Anda di halaman 1dari 10

TANTANGAN OTONOMI DAERAH

DI ERA GLOBALISASI

Nama : Nur Aini


NIM : 048821822
Prodi : Manajemen

Universitas Terbuka
UPBJJ Jakarta
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Era globalisasi dan otonomi daerah sekarang ini daerah membutuhkan kemampuan dalam
memberdayakan potensi dan karakter lokal yang mampu bersaing baik secara nasional maupun
internasional. Otonomi daerah dapat diartikan sebagai suatu pemberian hak dan kewenangan
kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintah. Untuk mendukung penyelenggaraan
otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pembiayaan berdasarkan desentralisasi,
dan tugas pembantuan, perlu diatur perimbangan keuangan yang diatur berdasarkan Pembina
tugas dan tanggungjawab yang jelas antar tingkat pemerintah. Undang-undang nomor 32 tahun
1956 tentang perimbangan keuangan antar Negara dengan daerah-daerah yang berhak
mengurus rumah tangganya sendiri. Peran masyarakat sangat penting dalam melaksanakan
otonomi daerah yang transparansi serta mengedepankan pemerataan dan keadilan. Dengan
ditetapkannya kebijakan desentralisasi dan otonomi, pemerintah daerah mempunyai
kewenangan yang cukup besar untuk mengelola daerahnya secara akuntabel dan bertanggung
jawab (PKKOD LAN RI;2004).
Kinerja yang dikutip oleh Veithzal Rivai dan Dato‟ Dr. Ahmad Fawzi Mohd. Basri
(2005:14), adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama periode
tertentu didalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti
standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan
telah disepakati bersama. Dalam tulisan Dr.Wan (2006:1), dalam “Membangun Kinerja”,
disebutkan bahwa kinerja mencakup tiga komponen penting yaitu hasil kerja, proses kerja dan
satuan waktu kerja. Sama halnya dengan Russel (1993) menambahkan bahwa kinerja
merupakan catatan tentang outcome atau hasil akhir dari suatu aktivitas dalam satuan waktu
tertentu. Hasil kerja merupakan perbandingan antara target normative organisasi dengan
realisasi yang dicapai. Sedangkan proses kerja berkaitan dengan serangkaian aktivitas dalam
organisasi. Satuan waktu kerja berkaitan dengan kapan dilakukan pengukuran kinerja.
Pengawasan kinerja pemerintah harus mempunyai alat ukur yang jelas. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Welsh (1984;16), yaitu (1) menetapkan standar prestasi (2) mengukur
prestasi yang sekarang serta sekaligus membandingkan dengan standar yang telah ditetapkan
dan (3) mengambil tindakan untuk memperbaiki semua penyimpangan yang terjadi pada
pelaksanaan dari standar yang telah ditetapkan. Adapun Prajudi Atmosudidjo (1982:227)
bahwa pengawasan ataupun pengendalian terdiri atas tiga komponen, yaitu (1) pengukuran
penyelenggaraan (measure of the perfomence); (2) membandingkan penyelenggaraan dengan
standar; dan (3) mengadakan tindakan koreksi. Mengukur dan menilai kinerja pemerintah
daerah dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan.
Alasan paling mengemuka dalam wacana pemekaran daerah adalah sejalan dengan
semangat otonomi daerah, beberapa provinsi/kabupaten/kota dianggap memiliki wilayah
terlalu luas sehingga diperlukan upaya untuk memudahkan pelayanan administrasi dan
pemangkasan birokrasi dari ibu kota provinsi ke daerah dengan cara pemekaran, yaitu dengan
penyatuan beberapa kabupaten/kota menjadi provinsi baru, maupun penyatuan beberapa
kecamatan/kelurahan menjadi kabupaten/kota baru. Secara yuridis formal, Undang Undang
No.32 Tahun 2004 dan PP No. 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan,
dan Penggabungan Daerah, pemekaran wilayah administratif menjadi kecenderungan baru
dalam struktur pemerintahan di Indonesia. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang
Pemerintahan dan PP Nomor 78 Tahun 2007 secara administratif mensyaratkan 5 kecamatan
untuk membentuk kabupaten baru, untuk membentuk kota pemekaran minimal terdiri dari 4
kecamatan dan provinsi baru dapat dibentuk minimal terdiri dari 5 kabupaten/kota. Disamping
itu PP No.78/2007 mensyaratkan adanya batas usia minimal. Pemekaran dapat dilakukan
setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan 7 tahun untuk
kabupaten/kota, dan 10 tahun untuk provinsi (pasal 8 PP No.78 Tahun 2007).
Fenomena keinginan berpisahnya satu daerah untuk membentuk daerah otonomi sendiri
melalui mekanisme pemekaran wilayah yang sudah direncanakan secara top down maupun
melalui usulan warganya saat ini menunjukkan keinginan masyarakat wilayah tersebut untuk
memperoleh benefit yang lebih besar dari proses pembangunan disamping kendala-kendala
yang tejadi secara administrasi karena jauhnya letak geografis wilayah tersebut dari pusat
kekuasaan provinsi/kabupaten, kurangnya pelayanan publik dll. Provinsi Jawa Barat dengan
wilayah yang luas tergolong memiliki jumlah kota dan kabupaten sedikit. Provinsi Jawa Barat
yang memiliki luas wilayah ± 35.377,76 km2 dengan penduduk pada tahun 2011 berjumlah ±
45.423.259 jiwa terdiri atas 17 kabupaten dan 9 kota. Dengan keadaan seperti itu, kota dan
kabupaten yang ada di Jawa Barat . salah satu Kabupaten yanga da di Jawa Barat adalah
Kabupaten Ciamis. Ciamis merupakan salah satu kabupaten yang mempunyai wilayah yang
sangat luas dengan luas wilayah ± 2.424,71 km2 dan jumlah penduduk pada tahun 2011
berjumlah ± 1.746.795 jiwa terdiri atas 36 kecamatan dan 353 desa/kelurahan memiliki potensi
yang dapat dikembangkan untuk mendukung peningkatan penyelenggaraan pemerintahan dan
perlu untuk dimekarkan.
B. PEMBAHASAN
Pembangunan menurut Katz (dalam Tjokrowinoto 1995) adalah “pergeseran dari suatu
kondisi nasional yang satu menuju kondisi nasional yang lain, yang dipandang lebih baik dan
lebih berharga”. Disamping itu menurut Todaro (1977) pembangunan juga merupakan “proses
multi dimensional yang menyangkut perubahan-perubahan yang penting dalam suatu struktur,
sistem sosial ekonomi, sikap masyarakat dan lembaga-lembaga nasional dan akselerasi
pertumbuhan ekonomi, pengangguran kesenjangan dan pemberantasan kemiskinan absolute”.
Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa pembangunan berarti proses menuju perubahan-
perubahan yang dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat itu sendiri.
Dalam pengertian pembangunan para ahli memberikan berbagai macam definisi tentang
pembangunan, namun secara umum ada suatu kesepakatan bahwa pembangunan merupakan
proses untuk melakukan perubahan. Siagian (1994) memberikan pengertian tentang bagaimana
pembangunan sebagai “suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang
berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju
modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (Nation building)”. Adapun Ginanjar
Kartasasmita (1997: 9) memberikan pengertian yang lebih sederhana tentang pembangunan
yaitu: “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara
terencana”. Upaya untuk memahami makna dan strategi pembangunan yang tepat telah
melibatkan para ahli dari berbagai disiplin ilmu akibatnya konsep pembangunan menjadi multi
interpretable namun disamping itu pembangunan harus dipahami sebagai proses multi
dimensional dan mencakup perubahan orientasi dan sistem organisasi sosial, ekonomi, politik
dan kebudayaan. Todaro melihat pembangunan sebagai: “proses yang multi dimensional dari
struktur masyarakat, perilaku, kelembagaan, perkembangan ekonomi, pengurangan
kepincangan, dan penghapusan kemiskinan absolut dari masyarakat”. Tiga nilai yang menjadi
tujuan pembangunan adalah: (1) Live sustainance atau terpenuhinya kebutuhan dasar manusia
berupa sandang, pangan papan, kesehatan, dan perlindungan dari ancaman, (2) self esteem,
kemampuan untuk menjadi diri sendiri, (3) freedom for survitude, yaitu kemampuan untuk
memilih secara bebas. Meskipun pengertian pembangunan amat bervariasi namun menurut
Esman (Tjokrowinoto 1999: 91) secara umum pembangunan dapat diartikan sebagai “proses
perubahan dari kondisi nasional yang satu ke kondisi nasional yang di pandang lebih baik atau
kemajuan yang terus menerus menuju perbaikan ke hidupan manusia yang mapan”.
Pembangunan masyarakat desa menurut Tjokrowinoto (1999: 35) dapat dilakukan berdasarkan
3 azas, diantaranya: (1) azas pembangunan integral, (2) azas kekuatan sendiri, (3) azas
pemufakatan bersama. Azas pembangunan integral ialah pembangunan yang seimbang dari
semua segi masyarakat desa. Azas kekuatan sendiri adalah tiap-tiap usaha pertama-tama harus
berdasarkan kekuatan sendiri, azas pemufakatan bersama ialah pembangunan harus
dilaksanakan secara benar untuk menjadi kebutuhan masyarakat desa dan putusan untuk
melaksanakan proyek bukan atas prioritas atasan tetapi merupakan keputusan bersama anggota
masyarakat desa.
Otonomi daerah dapat dikatakan sebagai hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga
sendiri. Otonomi sebenarnya tidak hanya merupakan hak, melainkan juga kewajiban yang
harus dijalankan. Hal ini memang sudah dituangkan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1974 dan dipahami bahwa hak dan kewajiban seyogyanya selalu berjalan seiring dan
seimbang. Yang menjadi masalah adalah sejauh mana hak dan kewajiban itu di
implementasikan di lapangan. Otonomi yang luas sebenarnya merupakan pengejawantahan
dari makna desentralisasi secara utuh. Desentralisasi secara sederhana dapat diartikan sebagai
penyerahan wewenang yang implementasinya harus diiringi dengan penyerahan sumber-
sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan wewenang tersebut termasuk tanggung
jawabnya.
Memang, sebagian besar kegagalan pembangunan merupakan tanggung jawab birokrasi,
namun bukan semuanya. Bahkan di beberapa negara, kekurangan efisien administrasi negara
tidak dianggap sebagai “dosa besar” terhadap ketidakmampuan pemerintah di dalam
memenuhi harapan pembangunan ataupun realisasi tujuan sebagaimana telah ditetapkan di
dalam rencana pembangunan. Hal yang harus di perhatikan adalah bagaimana caranya
ketidaksempurnaan administrasi negara itu dapat dikurangi, kalau tidak bisa kehilangan sama
sekali. Ketidaksempurnaan administrasi ini tidak akan di pandang sebagai situasi yang suram,
jika seandainya kondisi kesemerawutan administrasi negara ini tidak merebak ke seluruh
pelosok negeri, baik tingkat regional maupun tingkat nasional. Kondisinya dipersuram lagi
dengan adanya keinginan dari birokrasi pemerintah untuk mempertahankan status quo dan
menerapkan pola otokratik dan otoriter. Peran pemerintah yang amat dominan dalam
pembangunan sosial dan ekonomi membuat semuanya menjadi lebih parah. Oleh karenanya
perlu ada tenaga-tenaga ahli dan professional yang masuk ke dalam struktur pemerintah, bukan
karena dalam penerimaan CPNS menjaring Pegawai Negeri yang banyak uang, tetapi harus
proporsional dan dengan profesionalitas yang tinggi, agar peranan pemerintah dalam
pembangunan akan menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Terlebih dahulu perlu dikaji gejala yang di maksud seperti yang telah di jelaskan oleh
Sachroni (1997). Disimpulkan bahwa terdapat 4 gejala yaitu pertama, globalisasi yang
dikaitkan dalam bidang sosial ekonomi, kedua keruntuhan system sosialisme dan komunismedi
negara-negara yang menganutnya, ketiga, dimulainya era perdagangan bebas dan terakhir
adalah semakin bersatunya negara dunia.
Apakah yang dimaksud dengan globalisasi di bidang sosial ekonomi di pandang sebagai
gejala pertama itu? Sebenernanya globalisasi itu tidak hanya mencakupi di bidang sosial
ekonomi saja, tetapi sudah meliputi aspek kehidupan lainnya. Hal demikian telah ditegaskan
oleh Lodge (1995) yang menyimpulkan bahwa dalam era globalisasi Masyarakat dunia menjadi
semakin interconnected dalam bidang budaya, ekonomi, politik, teknologi, dan lingkungan.
Jadi batas antara satu negara dengan negara lainnya dapat dikatakan borderless state. Untuk
skala nasional adalah memungkinkan sekali di masa depan dimana batasan-batasan antar
daerah di Indonesia pun akan menuju ke arah borderless region. Dengan demikian borderless
state and region sudah menjadi tidak lagi kelihatan di dunia ini, interconnected. Sebagai
contoh, pengaruh kuat dalam bidang sosial ekonomi di negara Indonesia ini. Hal ini jelas dapat
terlihat dengan tersedianya produksi/barang industri luar negeri yang sudah merambah di
pasaran Indonesia, baik yang ada di perkotaan besar maupun di daerah-daerah sampai ke
plosok desa, misalnya kemudahan untuk dapat membeli produksi coca cola yang memiliki
merk internasional.
Kedua, dengan hancurnya system sosialis dan komunisme yang dianut oleh negara-negara
yang menganutnya, seperti Eropa Timur, memperlihatkan adanya gejala globalisasi. Negara-
negara tersebut yang sebelumnya menganut sistem sosialisme dan komunisme sudah merubah
pola perekonomiannya menjadi sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme yang dimilikinya
mempunyai dampak langsung terhadap pola distribusi investasi dari perusahaan multinasional,
khususnya dari negara-negara barat yang sebelumnya di tujukan kepada lingkungan negara-
negara barat sendiri dan negara-negara yang berkembang. Upah buruh yang rendah,
tersedianya potensi pasar konsumen yang besar, dan bentuk negara yang besar pula, seperti
cina, telah membuat persaingan dengan negara berkembang lainnya dalam kaitannya dengan
arus modal melalui investasi asing.
Gejala berikutnya yaitu berlakunya sistem perdagangan bebas dunia yang telah disepakati
bersama oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia untuk kawasan perdagangan tertentu,
seperti kawasan ASEAN (AFTA), kawasan Asia Pasifik (APEC), kawasan Eropa (EFTA/EEC),
kawasan Amerika Utara (NAFTA), dan kawasan Amerika Latin (LAFTA). Adapun pengaturan
kegiatan dan Kerjasama internasional tersebut dilakukan oleh Organisasi Perdagangan
International (WTO) dan ini telah disepakati dalam Putaran Uruguay yang tertuang dalam
GATT (General Agreement on Tariffs and Trade). Dan gejala globalisasi terakhir yaitu
menyangkut masalah kependudukan dimana Masyarakat telah berpindah dari desa ke kota
seiring dengan perkembangan ekonomi suatu negara. Dengan demikian mengarah pada suatu
pembentukan “kota” dunia.
Mempelajari gejala globalisasi yang terjadi saat ini seperti yang telah diuraikan di atas,
maka Pemerintah Daerah Tingkat II harus dapat mengidentifikasi permasalahan regionalnya
dan sekaligus membuat keputusan-keputusan yang tepat sifatnya strategis terutama yang
menyangkut keadaan, kemampuan, dan kebutuhan daerah tersebut. Dengan demikian
diharapkan Pemerintah Daerah Tingkat II mampu memecahkan mencari jalan keluarnya dan
pada akhirnya akan mampu menghadapi persaingan liberalisasi industry dan perdagangan
bebas nanti.
Jika disimak lebih jauh ternyata permasalahan yang serius yang dihadapi oleh Pemerintah
Daerah Tingkat II dapat dilihat dari berbagai sektor, seperti dari sektor Sumber Daya Manusia
(SDM), sektor kebijakan pemerintah maupun dari sektor kelembagaan, dan lain-lainnya. Hal
yang sama dan yang lebih terperinci (specific) telah pula disimpulkan oleh suatu hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh LAN Perwakilan Jawa Barat pada tahun anggaran
1997/1998, yang menyimpulkan adanya dua masalah pokok yang dipisahkan menjadi masalah
umum dan masalah khusus. Adapun masalah umum yang dimaksud itu antara lain adalah:
masih terdapat kesenjangan sectoral antara industry dengan pertanian, masih terdapat
kesenjangan regional antara kawasan Timur Indonesia dengan Kawasan Barat Indonesia, serta
masih terdapat kesenjangan golongan antara pengusaha kecil dan koperasi dengan pengusaha
menengah dan besar. Selanjutnya dilihat dari masalah khusus terdapat 3 faktor yang
menyangkut : industry dan perdagangan, investasi, dan pembiayaan.
Masalah-masalah tersebut akan terus menjadi masalah tersendiri, terlepas dari keberhasilan
pelaksanaan otonomi daerah. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini adalah pemerintah
melakukan kation untuk merevisi undang-undang yang dipandang menimbulkan masalah baru.
Jika pemerintah dan masyarakat mempunyai tujuan yang sama dalam menyelesaikan masalah
ini, tentunya kemakmuran yang sesungguhnya akan cepat terwujud di negara kita.
Ukuran paling nyata keberhasilan otonomi daerah dalam kerangka kemajuan berkebebasan
dan berkemajuan adalah inovasi. Meski diselenggarakan secara serentak, otonomi daerah tidak
beroperasi dalam kondisi awal, beban penyelenggaraan dan kemampuan memproduksi hasil
yang sama bagi pemerintahan daerahnya. Beberapa daerah, misalnya, dianugerahi kombinasi
alamiah menguntungkan. Namun, beberapa daerah selain berada dalam tingkat kesiapan yang
rendah, mereka harus dihadapkan pada tingkat ketersediaan modalitas yang juga minim
sementara tantangan dan permasalahan yang dihadapi demikian rumit.
Inovasi adalah syarat yang diperlukan pemerintah yang berorientasi kepada hasil dan
kinerja (goal oriented). Menilai kemajuan otonomi dalam ukuran inovasi berarti menilai
seberapa jauh kebebasan yang dimiliki daerah mampu mendorong munculnya program,
kebijakan serta gagasan lokal yang cerdas, khas dan genuine dalam mensiasati setiap bentuk
keterbatasan atau mengoptimalkan setiap bentuk keunggulan daerah yang dimiliki. Dengan
hadirnya otonomi daerah banyak kabupaten/kota di Jawa Timur mampu menonjol diri sampai
ke kancah nasional. Kota Surabaya dikenal dengan inovasinya dibidang digital dan menjadi
cyber city. Banyuwangi hadir dengan banyaknya inovasi disektor pelayanan publik. Kota Batu
muncul karena keberhasilan city brandingnya melalui Kota Wisata Batu. Jember menjadi
populer di dunia internasional karena Jember Fashion Carnival13. Dalam konteks ini, inovasi
menemukan arti penting. Inovasi bukan saja nama lain dari kearifan dan kejeniusan lokal yang
terlembaga. Dalam setiap inovasi, terpendam senantiasa kreativitas. Jika terobosan
mencerminkan kemajuan, kreativitas mencerminkan kebebasan. Inovasi tidak sekedar inisiatif,
inovasi adalah sebuah terobosan. Jika inisiatif menggambarkan suatu prakarsa awal yang jeli,
terobosan menggambarkan paduan kreativitas dan kecerdasan untuk keluar dari kebuntuan.
Entah itu kebuntuankarena keterbatasan sarana atau kebuntuan karena kecenderungan
mengupayakan segala sesuatu secara biasa-biasa saja. Pada gilirannya, betapa pun bagus
sebuah inovasi, ia tidak akan berguna jika tidak bermakna strategis, berpotensi produktif serta
memberi efek sinambung. pemerintahan, didasarkan atas beberapa pertimbangan, antara lain
pentingnya keterbukaan, pemberdayaan, membawa konsekuensi logis bagi birokrasi untuk
mereformasi diri menjadi organisasi birokrasi yang mampu memberikan pelayanan publik
secara efektif dan efisien kepada masyarakat, salah satunya jika strukturnya lebih
terdesentralisasi dari pada tersentralisasi. Struktur yang desentralistis diharapkan akan lebih
mudah mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga
dengan cepat birokrasi dapat menyediakan pelayanannya sesuai yang diharapkan masyarakat.
Peningkatan kualitas SDM (baik itu birokrat maupun warganya) mutlak dilakukan untuk
menjawab tantangan otonomi daerah saat ini. Inovasi adalah syarat yang diperlukan pemerintah
yang berorientasi kepada hasil dan kinerja (goal oriented). Menilai kemajuan otonomi dalam
ukuran inovasi berarti menilai seberapa jauh kebebasan yang dimiliki daerah mampu
mendorong munculnya program, kebijakan serta gagasan lokal yang cerdas, khas dan genuine
dalam mensiasati setiap bentuk keterbatasan atau mengoptimalkan setiap bentuk keunggulan
daerah yang dimiliki.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Otonomi daerah adalah suatu keadaan yang memungkinkan daerah dapat
mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal. Dimana untuk
mewujudkan keadaan tersebut,berlaku proposisi bahwa pada dasarnya segala persoalan
sepatutnya diserahkan kepada daerah untuk mengidentifikasikan,merumuskan,dan
memecahkannya, kecuali untuk persoalanpersoalan yang memang tidak mungkin diselesaikan
oleh daerah itu sendiri dalam perspektif keutuhan negara- bangsa. Adapun dampak negatif dari
otonomi daerah adalah munculnya kesempatan bagi oknum-oknum di tingkat daerah untuk
melakukan berbagai pelanggaran, munculnya pertentangan antara pemerintah daerah dengan
pusat, serta timbulnya kesenjangan antara daerah yang pendapatannya tinggi dangan daerah
yang masih berkembang.Bisa dilihat bahwa masih banyak permasalahan yang mengiringi
berjalannya otonomi daerah di Indonesia. Permasalahan-permasalahan itu tentu harus dicari
solusi dan penyelesaiannya agar tujuan awal ataupun cita-cita luhur dari otonomi daerah dapat
tercapaida terwujud dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, A. H. (2016). Otonomi Daerah: Masalah dan Penyelesaiannya di
Indonesia. Jurnal Akuntansi (Media Riset Akuntansi & Keuangan), 4(2), 206-215.
Devid Permana (18 oktober 2023). Sentralisasi dan Desentralisasi, Tantangan Otonomi
Daerah dalam NKRI. universitas
Afandi, M. N. (2013). Peluang Dan Tantangan pembangunan Daerah Otonom Baru Di
Indonesia (Studi Kasus Kabupaten Pangandaran Provinsi Jawa Barat). Jurnal Ilmu
Administrasi: Media Pengembangan Ilmu dan Praktek Administrasi, 10(2), 275-296.
Mochtar, S. (2020). Peranan dan Tantangan Potensi Daerah Tingkat II Dalam Era
Globalisasi. Jurnal Wacana Kinerja: Kajian Praktis-Akademis Kinerja dan Administrasi
Pelayanan Publik, 3(1), 1-11.
Susila, I. (2017). Otonomi Daerah: Kajian Kesiapan Dunia USAha Dan Birokrasi. Jurnal
Ekonomi Pembangunan: Kajian Masalah Ekonomi dan Pembangunan, 4(1), 10-17.
Basri, F. H. (2005). Tantangan dan Peluang Otonomi Daerah. Universitas.
Rikza, M. F. (2022). Otonomi Daerah dan Reformasi Birokrasi. Public Service and
Governance Journal, 3(01), 81-86.
Azhari, A. K., & Negoro, A. H. S. (2019). Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Malang: Intrans Publishing, 2019.

Anda mungkin juga menyukai