Anda di halaman 1dari 13

Menangani Persoalan Perilaku Siswa di Sekolah

Ignatius Dharta Ranu Wijaya

Pendahuluan
Guru-guru telah lama menyadari bahwa persoalan perilaku akan menghambat siswa untuk
berfungsi secara produktif di kelas. Para pendidik sangat memahami bahwa terdapat
hubungan antara perilaku dan belajar dalam keberhasilan siswa di sekolah. Undang-Undang
mengenai Sistem Pendidikan Nasional 2006 yang membuka peluang pendidikan yang sama
bagi setiap individu termasuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di dalamnya dan PP
19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, meski tidak eksplisit, namun memberikan
arahan bagi seluruh staf sekolah untuk mempertimbangkan kerangka perilaku sebagai sarana
pendukung dalam memahami persoalan-persoalan perilaku yang berpengaruh pada kegiatan
belajar mengajar di sekolah. Mendukung semua kebutuhan para siswa di sekolah, baik yang
tipikal maupun mereka yang mengalami hambatan perkembangan dan hambatan belajar di
sekolah adalah prioritas pendidikan kita dewasa ini.

Subyek dari makalah ini adalah dukungan bagi para guru atau tim guru yang bertanggung
jawab terhadap Program Pembelajaran Individual (PPI) setiap siswa di kelas sehingga
pemahaman terhadap asesmen fungsional perilaku dan rencana positif intervensi mutlak
diperlukan di sekolah. Makalah ini bertujuan untuk membangun wacana didaktis serta
mengimplementasikan asesmen fungsional perilaku dan rencana intervensi dalam
mengembangan PPI oleh tim guru di sekolah. Untuk memberikan gambaran yang jelas,
bagian awal akan mengupas konsep asesmen fungsional perilaku sebagai proses dan petunjuk
dalam melaksanakannya. Selanjutnya, adalah ulasan mengenai rencana intervensi, termasuk
penjelasan bagaimana membangun, menerapkan, dan mengevaluasi berbagai intervensi yang
telah dilaksanakan.

Makalah ini menggunakan terminologi umum dan teknis untuk membantu para pembaca
memahami teknik-teknik yang ada dan memberikan kosa kata yang diperlukan untuk mencari
informasi mendalam mengenai suatu subyek. Makalah ini tidak ditujukan sebagai suatu
bentuk pelatihan lengkap karena hanya menawarkan sebuah gambaran umum mengenai
teknik-teknik yang digunakan. Tidak ditujukan pula untuk memberikan suatu advokasi dari
dasar filosofis tertentu karena selalu dibutuhkan kombinasi berbagai teknik untuk memahami
fungsi-fungsi perilaku, kognisi, dan afeksi seorang siswa agar dapat dikembangkan intervensi
positif dari setiap perilaku siswa.

Siswa Berkebutuhan Khusus Dan Inklusi


Anak Berkebutuhan khusus adalah kumpulan istilah yang digunakan untuk menjelaskan anak
dengan hambatan/gangguan fisik atau intelektual yang membutuhkan bantuan dan peralatan
tertentu untuk memfasilitasi pendidikan mereka. (Friel, J. 1997). Secara nasional data ABK
di Indonesia ada 1,48 juta atau 0,7 persen (BPS 2005) dari jumlah penduduk. Usia sekolah, 5-
18 tahun, ada 21,42 persen, atau 317.016 anak. ABK yang sudah memeroleh layanan
pendidikan baik di sekolah maupun inklusi baru 28.897 atau 26,15 persen. Data itu berarti
ada 234.119 atau 73,85 persen ABK di Indonesia yang belum mendapatkan pendidikan.
Sementara jumlah total Sekolah Luar Biasa (SLB) ada 1.311 sekolah, dengan status negeri
23 persen, atau 301 sekolah. Swasta 77 persen, atau 1.010 sekolah, hal ini menunjukkan
bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan bagi ABK masih belum mendapatkan perhatian
yang layak.
Undang-undang tentang sistem pendidikan nasional menjelaskan bahwa setiap warga negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Warga negara yang
dimaksud adalah mereka yang memiliki bakat dan kecerdasan istimewa, mereka yang
memiliki kelainan fisik, emosi, mental, intelektual dan sosial. Di Indonesia pendidikan yang
merangkul semua (inklusif) anak dipayungi oleh UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dan PP 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Meski keduanya tidak secara
eksplisit mengarahkan sekolah dan para guru untuk fokus pada persoalan-persoalan perilaku
ABK, namun setidaknya, sekolah dan para guru berkewajiban meningkatkan kualitas
pendidikan semua siswa dengan:

1. mengeksplorasi strategi-strategi dan sistem-sistem dukungan yang dibutuhkan dalam


memahami setiap perilaku yang berpengaruh pada pembelajaran siswa
2. menempatkan setiap siswa berkebutuhan khusus di dalam setting-setting yang dipilih
dengan memperhatikan individualitas dan kemampuannya untuk mendapatkan
pembelajaran yang berarti
3. membangun level kenyamanan emosi dan komunikasi antara guru dan siswa demi
mendukung proses pembelajaran
4. membangun kerjasama tim bersama seluruh guru di sekolah dan mendapatkan
dukungan dari para praktisi dan profesional dalam bidang pendidikan khusus untuk
memberikan bantuan dan evaluasi obyektif

Peran Dan Tanggungjawab Tim Pembuat Program Pembelajaran Individual (PPI)


Hingga saat ini, sering ditemui adanya Guru Pendamping Khusus (GPK) di kelas yang
memberikan bantuan dan instruksi langsung bagi para ABK. Belakangan ini, tanggung jawab
GPK sebagaimana guru-guru di sekolah umum semakin meluas sehingga melibatkan
kerjasama profesional dalam mendukung setiap partisipasi ABK dalam menghadapi
kurikulum pendidikan. Perubahan ini membawa seluruh staf sekolah untuk tidak hanya fokus
pada pengajaran ABK menggunakan kurikulum saja, tetapi juga melakukan asesmen dan
evaluasi terhadap setiap progres yang dihasilkan siswa sebagaimana yang diamanatkan dalam
UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP 19/2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan. Hingga hari ini, terlihat semakin meningkat adanya kebutuhan para
guru untuk bekerjasama dengan bidang-bidang pendidikan yang terkait dalam rangka
memecahkan berbagai persoalan perilaku siswa yang mempengaruhi kemajuan akademisnya
di kelas. Sebagai penentu dalam merancang PPI, guru kelas sangat berperan dalam
mengembangkan manajemen kelas yang komprehensif dan membangun target-target serta
rencana-rencana pembelajaran bagi ABK di sekolah masing-masing.

Perlunya Asesmen Fungsional Perilaku


Meski para profesional dan praktisi pendidikan menganut berbagai keyakinan filosofis yang
berbeda, tetapi umumnya mereka sepakat bahwa tidak ada penyebab tunggal dari suatu
persoalan perilaku. Beberapa ilustrasi kasus berikut ini menunjukan berbagai penyebab dari
perilaku-perilaku yang dianggap mengganggu:
 Adi, anak laki-laki usia 14 tahun kemampuan menulis dan membacanya seperti anak
kelas 1 SD. Ia akan menolak tugas membaca dan menulis yang diberikan gurunya
dengan melempar atau merobek buku sambil berkata, “tidak mau, tidak mau, tidak
mau...” untuk menginformasikan pada guru bahwa ia tidak mau menyelesaikan
tugasnya.
 Beni, usia 11 tahun menjadi sangat frustrasi dan akan mengamuk bila diberikan soal
perkalian bersusun ke bawah. Gurunya menganggap sangat sulit mengajarkan
perkalian dengan cara ini.
 Cica, anak perempuan berumur 9 tahun suka sekali membaca novel Hary Potter di
rumah. Ia menyatakan tugas membaca dan menulis di sekolah sangat menjenuhkan, ia
bahkan selalu menggambar-gambar dan menulis-nulis narasi yang dibuatnya sendiri
di dalam buku tugas. Gurunya sering menegur karena Cica senang mencoret-coret
buku dan tidak mengerjakan tugas dengan benar.
 Dudi, usia 12 tahun, menurutnya gurunya memiliki persoalan konsentrasi dan
perhatian. Dudi dapat menjadi sangat terganggu ketika melihat sesuatu di luar jendela
kelasnya dan mendengar suara di sekitarnya. Ia akan memukul-mukul meja dan
berteriak bahwa ia tidak dapat mengerjakan tugasnya.

Beberapa contoh di atas menunjukan adanya kemiripan topografi perilaku (yang terlihat dan
dapat didengar), namun pada setiap kasus di atas penyebab atau ‘fungsi’ dari perilaku-
perilaku di atas berbeda. Bila fokus kita hanya pada topografi perilaku saja maka sedikit
informasi yang dapat dikembangkan untuk membangun intervensi yang efektif.
Mengidentifikasikan penyebab perilaku siswa atau lebih tepatnya mengetahui apa yang
‘didapatkan’ atau ‘dihindari’ siswa melalui perilakunya dapat menyediakan informasi yang
diperlukan bagi para guru dalam mengembangkan PPI. Memahami persoalan perilaku pada
siswa memungkinkan terjadinya strategi-strategi pembelajaran yang proaktif sehingga
berpengaruh positif pada aspek akademis siswa di sekolah. Menghukum dengan cara
memarahi, menegur, atau bahkan pemberian hukuman fisik, hanya mengatasi gejala-gejala
dari persoalan perilaku yang timbul, tetapi tidak menyelesaikan persoalan yang dirasakan Adi,
frustrasi dari Beni, kejenuhan Cica, dan persoalan stimulasi yang berlebihan pada Dudi.
Dengan demikian persoalan tersebut akan terus terjadi, kecuali bila penyebab dari persoalan-
persoalan perilaku di atas diselesaikan oleh para guru.

Asesmen Fungsional Perilaku adalah suatu pendekatan yang menggabungkan berbagai teknik
dan strategi untuk mengetahui penyebab-penyebab dan kemudian mengidentifikasikan
intervensi yang tepat untuk mengatasi persoalan perilaku yang ada. Prosedur ini akan melihat
lebih dari sekedar perilaku yang tampak (overt) melalui topografi perilaku, tetapi lebih jauh
akan mempertimbangkan aspek-aspek biologis, sosial, afeksi, dan lingkungan yang mungkin
mendorong, dipertahankan atau diakhirinya suatu bentuk perilaku tertentu. Pendekatan ini
sangat penting karena mendorong para guru untuk mengobservasi perilaku siswa lebih jauh
melalui analisi fungsional dalam mencari akar persoalan perilaku pada siswa. Penggunaan
pertanyaan ‘mengapa’ sejak dulu telah terbukti efektif mengatasi dan mencari alternatif
penyelesaian dari berbagai persoalan dalam hidup.

Pertimbangan wajar/tepat tidaknya suatu bentuk perilaku tidak selalu sama dengan apa yang
disebut sebagi ‘fungsi’ dari perilaku. Misalnya, mendapatkan nilai-nilai yang bagus di kelas
dapat berfungsi sama dengan perilaku usil/jahil di kelas yang bertujuan untuk mendapatkan
perhatian dari teman sebaya atau guru kelas. Namun kita semua yakin bahwa jauh lebih wajar
atau tepat bagi seorang siswa mendapatkan nilai bagus di kelas daripada mengganggu di
kelas. Bila para guru mengembangkan PPI melalui asesmen fungsional perilaku maka
dimungkinkan adanya informasi bahwa siswa mencari perhatian di kelas dengan cara-cara
yang kurang tepat sehingga ‘kebutuhan’ akan hal ini dapat diarahkan pada perilaku alternatif
yang memiliki ‘fungsi sama’ dengan persoalan perilaku siswa. Menggunakan asesmen
fungsional perilaku dalam membangun PPI memungkinkan seluruh tim merancang rencana
pembelajaran yang mendukung terciptanya ‘perilaku pengganti’ yang fungsinya sama dengan
persoalan perilaku yang ditunjukan (misal pada kasus di atas adalah mengajarkan Beni
menyampaikan pemintaan tolong/bantuan pada guru dengan suara jelas dan tenang ketika
mendapatkan soal perkalian yang dianggapnya sulit). Di sisi lain, menggunakan pendekatan
ini juga memungkinkan tim membangun strategi untuk menurunkan bahkan menghilangkan
‘peluang’ terjadinya lagi persoalan perilaku di sekolah sehingga berpengaruh pada hasil
akademis (memastikan bahwa Cica mendapatkan tugas bahasa yang sesuai dengan kebutuhan
perkembangannya).

Melaksanakan Asesmen Fungsional Perilaku


Meski banyak teknik dan variasi dalam melakukan asesmen fungsional perilaku tetapi tidak
berarti harus menggunakan satu teknik atau strategi tertentu dalam asemen perilaku. Hal
pertama yang perlu dilakukan dalam prosesnya adalah mendefinisikan perilaku secara
konkret.

Mengidentifikasikan Persoalan Perilaku


Sebelum melakukan asesmen fungsional perilaku, guru perlu mencari kejelasan mengenai
perilaku yang menghambat proses belajar siswa atau yang menimbulkan persoalan dan
pelanggaran aturan serta tata-tertib di kelas dengan cara mendefinisikan perilaku secara
konkret dan mudah dikomunikasikan serta mudah dicatat dan diukur. Bila definisi perilaku
tidak jelas (abstrak), maka sulit menentukan intervensi yang tepat. Berbagai istilah yang tidak
operasional cenderung mengarahkan pada proses labeling yang tidak membawa manfaat
sama sekali dalam proses belajar mengajar di sekolah.

Contoh definisi yang konkret:


Persoalan Perilaku Definisi Konkret

Edi anak yang hiperaktif Edi keluar dari kursi dan berjalan-jalan di kelas tanpa
meminta ijin guruselama pelajaran di kelas

Edi tidak selesai mengerjakan tugas matematika dan hanya


sebagian tugas yang dikerjakannya

Edi spontan berteriak menjawab pertanyaan yang dilontarkan


guru di muka kelas tanpa menunjuk jari lebih dulu
Fahri anak yang suka ribut di kelas Fahri memberikan komentar-komentar yang tidak relevan dan
berbicara tidak sesuai topik selama belajar dan diskusi
kelompok di kelas
Gunadi anak yang kasar Gunadi memukul siswa lain yang menyenggolnya tanpa
sengaja sewaktu istirahat

Jika persoalan perilaku sudah didefinisikan secara jelas, maka tim dapat memulai
merencanakan asesmen fungsional perilaku untuk menentukan fungsi-fungsi dari perilaku
tertentu. Diperlukan observasi yang obyektif di lokasi, situasi, dan kegiatan-kegiatan yang
berbeda. Bahkan perlu juga dilakukan diskusi bersama staf guru lainnya untuk mendapatkan
kejelasan dari suatu bentuk perilaku yang spesifik pada salah seorang siswa yang dianggap
‘bermasalah’.

Strategi-Strategi Alternatif dalam Asesmen


Menggunakan berbagai variasi teknik-teknik asesmen akan mengarahkan tim guru pada
pemahaman yang lebih baik mengenai persoalan perilaku siswa di sekolah. Sumber-sumber
dan metode yang bervariasi wajib dicari dan dicobakan untuk mendapatkan informasi yang
tepat, apalagi bila persoalan perilaku yang diteliti memiliki beberapa fungsi yang berbeda,
sesuai dengan situasi serta kondisi tertentu. Misal: memberikan komentar-komentar spontan
yang tidak berhubungan selama guru menjelaskan di kelas mungkin berfungsi mendapatkan
perhatian dari teman-teman sekelas, namun pada kondisi lain bertujuan agar siswa tidak
‘disuruh-suruh’ atau dipanggil guru ke depan kelas. Faktor-faktor yang kontekstual tersebut
sesungguhnya lebih dari sekumpulan data hasil observasi perilaku siswa karena melibatkan
fungsi afeksi dan kognitif siswa. Secara sederhana; pencetus (antecedent) suatu persoalan
perilaku tidak selalu dapat diobservasi langsung sehingga guru perlu melakukan penelitian
secara tidak langsung dengan melibatkan siswa untuk berdiskusi dan membicarakan
persoalannya. Jika seorang siswa mencoret-coret buku tugasnya ketika harus menyelesaikan
tugas yang tertulis di papan tulis, tidak berarti kemudian siswa itu adalah anak bandel yang
tidak mau mengikuti instruksi guru, tetapi mungkin adanya kenyataan bahwa siswa tidak tahu
apa yang harus dilakukan dan bagaimana caranya mengantisipasi kebingungan atau
ketidakmampuannya memahami soal di papan tulis.

Persoalan perilaku memiliki cabang-cabang yang menyebabkannya sehingga perlu dilakukan


observasi dan penilaian dari berbagai variabel yang memungkinkan. Tim guru perlu
mempertimbangkan mengenai ‘apa yang terjadi’ setelah suatu perilaku ditunjukan siswa,
apakah siswa ‘mendapatkan sesuatu’, atau ‘melarikan diri/menghindari diri dari sesuatu’.
Proses ini akan memudahkan tim mengidentifikasikan teknik-teknik yang sesuai dalam
melakukan asesmen fungsional perilaku dan kemudian menyusun sebuah rencana intervensi.
Beberapa pertanyaan di bawah ini dapat memberikan petunjuk bagi para guru untuk
memahami persoalan perilaku siswa.

Apakah persoalan perilaku berhubungan dengan tidak ditunjukannya (defisit) kemampuan


tertentu pada siswa?

Apakah ada bukti yang menunjukkan bahwa siswa tidak tahu sehingga tidak mampu
melakukannya? Siswa yang menunjukan perfoma perilaku yang rendah di satu bidang
tertentu mungkin menunjukan perilaku-perilaku yang dapat membantu mereka menghindari
atau melarikan diri dari tugas tersebut. Bila para guru mencurigai adanya bukti bahwa
seorang siswa tidak dapat melakukan tugasnya karena ada kemampuan siswa yang belum
terbangun, maka pertanyaan-pertanyaan berikut dapat dikembangkan:
 Apakah siswa memahami situasi-situasi tertentu dimana ia harus menjukan perilaku
tertentu?
 Apakah siswa menyadari bahwa ia tengah melakukan perilaku yang tidak dapat
diterima oleh lingkungan atau malah perilaku itu hanya sekedar ‘kebiasaan’?
 Apakah kontrol perilaku ada dalam diri siswa sendiri atau siswa tersebut sama sekali
tidak menyadarinya sehingga memerlukan bantuan orang lain?
 Apakah siswa memiliki keterampilan lain (perilaku baru/pengganti) yang diperlukan
untuk menampilkan perilaku yang diharapkan?

Apakah siswa mempunyai kemampuan dan keterampilan tertentu tetapi karena alasan lain ia
tidak menunjukan keinginan untuk mengubah perilakunya?

Terkadang seorang siswa memiliki kemampuan pada bidang pelajaran tertentu, tetapi karena
suatu alasan, ia tidak menunjukan secara konsisten dalam situasi dan kondisi tertentu.
Kondisi ini sering disebut sebagai ‘rendahnya perfoma perilaku’. Siswa yang mampu tetapi
tidak menunjukan kemampuannya secara konsisten mungkin mengalami kondisi dimana ia
mendapatkan berbagai konsekuensi yang kemudian mempengaruhi perilakunya. Perilaku
yang tidak diharapkan mendapatkan imbalan dari teman atau guru sementara perilaku yang
diharapkan tidak pernah atau kadang saja mendapatkan imbalan. Bila kondisi ini terjadi,
maka pertanyaan-pertanyaan berikut dapat dikembangkan guru.
 Apakah mungkin ada ketidakjelasan perilaku? Misal: berteriak dan bertepuk tangan
keras-keras dilakukan siswa selama pelajaran olah raga di luar kelas, tetapi apakah
perilaku ini juga ditunjukan siswa selama kegiatan belajar mengajar di kelas?
 Apakah siswa memiliki pemahaman mengenai suatu nilai ketika ia menunjukan
perilakunya?
 Apakah persoalan perilaku itu berasosiasi dengan kondisi sosial atau lingkungan
tertentu?
 Apakah siswa berusaha menghindari tugas yang ‘kurang diminati’ atau malah
menghindari tugas yang menjadi tuntutan guru?
 Apakah di kelas ada aturan, rutinitas, dan harapan yang dianggap oleh siswa ‘tidak
masuk akal’?

Mempertimbangkan berbagai pertanyan di atas dapat membantu guru dalam menentukan


komponen-komponen asesmen yang tepat sehingga intervensi yang akan direncanakan pun
dapat efektif.

Berbagai Teknik dalam Asesmen Fungsional Perilaku


Asesmen tidak langsung: sering juga disebut asesmen informan, asesmen ini sangat
bergantung pada penggunaan pertanyaan terstruktur yang berkaitan dengan siswa. Para guru
perlu menstrukturkan berbagai pertanyaan yang berhubungan dengan informasi-informasi,
seperti:
 Setting-setting mana saja observasi akan dilakukan?
 Adakah setting tertentu dimana perilaku tidak ditunjukan siswa?
 Siapa saja orang-orang yang ada pada saat siswa menunjukan persoalan perilakunya?
 Aktivitas atau interaksi apa yang sedang terjadi sebelum perilaku ditunjukan?
 Apa yang biasanya terjadi kemudian setelah persoalan perilaku ditunjukan?
 Perilaku apa saja yang dianggap lebih tepat, dapat diterima, dan mungkin mampu
menggantikan persoalan perilaku?

Interview dengan siswa sangat membantu guru untuk mengidentifikasikan persepsi siswa
terhadap situasi tertentu yang menyebabkan mereka merespon secara negatif melalui perilaku
mereka. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat disampaikan guru adalah:
 Apa yang kamu pikirkan sebelum kamu memukul wajah temanmu?
 Bagaimana soal perkalian ini menurutmu?
 Apakah kamu tahu apa yang diharapkan oleh Ibu Guru X kepada mu selama pelajaran
matematika di kelas?
 Sewaktu kamu berteriak, menangis, dan menjerit di kelas, apa yang biasanya terjadi
sesudah itu?

Kuesioner, skala, dan checklist juga dapat digunakan dalam asesmen tidak langsung.
Informasi mengenai penggunaan Instrumen-instrumen dapat ditemukan dalam berbagai
literatur pendidikan.

Asemen langsung: meliputi observasi dan pencatatan situasional berbagai faktor yang
berhubungan dengan persoalan perilaku, misalnya kejadian-kejadian dari antecedent dan
consequent. Para guru dapat melakukan observasi pada setting tertentu dimana perilaku
terjadi dan mencatat menggunakan lembaran data Antecedent-Behavior-Consequence (ABC).
Guru yang melakukan observasi juga dapat menggunakan matriks atau grafik untuk
menunjukan hubungan antara variabel-variabel instruksional tertentu dan respon-respon yang
ditunjukan siswa. Teknik-teknik ini sangat berguna dalam menampilkan: faktor-faktor
lingkungan fisik (pengaturan tempat), kegiatan-kegiatan (mata pelajaran tertentu), atau
faktor-faktor temporer lainya (sakit) yang mungkin mempengaruhi perilaku siswa. Alat-alat
tersebut dapat dikembangkan untuk mengetahui variabel-variabel tertentu dalam pertanyaan
dan dapat diperluas untuk menganalisa perilaku dan situasi-situasi lain. Misalnya dengan
pembagian waktu (inkrimen) setiap 5 menit, 30 menit, 1 jam, atau bahkan satu hari.
Observasi yang secara konsisten dilakukan lintas waktu dan situasi mampu merefleksikan
pengukuran yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif sehingga observasi ini sangat
direkomendasikan untuk dilakukan oleh para guru.

Analisa data: ketika tim sudah cukup puas dengan data yang terkumpul, langkah berikutnya
adalah membandingkan dan menganalisa informasi. Analisa data akan menentukan ada atau
tidaknya pola-pola yang berasosiasi dengan perilaku (saat Gunadi tersenggol atau tertabrak
anak lain, ia akan bereaksi dengan memukul). Jika pola-pola tidak dapat ditemukan, tim guru
wajib mengkaji ulang asesmen fungsional perilaku dan menggunakan metode lainnya untuk
meneliti perilaku siswa.

Membangun hipotesis: dilakukan dari hasil analisa informasi yang didapat. Guru dapat
membuat suatu hipotesis berdasarkan fungsi perilaku yang ditemukannya. Hipotesis ini akan
memprediksikan kondisi-kondisi umum dimana perilaku sering terjadi (antecedent) serta
konsekuensi yang menyertainya hingga kemudian akan melanggengkan persoalan perilaku di
kemudian hari. Melalui asesmen fungsional perilaku dapat diketahui apakah komentar-
komentar Fahri yang tidak relevan selama belajar di kelas mempunyai fungsi untuk mencari
perhatian (persetujuan verbal dari teman sekelas), menghindari instruksi (tugas yang sulit),
mendapatkan sesuatu yang bersifat sensoris (stimulasi internal), atau malah semuanya, untuk
mendapatkan perhatian dan menghindari subyek-subyek tertentu yang tidak diiminatinya.
Bila perilaku yang diteliti sudah diketahui fungsinya, maka rencana intervensi perilaku
individual dapat dilakukan. Namun sebelum semua rencana intervensi itu dilakukan, para
guru wajib membangun suatu hipotesis (penjelasan yang mungkin) dari perilaku Fahri. Para
guru mungkin memberikan hipotesis bahwa perilaku Fahri memberikan komentar-komentar
yang tidak relevan selama belajar bertujuan untuk mendapatkan perhatian teman sekelasnya.
Tim guru perlu mengakomodasikan kebutuhan ini dalam lingkungan kelas Fahri dan
memastikan bahwa ia mendapatkan perhatian dari teman sekelasnya dengan cara-cara yang
wajar. Bila perubahan perilaku Fahri terjadi melalui manipulasi yang dilakukan guru, maka
dapat dipastikan bahwa hipotesis tadi benar, tetapi bila perilakunya tetap sama sekalipun
lingkungan sudah dimanipulasi maka hipotesis baru perlu dibuat kembali berdasarkan data-
data yang telah dikumpulkan dari proses asesmen. Meski alat dalam asesmen fungsional
perilaku dan informasi-informasi lain juga dilampirkan diakhir makalah, namun hal penting
yang perlu dicatat oleh para guru adalah bahwa dalam setiap kasus-kasus perkembangan
belajar siswa di sekolah, intervensi tidak didasarkan pada satu jenis pengukuran dan satu
observer saja. Melalui berbagai percobaan dan pengalaman maka banyak komponen dalam
asesmen dapat dilakukan oleh para guru di sekolah.

Rencana Intervensi Perilaku


Setelah analisa data dan menyusun hipotesis dari suatu fungsi perilaku tertentu, maka tim
guru dapat menyusun rencana intervensi perilaku yang mungkin dapat dilakukan. Rencana
intervensi dapat meliputi: strategi-stragtegi instruksional yang positif, modifikasi program
pembelajaran (kurikulum), tambahan alat bantu pengajaran, dan dukungan lainnya yang
diperlukan dalam menangani persoalan perilaku yang ditemukan di kelas. Data-data yang
dikumpulkan selama asesmen memberikan informasi mengenai kondisi aktual siswa dan
perilaku yang diharapkan (target) sehingga mampu memberikan obyektivitas bagi para guru
di sekolah umum (reguler) ketika ABK di-inklusikan dalam kelas/sekolahnya. Guru tidak
hanya menggunakan informasi tersebut untuk membangun target-target perilaku yang
diharapkan selama belajar di sekolah tetapi mereka juga dapat meneliti kondisi-kondisi
lingkungan kelas dan kurikulum untuk dimodifikasi agar sesuai dengan kebutuhan
perkembangan siswa yang bersangkutan.

Rencana-rencana intervensi menekankan kemampuan yang dimiliki siswa agar ia dapat


berperilaku sesuai dengan yang diharapkan oleh lingkungan di sekitarnya. Rencana intervensi
juga dapat berisi tentang bagaimana memberikan dukungan dan motivasi pada siswa untuk
mencapai suatu standar perilaku yang diharapkan. Suatu rencana intervensi yang hanya
menekankan pada ‘kontrol perilaku’ berpeluang mengalami kegagalan mencapai generalisasi
(kemampuan memecahkan masalah di berbagai setting dan situasi yang berbeda), situasi ini
akan mengesampingkan kebutuhan belajar siswa yang sesungguhnya. Rencana-rencana
positif dalam intervensi perilaku dapat mengakomodasikan antara sumber persoalan dan
persoalan perilaku itu sendiri, sehingga tim guru perlu mempertimbangkan hal-hal berikut
ketika merencanakan dukungan dan intervensi bagi siswa mereka.
 manipulasi antecedent dan, atau kosekuensi dari perilaku
 mengajarkan perilaku pengganti yang dapat diterima oleh lingkungan dan berfungsi
sama dengan persoalan perilaku yang ditunjukan siswa
 implementasi perubahan strategi pengajaran dan kurikulum
 modifikasi lingkungan fisik

Bagian selanjutnya akan menguraikan beberapa kondisi yang mungkin terjadi pada siswa dan
bagaimana upaya guru dalam mengembangkan rencana intervensi.

Bila Siswa Tidak Menunjukan (Defisit) Kemampuan yang diharapkan


Asesmen dapat mengindikasikan adanya ketidakmampuan siswa untuk menunjukan
keterampilan tertentu dan siswa tidak mengetahui bagaimana menampilkan kemampuan yang
diharapkan. Asesmen fungsional perilaku akan menunjukan bahwa siswa cenderung akan
menghindari atau melarikan diri dari: (a) situasi-situasi tertentu dimana ia tidak mampu
menampilkan kemampuan yang diharapkan (b) karena tidak mampu menampilkan perilaku
yang diharapkan, maka siswa akan menunjukan perilaku alternatif yang diyakini dapat
memenuhi kebutuhannya. Contoh, seorang siswa dapat menunjukan perilaku yang kasar
dengan memukul, mendorong, atau ‘menjitak’ kepala temannya untuk mengakhiri situasi
konfrontasional yang dihadapinya di sekolah. Bila kemudian siswa diajarkan kemampuan
memecahkan masalah secara tepat, maka siswa tersebut akan menggunakan cara-cara yang
tidak lagi kasar jika menghadapi situasi konfrontasional lainnya. Dalam kasus ini, para guru
perlu menyertakan berbagai rencana dan deskripsi mengenai bagaimana mengajarkan
kemampuan memecahkan masalah yang menjadi kebutuhan perkembangan siswa saat itu.

Menjelaskan kepada siswa mengenai perilaku yang diharapkan dengan cara-cara yang
konkret, baik melalui penggunaan alat bantu, strategi pengajaran tertentu, dan modifikasi
yang diperlukan, akan memberikan pengetahuan dan pemahaman bagi siswa yang tidak tahu
harus berbuat apa dalam situasi tertentu. Kalau perilaku yang diharapkan dari siswa adalah
untuk ‘mendengarkan secara aktif penjelasan guru dalam Pelajaran PPKN’, contoh rencana
intervensinya:
Target Perilaku: Selama guru menjelaskan pelajaran PPKN di depan kelas, Anton akan
membuat komentar dan pertanyaan yang berhubungan dengan pelajaran hingga 80%
kesempatan.

Tujuan: Selama 30 menit pelajaran di kelas besar (lebih dari 20 siswa), Anton akan
menyampaikan 3 pertanyaan dan 2 di antaranya berhubungan (relevan) dengan materi yang
disampaikan guru.

Aktivitas-aktivitas untuk mencapai target perilaku dan tujuan yang diharapkan:


 guru memberikan contoh model dan situasi-situasi dimana Anton harus mendengar
dan membantu Anton mengidentifikasikan komponen-komponen dari kemampuan
mendengar aktif (misal: tangan di atas meja, kaki diam tidak bergerak, mata melihat
pada guru yang sedang berbicara, bibir tertutup, memikirkan semua yang telah
dikatakan guru dan menentukan perlu tidaknya informasi tambahan, mengenali
perasaan yang muncul selama guru menerangkan, dan memberikan komentar atau
pertanyaan bila perlu)
 Anton akan membuat daftar situasi di mana kemampuan mendengarkan aktif
diperlukan kemudian menjelaskan perilaku-perilaku yang sesuai dalam setiap
situasinya
 Anton akan berpartisipasi dalam ‘role-play’ di mana ia harus menunjukan
kemampuan mendengarkan aktif
 Anton akan berlatih kemampuan mendengar aktif sesuai dengan daftar situasi-situasi
yang telah dibuatnya dan akan melaporkan hasilnya pada guru, konselor, atau orang
tua
 Guru dan Anton bersama-sama memonitor sejauh mana kemampuan mendengar aktif
selama pelajaran dan akan mendapatkan penguatan personal seperti: ‘Saya sudah
mendengarkan dengan baik’
 Anton akan mengidentifikasikan dan menggunakan kemampuan mendengar aktif
dalam situasi-situasi yang berbeda

Bila kemudiana ada siswa yang tidak menyadari perilakunya dan bertindak berdasarkan
kebiasaan, maka guru dapat merencanakan penggunaan petunjuk sebagai bantuan. Bantuan
ini dapat sangat personal dan mungkin hanya diketahui oleh guru dan siswa sendiri. Beni
yang secara impulsif suka menjawab pertanyaan guru di kelas tanpa tunjuk jari, maka perlu
ada kesepakatan bila hal ini dilakukan Beni di kelas. Misal, guru akan melihat langsung pada
Beni dan kemudian memberikan petunjuk dengan mengangkat tangan kanan. Jika kemudian
Beni menyadari lalu kemudian ia tunjuk jari, maka guru memperbolehkan Beni untuk
menjawab pertanyaan yang diberikan.

Ada juga kemungkinan siswa tidak mampu mengontrol perilakunya jika tidak dibantu oleh
guru. Hal ini dapat terjadi karena alasan yang bersifat biologis atau medis. Meskipun tim guru
tidak melakukan diagnosa medis dalam PPI tetapi dapat dicantumkan rujukan atau referal
untuk mendapatkan evaluasi medis lebih lanjut. Bahkan jika perlu, dokter ahli dapat
merekomendasikan untuk menggunakan obat tertentu.

Modifikasi pembelajaran dan penggunaan alat bantu seringkali diperlukan dalam


mengajarkan kemampuan akademis (sama halnya dengan perilaku dan kognitif) sehingga
menuntut guru melakukan ‘task analysis’ (memecah tugas dalam unit-unit kemampuan yang
dapat diajarkan). Jika kemampuan yang hendak diajarkan adalah ‘menalar dan memecahkan
masalah sosial’, maka kemampuan individual yang dapat diajarkan adalah:
 Mendeskripsikan persoalan (Apa yang menjadi tujuan? Apa hambatannya?)
 Menuliskan semua kemungkinan penyelesaian masalah
 Menentukan konsekuensi dari setiap penyelesaian masalah
 Mengevaluasi tiap penyelesaian masalah dan menentukan cara terbaik yang dapat
berlaku dalam jangka panjang
 Memilih solusi terbaik
 Merencanakan bagaimana menerapkannya
 Mengevaluasi

Sementara metode pengajarannya dapat dibagi dalam komponen-komponen berikut:


 Mengidentifikasikan tahapan-tahapan yang diperlukan dalam penyelesaian masalah
 Mengenali tahapannya ketika guru dan teman sebaya memberikan model
 Berpartisipasi dalam role-play yang menuntut kemampuan memecahkan masalah
 Berlatih memecahkan masalah dalam situasi-situasi kehidupan nyata

Teknik di atas umumnya disebut sebagai ‘integrasi kurikulum’ yang mendasarkan pada kosep:
‘suatu keterampilan akan mudah dipelajari bila diajarkan dalam konteks di mana
keterampilan tersebut digunakan’.

Bila Performa Siswa Tidak Konsisten Ditunjukan


Asesmen yang mengindikasikan adanya kemampuan siswa tetapi ia tidak menunjukannya
secara konsisten, maka rencana intervensi akan meliputi berbagai teknik, strategi, dan
dukungan motivasi agar siswa dapat menunjukan kemampuannya.

Bila hasil analisa menunjukan bahwa siswa melakukan perbuatannya untuk mendapatkan
kesenangan tertentu (reinforcement), maka intervensi yang direncanakan harus dapat
membuat perilaku yang diharapkan dari siswa memiliki konsekuensi yang menyenangkan.
Ketika seorang siswa sengaja membuat komentar yang tidak pantas di kelas agar semua
teman-temannya tertawa, maka rencana intervensinya adalah memberikan imbalan yang
menyenangkan pada siswa tersebut hanya jika ia membuat komentar yang tepat/wajar.
‘Kontrak perilaku’ atau ‘token ekonomi’ dapat juga diterapkan untuk mengubah perilaku
tersebut.

Beberapa siswa kadang menunjukan persoalan perilakunya manakala mereka tidak melihat
nilai yang sesungguhnya. Bila Charlie ingin menjadi pemusik ketika dewasa nanti, mungkin
ia tidak melihat nilai positif dalam pelajaran matematika untuk bekalnya di kemudian hari
sebagai pemusik. Dengan demikian, intervensi yang dilakukan juga harus meliputi strategi
meningkatkan motivasi Charlie, misalnya dengan menunjukan bahwa ia harus lulus
matematika untuk dapat diterima sebagai di sekolah musik .

Teknik lainnya ketika bekerjasama dengan siswa yang minim motivasi ‘internal’nya adalah
memberikan motivasi ‘eksternal’. Siswa yang tidak mampu melihat nilai intrinsik dari setiap
perilakunya, setidaknya mendapatkan dukungan dari berbagai jenis imbalan ektrinsik, seperti:
waktu bebas, kegiatan yang menyenangkan, token, dsb. Tentu saja hal ini secara gradual akan
dihilangkan (fading out) dan disesuaikan dengan kondisi natural siswa sendiri. Semua ini
dilakukan melalui proses yang disebut ‘pairing’.
Bila Keduanya Tidak Konsisten Ditunjukan

Beberapa persoalan siswa mungkin akan jauh lebih kompleks dibandingkan dengan siswa
lainnya sehingga memerlukan kombinasi teknik-teknik dan bantuan tertentu. Misalnya,
seorang siswa yang sulit mengontrol kemarahannya sehingga ia dapat menyakiti dirinya
sendiri dan orang lain, maka ia perlu diajarkan untuk:
 Mengenali tanda-tanda fisik ketika ia akan marah
 Mengunakan teknik relaksasi
 Mengaplikasikan kemampuan memecahkan masalah
 Melatih kemampuan berkomunikasi (dengan dukungan alat bantu bila diperlukan)
 Menemui konselor sekolah secara rutin
 Modifikasi kurikulum atau lingkungan belajar, dsb.

Pemberian imbalan eksternal dapat dilakukan untuk mengatasi persoalan ketidakmampuan


mengontrol kemarahan siswa. Para ahli dan praktisi pendidikan sepakat untuk tidak
menggunakan pendekatan yang kasar (aversive) sebagai teknik mengontrol perilaku yang
dianggap menganggangu, namun dalam kasus dan situasi tertentu, hal tersebut dapat
dibenarkan, bila:
 Perilaku itu membahayakan nyawa siswa sendiri dan nyawa orang lain
 Perilaku yang ditunjukan mengancam dan membatasi peluang siswa sendiri dan siswa
lain untuk belajar dan bersosialisasi
 Segala bentuk intervensi positif telah dicoba dalam waktu yang panjang dan ternyata
tidak efektif (diperlukan data)

Para guru wajib mempertimbangkan berbagai pendekatan positif sebelum mengambil


keputusan untuk menggunakan hukuman (punishment). Hukuman pada kenyataannya selalu
membuat perilaku bertambah buruk dan tidak menimbulkan proses belajar yang benar.
Hukuman juga hanya menghasilkan kontrol sesaat pada gejala permasalahan perilaku dan
tidak mengakomodasikan fungsi perilaku serta kebutuhan perkembangan anak sendiri.

Sebagai tambahan selain faktor kemampuan dan motivasi siswa, asesmen fungsional perilaku
dapat mengungkapkan kondisi-kondisi dalam lingkungan belajar siswa yang berasosiasi
dengan persoalan perilaku yang ditunjukan. Faktor-faktor tersebut sangat bergaman dan dapat
meliputi penataan fisik kelas yang tidak tepat, tugas-tugas pembelajaran dari guru yang
terlalu ‘menuntut’ atau ‘itu-itu saja’, iklim sosial sekolah yang tidak sehat, dsb. Namun sekali
lagi, modifikasi kurikulum dan lingkungan belajar yang ramah terhadap semua siswa akan
selalu mampu mengatasi persoalan-persoalan di atas. Dukungan positif selalu diperlukan agar
siswa menunjukan perilakunya secara tepat, baik melalui kehadiran konselor maupun
psikolog sekolah, atau sumber-sumber lainnya, misalnya:
 Teman sebaya yang mendukung perilaku maupun kompetensi akademis siswa yang
‘bermasalah’ melalui tutoring dan aktivitas-aktivitas dalam resolusi konflik yang akan
mengakomodasikan kebutuhan sosial siswa
 Dukungan keluarga melalui pola pengasuhan dan kebiasaan-kebiasaan positif dalam
keluarga, misal melalui pembuatan jadwal terstruktur di rumah, kebiasaan
mengerjakan PR, dan peluang-peluang untuk memilih dan mengambil keputusan
 Guru dan Guru Pendamping Khusus yang selalu mengupayakan dukungan akademis,
modifikasi kurikulum dalam meningkatkan peluang siswa berpartisipasi di sekolah
sehingga perilakunya menjadi semakin ‘prososial’
 Praktisi lain yang ada di sekolah, seperti: psikolog, terapis wicara dan terapis okupasi
yang dapat mengembangkan kemampuan siswa baik secara internal maupun
ekspektasi yang diharapkan

Apapun pendekatan yang dilakukan oleh guru, bila rencana intervensi berkembang semakin
proaktif dan inklusif serta merefleksikan kebutuhan perkembangan siswa yang sesungguhnya,
maka semakin besar peluang keberhasilan intervensinya.
Secara singkat, menggunakan intervensi positif berarti:
 Menggantikan persoalan perilaku dengan perilaku yang dapat diterima lingkungan
dan berfungsi sama dengan persolan perilaku yang ditunjukan
 Meningkatnya intesitas perilaku-perilaku yang prososial
 Membuat perubahan pada lingkungan dengan mengeliminasi faktor-faktor yang
mencetuskan berbagai persoalan perilaku
 Memberikan dukungan dan bantuan yang diperlukan bagi pemenuhan kebutuhan
siswa

Mengevaluasi Rencana Intervensi


Dua prosedur yang perlu dilakukan dalam menyusun rencana intervensi adalah: (1) prosedur
monitoring berupa manajemen kelas dalam implementasi setiap rencana kegiatan, (2)
prosedur dalam mengukur perubahan perilaku. Tim guru harus menentukan batas waktu
dalam mengiplementasikan dan melakukan asesmen ulang dari suatu perubahan perilaku
tertentu yang konsisten dengan keseluruhan target intervensi. Agar semakin berarti, PPI harus
diriview secara berkala atau jika tim perumus PPI merasa perlu meninjau kembali. Situasi-
situasi yang mungkin mengarahkan pada perlunya perubahan PPI, diantaranya adalah:

 Perilaku yang diharapkan dari siwa sudah mencapai target dan tujuan sehingga target-
target baru perlu disusun dan direncanakan
 Perubahan ‘kondisi/situasi’; intervensi perilaku sudah lagi tidak diperlukan dalam
mengakomodasikan kebutuhan belajar siswa
 Perubahan penempatan belajar siswa yang disepakati bersama seluruh anggota tim
penyusun PPI
 Intervensi perilaku yang sesungguhnya tidak sekedar membawa perubahan-perubahan
yang baik pada setiap perilaku siswa tetapi juga memberikan evaluasi terhadap
seluruh keberhasilan siswa

Rangkuman

Pelaksanaan asesmen fungsional perilaku berkaitan dengan hasil belajar siswa


memungkinkan para guru menyusun PPI lebih efektif dan efisien. Kapasitas dan peluang
belajar siswa merupakan pertimbangan utama sehingga semuanya dapat dicapai melalui
rancangan intervensi yang spesifik, tidak saja berisi tentang perilaku yang harus ditunjukan
siswa tetapi juga mengajarkan alternatif perilaku, pemberian dukungan, peluang, dan
motivasi untuk mencapai kemampuan tertentu. Jika semua itu dilakukan dengan tepat maka,
seluruh staf di sekolah berpeluang menciptakan lingkungan belajar yang mengakomodasikan
kebutuhan belajar seluruh siswanya.
Bahan Bacaan

Alberto, P.A., & Troutman, A.C. (1995). Applied behavior analysis for teachers (4th
ed.).Englewood Cliffs, NJ: Merrill/Prentice-Hall.
Bullock, L.M., & Gable, R.A. (Eds.) (1997). Making collaboration work for children,
youth,families, schools, and communities. Reston, VA: Council for Children with Behavioral
Disorders &Chesapeake Institute.
Durand, V. M. (1993). Functional assessment and functional analysis. In M. D.
Smith (Ed.). Behavior modification for exceptional children and youth. Boston: Andover
Medical Publishers.
Gable, R. A., Sugai, G. M., Lewis, T. J., Nelson, J. R., Cheney, D., Safran, S. P., &
Safran,
Iwata, B. A., Vollmer, T. R., & Zarcone, J. R. (1990). The experimental (functional)
analysis of behavior disorders: Methodology, applications, and limitations. In A. C. Repp &
N. Singh (Eds.), Aversive and nonaversive treatment: The great debate in developmental
disabilities (pp. 301-330). DeKalb, IL: Sycamore Press.
Kaplan, J.S. (with Carter, J.) (1995). Beyond behavior modification: A cognitive-
behavioral approach to behavior management in the school (3rd edition). Austin, TX: Pro-Ed.
Kerr, M.M., & Nelson, C.M. (1998). Strategies for managing behavior problems in
the classroom (3rd edition). New York: MacMillan.
Lawry, J. R., Storey, K., & Danko, C. D. (1993). Analyzing behavior problems in
the classroom: A case study of functional analysis. Intervention in the School and Clinic, 29,
96-100.
Rutherford, R.B., Quinn, M.M., & Mathur, S.R. (1996). Effective strategies for
teaching appropriate behaviors to children with emotional/behavioral disorders. Reston, VA:
Council for Children with Behavioral Disorders.
Schmid, R. E., & Evans, W. H. (1997). Curriculum and instruction practices for
students with emotional/behavioral disorders. Reston, VA: Council for Children with
Behavioral Disorders.
Sugai, G. M., & Tindal, G. A. (1993). Effective school consultation: An interactive
approach. Pacific Grove, CA: Brooks/Cole.
Walker, H. M., Colvin, G., & Ramsey, E. (1995). Antisocial behavior in school:
Strategies and best practices. Pacific Grove, CA: Brooks/Cole.

Anda mungkin juga menyukai