Dedi Nasruddin1
V. Heru Hariyanto2
emotional intelligence, Tugas seorang guru selain mendidik siswa tentunya juga memiliki
self-regulation, guru standar target pencapaian kinerja yang diberikan oleh pihak sekolah.
Beratnya beban tugas tersebut membuat perlu adanya self-regulation
yang baik pada diri individu. Self-regulation berkaitan dengan
serangkaian tindakan perencanaan yang terarah dalam mewujudkan
pencapaian target yang dapat meningkatkan kinerja. Pelatihan ini
mengusung emotional intelligence sebagai variabel yang dapat
meningkatkan self-regulation pada guru sekolah dasar. Desain
penelitian ini adalah one group pre-posttest experimental design. Jumlah
peserta yang mengikuti pelatihan sebanyak 13 orang. Hasil dari
penelitian ini memperlihatkan bahwa terdapat korelasi yang positif
emotional intelligence dalam meningkatkan self-regulation pada guru
sekolah dasar.
____________________
1Korespondensi mengenai isi artikel dapat dilakukan melalui: dedinasruddin6@gmail.com
2Email: herruhva@staff.ubaya.ac.id
Copyright © 2022 Authors. This is an open-access article distributed under the terms of the Creative Commons 55
Attribution-ShareAlike 4.0 International License (http://creativecommons.org/licences/by-sa/4.0/)
Dedi Nasruddin & V. Heru Hariyanto
Sekolah merupakan tempat satuan Materi yang diajarkan oleh guru bukan
pendidikan yang berjenjang dan hanya mengenai hard skills. Tetapi juga soft
berkesinambungan untuk menyeleng- skills seperti cara bekerjasama, cara
garakan kegiatan belajar mengajar penyampaian pendapat, kepemimpinan, dan
(Republik Indonesia, 2012). Berdasarkan lain sebagainya termasuk pendidikan
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun karakter. Guru diharapkan mampu
2005 menyatakan bahwa semua sekolah di mengajarkan, mendidik dan memberikan
Indonesia diarahkan dapat role model kepada siswa. Akan tetapi jika
menyelenggarakan pendidikan yang guru sendiri tidak dapat mengatur diri
memenuhi standar nasional. Standar yang dengan baik secara personal (self-
telah ditetapkan harus bisa dipenuhi oleh regulation), maka guru akan kesulitan dalam
setiap sekolah, tanpa memandang lokasi menjalani tugas sebagai pengajar serta tidak
keberadaan sekolah tersebut. bisa menjadi role model yang baik. Dengan
Sekolah SDN X & Y RJ ini merupakan demikian, seorang guru penting menjadi
sekolah yang berada di daerah terpencil, self-regulation yang baik dalam menjalankan
jarak sekolah ke kota kabupaten yaitu 40 km tugas professional.
dengan jarak tempuh 1 jam 7 menit. Berdasarkan hasil wawancara dengan
Nugroho (2017) menyatakan bahwa salah orang tua murid dan beberapa murid SDN X
satu faktor yang menjadi hambatan dalam & Y RJ, terdapat beberapa permasalahan
penyelenggaraan sistem pendidikan adalah yang dialami sekolah seperti, banyak guru
lokasi sekolah di daerah terpencil. Sekolah yang masih mencampur antara aktivitas
SDN X & Y RJ masih memiliki banyak dinas dengan aktivitas pribadi. Misalnya
kekurangan termasuk dalam peningkatan guru sering bolos mengajar untuk
kompetensi tenaga pendidiknya. menghadiri kondangan atau acara keluarga
Kompetensi guru merupakan salah lainnya, sering terlambat, masih terdapat
satu hal penting dalam penyelenggaraan guru yang menggunakan hukuman secara
pendidikan termasuk guru SD. Guru SD fisik kepada siswa yang melakukan
memiliki peranan penting untuk kesalahan, serta masih terdapat guru yang
membangun karakter dasar seorang anak. menggunakan konotasi tata bahasa yang
Hal ini dikarenakan pendidikan karakter kurang etis seperti pemberian stigma bodoh.
diajarkan sejak dini di bangku sekolah dasar. Permasalahan yang dipaparkan tersebut
Tanggung jawab yang harus dijalani guru termasuk dalam dimensi impulse control.
selain mengajar adalah memantau Brown et al. (1999) menyatakan bahwa
keseharian anak dan mengevaluasi impulse control merupakan adanya
perencanaan serta hasil kegiatan belajar. kegagalan guru dalam mengontrol dorongan
Guru juga berperan sebagai pengajar dalam diri untuk bertindak yang sesuai
(menyampaikan materi pelajaran), penjaga aturan yang ada.
gawang (menyaring pengaruh negatif dari Aturan Permendiknas No 16 Tahun
lingkungan), katalisator (menggali dan 2007 dalam kompetensi kepribadian, guru
mengoptimalkan potensi anak), fasilitator diharapkan mampu bertindak sesuai dengan
(membantu proses pembelajaran dan norma agama, hukum, sosial dan
diskusi), dan penghubung (membantu anak kebudayaan nasional Indonesia. Adapun
dalam mendapatkan sumber-sumber dalam kompetensi sosial, guru diharapkan
informasi yang beragam dari berbagai mampu berkomunikasi secara efektif,
pihak) (Kemendikbud, 2018). empatik, dan santun dengan sesama
pendidik, tenaga kependidikan, orang tua
serta masyarakat. Selain itu, sekolah SDN X Guru di SDN X & Y RJ mash kurang
& Y RJ memiliki misi yaitu guru diharapkan aware dengan kendala yang dihadapi siswa.
bersikap disiplin waktu dan meningkatkan Jika ditinjau dari aturan Permendiknas No
etos kerja. 16 Tahun 2007 dalam kompetensi
Berdasarkan misi dari sekolah, guru pedagogik yang harus dimiliki guru yaitu
diharapkan mampu dalam bekerjasama dan guru memahami karakteristik peserta didik
menjalin komunikasi secara aktif dengan yang berkaitan dengan aspek fisik,
menjunjung tinggi semboyan Bugis yang intelektual, sosial-emosional, moral dan
diterapkan di sekolah. Semboyan tersebut latar belakang sosial budaya. Selain itu, juga
berbunyi “sipakatau (saling menghargai), terdapat guru yang merasa tidak memiliki
sipakalebbi (saling menghormati), kehidupan yang layak sebagai profesi guru
sipakainge (saling mengingatkan)”. dan guru kurang yakin dengan cara
Semboyan tersebut memiliki arti bahwa mengajarnya karena tidak mendapatkan
dapat saling menghargai, menghormati dan pelatihan peningkatan profesionalitas
mengingatkan antara satu sama lain. secara optimal.
Berdasarkan hasil wawancara yang Permasalahan yang dipaparkan
dilakukan di sekolah SDN X & Y RJ, terdapat tersebut termasuk dalam dimensi goal
beberapa guru yang merasa kurang adanya orientation. Terdapat orientasi harapan
kerjasama antara guru dalam memberikan yang berbeda dengan kenyataan, yang
pelayanan pada peserta didik, baik dalam hal menyebabkan kinerja guru menurun.
akademik maupun non akademik. Selain itu Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14
bahkan terdapat beberapa guru yang sering tahun 2005, merupakan kebijakan yang
bertengkar dalam lingkungan sekolah dan di mengatur tentang kesejahteraan guru dan
saksikan oleh siswa. Munculnya peningkatan kompetensi profesional.
permasalahan tersebut disebabkan karena Berdasarkan hasil observasi dan
adanya kelompok-kelompok guru di dalam wawancara dengan pihak sekolah, sekolah
sekolah tersebut berdasarkan hobi, usia, dan SDN X & Y RJ sering tidak melaksanakan
perbedaan tugas. Sekolah juga kurang program kerja arahan dinas dengan alasan
mengadakan kegiatan gathering untuk tidak ada evaluasi oleh pihak terkait.
meningkatkan keakraban dan perasaan Menurut pernyataan kepala sekolah
saling menghargai antara guru. terdapat beberapa guru yang terkadang
Permasalahan berikutnya berdasar ketika diberikan tanggung jawab tugas
kan hasil wawancara dengan orang tua dan tertentu dan mereka diminta melakukannya
guru, menyatakan bahwa guru kurang secara kreatif. Tugas tersebut sering tidak
koordinasi dengan orang tua siswa terkait dikerjakan dengan alasan guru tidak yakin
perkembangan peserta didik. Guru tidak dengan hasil kerjanya serta guru
pernah memberikan pelaporan terkait mengharuskan kepala sekolah memberikan
dengan perkembangan peserta didik kepada pendampingan secara langsung di lokasi
orang tua, dan bahkan terkadang guru tidak pada saat kerja. Selain itu, kepala sekolah
membagikan raport peserta didik kepada juga mengeluhkan bahwa ketika melakukan
orang tua siswa. Permasalahan yang perjalanan dinas maka kegiatan di sekolah
dipaparkan tersebut termasuk dalam terkadang tidak berjalan dengan maksimal
dimensi goal orientation. Brown et al. (1999) karena menurut guru mereka perlu
menyatakan bahwa goal orientation yang akomodasi setiap saat, bahkan hal ini juga
berarti adanya orientasi harapan yang berkaitan dengan pola kebersihan di
berbeda haluan, sehingga menciptakan sekolah.
hubungan yang kurang harmonis.
Test of
Tests of Test
Ranks Homogeneity of
Normality Statisticsa
Variances
Asymp.
Mean Sum of
Group N Sig. Sig. Sig. (2-
Rank Ranks
tailed)
Pretest 13 7.00 91.00 .105
.700 .000
Posttest 13 20.00 260.00 .015
Berdasarkan uji normalitas, diketahui sebab itu, uji beda dilakukan dengan
bahwa signifikansi data pascates bernilai menggunakan statistik non parametrik.
0.015. Nilai ini kurang dari 0.05 sehingga Pengujian hipotesis pertama dilakukan
menunjukkan bahwa persebaran data tidak secara non parametrik menggunakan Two-
normal. Di sisi lain, data prates memiliki Independent-Samples Tests dengan Mann-
persebaran yang normal karena memiliki Whitney U. Dari tabel 2 dapat diketahui
signifikansi yang lebih besar dari 0.05, yaitu bahwa ada perbedaan tingkat pengetahuan
0.105. Uji asumsi yang dilakukan yang signifikan sebelum dan sesudah
selanjutnya adalah uji homogenitas. diberikan pelatihan. Hal ini dapat dilihat dari
Berdasarkan perhitungan SPSS, tampak nilai signifikansi (Asymp. Sig. (2-tailed))
bahwa data pre-test dan post-test bersifat yang kurang dari .05 (Asymp. Sig = .000)
homogen dan memiliki varians yang sama didukung dengan perbedaan mean.
karena signifikansi Levene’s Test bernilai Berdasarkan hasil analisis data tersebut
lebih dari 0.05, yaitu 0.700. Meskipun data dapat disimpulkan bahwa hipotesis pertama
prates dan pascates bersifat homogen, diterima, yaitu ada perbedaan pengetahuan
distribusi data post-test tidak normal. Oleh secara signifikan sebelum dan sesudah
pelatihan dilakukan.
Self Emotional
Regulation Intelligence
Self Regulation Pearson 1 .533*
Correlation
Sig. (1-tailed) .030
N 13 13
Emotional Pearson .533* 1
Intelligence Correlation
Sig. (1-tailed) .030
N 13 13
*. Correlation is significant at the 0.05 level (1-tailed).
Berdasarkan hasil uji korelasi diatas, diterima, yaitu ada korelasi antara emotional
tampak nilai pearson correlation sebesar intelligence dan self-regulation pada
0,533 dan nilai signifikansi data sebesar pelatihan yang dilakukan.
0.030. Nilai pearson correlation tersebut
berada pada nilai sama dengan r tabel untuk PEMBAHASAN
14 subjek dan memiliki tanda satu bintang Berdasarkan uraian hasil pelatihan
(*) yang artinya terdapat korelasi antara di atas, dapat dilihat bahwa rata-rata nilai
variabel self-regulation dengan emotional skor pretest self-regulation peserta pelatihan
intelligence, serta nilai signifikansinya lebih sebesar 47,38 dan rata skor nilai pascates
kecil dari 0.05, nilai tersebut menunjukkan self-regulation sebesar 88,77. Dengan
bahwa ada korelasi yang signifikan antara melihat perbandingan nilai rata-rata pada
self-regulation dengan emotional intelligence seluruh peserta, maka dapat dinyatakan
pada pelatihan ‘MAMA Training’. Dapat bahwa peserta mengalami perubahan yang
disimpulkan bahwa hipotesis ketiga signifikan lebih baik setelah mengikuti
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, A. (2019). Management of teachers’ Kaur, I., Shri, C., & Mital, K. M. (2019). The
emotional intelligence in the role of emotional intelligence
industrial revolution 4.0 era. competencies in effective teaching
Proceedings of the 5th International and teacher’s performance in higher
Conference on Education and education. Higher Education for the
Technology (ICET 2019). Future, 6(2), 188–206.
https://doi.org/10.2991/icet- https://doi.org/10.1177/234763111
19.2019.35 9840542