Anda di halaman 1dari 44

MATERI HAM BERDASARKAN UUD 1945

Hak asasi adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan
dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masya-rakat. Dianggap bahwa
beberapa hak itu dimilikinya tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama, atau kelamin,
dan karena itu bersifat asasi serta universal. Dasar dari semua hak asasi ialah bahwa manusia
harus memperoleh kesempatan untuk berkembeng sesuai dengan bakat dan cita-citanya.
Setelah dunia mengalami perang yang melibatkan hampir seluruh dunia dan dimana hak-hak
asasi diinjak-injak, timbul keinginan untuk merumuskan hak-hak asasi manusia itu dalam
suatu naskah internasional. Usaha ini pada tahun 1948 berhasil dengan diterimanya Universal
Declaration of Human Rights (Pernyataan Sedunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia) oleh
negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di Indonesia, seperti juga
di negaranegara yang lain, juga telah mencantumkan beberapa hak asasi di dalam undang-
undang dasarnya baik dalam Undang-Undang Dasar 1945, Konstitusi RIS, maupun Undang-
Undang dasar Sementara 1950. Hak-hak asasi yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar
195 (sebelum amandemen)tidak termuat dalam suatu piagam yang terpisah tetapi tersebar
dalam beberapa pasal, terutama Pasal 27 sampai Pasal 34.
Hak-hak asasi dimuat terbatas jumlahnyadan dirumuskan secara singkat, hal ini tidak
mengherankan, mengingat bahwa naskah ini disusun pada akhir masa pendudukan bala
tentara Jepang dan dalam suasana yang mendesak. Hal tersebut mengakibatkan tidak cukup
waktu untuk membicarakan hak asasi secara mendalam sekali, sedangkan kehadiran tentara
Jepang di Indonesia tidak menciptakan iklim yang menguntungkan untuk merumuskan hak-
hak asasi secara lengkap. Selain daripada itu, diantara tokoh-tokoh masyarakat juga berbeda
pendapat mengenai peranan hak-hak asasi di dalam negara demokratis. Para tokoh tersebut
diantaranya adalah Ir. Sukarno, dan Drs. Moh. Hatta yang masing-masing mempunyai
argumen masingmasing bagi perlu tidaknya pengaturan hak-hak asasi dalam undang-undang
dasar. Oleh karena itu, dapat dimengerti mengapa hak-hak asasi tidak lengkap dimuat dalam
Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen), karena Undang-Undang Dasar 1945
tersebut dibuat beberapa tahun sebelum pernyataan hak-hak asasi dideklarasikan oleh PBB
pada tanggal 10 Desember 1948.4 Perkembangan sejarah ketatanegaraan menghendaki,
bahwa dengan tumbangnya rezim pemerintahan Orde Baru yang cenderung otoriter telah
mengakibatkan perubahan hampir seluruh tatanan bernegara. Perubahan yang sangat penting
diantaranya adalah terhadap materi muatan atau substansi Undang-Undang Dasar 1945, baik
materi yang dihapus, direvisi, maupun ditambah materi yang betul-betul baru. Materi muatan
Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen yang merupakan materi baru, diantaranya
adalah tentang Pemilihan Umum, Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Daerah,
Pertahanan dan Keamanan, serta Hak Asasi Manusia.
Hukum dasar tertulis sebagai dasar bagi penyelenggaraan kenegaraan di Indonesia adalah
Undang-Undang Dasar 1945 yang mencakup Pembukaan dan Batang Tubuh. Mengenai hal
ini, Mukthi Fadjar berpendapat sebagai berikut: Undang-Undang Dasar 1945 adalah hukum
dasar tertulis yang berlaku di Indonesia yang meliputi atau mencakup Pembukaan dan Batang
Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Apabila dikaji kedua komponen tersebut dengan
pendekatan filosofis (ontologis), historis-sosiologis, sistematis dan yuridis-fungsional,
menunjukkan adanya komitmen kemanusiaan yang tinggi dari bangs Indonesia meskipun
belum diidealisasi dan disistematisasi secara lengkap dalam daftar hak-hak asasi manusia
seper-ti halnya piagam HAM sedunia beserta konvenannya. Hal ini bisa dimengerti karena
Undang-Undang Dasar 1945 kehadirannya lebih dahulu daripada deklarasi hak asasi
manusia.5 Pengaturan hak asasi manusia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dapat
dilihat dari ketentuan dalam Pembukaan dan pasal-pasal dalam Batang Tubuh setelah
amandemen.
Mencermati hal di atas, pemikiran HAM sejak awal pergerakan kemerdekaan hingga saat ini
mendapat pengakuan dalam bentuk hukum tertulis yang dituangkan dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang berpuncak pada konstitusi sebagai peraturan perundangundangan
tertinggi di Indonesia. Hal ini ternyata dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang telah
melewati kurun waktu berlakunya tiga konstitusi, yakni UUD 1945, Konstitusi RIS 1949 dan
UUDS 1950, yang kesemuanya memuat ketentuan-ketentuan HAM di bidang sipil, politik,
ekonomi, sosial dan budaya. Meskipun UUD 1945 memuat ketentuanketentuan tentang HAM
yang mencakup bidang bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya, namun pengaturan
itu dianggap belum rinci. Oleh karena itu, kemudian timbul pertanyaan dalam bentuk hukum
apakah rincian HAM itu harus ditetapkan. Ismail Suny, sebagaimana dikutip oleh Bagir
Manan, berpendapat bahwa terdapat tiga kemungkinan bentuk hukum yang dapat
menampung rincian HAM itu, yaitu Pertama, menjadikannya bagian integral dari UUD 1945,
yaitu dengan cara melakukan amandemenamandemen pada UUD 1945, sebagai yang
ditempuh dengan Piagam Hak-Hak Warganegara (The Bill of Rights), yang merupakan
amandemen I-X pada Konstitusi Amerika Serikat. Cara semacam ini akan menjamin tetap
terpeliharanya UUD 1945 sebagai naskah historis dimana dalam the body of the constitution
tidak diadakan perubahan-perubahan, tetapi hanya tambahan-tambahan. Prosedurnya menurut
hukum konstitusi diatur pada Pasal 37. Kedua, menetapkan dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Keberatannya, suatu Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
pada umumnya tidak mengatur ancaman hukuman bagi pelanggarnyadalam precise detail,
tetapi hanya garis-garis besar haluan negara, sekedar “a declaration of general principles”,
tanpa akibat hukum sama sekali. Ketiga, mengundangkannya dalam suatu undang-undang
berikut sanksi hukuman terhadap pelanggar-nya.6 Dari ketiga bentuk hukum di atas,
tampaknya ketiga-tiganya dipergunakan olehpemerintah Indonesia dalam menguraikan
rincian HAM. UUD 1945 yang pada awalnya hanya memuat 6 pasal yang mengatur tentang
HAM, kemudian mengalami perubahan-perubahan yang sangat signifikan yang kemudian
dituangkan dalam Perubahan Kedua UUD 1945 pada Bulan Agustus Tahun 2000.
Sebenarnya, sebelum Perubahan Kedua dilakukan, telah terdapat beberapa peraturan
perundang-undangan yang dapat dikatakan sebagai pembuka terjadinya perubahan.
Ketentuan itu antara lain Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi
Manusia, Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 Tentang GBHN, serta UndangUndang
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Melalui Ketetapan MPR Nomor
IV/MPR/ 1999 Tentang GBHN, MPR telah menetapkan politik hukum yang harus
dilaksanakan oleh pihak eksekutif yang mencakup substansi hukum, struktur hukum dan
budaya hukum. Kesemuanya tercantum dalam visi, misi dan arah kebijakan. Berkaitan
dengan substansi hukum, Ketetapan MPR tersebut menggariskan bahwa penataan sistem
hukum nasional dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan menghormati hukum
agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan yang dinilai diskriminatif.
Selain itu, pemerintah didorong untuk segera melakukan retifikasi konvensi internasional
terutama di bidang HAM dalam bentuk Undang-undang. Dengan kata lain, Ketetapan ini
telah menegaskan bahwa jenis peraturan perundang-undangan untuk retifikasi adalah
Undang-undang, dan tidak boleh dalam jenis lain, misalnya Keputusan Presiden. Kewajiban
yang harus dilaksanakan oleh pemerintah berkaitan denganbidang struktur hukum adalah
penegakan hukum untuk menjamin HAM serta penyelesaian proses peradilan terhadap
pelanggaran HAM yang belum ditangani secara tuntas. Sedangkan dalam kaitan dengan
budaya hukum, pemerintah wajib berperan aktif untuk meningkatkan pemahaman dan
penyadaran HAM dalam seluruh aspek kehidupan. Pada pembahasan Rancangan UUD yang
dilakukan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 Soekarno sebagai Ketua Panitia
Perancang UUD telah menyatakan kehendak bahwa dikemudian hari akan dibuat suatu UUD
baru, karena UUD yang dibuat adalah UUD sementara atau yang ia namakan sebagai UUD
kilat. Dari hal itu, tampak kearifan dari pembentuk UUD 1945 yang menyadari bahwa UUD
tersebut tidak lengkap sehingga membuka peluang untuk diadakan perubahan atau
penyempurnaan yang kemudian diatur dalam Pasal 37. Salah satu ketidakberhasilan
UndangUndang Dasar 1945 sebagai dasar pelaksana prinsip-prinsip demokrasi dan negara
berdasarkan atas hukum antara lain disebabkan adanya kekosongan materi muatan, misalnya
tentang HAM. Wacana tentang perlunya HAM dimasukkan ke dalam UUD berkembang
ketika kesadaran akan pentingnya jaminan perlindungan HAM semakin meningkat menyusul
tumbangnya rejim otoriter. Pandangan kritis terhadap UUD 1945, yang dahulu ditabukan,
sejak masa reformasi membenarkan pendapat bahwa UUD tersebut tidak secara eksplisit
mengatur masalah HAM. Bahkan beberapa pakar secara tegas menyetakan bahwa Undang-
Undang Dasar 1945tidak mengenal HAM karena dirumuskan sebelum adanya Deklarasi
Universal HAM. Hasil amandemen UUD 1945 memberikan suatu titik terang bahwa
Indonesia semakin memperhatikan dan menjunjung nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM)
yang selama ini kurang memperoleh perhatian dari Pemerintah. Amandemen kedua bahkan
telah menelurkan satu Bab khusus mengenai Hak Asasi Manusia yaitu Bab XA. Apabila
ditelaah menggunakan perbandingan konstitusi dengan negara-negara lain, hal ini merupakan
prestasi tersendiri bagi perjuangan HAM di Indonesia, sebab tidak banyak negara di dunia
yang memasukkan bagian khusus dan tersendiri mengenai HAM dalam konstitusinya.
Rujukan yang melatarbelakangi perumusan Bab XA (Hak Asasi Manusia) UUD 1945 adalah
Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998. Ketetapan MPR tersebut kemudian melahirkan
UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Semangat keduanya,
baik itu Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998, maupun Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 adalah sama yakni menganut pendirian bahwa hak asasi manusia bukan tanpa batas.
Dikatakan pula bahwa semangat yang sama juga terdapat dalam pengaturan tentang hak asasi
dalam UUD 1945, yaitu bahwa hak asasi manusia bukanlah sebebas-bebasnya melainkan
dimungkinkan untuk dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan dengan undang-undang.
Semangat inilah yang melahirkan Pasal 28 J UUD 1945. Pembatasan sebagaimana tertuang
dalam Pasal 28 J itu mencakup sejak Pasal 28 A sampai dengan Pasal 28 I UUD 1945. Oleh
karenanya, hal yang perlu ditekankan di sini bahwa hak-hak asasi manusia yang diatur dalam
UUD 1945 tidak ada yang bersifa mutlak, termasuk hak asasi yang diatur dalam Pasal 28 I
ayat (1) UUD 1945. Jika ditarik dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, bahwa
seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat
dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi manusia
dapat dibatasi juga diperkuat oleh penempatan Pasal 28 J sebagai pasal penutup dari seluruh
ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut.
Secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur
dalam Pasal 28 A sampai dengan Pasal 28 I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur
dalam Pasal 28 J UUD 1945. Sistematika pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam
UUD 1945 ini sejalan pula dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of
Human Rights yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai
pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang menegaskan : In the exercise of his rights and
freedoms, everyone shallbe subject only to such limitations as are determined by law solely
for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others
and of meeting the just requirements of morality, public order, and the general welfare in a
democratic society. Apabila dilihat dari sejarah perkembangan konstitualisme Indonesia,
sebagaimana tercermin dalam konstitusi-konstitusi yang pernah berlaku, yakni UUD 1945
sebelum amandemen, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, dan UUD 1945 sesudah
amandemen, tampak adanya kecenderungan untuk tidak memutlakkan hak asasi manusia,
dalam arti bahwa dalam hal-hal tertentu, atas perintah konstitusi, hak asasi manusia dapat
dibatasi oleh suatu undangundang. Adapun penjelasannya adalah :
1. UUD 1945 sebelum Perubahan bahkan tidak memuat secara eksplisit dan lengkap
pengaturan tentang hak asasi manusia, termasuk tentang hak untuk hidup, meskipun
dalam Alinea ke-4 memuat apa yang kemudian disebut sebagai Pancasila yang salah
satunya adalah sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”.
2. Pasal 32 ayat (1) Konstitusi RIS 1949 memuat ketentuan tentang pembatasan
“Hakhak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia” sebagai berikut : “Peraturan-
peraturan undang-undang tentang melakukan hak-hak kebebasan-kebebasanyang
diterangkan dalam bagian ini, jika perlu, akan menetapkan batas-batas hak-hak dan
kebebasan itu, akan tetapi hanyalah semata-mata untuk menjamin pengakuan dan
penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak=hak serta kebebasan-kebebasan
orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman,
kesusilaan, dan kesejahteraan umum dalam suatu persekutuan yang demokrasi”.
3. Pasal 33 UUDS 1950 juga membatasi HAM (Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan
Dasar Manusia) sebagai berikut : “Melakukan hakhak dan kebebasan-kebebasan yang
diterangkan dalam bagian ini hanya dapat dibatasi dengan peraturan-peraturan
undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak
boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk
memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan, dan kesejahteraan
dalam suatu masyarakat yang demokratis”
4. UUD 1945 pasca Perubahan, melalui Pasal 28 J nampaknya melanjutkan paham
konstitusi (konstitusionalisme) yang dianut oleh konstitusi Indonesia sebelumnya,
yakni melakukan pembatasan tentang hak asasi manusia sebagaimana telah diuraikan
di atas.
Sejalan dengan pandangan konstitusionalisme Indonesia tentang HAM sebagaimana telah
diuraikan di atas, ketika kemudian dikeluarkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998
Tentang Hak Asasi Manusia, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU HAM, kedua
produk hukum ini tampak sebagai kelanjutan sekaligus penegasan bahwa pandangan
konstitusionalisme Indonesia tidaklah berubah karena ternyata keduanya juga memuat
pembatasan terhadap hak asasi manusia. Sebagai contoh yaitu adanya pembatasan mengenai
hak untuk hidup (right to life):
1. Tap MPR Nomor XVII/MPR/1998 memuat “Pandangan dan Sikap Bangsa Terhadap
Hak Asasi Manusia” yang bersumber dari ajaran, nilai moral universal, dan nilai luhur
budaya bangsa, serta berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam Pasal 1
Piagam Hak Asasi Manusia dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup yang berbunyi,
“Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya”,
namun dalam Pasal 36-nya juga dimuat pembatasan terhadap hak asasi manusia
termasuk hak untuk hidup sebagai berikut, “Di dalam menjalankan hak dan
kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang di
tetapkan oleh Undang-undang dangan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”
2. UU HAM dalam Pasal 9 ayat (1) dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup dan
dalam Pasal 4 ditentukan bahwa hak untuk hidup termasuk hak asasi manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Namun, Penjelasan
Pasal 9 UU HAM menyatakan bahwa hak untuk hidup dapat dibatasi dalam dua hal,
yaitu dalam hal aborsi untuk kepentingan hidup ibunya dan dalam hal pidana mati
berdasarkan putusan pengadilan. Selain itu, Pasal 73 UU HAM juga memuat
ketentuan mengenai pembatasan terhadap hak asasi manusia sebagai berikut, “Hak
dan kebebasan yang diatur dalam undangundang ini hanya dapat dibatasi oleh dan
berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan
penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain,
kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”.
Dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945, terdapat sejumlah hak yang secara harfiah dirumuskan
sebagai “hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”, termasuk di dalamnya hak
untuk hidup dan hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut. Dalam
konteks ini, dapat ditafsirkan bahwa Pasal 28 I ayat (1) haruslah dibaca bersama-sama dengan
Pasal 28 J ayat (2), sehingga hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut
tidaklah bersifat mutlak. Oleh karena hak-hak yang diatur dalam Pasal 28 J ayat (1) UUD
1945 yaitu yang termasuk dalam rumusan “ hak yang tidak dapat dikurangidalam keadaan
apapun” dapat dibatasi, maka secara prima facie berbagai ketentuan hak asasi manusia diluar
dari pasal tersebut, seperti misalnya kebebasan beragama (Pasal 28 E), hak untuk
berkomunikasi (Pasal 28 F), ataupun hak atas harta benda (Pasal 28 G)sudah pasti dapat pula
dibatasi, dengan catatan sepanjang hal tersebut sesuai dengan pembatasan-pembatasan yang
telah ditetapkan oleh undang-undang. Ketentuan HAM dalam UUD 1945 yang menjadi basic
law adalah norma tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara. Karena letaknya dalam
konstitusi, maka ketentuan-ketentuan mengenai HAM harus dihormati dan dijamin
pelaksanaannya oleh negara. Karena itulah Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa
perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara
terutama pemerintah. Walaupun telah ada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
HAM yang didasari oleh TAP MPR No. XVII Tahun 1998, namun dimasukkannya HAM ke
dalam konstitusi diharapkan akan semakin memperkuat komitmen untuk pemajuan dan
perlindungan HAMdi Indonesia, karena akan menjadikannya sebagai hak yang dilindungi
secara konstitusional. Pesan ini kemudian ditangkap oleh Panitia Ad Hoc (PAH) I dan
direkomendasikan kepada Sidang Tahunan MPR Tahun 2000 agar dimasukkan ke dalam
Amandemen ke-2 UUD 1945. Pasal-Pasal tentang HAM dimasukkan ke dalam Bab X A dari
Pasal 28 A sampai dengan Pasal 28 J. Walaupun pencantuman pasal-pasal tersebut dinilai
positif dari berbagai segi, namun dalam beberapa hal perlu dikritisi karena dianggap
mengandung kelemahan baik dari segi perumusan, struktur, dan sistematikanya. Misalnya,
pengelompokkan hak-hak tidak beraturan yang pada gilirannya menunjukkan bahwa para
perumus kurang memahami jenis dan pengelompokkan HAM yang lazim dalam instrumen
hukum HAM internasional. Dari segi substansinya tampak kental dengan nuansa politis
sehingga dapat mengurangi makna dari HAM itu sendiri. Beberapa ahli hukum bahkan
berpendapat bahwa Pasal 28 I Perubahan Kedua ini merupakan constitutional constraint
(hambatan konstitusional) bagi penegakkan HAM di Indonesia. Hal ini ditandai dengan tidak
diakuinya asas hukum berlaku surut bagi pelanggaran berat terhadap HAM yang digolongkan
ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.8 Namun, di pihak lain terdapat pendapat bahwa
Pasal 28I tersebut dapat diterobos melalui Pasal 28J. Ketentuan dalam Pasal 28 J tidak dapat
digunakan karena pada dasarnya pembentuk pasal ini menderogasi (mengingkari) ketentuan
yang dibuatnya sendiri. Pengaturan hak asasi manusia di Indonesia berdasarkan Undang-
Undang Dasar 1945, yang menegaskan bahwa untuk menegakkan dan melindungi hak asasi
manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi
manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, adalah dengan
menetapkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (meskipun
dibentuk sebelum amandemen terhadap Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945). Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang diundangkan pada tanggal
23 September 1999 dipandang sebagai salah satu peraturan pelaksana dari Ketetapan MPR
Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia, hal ini terlihat dalam salah satu dasar
hukumnya yang mencantumkan ketetapan tersebut. Pada saat Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 ini sedang didiskusikan terdapat beberapa pendapat yang terbagi dalam dua
ketegori besar, yakni pendapat yang menyatakan bahwa pada dasarnya ketentuan mengenai
HAM tersebar dalam berbagai undang-undang, dan oleh karena itu tidak perlu dibuat satu
undang-undng khusus tentang HAM. Pendapat lain menyatakan bahwa pembentukan
undangundang materi khusus tentang HAM perlu dilakukan mengingat Ketetapan MPR tidak
berlaku operasional dan berbagai undangundang yang ada belum seluruhnya menampung
materi HAM. Selain itu, undang-undang tersebut akan berfungsi sebagai undang-undang
payung (umbrella act) terhadap peraturan perundang-undangan di bidang HAM yang sudah
ada selama ini.
Dari Pembahasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Pengaturan tentang hak asasi
manusia sebelum amandemen UUD 1945 diatur sebagai hak dan kewajiban warga negara
Republik Indonesia yang di dalamnya terkandung nilai-nilai hak asasi manusia dan diatur
dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34. c. Pengaturan hak asasi manusia setelah amandemen
Undang-Undang Dasar 1945 mengalami perubahan, yaitu diatur dalam Pasal 28 A sampai
dengan Pasal 28 J.
MATERI HAM BERDASARKAN UU. NO. 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI
MANUSIA

Pada dasarnya undang-undang dasar harus memiliki tiga pokok materi muatan, yakni
pertama adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia; kedua, ditetapkannya
susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental; dan ketiga, adanya
pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.
Dengan mengatakan Indonesia sebagai negara hukum telah tersirat makna Indonesia
mengakui hak asasi manusia dengan dasar negara bertanggung jawab menegakkan
supremasi hukum. M. Solly Lubis, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas
Sumatra Utara mengatakan.”menurut ajaran umum, salah satu daripada syarat atau
negara hukum ialah adanya jaminan atas HAM. Jaminan ini harus terbaca atau tertafsir
dari konstitusi yang berlaku, apakah ia konstitusi tertulis maupun konstitusi tidak
tertulis, setidak-tidaknya termaklumi dari praktik-praktik hukum yang berlaku sehari-
hari. Sebagai hak, maka hak-hak asasi ini tak lepas dari soal kebebasan dan kewajiban,
baik dipihak pemegang kekuasaan maupun ¾ pihak pendukung hak asasi itu sendiri”.
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah tercantum tujuan negara
Indonesia. Dengan dasar ini keyakinan adanya hak-hak asasi pada hakikatnya adalah
bentuk simpati dan empati manusia atas dirinya dan orang lain. Maka seiring
perkembangan waktu pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan
kejahatan yang paling berbahaya yang mengganggu eksistensi dan peradapan manusia itu
sendiri.Jika kita merujuk kembali kepada sejarah terbentuknya negara Republik
Indonesia ini maka masalah HAM telah mendapat perhatian dan menjadi bahan perdebatan
yang serius dalam setiap kesempatan. Dalam perjalanan sejarahnya, Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara
(UUDS) 1950 banyak mengatur mengenai HAM dan lebih lengkap dibandingkan
UUD 1945 bahkan dapat dikatakan kedua UU tersebut ( Konstitusi RIS dan UUDS 1950)
banyak mendasarkan ketentuan yang ada pada deklarasi hak asasi manusia di
dunia.Kurangnya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan HAM pada UUD 1945
membuat banyak pihak berusaha melengkapinya, diantaranya dengan menyusun suatu
piagam HAM. Namun demikian sejarah menunjukkan bahwa karena berbagai
masalah piagam tersebut tidak dapat dilaksanakan pada masa Orde Baru. Tidak
demikian halnya sekarang hak asasi manusia telah mulai diakui dan diterapkan
diIndonesia, ini disebabkan adanya perubahan situasi dan perkembangan masyarakat
yang dipengaruhi oleh globalisasi sehingga mau tidak mau pemerintah Indonesia juga
harus ikut serta dalam penyelenggaraan HAM tersebut. Hak ini bukan dihadiahkan dari
negara atau kelompok masyarakat, melainkan hak-hak fundamental yang melekat dalam
jiwa dan diri manusia, karena ia (manusia) itu bermartabat. Maka dalam perkembangan
sejarah manusia prinsip-prinsip keadilan bagi pembentukkan hukum dan juga praktek hukum
mendapat pernyataan dalam beberapa dokumen resmi-dokumen yang terkenal
lazimnya dengan nama dokumen hak asasi manusia-yang menjustifikasikan prinsip-
prinsip etis dan prinsip nilai moral dari eksistensi manusia yang dituntut untuk
dihargai dan dihormati. Terbukti hak-hak dasar manusia telah dirumuskan dengan
sistematika perumusan yang utuh, yang termaktub secara eksposif pada beberapa
deklarasi International HAM yang berlaku universal.Ketika negara tidak mengakui hak-
hak yang dimiliki sebagai manusia itu menunjukkan bahwa dalam negara itu martabat
manusia belum diakui sepenuhnya. Inilah rekomendasi dari salah satu tesis dasar dan
pengakuan hak asasi manusia dan kebebasannya sebagai wujud eksistensi
kemartabatan manusia, sekaligus memverifikasikan pengakuan masyarakat global
tentang arti demokrasi dan HAM, bahwa semakin demokratis suatu negara, semakin
terjamin juga pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia itu.

Alasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia Ini Dibuat
Jika merunut kembali kepada historis pembentukan negara Republik Indonesia pada
tahun 1945, masalah HAM telah mendapatkan perhatian dan menjadi bahan perdebatan.
Hanya saja ketika zaman Soeharto ini, dengan negara totaliternya sudah mencerminkan
tidak akan terwujudnya perhatian terhadap masalah hak asasi manusia yang mana hak
asasi manusia ini lebih mengedepankan eksistensi manusia dalam hidup dan
berkehidupan. Dengan langgam totaliternya sangat tidak mungkin pemerintah dapat
mengedepankan masalah HAM itu sendiri. Dengan kata lain pemerintah tidak ingin
monopoli kekuasaannya terbagi oleh pelayanan dan penghormatan terhadap HAM itu
sendiri. Ketika HAM ditegakkan maka monopoli dan otoriternya penguasa pada waktu
itu bisa dikatakan akan pudar. HAM yang menempatkan harkat dan martabat
manusia sebagai hak dan kodrat manusia diciptakan akan menghalangi kebijakan-
kebijakan pemerintah dalam mewujudkan paradigma pembangunannya.Penafsiran Pasal 28
Undang-Undang Dasar 1945 oleh pemerintah Soeharto pada masa itu hanyasebatas
tanggung jawab negara untuk menyediakan sarana dan prasarana dalam mewujudkan
hidup bernegara, dan ini sangat jelas dengan hanya menyediakan beberapa undang-
undang mengenai perkawinan, pembangunan sekolah-sekolah, pembangunan sarana
pekerjaan bagiwarga negara berupa pembangunan pabrik-pabrik dan lainnya. Akan
tetapi perlakuan yang tidak manusiawi dan tidak humanis sering terjadi dalam
mendapatkan wilayah untuk penyediaan lahan untuk sarana dan prasarana itu. Di sinilah
sebenarnya titik tolak salahasumsi pemerintah mengenai hak hidup manusia
sesungguhnya.jadi dapat dikatakan tidak lahirnya undang-undang yang bersifat khusus
dalam menangani masalah HAM ini selain yang diatur dalam Pasal 28 UUD 1945
dikarenakan penafsiran yang berbeda terhadap setiappasal yang menyangkut hak asasi
manusia dan yang lebih penting adalah bahwa dengan tidak memperhatikan masalah
HAM sedetil mungkin akan lebih memuluskan jalannya segala kebijakan pemerintah
dalam mencapai monopoli kekuasaan yang sesungguhnya.Tujuan dari semua itu tidak
lain adalah pemusatan kekuasaan oleh eksekutif, sehingga wacana HAM tidak
merupakan wacana yang mendesak dan bisa dikatakan merupakan hal yang
dilupakan. Dari definisi totaliter itu sendiri dapat dikatakan bahwa penguasa berhak
”menghancurkan” orang-orang yang tidak ikut aturan dari mereka. Menghancurkan
ini bisa diartikan bahwa hak hidup seseorang itu berada ditangan penguasa, sepanjang
masyarakat ataupun warga negaranya patuh maka penguasa itu akan memberikan
kemudahan dan fasilitas bagi mereka dalam menjalani hidup.Setelah era Orde Baru
jatuh melalui reformasi pada bulan Mei tahun1998 semua produk hukum era ORBA
yang berwatak konservatif segera diubah. Sesuai dalil bahwa sebagai produk politik maka
hukum-hukum akan berubah sejalan denganperubahan politik. Masuknya materi
jaminan HAM pada masa Reformasi merupakan kerangka membangun solidaritas
perjuangan menegakkan HAM di Indonesia yang selama ini tidak pernah tersentuh
oleh hukum. Hukum-hukum yang diubah sebagian besar dari produk politik
mengenai hubungan kekuasaan yang perubahannya dari watak sentralistik dan otoriter
menjadi partisipasif dan demokratis. Hukum mengenai kekuasaan kehakiman yang
terlalu banyak memberi peluang besar terhadap campur tangan eksekutif pada masa
ORBA maka padamasa reformasi diganti dengan politik hukumnya menyatuatapkan
kekuasaan kehakiman dibawah Mahkamah Agung. Perubahan-perubahan hukum yang
dilakukan oleh pemerintah era reformasi yaitu kearah hukum yang memuat dan
memancarkan nilai-nilai pancasila.Gerakanreformasi yang berhasil menjatuhkan kejayaan
rezim Soeharto sebenarnya merupakan implementasi ketidakpuasan masyarakat dalam
penegakan hukum dan pelaksanaan pemerintahan seperti Korupsi, Kolusi, Nepotisme
(KKN) dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Erareformasi membuat agenda
perubahan seperti perubahan undang-undang di bidang politik, pencabutan
dwifungsi militer, otonomi seluas-luasnya dan lain-lain yang dari sudut
formalnya sudah terealisasikan.Masuknya materi jaminan HAM sebagai standar sebuah
konstitusi adalah bukti konkret tersebut. Oleh karena HAM adalah hak-hak yang
diakui secara konstitusional, maka pelanggaran atas HAM merupakan pelanggaran atas
konstitusi. Isu-isu HAM telah mengemuka ketika mulai jatuhnya kekuasaan rezim
Soeharto. Kediktatoran presiden Soeharto membawanya kejurang kehancuran dan
kenistaan. Pemerintahannya diturunkan secara paksa oleh rakyatnya sendiri dengan cara
melakukan demo-demo yang dimotori oleh para mahasiswa diseluruh penjuru bangsa,
seluruh wilayah Indonesia. Mereka menginginkan presiden Soeharto mundur karena
tidak sanggup mengatasi krisis moneter serta konflik kemanusian yang merajalela.Selain
permasalahan ekonomi dan moneter perubahan yang mendasar dari rezim Orde Baru
ke era Reformasi ada permasalahan lain yang dikondisikan dan dibentuk oleh
keadaan-keadaan historis yang terbangun pada masa Orde Baru. Keadaan yang
dikondisikan dan dibentuk secara historik itu membuat rezim Soeharto runtuh.
Kenyataan menunjukkan semenjak isu-isu HAM mengemuka dalam agenda
internasional telah membuat perubahan-perubahan politik diberbagai negara yang
selama ini dikenal karena pola-pola pelanggaran HAM berat tidak terkecuali dengan
Indonesia Perubahan politik hukum di Indonesia dari masa ORBA ke era Reformasi
telah menuju demokrasi. Hanya saja tetap saja ada permasalahan yang ditinggalkan
rezim Soeharto yang pada saat ini yaitu era Reformasi tidak semuanya dapat
dituntaskan. Hal ini disebabkan oleh adanya pro dan kontra terhadap penyelesaian
masalah itu karena banyak menyeret pejabat,petinggi dan elit politik.Dapat dikatakan
bahwa latar belakang lahirnya undang-undang mengenai HAM di Indonesia Era
Reformasi adalah sebagai Berikut :
1. Krisis ekonomi dan moneter.
2. Globalisasi di segala bidang kehidupan.
3. Isu-isu hak asasi manusia yang diagendakan secara internasional.
4. Merosotnya ekonomi dan sosial.
5. Munculnya paham-paham baru demokrasi oleh para aktivis sosial yang memiliki
massa.
6. Tuntutan penegakan hukum dan keadilan oleh masyarakat.
7. Pergolakan politik praktis di masyarakat.
Dalam era reformasi, pembangunan HAM di Indonesia memperoleh landasan hukum
yang signifikan semenjak diberlakukannya Keputusan Presiden (Keppres) Republik
Indonesia Nomor 129 tahun 1998 Tentang ”Rencana Aksi Nasional Hak-hak Asasi
Manusia Indonesia 1998-2003”, atau yang lebih dikenal dengan istilah RAN HAM,
yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 15 Agustus 1998.3Kemudian Keppres Nomor 129
Tahun 1998 ini diikuti dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden ( Inpres) Nomor 26
Tahun 1998 tentang penghapusan kata Pribumi dan non pribumi dalam semua
perumusan dan penyelenggaraan kebijakan pemerintahan. Eksistensi kedua peraturan-
Kepres dan Inpres tersebut kemudian diikuti dengan pemberlakuaan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang pengesahan”Convention againstTorture and
Other Cruel, Inhuman, Or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang
Penyiksaan dan Peerlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak
Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia)”.4Dari uraian diatas dapat dikatakan
dasar terbentuk dan diberlakukannya UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM tidak
lain karena adanya desakan semua lapisan masyarakat dan desakan Dunia
Internasional untuk menegakkan dan menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang
terjadi di Indonesia tujuannya untuk mencegah tindakan yang sewenang-wenang
pemerintah dalam menjalalnkan pemerintahan serta menjamin terlaksananya penegakan
HAM yang sesungguhnya di Indonesia.Jadi jelaslah bahwa hak asasi manusia sebagai
pembahasan yang penting pada era reformasi, hal ini disebabkan agar tidak
terjadi lagi tragedi kemanusian yang terjadi pada masa Orde Baru. Selain itu
adanya tekanan dari dunia internasional yang mengharuskan setiap anggota
organisasi internasional melakukan ratifikasi terhadap konvensi-konvensi internasional
mengenai HAM. Selain itu HAM menjadi penting karena memang hak asasi
manusia itu sebenarnya memang melekat pada tiap individu yang merupakan karunia
Tuhan Yang Maha Esa. Seyokyanya hak asasi setiap warga negara diakui dan dilindungi
oleh negaranya.Segala pertimbangan yang dilakukan oleh pemerintah era Reformasi
untuk memikirkan politik hukum mengenai HAM tak lain adalah sudah saatnya keberadaan
suara-suara rakyat didengar dan diakomodir menuju keadilan dan kesejahteraan
masyarakat. Maka dari itu dapat dikatakan alasan mengapa HAM menjadi agenda
utama dalam penentuan kebijakan pemerintah adalah sebagai berikut:
1. Adanya perubahan yang mendasar didalam konfigurasi politik hukum di Indonesia.
2. Tekanan Internasional untuk meratifikasi konvensi-konvensi internasional
mengenai HAMterhadap anggotanya.
3. Tekanan masyarakat yang menginginkan demokrasi di segala bidang kehidupan.
4. Perubahan pola kepemimpinan.
5. Pengaruh arus globalisasi.

Materi Yang Diatur Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia Ini
Sampai saat ini banyak agenda reformasi yang salah satu politik hukum
pemerintah adalah mengenai HAM. Politik hukum HAM di sini diartikan sebagai
kebijakan hukum (legal policy) tentang HAM yang mencakup kebijakan negara
tentang bagaimana hukum tentang HAM itu telah dibuat dan bagaimana pula
seharusnya hukum tentang HAM itu dibuat.Masalah pelanggaran HAM di Indonesia bukan
hanya terjadi dalam kasus-kasus politik saja melainkan juga terjadi dalam
penegakan hukum lain contohnya dalam penanganan masalah kriminal serta mengenai
pemberitaan di media massa oleh wartawan. Mengenai hak berorganisasi pun
demikian.Dengan permasalahan-permasalahan diatas maka pada era reformasi politik
hukum mengenai HAM menjadi pembahasan yang penting dan sangat mendesak.
Pelanggaran HAM pada dasarnya lebih banyak disebabkan oleh sistem politik yang
tidak demokratis yang dibangun dengan menggunakan alasan-alasan UUD 1945,
maka untuk jangka panjang politik hukum HAM harus memberi landasan
konstitusional bagikeharusan munculnya sistem politik yang demokratis melalui
perubahan atau amandemen atas UUD 1945.Dapat dikatakan reformasi yang terjadi salah
satunya adalah menyuarakan aspirasi yang sangat kuat mengenai penyelesaian dan
mengadili pelanggaran HAM dan KKN yang terjadi di era Orde Baru. Dengan kata lain era
Reformasi ini telah terjadi perubahan arus penegakan HAM dari yang penuh pelanggaran
dan sangat refresif oleh aparat penegak hukum menjadi lebih berpihak kepada
perlindungan HAM. Ini dapat dilihat dengan banyaknya konvensi-konvensi
Internasional yang diratifikasi oleh pemerintah mengenai HAM.Adapun hal-hal yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 berdasarkan sistematika
maka dapat dikategorikan kepada :
1. .Bab sebanyak 11 (sebelas) dengan jumlahPasal sebanyak 106(seratus enam).
2. Bab I mengenai ketentuan umum, berupa definisi atau terminologi kata yang
berkaitan erat dengan hak asasi manusia, Pasal 1.
3. Bab II mengenai asas-asas dasar, berupa landasasan hukum dan asal
usul hak asasi sehingga adanya pengakuan hak asasi tersebut, mulai pasal 2-8.
4. Bab III mengenai pembagian atau jenis-jenis hak yang diakui oleh konstitusi atau
undang-undang, mulai pasal 9-66
5. Bab IV mengenai kewajiban manusia, mulai pasal 67-70
6. Bab V mengenai kewajiban dan tanggung jawab pemerintah, mulai pasal 71-72
7. Bab VI mengenai pembatasan berlakunya hak asasi dan larangan, mulai pasal 73-
74
8. Bab VII mengenai Komisi Nasional HAM, mulai pasal 75-99.
9. Bab VIII mengenai partisipasi masyarakat dalam melindungi HAM, mulai pasal100-
103
10. Bab IX mengenai Pengadilan HAM, pada pasal 104.
11. Bab X mengenai ketentuan yang berlaku pada pasal 105.
12. Bab XI mengenai ketentuan penutup pada pasal 106.Jadi dapat dikatakan bahwa
banyaknya jenis atau macam-macam hak yang diatur didalam undang-undang ini
diharapkan mampu memberikan jaminan yang sepenuhnya atas penegakan HAM di
Indonesia.
Pasal 9 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM))
yang merupakan salah satu bagian dari hak untuk hidup. Hak untuk hidup yang diatur
dalam UU HAM terdiri dari: hak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan
taraf kehidupannya; hak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan
batin; dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak untuk hidup juga dijamin
dalam instrumen internasional antara lain DUHAM dan ICCPR. Pasal 3 DUHAM
menyatakan : ‘setiap orang mempunyai hak atas kehidupan,...’ dan Pasal 6 ayat (1) ICCPR
menyatakan : ‘setiap manusia memiliki melekat hak untuk hidup. Hak ini harus dilindungi
oleh hukum. Tidak seorang pun manusia yang secara gegabah boleh dirampas hak
kehidupannya.’. Selain itu, UUD RI Tahun 1945 juga menjamin hak untuk hidup yang
tertuang dalam Pasal 28 UUD RI Tahun 1945.Selain itu yang sangat signifikan perubahan
hak asasi manusia mengenai kebebasan berpolitik. UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia Pasal 23 Ayat 1 dan 2, berbunyi:
1. Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.
2. Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan
pendapat sesuai hati nuraninya,secara lisan dan atau tulisan melalui media
cetak maupun elektonik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan,
ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.
Masalah Yang Timbul Akibat Adanya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Ini
HAM hendaknya dipahami bukan hanya hak sipil dan politik saja namun juga meliputi
isu-isu ekonomi, sosial dan kebudayaan. Terhadap hal-hal tersebut negara sebagai
pengemban amanah konstitusi punya kewajiban untuk memenuhi dan melindungi
HAM rakyatnya. secara jelas dan tegas untuk melaksanakan amanat Undang-undang
Dasar 1945, Majelis Permusyarwaratan Rakyat melalui Ketetapan MPR Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, telah menugaskan kepada Lembaga-
lembaga Tinggi Negara dan seluruh aparatur Pemerintah, untuk menghormati,
menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia
kepada seluruh masyarakat. Telah terbentuk juga Undang-undang No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang diikuti dengan pengukuhan melalui Undang-
undang No. 39 Tahun 1999 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.Dari payung hukum
yang tercantum tadi dalam rangka perlindungan HAM perlu digarisbawahi bahwa
pemerintahberperan sangat penting. Dalam kenyataannya, ganti rugi, kompensasi, restitusi,
dan rehabilitasi, dalam pasal-pasal UU yang penulis sebutkan sebagian besar
merupakan perintah UU, termasuk perintah dari UU 13/2006. Meskipun ada juga
disebutkan adanya tanggung jawab pihak ketiga atau pelaku. Akan tetapi, untuk
mendorong implementasi tanggung jawab pihak ketiga sebagai pelaku, pemerintah harus
berperan melalui kebijakan yang mengikat. Tentunya dengan pemberian sanksi jika tidak
dijalankan pihak ketiga atau pelaku. Namun, peran pemerintah dibatasi secara ketat
oleh UU dan konstitusi. Karena pada asasnya, HAM sipil politik merupakan hak-hak
negatif (negative right). Artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan
dapat terpenuhi apabila peran negara terbatasi atau terlihat minus. Hal ini penting
diutarakan mengingat masih banyak pelanggaran HAM dilakukan pemerintah
terhadap warga negaranya. Sedangkan untuk HAM Ekonomi, Sosial, Budaya,
merupakan hak-hak positif (positive rights)yang justru menuntut negara berperan
maksimal dalam pemenuhannya.Masalah yang timbul dari asumsi atau pemahaman
yang salah terhadap HAM di Indonesia pada saat ini adalah telah terjadinya
berbagai tindakan anarkis masyarakat dalam memperjuangkan sesuatu, menyampaikan
pendapat serta hal lain seperti penanganan masalah penyakit masyarakat. Para aparat
pemerintah semakin berhati-hati bahkan takut mengambil tindakan preventif maupun
tindakan refresif apabila telah menyangkut hak asasi manusia. Artinya HAM yang telah
salah arti olehsebagian masyarakat bukan member nilai positif bagi keamanan dan
kesejahteraan masyarakat melainkan menjadi batu sandungan dalam penegakan hukum itu
sendiri.Banyaknya muncul kasus-kasus HAM kepermukaan termasuk masalah yang
timbul akibat lahirnya undang-undang ini.rakyat mulai berani dan bersuara dalam
menentang beberapa kebijakan pemerintah.
Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan Ketentuan-ketentuan HAM telah menjadi
ketentuan-ketentuan konstitusi di dalam UUD 1945 (perubahan kedua yang
mengadopsi pasal-pasal tentang pemajuan, perlindungan, penghormatan dan pemenuhan
hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah. Oleh
karenanya setiap ada pelanggaran HAM, maka negaralah dalam hal ini pemerintah, yanbg
harus bertanggungjawab karena mereka mempunyai kewajiban atau state
responsibility yang mengandung konsekuensi bahwa ketentuan-ketentuan tersebut
harus dilaksanakan secara konsisten dan harmonis dalam segala bentuk kebijakan,
peraturan dan administrasi penyelenggaraan pemerintahan Negara RI dari tingkat
Pusat, Daerah, Kabupaten/Kota sampai ke Kelurahan/Desa. Selanjutnya langkah kongrit
negara dalam melindungi HAM ialah dengan memberikan fasilitas pengaduan kepada
siapa saja untuk bisa mengadu apabila ia melihat adanya pelanggaran
HAM.UUNomor 39 Tahun 1999 karena lahir pada masa Reformasi dan adanya
pengaruh Internasional dan isu-isu HAM yang pada saat itu sedang memuncak
membuat pembentuk undang-undang sangat berhati-hati dan teliti dalam
mencantumkan jenis atau macam-macam hak asasi yang wajib dilindungi.Ada nilai
positif dan ada nilai negatif apabila lahir sebuah produk peratiran perundang-undangan,
hal ini disebabkan adanya benturan-benturan kepentingan dan paham didalam sebuah
masyarakat.
MATERI HAM BERDASARKAN UU NO.11 TAHUN 2005 TENTANG Pengesahan
International Covenant On Economic, Social, And Cultural Rights (kovenan
Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, Dan Budaya)

Menimbang bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada
diri manusia, bersifat universal dan langgeng, dan oleh karena itu, harus dilindungi,
dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;
bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional, menghormati,
menghargai, dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
serta Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia; bahwa Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa, dalam sidangnya tanggal 16 Desember 1966 telah mengesahkan
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights(Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya); bahwa instrumen internasional sebagaimana
dimaksud pada huruf c pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sesuai dengan sifat Negara Republik
Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan
yang menjamin persamaan kedudukan semua warga negara di dalam hukum, dan keinginan
bangsa Indonesia untuk secara terus menerus memajukan dan melindungi hak asasi manusia
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang
tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
(Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
Mengingat Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal
28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28G, Pasal 28I, dan Pasal 28J
Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3882);
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3886);
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4012);
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4026);

Sejarah Perkembangan Lahirnya Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial


dan Budaya Sipil dan Politik.
Pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum (MU) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
memproklamasikan Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia, untuk selanjutnya disingkat DUHAM), yang memuat pokok-pokok hak asasi
manusia dan kebebasan dasar, dan yang dimaksudkan sebagai acuan umum hasil pencapaian
untuk semua rakyat dan bangsa bagi terjaminnya pengakuan dan penghormatan hak-hak dan
kebebasan dasar secara universal dan efektif, baik di kalangan rakyat negara-negara anggota
PBB sendiri maupun di kalangan rakyat di wilayah-wilayah yang berada di bawah yurisdiksi
mereka. Masyarakat internasional menyadari perlunya penjabaran hak-hak dan kebebasan
dasar yang dinyatakan oleh DUHAM ke dalam instrument internasional yang bersifat
mengikat secara hukum. Sehubungan dengan hal itu, pada tahun 1948, Majelis Umum PBB
meminta Komisi Hak Asasi Manusia (KHAM) PBB yang sebelumnya telah mempersiapkan
rancangan DUHAM untuk menyusun rancangan Kovenan tentang HAM beserta rancangan
tindakan pelaksanaannya. Komisi tersebut mulai bekerja pada tahun 1949. Pada tahun 1950,
MU PBB mengesahkan sebuah resolusi yang menyatakan bahwa pengenyaman kebebasan
sipil dan politik serta kebebasan dasar di satu pihak dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya
di lain pihak bersifat saling terkait dan saling tergantung.
Setelah melalui perdebatan panjang, dalam sidangnya tahun 1951, MU PBB meminta kepada
Komisi HAM PBB untuk merancang dua Kovenan tentang hak asasi manusia: (1) Kovenan
mengenai hak sipil dan politik; dan (2) Kovenan mengenai hak ekonomi, sosial dan budaya.
MU PBB juga menyatakan secara khusus bahwa kedua Kovenan tersebut harus memuat
sebanyak mungkin ketentuan yang sama, dan harus memuat pasal yang akan menetapkan
bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Komisi HAM PBB
berhasil menyelesaikan dua rancangan Kovenan sesuai dengan keputusan MU PBB pada
1951, masing-masing pada tahun 1953 dan 1954. Setelah membahas kedua rancangan
Kovenan tersebut, pada tahun 1954 MU PBB memutuskan untuk memublikasikannya seluas
mungkin agar pemerintah negara-negara dapat mempelajarinya secara mendalam dan
khalayak dapat menyatakan pandangannya secara bebas. Untuk tujuan tersebut, MU PBB
menyarankan agarPada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum (MU) Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) memproklamasikan Universal Declaration of Human Rights
(Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, untuk selanjutnya disingkat DUHAM), yang
memuat pokok-pokok hak asasi manusia dan kebebasan dasar, dan yang dimaksudkan
sebagai acuan umum hasil pencapaian untuk semua rakyat dan bangsa bagi terjaminnya
pengakuan dan penghormatan hak-hak dan kebebasan dasar secara universal dan efektif, baik
di kalangan rakyat negara-negara anggota PBB sendiri maupun di kalangan rakyat di
wilayah-wilayah yang berada di bawah yurisdiksi mereka. Masyarakat internasional
menyadari perlunya penjabaran hak-hak dan kebebasan dasar yang dinyatakan oleh DUHAM
ke dalam instrument internasional yang bersifat mengikat secara hukum. Sehubungan dengan
hal itu, pada tahun 1948, Majelis Umum PBB meminta Komisi Hak Asasi Manusia (KHAM)
PBB yang sebelumnya telah mempersiapkan rancangan DUHAM untuk menyusun rancangan
Kovenan tentang HAM beserta rancangan tindakan pelaksanaannya. Komisi tersebut mulai
bekerja pada tahun 1949. Pada tahun 1950, MU PBB mengesahkan sebuah resolusi yang
menyatakan bahwa pengenyaman kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dasar di satu
pihak dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya di lain pihak bersifat saling terkait dan saling
tergantung.
Setelah melalui perdebatan panjang, dalam sidangnya tahun 1951, MU PBB meminta kepada
Komisi HAM PBB untuk merancang dua Kovenan tentang hak asasi manusia: (1) Kovenan
mengenai hak sipil dan politik; dan (2) Kovenan mengenai hak ekonomi, sosial dan budaya.
MU PBB juga menyatakan secara khusus bahwa kedua Kovenan tersebut harus memuat
sebanyak mungkin ketentuan yang sama, dan harus memuat pasal yang akan menetapkan
bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri.
Komisi HAM PBB berhasil menyelesaikan dua rancangan Kovenan sesuai dengan keputusan
MU PBB pada 1951, masing-masing pada tahun 1953 dan 1954. Setelah membahas kedua
rancangan Kovenan tersebut, pada tahun 1954 MU PBB memutuskan untuk
memublikasikannya seluas mungkin agar pemerintah negara-negara dapat mempelajarinya
secara mendalam dan khalayak dapat menyatakan pandangannya secara bebas. Untuk tujuan
tersebut, MU PBB menyarankan agar Komite III PBB membahas rancangan naskah Kovenan
itu pasal demi pasal mulai tahun 1955.
Meskipun pembahasannya telah dimulai sesuai dengan jadwal, naskah kedua Kovenan itu
baru dapat diselesaikan pada tahun 1966. Akhirnya, pada tanggal 16 Desember 1966, dengan
resolusi 2200A (XXI), MU PBB mengesahkan Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik
bersama-sama dengan Protokol Opsional pada Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik
dan Kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Kovenan Internasional tentang
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mulai berlaku pada tanggal 3 Januari 1976.

Pertimbangan Indonesia untuk menjadi Pihak pada International Covenant onEconomic,


Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya)
Indonesia adalah negara hukum dan sejak kelahirannya pada tahun 1945 menjunjung tinggi
HAM. Sikap Indonesia tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa meskipun dibuat sebelum
diproklamasikannya DUHAM, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sudah memuat beberapa ketentuan tentang penghormatan HAM yang sangat penting.
Hak-hak tersebut antara lain hak semua bangsa atas kemerdekaan (alinea pertama
Pembukaan); hak atas kewarganegaraan (Pasal 26); persamaan kedudukan semua warga
negara Indonesia di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat (1)); hak warga Negara
Indonesia atas pekerjaan (Pasal 27 ayat (2); hak setiap warga Negara Indonesia atas
kehidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat (2); hak berserikat dan berkumpul
bagi setiap warga negara (Pasal 28); kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (Pasal 29 ayat
(2); dan hak setiap warga negara Indonesia atas pendidikan (Pasal 31 ayat (1) ).
Sikap Indonesiadalam memajukan dan melindungi HAM terus berlanjut
meskipunIndonesiamengalami perubahan susunan negara dari Negara kesatuan menjadi
negara federal (27 Desember 1949 sampai dengan 15 Agustus 1950). Konstitusi yang berlaku
pada waktu itu, yaitu Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS), memuat
sebagian besar pokok-pokok HAM yang tercantum dalam DUHAM dan kewajiban
Pemerintah untuk melindunginya (Pasal 7 sampai dengan Pasal 33). Indonesia yang kembali
ke susunan negara kesatuan sejak 15 Agustus 1950 terus melanjutkan komitmen
konstitusionalnya untuk menjunjung tinggi HAM. Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia (UUDS RI Tahun 1950) yang berlaku sejak 15 Agustus 1950 sampai
dengan 5 Juli 1959, sebagaimana Konstitusi RIS, juga memuat sebagian besar pokok-pokok
HAM yang tercantum dalam DUHAM dan kewajiban Pemerintah untuk melindunginya
(Pasal 7 sampai dengan Pasal 33), dan bahkan sebagian sama bunyinya kata demi kata
dengan ketentuan yang bersangkutan yang tercantum dalam Konstitusi RIS. Di samping
komitmen nasional, pada masa berlakunya UUDS RI Tahun 1950, Indonesia juga
menegaskan komitmen internasionalnya dalam pemajuan dan perlindungan HAM,
sebagaimana yang ditunjukkan dengan keputusan Pemerintah untuk tetap memberlakukan
beberapa konvensi perburuhan yang dihasilkan oleh International Labour Organization
(Organisasi Perburuhan Internasional) yang dibuat sebelum Perang Dunia II dan dinyatakan
berlaku untuk Hindia Belanda oleh Pemerintah Belanda, menjadi pihak pada beberapa
konvensi lain yang dibuat oleh Organisasi Perburuhan Internasional setelah Perang Dunia II,
dan mengesahkan sebuah konvensi HAM yang dibuat oleh PBB, yakni Convention on the
Political Rights of Women 1952 (Konvensi tentang Hak-hak Politik Perempuan 1952),
melalui Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958. Dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia,
upaya penegakan dan perlindungan HAM telah mengalami pasang surut. Pada suatu masa
upaya tersebut berhasil diperjuangkan, tetapi pada masa lain dikalahkan oleh kepentingan
kekuasaan. Akhirnya, disadari bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak
mengindahkan penghormatan, penegakan dan perlindungan HAM akan selalu menimbulkan
ketidakadilan bagi masyarakat luas dan tidak memberikan landasan yang sehat bagi
pembangunan ekonomi, politik, sosial dan budaya untuk jangka panjang.
Gerakan reformasi yang mencapai puncaknya pada tahun 1998 telah membangkitkan
semangat bangsa Indonesia untuk melakukan koreksi terhadap sistem dan praktik-praktik
masa lalu, terutama untuk menegakkan kembali pemajuan dan perlindungan HAM.
Selanjutnya Indonesia mencanangkan Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM melalui
Keputusan Presiden Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi
Manusia 1998-2003 yang kemudian dilanjutkan dengan RAN HAM kedua melalui
Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi
Manusia 2004-2009 dan ratifikasi atau pengesahan Convention Against Torture and Other
Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 1984 (Konvensi Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau
Merendahkan Martabat Manusia, 1984) pada 28 September 1998 (Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1998; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 164; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3783). Selain itu melalui Undang- Undang
Nomor 29 Tahun 1999, Indonesia juga telah meratifikasi International Convention on the
Elimination of All Forms of RacialDiscrimination(Konvensi Internasional tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial).
Pada tanggal 13 November 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengambil
keputusan yang sangat penting artinya bagi pemajuan, penghormatan dan penegakan HAM,
yaitu dengan mengesahkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang lampirannya memuat "Pandangan
dan Sikap Bangsa Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia" (Lampiran angka I) dan "Piagam
Hak Asasi Manusia" (Lampiran angka II). Konsideran Ketetapan MPR Nomor
XVII/MPR/1998 tersebut menyatakan, antara lain, "bahwa Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 telahmengamanatkan pengakuan, penghormatan, dan kehendak bagi pelaksanaan
hak asasi manusia dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara" (huruf b) dan"bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia patut
menghormati hak asasimanusia yang termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa serta instrumen internasional lainnya mengenai hak
asasi manusia" (huruf c). Selanjutnya, Ketetapan MPR tersebut menyatakan bahwa Bangsa
Indonesiasebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mempunyai tanggung jawab untuk
menghormati Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration ofHuman
Rights) dan berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia"
(Lampiran IB angka 2). Sebagaimana diketahui bahwa DUHAM 1948, Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Protokol Opsional pada Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya adalah instrumen-instrumen internasional utama mengenai HAM dan yang
lazim disebut sebagai "International Bill of Human Rights"(Prasasti Internasional tentang
Hak Asasi Manusia), yang merupakan instrumen-instrumen internasional inti mengenai
HAM. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesiatelah mengesahkan perubahan
Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan pertama disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI
Tahun 1999; perubahan kedua disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2000;
perubahan ketiga disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001; dan perubahan
keempat disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002. Perubahan kedua Undang-
Undang Dasar 1945 menyempurnakan komitmen Indonesia terhadap upaya pemajuan dan
perlindungan HAM dengan mengintegrasikan ketentuan-ke1entuan penting dari
instrumeninstrumen internasional mengenai HAM, sebagaimana tercantum dalam BAB XA
tentang Hak Asasi Manusia. Perubahan tersebut dipertahankan sampai dengan perubahan
keempat Undang-Undang Dasar 1945, yang kemudian disebut dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengamanatkan pemajuan dan perlindungan hak asasi
manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta komitmen bangsa
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional untuk memajukan dan melindungi
HAM, Indonesia perlu mengesahkan instrumen-instrumen internasional utama mengenai
HAM, khususnya International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) serta International Covenant on
Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).

Pokok-pokok Isi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Kovenan ini mengukuhkan dan menjabarkan pokok-pokok HAM di bidang ekonomi, sosial
dan budaya dari DUHAM dalam ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum. Kovenan
terdiri dari pembukaan dan pasal-pasal yang mencakup 31 pasal. Pembukaan Kovenan ini
mengingatkan negara-negara akan kewajibannya menurut Piagam PBB untuk memajukan
dan melindungi HAM, mengingatkan individu akan tanggung jawabnya untuk bekerja keras
bagi pemajuan dan penaatan HAM yang diatur dalam Kovenan ini dalam kaitannya dengan
individu lain dan masyarakatnya, dan mengakui bahwa, sesuai dengan DUHAM, cita-cita
umat manusia untuk menikmati kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dari rasa takut
dan kekurangan hanya dapat tercapai apabila telah tercipta kondisi bagi setiap orang untuk
dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak-hak sipil dan politiknya.
Pasal 1 menyatakan bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri
dan menyerukan kepada semua negara, termasuk negara-negara yang bertanggung jawab atas
pemerintahan Wilayah yang Tidak Berpemerintahan Sendiri dan Wilayah Perwalian, untuk
memajukan perwujudan hak tersebut. Pasal ini mempunyai arti yang sangat penting pada
waktu disahkannya Kovenan ini pada tahun 1966 karena ketika itu masih banyak wilayah
jajahan.
Pasal 2 menetapkan kewajiban Negara Pihak untuk mengambil langkah-Langkah bagi
tercapainya secara bertahap perwujudan hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini dan
memastikan pelaksanaan hak-hak tersebut tanpa pembedaan apa pun. Negara-negara
berkembang, dengan memperhatikan HAM dan perekonomian nasionalnya, dapat
menentukan sampai seberapa jauh negara-negara tersebut akan menjamin hak-hak ekonomi
yang diakui dalam Kovenan ini bagi warga negara asing. Untuk ketentuan ini, diperlukan
pengaturan ekonomi nasional.
Pasal 3 menegaskan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Pasal 4 menetapkan bahwa negara pihak hanya boleh mengenakan pembatasan atas hak-hak
melalui penetapan dalam hukum, sejauh hal itu sesuai dengan sifat hak-hak tersebut dan
semata-mata untuk maksud memajukan kesejahteraan umum dalam masyarakat demokratis.
Pasal 5 menyatakan bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan ini yang dapat
ditafsirkan sebagai memberi hak kepada negara, kelompok, atau seseorang untuk melibatkan
diri dalam kegiatan atau melakukan tindakan yang bertujuan menghancurkan hak atau
kebebasan mana pun yang diakui dalam Kovenan ini atau membatasinya lebih daripada yang
ditetapkan dalam Kovenan ini. Pasal ini juga melarang dilakukannya pembatasan atau
penyimpangan HAM mendasar yang diakui atau yang berlaku di negara pihak berdasarkan
hukum, konvensi, peraturan atau kebiasaan, dengan dalih bahwa Kovenan ini tidak mengakui
hak tersebut atau mengakuinya tetapi secara lebih sempit.
Pasal 6 sampai dengan pasal 15 mengakui hak asasi setiap orang di bidang ekonomi, sosial,
dan budaya, yakni hak atas pekerjaan (Pasal 6), hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil
dan menyenangkan (Pasal 7), hak untuk membentuk dan ikut serikat buruh (Pasal 8), hak atas
jaminan sosial, termasuk asuransi sosial (Pasal 9), hak atas perlindungan dan bantuan yang
seluas mungkin bagi keluarga, ibu, anak, dan orang muda (Pasal 10), hak atas standar
kehidupan yang memadai (Pasal 11),hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental
yang tertinggi yang dapat dicapai (Pasal 12), hak atas pendidikan (Pasal 13 dan 14), dan hak
untuk ikut serta dalam kehidupan budaya (PasaI1).
Selanjutnya Pasal 16 sampai dengan Pasal 25 mengatur hal hal mengenai pelaksanaan
Kovenan ini, yakni kewajiban negara pihak untuk menyampaikan laporan kepada Sekretaris
Jenderal PBB mengenai tindakan yang telah diambil dan kemajuan yang telah dicapai dalam
penaatan hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini (Pasal 16 dan Pasal 17), penanganan
laporan tersebut oleh ECOSOC (Pasal 18 sampai dengan Pasal 22), kesepakatan tentang
lingkup aksi internasional guna mencapai hak-hak yang diakui dalam Kovenan (Pasal 23),
penegasan bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan yang dapat ditafsirkan sebagai
mengurangi ketentuan Piagam PBB dan konstitusi badan-badan khusus yang berkenaan
dengan masalah-masalah yang diatur dalam Kovenan ini (Pasal 24), dan penegasan bahwa
tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan ini yang boleh ditafsirkan sebagai mengurangi
hak yang melekat pada semua rakyat untuk menikmati secara penuh dan secara bebas
kekayaan dan sumber daya alam mereka (Pasal 25).
Kovenan diakhiri dengan ketentuan penutup yang mengatur pokok-pokok yang bersifat
prosedural (Pasal 26 sampai dengan Pasal 31), dan yang mencakup pengaturan
penandatanganan, pengesahan, aksesi, dan penyimpanan Kovenan ini, serta tugas Sekretaris
Jenderal PBB sebagai penyimpan (depositary) (Pasal 26 dan Pasal 30), mulai berlakunya
Kovenan ini (Pasa! 27), lingkup wilayah berlakunya Kovenan ini di negara pihak yang
berbentuk federal (Pasal 28), prosedur perubahan (Pasal 29), dan bahasa yang digunakan
dalam naskah otentik Kovenan ini (Pasal 31).
MATERI HAM BERDASARKAN UU NO. 12 TAHUN 2005 TENTANG Pengesahan
International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang
Hak-hak Sipil Dan Politik

Sejarah Perkembangan Lahirnya Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan


Politik.
Pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum (MU) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
memproklamasikan Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia, untuk selanjutnya disingkat DUHAM), yang memuat pokok-pokok hak asasi
manusia dan kebebasan dasar, dan yang dimaksudkan sebagai acuan umum hasil pencapaian
untuk semua rakyat dan bangsa bagi terjaminnya pengakuan dan penghormatan hak-hak dan
kebebasan dasar secara universal dan efektif, baik dikalangan rakyat negaranegara anggota
PBB sendiri maupun di kalangan rakyat di wilayah-wilayah yang berada di bawah yurisdiksi
mereka.
Masyarakat internasional menyadari perlunya penjabaran hak-hak dan kebebasan dasar yang
dinyatakan oleh DUHAM ke dalam instrumen internasional yang bersifat mengikat secara
hukum. Sehubungan dengan hal itu, pada tahun 1948, Majelis Umum PBB meminta Komisi
Hak Asasi Manusia (KHAM) PBB yang sebelumnya telah mempersiapkan rancangan
DUHAM untuk menyusun rancangan Kovenan tentang HAM beserta rancangan tindakan
pelaksanaannya. Komisi tersebut mulai bekerja pada tahun 1949. Pada tahun 1950, MU PBB
mengesahkan sebuah resolusi yang menyatakan bahwa pengenyaman kebebasan sipil dan
politik serta kebebasan dasar di satu pihak dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya di lain
pihak bersifat saling terkait dan saling tergantung. Setelah melalui perdebatan panjang, dalam
sidangnya tahun 1951, MU PBB meminta kepada Komisi HAM PBB untuk merancang dua
Kovenan tentang hak asasi manusia : (1) Kovenan mengenai hak sipil dan politik; dan (2)
Kovenan mengenai hak ekonomi, sosial dan budaya. MU PBB juga menyatakan secara
khusus bahwa kedua Kovenan tersebut harus memuat sebanyak mungkin ketentuan yang
sama, dan harus memuat pasal yang akan menetapkan bahwa semua rakyat mempunyai hak
untuk menentukan nasib sendiri.
Komisi HAM PBB berhasil menyelesaikan dua rancangan Kovenan sesuai dengan keputusan
MU PBB pada 1951, masing-masing pada tahun 1953 dan 1954. Setelah membahas kedua
rancangan Kovenan tersebut, pada tahun 1954 MU PBB memutuskan untuk
memublikasikannya seluas mungkin agar pemerintah negara-negara dapat mempelajarinya
secara mendalam dan khalayak dapat menyatakan pandangannya secara bebas. Untuk tujuan
tersebut, MU PBB menyarankan agar Komite III PBB membahas rancangan naskah Kovenan
itu pasal demi pasal mulai tahun 1955.
Meskipun pembahasannya telah dimulai sesuai dengan jadwal, naskah kedua Kovenan itu
baru dapat diselesaikan pada tahun 1966. Akhirnya, pada tanggal 16 Desember 1966, dengan
resolusi 2200A (XXI), MU PBB mengesahkan Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik
bersama-sama dengan Protokol Opsional pada Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik
dan Kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Kovenan Internasional tentang
Hak-hak Sipil dan Politik mulai berlaku pada tanggal 23 Maret 1976.

Pertimbangan Indonesia untuk menjadi Pihak pada International Covenant on Civil


and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).

Indonesia adalah negara hukum dan sejak kelahirannya pada tahun 1945 menjunjung tinggi
HAM. Sikap Indonesia tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa meskipun dibuat sebelum
diproklamasikannya DUHAM, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sudah memuat beberapa ketentuan tentang penghormatan HAM yang sangat penting.
Hak-hak tersebut antara lain hak semua bangsa atas kemerdekaan (alinea pertama
Pembukaan); hak atas kewarganegaraan (Pasal 26); persamaan kedudukan semua warga
negara Indonesia di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat (1)); hak warga negara
Indonesia atas pekerjaan (Pasal 27 ayat (2); hak setiap warga negara Indonesia atas kehidupan
yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat (2); hak berserikat dan berkumpul bagi setiap
warga negara (Pasal 28); kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (Pasal 29 ayat (2); dan
hak setiap warga negara Indonesia atas pendidikan (Pasal 31 ayat (1)); Sikap Indonesia
dalam memajukan dan melindungi HAM terus berlanjut meskipun Indonesia mengalami
perubahan susunan negara dan negara kesatuan menjadi negara federal (27 Desember 1949
sampai dengan 15 Agustus 1950). Konstitusi yang berlaku pada waktu itu, yaitu Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS), memuat sebagian besar pokok-pokok HAM
yang tercantum dalam DUHAM dan kewajiban Pemerintah untuk melindunginya (Pasal 7
sampai dengan Pasal 33).
Indonesia yang kembali ke susunan negara kesatuan sejak 15 Agustus 1950 terus melanjutkan
komitmen konstitusionalnya untuk menjunjung tinggi HAM. Undang-Undang Dasar
Sementara Republik Indonesia (UUDS RI tahun 1950) yang berlaku sejak 15 Agustus 1950
sampai dengan 5 Juli 1959, sebagaimana Konstitusi RIS, juga memuat sebagian besar pokok-
pokok HAM yang tercantum dalam DUHAM dan kewajiban Pemerintah untuk
melindunginya (Pasal 7 sampai dengan Pasal 33), dan bahkan sebagian sama bunyinya kata
demi kata dengan ketentuan yang bersangkutan yang tercantum dalam Konstitusi RIS.
Disamping komitmen nasional, pada masa berlakunya UUDS RI Tahun 1950, Indonesia juga
menegaskan komitmen internasionalnya dalam pemajuan dan perlindungan HAM,
sebagaimana yang ditunjukkan dengan keputusan Pemerintah untuk tetap memberlakukan
beberapa konvensi perburuhan yang dihasilkan oleh International Labour Organization
(Organisasi Perburuhan Internasional) yang dibuat sebelum Perang Dunia II dan dinyatakan
berlaku untuk Hindia Belanda oleh Pemerintah Belanda, menjadi pihak pada beberapa
konvensi lain yang dibuat oleh Organisasi Perburuhan Internasional setelah Perang Dunia II,
dan mengesahkan sebuah konvensi HAM yang dibuat oleh PBB, yakni Convention on the
Political Rights of Women 1952 (Konvensi tentang Hak-hak Politik Perempuan 1952),
melalui Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958. Dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia,
upaya penegakan dan perlindungan HAM telah mengalami pasang surut. Pada suatu masa
upaya tersebut berhasil diperjuangkan, tetapi pada masa lain dikalahkan oleh kepentingan
kekuasaan.
Akhirnya, disadari bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak mengindahkan
penghormatan, penegakan dan perlindungan HAM akan selalu menimbulkan ketidak adilan
bagi masyarakat luas yang tidak memberikan landasan yang sehat bagi pembangunan
ekonomi, politik, sosial dan budaya untuk jangka panjang. Gerakan reformasi yang mencapai
puncaknya pada tahun 1998 telah membangkitkan semangat bangsa Indonesia untuk
melakukan koreksi terhadap sistem dan praktik-praktik masa lalu, terutama untuk
menegakkan kembali pemajuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya Indonesia
mencanangkan Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM melalui Keputusan Presiden Nomor 129
Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 1998-2003 yang kemudian
dilanjutkan dengan RAN HAM kedua melalui keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 2004
tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2004-2009 dan ratifikasi atau pengesahan
Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment, 1984 (Kovensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain
yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, 1984) pada 28
September 1998 (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998; Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 164; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3783). Selain itu melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999, Indonesia juga telah
meratifikasi International Convention on the Elimination of All Forms of Racial
Descrimination (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Rasial).
Pada tanggal 13 November 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengambil
keputusan yang sangat penting artinya bagi pemajuan, penghormatan dan penegakan HAM,
yaitu dengan mengesahkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang lampirannya memuat ”Pandangan
dan Sikap Bangsa Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia” (Lampiran angka 1) dan ” Piagam
Hak Asasi Manusia” (Lampiran angka II). Konsideran Ketetapan MPR Nomor
XVII/MPR/1998 tersebut menyatakan, antara lain, ”bahwa Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 telah mengamanatkan pengakuan, penghormatan, dan kehendak bagi pelaksanaan
hak asasi manusia dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara” (huruf b) dan ”bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia patut
menghormati hak asasi manusia yang termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa serta instrumen internasional lainnya mengenai hak
asasi manusia” (huruf c). Selanjutnya, Ketetapan MPR tersebut menyatakan bahwa Bangsa
Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mempunyai tanggung jawab untuk
menghormati Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human
Rights) dan berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia”
(Lampiran IB angka 2). Sebagaimana diketahui bahwa DUHAM 1948, Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, Protokol Opsional pada Kovenan
Internasional tentang Hak-hak
Sipil dan Politik serta Kovenan Inernasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
adalah instrumen-instrumen internasional utama mengenai HAM dan yang lazim disebut
sebagai ”International Bill of Human Rights” (Prasasti Internasional tentang Hak Asasi
Manusia), yang merupakan instrumen-instrumen internasional inti mengenai HAM.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah mengesahkan perubahan
Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan pertama disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI
Tahun 1999; perubahan kedua disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2000;
perubahan ketiga disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001; dan perubahan
keempat disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002; Perubahan kedua
UndangUndang Dasar 1945 menyempurnakan komitmen Indonesia terhadap upaya pemajuan
dan
perlindungan HAM dengan mengintegrasikan ketentuan-ketentuan penting dari
instrumeninstrumen internasional mengenai HAM, sebagaimana tercantum dalam BAB XA
tentang
Hak Asasi Manusia. Perubahan tersebut dipertahankan sampai dengan perubahan keempat
Undang-Undang Dasar 1945, yang kemudian disebut dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
mengamanatkan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta komitmen bangsa Indonesia sebagai bagian
dari masyarakat internasional untuk memajukan dan melindungi HAM, Indonesia perlu
mengesahkan instrumen-instrumen internasional utama mengenai HAM, khususnya
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) serta International Covenant on Civil and
Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik)

Pokok-pokok isi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.


Kovenan ini mengukuhkan pokok-pokok HAM di bidang sipil dan politik yang tercantum
dalam DUHAM sehingga menjadi ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum dan
penjabarannya mencakup pokok-pokok lain yang terkait. Kovenan tersebut terdiri dari
pembukaan dan pasal-pasal yang mencakup 6 bab dan 53 pasal.
Pembukaan kedua Kovenan tersebut mengingatkan negara-negara akan kewajibannya,
menurut Piagam PBB untuk memajukan dan melindungi HAM, mengingatkan individu
akan tanggung jawabnya untuk bekerja keras bagi pemajuan dan penaatan HAM yang
diatur dalam Kovenan ini dalam kaitannya dengan individu lain dan masyarakatnya, dan
mengakui bahwa, sesuai dengan DUHAM, cita-cita umat manusia untuk menikmati
kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dari rasa takut dan kekurangan hanya dapat
tercapai apabila telah tercipta kondisi bagi setiap orang untuk dapat menikmati hak-hak sipil
dan politiknya maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budayanya.
Pasal 1 menyatakan bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk menentukan nasibnya
sendiri dan menyerukan kepada semua negara, termasuk negara-negara yang bertanggung
jawab atas pemerintahan Wilayah yang Tidak Berpemerintahan Sendiri dan Wilayah
Perwalian, untuk memajukan perwujudan hak tersebut.
Pasal ini mempunyai arti yang sangat penting pada waktu disahkannya Kovenan ini pada
tahun 1966 karena ketika itu masih banyak wilayah jajahan.
Pasal 2 menetapkan kewajiban Negara Pihak untuk menghormati hak-hak yang diakui
dalam Kovenan ini. Pasal ini juga memastikan bahwa pelaksanaannya bagi semua individu
yang berada di wilayahnya dan yang berada di bawah yurisdiksinya tanpa ada pembedaan
apapun.
Pasal 3 menegaskan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Pasal 4 menetapkan bahwa dalam keadaan darurat umum yang mengancam kehidupan
bangsa dan keadaan itu diumumkan secara resmi, negara pihak dapat mengambil tindakan
yang menyimpang dari kewajibannya menurut Kovenan ini sejauh hal itu mutlak diperlukan
oleh kebutuhan situasi darurat tersebut, dengan ketentuan bahwa tindakan itu tidak
mengakibatkan diskriminasi yang semata-mata didasarkan pada ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, atau asal-usul sosial.
Pasal 5 menyatakan bahwa tidak ada satu ketentuanpun dalam Kovenan ini yang dapat
ditafsirkan sebagai memberi hak kepada negara, kelompok, atau seseorang untuk
melibatkan diri dalam kegiatan atau melakukan tindakan yang bertujuan menghancurkan
hak atau kebebasan manapun yang diakui dalam Kovenan ini atau membatasinya lebih
daripada yang ditetapkan dalam Kovenan ini. Pasal ini juga melarang dilakukannya
pembatasan atau penyimpangan HAM mendasar yang diakui atau yang berlaku di negara
pihak berdasarkan hukum, konvensi, peraturan atau kebiasaan, dengan dalih bahwa
Kovenan ini tidak mengakui hak tersebut atau mengakuinya tetapi secara lebih sempit.
Pasal 6 sampai dengan Pasal 27 menetapkan bahwa setiap manusia mempunyai hak hidup,
bahwa hak ini dilindungi oleh hukum dan bahwa tidak seorangpun dapat dirampas hak
hidupnya secara sewenang-wenang (Pasal 6); bahwa tidak seorangpun boleh dikenai
siksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan
martabat (Pasal 7); bahwa tidak seorangpun boleh diperbudak, bahwa perbudakan dan
perdagangan budak dilarang, dan bahwa tidak seorangpun boleh diperhamba, atau
diharuskan melakukan kerja paksa atau kerja wajib (Pasal 8); bahwa tidak seorangpun boleh
ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang (Pasal 10); dan bahwa tidak seorangpun
boleh dipenjarakan hanya atas dasar ketidakmampuannya memenuhi kewajiban
kontraktualnya (Pasal 11).
Selanjutnya Kovenan menetapkan kebebasan setiap orang yang berada secara sah dan di
wilayah suatu negara untuk berpindah tempat dan memilih tempat tinggalnya di wilayah itu,
untuk meninggalkan negara manapun termasuk negara sendiri, dan bahwa tidak seorangpun
dapat secara sewenang-wenang dirampas haknya untuk memasuki negaranya sendiri (Pasal
12); pengaturan yang diberlakukan bagi pengusiran orang asing yang secara sah tinggal di
negara pihak (Pasal 13); persamaan semua orang di depan pengadilan dan badan peradilan,
hak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka oleh badan peradilan yang kompeten, bebas dan
tidak berpihak, hak atas praduga tak bersalah bagi setiap orang yang dijatuhi hukuman atas
peninjauan kembali keputusan atau hukumannya oleh badan peradilan yang lebih tinggi
(Pasal 14); pelarangan pemberlakuan secara retroaktif peraturan perundang-undangan
pidana (Pasal 15); hak setiap orang untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum (Pasal 16);
dan tidak boleh dicampurinya secara sewenang-wenang atau secara tidak sah privasi,
keluarga, rumah atau surat menyurat seseorang (Pasal 17).
Lebih lanjut Kovenan menetapkan hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan
dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut (Pasal 18); hak orang untuk
mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk
menyatakan pendapat (Pasal 19); pelarangan atas propaganda perang serta tindakan yang
menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan
untuk melakukan tindak diskriminasi, permusuhan atau kekerasan (Pasal 20); pengakuan
hak untuk berkumpul yang bersifat damai (Pasal 21); hak setiap orang atas kebebasan
berserikat (Pasal 22); pengakuan atas hak laki-laki dan perempuan usia kawin untuk
melangsungkan perkawinan dan membentuk keluarga, prinsip bahwa perkawinan (Pasal
23); hak anak atas perlindungan yang dibutuhkan oleh statusnya sebagai anak di bawah
umur, keharusan segera didaftarkannya setiap anak setelah lahir dan keharusan mempunyai
nama, dan hak anak atas kewarganegaraan (Pasal 24); hak setiap warga negara untuk ikut
serta dalam penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih dan dipilih, serta mempunyai
akses berdasarkan persyaratan umum yang sama pada jabatan publik di negaranya (Pasal
25); persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua orang atas
perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi (Pasal 26); dan tindakan untuk
melindungi golongan etnis, agama, atau bahasa minoritas yang mungkin ada di negara
pihak (Pasal 27).
Pasal 27 merupakan akhir bagian substantif Kovenan ini. Untuk mengawasi pelaksanaan
hak-hak yang termaktub dalam Kovenan ini, Pasal 28 sampai dengan Pasal 45 menetapkan
pembentukan sebuah komite yang bernama Human Rights Committee (Komite Hak Asasi
Manusia) beserta ketentuan mengenai keanggotaan, cara pemilihan, tata tertib pertemuan,
kemungkinan bagi negara pihak untuk sewaktu-waktu menyatakan bahwa negara tersebut
mengakui kewenangan Komite termaksud untuk menerima dan membahas komunikasi
yang menyatakan bahwa suatu negara pihak dapat mengadukan tentang tidak dipenuhinya
kewajiban menurut Kovenan oleh negara pihak lain, dan cara kerja Komite dalam
menangani permasalahan yang diajukan kepadanya.
Kovenan kemudian menegaskan bahwa tidak ada satu ketentuanpun dalam Kovenan ini
yang boleh ditafsirkan sebagai mengurangi ketentuan Piagam PBB dan konstitusi badan
khusus dalam hubungan dengan masalah yang diatur dalam Kovenan ini (Pasal 46); dan
bahwa tidak satu ketentuanpun dalam Kovenan ini yang boleh ditafsirkan sebagai
mengurangi hak melekat semua rakyat untuk menikmati dan menggunakan secara penuh
dan secara bebas kekayaan dan sumber daya alamnya (Pasal 47).
Kovenan ini diakhiri dengan pasal-pasal penutup yang bersifat prosedural seperti
pembukaan penandatanganan, prosedur yang harus ditempuh oleh suatu negara menjadi
pihak padanya, mulai berlakunya, lingkup berlakunya yang meliputi seluruh bagian negara
federal tanpa pembatasan dan pengecualian, prosedur perubahannya, tugas Sekretaris
Jenderal PBB sebagai lembaga penyimpan (depositary) Kovenan, dan bahasa yang
dipergunakan dalam naskah otentik (Pasal 48 sampai dengan Pasal 53).
HAM BERSARKAN UU NO.26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM

Berdasarkan ketentuan UU No. 26 tahun 2000, Pengadilan HAM mengatur tentang yurisidksi
atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat baik setelah disyahkanya UU ini maupun
kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat sebelum disyahkannya

UU ini. Prosedur pembentukan pengadilan ini mempunyai perbedaaan yang cukup


mendasar. Dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat setelah
disyahkannya UU ini tanpa melalui rekomendasi dan keputusan presiden sebagaimana dalam
pembentukan pengadilan HAM ad hoc (mengenai pengadilan HAM ad hoc akan diuraikan
dibagian bawah).

Prosedur pembentukan pengadilan HAM adalah berdasarkan adanya dugaan telah terjadi
kasus pelanggaran HAM yang berat. Dugaan adanya kasus pelanggaran yang berat ini
kemudian diselidiki oleh Komnas HAM dengan membentuk komisi Penyelidikan
Pelanggaran HAM (KPP HAM). Hasil penyelidikan, jika ditemukan bukti bahwa terdapat
dugaan adanya pelanggaran HAM yang berat maka akan dilimpahkan ke Kejaksaan Agung
untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan, dalam tahap ini kalau dari hasil penyidikan
menunjukkan adanya pelanggaran HAM yang berat maka diteruskan untuk tahap penuntutan
yang juga di lakukan oleh Kejaksaan Agung. Berdasarkan bukti-bukti dan penuntutan yang
diwujudkan dalam surat dakwaan, kemudian digelar pengadilan HAM berdasarkan
kompetensi relatif pengadilan. Tempat pengadilan ini berada di pengadilan negeri dimana
locus dan tempos delictie terjadinya pelanggaran HAM yang berat.

Pengalaman pembentukan pengadilan HAM setelah disyahkannya UU ini adalah Pengadilan


HAM Abepura yang disidang di Pengadilan Negeri Makassar. Kasus pelanggaran HAM yang
terjadi di Abepura Papua terjadi pada tanggal 7 Desember 2000, yang kemudian oleh Komnas
HAM di tindaklanjuti dengan melakukan penyelidikan pro yustisia pada tanggal 5 Februari
2001. Setelah penyelidikan KPP HAM ini selesai kemudian hasil penyelidikan ini diserahkan
ke Jaksa Agung. Kejaksaan Agung berdasarkan atas Laporan KPP HAM, kemudian
melakukan serangkaian penyidikan dengan membentuk Tim Penyidik Pelanggaran HAM di
Abepura. Setelah adanya kelengkapan penuntutan maka Pengadilan ini akhirnya sidang
pertama dilaksanakan pada tanggal 7 Mei 2004 di Pengadilan Negeri Makassar. Pemilihan
pengadilan HAM di Makassar ini berdasarkan pada ketentuan pasal 45 UU No. 26/2000
dimana untuk pertama kalinya pengadilan HAM dibentuk di Jakarta, Medan, Surabaya dan
Makassar. Wilayah yurisdiksi pengadilan HAM Makassar meliputi Papua/Irian Jaya.

Kasus lain yang dilakukan penyelidikan berdasarkan adanya dugaan terjadinya pelanggaran
HAM di Wasior yang berawal pada tanggal 13 Juni 2001 dan Wamena Papua yang berawal
dari peristiwa pada tanggal 4 April 2003. Komnas HAM membentuk KPP HAM Papua yang
bekerja pada tanggal 17 Desember 2003 sampai dengan 31 Juli 2004. Laporan KPP HAM
Papua ini, setalah menyimpulkan bahwa terdapat dugaan pelanggaran HAM yang berat di
dua wilyah tersebut kemudian menyerahkan hasil laporan tersebut ke Kejaksaan Agung untuk
ditindaklanjuti ke tahap penyidikan.20

Proses pembentukan pengadilan HAM ini adalah proses peradilan yang tidak melibatkan
adanya intervensi pihak lain, misalnya DPR, sebagaimana pengadilan HAM ad hoc. Namun
dari pengalaman proses pengadilan HAM Abepura juga terdapat beberapa permasalahan
misalnya mengenai pelaksanaan pengadilan HAM di Makassar untuk kasus yang terjadi di
Papua. Konsekuaensinya adalah keterbatasan dalam menghadirkan para saksi korban dari
Papua ke Makassar.

b. Pengadilan HAM ad hoc : Sebelum adanya UU No. 26/2000

Pengadilan HAM ad hoc adalah pengadilan yang dibentuk khusus untuk memeriksa dan
mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan sebelum adanya UU No. 26
Tahun 2000, berbeda dengan Pengadilan HAM (permanen) yang dapat memeriksa dan
mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi setelah diundangkannya UU
No. 26 Tahun 2000.

Ketentuan mengenai pembentukan Pengadilan HAM ad Hoc menurut pasal 43 UU No.


26/2000 adalah:

1. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya
Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.
2. Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan
Keputusan Presiden.
3. Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di lingkungan
Peradilan Umum.

Penjelasan pasal 43 ayat (2) menyatakan:


“Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya
Pengadilan HAM ad hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan pada
dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada locus
dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini.”

Pasal 44 UU No. 26/2000 menentukan tentang prosedur hukumnya :

“Pemeriksaan di Pengadilan HAM ad hoc dan upaya hukumnya dilakukan sesuai dengan
ketentuan dalam Undang-undang ini”

Penjelasan pasal 43 UU No. 26/2000 menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
yang juga sebagai pihak yang mengusulkan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc
mendasarkan usulannya pada dugaan terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi
pada locus delicti dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang-
undang ini. Masalah rumusan sebagaimana dalam pasal 43 diatas menimbulkan masalah yang
cukup serius terutama berkaitan dengan kewenangan DPR untuk menentukan ada tidaknya
pelanggaran HAM yang berat berdasarkan pada penjelasan pasal 43 ayat (2). Rumusan ini
bisa ditafsirkan bahwa DPR yang dapat menentukan dugaan ada tidaknya pelanggaran HAM
yang berat.

Dari ketentuan dalam pasal 43 berkenaan dengan pengadilan HAM ad hoc ini terdapat
beberapa hal yang menjadikan proses pengadilan HAM ad hoc sulit diaplikasikan dalam
pembentukannya. Beberapa persoalan tersebut adalah a) penerapan tentang asas retroaktif, b)
proses pembentukan pengadilan HAM ad hoc dan c) kewenangan DPR dalam menentukan
pembentukan pengadilan HAM ad hoc.

b.1. Asas Retroaktif


Adanya Pengadilan HAM ad hoc ini memunculkan persoalan isu tentang asas retroaktif
dalam penjelasan umum UU No. 26/2000 yang dianggap sebagai pelanggaran atas asas
legalitas dalam hukum pidana.21 Dari penjelasan umum dapat disimpulkan bahwa kejahatan
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan atau delik baru dalam hukum
Indonesia sehingga setiap penerapan atas delik ini untuk untuk kasus-kasus masa lalu
dianggap sebagai berlakunya asas retroaktif.22 Dalam penjelasan umum diatas juga
dinyatakan bahwa landasan konstitusional yang digunakan adalah pasal 28 huruf j ayat (2).
Dengan ungkapan lain bahwa asas retroaktif dapat diberlakukan dalam rangka melindungi
hak asasi manusia itu sendiri.

Kontroversi atas penerapan asas retroaktif ini menunjukkan bahwa terdapat dua perspektif
yang bertentangan mengenai penerapan asas retroaktif dalam pelanggaran HAM yang berat.
Pandangan pertama mengindikasikan bahwa penerapan asas retroaktif ini bertentangan
dengan asas kardinal dalam hukum pidana yaitu asas legalitas dan bertentang dengan norma-
norma yang lain.23 Sedangkan pandangan kedua, dan ini yang diikuti oleh penyusun undang-
undang, bahwa asas legalitas dapat disimpangi berdasarkan hukum internasional.

Pada awalnya praktek peradilan internasional terhadap para pelaku kejahatan internasional
(pelanggaran HAM yang berat) ditempuh oleh masyarakat internasional dengan membentuk
ad hoc extrajudicial tribunal. Telah menjadi kesepakatan universal bahwa sejak berakhirnya
perang dunia ke II kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan harus diperangi dan diadili.
Para pelakunya sedapat mungkin diadili, dan jika terbukti bersalah harus dihukum, untuk
menunjukkan bahwa jenis kejahatan ini sama sekali tidak bisa ditolerir dan harus dicegah dari
kemungkinan berulang dimasa yang akan datang. Pikiran inilah yang mendasari dan menjadi
alasan dari pembentukan ad hoc extra judicial tribunal. Peradilan ini bersifat extra legal atau
extra judicial, karena dibentuk dengan sangat terpaksa untuk mensiasati kekosongan norma-
norma internasional dan adanya pertentangan antara norma internasional dan norma nasional.
Peradilan yang dibentuk adalah peradilan untuk kasus Nurenberg dan Tokyo.

Nurenberg Tribunal menerapkan dan mempraktekkan sifat extra legal dengan menerapkan
definisi yang sangat longgar terhadap prinsip legalitas dan melanggarnya. Para penjahat
perang yang dihadapkan ke peradilan tersebut telah diadili dengan norma-norma yang dibuat
untuk kepentingan pengadilan itu sendiri. Dalam hal ini berarti, norma-norma itu dibuat
untuk melarang, dan kemudian mengadili dan menghukum, terhadap perbuatan-perbuatan
yang sudah terjadi, yang sebelumnya tidak dilarang (ex post facto law). Dari sini pertama
kalinya dilakukan penyimpangan terhadap asas legalitas dengan menerapkan prinsip
retroaktif.24 Setelah Pengadilan Nurenbeg dan Tokyo, tidak ada ad hoc tribunals yang bisa
dikatakan melanggar asas legalitas. Pengadilan untuk bekas negara Yugoslavia melalui ICTY
dan untuk Rwanda melalui ICTR dianggap tidak melanggar asas legalitas karena semata-
mata belum adanya suatu pengadilan kejahatan internasional yang bersifat permanen
sedangkan norma-norma kejahatan tersebut sudah tersedia sejak adanya peradilan Nurenberg
dan Tokyo. Sifat ad hoc untuk kedua peradilan baik yugoslavia maupun rwanda tidak
mengatur ketentuan yang belum diatur dan diterapkan hukumnya (ex post facto law) bagi
pelaku kejahatan tetapi karena badan peradilan yang permanen yang berpegang pada asas
legalitas belum terbentuk.25

Pandangan yang berbeda terdapat dalam penerapan terhadap kejahatan kemanusiaan sebagai
salah satu bentuk kejahatan HAM yang berat. Apabila diterapkan secara retroaktif dianggap
tidak melanggar standar asas legalitas dalam hukum pidana internasional, sebab kejahatan
tersebut semata-mata merupakan perluasan yurisdiksi (jursidiction extention) dari kejahatan
perang (an outgrowth of war crimes) dan diterima sebagai hukum kebiasaan internasional
(international customary law) serta telah diputuskan oleh pengadilan internasional yang
bersifat ad hoc. Praktek peradilan-peradilan diatas memberikan paradigma dalam
perkembangan hukum yang bergeser yakni adanya pandangan yang semula berpegang teguh
pada nullum crimen sine lege menjadi nullum crimen sine iure (tiada kejahatan tanpa
Hukum/penghukuman),26 dan yang pandangan yang keduanyang menjadi dasar legalitas dari
hukum pidana internasional. Prinsip ini menjadikan setiap perbuatan yang merupakan bentuk
kejahatan internasional akan dihukum walaupun belum ada hukum yang mengaturnya.
Argumen lainnya yaitu bahwa nullum crimen sine lege sebenarnya bukan batasan kedaulatan
tetapi merupakan prinsip keadilan (principle of justice) sehingga menjadi tidak adil ketika
yang bersalah tidak dalap dihukum dan dibiarkan bebas (unpunished).

Dalam prakteknya ketentuan mengenai asas retroaktif ini telah diakui atau diterima oleh
majelis hakim sebagai sebuah asas yang bisa diterapkan.27 Argumen majelis hakim dalam
menentukan berlakunya asas retroaktif adalah apabila ditinjau lebih jauh lagi UU No. 26
Tahun 2000 dalam bentuk atau formatnya sejalan dengan penyimpangan atas asas non
retroaktif berdasarkan pada preseden proses peradilan Nuremberg tahun 1946 yang
mengawali pengecualian atas asas legalitas. Sementara substansi atau norma hukum yang
diterapkan terutama yang berkaitan dengan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan.

Dalam praktek Pegadilan HAM ad hoc, Majelis hakim menyatakan bahwa dapat
diberlakukannya asas retroaktif adalah berdasarkan pengkajian terhadap praktek pengadilan
pidana internasional dari praktek negara-negara sejak pengadilan penjahat perang di
Nurenberg dan Tokyo dan Pengadilan Pidana Internasional Ad Hoc untuk Yugoslavia (ICTY)
dan Rwanda (ICTR), dan Kasus Adolf Eichman di pengadilan distrik Yerussalem ternyata
asas non retroaktif disimpangi demi tegaknya keadilan.

Kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan genosida merupakan hostis human generis
(musuh bersama seluruh umat manusia) yang termasuk dalam kejahatan internasional
sehingga di bawah yurisdiksi universal. Berdasarkan prinsip yurisdiksi universal ini setiap
negara berhak untuk mengadili pelaku kejahatan ini atau untuk mengekstradisikannya ke
negara atau pihak lain yang memiliki yurisdiksi tanpa melihat kejadian, kewarganegaraan
pelaku maupun kewarganegaraan korban.

Kejahatan terhadap kemanusiaan telah diakui sebagai kejahatan yang mengguncang nurani
umat manusia sehingga penghukuman terhadap pelaku mutlak diperlukan tanpa dibatasi
waktu dan tempat maka praktek internasional telah menghapuskan batas daluwarsa
pemeriksaan sebagaimana disebutkan dalam penjelasan UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan
bahwa pelanggaran HAM yang berat merupakan extraordinary crime dan berdampak secara
luas. Dengan ungkapan lain asas retroaktif dapat diperlakukan dalam rangka melindungi
HAM itu sendiri berdasarkan pasal 28 j ayat (2) UUD 1945.28

Terlepas dari pemberlakuan asas retroaktif yang berdasarkan praktek internasional tersebut,
majelis hakim juga menyatakan bahwa nilai keadilan lebih tinggi daripada kepastian hukum
terlebih-lebih perwujudan keadilan universal seperti dalam kasus-kasus pelanggaran HAM
yang berat tidak mengenal ruang dan waktu. Oleh karena itu dalam hal ini non retroaktif
dapat dikesampingkan dan masalah ini sebagai aturan khusus. Argumen tentang masalah
apakah ada pertentang antara kepastian hukum denga keadilan majelis hakim menyatakan
bahwa apabila terjadi pertentangan antara dua prinsip maka yang didahulukan adalah prinsip
yang dapat mewujudkan keadilan yang lebih nyata.29
Penerapan asas retroaktif ini pernah dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diuji
dengan UUD 1945. Pemohon saat itu adalah Abilio Jose Osorio Soares, Mantan Gubernur
Timor-Timur, yang menjadi salah satu terdakwa dalam kasus Pelanggaran HAM yang berat di
Timor-Timur pada tahun 1999. Abilio mengajukan permohonan karena menganggap undang-
undang Pengadilan HAM, tertama pasal 43 ayat (1) yang digunakan menjeratnya ke penjara
bertentangan dengan pasal 28 I ayat (1) UUD 1945, karena mengandung asas berlaku surut
(asas retroaktif). Padahal dalam pasal 28 I ayat (1) dinyatakan dengan tegas hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun.

Majelis hakim MK tidak mengabulkan permohonan untuk mencabut pasal 43 ayat (1)
tersebut. Walaupun majelis hakim mengakui pasal 43 memang mengandung ketentuan hukum
yang berlaku surut (retroaktif), tetapi majelis masih mempertimbangkan apakah benar pasal
tersebut serta merta bertentangan dengan pasal 28 I ayat (1) UUD 1945. Majelis hakim juga
mempertimbangkan masalah pengadilan HAM yang memiliki relevansi kuat dengan dunia
internasional, yakni mengakui dan menegakkan HAM sudah menjadi tekad masyarakat
internasional, termasuk Indonesia. Hakim juga mempertimbangkan kewajiban negara untuk
melaksanakan penegakkan HAM seperti yang tercantum dalam UUD 1945, Deklarasi
Universal, Ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998, UU Nomor 39 tahun 1999 tentang
HAM yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.30
Pelanggaran HAM yang berat adalah kejahatan yang sifatnya extraordinary crimes yang
merupakan kejahatan internasional dan musuh umat manusia. Kejahahatan ini mempunyai
perumusan dan sebab terjadinya yang sangat berbeda dengan kejahatan pidana biasa. Dengan
perbedaan jenis kejahatan dan akibat yang ditimbulkan dari kejahatan ini tidak mungkin
memperlakukan pelanggaran HAM yang berat dengan dengan upaya biasa dan memerlukan
sebuah pengadilan yang sifatnya khusus dengan hukum acara yang bersifat khusus pula.

UU No. 26 Tahun 2000 disamping mengatur tentang delik kejahatan yang termasuk
pelanggaran HAM yang berat juga mengatur tentang kekhususan dari proses pengadilan
HAM. Kekhususan mengenai proses pengadilan HAM ad hoc meliputi proses beracara yang
khusus bila dikaitkan dengan proses peradilan pidana yang berdasarkan Kitab Undang-
undangan Hukum Acara Pidana. Kekhususan itu adalah berkaitan dengan kewenangan
lembaga penegak hukum dalam proses pemeriksaan baik dalam tahap penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan. Kekhususan dalam tahapan-tahapan
itu adalah berkaitan dengan sifat ad hoc dari masing-masing pihak yang melakukan
pemeriksaan. Sifat ad hoc menunjuk pada konteks kasus yang ditangani atau menunjuk pada
jangka waktu bekerjanya. Dalam tahap penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM
dapat membentuk tim penyelidik ad hoc, demikian pula dalam tahap penyidikan dan
penuntutan Jaksa Agung dapat mengangkat tim ad hoc. Dalam proses pemeriksaan di
pengadilan sifat ad hoc dan khusus ini ditunjukkan dengan adalah hakim ad hoc yang
diangkat dalam jangka waktu 5 Tahun untuk mengadili perkara pelanggaran ham yang berat.

Sifat khusus lainnya adalah mengenai jangka waktu yang ditetapkan secara terbatas dalam
UU No. 26 Tahun 2000 dalam setiap tahapan proses peradilan. Jangka waktu ini ditujukan
untuk membuat setiap tahapan proses peradilan berjalan dengan efisien. Kekhususan lainnya
adalah mengenai pengaturan khusus berkenaan dengan perlindungan saksi dan korban juga
pengaturan mengenai kompensasi, restitusi dan rehablitasi yang merupakan hak korban
pelanggaran ham yang berat.

Penjelasan Umum UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menekankan tentang
kekhususan dari pengadilan HAM. Berdasarkan pengalaman proses peradilan yang telah
dilakukan oleh pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM yang berat Timor-
timur dan Tanjung Priok ternyata pengaturan mengenai hukum acara yang khusus
berdasarkan ketentuan

UU No. 26 Tahun 2000 maupun KUHAP tidak cukup memadai. Alasan bahwa ketentuan
hukum acara yang tidak memadai ini timbul mengingat selama proses peradilan HAM yang
telah dijalankan masih menghadapi berbagai macam kendala dimana dalam beberapa
pengaturannya tidak dapat dijalankan dan cenderung diabaikan atau dilanggar. Disamping itu
ketentuan KUHAP juga tidak mampu menjawab berbagai macam persoalan yang muncul
berkenaan dengan proses acara dan pembuktian selama berlangsungnya proses pengadilan.68
HAM BERDASARKAN UU NO.40 TAHUN 2008 TENTANG PENGHAPUSAN
DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS

Setiap manusia berkedudukan sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena dilahirkan
dengan martabat, derajat, hak dan kewajiban yang sama. Pada dasarnya, manusia diciptakan
dalam kelompok ras atau etnis yang berbeda-beda yang merupakan hak absolut dan tertinggi
dari Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, manusia tidak bisa memilih untuk dilahirkan
sebagai bagian dari ras atau etnis tertentu. Adanya perbedaan ras dan etnis tidak berakibat
menimbulkan perbedaan hak dan kewajiban antar-kelompok ras dan etnis dalam masyarakat
dan negara. Kondisi masyarakat Indonesia, yang berdimensi majemuk dalam berbagai sendi
kehidupan, seperti budaya, agama, ras dan etnis, berpotensi menimbulkan konflik. Ciri
budaya gotong royong yang telah dimiliki masyarakat Indonesia dan adanya perilaku
musyawarah/mufakat, bukanlah jaminan untuk tidak terjadinya konflik, terutama dengan
adanya tindakan diskriminasi ras dan etnis. Kerusuhan rasial yang pernah terjadi
menunjukkan bahwa di Indonesia sebagian warga negara masih terdapat adanya diskriminasi
atas dasar ras dan etnis, misalnya, diskriminasi dalam dunia kerja atau dalam kehidupan
sosial ekonomi. Akhir-akhir ini di Indonesia sering muncul konflik antar ras dan etnis yang
diikuti dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkelahian, pemerkosaan dan
pembunuhan. Konflik tersebut muncul karena adanya ketidakseimbangan hubungan yang ada
dalam masyarakat, baik dalam hubungan sosial, ekonomi, maupun dalam hubungan
kekuasaan.
Konflik di atas tidak hanya merugikan kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat konflik
tetapi juga merugikan masyarakat secara keseluruhan. Kondisi itu dapat menghambat
pembangunan nasional yang sedang berlangsung. Hal itu juga mengganggu hubungan
kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian dan keamanan di dalam suatu negara
serta menghambat hubungan persahabatan antarbangsa. Dalam sejarah kehidupan manusia,
diskriminasi ras dan etnis telah mengakibatkan keresahan, perpecahan serta kekerasan fisik,
mental, dan sosial yang semua itu merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Untuk
mengatasi hal itu, lahirlah Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Rasial, yang disetujui oleh Perserikatan Bangsa Bangsa melalui Resolusi
Majelis Umum PBB 2106 A (XX) tanggal 21 Desember 1965. Bangsa Indonesia sebagai
anggota Perserikatan Bangsa Bangsa telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention on The
Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, 1965). Selain meratifikasi, Indonesia juga
mempunyai Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pancasila
sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum dasar yang menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia yang tercermin dalam sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Asas
ini merupakan amanat konstitusional bahwa bangsa Indonesia bertekad untuk menghapuskan
segala bentuk diskriminasi ras dan etnis.
Dalam rangka pengamalan Pancasila dan pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Indonesia pada dasarnya telah menetapkan peraturan
perundang-undangan yang mengandung ketentuan tentang penghapusan segala bentuk
diskriminasi ras dan etnis, tetapi masih belum memadai untuk mencegah, mengatasi, dan
menghilangkan praktik diskriminasi ras dan etnis dalam suatu undang-undang.
Berdasarkan pandangan dan pertimbangan di atas, dalam UndangUndang ini diatur
mengenai:
1. asas dan tujuan penghapusan diskriminasi ras dan etnis;
2. tindakan yang memenuhi unsur diskriminatif;
3. pemberian perlindungan kepada warga negara yang mengalami tindakan diskriminasi ras
dan etnis;
4. penyelenggaraan perlindungan terhadap warga negara dari segala bentuk tindakan
diskriminasi ras dan etnis yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat, serta seluruh warga negara;
5. pengawasan terhadap segala bentuk upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis oleh
Komnas HAM;
6. hak warga negara untuk memperoleh perlakuan yang sama dalam mendapatkan hak-hak
sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya;
6. kewajiban dan peran serta warga negara dalam upaya penghapusan diskriminasi ras dan
etnis;
7. gugatan ganti kerugian atas tindakan diskriminasi ras dan etnis; dan
8. pemidanaan terhadap setiap orang yang melakukan tindakan berupa:
a. memperlakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan
pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan,
perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu
kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; dan
b. menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena Perbedaan ras dan etnis
dengan melakukan tindakan-tindakan tertentu.
Penyusunan Undang-Undang ini merupakan perwujudan komitmen Indonesia untuk
melaksanakan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

Anda mungkin juga menyukai