Pendahuluan
Guru-guru telah lama menyadari bahwa persoalan perilaku akan menghambat siswa untuk
berfungsi secara produktif di kelas. Para pendidik sangat memahami bahwa terdapat
hubungan antara perilaku dan belajar dalam keberhasilan siswa di sekolah. Undang-Undang
mengenai Sistem Pendidikan Nasional 2006 yang membuka peluang pendidikan yang sama
bagi setiap individu termasuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di dalamnya dan PP
19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, meski tidak eksplisit, namun memberikan
arahan bagi seluruh staf sekolah untuk mempertimbangkan kerangka perilaku sebagai sarana
pendukung dalam memahami persoalan-persoalan perilaku yang berpengaruh pada kegiatan
belajar mengajar di sekolah. Mendukung semua kebutuhan para siswa di sekolah, baik yang
tipikal maupun mereka yang mengalami hambatan perkembangan dan hambatan belajar di
sekolah adalah prioritas pendidikan kita dewasa ini.
Subyek dari makalah ini adalah dukungan bagi para guru atau tim guru yang bertanggung
jawab terhadap Program Pembelajaran Individual (PPI) setiap siswa di kelas sehingga
pemahaman terhadap asesmen fungsional perilaku dan rencana positif intervensi mutlak
diperlukan di sekolah. Makalah ini bertujuan untuk membangun wacana didaktis serta
mengimplementasikan asesmen fungsional perilaku dan rencana intervensi dalam
mengembangan PPI oleh tim guru di sekolah. Untuk memberikan gambaran yang jelas,
bagian awal akan mengupas konsep asesmen fungsional perilaku sebagai proses dan petunjuk
dalam melaksanakannya. Selanjutnya, adalah ulasan mengenai rencana intervensi, termasuk
penjelasan bagaimana membangun, menerapkan, dan mengevaluasi berbagai intervensi yang
telah dilaksanakan.
Makalah ini menggunakan terminologi umum dan teknis untuk membantu para pembaca
memahami teknik-teknik yang ada dan memberikan kosa kata yang diperlukan untuk mencari
informasi mendalam mengenai suatu subyek. Makalah ini tidak ditujukan sebagai suatu
bentuk pelatihan lengkap karena hanya menawarkan sebuah gambaran umum mengenai
teknik-teknik yang digunakan. Tidak ditujukan pula untuk memberikan suatu advokasi dari
dasar filosofis tertentu karena selalu dibutuhkan kombinasi berbagai teknik untuk memahami
fungsi-fungsi perilaku, kognisi, dan afeksi seorang siswa agar dapat dikembangkan intervensi
positif dari setiap perilaku siswa.
Beberapa contoh di atas menunjukan adanya kemiripan topografi perilaku (yang terlihat dan
dapat didengar), namun pada setiap kasus di atas penyebab atau ‘fungsi’ dari perilaku-
perilaku di atas berbeda. Bila fokus kita hanya pada topografi perilaku saja maka sedikit
informasi yang dapat dikembangkan untuk membangun intervensi yang efektif.
Mengidentifikasikan penyebab perilaku siswa atau lebih tepatnya mengetahui apa yang
‘didapatkan’ atau ‘dihindari’ siswa melalui perilakunya dapat menyediakan informasi yang
diperlukan bagi para guru dalam mengembangkan PPI. Memahami persoalan perilaku pada
siswa memungkinkan terjadinya strategi-strategi pembelajaran yang proaktif sehingga
berpengaruh positif pada aspek akademis siswa di sekolah. Menghukum dengan cara
memarahi, menegur, atau bahkan pemberian hukuman fisik, hanya mengatasi gejala-gejala
dari persoalan perilaku yang timbul, tetapi tidak menyelesaikan persoalan yang dirasakan Adi,
frustrasi dari Beni, kejenuhan Cica, dan persoalan stimulasi yang berlebihan pada Dudi.
Dengan demikian persoalan tersebut akan terus terjadi, kecuali bila penyebab dari persoalan-
persoalan perilaku di atas diselesaikan oleh para guru.
Asesmen Fungsional Perilaku adalah suatu pendekatan yang menggabungkan berbagai teknik
dan strategi untuk mengetahui penyebab-penyebab dan kemudian mengidentifikasikan
intervensi yang tepat untuk mengatasi persoalan perilaku yang ada. Prosedur ini akan melihat
lebih dari sekedar perilaku yang tampak (overt) melalui topografi perilaku, tetapi lebih jauh
akan mempertimbangkan aspek-aspek biologis, sosial, afeksi, dan lingkungan yang mungkin
mendorong, dipertahankan atau diakhirinya suatu bentuk perilaku tertentu. Pendekatan ini
sangat penting karena mendorong para guru untuk mengobservasi perilaku siswa lebih jauh
melalui analisi fungsional dalam mencari akar persoalan perilaku pada siswa. Penggunaan
pertanyaan ‘mengapa’ sejak dulu telah terbukti efektif mengatasi dan mencari alternatif
penyelesaian dari berbagai persoalan dalam hidup.
Pertimbangan wajar/tepat tidaknya suatu bentuk perilaku tidak selalu sama dengan apa yang
disebut sebagi ‘fungsi’ dari perilaku. Misalnya, mendapatkan nilai-nilai yang bagus di kelas
dapat berfungsi sama dengan perilaku usil/jahil di kelas yang bertujuan untuk mendapatkan
perhatian dari teman sebaya atau guru kelas. Namun kita semua yakin bahwa jauh lebih wajar
atau tepat bagi seorang siswa mendapatkan nilai bagus di kelas daripada mengganggu di
kelas. Bila para guru mengembangkan PPI melalui asesmen fungsional perilaku maka
dimungkinkan adanya informasi bahwa siswa mencari perhatian di kelas dengan cara-cara
yang kurang tepat sehingga ‘kebutuhan’ akan hal ini dapat diarahkan pada perilaku alternatif
yang memiliki ‘fungsi sama’ dengan persoalan perilaku siswa. Menggunakan asesmen
fungsional perilaku dalam membangun PPI memungkinkan seluruh tim merancang rencana
pembelajaran yang mendukung terciptanya ‘perilaku pengganti’ yang fungsinya sama dengan
persoalan perilaku yang ditunjukan (misal pada kasus di atas adalah mengajarkan Beni
menyampaikan pemintaan tolong/bantuan pada guru dengan suara jelas dan tenang ketika
mendapatkan soal perkalian yang dianggapnya sulit). Di sisi lain, menggunakan pendekatan
ini juga memungkinkan tim membangun strategi untuk menurunkan bahkan menghilangkan
‘peluang’ terjadinya lagi persoalan perilaku di sekolah sehingga berpengaruh pada hasil
akademis (memastikan bahwa Cica mendapatkan tugas bahasa yang sesuai dengan kebutuhan
perkembangannya).
Edi anak yang hiperaktif Edi keluar dari kursi dan berjalan-jalan di kelas tanpa
meminta ijin guruselama pelajaran di kelas
Jika persoalan perilaku sudah didefinisikan secara jelas, maka tim dapat memulai
merencanakan asesmen fungsional perilaku untuk menentukan fungsi-fungsi dari perilaku
tertentu. Diperlukan observasi yang obyektif di lokasi, situasi, dan kegiatan-kegiatan yang
berbeda. Bahkan perlu juga dilakukan diskusi bersama staf guru lainnya untuk mendapatkan
kejelasan dari suatu bentuk perilaku yang spesifik pada salah seorang siswa yang dianggap
‘bermasalah’.
Apakah ada bukti yang menunjukkan bahwa siswa tidak tahu sehingga tidak mampu
melakukannya? Siswa yang menunjukan perfoma perilaku yang rendah di satu bidang
tertentu mungkin menunjukan perilaku-perilaku yang dapat membantu mereka menghindari
atau melarikan diri dari tugas tersebut. Bila para guru mencurigai adanya bukti bahwa
seorang siswa tidak dapat melakukan tugasnya karena ada kemampuan siswa yang belum
terbangun, maka pertanyaan-pertanyaan berikut dapat dikembangkan:
Apakah siswa memahami situasi-situasi tertentu dimana ia harus menjukan perilaku
tertentu?
Apakah siswa menyadari bahwa ia tengah melakukan perilaku yang tidak dapat
diterima oleh lingkungan atau malah perilaku itu hanya sekedar ‘kebiasaan’?
Apakah kontrol perilaku ada dalam diri siswa sendiri atau siswa tersebut sama sekali
tidak menyadarinya sehingga memerlukan bantuan orang lain?
Apakah siswa memiliki keterampilan lain (perilaku baru/pengganti) yang diperlukan
untuk menampilkan perilaku yang diharapkan?
Apakah siswa mempunyai kemampuan dan keterampilan tertentu tetapi karena alasan lain ia
tidak menunjukan keinginan untuk mengubah perilakunya?
Terkadang seorang siswa memiliki kemampuan pada bidang pelajaran tertentu, tetapi karena
suatu alasan, ia tidak menunjukan secara konsisten dalam situasi dan kondisi tertentu.
Kondisi ini sering disebut sebagai ‘rendahnya perfoma perilaku’. Siswa yang mampu tetapi
tidak menunjukan kemampuannya secara konsisten mungkin mengalami kondisi dimana ia
mendapatkan berbagai konsekuensi yang kemudian mempengaruhi perilakunya. Perilaku
yang tidak diharapkan mendapatkan imbalan dari teman atau guru sementara perilaku yang
diharapkan tidak pernah atau kadang saja mendapatkan imbalan. Bila kondisi ini terjadi,
maka pertanyaan-pertanyaan berikut dapat dikembangkan guru.
Apakah mungkin ada ketidakjelasan perilaku? Misal: berteriak dan bertepuk tangan
keras-keras dilakukan siswa selama pelajaran olah raga di luar kelas, tetapi apakah
perilaku ini juga ditunjukan siswa selama kegiatan belajar mengajar di kelas?
Apakah siswa memiliki pemahaman mengenai suatu nilai ketika ia menunjukan
perilakunya?
Apakah persoalan perilaku itu berasosiasi dengan kondisi sosial atau lingkungan
tertentu?
Apakah siswa berusaha menghindari tugas yang ‘kurang diminati’ atau malah
menghindari tugas yang menjadi tuntutan guru?
Apakah di kelas ada aturan, rutinitas, dan harapan yang dianggap oleh siswa ‘tidak
masuk akal’?
Interview dengan siswa sangat membantu guru untuk mengidentifikasikan persepsi siswa
terhadap situasi tertentu yang menyebabkan mereka merespon secara negatif melalui perilaku
mereka. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat disampaikan guru adalah:
Apa yang kamu pikirkan sebelum kamu memukul wajah temanmu?
Bagaimana soal perkalian ini menurutmu?
Apakah kamu tahu apa yang diharapkan oleh Ibu Guru X kepada mu selama pelajaran
matematika di kelas?
Sewaktu kamu berteriak, menangis, dan menjerit di kelas, apa yang biasanya terjadi
sesudah itu?
Kuesioner, skala, dan checklist juga dapat digunakan dalam asesmen tidak langsung.
Informasi mengenai penggunaan Instrumen-instrumen dapat ditemukan dalam berbagai
literatur pendidikan.
Asemen langsung: meliputi observasi dan pencatatan situasional berbagai faktor yang
berhubungan dengan persoalan perilaku, misalnya kejadian-kejadian dari antecedent dan
consequent. Para guru dapat melakukan observasi pada setting tertentu dimana perilaku
terjadi dan mencatat menggunakan lembaran data Antecedent-Behavior-Consequence (ABC).
Guru yang melakukan observasi juga dapat menggunakan matriks atau grafik untuk
menunjukan hubungan antara variabel-variabel instruksional tertentu dan respon-respon yang
ditunjukan siswa. Teknik-teknik ini sangat berguna dalam menampilkan: faktor-faktor
lingkungan fisik (pengaturan tempat), kegiatan-kegiatan (mata pelajaran tertentu), atau
faktor-faktor temporer lainya (sakit) yang mungkin mempengaruhi perilaku siswa. Alat-alat
tersebut dapat dikembangkan untuk mengetahui variabel-variabel tertentu dalam pertanyaan
dan dapat diperluas untuk menganalisa perilaku dan situasi-situasi lain. Misalnya dengan
pembagian waktu (inkrimen) setiap 5 menit, 30 menit, 1 jam, atau bahkan satu hari.
Observasi yang secara konsisten dilakukan lintas waktu dan situasi mampu merefleksikan
pengukuran yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif sehingga observasi ini sangat
direkomendasikan untuk dilakukan oleh para guru.
Analisa data: ketika tim sudah cukup puas dengan data yang terkumpul, langkah berikutnya
adalah membandingkan dan menganalisa informasi. Analisa data akan menentukan ada atau
tidaknya pola-pola yang berasosiasi dengan perilaku (saat Gunadi tersenggol atau tertabrak
anak lain, ia akan bereaksi dengan memukul). Jika pola-pola tidak dapat ditemukan, tim guru
wajib mengkaji ulang asesmen fungsional perilaku dan menggunakan metode lainnya untuk
meneliti perilaku siswa.
Membangun hipotesis: dilakukan dari hasil analisa informasi yang didapat. Guru dapat
membuat suatu hipotesis berdasarkan fungsi perilaku yang ditemukannya. Hipotesis ini akan
memprediksikan kondisi-kondisi umum dimana perilaku sering terjadi (antecedent) serta
konsekuensi yang menyertainya hingga kemudian akan melanggengkan persoalan perilaku di
kemudian hari. Melalui asesmen fungsional perilaku dapat diketahui apakah komentar-
komentar Fahri yang tidak relevan selama belajar di kelas mempunyai fungsi untuk mencari
perhatian (persetujuan verbal dari teman sekelas), menghindari instruksi (tugas yang sulit),
mendapatkan sesuatu yang bersifat sensoris (stimulasi internal), atau malah semuanya, untuk
mendapatkan perhatian dan menghindari subyek-subyek tertentu yang tidak diiminatinya.
Bila perilaku yang diteliti sudah diketahui fungsinya, maka rencana intervensi perilaku
individual dapat dilakukan. Namun sebelum semua rencana intervensi itu dilakukan, para
guru wajib membangun suatu hipotesis (penjelasan yang mungkin) dari perilaku Fahri. Para
guru mungkin memberikan hipotesis bahwa perilaku Fahri memberikan komentar-komentar
yang tidak relevan selama belajar bertujuan untuk mendapatkan perhatian teman sekelasnya.
Tim guru perlu mengakomodasikan kebutuhan ini dalam lingkungan kelas Fahri dan
memastikan bahwa ia mendapatkan perhatian dari teman sekelasnya dengan cara-cara yang
wajar. Bila perubahan perilaku Fahri terjadi melalui manipulasi yang dilakukan guru, maka
dapat dipastikan bahwa hipotesis tadi benar, tetapi bila perilakunya tetap sama sekalipun
lingkungan sudah dimanipulasi maka hipotesis baru perlu dibuat kembali berdasarkan data-
data yang telah dikumpulkan dari proses asesmen. Meski alat dalam asesmen fungsional
perilaku dan informasi-informasi lain juga dilampirkan diakhir makalah, namun hal penting
yang perlu dicatat oleh para guru adalah bahwa dalam setiap kasus-kasus perkembangan
belajar siswa di sekolah, intervensi tidak didasarkan pada satu jenis pengukuran dan satu
observer saja. Melalui berbagai percobaan dan pengalaman maka banyak komponen dalam
asesmen dapat dilakukan oleh para guru di sekolah.
Bagian selanjutnya akan menguraikan beberapa kondisi yang mungkin terjadi pada siswa dan
bagaimana upaya guru dalam mengembangkan rencana intervensi.
Menjelaskan kepada siswa mengenai perilaku yang diharapkan dengan cara-cara yang
konkret, baik melalui penggunaan alat bantu, strategi pengajaran tertentu, dan modifikasi
yang diperlukan, akan memberikan pengetahuan dan pemahaman bagi siswa yang tidak tahu
harus berbuat apa dalam situasi tertentu. Kalau perilaku yang diharapkan dari siswa adalah
untuk ‘mendengarkan secara aktif penjelasan guru dalam Pelajaran PPKN’, contoh rencana
intervensinya:
Target Perilaku: Selama guru menjelaskan pelajaran PPKN di depan kelas, Anton akan
membuat komentar dan pertanyaan yang berhubungan dengan pelajaran hingga 80%
kesempatan.
Tujuan: Selama 30 menit pelajaran di kelas besar (lebih dari 20 siswa), Anton akan
menyampaikan 3 pertanyaan dan 2 di antaranya berhubungan (relevan) dengan materi yang
disampaikan guru.
Bila kemudiana ada siswa yang tidak menyadari perilakunya dan bertindak berdasarkan
kebiasaan, maka guru dapat merencanakan penggunaan petunjuk sebagai bantuan. Bantuan
ini dapat sangat personal dan mungkin hanya diketahui oleh guru dan siswa sendiri. Beni
yang secara impulsif suka menjawab pertanyaan guru di kelas tanpa tunjuk jari, maka perlu
ada kesepakatan bila hal ini dilakukan Beni di kelas. Misal, guru akan melihat langsung pada
Beni dan kemudian memberikan petunjuk dengan mengangkat tangan kanan. Jika kemudian
Beni menyadari lalu kemudian ia tunjuk jari, maka guru memperbolehkan Beni untuk
menjawab pertanyaan yang diberikan.
Ada juga kemungkinan siswa tidak mampu mengontrol perilakunya jika tidak dibantu oleh
guru. Hal ini dapat terjadi karena alasan yang bersifat biologis atau medis. Meskipun tim guru
tidak melakukan diagnosa medis dalam PPI tetapi dapat dicantumkan rujukan atau referal
untuk mendapatkan evaluasi medis lebih lanjut. Bahkan jika perlu, dokter ahli dapat
merekomendasikan untuk menggunakan obat tertentu.
Teknik di atas umumnya disebut sebagai ‘integrasi kurikulum’ yang mendasarkan pada kosep:
‘suatu keterampilan akan mudah dipelajari bila diajarkan dalam konteks di mana
keterampilan tersebut digunakan’.
Bila hasil analisa menunjukan bahwa siswa melakukan perbuatannya untuk mendapatkan
kesenangan tertentu (reinforcement), maka intervensi yang direncanakan harus dapat
membuat perilaku yang diharapkan dari siswa memiliki konsekuensi yang menyenangkan.
Ketika seorang siswa sengaja membuat komentar yang tidak pantas di kelas agar semua
teman-temannya tertawa, maka rencana intervensinya adalah memberikan imbalan yang
menyenangkan pada siswa tersebut hanya jika ia membuat komentar yang tepat/wajar.
‘Kontrak perilaku’ atau ‘token ekonomi’ dapat juga diterapkan untuk mengubah perilaku
tersebut.
Beberapa siswa kadang menunjukan persoalan perilakunya manakala mereka tidak melihat
nilai yang sesungguhnya. Bila Charlie ingin menjadi pemusik ketika dewasa nanti, mungkin
ia tidak melihat nilai positif dalam pelajaran matematika untuk bekalnya di kemudian hari
sebagai pemusik. Dengan demikian, intervensi yang dilakukan juga harus meliputi strategi
meningkatkan motivasi Charlie, misalnya dengan menunjukan bahwa ia harus lulus
matematika untuk dapat diterima sebagai di sekolah musik .
Teknik lainnya ketika bekerjasama dengan siswa yang minim motivasi ‘internal’nya adalah
memberikan motivasi ‘eksternal’. Siswa yang tidak mampu melihat nilai intrinsik dari setiap
perilakunya, setidaknya mendapatkan dukungan dari berbagai jenis imbalan ektrinsik, seperti:
waktu bebas, kegiatan yang menyenangkan, token, dsb. Tentu saja hal ini secara gradual akan
dihilangkan (fading out) dan disesuaikan dengan kondisi natural siswa sendiri. Semua ini
dilakukan melalui proses yang disebut ‘pairing’.
Bila Keduanya Tidak Konsisten Ditunjukan
Beberapa persoalan siswa mungkin akan jauh lebih kompleks dibandingkan dengan siswa
lainnya sehingga memerlukan kombinasi teknik-teknik dan bantuan tertentu. Misalnya,
seorang siswa yang sulit mengontrol kemarahannya sehingga ia dapat menyakiti dirinya
sendiri dan orang lain, maka ia perlu diajarkan untuk:
Mengenali tanda-tanda fisik ketika ia akan marah
Mengunakan teknik relaksasi
Mengaplikasikan kemampuan memecahkan masalah
Melatih kemampuan berkomunikasi (dengan dukungan alat bantu bila diperlukan)
Menemui konselor sekolah secara rutin
Modifikasi kurikulum atau lingkungan belajar, dsb.
Sebagai tambahan selain faktor kemampuan dan motivasi siswa, asesmen fungsional perilaku
dapat mengungkapkan kondisi-kondisi dalam lingkungan belajar siswa yang berasosiasi
dengan persoalan perilaku yang ditunjukan. Faktor-faktor tersebut sangat bergaman dan dapat
meliputi penataan fisik kelas yang tidak tepat, tugas-tugas pembelajaran dari guru yang
terlalu ‘menuntut’ atau ‘itu-itu saja’, iklim sosial sekolah yang tidak sehat, dsb. Namun sekali
lagi, modifikasi kurikulum dan lingkungan belajar yang ramah terhadap semua siswa akan
selalu mampu mengatasi persoalan-persoalan di atas. Dukungan positif selalu diperlukan agar
siswa menunjukan perilakunya secara tepat, baik melalui kehadiran konselor maupun
psikolog sekolah, atau sumber-sumber lainnya, misalnya:
Teman sebaya yang mendukung perilaku maupun kompetensi akademis siswa yang
‘bermasalah’ melalui tutoring dan aktivitas-aktivitas dalam resolusi konflik yang akan
mengakomodasikan kebutuhan sosial siswa
Dukungan keluarga melalui pola pengasuhan dan kebiasaan-kebiasaan positif dalam
keluarga, misal melalui pembuatan jadwal terstruktur di rumah, kebiasaan
mengerjakan PR, dan peluang-peluang untuk memilih dan mengambil keputusan
Guru dan Guru Pendamping Khusus yang selalu mengupayakan dukungan akademis,
modifikasi kurikulum dalam meningkatkan peluang siswa berpartisipasi di sekolah
sehingga perilakunya menjadi semakin ‘prososial’
Praktisi lain yang ada di sekolah, seperti: psikolog, terapis wicara dan terapis okupasi
yang dapat mengembangkan kemampuan siswa baik secara internal maupun
ekspektasi yang diharapkan
Apapun pendekatan yang dilakukan oleh guru, bila rencana intervensi berkembang semakin
proaktif dan inklusif serta merefleksikan kebutuhan perkembangan siswa yang sesungguhnya,
maka semakin besar peluang keberhasilan intervensinya.
Secara singkat, menggunakan intervensi positif berarti:
Menggantikan persoalan perilaku dengan perilaku yang dapat diterima lingkungan
dan berfungsi sama dengan persolan perilaku yang ditunjukan
Meningkatnya intesitas perilaku-perilaku yang prososial
Membuat perubahan pada lingkungan dengan mengeliminasi faktor-faktor yang
mencetuskan berbagai persoalan perilaku
Memberikan dukungan dan bantuan yang diperlukan bagi pemenuhan kebutuhan
siswa
Perilaku yang diharapkan dari siwa sudah mencapai target dan tujuan sehingga target-
target baru perlu disusun dan direncanakan
Perubahan ‘kondisi/situasi’; intervensi perilaku sudah lagi tidak diperlukan dalam
mengakomodasikan kebutuhan belajar siswa
Perubahan penempatan belajar siswa yang disepakati bersama seluruh anggota tim
penyusun PPI
Intervensi perilaku yang sesungguhnya tidak sekedar membawa perubahan-perubahan
yang baik pada setiap perilaku siswa tetapi juga memberikan evaluasi terhadap
seluruh keberhasilan siswa
Rangkuman
Alberto, P.A., & Troutman, A.C. (1995). Applied behavior analysis for teachers (4th
ed.).Englewood Cliffs, NJ: Merrill/Prentice-Hall.
Bullock, L.M., & Gable, R.A. (Eds.) (1997). Making collaboration work for children,
youth,families, schools, and communities. Reston, VA: Council for Children with Behavioral
Disorders &Chesapeake Institute.
Durand, V. M. (1993). Functional assessment and functional analysis. In M. D.
Smith (Ed.). Behavior modification for exceptional children and youth. Boston: Andover
Medical Publishers.
Gable, R. A., Sugai, G. M., Lewis, T. J., Nelson, J. R., Cheney, D., Safran, S. P., &
Safran,
Iwata, B. A., Vollmer, T. R., & Zarcone, J. R. (1990). The experimental (functional)
analysis of behavior disorders: Methodology, applications, and limitations. In A. C. Repp &
N. Singh (Eds.), Aversive and nonaversive treatment: The great debate in developmental
disabilities (pp. 301-330). DeKalb, IL: Sycamore Press.
Kaplan, J.S. (with Carter, J.) (1995). Beyond behavior modification: A cognitive-
behavioral approach to behavior management in the school (3rd edition). Austin, TX: Pro-Ed.
Kerr, M.M., & Nelson, C.M. (1998). Strategies for managing behavior problems in
the classroom (3rd edition). New York: MacMillan.
Lawry, J. R., Storey, K., & Danko, C. D. (1993). Analyzing behavior problems in
the classroom: A case study of functional analysis. Intervention in the School and Clinic, 29,
96-100.
Rutherford, R.B., Quinn, M.M., & Mathur, S.R. (1996). Effective strategies for
teaching appropriate behaviors to children with emotional/behavioral disorders. Reston, VA:
Council for Children with Behavioral Disorders.
Schmid, R. E., & Evans, W. H. (1997). Curriculum and instruction practices for
students with emotional/behavioral disorders. Reston, VA: Council for Children with
Behavioral Disorders.
Sugai, G. M., & Tindal, G. A. (1993). Effective school consultation: An interactive
approach. Pacific Grove, CA: Brooks/Cole.
Walker, H. M., Colvin, G., & Ramsey, E. (1995). Antisocial behavior in school:
Strategies and best practices. Pacific Grove, CA: Brooks/Cole.