Anda di halaman 1dari 62

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan peribadi

manusia. Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya

peribadi manusia menurut ukuran normatif. Menyadari akan hal tersebut,

pemerintah sangat serius menangani bidang pendidikan, sebab dengan

sistem pendidikan yang baik diharapkan muncul generasi penerus bangsa

yang berkualitas dan mampu menyesuaikan diri untuk hidup bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara.

Reformasi pendidikan merupakan respon terhadap perkembangan

tuntutan global sebagai suatu upaya untuk mengadaptasikan sistem

pendidikan yang mampu mengembangkan sumber daya manusia untuk

memenuhi tuntutan zaman yang sedang berkembang. Melalui reformasi

pendidikan, pendidikan harus berwawasan masa depan yang memberikan

jaminan bagi perwujudan hak-hak azasi manusia untuk mengembangkan

seluruh potensi dan prestasinya secara optimal guna kesejahteraan hidup di

masa depan.

Menurut Djamarah (2002: 73) guru adalah salah satu unsur manusia

dalam proses pendidikan. Dalam proses pendidikan di sekolah, guru

memegang tugas ganda yaitu sebagai pengajar dan pendidik. Sebagai

1
2

pengajar guru bertugas menuangkan sejumlah bahan pelajaran ke dalam

otak anak didik, sedangkan sebagai pendidik guru bertugas membimbing

dan membina anak didik agar menjadi manusia susila yang cakap, aktif,

kreatif, dan mandiri. Djamarah berpendapat bahwa baik mengajar maupun

mendidik merupakan tugas dan tanggung jawab guru sebagai tenaga

profesional. Oleh sebab itu, tugas yang berat dari seorang guru ini pada

dasarnya hanya dapat dilaksanakan oleh guru yang memiliki kompetensi

profesional yang tinggi. Guru memegang peranan sentral dalam proses

belajar mengajar, untuk itu mutu pendidikan di suatu sekolah sangat

ditentukan oleh kemampuan yang dimiliki seorang guru dalam menjalankan

tugasnya. Menurut Aqib (2002 : 22) guru adalah faktor penentu bagi

keberhasilan pendidikan di sekolah, karena guru merupakan sentral serta

sumber kegiatan belajar mengajar. Lebih lanjut dinyatakan bahwa guru

merupakan komponen yang berpengaruh dalam peningkatan mutu

pendidikan di sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan atau

kompetensi profesional dari seorang guru sangat menentukan mutu

pendidikan.

Bilamana seorang guru memiliki sikap positif terhadap pekerjaannya,

maka sudah barang tentu guru akan menjalankan fungsi dan kedudukannya

sebagai tenaga pengajar dan pendidik di sekolah dengan penuh rasa

tanggung jawab. Demikian pula sebaliknya seorang guru yang memiliki sikap

negatif terhadap pekerjaannya, pastilah dia hanya menjalankan fungsi dan


3

kedudukannya sebatas rutinitas belaka. Untuk itu amatlah perlu kiranya

ditanamkan sikap positif guru terhadap pekerjaan, mengingat peran guru

dalam lingkungan pendidikan dalam hal ini sekolah amatlah sentral. Sikap

guru dapat dilihat dalam bentuk persepsi dan kepuasannya terhadap

pekerjaan maupun dalam bentuk motivasi kerja yang ditampilkan. Guru yang

memiliki sikap positif terhadap pekerjaan, sudah barang tentu akan

menampilkan persepsi dan kepuasan yang baik terhadap pekerjaannya

maupun motivasi kerja yang tinggi, yang pada akhirnya akan mencerminkan

seorang guru yang mampu bekerja secara profesional dan memiliki

kompetensi profesional yang tinggi.

Sikap positif maupun negatif seorang guru terhadap pekerjaan

tergantung dari guru bersangkutan maupun kondisi lingkungan. Menurut

Walgito (2001 : 234) sikap yang ada pada diri seseorang dipengaruhi oleh

faktor internal, yaitu faktor fisiologis dan psikologis, serta faktor eksternal,

yaitu berupa situasi yang dihadapi individu, norma-norma, dan berbagai

hambatan maupun dorongan yang ada dalam masyarakat Sekolah sebagai

organisasi, di dalamnya terhimpun unsur-unsur yang masing-masing baik

secara perseorangan maupun kelompok melakukan hubungan kerja sama

untuk mencapai tujuan. Unsur-unsur yang dimaksud, tidak lain adalah

sumber daya manusia yang terdiri dari kepala sekolah, guru-guru, staf,

peserta didik atau siswa, dan orang tua siswa. Tanpa mengenyampingkan

peran dari unsur-unsur lain dari organisasi sekolah, kepala sekolah dan guru
4

merupakan personil intern yang sangat berperan penting dalam menentukan

keberhasilan pendidikan di sekolah. Keberhasilan suatu sekolah pada

hakikatnya terletak pada efisiensi dan efektivitas penampilan seorang kepala

sekolah.

Sedangkan Sekolah sebagai lembaga pendidikan bertugas

menyelenggarakan proses pendidikan dan proses belajar mengajar dalam

usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal ini kepala sekolah

sebagai seseorang yang diberi tugas untuk memimpin sekolah, kepala

sekolah bertanggung jawab atas tercapainya tujuan sekolah. Kepala sekolah

diharapkan menjadi pemimpin dan inovator di sekolah. Oleh sebab itu,

kualitas kepemimpinan kepala sekolah adalah signifikan bagi keberhasilan

sekolah. Wahjosumidjo (2002 : 349) mengemukakan bahwa: Penampilan

kepemimpinan kepala sekolah adalah prestasi atau sumbangan yang

diberikan oleh kepemimpinan seorang kepala sekolah, baik secara kualitatif

maupun kuantitatif yang terukur dalam rangka membantu tercapainya tujuan

sekolah. Penampilan kepemimpinan kepala sekolah ditentukan oleh faktor

kewibawaan, sifat dan keterampilan, perilaku maupun fleksibilitas pemimpin.

Menurut Wahjosumidjo (2002 : 341), agar fungsi kepemimpinan

kepala sekolah berhasil memberdayakan segala sumber daya sekolah untuk

mencapai tujuan sesuai dengan situasi, diperlukan seorang kepala sekolah

yang memiliki kemampuan profesional yaitu: kepribadian, keahlian dasar,

pengalaman, pelatihan dan pengetahuan profesional, serta kompetensi


5

administrasi dan pengawasan. Kemampuan profesional kepala sekolah

sebagai pemimpin pendidikan yaitu bertanggung jawab dalam menciptakan

suatu situasi belajar mengajar yang kondusif, sehingga guru-guru dapat

melaksanakan pembelajaran dengan baik dan peserta didik dapat belajar

dengan tenang. Disamping itu kepala sekolah dituntut untuk dapat bekerja

sama dengan bawahannya, dalam hal ini guru. Kepemimpinan kepala

sekolah yang terlalu berorientasi pada tugas pengadaan sarana dan

prasarana dan kurang memperhatikan guru dalam melakukan tindakan,

dapat menyebabkan guru sering melalaikan tugas sebagai pengajar dan

pembentuk nilai moral.

Kerja guru merupakan kumpulan dari berbagai tugas untuk mencapai

tujuan pendidikan. Kepuasan dalam menjalankan tugas merupakan aspek

penting bagi kinerja atau produktivitas seseorang, ini disebabkan sebagian

besar waktu guru digunakan untuk bekerja. Pada umumnya pekerjaan guru

dibagi dua yakni pekerjaan berhubungan dengan tugas-tugas mengajar,

mendidik dan tugas - tugas kemasyarakatan (sosial). Di lingkungan sekolah,

guru mengemban tugas sebagai pengajar dan pendidik. Sebagai pengajar,

guru memberikan pengetahuan (kognitif), sikap dan nilai (efektif), dan

keterampilan (psikomotorik), Guru memiliki tugas dan tanggung jawab moral

yang besar terhadap keberhasilan siswa, namun demikian guru bukanlah

satu-satunya faktor penunjang keberhasilan siswa. Faktor lain yang tidak

kalah penting adalah faktor perangkat kurikulum, faktor siswa sendiri, faktor
6

dukungan masyarakat, dan faktor orang tua, sementara sebagai pendidik,

guru harus mendidik para siswanya untuk menjadi manusia dewasa.

Masih rendahnya kinerja guru dilihat pada guru yang sering menunda-

nunda pekerjaannya tanpa alasan yang jelas, guru di tempatkan pada

jabatan yang tidak sesuai dengan kompetensinya, sehingga mengalami

ketidakmampuan dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya.

Disamping itu rata-rata guru mengajar tidak menggunakan RPP, waktu

mengajar tidak sesuai dengan jadwal pelajaran, dan belum menguasai

materi.

Rendahnya kinerja guru pada SD Negeri di Kecamatan Binuang

Kabupaten Polewali Mandar disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :

- Kepemimpinan kepala sekolah yang lemah

- Manajemen sarana prasarana yang kurang memadai

- Sikap guru yang belum sesuai harapan

- Budaya kerja guru yang rendah dan tidak optimal

- Kedisiplinan guru yang tidak maksimal

- Budaya organisasi yang lemah

Karena adanya keterbatasan waktu, dana, tenaga, maka dalam

penelitian ini penulis membatasi masalah yang diidentifikasi yang akan diteliti

mengenai kinerja guru yaitu kepemimpinan kepala sekolah, sikap guru dan

budaya organisasi pada SD Negeri di Kecamatan Binuang Kabupaten

Polewali Mandar.
7

B.Rumusan masalah

Perumusan masalah merupakan langkah yang paling penting dalam

penelitian ilmiah. Perumusan masalah berguna untuk mengatasi kerancuan

dalam pelaksanaan penelitian. Berdasarkan latar belakang masalah yang

dijadikan fokus penelitian, masalah pokok penelitian tersebut dirumuskan

sebagai berikut :

1. Apakah terdapat pengaruh signifikan kepemimpinan kepala sekolah

terhadap kinerja guru SD Negeri di Kecamatan Binuang Kabupaten

Polewali Mandar ?

2. Apakah terdapat pengaruh signifikan budaya organisasi terhadap

kinerja guru SD Negeri di Kecamatan Binuang Kabupaten Polewali

Mandar ?

3. Apakah terdapat pengaruh signifikan kepemimpinan kepala sekolah,

budaya organisasi secara bersama-sama (simultan) terhadap kinerja guru

SD Negeri di Kecamatan Binuang Kabupaten Polewali Mandar ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan kepala sekolah terhadap

kinerja guru SD Negeri di Kecamatan Binuang Kabupaten Polewali

Mandar .
8

2. Untuk mengetahui budaya organisasi terhadap kinerja guru SD Negeri di

Kecamatan Binuang Kabupaten Polewali Mandar .

3. Untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan kepala sekolah, budaya

organisasi secara bersama-sama (secara simultan) terhadap kinerja guru

SD Negeri di Kecamatan Binuang Kabupaten Polewali Mandar .

Sedangkan manfaat dari penelitian yaitu untuk meningkatkan kinerja

guru dengan melihatnya dari aspek kepemimpinan kepala sekolah dan sikap

guru. Untuk maksud tersebut, dicari hubungan antara kepemimpinan kepala

sekolah dengan kinerja guru dan hubungan antara sikap guru dengan kinerja

guru. Setelah itu dikaji bagaimana hubungan antara kepemimpinan kepala

sekolah dan sikap guru secara bersama-sama dengan kinerja guru. Dengan

mengetahui hubungan tersebut, hasil penelitian diharapkan berguna untuk

meningkatkan kinerja guru SD Negeri di Kecamatan Binuang Kabupaten

Polewali Mandar .
9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kepemimpinan.
2.1.1. Pengertian Kepemimpinan.
Kelangsungan hidup suatu organisasi dalam sejarah ternyata amat
dipengaruhi oleh para pemimpinnya, bahkan tiap-tiap zaman lebih terkenal nama
pemimpinnya dari pada organisasi atau negaranya seperti Napoleon Bonaparte,
Mahatma Gandhi, Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin. Kenyataan pula para
pemimpin dapat memengaruhi kepercayaan, kenyamanan, rasa aman, dan
terutama tingkat prestasi suatu organisasi (Handoko.,1984:24).
Lebih lanjut Davis (1986:58) mendefinisikan bahwa kepemimpinan adalah
kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dengan rasa bersemangat demi
tercapainya tujuan yang telah ditetapkan, kepemimipnan adalah faktor manusia
yang mengikat suatu kelompok dan mendorong mereka ke suatu tujuan. Hal ini
senada yang dikemukakan oleh Dessler (1997:142), yakni kepemimpinan adalah
menampakkan wujudnya apabila seseorang itu dapat mempengaruhi orang lainh
untuk suatu tujuan tertentu. Di lain pihak Locke dan Associates (1997:36)
mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu seni mempengaruhi orang lain untuk
mengarahkan keinginan mereka.
Kaitannya dengan organisasi, kepemimpinan terletak pada usaha
mempengaruhi seseorang dan kelompok untuk mencapai tujuan organisasi secara
optimal, proses membujuk orang lain untuk mengambil langkah menuju sasaran
bersama.
Kepemimpinan adalah sifat seseorang di dalam membimbing dan
mengarahkan seseorang untuk melaksanakan kegiatan secara ihklas ke arah

9
10

tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kaitannya dengan itu perlu
dikemukakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Davis ( 1986) yang menujukkan
ada empat sifat yang menyebabkan keberhasilan kepemimpinan seseorang yaitu:
(a) Intelligence, leader generally are slighty more intelegent then the
average of their followers, (b) social matury and breadth, leaders are
emotionally mature, capable of handling extrems situations, they are also
able to socialize well with others and have a reasonable self asserance and
self resfect, (c) inner motivation and achievement drives, leaders have a
strong drive to accomplish thing, (d) human relations attitude leaders know
they rely on people to get the work done, they therefore try develop social
understanding, they are employes-oriented

Keempat sifat kepemimpinan yang dikemukakan Devis merupakan


kelebihan-kelebihan yang harus di miliki oleh seorang pemimpin yang berhasil
seperti (1) intelegensi, (2) kematangan dan keluasan pandangan social, (3)
mempunyai motivasi dan keinginan berprestasi yang datang dari dalam, (4)
mempunyai kemampuan mengadakan hubungan antar manusia.

Pandangan yang senada juga dikemukakan oleh Ruslan dalam Marbun,


1980:25 ) yakni kepemimpinan harus memiliki kelebihan-kelebihan yang meliputi
(a) moral dan akhlak, (b) semangat, (c) ketajaman intelektual dan persepsi, (d)
ketekunan dan keuletan jasmani. Selanjutnya Bass (1990:152), menguraikan tentang
sifat seorang pemimpin dengan menyatakan bahwa pemimpin harus (a) tangguyh,
(b) mempunyai kapasitas bekerja jauh ke depan, (c) ketegu8han hati dalam bekerja.

2.1.2. Jenis-jenis Kepemimpinan.

A. Kepemimpinan Transformasional
Dalam dekade terakhir ini, manusia berada dalam lingkungan kehidupan
yang mengalami perubahan yang sangat drastic, globalisasi dengan perdagangan
bebasnya, pergerakan mata uang disetiap Negara, akibat berkecamutnya perang
11

yang mengakibatkan gelombang pengungsi, diikuti dengan kemajuan ilmu


pengetahuan dan teknologi menciptakan relaitas baru, yakni persaingan yang
semakin ketat di samping perubahan yang cepat penuh ketidakpastian. Menghadapi
hal seperti ini, menurut Kuhnert dalam Bass (1984: 36), menyatakan bahwa para
pemimpin perlu memikirkan kembali secara cermat dan tepat di dalam mengelola
sumber daya manusia, sumber daya non insane dan perusahaannya.
Implikasinya, muncul kebutuhan tentang model kepemimpinan baru untuk
menghadapi perubahan lingkungan yang terus berlangsung dengan cepat dan untuk
meningkatkan kapasitas sumber daya perusahaan, terutama sumber daya manusia.
Kondisi lingkungan bisnis tersembut menurut pemimpin memiliki kemampuan
mengembangkan secara berkesinambungan sumber daya manusia ke arah adaptif
dengan lingkungan bisnis yang dinamis dengan berbagai perubahan yang cepat.
Fandy Tjiptono (2000:52), mengatakan bahwa salah satu faktor situasional
yang akan semakin berpengaruh terhadap efektifitas kepemimpinan dalam dekade
mendatang adalah interaksi antara pribadi yang berbeda motivasi dan potensi
kekuasaan, termasuk didalamnya keterampilan, dalam rangka mencapai tujuan
bersama. Interaksi tersebut memiliki dua bertuk yaitu kepemimpinan transaksional
dan kepemimpinan transformasional Stonner, 1996; Yulk, (1998), Fandy Tjiptono,
2000:38).
Kepemimpinan Transasional memusatkan perhatian pada Interaksi
interpersional antara pemimpin dan karyawan yang melibatkan
hubungan pertukaran. Pertukaran tersebut didasarkan pada kesekapatan mengenai
tugas yang harus dilaksanakan dan perhargaan atas kinerja. Ada dua karakteristik
utama tipe ini yakni : pertama, pemimpin menggunakan serangkaian penghargaan
untuk memotivasi para karyawan, Kedua : permimpin hanya melakukan tindakan
koreksi
12

apabila bawahannya gagal mencapai sasaran kinerja yang ditetapkan. Dengan


demikian kepemimpinan transaksional mengarahkan apa upaya mempertahankan
atau melanjutkan status quo.

Sedangkan dengan kepemimpinan transformasional, pemimpin menciptakan


visi dan lingkungan yamg memotivasi para karyawan untuk berprestasi melampaui
harapan. Dalam hal ini para karyawan merasa percaya, kagum, loyal dan, hormat
pada pemimpinnya sehingga mereka temotivasi untuk melakukan lebih apa yang
mereka harapkan dari mereka. Bahkan mereka tidak jarang melampaui apa yang
diperkirakan dapat mereka lakukan. Model kepemimpinan yang berkembangan
pesat dalam dua dekade terakhir ini didasarkan lebih pada upaya pemimpin untuk
mengubah berbagai nilai, keyakinan, dan kebutuhan para bawahannya.
Fandy Tjiptono (2000:53), mengatakan bahwa kepemimpinan
transformasional adalah kepemimpinan yang mencakup perubahan organisasi.
Sedangkan Bass (1985) kepemimpinan transformasional didefenisikan sebagai
seseorang yang memotivasi pengikutnya agar mampu melakukan sesuatu yang
lebih dari yang mereka harapkan.

2.1.3. Kerakteristik kepemimpinan transformasional


Menurut Bass dan Avolio (1994:190), seorang pemimpin dapat
mentransformasikan melalui epmpat cara, yakni :
a. Idealized Influence, kepemimpinan transformasional memberikan contoh
dam bertindak sebagai role model dalam perilaku,sikap, maupun komitmen
bagi bawahannya, menanggung resiko bersama, tidak mempergunakan
kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, memberi visi dan sense of
mission, dan manamkan rasa bengga akan menaruh respek, rasa kagum dan
percaya pada pemimpinannya, sehingga mereka berkeinginan untuk
13

melakukan hal yang sama sebagaimana yang dilakukan sang pemimpin. Hal
ini sangat besar manfaatnya dalam hal adaptasi terhadap perubahan,
terutama yang bersifat radikal dan fundamental.
b. Intelectuall stimulation, pemimpinan transformasional berupaya
menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan inovasi dan kreativitas.
Perbedaan pendapat dipandang sebagai hal yang lumrah terjadi. Pemimpin
mendorong para bawahnnya untuk memunculkan ide-ide yang baru dan
solusi yang kreatif atas masalah yang dihadapi. Untuk itu bawannya
dilibatkan dalam proses perumusan masalah dan pencarian solusi.
c. Inspirational motivation, pemimpinan transformasional memotivasi dan
mengispirasi bawahannya dengan jalan mengkomunikasi ekspektasi secara
jalas, menggunakan berbagai simbol untuk mengfokuskan usaha atau
tindakan dan mengekspektasikan tujuan yang penting dengan cara-cara
sederhana.
d. Individualized consideration, pemimpin trasformasional memberikan
perhatian khusus terhadap setiap kebutuhan individual untuk berprastasi
dan berkembang, dengan jalan bertindak sebagai pelatih atau penasehat
malalui interaksi personal, diharapkan prestasi karyawan dapat semakin
meningkat.

Mengenai karakteristik pemimpin trasfomasional, setelah melakukan studi


empiris terhadap para pemimpin korporat, maka tichi dan devana dalam Luthans,
(1995:135) mengidentifikasi tujuan karakteristik pemimpin trasformasional, yakni:
(a). maka mengidentifikasi diri mereka sebagai agen perubahan, (b).mereka berani
dan teguh, (c). mereka percaya pada orang lain, (d). mereka value- driven,
(e). mereka pembelajar seumur hidup, (f). mereka mempunyai kemampuan untuk
menghadapi kompleksitas, kemenduaan, ketidak pastian, (g). mereka visioner.
14

Kepemimpinan adalah satu kekuatan penting dalam rangka pengelolaan,


oleh sebab itu kemampuan pemimpin secara efektif merupakan kunci untuk
menjadi seorang manajer yang efektif. Jadi esensi kepemimpinan adalah
kepengikutan (followrship), kemauan orang lain atau bawahan untuk mengikuti
keinginan pemimpin, itulah yang menyebabkan seseorang menjadi pemimpin.
Dengan kata lain, pemimpin tidak akan terbentuk apabila tidak ada pengikut,
sebagaimana pada uraian Koontz yang mengatakan bahwa kepala sekolah sebagai
seorang pemimpin harus mampu:
a. Mendorong timbulnya kemauan kuat dengan penuh semangat dan percaya diri
para guru, staf pegawai dan peserta didik dalam melaksanakan tugas masing-
masing.
b. Memberikan bimbingan dan mengarahkan guru, staf pegawai dan peserta didik
yang akan memberikan dorongan memacu diri dan berdiri di depan demi
kemajuan serta memberikan inspirasi sekolah dalam mencapai tujuan.

Selanjutnya Koontz memberikan definisi fungsi kepemimpinan sebagai berikut:

The function of leradership, therefore, is to induce or persuade all subordinates of


followers to contribute willingly to organizational goals in accordance with their
maximum capability ( Koontz: 1980. 662)
Mengacuh pada definisi tersebut, para bawahan dengan penuh kemauan serta sesuai
dengan kemampuan secara maksimal berhasil mencapai tujuan organisasi, pemimpin
harus mampu membujuk (toinduce) dan meyakinkan (persuade) bawahan.
15

2.1.4. Kepemimpinan Kepala Sekolah

a. Kepala Sekolah

Sekolah adalah lembaga yang bersifat kompleks dan unik. Bersifat

kompleks karena sekolah sebagai organisasi di dalamnya terdapat berbagai

dimensi yang satu sama lain saling berkaitan dan saling menentukan.

Sedang bersifat unik karena sekolah memiliki karakter tersendiri, dimana

terjadi proses belajar mengajar, tempat terselenggaranya pembudayaan

kehidupan manusia. Karena sifatnya yang kompleks dan unik tersebut,

sekolah sebagai organisasi memerlukan tingkat koordinasi yang tinggi.

“Keberhasilan sekolah adalah keberhasilan kepala sekolah.” (Wahyusumidjo,

2002 : 349)

Sedangkan Lipharn (1985 : 1) mengemukakan kata “kepala sekolah”

tersusun dari dua kata yaitu “kepala” yang dapat diartikan ketua atau

pemimpin dalam suatu organisasi atau sebuah lembaga, dan “sekolah” yaitu

sebuah lembaga di mana menjadi tempat menerima dan memberi pelajaran.

Secara sederhana kepala sekolah dapat didefinisikan sebagai seseorang

tenaga fungsional guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu sekolah

dimana diselenggarakan proses belajar mengajar, atau tempat di mana

terjadinya interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang

menerima pelajaran. Kepala sekolah dilukiskan sebagai orang yang memiliki

harapan tinggi bagi para staf dan para siswa. “Kepala sekolah adalah
16

mereka yang banyak mengetahui tugas-tugas mereka dan mereka yang

menentukan irama bagi sekolah mereka”.

Rumusan tersebut menunjukkan pentingnya peranan kepala sekolah

dalam menggerakkan kehidupan sekolah guna mencapai tujuan. Studi

keberhasilan kepala sekolah menunjukkan bahwa kepala sekolah adalah

seseorang yang menentukan titik pusat dan irama suatu sekolah. Kepala

sekolah yang berhasil adalah kepala sekolah yang memahami keberadaan

sekolah sebagai organisasi kompleks yang unik, serta mampu melaksanakan

perannya dalam memimpin sekolah.

b. Kepemimpinan

1) Hakikat Kepemimpinan

Makna kata “kepemimpinan” erat kaitannya dengan makna kata

“memimpin”. Kata memimpin mengandung makna yaitu kemampuan untuk

menggerakkan segala sumber yang ada pada suatu organisasi sehingga

dapat didayagunakan secara maksimal untuk mencapai tujuan yang

ditetapkan.

Menurut Wahjosumidjo (2002:82), dalam praktek organisasi, kata

“memimpin” mengandung konotasi menggerakkan, mengarahkan,

membimbing, melindungi, membina, memberikan teladan, memberikan

dorongan, memberikan bantuan, dan sebagainya. Betapa banyak variabel

arti yang terkandung dalam kata memimpin, memberikan indikasi betapa

luas tugas dan peranan seorang pemimpin organisasi. “Kepemimpinan”


17

biasanya didefinisikan oleh para ahli menurut pandangan pribadi mereka,

serta aspek-aspek fenomena dari kepentingan yang paling baik bagi pakar

yang bersangkutan.

Yukl (1981 : 2-5) mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu sifat,

perilaku pribadi, pengaruh terhadap orang lain, pola-pola interaksi, hubungan

kerjasama antar peran, kedudukan dari suatu jabatan administratif, dan

persepsi dari lain-lain tentang legitimasi pengaruh. Sementara itu, Nawawi

(1987:81) mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan

menggerakkan, memberikan motivasi, dan mempengaruhi orang-orang agar

bersedia melakukan tindakan-tindakan yang terarah pada pencapaian tujuan

melalui keberanian mengambil keputusan tentang kegiatan yang harus

dilakukan. Guna lebih memahami makna dari kepemimpinan, berikut

dikemukakan beberapa teori mengenai pengertian dan definisi tentang

kepemimpinan:

a) Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok

ke arah tercapainya tujuan.

b) Kepemimpinan adalah sekumpulan dari serangkaian kemampuan dan

sifat-sifat kepribadian, termasuk didalamnya kewibawaan untuk dijadikan

sebagai sarana dalam rangka meyakinkan kepada yang dipimpinnya,

agar mau melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya

dengan rela, dan penuh semangat.


18

c) Kepemimpinan adalah proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas

yang berkaitan dengan pekerjaan dari anggota kelompok.

d) Kepemimpinan adalah tindakan atau tingkah laku individu dan kelompok

yang menyebabkan individu dan juga kelompok-kelompok itu untuk

bergerak maju, guna mencapai tujuan pendidikan yang semakin bisa

diterima oleh masing- masing pihak.

e) Kepemimpinan adalah proses pemimpin menciptakan visi, mempengaruhi

sikap, perilaku, pendapat, nilai-nilai, norma dan sebagainya dari pengikut

untuk merealisir visi.

Dari definisi-definisi kepemimpinan yang berbeda-beda tersebut, pada

dasarnya mengandung kesamaan asumsi yang bersifat umum seperti: (1) di

dalam satu fenomena kelompok melibatkan interaksi antara dua orang atau

lebih, (2) di dalam melibatkan proses mempengaruhi, dimana pengaruh yang

sengaja (intentional influence) digunakan oleh pemimpin terhadap bawahan.

Disamping kesamaan asumsi yang umum, di dalam definisi tersebut juga

memiliki perbedaan yang bersifat umum pula seperti: (1) siapa yang

mempergunakan pengaruh, (2) tujuan daripada usaha untuk mempengaruhi,

dan (3) cara pengaruh itu digunakan

Berdasarkan uraian tentang definisi kepemimpinan di atas, terlihat

bahwa unsur kunci kepemimpinan adalah pengaruh yang dimiliki seseorang

dan pada gilirannya akibat pengaruh itu bagi orang yang hendak

dipengaruhi. Peranan penting dalam kepemimpinan adalah upaya seseorang


19

yang memainkan peran sebagai pemimpin guna mempengaruhi orang lain

dalam organisasi/lembaga tertentu untuk mencapai tujuan. Menurut Wirawan

(2002 : 18), “mempengaruhi” adalah proses dimana orang yang

mempengaruhi berusaha merubah sikap, perilaku, nilai-nilai, norma-norma,

kepercayaan, pikiran, dan tujuan orang yang dipengaruhi secara sistematis.

Bertolak dari pengertian kepemimpinan, terdapat tiga unsur yang

saling berkaitan, yaitu unsur manusia, sarana, dan tujuan. Untuk dapat

memperlakukan ketiga unsur tersebut secara seimbang, seorang pemimpin

harus memiliki pengetahuan, kecakapan dan keterampilan yang diperlukan

dalam melaksanakan kepemimpinannya. Pengetahuan dan keterampilan ini

dapat diperoleh dari pengalaman belajar secara teori ataupun dari

pengalamannya dalam praktek selama menjadi pemimpin. Namun secara

tidak disadari seorang pemimpin dalam memperlakukan kepemimpinannya

menurut caranya sendiri, dan cara-cara yang digunakan itu merupakan

pencerminan dari sifat-sifat dasar kepemimpinannya.

2) Pendekatan Studi Kepemimpinan

Fiedler dan Charmer (1974:73), dalam kata pengantar bukunya yang

berjudul Leadership and Effecctive Management, mengemukakan bahwa

persoalan utama kepemimpinan dapat dibagi ke dalam tiga masalah pokok,

yaitu: (1) bagaimana seseorang dapat menjadi seorang pemimpin, (2)

bagaimana para pemimpin itu berperilaku, dan (3) apa yang membuat

pemimpin itu berhasil.


20

Sehubungan dengan masalah di atas, studi kepemimpinan yang terdiri

dari berbagai macam pendekatan pada hakikatnya merupakan usaha untuk

menjawab atau memberikan pemecahan persoalan yang terkandung di

dalam ketiga permasalahan tersebut. Hampir seluruh penelitian

kepemimpinan dapat dikelompokkan ke dalam empat macam pendekatan,

yaitu pendekatan pengaruh kewibawaan, sifat, perilaku dan situasional.

(Widjosumidjo, 2002 : 30)

Berikut uraian ke empat macam pendekatan tersebut :

a) Pendekatan pengaruh kewibawaan (power influence approach)

Menurut pendekatan ini, keberhasilan pemimpin dipandang dari segi

sumber dan terjadinya sejumlah kewibawaan yang ada pada para

pemimpin, dan dengan cara yang bagaimana para pemimpin

menggunakan kewibawaan tersebut kepada bawahan. Pendekatan ini

menekankan proses saling mempengaruhi, sifat timbal balik dan

pentingnya pertukaran hubungan kerjasama antara para pemimpin

dengan bawahan. French dan Raven dalam Wahjosumidjo (2002 : 21)

mengemukakan bahwa: Berdasarkan hasil penelitian terdapat

pengelompokan sumber dari mana kewibawaan tersebut berasal, yaitu:

(1) Legitimate power: bawahan melakukan sesuatu karena pemimpin

memiliki kekuasaan untuk meminta bawahan dan bawahan mempunyai

kewajiban untuk menuruti atau mematuhinya, (2) Coersive power:

bawahan mengerjakan sesuatu agar dapat terhindar dari hukuman yang


21

dimiliki oleh pemimpin, (3) Reward power: bawahan mengerjakan sesuatu

agar memperoleh penghargaan yang dimiliki oleh pemimpin, (4) Referent

power: bawahan melakukan sesuatu karena bawahan merasa kagum

terhadap pemimpin, bawahan merasa kagum atau membutuhkan untuk

menerima restu pemimpin, dan mau berperilaku pula seperti pemimpin,

dan (5) Expert power: bawahan mengerjakan sesuatu karena bawahan

percaya pemimpin memiliki pengetahuan khusus dan keahlian serta

mengetahui apa yang diperlukan. Kewibawaan merupakan keunggulan,

kelebihan atau pengaruh yang dimiliki oleh kepala sekolah. Kewibawaan

kepala sekolah dapat mempengaruhi bawahan, bahkan menggerakkan,

memberdayakan segala sumber daya sekolah untuk mencapai tujuan

sekolah sesuai dengan keinginan kepala sekolah. Berdasarkan

pendekatan pengaruh kewibawaan, seorang kepala sekolah

dimungkinkan untuk menggunakan pengaruh yang dimilikinya dalam

membina, memberdayakan, dan memberi teladan terhadap guru sebagai

bawahan. Legitimate dan coersive power memungkinkan kepala sekolah

dapat melakukan pembinaan terhadap guru, sebab dengan kekuasaan

dalam memerintah dan memberi hukuman, pembinaan terhadap guru

akan lebih mudah dilakukan. Sementara itu dengan reward power

memungkinkan kepala sekolah memberdayakan guru secara optimal,

sebab penghargaan yang layak dari kepala sekolah merupakan motivasi

berharga bagi guru untuk menampilkan performan terbaiknya.


22

Selanjutnya dengan referent dan expert power, keahlian dan perilaku

kepala sekolah yang diimplementasikan dalam bentuk rutinitas kerja,

diharapkan mampu meningkatkan motivasi kerja para guru.

b) Pendekatan sifat (the trait approach)

Pendekatan ini menekankan pada kualitas pemimpin. Keberhasilan

pemimpin ditandai oleh daya kecakapan luar biasa yang dimiliki oleh

pemimpin, seperti tidak kenal lelah, intuisi yang tajam, wawasan masa

depan yang luas, dan kecakapan meyakinkan yang sangat menarik.

Menurut pendekatan sifat, seseorang menjadi pemimpin karena sifat-

sifatnya yang dibawa sejak lahir, bukan karena dibuat atau dilatih. Seperti

dikatakan oleh Thierauf dalam Purwanto (1997 : 31): “ The hereditery

approach states that leaders are born and note made- that leaders do not

acqueire the ability to lead, but inherit it“ yang artinya pemimpin adalah

dilahirkan bukan dibuat bahwa pemimpin tidak dapat memperoleh

kemampuan untuk memimpin, tetapi mewarisinya. Selanjutnya Stogdill

dalam Sutisna (1985 : 258), mengemukakan bahwa seseorang tidak

menjadi pemimpin dikarenakan memiliki suatu kombinasi sifat-sifat

kepribadian, tapi pola sifat-sifat pribadi pemimpin itu mesti menunjukan

hubungan tertentu dengan sifat, kegiatan, dan tujuan dari pada

pengikutnya.

Berdasarkan pendekatan sifat, keberhasilan seorang pemimpin tidak

hanya dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadi, melainkan ditentukan pula oleh


23

keterampilan (skill) pribadi pemimpin. Hal ini sejalan dengan pendapat

Yukl yang menyatakan bahwa sifat-sifat pribadi dan keterampilan

seseorang pimpinan berperan dalam keberhasilan seorang pemimpin.

c) Pendekatan perilaku (the behavior approach)

“Pendekatan perilaku” merupakan pendekatan yang berdasarkan

pemikiran bahwa keberhasilan atau kegagalan pemimpin ditentukan oleh

sikap dan gaya kepemimpinan yang dilakukan oleh pemimpin dalam

kegiatannya sehari-hari dalam hal: bagaimana cara memberi perintah,

membagi tugas dan wewenang, cara berkomunikasi, cara mendorong

semangat kerja bawahan, cara memberi bimbingan dan pengawasan,

cara membina disiplin kerja bawahan, dan cara mengambil keputusan.

Pendekatan perilaku menekankan pentingnya perilaku yang dapat

diamati yang dilakukan oleh para pemimpin dari sifat pribadi atau sumber

kewibawaan yang dimilikinya.

Oleh sebab itu pendekatan perilaku itu mempergunakan acuan sifat

pribadi dan kewibawaan. Kemampuan perilaku secara konsepsional telah

berkembang kedalam berbagai macam cara dan berbagai macam

tingkatan abstraksi. Perilaku seorang pemimpin digambarkan kedalam

istilah “pola aktivitas“, “peranan manajerial“ atau “kategori perilaku“.

d) Pendekatan situasional (situational approach) Pendekatan situasional

menekankan pada ciri-ciri pribadi pemimpin dan situasi, mengemukakan

dan mencoba untuk mengukur atau memperkirakan ciri-ciri pribadi ini,


24

dan membantu pimpinan dengan garis pedoman perilaku yang

bermanfaat yang didasarkan kepada kombinasi dari kemungkinan yang

bersifat kepribadian dan situasional. Pendekatan situasional atau

pendekatan kontingensi merupakan suatu teori yang berusaha mencari

jalan tengah antara pandangan yang mengatakan adanya asas-asas

organisasi dan manajemen yang bersifat universal, dan pandangan yang

berpendapat bahwa tiap organisasi adalah unik dan memiliki situasi yang

berbeda-beda sehingga harus dihadapi dengan gaya kepemimpinan

tertentu. Pendekatan situasional bukan hanya merupakan hal yang

penting bagi kompleksitas yang bersifat interaktif dan fenomena

kepemimpinan, tetapi membantu pula cara pemimpin yang potensial

dengan konsep-konsep yang berguna untuk menilai situasi yang

bermacam-macam dan untuk menunjukkan perilaku kepemimpinan yang

tepat berdasarkan situasi. Peranan pemimpin harus dipertimbangkan

dalam hubungan dengan situasi dimana peranan itu dilaksanakan.

Pendekatan situasional dalam kepemimpinan mengatakan bahwa

kepemimpinan ditentukan tidak oleh sifat kepribadian individu-individu,

melainkan oleh persyaratan situasi sosial.

Dalam kaitan ini Sutisna (1985:260) menyatakan bahwa

“kepemimpinan” adalah hasil dari hubungan-hubungan dalam situasi

sosial, dan dalam situasi berbeda para pemimpin memperlihatkan sifat

kepribadian yang berlainan. Jadi, pemimpin dalam situasi yang satu


25

mungkin tidak sama dengan tipe pemimpin dalam situasi yang lain

dimana keadaan dan faktor-faktor sosial berbeda. Lebih lanjut Yukl

(2000 : 11) menjelaskan bahwa pendekatan situasional menekankan

pada pentingnya faktor-faktor kontekstual seperti sifat pekerjaan yang

dilaksanakan oleh unit pimpinan, sifat lingkungan eksternal, dan

karakteristik para pengikut. Sementara Fattah (2001 : 9) berpandangan

bahwa keefektifan kepemimpinan bergantung pada kecocokan antara

pribadi, tugas, kekuasaan, sikap dan persepsi.

3) Fungsi Kepemimpinan

Menurut Ardi, (2003 ; 20 fungsi kepemimpinan adalah bagian dari

tugas utama yang harus dilaksanakan. Masih menurut Ardi, fungsi-fungsi

kepemimpinan yaitu: membantu terciptanya suasana persaudaraan, dan

kerjasama dengan penuh rasa kebebasan, membantu kelompok untuk

mengorganisasikan diri yaitu ikut memberikan rangsangan dan bantuan

kepada kelompok dalam menetapkan tujuan, membantu kelompok dalam

menetapkan proses kerja, bertanggung jawab dalam mengambil keputusan

bersama dengan kelompok, dan terakhir bertanggung jawab dalam

mengembangkan dan mempertahankan eksistensi organisasi.

Sementara itu Wahjosumidjo (2002 : 15) mengemukakan fungsi-fungsi

kepemimpinan yaitu: membangkitkan kepercayaan dan loyalitas bawahan,

mengkomunikasikan gagasan kepada orang lain, dengan berbagai cara

mempengaruhi orang lain, menciptakan perubahan secara efektif di dalam


26

penampilan kelompok, dan menggerakkan orang lain, sehingga secara sadar

orang lain tersebut mau melakukan apa yang dikehendaki.

4) Syarat-syarat Pemimpin

Kunci keberhasilan suatu sekolah pada hakikatnya terletak pada

efisiensi dan efektivitas penampilan pemimpinnya, dalam hal ini kepala

sekolah. Kepala sekolah dituntut memiliki persyaratan kualitas

kepemimpinan yang kuat, sebab keberhasilan sekolah hanya dapat dicapai

melalui kepemimpinan kepala sekolah yang berkualitas. Kepala sekolah

yang berkualitas yaitu kepala sekolah yang memiliki kemampuan dasar,

kualifikasi pribadi, serta pengetahuan dan keterampilan profesional.. Menurut

Tracey (1974 : 53-55), keahlian atau kemampuan dasar, yaitu sekelompok

kemampuan yang harus dimiliki oleh tingkat pemimpin apapun, yang

mencakup: conceptual skills, human skill dan technical skills.

Berikut uraian kemampuan dasar yang dikemukakan oleh Tracey.

a) Technical skills, yaitu: kecakapan spesifik tentang proses, prosedur atau

teknik-teknik, atau merupakan kecakapan khusus dalam menganalisis

hal-hal khusus dan penggunaan fasilitas, peralatan, serta teknik

pengetahuan yang spesifik.

b) Human skills, yaitu: kecakapan pemimpin untuk bekerja secara efektif

sebagai anggota kelompok dan untuk menciptakan usaha kerjasama di

lingkungan kelompok yang dipimpinnya.


27

c) Conceptual skills, yaitu kemampuan seorang pemimpin melihat

organisasi sebagai satu keseluruhan.

Kualifikasi pribadi yaitu serangkaian sifat atau watak yang harus

dimiliki oleh setiap pemimpin termasuk kepala sekolah. Dengan kata lain

seorang pemimpin yang diharapkan berhasil dalam melaksanakan tugas-

tugas kepemimpinan harus didukung oleh mental, fisik, emosi, watak sosial,

sikap, etika, dan kepribadian yang baik. Seorang pemimpin harus pula

memiliki pengetahuan dan keterampilan profesional. Pengetahuan

profesional meliputi: (1) pengetahuan terhadap tugas, dimana seorang

pemimpin atau kepala sekolah harus mampu secara menyeluruh mengetahui

banyak tentang lingkungan organisasi atau sekolah dimana organisasi atau

sekolah tersebut berada, (2) seorang pemimpin atau kepala sekolah harus

memahami hubungan kerja antar berbagai unit, pendelegasian wewenang,

sikap bawahan, serta bakat dan kekurangan dari bawahan, (3) seorang

pemimpin harus tahu wawasan organisasi dan kebijaksanaan khusus,

perundang-undangan dan prosedur, (4) seorang pemimpin harus memiliki

satu perasaan rill untuk semangat dan suasana aktivitas diri orang lain dan

staf yang harus dihadapi, (5) seorang pemimpin harus mengetahui layout

secara fisik bangunan, kondisi operasional, berbagai macam keganjilan dan

problema yang biasa terjadi, dan (6) seorang pemimpin harus mengetahui

pelayanan yang tersedia untuk dirinya dan bawahan, serta kontrol yang

dipakai oleh manajemen tingkat yang lebih tinggi. Sedangkan keterampilan


28

profesional, meliputi: (1) mampu berfungsi sebagai seorang pendidik, (2)

mampu menampilkan analisis tinggi untuk mengumpulkan, mencatat dan

menguraikan tugas pekerjaan, (3) mampu mengembangkan sylabus

rangkaian mata pelajaran dan program-program pengajaran, (4) mampu

menjadi mahkota dari berbagai macam teknik mengajar, (5) mampu

merencanakan dan melaksanakan penelitian dalam pendidikan dan

mempergunakan temuan riset, (6) mampu mengadakan supervisi dan

evaluasi pengajaran, fasilitas, kelengkapan, dan materi pelajaran, (7)

mengetahui kejadian di luar sekolah yang berhubungan dengan paket dan

pelayanan pendidikan, dan (8) mampu menjadi pemimpin yang baik dan

komunikator yang efektif.

Berkaitan dengan uraian di atas, Suradinata (1979 : 79) menyatakan

bahwa: Pemimpin suatu organisasi yang sukses harus memiliki beberapa

syarat yaitu: (1) mempunyai kecerdasan yang lebih, untuk memikirkan dan

memecahkan setiap persoalan yang timbul dengan tepat dan bijaksana, (2)

mempunyai emosi yang stabil, tidak mudah diombang ambing oleh suasana

yang berganti, dan dapat memisahkan persoalan pribadi, rumah tangga, dan

organisasi, (3) mempunyai keahlian dalam menghadapi manusia serta bisa

membuat bawahan menjadi senang dan merasa puas, (4) mempunyai

keahlian untuk mengorganisir dan menggerakkan bawahannya dengan

kebijaksanaan dalam mewujudkan tujuan organisasi, umpamanya tahapan

bila dan kepada siapa mereka bertanggung jawab.


29

2.2. Budaya Organisasi

Budaya terkenal sebagai konsep yang sulit untuk dirumuskan. Krober

& Kluckholn dalam Nicholson (1997:49) mengidenifikasikan 164 definisi yang

berbeda mengenai budaya. Sedang Hofstede (1983:324) mendefinisikan

budaya sebagai “Pemrograman Mental Kolektif” orang- orang dalam suatu

lingkungan.

William M. Mercer (dalam Desseler 1996:421) merumuskan budaya

organisasi sebagai : Suatu ekspresi kombinasi pengaruh dari keyakinan

dasar organisasi, nilai-nilai harapan dan pola tindakan tertentu. Menurut

Goldtein (1997:36), budaya organisasi adalah Totalitas pola perilaku dan

karakteristik pola pemikiran dari karyawan suatu organisasi, keyakinan,

pelayanan, perilaku dan tindakan dari karyawan.

Dan menurut Egan (1994:184), perilaku kepemimpinan termasuk

dalam budaya organisasi, salah satu elemen budaya organisasi adalah

kinerja karyawan yang menonjol dianggap penting dalam organisasi tersebut

simmons (1996: 37). Untuk menjelaskan suatu mekanisme yang

mengintegrasikan individu dalam suatu organisasi, Ouchi dan Price

(1978:35), menggunakan istilah filsafat organisasi yang sama dengan

budaya organisasi. Griffin & Ebert (1989:245) dalam Nimran (1997:81)

menyebutkan budaya organisasi sebagai pengalaman, sejarah, keyakinan

dan norma- norma bersama yang menjadi ciri organisasi.


30

Dari semua definisi diatas, satu yang dikenal secara umum dapat

ditetapkan bahwa budaya berkaitan dengan Makna bersama, nilai, sikap dan

keyakinan. (Nicholson 1997). Dapat dikatakan bahwa jantung dari suatu

organisasi adalah sikap, keyakinan, kebiasaan dan harapan dari seluruh

individu anggota organisasi mulai dari pucuk pimpinan sampai ke front lines

(Juechter 1998), sehingga tidak ada aktifitas yang dapat melepaskan diri dari

budaya (Hofstede 1984:162).

Bila kita mengatakan bahwa suatu kelompok, organisasi atau negara

mempunyai karakteristik budaya tertentu, bukan berarti bahwa semua orang

dari kelompok, organisasi atau negara tersebut mempunyai budaya yang

seragam. Orang dalam suatu budaya tidak semuanya mempunyai susunan

yang identik mengenai artifak, norma, nilai dan asumsi. Menurut

Trompenarars (1995:261), dalam setiap budaya ada satu sisi yang

menyebar. Penyebaran ini mempunyai pola disekitar suatu rata-rata,

sehingga variasi disekitar norma tampak sebagai suatu distribusi normal.

a. Tingkatan Budaya

Dalam mempelajari budaya organisasi dapat dikelompokkan dalam

empat pendekatan Robert & Hunt, (1994: 439) yaitu : beberapa sarjana

memandangnya sebagai asumsi bersama, keyakinan dan nilai-nilai dalam

organisasi dan kelompok kerja. Kelompok kedua tertarik mengenai mitos,

cerita dan bahasa sebagai manifestasi budaya. Perspektif ketiga

memandang tatacara dan seremonial sebagai manifestasi budaya. Dan


31

kelompok keempat mempelajari interaksi antar anggota dan simbul-simbul,

sedangkan Schein dalam Hatch (1997:211) menyatakan bahwa budaya

organisasi ditemukan dalam tiga tingkatan yaitu :

1. Artifak, dimana budaya bersifat kasat mata tetapi seringkali tidak dapat

diartikan, misalnya lingkungan fisik organisasi, teknologi, cara berpakaian

dll. Analisa pada tingkat ini cukup rumit karena mudah diperoleh tetapi

sulit ditafsirkan.

2. Nilai, yang memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi daripada artifak.

Nilai ini sulit diamati secara langsung, oleh karenanya seringkali perlu

untuk menyimpulkan melalui wawancara dengan anggota kunci

organisasi atau menganalisa kandungan artifak seperti dokumen.

3. Asumsi dasar, merupakan bagian penting dari budaya organisasi. Asumsi

ini merupakan reaksi yang dipelajari yang bermula sebagai nilai-nilai yang

didukung. Bila assumsi dengan nilai terletak pada apakah nilai-nilai

tesebut masih diperdebatkan dan diterima apa adanya atau tidak.

Mengacu pada tingkatan asumsi dasar diatas maka Schein

memberikan beberapa asumsi dasar yang membentuk budaya organisasi.

Asumsi dasar ini dapat dipergunakan sebagai alat untuk menilai budaya

suatu organisasi, karena asumsi menunjukkan apa yang dipercaya oleh

anggota sebagai kenyataan dan karena yang mempengaruhi apa yang

mereka pahami, pikirkan dan rasakan (Hatch,1997;212).


32

b. Dimensi Asumsi Dasar

Dimensi asumsi dasar Organisasi (Hatch,1997;214) meliputi :

a. Terkaitan dengan lingkungan.

Aspek ini mengamati asumsi yang lebih mendasar tentang hubungan

manusia dengan alam dan lingkungan. Dapat dinilai dengan bagaimana

anggota-anggota kunci organisasi memandang hubungan tersebut. Terdapat

3 dimensi dari aspek ini yaitu :

Bagaimana mereka memandang peran organisasi dalam masyarakat

yang mana hal ini dapat dilihat jenis produk yang dihasilkan atau cara

pelayanan yang diberikan, atau dimana pasar utamanya atau segmentasi

pelanggan yang dibidik.

Apa pandangan mereka terhadap lingkungan yang relevan dengan

organisasi, apakah lingkungan ekonomi, politik, teknologi, sosial budaya atau

lainnya. Bagaimana pandangan mereka tentang posisi organisasi terhadap

lingkungannya, apakah organisasi mendominasi atau didominasi, atau

seimbang dengan lingkungan tersebut.

b. Hakekat kegiatan manusia

Aspek ini menyangkut pandangan semua anggota organisassi tentang

hal-hal benar apa yang perlu dikerjakan oleh manusia atas asumsi mengenai

realitas, lingkungan, dan sifat manusia diatas, apakah ia harus aktif, pasif,

pemgembangan pribadi, atau lainnya. Apa yang dimaksud dengan kerja dan

apakah yang dimaksud dengan bermain. Dimensi utama dari aspek ini
33

adalah sikap mental manusia terhadap lingkungan, yaitu apakah proaktif,

reaktif ataukah harmoni.

c. Hakekat realitas dan kebenaran.

Aspek ini menyangkut pandangan anggota-anggota organisasi tentang

kaidah linguistik dan perilaku yang menetapkan mana yang riel dan mana

yang tidak, mana yang fakta, bagaimana kebenaran akhirnya ditentukan, dan

apakah kebenaran diungkapkan atau ditemukan. Terdapat 4 kriteria

dimensi :

a. Realita fisik yang menyangkut persoalan kriteria objektif atau fakta.

b. Realitas sosial yang mempersoalkan konsensus atas opini, kebiasaan,

dogma dan prinsip.

c. Realitas subyektif yang mempersoalkan pengalaman subyektif atas

pendapat, kecenderungan dan cita rasa pribadi.

d. Kriteria kebenaran yang berarti bagaimana kebenaran itu seharusnya

ditentukan, apakah oleh tradisi, dogma, moral atau agama, pendapat

orang bijak atau yang berwenang, proses hukum, revolusi konflik, uji coba

atau pengujian ilmiah.

d. Hakekat waktu.

Aspek ini berkaitan dengan pandangan anggota organisasi tentang

orientasi dasar waktu, Terdapat 2 aspek yaitu :


34

a. Arahan fokus yang menyangkut masa lalu , kini dan masa yang akan

datang.

b. Apakah ukuran waktu yang relevan yang berlaku dalam organisasi

tersebut mempergunakan satuan detik, menit, jam dan seterusnya.

e. Hakekat sifat manusia

Aspek ini menyangkut pandangan segenap anggota organisai tentang

apa yang dimaksud dengan manusia dan apa atribut yang dianggap intrinsik

atau puncak terdapat 2 dimensi dari aspek ini :

a. Tentang sifat dasar manusia yaitu apakah manusia pada dasarnya

bersifat baik, buruk atau netral.

b. Mengenai perubahan sifat tesebut, yaitu apakah sifat manusia itu tetap

(tidak dapat berubah) ataukah dapat berubah dan disempurnakan.

f. Hakekat hubungan antar manusia

Aspek ini menyangkut pandangan manusia tentang apa yang

dipandang sebagai cara yang benar bagi manusia untuk saling

berhubungan, untuk mendistribusikan kekuasaan atau cinta. Apakah hidup

ini kooperatif atau kompetitif, individualistik, kolaboratif kelompok atau

komunal. Terdapat 2 dimensi pada aspek ini :

1) Struktur hubungan manusia yang memiliki alternatif linealitas,

kolateralitas atau individualitas.

2) Struktur hubungan organisai yang mempunyai variasi otokrasi,

patenalisme, konsultai, partisipasi, delegasi, kolegalitas.


35

g. Homogeneity vc Diverrsity

Apakah kelompok yang baik itu berada dalam kondissi homogen atau

berbeda, dan apakah individu dalam kelompok didukung untuk berinovasi

ataukah harus menyesuaikan visi.

2.3. Kinerja Guru

Faktor kritis yang berkaitan dengan keberhasilan jangka panjang

organisasi adalah kemampuannya untuk mengukur seberapa baik karyawan-

karyawannya berkarya dan menggunakan informasi tersebut guna

memastikan bahwa pelaksanaan memenuhi standar-standar sekarang dan

meningkat sepanjang waktu.

Dalam buku Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja

Instansi Pemerintah (LAN RI, 2003:34), dikatakan bahwa Kinerja Instansi

Pemerintah adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian sasaran

ataupun tujuan instansi pemerintah sebagai penjabaran dari visi, misi dan

strategi instansi pemerintah yang mengindikasikan tingkat keberhasilan dan

kegagalan pelaksanaan kegiatan-kegiatan sesuai dengan program dan

kebijaksanaan yang ditetapkan.

Penilaian kinerja adalah alat yang berfaedah tidak hanya untuk

mengevaluasi kerja dari para karyawan, tetapi juga untuk mengembangkan

dan memotivasi kalangan karyawan. Sayangnya, penilaian kinerja juga dapat

menjadi sumber kerisauan dan frustasi bagi manajer dan karyawan. Hal ini
36

kerap disebabkan oleh ketidakpastian-ketidakpastian dan ambisiutas di

seputar sistem penilaian kinerja. Pada intinya, penilaian kinerja dapat

dianggap sebagai alat untuk menverifikasi bahwa individu-individu memenuhi

standar-standar kinerja yang telah ditetapkan. Penilaian kinerja dapat pula

menjadi cara untuk membantu individu-individu mengelola kinerja mereka

Henry, Simamora, (1997 ; 415).

Kinerja dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, tergantung kepada

tujuan masing-masing organisasi (misalnya, untuk profit ataukah untuk

customer satisfaction), dan juga tergantung pada bentuk organisasi itu

sendiri (misalnya, organisasi publik, swasta, bisnis, sosial atau keagamaan).

Kinerja sering dihubungkan dengan tingkat produktivitas yang menunjukkan

risiko input dan output dalam organisasi, bahkan dapat dilihat dari sudut

performansi dengan memberikan penekanan pada nilai efisiensi yang

dikaitkan dengan kualitas output yang dihasilkan oleh para pegawai

berdasarkan berapa standar yang telah ditetapkan sebelumnya oleh

organisasi yang bersangkutan Faustino Cardoso Gomes, (1999 : 159–160).

Hal yang sama dikemukakan oleh Robert L. Mathis dan John H.

Jackson (1991:253), kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau

tidak dilakukan karyawan. Kinerja karyawan adalah yang mempengaruhi

seberapa banyak mereka memberi kontribusi kepada organisasi yang antara

lain termasuk : (a) Kuantitas output, (b) Kualitas output, (c) Jangka waktu

output, (d) kehadiran di tempat kerja, (e) serta sikap kooperatif.


37

Untuk lebih jelasnya kinerja guru mempunyai kaitan dengan sikap guru

dalam menerima dan menjalankan tugas sebagai pendidik terhadap peserta

didik untuk membentuk sumber daya manusia. Dibawah ini akan penulis

jelaskan tentang pengertian sikap.

a. Pengertian Sikap

Definisi sikap menurut Thurstone yang dikutip Azwar (1988 : 3),

adalah derajat efek positif atau efek negatif yang dikaitkan dengan suatu

obyek psikologis. Sikap adalah keadaan mental dan syaraf dari kesiapan,

yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau

terarah terhadap respon individu pada semua obyek dan situasi yang

berkaitan dengannya. Dari sini sikap dapat digambarkan sebagai

kecenderungan subyek merespon suka atau tidak suka terhadap suatu

obyek.

Dalam bahasan ini yang berperan sebagai subyek yaitu guru dan

obyek yaitu pekerjaan yang diemban para guru. Sikap ini ditunjukkan dalam

berbagai kualitas dan intensitas yang berbeda dan bergerak secara kontinyu

dari positif melalui areal netral ke arah negatif. Kualitas sikap digambarkan

sebagai valensi positif menuju negatif, sebagai hasil penilaian terhadap

obyek tertentu. Sedangkan intensitas sikap digambarkan dalam kedudukan

ekstrim positif atau negatif. Kualitas dan intensitas sikap tersebut

menunjukkan suatu prosedur pengukuran yang menempatkan sikap


38

seseorang dalam sesuatu dimensi evaluatif yang bipolar dari ekstrim positif

menuju ekstrim negatif.

Menyimak uraian sikap di atas dapat dipahami bahwa sikap

merupakan suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan terhadap suatu

obyek. “Seseorang bersikap terhadap suatu obyek dapat diketahui dari

evaluasi perasaannya terhadap obyek tersebut. Evaluasi perasaan ini dapat

berupa perasaan senang-tidak senang, memihak- tidak memihak, favorit–

tidak favorit, positif–negatif.” Walgito (2001 : 14-16) mengemukakan tentang

sikap dan ciri-ciri sikap sebagai berikut : Sikap adalah faktor yang ada dalam

diri manusia yang dapat mendorong atau menimbulkan perilaku tertentu.

Adapun ciri-ciri sikap yaitu: tidak dibawa sejak lahir, selalu berhubungan

dengan obyek sikap, dapat tertuju pada satu obyek saja maupun tertuju pada

sekumpulan obyek-obyek, dapat berlangsung lama atau sebentar, dan

mengandung faktor perasaan dan motivasi.

b. Komponen-komponen Sikap

Oppenheim (1966 : 106) berpendapat bahwa berbicara tentang

masalah sikap, ada satu hal yang perlu diperhatikan yaitu komponen-

komponen sikap. Lebih lanjut Oppenheim mengemukakan bahwa sikap

adalah kepercayaan (komponen kognisi) dan perasaan yang kuat

(komponen emosional) yang akan membimbing pada suatu tingkah laku

(komponen kecenderungan untuk berbuat/konasi). Sementara itu Kartono

(1994 : 297) berpendapat sikap merupakan organisasi dari unsur-unsur


39

kognitif, emosional dan momen-momen kemauan yang khusus dipengaruhi

oleh pengalaman-pengalaman masa lampau, sehingga sifatnya dinamis dan

memberikan pengarahan pada setiap tingkah laku pegawai. Pendapat ini

dipertegas oleh Papalia dan Oldes (1985 : 602-603) yang menyatakan, sikap

terdiri dari tiga elemen yaitu: apa yang anda pikirkan (komponen kognisi);

bagaimana perasaan anda (komponen afeksi); dan bagaimana anda berbuat

untuk mengendalikan pola pikir dan perasaan (komponen

konasi/kecenderungan bertingkah laku).

Berkaitan dengan komponen sikap, Walgito (2001:111)

mengemukakan bahwa: Sikap mengandung tiga komponen yang

membentuk struktur sikap. Ketiga komponen itu adalah komponen kognitif,

afektif dan konatif dengan uraian sebagai berikut:

1) Komponen kognitif (komponen perseptual), yaitu komponen yang

berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan, yaitu hal-hal

yang berhubungan dengan bagaimana orang mempersepsi terhadap

obyek sikap.

2) Komponen afektif (komponen emosional), yaitu komponen yang

berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap obyek

sikap. Rasa senang merupakan hal yang positif, sedangkan rasa tidak

senang adalah hal negatif.


40

3) Komponen konatif (komponen perilaku, atau action component), yaitu

komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak atau

berperilaku terhadap obyek sikap.

Perilaku yang nampak terhadap suatu obyek tertentu setidaknya bisa

diramalkan melalui sikap yang diungkapkan oleh seseorang. Dalam arti

bahwa sikap seseorang bisa menentukan tindakan dan perilakunya. Menurut

Baltus (1983 : 99), sikap kadang-kadang bisa diungkapkan secara terbuka

melalui berbagai wacana atau percakapan, namun sering sikap ditunjukkan

secara tidak langsung. Sikap bisa muncul sebelum perilaku tetapi bisa juga

merupakan akibat dari perilaku sebelumnya. Namun demikian, ada juga

penelitian yang menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan

antara sikap dan perilaku. Atau dengan kata lain, sikap tidak selamanya

menentukan perilaku yang timbul. Azwar menyatakan bahwa sampai saat ini

belum ada kesepakatan yang jelas menyangkut hubungan antara sikap dan

perilaku.

Sementara itu Rokeah (1976 : 127) menyatakan bahwa perilaku sosial

tidak hanya ditentukan oleh sikap tetapi juga situasi. Uraian tentang

komponen-komponen sikap tersebut, menegaskan bahwa sikap seorang

guru terhadap pekerjaan dapat tercermin dari kepercayaan, kepuasan, dan

perilaku yang ditampilkan. Seorang guru yang memiliki sikap yang positif

terhadap pekerjaan sudah barang tentu menampilkan suatu kepercayaan,

kepuasan dan perilaku yang positif terhadap pekerjaannya. Kepercayaan


41

guru terhadap pekerjaan akan tumbuh bilamana seorang guru memiliki

kesesuaian antara pekerjaan dengan kemampuan. Profesi guru merupakan

profesi yang amat membutuhkan keahlian. Pendidikan yang sesuai dan

pengalaman yang memadai merupakan faktor yang cukup menentukan

keberhasilan menjadi seorang guru. Disamping kesesuaian pekerjaan

dengan kemampuan, kesesuaian pekerjaan dengan minat merupakan faktor

yang dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan seorang guru terhadap

pekerjaan. Kepercayaan yang tinggi terhadap pekerjaan akan tumbuh

bilamana seorang guru memiliki minat yang tinggi untuk menjalani profesi

sebagai guru. Kepuasan guru terhadap pekerjaan akan tumbuh bilamana

pekerjaan, gaji, peluang promosi, dan lingkungan kerja di sekolah mampu

memberikan rasa senang.

Dengan pekerjaan yang membanggakan, gaji yang memadai, peluang

promosi yang terbuka, dan lingkungan kerja yang kondusif akan memberikan

kepuasan bagi guru dalam menjalani profesinya. Perilaku dari seorang guru

dapat dilihat dalam bentuk tanggung jawab, etos kerja, disiplin, dan

kreativitasnya. Guru dapat dikategorikan berperilaku positif bilamana memiliki

tanggung jawab, etos kerja, disiplin, dan kreativitas yang tinggi.

c. Pengukuran Sikap

Gerungan (1991 : 154) menyatakan bahwa: Cara-cara yang dapat

dipakai untuk mengukur sikap antara lain:


42

1) Metode langsung ialah metode dimana orang secara langsung diminta

pendapat atau tanggapannya mengenai obyek tertentu, biasanya

disampaikan secara lisan pada waktu wawancara.

2) Metode tak langsung, orang dimintai supaya menyatakan dirinya

mengenai obyek sikap yang diselidiki, tetapi secara tidak langsung,

misalnya menggunakan tes psikologi.

3) Metode tes tersusun, yaitu metode pengukuran yang menggunakan skala

sikap yang dikonstruksikan terlebih dahulu menurut prinsip-prinsip

tertentu, seperti metode Likert, Thurstone atau Guttman.

4) Metode tes tak tersusun, yaitu dengan wawancara, daftar pertanyaan

biasanya untuk penelitian bibliografi atau karangan.

Sedangkan Azwar (1988:55), berpendapat bahwa Metode

pengukuran sikap yang dianggap dapat diandalkan dan dapat memberikan

penafsiran terhadap sikap manusia adalah pengukuran melalui skala sikap

(attitude scale). Skala sikap bertujuan untuk menentukan kepercayaan,

persepsi, atau perasaan seseorang. terhadap suatu obyek. Suatu skala sikap

merupakan kumpulan pernyataan sikap yang berkenaan dengan obyek

sikap. Pernyataan sikap adalah rangkaian kalimat yang mengatakan sesuatu

mengenai objek sikap yang diukur.

Terdapat beberapa skala sikap yang berbeda bentuk, diantaranya

bentuk Thurstone, Likert dan Guttman serta pengembangannya. Pada

umumnya pengembangan skala sikap semula sama, yaitu untuk meletakkan


43

seseorang pada suatu posisi numerik tertentu dalam kontinum dimensi

evaluatif. Perbedaan antara skala sikap yang satu dan lainnya terletak pada

cara pemilihan butir-butir pertanyaan yang digunakan dan penyajian kepada

target pengukuran sikap.

Dalam menyusun butir pertanyaan yang dipakai dalam skala sikap

harus mampu membedakan seseorang atau individu-individu yang lainnya

dengan sikap yang berbeda. Individu dengan sikap yang berbeda harus

dapat dipastikan akan memberikan jawaban yang berbeda secara sistematik

terhadap butir pertanyaan yang bersangkutan. Dengan demikian individu

yang sangat senang terhadap obyek pertanyaan tersebut akan memberikan

jawaban yang berbeda dengan individu yang sedang-sedang saja rasa

senangnya. Likert dalam mengadakan pengukuran sikap juga menggunakan

skala. Namun demikian skala Likert berbeda dengan skala Thurstone, skala

Likert dikenal sebagai summated ratings method, sedangkan skala

Thurstone dikenal sebagai judgment method.

Dalam menciptakan alat ukur likert menggunakan pernyataan-

pernyataan, dengan menggunakan lima alternatif jawaban atau tanggapan

atas pernyataan-pernyataan tersebut. Penentuan dari pernyataan-

pernyataan tersebut diambil dari banyak pernyataan yang disaring melalui uji

coba yang dikenakan pada subjek uji coba. Dari hasil uji coba dipilih

pernyataan-pernyataan yang cukup baik, baik yang bersifat favorable atau

positif maupun unfavorable atau negatif. Lima alternatif jawaban yang


44

dikemukakan oleh Likert adalah sangat setuju, setuju, tidak mempunyai

pendapat, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Corak khas dari skala Likert

ialah bahwa makin tinggi skor yang diperoleh seseorang, merupakan indikasi

bahwa orang tersebut sikapnya makin positif terhadap objek sikap, demikian

pula sebaliknya, makin rendah skor yang diperoleh seseorang, merupakan

indikasi bahwa orang tersebut sikapnya makin negatif terhadap objek sikap

Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap guru

merupakan keyakinan seorang guru mengenai pekerjaan yang diembannya,

yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar kepada guru

tersebut untuk membuat respons atau berperilaku dalam cara tertentu sesuai

pilihannya. Sikap mengandung tiga komponen yaitu komponen kognitif,

komponen afektif, dan komponen konatif. Pengukuran sikap dapat dilakukan

dengan cara langsung dan tidak langsung. Pengukuran sikap guru dapat

dilakukan dengan pengukuran sikap model Likert. Pengukuran sikap model

Likert (Skala Likert) merupakan salah satu cara pengukuran sikap secara

langsung. Alat ukur dalam skala Likert menggunakan pernyataan-pernyataan

dengan menggunakan lima alternatif jawaban. Makin tinggi skor yang

diperoleh seorang guru mengindikasikan guru memiliki sikap yang makin

positif terhadap pekerjaan, demikian pula sebaliknya.


45

B. Hasil Penelitian Terdahulu

1. Dian Ayu Parmaindra. 2008. Penelitian berjudul. Analisis

pengaruh pelatihan, promosi, dan mutasi pegawai terhadap

prestasi kerja kepala sekolah dasar di kecamatan semarang

barat. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa ketiga faktor

tersebut secara bersama-sama berpengaruh terhadap prestasi

kerja Kepala Sekolah Dasar yaitu ditunjukkan dengan nilai F

hitung sebesar 10,258. Sedangkan secara parsial diperoleh

nilai t hitung untuk pelatihan sebesar 5,424; promosi sebesar

3,358; dan mutasi sebesar 3,342. Dari bukti-bukti tersebut

dapat disimpulkan bahwa ketiga variabel tersebut mempunyai

pengaruh terhadap prestasi kerja Kepala Sekolah Dasar yang

ditunjukkan dari hasil F hitung yang lebih besar dari F tabel

yaitu 10,258 > 2,76. Dan variabel yang paling besar

mempengaruhi prestasi kerja Kepala Sekolah Dasar adalah

pelatihan yang ditunjukkan dengan hasil perhitungan yang

paling besar dibanding variabel bebas lainnya yaitu sebesar

5,424.

2. Endriawato. 2007. Pengaruh kinerja guru dan lingkungan

sekolah terhadap prestasi belajar siswa smp. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa Secara statistik besarnya persentasi

pengaruh kinerja guru dan lingkungan sekolah terhadap


46

prestasi siswa sebesar 30,1 % atau 59,45 % artinya variabel

prestasi siswa dapat dijelaskan oleh dimensi kinerja guru dan

lingkungan sekolah sedangkan sisanya sebesar 69,9% adalah

merupakan pengaruh dari variabel bebas lain yang tidak

dijelaskan oleh model penelitian ini. Kinerja guru berpengaruh

secara positif terhadap prestasi siswa dimana tingkat koefisien

sebesar 0,22 artinya secara statistik apabila kinerja guru

meningkat, maka prestasi siswa dapat dipredisksi akan

meningkat dan variabel lain dianggap konstan. Lingkungan

sekolah berpengaruh secara positif terhadap prestasi siswa

dimana tingkat koefisien sebesar 0,10 secara statistik apabila

lingkungan sekolah meningkat, maka prestasi siswa dapat

dipredisksi akan meningkat dengan probabilitas sebesar 0,026

dan variabel lain dianggap konstan. Hasil ini didukung oleh

adanya pengaruh hubungan murid dengan guru yang harmonis

ditunjukkan apabila siswa mendapat kesulitas dalam menerima

pelajaran siswa sering melakukan konsultasi.


47

BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL

A. Kerangka Konseptual

Kepemimpinan kepala sekolah merupakan kemampuan dari seorang

kepala sekolah dalam mempengaruhi dan menggerakkan bawahan dalam

suatu organisasi atau lembaga sekolah guna tercapainya tujuan sekolah

Sedangkan kinerja guru merupakan kemampuan dasar seorang guru dalam

melaksanakan tugas keguruannya dengan kemampuan tinggi, baik sebagai

pengajar, pembimbing, maupun administator yang dilaksanakan secara

bertanggung jawab dan layak.

Kepala sekolah mempunyai peranan yang sangat penting dalam

memberdayakan komponen-komponen yang ada di sekolah dalam hal ini

guru. Guru merupakan salah satu komponen sekolah yang memegang

peranan penting dalam menentukan mutu pendidikan sekolah. Oleh karena

itu guru dituntut untuk bekerja secara profesional sesuai dengan kemampuan

yang dimilikinya. Kepala sekolah sebagai seorang yang diberi tugas untuk

memimpin sekolah, bertanggung jawab atas tercapainya tujuan, peran, dan

mutu pendidikan di sekolah. Dengan demikian agar tujuan sekolah dapat

tercapai, maka kepala sekolah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya

dituntut memiliki kapasitas yang memadai sebagai seorang pemimpin. Peran

kepemimpinan kepala sekolah dalam meningkatkan kinerja dan

41
48

profesionalisme seorang guru sangatlah besar. Mengingat dengan

kepemimpinan yang baik, kepala sekolah diharapkan mampu mempengaruhi

dan menggerakkan para guru guna meningkatkan kompetensi

profesionalnya.

Oleh karena itu, maka sejalan dengan kerangka berpikir tersebut

dapat diduga bahwa terdapat pengaruh atau korelasi positif antara

kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru.

Sikap guru adalah suatu kecenderungan seorang guru dalam

merespon suka atau tidak suka terhadap pekerjaannya, yang pada akhirnya

diungkapkan dalam bentuk tindakan atau perilaku yang berkenaan dengan

profesinya. Respon dan perilaku seorang guru terhadap pekerjaannya dapat

diungkapkan dalam bentuk kepercayaan dan kepuasaan guru terhadap

pekerjaannya maupun dalam bentuk perilaku yang ditampilkan. Kinerja guru

merupakan kemampuan dasar seorang guru dalam melaksanakan tugas

keguruannya dengan kemampuan tinggi, baik sebagai pengajar,

pembimbing, maupun administator yang dilaksanakan secara bertanggung

jawab dan layak.

Sikap merupakan kecenderungan merespon suka atau tidaknya

terhadap suatu obyek. Selain itu, sikap juga mengandung motivasi, yang

berarti bahwa sikap mempunyai daya dorong bagi individu untuk berperilaku

secara tertentu terhadap obyek. Sikap guru mengandung makna sebagai

suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan seorang guru terhadap


49

pekerjaan yang diembannya, dalam hal ini sebagai tenaga pendidik dan

pengajar di sekolah. Guru yang memiliki sikap positif terhadap pekerjaan,

sudah barang tentu akan menampilkan persepsi dan kepuasan yang baik

terhadap pekerjaannya maupun motivasi kerja yang tinggi, yang pada

akhirnya akan mencerminkan seorang guru yang mampu bekerja secara

profesional. Oleh karena itu, maka sejalan dengan kerangka berpikir tersebut

dapat diduga bahwa terdapat pengaruh atau korelasi positif antara sikap

guru dengan kinerja guru.

Untuk itu guna tercapainya mutu pendidikan yang optimal, diperlukan

kerja sama yang sinergis antara kepala sekolah dan guru. Dalam organisasi

sekolah, kepala sekolah dituntut menampilkan suatu kepemimpinan yang

mampu menciptakan iklim yang kondusif, sedangkan para guru dituntut

memiliki sikap positif terhadap pekerjaan, sehingga dapat menampilkan

persepsi dan kepuasan yang baik terhadap pekerjaannya maupun motivasi

kerja yang tinggi, yang pada akhirnya akan mencerminkan seorang guru

yang mampu bekerja secara profesional. Oleh karena itu diduga ada

hubungan atau korelasi positif antara kepemimpinan kepala sekolah dan

disiplin kerja dengan kinerja guru.

Berdasarkan konsep-konsep tersebut di atas dapat diajukan proposisi

sebagai berikut : Semakin bagus kepemimpinan kepala sekolah maka

semakin tinggi kinerja guru, semakin positif sikap guru maka semakin tinggi

kinerja guru demikian halnya budaya organisasi. Sebaliknya semakin jelek


50

kepemimpinan kepala sekolah, negatif sikap guru maka semakin rendah pula

kinerja guru dan budaya organisasi yang lemah akan menurunkan kinerja

guru SD Negeri di Kecamatan Binuang Kabupaten Polewali Mandar .

Kepemimpina
n
Kepala
sekolah
X1 Kinerja
Guru
Y

Budaya
Organisasi
X2

Gambar : 2.1.
Kerangka pikir Penelitian

B. Hipotesis

Berdasarkan kerangka berpikir yang telah ditetapkan, maka

dirumuskan hipotesis sebagai berikut :


51

1. Ada pengaruh kepemimpinan kepala sekolah terhadap kinerja guru SD

Negeri di Kecamatan Binuang Kabupaten Polewali Mandar

2. Ada pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja guru SD Negeri di

Kecamatan Binuang Kabupaten Polewali Mandar

3. Ada pengaruh antara kepemimpinan kepala sekolah, budaya organisasi

secara bersama-sama (simultan) terhadap kinerja guru SD Negeri di

Kecamatan Binuang Kabupaten Polewali Mandar .


52

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada SD Negeri di Kecamatan Binuang

Kabupaten Polewali Mandar. Adapun rangkaian kegiatan penelitian ini

dimulai dengan persiapan penelitian, seminar proposal, penyusunan

instrumen, uji coba instrumen, pengumpulan data tentang kepemimpinan

kepala sekolah, sikap guru dan kinerja guru, analisis data, dan diakhiri

dengan penulisan laporan hasil penelitian.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis

penelitian survei. Penelitian ini bersifat korelasional karena penelitian

berusaha menyelidiki hubungan antara beberapa variabel penelitian yaitu

variabel kepemimpinan kepala sekolah dan sikap guru sebagai variabel

prediktor dan kinerja guru sebagai variabel kriterium. Studi korelasi ini akan

menggunakan analisis korelasi dan regresi.

B. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat dua variabel bebas, yaitu kepemimpinan

kepala sekolah (X1), dan budaya organisasi (X 2) serta satu variabel terikat

yaitu kinerja guru (Y). Ke dua variabel bebas (X 1, X2 ) dihubungkan dengan

variabel terikat (Y) dengan pola hubungan: (1) Hubungan antara variabel X 1

dengan variabel Y, (2) Hubungan antara variabel X 2 dengan variabel Y, (3)

52
53

Hubungan antara variabel X1 dan variabel X2 secara bersama-sama dengan

variabel Y. Ke tiga pola hubungan variabel tersebut merupakan konstelasi

masalah dalam penelitian ini.

C.Populasi dan Sampel.

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek

yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi dalam

penelitian ini adalah meliputi seluruh guru pada SD Negeri di Kecamatan

Binuang Kabupaten Polewali Mandar sebanyak 234 orang dari 9 Sekolah.

2.Sampel

Sampel penelitian dilakukan dengan menggunakan teknik simple random

sampling dengan mengambil sampel secara sebanyak 158 orang guru guru

SD Negeri di Kecamatan Binuang Kabupaten Polewali Mandar .

D. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini terdapat tiga data yang akan dikumpulkan, yaitu

data kepemimpinan kepala sekolah, Budaya organisasi, dan kinerja guru.

Teknik pengumpulan data tentang kepemimpinan kepala sekolah, budaya

organisasi menggunakan metode kuesioner dengan Skala Likert.

Sedangkan pada kinerja guru menggunakan metode tes berupa tes


54

kompetensi. Selanjutnya kuesioner dan soal tes diujikan kepada para guru

yang menjadi sampel penelitian yang berjumlah 58 orang.

E. Teknik Analisis Data

1. Uji Validitas

Pengujian validitas tiap butir digunakan analisis item, yaitu

mengkorelasikan skor tiap butir dengan skor total yang merupakan jumlah

tiap skor butir setelah dikurangi dengan item yang diuji. Validitas akan

dihitung dengan menggunakan total koefisien korelasi dengan taraf signifikan

sebesar 0,05 (5%). Adapun rumus yang digunakan adalah :

rpq =

dimana :

rxy = Momen tangkar yang baru

rpq = Koefisien korelasi bagian total

sbx = Simpangan baku skor faktor

sby = Simpangan baku skor butir

Perhitungan validitas data ini dioleh dengan program SPSS. Hasil

perhitungan ditunjukkan pada nilai corrected item total correlation. Jika nilai

corrected item total correlation > 0,3 maka item dinyatakan valid.

(Solimun, 2004).
55

2. Uji Reliabilitas

Menurut Sugiyono (2004 : 120), instrumen yang reliabel berarti

instrumen yang bila digunakan beberapa kali untuk mengukur obyek yang

sama akan menghasilkan data yang sama. Pengujian reliabilitas instrumen

dengan consistency dengan teknik Alpha Cronbach.

Model pengukuran yang dimaksud adalah pemeriksaan mengenai

reliabilitas dan validitas instrumen. Masrun (1979) menyatakan bahwa

bilamana koefisien korelasi antara skor suatu indikator dengan skor total

seluruh indikator lebih besar 0,3 (r ≥ 0,3), maka instrumen tersebut dianggap

valid. Sedangkan untuk memeriksa reliabilitas instrumen metode yang sering

digunakan adalah koefisien alpha cronbach. Merujuk pada pendapat

Malhotra (1999 : 81), suatu instrumen (keseluruhan indikator) dianggap

sudah cukup reliabel bilamana α > 0,6.

3. Regresi Liniear Berganda

Rumus yang digunakan dari Sudjana (1996), adalah :

Y = b0 + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + e

Dimana :

Y = Kinerja guru

X1 = Kepemimpinan kepala sekolah

X2 = Sikap guru

X3 = Budaya organisasi

b0 = Konstanta
56

b1-4 = Koefisien regresi

e = Residual atau random error

Untuk mengetahui besar kontribusi variabel bebas terhadap variabel

terikat, digunakan koefisien determinasi (R 2)

Adapun koefisien determinasi adalah :

R2 =

dimana :

Jumlah kuadrat regresi = SS Total – SSE

Jumlah kuadrat total = SS Total = ∑ (Y - )2

Jumlah kuadrat total = SSE = ∑ (Y - Y)2

F. Uji Hipotesis

1. Uji t

Melakukan uji t, dimana tujuannya untuk menguji tingkat keberartian

pengaruh variabel bebas secara parsial. Langkah yang ditempuh, yaitu :

 Menentukan Hipotesis

H0 : b1-4 = 0, dimana artinya tidak ada pengaruh secara parsial dari

variabel bebas (independen) terhadap variabel terikat (dependen).

H0 : b1-4 ≠ 0, dimana artinya ada pengaruh secara parsial dari variabel

bebas (independen) terhadap variabel terikat (dependen).


57

 Menentukan level of significant (α) sebesar 5% dan menentukan nilai t

dengan degree of freedom (df) sebesar (n-k-1)

 Menentukan besarnya nilai t hitung dengan menggunakan rumus :

t hitung =

dimana : bk = koefisien regresi variabel b1-4

sb = standar deviasi dari estimasi b1-4

 Membandingkan nilai thitung dan ttabel

Jika thitung > ttabel maka H0 ditolak dan menerima Ha

Jika thitung < ttabel maka H0 diterima dan menolak Ha

2. Uji F

Melakukan uji F tujuannya untuk menguji tingkat keberartian dari

variabel bebas secara bersama-sama (simultan) terhadap variabel terikat,

yaitu :

 Menentukan Hipotesis

H0 : b1-4 = 0, dimana artinya tidak ada pengaruh secara bersama-sama

(simultan) dari variabel bebas (independen) terhadap variabel terikat

(dependen).

H0 : b1-4 ≠ 0, dimana artinya ada pengaruh secara bersama-sama

(simultan) dari variabel bebas (independen) terhadap variabel terikat

(dependen).
58

 Menentukan level of significant (α) sebesar 5% dan menentukan nilai

Ftabel dengan degree of freedom (df) sebesar (n-k-1)

 Menentukan besarnya nilai F hitung dengan menggunakan rumus :

F hitung = =

dimana : MSR = Mean Squared Regression

MSE = Mean Squared Residual

 Membandingkan nilai Fhitung dan Ftabel

Jika Fhitung > ttabel maka H0 ditolak dan menerima Ha

Jika Fhitung < ttabel maka H0 diterima dan menolak Ha

G. Definisi Operasional

Dalam penelitian ini terdapat tiga variabel yang akan diteliti yaitu,

variabel kepemimpinan kepala sekolah, dan variabel budaya organisasi

terhadap kinerja guru. Pendefenisian variabel dilakukan agar variabel

penelitian dapat diukur secara representatif, adapun definisi konseptual

variabel penelitian adalah sebagai berikut.

1. Kepemimpinan kepala sekolah adalah kemampuan dari seorang kepala

sekolah dalam mempengaruhi dan menggerakkan bawahan dalam suatu

organisasi atau lembaga sekolah guna tercapainya tujuan sekolah

2. Budaya organisasi adalah proses atau suatu pola yang dibentuk dari

asumsi-asumsi mendasar yang dipahami secara bersama oleh anggota

organisasi terutama dalam memecahkan masalah-masalah yang


59

dihadapi. Pola-pola ini menjadi sesuatu yang pasti dan nantinya juga

akan disosialisasikan kepada anggota organisasi yang baru

3. Kinerja guru adalah kemampuan dasar seorang guru dalam

melaksanakan tugas keguruannya dengan kemampuan tinggi, baik

sebagai pengajar, pembimbing, maupun administator yang dilaksanakan

secara bertanggung jawab dan layak. Sedang sikap guru adalah suatu

kecenderungan seorang guru dalam merespon suka atau tidak suka

terhadap pekerjaannya, yang pada akhirnya diungkapkan dalam bentuk

tindakan atau perilaku yang berkenaan dengan profesinya. Respon dan

perilaku seorang guru terhadap pekerjaannya dapat diungkapkan dalam

bentuk persepsi dan kepuasan guru terhadap pekerjaannya maupun

dalam bentuk motivasi kerja yang ditampilkan.


60

DAFTAR PUSTAKA

Atmosoeprapto, Kisdarto, 2001. Produktivitas Aktualisasi Budaya


Perusahaan Mewujudkan Organisasi yang Efektif dan Efisien melalui
SDM Berdaya. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Bacal, Robert, 2002. Performance Management. Jakarta. Gramedia Pustaka


Utama.

Cahyono, Bambang Tri, (Penyunting), 2005. Analisis Penegakan disiplin


Sumber Daya Manusia. Jakarta: Badan Penerbit IPWI.

Evers, Hans-Dieter, dan Tilman Schiel, 1990. Kelompok-Kelompok Strategis:


Studi Perbandingan tentang Negara, Birokrasi, dan Pembentukan
Kelas di Dunia Ketiga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Gasperz Vincent, 2008, Manajemen Produktivitas Total ; Strategi


Peningkatan Produktivitas Bisnis Global, Jakarta. PT. Gramedia
Pustaka Utama.

Gibson, James L; John M. Ivancevich; dan James H. Donelly Jr., 2006.


Organisasi Perilaku, Struktur, Proses, Jilid I. Jakarta: Binarupa
Aksara.

Gomes, Foustino Cardoso, 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia.


Yogyakarta: Andi Offset.

Henry Simamora, 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi Kedua,


Yogyakarta. Penerbit Bagian Penerbit Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi,
YKPN.

Hidayat dan Sucherly, 2006. Peningkatan Produktivitas Organisasi dan Guru


Negeri Sipil. Majalah Prisma, Nomor 11.

Hurlock, 2007, Chield Development, Tokyo, Mc-Graw Hill Koga Khusa.

Ibrahim, Buddy, 2000. TQG : Total Quality Management. Panduan Untuk


Menghadapi Persaingan Global. Jakarta: Djambatan.

Koontz, Harold, C.O. Donnel dan M. Wichrich, 2006, Manajemen, Jilid I Edisi
8 (Terjemahan), Erlangga, Jakarta.

Latif Abdul, 2003, Membangun Sumber Daya Manusia yang Mandiri dan
Profesional, Jakarta. Penerbit PT. Penakencana Nusadwipa.

54
61

Lim, Johanes, 2002. Strategi Sukses Mengelola Karier dan Bisnis. Jakarta:
Gramedia.

Nitisemito Alex S., 2007, Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta, Ghalia
Indonesia.

Robbins, Stephen P. 2006, Perilaku Organisasi, Konsep, Kontroversi,


Aplikasi, Edisi, Edisi Bahasa Indonesia, PT. Prenhellindo, Jakarta, Jilid
I dan Jilid 2.

Sarwoto, 2005. Dasar-Dasar Organisasi dan Manajemen. Jakarta. Ghalia


Indonesia.

Saxena, A.P., 2006. Peningkatan Produktivitas Tatalaksana Pemerintahan,


Majalah Prisma, Edisi November, Nomor 11.

Siagian, Sondang P., 2004. Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku


Administrasi, Jakarta: CV. Haji Masagung.

Simanjuntak, Payaman J. 2002. Budaya organisasi: Pengertian dan Ruang


Lingkupnya, Majalah Prisma, Nomor 11/12.

Sinungan Muchdarsyah, 2007, Produktivitas Apa dan Bagaimana, Jakarta.


Edisi Kedua, Cetakan Kedua, Penerbit Bumi Aksara.

Soeprihanto, John, 2004. Manajemen Personalia, Yogyakarta, Penerbit


BPFE.

Sugiyono, 2007. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.

Thoha, Miftah, 2000. Reformasi Birokrasi Publik Pasca Orde Baru:


Perubahan Tanpa Grand Design. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada, Volume 4 Nomor 1.

Tjiptoherijanto, Priyono, 2003. Budaya organisasi: Pengertian dan Ruang


Lingkupnya. Majalah Prisma, Nomor 11/12.

Tohardi, Ahmad, 2002. Pemahaman Praktis Manajemen Sumber Daya


Manusia. Bandung: Mandar Maju.

Umar, Husein, 2003. Riset Sumber Daya Manusia dalam Organisasi.


Jakarta: Gramedia.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Tentang Pemerintah Daerah.


62

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2004, Tentang Sistem Pendidikan


Nasional

Westra, Pariata; Satarto; dan Ibnu Syamsi, 2002. Ensiklopedia Administrasi.


Jakarta, Gunung Agung.

Anda mungkin juga menyukai