas dan kesadrannya atas nilai budaya dan juga cara perolehan sumber

keuangan mereka.

Dalam kenyataannya, alasan naluri dan fungsional dari ruang ini telah

memperkenalkan klasifikasi baru dari mekanisme zona di area perumahan. Bagian

depan rumah adalah diidedentifikasikan sebagai milik komunal yang dilestarikan

untuk kelangsungan tradisi dan bagian belakang rumah dirancang sebagai zona

privat yang merupakan otonomi dieksplorasi menurut kebutuhan dan potensi

individu. Kelangsungan, dalam pengertian ini didefinisikan dan dikomprehensifkan

sebagai ruang yang tersedia untuk penentuan dalam tradisi budaya dan kehidupan

pribadi para penghuninya.

Bentuk arsitektur baru juga akan merespon perubahan baru melalui proses

adaptasi dan transformasi sepanjang waktu. Penghuni memiliki otoritas untuk

menerima dan mengeksplorsikan perbedaan tradisi untuk memecahkan masalah

praktis atau menekankan identitas dan originalitas. Sebagai substruktur rumah

menyatakan pentingnya kelanjutan yang ditetapkan untuk komposisi rumah yang

sebagian modern dan sebagian adalah tradisional. Lebih lanjut perubahan inovatif

dapat dilaksanakan melalui bahan yang berbeda dan susunan spasial.

Universitas Sumatera Utara


Kesimpulan

Kelangsungan arsitektur tradisional adalah diatur oleh motivasi pragmatik

dan pertimbangan fungsional dari orang yang menghuni rumah. Alasan tentang

fakta, keputusan, keyakinan dan nilai terhadap perluasan atau renovasi rumah

tradisional adalah tidak dipertimbangkan didasarkan atas otoritas tradisi budaya,

tetapi dikaitkan dengan ambisi pribadi, sumber keuangan dan motivasi pragmatik.

Juga perlu untuk memfasilitasi arsitektur tradisional dari Batak Toba untuk

memiliki hubungan dialektikal dengan penghuni yang memiliki kebutuhan dan

otoritas untuk mengungkapkan dan mengekspresikan alasan mereka.

Transformasi dari substruktur ke dalam jenis struktur yang tidak terganggu

dari rumah yang diperluas adalah faktor utama dalam mempertahankan karakter

trdisional dari rumah asli. Berbagai arsitektur atap tidak mempengaruhi

keberadaan asrsitektur tradisional, sejauh menyangkut atap tambahan yang berada di

bawah kondisi rumah asli baik dalam skala maupun kemiringan. Secara

arsitektural, ruang bangunan dari rumah Batak adalah sangat akomodatif untuk

pemahaman baru dan tantangan baru. Kombinasi yang berbeda dari bahan dan

metode konstruksi dapat dikembangkan pada solusi yang berbeda terhadap

kebutuhan baru, penggunaan baru dan penghuni baru.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai