Anda di halaman 1dari 24

Mata Diklat 2 : Konsep Pembelajaran DTT

01. Diskripsi umum :

Discrete Trial Teaching (DTT) adalah membagi sebuah kemampuan menjadi langkah-
langkah kecil dan mengajarkan satu langkah dalam satu waktu sampai menjadi mahir. Sistem
pengajarannya dalam bentuk pengulangan (repetisi) dengan memberikan reinforcement, jika
perlu dibantu dengan prosedur prompt. DTT adalah salah satu teknik pengajaran dibawah
naungan ilmu Applied Behavior Analyst. Jadi DTT tidak sama dengan ABA, tetapi merupakan
sebagian kecil dari ABA.

02. Tujuan Pembelajaran :

Mata diklat ini membeirkan bahan materi kepada peserta diklat setelah memmpelajari
diharapkan peserta diklat mampu :

1. Memahami Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK)


2. Memahami konsep Diskrit Time Trial (DTT) metode Applied Behaviour Analaysis
(ABA)
3. Mengidentifikasi prosedur mengenai Diskrit Time Trial (DTT) metode Applied
Behaviour Analaysis (ABA)
4. Mempraktikan prosedur perencanaan Diskrit Time Trial (DTT)

A. Pemahaman Umum Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK)


Apakah yang anda pikirkan jika anda mendengar Peserta Didik Berkebutuhan Khusus
(PDBK) akan masuk ke kelas anda? Merepotkan? Bertambah Kerjaan? Karena anda berpikiran
mereka anak yang tidak bisa diam, tidak bisa diatur, nakal, tidak patuh, berisik, kurang pintar
dan lain sebagainya. Atau anda suka tantangan sehingga anda yakin dapat mengajar anak
tersebut dengan baik sehingga dapat mencapai kemajuan seperti teman-temannya?
Keberhasilan penanganan PDBK di dalam sekolah inklusi yang utama adalah adanya
kerjasama dan kolaborasi dari segala pihak terutama orangtua dan guru serta pendukung yang
lain seperti psikolog, dokter, terapis. Setiap anggota tim harus memiliki persepsi yang sama
tentang program di sekolah serta bekerjasama dan berkomunikasi dengan baik. Orangtua harus
paham kondisi sang anak apakah dia memang siap bersekolah dan dapat mengambil manfaat
yang optimum dari bersekolah? Selain itu orangtua harus dapat mengukur ekspektasi yang
dapat dicapai oleh anak di sekolah. Gurupun harus memahami kondisi sang anak dan memiliki
strategi dalam proses pengajaran di sekolah supaya anak mencapai hasil optimum.

1
Guru harus memahami bahwa anak ADHD memiliki repetitive behavior, memiliki
masalah dengan komunikasi (tergantung tingkat severitynya) dan sosial interaksi sehingga
memiliki kesulitan untuk membaca situasi sosial, mengerti instruksi kompleks, memiliki
stimming, dll. Sementara anak yang terdiagnosa ADHD kemungkinan memiliki masalah
hiperaktif, impulsif dan tidak perhatian dalam mengerjakan tugas sekolah. Beranjak dari
pemahaman kondisi di atas, guru dapat menerapkan strategi yang tepat tanpa menghakimi
bahwa PDBK adalah anak yang merepotkan atau sulit di atur. Studi membuktikan bahwa
mereka dapat belajar, hanya mungkin dengan modifikasi yang berbeda dengan anak tipikal.

ABA terbukti ‘evidence based’ dapat memodifikasi behavior seseorang sesuai dengan
yang kita inginkan, apakah itu untuk meningkatkan behavior yang diinginkan seperti melatih
kemampuan bahasa, sosial, bermain atau untuk menurunkan behavior yang tidak diinginkan
seperti tantrum, memukul diri sendiri, meludah, menggigit dll. Pahami teori behavior dari ABA
tentang fungsi behavior dan juga teori reinforcer ABC (antecedent, behavior dan
consequences). Dengan berbekal pemahaman tentang kondisi PDBK serta teori behavior di
atas guru dapat mengarahkan dan memfasilitasi proses pembelajaran yang efektif untuk murid
PDBK guna mencapai hasil yang diinginkan.

Tergantung kondisi sang anak, tetapi PDBK yang bergabung dalam sekolah umum
sebaiknya memiliki penyesuaian dalam rencana pengajaran, yang biasanya disusun dalam IEP
(individualized education plan) yang memuat target-target yang bisa dicapai oleh sang anak
dengan bergabung di dalam kelas. Target ini bisa bersifat bahasa, sosial, kemandirian,
akademik, dll tergantung kebutuhan sang anak. Tentu sebelum menyiapkan IEP, guru atau tim
PDBK di sekolah harus meng-assess kemampuan sang anak supaya metoda dan target yang
diambil oleh guru tetap sasaran sesuai level dari sang anak. Untuk early learner, utamanya
dalam bidang bahasa, sosial, akademik, hambatan behavior, dan kesiapan belajar sang anak di
sekolah. Salah satu metoda assessment yang dapat digunakan adalah VB-MAPP (Verbal
Behavior Milestones and Assessment Program) yang memuat milestones (milestones
assessment) perkembangan anak dibidang bahasa, sosial, pra akademik, kemampuan grup, dll;
hambatan behavior (barrier assessment) dari sang anak untuk belajar dan transition assessment
yaitu kesiapan anak dalam mengikuti sistem belajar, apakah masih harus belajar secara one-
on-one, di sekolah khusus atau di sekolah umum.

Beberapa point strategi yang harus diingat dalam memahami PDBK di dalam kelas:
Jika anak mengalami masalah behavior di sekolah yang mengganggu anak dalam belajar, atau

2
dapat melukai orang lain atau diri sendiri, merusak barang-barang sekitar, anak menjadi
terisolasi secara sosial dan mengganggu kemandirian sang anak, lakukan Functional
Behavioral Assessment (FBA) untuk menyusun Behavior Intervention Plan (BIP). FBA adalah
assessment untuk mencari fungsi dari behavior tersebut dengan mengobservasi apa yang terjadi
sebelum (antecedent) dan sesudah (consequences) behavior. Ingat kembali dalam menangani
problem behavior, anda tidak melihat topografi dari behavior tetapi lihatlah fungsi dari
behavior. Dan kunci dari penanganan problem behavior adalah tidak memberikan fungsi dari
behavior tersebut. Pelajari teori ABC behavior, apa yang terjadi sebelum dan sesudah behavior
yang dapat menyebabkan probabilitas behavior itu terjadi atau tidak terjadi lagi di masa depan?
Dalam penanganan behavior kita harus menyusun skala prioritas dari sang anak. Apakah ingin
kita tingkatkan? Apakah kita ingin meningkatkan bahasa dari sang anak, ingin meningkatkan
interaksi sang anak dengan teman sebaya, apakah partisipasi sang anak di dalam kelas, ataukah
ingin meningkatkan akademik sang anak? Perlu diingat bahwa target penanganan behavior
tidak selalu dalam bentuk problem behavior tetapi bisa dalam bentuk peningkatan behavior
yang ingin kita latih sehingga sesuai dengan lingkungan sekitar.

Salah satu masalah pada anak dengan hambatan ADHD adalah rigidity atau kekakuan
padahal yang namanya sekolah adalah selalu dinamis mengikuti perkembangan hari itu.
Beberapa anak akan sangat tidak nyaman dengan perubahan di kelas. Hal ini harus dilatih dan
juga dibantu. Anak harus paham kegiatan hari itu dan dimana perubahannya supaya anak tidak
gelisah. Gunakan bantuan visual skedul atau gambar untuk menjelaskan hal ini kepada sang
anak sehingga anak bisa memprediksi kegiatan apa yang akan dilakukan. Misalnya visual
skedul kegiatan hari ini, terutama jika ada perubahan, dimana kah perubahannya. Misal karena
bu guru sakit, adanya field trip, hari ini pulang cepat, dll. Memberikan jadwal yang bisa
diprediksi. Anak dengan autisme cenderung ingin memiliki rutinitas.

Tingkatkan kesempatan untuk berlatih. PDBK memerlukan banyak waktu untuk


berlatih menguasai ketrampilan baru. Atau jika perlu tugas di bagi lagi menjadi lebih kecil
sehingga dimengerti oleh PDBK. Berikan informasi dan instruksi dengan bahasa sederhana
dan mudah dipahami. Jika perlu ulangi lagi jika terlihat anak kurang paham. Tingkatkan juga
generalisasi dari konsep pelajaran. Variasikan materi dan instruksi dan ajarkan anak secara
sistematis. Sebisa mungkin visualkan atau modelkan semua konsep, karena PDBK biasanya
adalah anak-anak yang belajar secara visual. Bermain juga harus merupakan prioritas dalam
metoda pengajaran di sekolah Utamanya untuk anak-anak early learner, anak belajar dari
bermain bersama teman-teman seperti belajar bahasa, belajar sosial, mengeksplorasi konsep

3
baru, interaksi dengan teman, belajar dalam grup, dll. Termasuk juga anak yang lebih tua (pra
remaja dan remaja) harus dilihat apa yang menarik buat teman mereka, disitulah yang kita
ajarkan dalam konsep bermain/ bergaul. Jangan lupa untuk fokus pada kemandirian sang anak,
walau mungkin di awal anak perlu prompting (petunjuk) dalam belajar, atau memerlukan
shadow teacher, tetapi guru atau shadow teacher harus paham kapan anak perlu dibantu kapan
anak sudah bisa mandiri. Tujuan akhir dari shadow teacher bukanlah untuk membantu anak
selamanya tetapi membantu anak menjadi mandiri di masa depan.

Bersekolah adalah kesempatan emas buat sang anak untuk mengasah kemampuan
bahasa dan sosialnya. Justru ini merupakan target penting selain akademik. Anak harus dapat
melatih kemampuan kolaborasi dan komunikasi sebagai salah satu anggota kelas. Perkaya
kemampuan sosial ini selain di kelas juga dengan social story dan video moedeling. Guru juga
harus menciptakan peluang anak untuk meningkatkan interaksi sosial dengan teman
sebayanya. Tugas dari shadow teacher tidak hanya mengajarkan akademik tetapi mengasah
kemampuan ini di sekolah dengan memfasilitasi dan menjadi moderator sang anak untuk
bermain dengan teman-teman sekelas. Anak perlu dibantu dengan sistem support di kelas
dengan jelas, seperti visualkan semua aturan dan sistem di kelas dengan menggunakan gambar
atau tulisan. Selain itu dijelaskan secara verbal kepada sang anak, jika perlu dijelaskan
berulang-ulang pada saat circle time sampai anak paham. Akan sangat membantu jika anak
dilibatkan dalam pembuatan aturan di kelas.

Ciptakan rutinitas dan organisasi material yang baik sehingga anak mengerti apakah
yang dia akan lakukan setelah ini? dimana dia harus membersihkan meja dari bahan-bahan
sekolah, dimana dia harus menaruh tasnya, kotak makanan, dan sebagainya. Gunakan sesuatu
yang bisa menarik anak untuk belajar yang merupakan favorit sang anak sehingga anak
termotivasi untuk belajar. Misal anak suka Mickey Mouse mungkin belajar menulis atau
berhitung menggunakan kertas LKS yang bergambar Mickey Mouse. Seperti dipelajari
sebelumnya anak perlu dimotivasi dengan reinforcer, tetapi terkadang tidak mungkin
memberikan reinforcer yang diinginkan sang anak dikelas sehingga gunakan reinforcer yang
berbentuk alami seperti token ekonomi, ekstra waktu istirahat 5 menit, berikan reinforcer
makanan saat istirahat makan, dan sebagainya. Lakukan pengaturan-pengaturan untuk
meminimalkan efek keterbatasan sensori dari sang anak. PDBK umumnya sangat mudah
terdistraksi sehingga jauhkan duduk dekat jendela, pintu dan pusat kegiatan di kelas. Misal jika
memungkinkan anak dengan autisme membutuhkan tempat mereka sendiri sementara anak
dengan ADHD sangat mudah terdistraksi sehingga dudukkan mereka dekat dengan guru dan

4
hadap ke depan. Waspada terhadap situasi lingkungan: suara keras, cahaya terang, temperatur
yang dapat mempengaruhi sang anak.

Berikan sedikit waktu istirahat sensori jika anak dengan autisme dan ADHD
membutuhkannya. Terkadang keluar sebentar dan jalan-jalan di ruangan dapat sangat
menenangkan dan membantu anak untuk meregulasi sensori yang terlalu banyak masuk di
dalam kelas. Perhatikan tanda-tanda jika mereka memerlukannya. Ajarkan pula sang anak
untuk meminta (mand) untuk berisitirahat sejenak, sehingga dia tidak perlu melakukan problem
behavior untuk mendapatkan istirahat ini. Contoh: anak yang terbukti membutuhkan gerak
setiap 15-20 menit dapat diberi tugas membagikan kertas ke teman-temannya. Kerjasama
dengan terapis okupasi untuk mengetahui berapa lama, atau kapan anak butuh bergerak. Atau
mungkin di anak lain bisa jalan-jalan keluar selama 5 menit dan tentu dia harus balik kembali
ke kelas. Lebih baik jika sekolah mengadakan sensori room untuk anak melepas kepenatan
sensori yang terlalu banyak masuk ke dirinya di kelas.

Pasangkan anak dengan temannya yang bisa dijadikan model ketika bekerja dalam
proyek atau berpartisipasi dalam aktivitas kelas. Pengalaman ini tidak hanya berguna untuk
PDBK tetapi juga untuk anak tersebut untuk belajar menghargai perbedaan dan menimbulkan
empati kepada teman yang memiliki perbedaan dan kekurangan. Ajarkan kemampuan sosial
seperti angkat tangan, bergantian, berbagi, menunggu, menahan emosi, dll sebagai bagian dari
kurikulum. Terkadang perlu selalu diingatkan untuk anak dapat mempraktekkan kemampuan
dia atas. Anak dengan autisme memiliki stimming (hand flapping, suara bergumam, dll).
Ajarkan anak lain untuk mengerti perilaku ini. Selain itu bisa dicari alternatif stimming yang
lebih dapat diterima lingkungan. Misal hand flapping diganti dengan squeeze ball. Sang anak
melakukan hand flapping jika terlalu semangat, berikan dia squeeze ball di sakunya sehingga
saat dia terlalu semangat dan tidak bisa kontrol emosinya dia bisa squeeze bola tersebut dan
tidak melakukan hand flapping.

Untuk meningkatkan keterlibatan anak dalam proses belajar dan mengikuti materi yang
disampaikan guru, bisa digunakan beberapa metoda yaitu: choral responding yaitu menjawab
pertanyaan bersama-sama sekelas dari pertanyaan guru. Guided notes yaitu dari mata pelajaran
dibuat summary atau catatannya kemudian anak tinggal mengisi titik-titik dari yang diajarkan.
Response card adalah anak menjawab dengan kartu apakah itu gambar atau tulisan. Beberapa
PDBK mungkin memerlukan belajar dalam grup-grup kecil sehingga perlu secara berkala
ditarik dari kelas untuk belajar 1:1 dengan guru atau dalam grup kecil 1:2 atau 1:3. Karena

5
dalam setting yang lebih kecil anak menjadi lebih nyaman dan juga guru bisa memberikan
perhatian ekstra kepada sang anak dan bisa menyesuaikan cara mengajar dengan level sang
anak. Fokus pada kekuatan, dan bukan kekurangan sang anak. Jika anak memiliki ketertarikan
terhadap subyek tertentu, berikan kesempatan mereka menunjukkan kelebihannya itu di depan
kelas supaya anak memiliki rasa percaya diri dan juga memberikan kesempatan kepada teman
sekelas untuk menghargai perbedaan. Jangan lupa selalu mencatat data untuk melihat progress
sang anak di dalam kelas. Berdasarkan data dapat dilihat apakah sesuai programnya ataukah
perlu disesuaikan dan dibuat target baru lagi. Review IEP dan BIP secara berkala.

Jadi, dengan fakta tersebut, mau tidak mau, suka tidak suka, Peserta Didik
Berkebutuhan Khusus (PDBK) harus memiliki tempat di dunia pendidikan kita, dunia sekolah
umum. Apalagi tidak terbukti mereka identik dengan intelegensia yang rendah dan tidak
mampu bersekolah mengikuti pelajaran seperti teman-temannya yang tipikal. Lebih lagi hasil
tes IQ mereka rendah, belum tentu menentukan intelegensia yang rendah pula mengingat
keterbatasan metoda tes IQ dan keterbatasan dari gejala sang anak. Peserta Didik Berkebutuhan
Khusus (PDBK) ADHD mungkin tidak merespons pertanyaan dari tes IQ karena keterbatasan
interaksi/ kemampuan bahasa/kurang fokus bukan karena tidak bisa mengerjakan tugas
tersebut, demikian pula anak dengan ADHD. Beri mereka kesempatan untuk berada di sekolah
umum (dengan atau tanpa inklusi) supaya mereka dapat membuktikan kemampuan mereka dan
juga melatih sisi-sisi lain dari kekurangan mereka, yang mungkin hanya bisa mereka dapatkan
di sekolah seperti kemampuan bahasa, sosialisasi, bermain, dan sebagainya selain akademik.

Apalagi di dunia milenial ini, kehidupan dan kesuksesan saat ini tidak hanya berpatokan
terhadap sesuatu yang bersifat akademik. Nilai sudah bergerak dari anak harus pintar eksakta
menjadi anak dapat memilih bidang yang sesuai dengan minat serta bakatnya asal dijalani
dengan sungguh-sungguh, dia pun bisa sukses dan berhasil untuk masa depannya. Penanganan
anak Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK) di usia dini sangatlah penting dalam
keberhasilan mereka di masa depan sehingga pentingnya penanganan Peserta Didik
Berkebutuhan Khusus (PDBK) di sekolah, khususnya sekolah anak usia dini di KB, TK dan
SD. Apalagi banyak orangtua yang tidak teredukasi akan adanya Peserta Didik Berkebutuhan
Khusus (PDBK) yang tidak terlihat secara fisik tetapi lebih ke arah “behavior” seperti
hiperaktif dan ADHD. Atau terkadang orangtua terlena dengan pendapat dari orang sekitar
seperti “Normal kok anak laki-laki telat berbicara, nanti kalau sudah sekolah juga lancar”.
Sebetulnya Anak dengan Berkebutuhan Khusus dapat di diagnosa di usia 2 tahun, tapi secara
mayoritas anak baru didiagnosa di center oleh orangtua di usia 4 tahun, usia di mana anak mulai

6
bersekolah di TK. Atau terbiasa dengan pendapat lain “Biasalah anak laki-laki hiperaktif tidak
mau diam, atau namanya juga anak-anak jadi wajar berlari-lari kesana kemari atau sering lupa
barangnya dan lain-lain”. Orangtua berpikir adalah wajar, padahal sang anak memiliki kondisi
ADHD.

Tentu peran dari guru pun disini sangat penting dapat membantu orangtua mengenali
gejala yang tidak umum dialami oleh anak tipikal. Guru sangat berpengalaman dalam melihat
perkembangan anak yang sama usianya sehingga lebih obyektif memberikan pandangan
dibanding orangtua. Saat ini dengan penanganan yang tepat, yaitu kombinasi terapi dan
bersekolah, PDBK dapat berhasil baik di bidang yang dia minati untuk bekal dia mandiri kelak.

Aktifitas Belajar

Saudara diminta untuk membuka bahan tayang Konsep PBK.pptx kemudian lakukan
pengamatan dengan memperhatikan tayangan video berikut ini dengan judul Interaksi Kelas
Inklusif

Berdasarkan pengamatan pada video lakukan diskusi pada sesi forum diskusi untuk
memberikan deskripsi tentang pengalaman saudara melakukan interkasi dengan PDBK di kelas
terhadap tayangan video tersebut (buat narasi 250 kata).

B. Konsep DTT Metode ABA


1. Pengertian Metode ABA
Terapi ABA (Applied Behaviour Analysis) ini didasarkan pada teori “Operant
Conditioning” yang dipopuleri oleh Burhus Frederic Skinner (1904-1990) seorang
behavioralis dari Amerika Serikat. Dasar teori ini adalah pengendalian perilaku
melalui manipulasi, imbalan dan hukuman. Seorang fisiolog Rusia dengan teorinya

7
Classical Conditioning yang menyatakan bahwa setiap perilaku mengandung
konsekuen dan setiap proses pengajaran perilaku tidak berdasarkan prinsip trial-
error tetapi dapat dirancang.
Prinsip Operant Conditioning memperkenalkan rumus A B C

ANTECEDENT BEHAVIOUR CONSEQUENCE

Pengertian dari rumusan ini A adalah antecedent atau penyebab, B adalah


behavior atau perilaku, sedangkan C adalah consequences atau akibat. Tanda panah
menunjukkan bahwa setiap perilaku selalu didahului oleh penyebab, dan setiap
perilaku akan membawa akibat. Apabila A dieliminasi maka perilaku B tidak akan
muncul.
Berdasarkan prinsip Operan Conditioning, perilaku dapat dimodifikasi oleh
konsekuensinya. Konsekuensi yang dapat meningkatkan perilaku disebut penguat
(reinforcers), dan konsekuensi yang dapat menurunkan perilaku disebut sanksi
(punishment). Suatu perilaku bila memberikan akibat (consequences) yang
menyenangkan berupa reinforcers akan dilakukan lagi atau akan muncul berulang-
ulang. Sebaiknya jika suatau perilaku ternyata memberikan akibat yang tidak
menyenangkan atau tidak mendapatkan imbalan maka perilaku akan dihentikan
(Handojo, 2003).
Terapi Aba merupakan bentuk metode Lovass, karena penemunya bernama
O.Ivar Lovass menurut handojo (2009: 269). Terapi ABA (Applied Behaviour
Analysis) suatu metode mengajar tanpa kekerasan. Dasar metode ini adalah
menggunakan pendekatan behavioral, dimana pada tahap intervensi dini anak autis
menekankan kepatuhan, ketrampilan anak dalam meniru, dan membangun kontak
mata. Terapi ini memfokuskan penanganan pada pemberian reinforcement positif
setiap kali anak berespon benar sesuai dengan instruksi yang diberikan menurut
Omrod (2008 : 422). Reinforcement adalah tindakan mengikuti sebuah respon
tertentu dengan sebuah penguat. Tidak ada hukuman (punishment) dalam terapi ini,
akan tetapi bila anak berespon negatif / tidak berespon sama sekali maka ia tidak
akan mendapatkan reinforcement positif yang ia sukai tersebut.
Menurut Ginanjar (2008: 33) penggunaan terapi ABA dapat dianggap sebagai
program kesiapan belajar karena tingkah laku target yang diajarkan pada awal
program merupakan keterampilan awal seperti pemahaman terhadap sebab-akibat,

8
memperhatikan, mematuhi instruksi dan meniru. Karakteristik penting lainnya
adalah keterukuran, yaitu menggunakan patokan yang jelas tentang keberhasilan
anak.

2 Tujuan Terapi ABA


Menurut Handojo (2003: 50) ada beberapa tujuan dari terapi ABA (Applied
Behaviour Analysis) yaitu:
1. Meningkatkan pemahaman dan kepatuhan anak terhadap aturan
2. Dapat meningkatkan kemungkinan anak agar berespon positif dan
mengurangi kemungkinan berespon negatif (atau tidak berespon) terhadap
instruksi yang diberikan.
3. Untuk melakukan perubahan pada anak autis dalam arti perilaku
berlebihan dikurangi dan perilaku kekurangan ditambahkan.

3. Metode Terapi ABA


Ada dua kaidah dasar yanag harus selalu diingat ketika melakukan terapi
ABA, yaitu Operant Conditioning merupakan pengondisian karakteristik perilaku
tertentu terhadap anak yang mengalami gangguan perkembangan. Seperti dipahami
oleh Skinner (1938), Operant conditioning merupakan intervensi pembelajaran
esensial
terhadap perilaku yang dapat mempengaruhi consequences yakni sebaagai bentuk
pradigma yang sederhana yang dipakai sebagai penguatan yang bersifat positif.
Kemungkinan yang muncul akibat reinforcement adalah akan terjadi respon khusus
(Delphie, 2006: 111).
Prinsip dasar operant conditioning sangatlah sederhana, yaitu sebuah respon
diperkuat dan karenanya mungkin akan terjadi lagi ketika respon tersebut diikuti
oleh sebuah stimulus yang menguatkan. Ketika perilaku-perilaku diikuti dengan
konsekuensi yang diinginkan, perilaku tersebut cenderung meningkat frekuensinya.
Ketika perialku-perilaku tersebut tidak memberikan hasil, perilaku-perilaku
tersebut akan menurun atau menghilang seluruhnya (Omrod, 2008: 431). Skema
Respondent Conditioning:

PERILAKU + IMBALAN = PERILAKU TERUS DILAKUKAN

PERILAKU – IMBALAN = PERILAKU TERHENTI

9
Pemberian imbalan yang efektif merupakan kekuatan dari metode ABA ini.
Metode ini dapat melatih setiap keterampilan yang tidak dimiliki anak, mulai dari
respon sederhana, kontak mata, memandang orang lain, sampai keterampilan
komunikasi dan bersosialisasi.

4. TEKNIK TERAPI ABA (Applied Behaviour Analysis)


Beberapa hal yang mendasar mengenai teknik-teknik ABA adalah:
1. Kepatuhan (Compliance) dan kontak mata, proses membantu anak untuk
melakukan kontak mata dan melatih kepatuhan
2. One-on One adalah satu terapis untuk satu anak. Bila perlu dapat dipakai seorang
co-terapis yang bertugas sebagai prompter.
3. Siklus dari Discrete Trial Training, yang dimulai dengan instruksi dan diakhiri
dengan imbalan. Siklus terdiri dari 3 kali instruksi, dengan pemberian tenggang
waktu 3-5 detik pada instruksi ke-1 dan ke-2.
4. Fading adalah mengarahkan anak ke perilaku target dengan prompt penuh, dan
makin lama prompt makin dikurangi secara bertahap sampai akhirnya anak mampu
melakukan tanpa prompt.
5. Shaping adalah mengajarkan suatu perilaku melalui tahap-tahap pembentukan
yang semakin mendekati (successive approximation) respon yang dituju yaitu
perilaku target.
6. Chaining adalah mengajarkan suatu perilaku yang kompleks, yang dipecah
menjadi aktivitas-aktivitas kecil yang disusun menjadi suatu rangkaian antara
untaian secara berurutan.
7. Discrimination training adalah tahap identifikasi item dimana disediakan item
pembanding. Kedua item kemudian diacak tempatnya, sampai anak benar-benar
mampu membedakan mana item yang harus diidentifikasi sesuai instruksi

10
Aktifitas Belajar

Saudara dapat memperhatikan pemahaman mengenai pengkondisian pembelajaran


ABA dengan melihat video dengan judul 01_pengkondisian sebagai berikut

Video judul 01_pengkondisian

Berdasarkan pengamatan video tersebut , silahkan saudara tulis di forum diskusi


tentang pemahaman saudara tentang pengkondisian pembelajaran ABA (narasi 100
kata)

C. Teknik DTT Metode ABA

Discrete Trial Training (DTT)merupakan suatu teknik atau program dari Lovaas
didasari oleh model perilaku “operant conditioning”, yaitu pemberian hadiah atau
penguatan terhadap perilaku positif yang terjadi yang dikehendaki oleh guru,
orangtua, dan masyarakat, secara harfiah DTT adalah latihan uji coba yang
jelas/nyata. Hadis (2006:104) Program Discrete Trial Training (DTT) dari Lovaas
didasari oleh model perilaku “operant conditioning”, yaitu pemberian hadiah atau
penguatan terhadap perilaku positif yang terjadi yang dikejendaki oleh guru, orangtua,
dan masyarakat. Secara teknik DTT terdiri 4 bagian, yaitu rangsangan dari guru agar
anak bersepons, respon anak, konsekuensi, dan berhenti sejenak lalu dilanjutkan
dengan perintah selanjutnya. DTT terdiri dari “siklus” yang dimulai dengan instruksi,
prompt, dan diakhiri dengan reinforcement.
Discrete Trial Teaching (DTT) adalah membagi sebuah kemampuan menjadi
langkah-langkah kecil dan mengajarkan satu langkah dalam satu waktu sampai
menjadi mahir. Sistem pengajarannya dalam bentuk pengulangan (repetisi) dengan

11
memberikan reinforcement, jika perlu dibantu dengan prosedur prompt. DTT adalah
salah satu teknik pengajaran dibawah naungan ilmu Applied Behavior Analyst. Jadi
DTT tidak sama dengan ABA, tetapi merupakan sebagian kecil dari ABA. DTT
pertama kali digunakan oleh Dr. Lovaas dalam penelitiannya untuk metoda
pengajaran dengan hambatan ADHD atau sindrom hambatan perilaku lainnya misal
ADHD. 47% anak dalam penelitian beliau yang mengikuti DTT selama 40 jam
seminggu tidak dapat dibedakan dengan anak normal saat anak berada di kelas 1 SD.
Sampai saat ini DTT adalah metoda yang paling banyak di adakan penelitian sebagai
intervensi. DTT telah digunakan puluhan tahun dan terbukti sebagai treatment yang
efektif dan evidence based Dalam siklus discrete trial terdapat:

1. Instruksi/stimulus discrimination
2. Respons
3. Feedback/reinforcement
Diantara feedback dan instruksi berikutnya ada jeda sedikit sekitar 2-3 detik.

1. Stimulus discrimination
Stimulus discrimination adalah stimulus/instruksi dari lingkungan yang
memberikan sinyal kepada perilaku yang berhubungan dengan reinforcement.
Instruksi ini harus sederhana, padat and jelas. Setelah anak paham dan memiliki
level bahasa yang cukup instruksi di atas pelan-pelan akan dibuat lebih
alami. Bersamaan dengan instruksi tidak ada perintah lain seperti “duduk tenang”,
‘tangan yang manis”, “lihat saya” atau sebut nama anak sebelum instruksi. Dalam
memberikan instruksi pernyataannya harus spesifik, satu langkah pada waktu itu.
Meskipun anak tidak respons, instruksi jangan diulang-ulang.

2. Respons
Respons dalam bentuk behavior sebagai respons dari instruksi. Bentuk dari
responsnya adalah bisa benar atau tidak benar. Ketika anak memberikan respons
kita harus menilai kualitas dari responsnya bagaimana? Kontak mata, atensi ke
pemeri perintah dan usaha sang anak. Berikan waktu 3 detik ke responsnya.
Pemberian respons harus konsisten.
3. Feedback
Feedback adalah konsekuensi yang mengikuti respons dari sang anak.
Feedback memberikan tanda ke anak bahwa responsnya benar atau tidak benar.

12
Response harus konsisten untuk setiap pendamping atau pembimbing pelaksana
DTT. Reinforcement diberikan untuk meningkatkan kemungkinan behavior akan
terjadi lagi di masa depan. Ada 3 jenis feedback:
a. Benar dengan atensi yang baik dari sang anak (kontak mata, atensi dan usaha
keras) – berikan reinforcer yang terbaik
b. Benar dengan atensi yang kurang baik dari sang anak (tidak ada kontak mata,
atensi dan usaha keras) – berikan reinforcer yang ditengah
c. Tidak ada response –> ulangi instruksi dengan prompt

Prompt adalah petunjuk dari pendamping atau pembimbing pelaksana DTT untuk
memberikan jawaban yang benar. Prompt ini sangat berguna untuk di awal belajar
untuk mengurangi frustasi, meningkatkan motivasi dan kecepatan belajar. Yang
harus diperhatikan adalah prompt harus dikurangi secara perlahan sebelum anak
tergantung dengan prompt. Terkadang pendamping atau pembimbing pelaksana
DTT tidak sadar memberikan prompt kepada anak misalnya dengan lirikan mata
perubahan intonasi dan kecepatan berbicara yang merujuk ke jawaban yang
benar.
Errorless learning adalah prosedur memberikan prompt di awal setelah instruksi
untuk memastikan anak menjawab dengan benar. Errorless learning dilakukan
dengan tujuan mengurangi frustasi sang anak dan meningkatkan motivasi.
Errorless learning mengikuti prinsip Most-to-least prompt (MTL). Prompt dari
errorless learning pelan-pelan dihilangkan sehingga anak bisa menjawab sendiri
(prompt fading).
Contoh DTT untuk mengajarkan warna kepada anak:
a. Mass trial – dalam isolasi (dengan prompt di awal jika anak belum bisa).
Letakkan 1 kartu merah. Katakan pada anak “Tunjuk/ambil merah”.
b. Menggunakan distractor. Letakkan 2 kartu: kartu merah dan hijau. Katakan
pada anak “Tunjuk/ambil merah” (dengan prompt di awal jika anak belum
bisa). Jika dengan 1 distractor anak bisa, gunakan 2 distractor. Bisa stop disini
atau dilanjutkan:
c. Ajarkan warna kedua dengan mass trial dalam isolasi (seperti langkah 1),
misalnya biru. “Tunjuk/ambil biru”.
d. Menggunakan distractor. Letakkan 2 kartu: kartu biru dan kuning. Seperti
langkah 2. “Tunjuk/ambil biru” Digabung pengajaran merah dan biru:

13
e. Rotasi secara acak untuk 2 kartu yang diajarkan kartu merah dan biru
menggunakan hijau dan kuning sebagai distractor. Rotasi secara acak juga
bisa dilakukan dengan kartu-kartu warna yang lain yang mungkin sudah
dipelajari.

Saudara diminta untuk lakukan pengamatan dengan memperhatikan tayangan video


berikut ini dengan judul Pilih Kartu

Berdasarkan pengamatan pada video lakukan diskusi pada sesi forum diskusi untuk
memberikan deskripsi tentang prosedur melakukan intruksi memilih terhadap tayangan video
tersebut (buat narasi 100 kata).

C. Mengidentifikasi prosedur Diskrit Time Trial (DTT) Metode ABA


Untuk prosedur DTT sendiri bervariasi, jadi tidak usah diperdebatkan. Masing-masing
pendamping atau pembimbing pelaksana DTT memiliki kebijaksanaan sendiri asal
dilakukan sesuai prinsip siklus DTT diatas dan didasari dengan prosedur yang evidence
based atau memiliki prosedur yang bisa dipertanggung jawabkan referensinya. Ada
pendamping atau pembimbing pelaksana DTT yang memilih untuk menggunakan prompts
langsung (MLT=Most to Least prompting) seperti errorless learning ada center yang
memilih untuk menggunakan NNP (no no prompt) maksudnya adalah 2 kali jawaban
berturut-turut salah, baru kemudian anak diberikan prompt.
Untuk prosedur jika anak melakukan kesalahan, prosedur koreksi juga bervariasi.
Apakah perlu berkata tidak/salah/stop atau langsung saja tanpa komentar presentasi tugas
berikut dengan prompt. Untuk prosedur yang terakhir anak akan paham salah karena tidak
menghasilkan reinforcer dan dilakukan pengulangan tugas. Hal ini dilakukan untuk

14
mengurangi rasa frustasi karena untuk beberapa anak, kata-kata tidak/salah/stop akan
berkonotasi negatif dan mengurangi motivasi. Yang pasti apapun prosedurnya, jika anak
melakukan kesalahan, beri kesempatan anak untuk melakukan tugas lagi secara benar.
Jangan hanya memberikan koreksi secara verbal atau contoh yang benar, tetapi anak harus
mencobanya berulang-ulang ketrampilan baru tersebut sampai benar dan mandiri.
Apakah PDBK sering menghindar dari aktifitas, memililki problem behavior? Jika iya
jawabannya, berarti anda belum memiliki instructional control terhadap sang anak. Apakah
itu Instructional control? Yaitu hubungan kerja yang positif diantara guru pendamping atau
terapis atau orang tua dan PDBK, dimana anak merenpons dengan konsisten terhadap
semua tugas dari terapis selama sesi berlangung, anak menyukai aktivitas terapi, tidak
banyak melakukan problem behavior atau menghindar dari terapi. Kuncinya adalah
reinforcement yang tepat dimana respons dari sang anak akan berbanding lurus dengan
reinforcement yang dia dapatkan setelah melakukan tugas tersebut.

Apa sajakah yang menentukan nilai dari reinforcerment itu terhadap anak?
1. Nilai dari reinforcer. Apakah reinforcer itu cukup bernilai untuk sang anak, terutama
saat itu? Hal ini berhubungan dengan motivasi sang anak. Jika anak sudah lama tidak
memakan kue favoritnya, tentu saat terapi kue itulah yang cocok dijadikan reinforcer.
Tetapi kalau anak bisa mendapatkan kue itu secara bebas diluar terapi, tentu nilai kue
itu akan berkurang untuk sang anak. “Untuk apa saya capek-capek belajar dengan
terapis, sementara nanti mama kasih kue itu sehabis terapi” yang berada dalam pikiran
anak.
2. Usaha untuk melakukan tugas. Apakah tugasnya mudah atau terlalu sulit? Anak akan
lebih tertarik untuk mengerjakan tugas yang mudah atau pengerjaan dan jawaban dibuat
mudah. Sehingga metoda DTT (discrete trial teaching) dan errorless learning sangat
membantu dan memotivasi anak autis untuk belajar. Tidak ada orang yang senang
melakukan kesalahan. Terlalu sering menghadapi kesalahan menjadikan anak frustasi
dan mogok belajar. Apalagi jika tugasnya mudah, anak sering mendapatkan reinforcer.
Anak semakin senang belajar bukan?
3. Skedul dari pemberian reinforcer. Anak akan merespons tugas dengan baik jika
reinfocers yang diberikan konsisten. Jika anak mulai tidak mau mengerjakan tugas,
berarti mereka kurang mendapatkan reinforcer.
4. Jumlah dari reinforcer. Apakah cukup bermakna untuk sang anak? Semakin sulit
tugasnya, reinfocernya juga harus semakin besar artinya buat sang anak.

15
5. Kecepatan pemberian reinforcer. Reinforcer harus diberikan langsung setelah tugas
dilaksanakan. Untuk anak-anak yang sudah paham bisa sedikit agak delay misal
diberikan di keesokan harinya atau di akhir minggu. Tetapi jika kemampuan bahasa
anak belum sampai situ, ada baiknya semua reinforcer diberikan langsung.

Selain reinforcement di atas, terapis dan sang anak harus menjalakan proses ‘pairing’ yaitu
memasangkan terapis, materi dan tempat dengan reinforcer atau sesuatu yang menyenangkan
sehingga anak merasa senang berada dalam lingkungan yang penuh dengan reinforcer atau
dengan kata lain membangun kepercayaan antara terapis dan sang anak. Konsep pairing ini
penting untuk murid baru, murid lama dengan problem behavior dan murid lama yang patuh.
Murid yang patuh pun sekali-kali perlu diberikan refreshing dengan proses pairing kembali.

Pairing dilakukan dengan memberikan reinforcers secara bebas tanpa tugas, dengan syarat anak
tidak melakukan masalah behavior sehingga anak belajar bahwa dia bisa mendapatkan sesuatu
dalam hai ini adalah reinforcer jika tidak melakukan problem behavior dan juga berada dekat
sang terapis. Diawal tugas yang diberikan pun sangat mudah. Contohnya jika anak selalu
menghindar dari sang terapis, mungkin duduk dekat terapis saja asal anak tidak melakukan
problem behavior sudah bisa mendapatkan reinforcers. Pairing juga menjadikan terapis lebih
memahami sang anak, sangat paham barang atau aktivitas apa yang benar-benar dapat
berfungsi sebagai reinforcer pada saat yang tepat. Untuk mengetahui reinforcers apa yang
mungkin menarik saat itu untuk sang anak, bisa dilakukan assessmen terhadap reinforcers.
Untuk menjaring kemungkinan reinforcers, terapis bisa menanyakan kepada orangtua,
makanan atau barang apa yang mungkin menarik untuk sang anak. Ada berbagai macam
preference reinforcers assessment yang paling sederhana adalah letakkan beberapa reinforcers
yang kemungkinan anak suka, kemudian catat apa yang pertama anak ambil dan beri urutannya.
Kemungkinan saat itu, yang pertama anak ambil adalah reinforcers yang paling kuat pada hari
itu untuk sang anak. Reinforcer yang kuat diberikan untuk tugas yang sulit, demikian
sebaliknya reinforcer yang kurang kuat diberikan untuk tugas yang mudah. Kekuatan
reinforcers mungkin saja berubah setiap harinya, sehingga sebaiknya assessment dilakukan di
setiap awal terapi. Tips untuk reinforcer:
• Mudah diberikan, contohnya makanan, minuman, video clip,
• Cepat habis dimakan atau hilang, seperti kue, bubble
• Berikan dalam potongan kecil untuk mengurangi kebosanan anak
• Dapat diberikan berulang sehingga dapat digunakan berkali-kali

16
• Dikontrol dan diberikan oleh terapis

Pada saat proses pairing:


• Sebutkan nama reinforcers yang diberikan saat itu
• Sebutkan nama anak dengan reinforcers, dan bukan nama anak dengan instruksinya.
Contoh: “rayhan, kue” atau “rayhan ini kue”, bukan “rayhan tunjukkan mata”. Jadi
konsep yang diajarkan setiap terapis memanggil, sesuatu yang positif akan datang ke
anak sehingga anak patuh terhadap terapis.
• Jangan berikan tugas yang sulit saat pairing
• Jangan menjadi tukang ambil apa yang anak suka, sehingga lebih baik reinforcersnya
berbentuk sesuatu yang cepat habis (makanan) atau hilang sendiri (seperti bubble
Kecuali anak memang sudah paham konsep waktu bermain dengan reinforcernya dan
tidak tantrum berlebihan jika waktu tersebut habis. Untuk membantu anak
mengantisipasi waktu bermain dengan reinforcer gunakan jam pasir atau alarm.

Dalam pelaksanaan terapi:


• Jangan lupa juga mensanitize lingkungan sehingga tidak ada lagi reinforcers yang gratis
lagi untuk sang anak sehingga anak membutuhkan orang lain untuk mendapatkannya.
Mau tak mau anak berhubungan dengan terapis dan terapis berfungsi sebagai reinforcer
bagi sang anak.
• Pasangkan meja dengan tempat bermain juga sehingga anak tidak mengasosiasikan
meja dengan tempat belajar, tetapi sebagai tempat menarik yang bisa mendapatkan
mainan atau melakukan kegiatan menarik. Lakukan permainan sebisa mungkin juga di
atas meja bukan hanya penyampaian tugas.
• Jangan membuat anak bekerja untuk ‘istirahat’ sehingga anak mengasosiasikan terapi
dengan bekerja dan istirahat adalah hal yang menyenangkan sehingga anak selalu ingin
istirahat. Padahal konsep yang ingin kita ajarkan adalah terapi adalah kegiatan yang
menyenangkan. Contoh yang tidak dianjurkan terapis berkata “Ayo kita selesaikan ini
setelah itu kamu bisa istirahat”.
Untuk selalu menjalankan terapi yang lancar, hal-hal ini yang perlu diingat oleh terapis:
1. Gunakan errorless learning – cek di website
2. Campur jenis dan variasi tugas (Task Variation) – cek di website
3. Skedul pemberian reinforcer.

17
Setiap awal pengajaran biasanya anak diberi reinforcer setiap jawaban benar. Tetapi
harus diingat bahwa reinforcer harus pelan-pelan dikurangi sampai anak mengerjakan
tugas tersebut tanpa reinforcer. Misal di awal anak mendapat sepotong kecil kue setiap
menjawab pertanyaan, lama-lama dikurangi menjadi setiap menjawab 2 kemudian 3, 5
atau yang paling efektif adalah skedul secara bervariasi (variable ratio schedule) dimana
anak diberikan reinforcer dengan rata-rata waktu tertentu. Contoh VR 3 adalah
pemberian reinforcer rata-rata setiap 3 jawaban benar, tetapi pemberiannya bisa setiap
2, 4, 6 atau 1, dimana jika dirata-rata dalam 1 set (10 kesempatan) sejumlah 3 jawaban
benar baru mendapatkan reinforcernya. Konsep ini secara penelitian terbukti yang
paling efektif, karena anak tidak tahu kapan datangnya reinforcer sehingga selalu
patuh.Jika anak sudah mulai tidak semangat mengerjakan tugasnya kemungkinan tugas
terlalu sulit dan reinforcers terlalu sedikit. Tidak ada orang yang mau mengerjakan
tugas sulit tanpa imbalan yang pas.
4. Gunakan instruksi yang cepat sehingga anak makin sering terpapar reinforcers,
targetnya adalah 16-25 target per menit. Hal ini juga untuk melatih fluency
(kelancaran). Fluency adalah hal yang sangat penting selain mastery (mahir) karena
secara sosial anak harus bisa menjawab sesuatu pertanyaan dalam waktu yang sangat
singkat.
Walaupun sudah berusaha menjalankan semua program dengan baik, tetapi tetap saja anak
memiliki problem behavior saat terapi. Hal ini kemungkinan anak ingin mengetes terapis, apa
yang akan terjadi jika saya mengerjakan hal ini? (tantrum, atau tidak mau mengerjakan tugas,
keluar dari meja, dll). Tips-tips untuk mengatasinya:
• Lakukan prosedur extinction, artinya tidak memberikan apa yang dia ingin dapatkan,
sehingga behavior tidak memliliki fungsi lagi, diharapkan problem behavior akan turun.
Misal jika fungsinya adalah atensi, berarti tidak memberikan atensi akan menyetop
problem behavior (lihat tulisan sebelumnya tentang mengatasi problem behavior dari
anak)
• Jangan pernah memberikan reinforcer disaat anak melakukan problem behavior. Jika
anak ingin lari dari tempat duduknya, tahan anak dan tetap jangan berikan reinforcernya
supaya anak belajar jika ingin mendapatkan reinforcersnya dia harus duduk di meja dan
melakukan tugas.
• Jika problem behavior terlalu sering dilakukan sang anak, coba observasi lagi apakah
proses pairing berjalan baik? Analisa metoda pengajaran, apakah sudah melakuan task
variation, errorless learning? Apakah skedul pemberian reinforcers terlalu jarang atau
18
reinforcer kurang menarik? Apakah terapis kurang memperhatikan motivasi anak
dalam mendapatkan reinforcers saat itu? Apakah tugasnya terlalu sulit? Jangan pernah
menyalahkan anak, tetapi coba observasi apakah kekurangan kita dalam mengajar.
Terapis yang baik akan selalu memperbaiki metoda pengajaran yang efektif.
• Jika sudah terjadi instructional control, anak akhirnya berpikir bahwa tidak ada gunanya
menjalankan problem behavior, karena jika saya patuh terhadap terapis banyak hal yang
menyenangkan bisa saya dapatkan.
• Proses pairing tidak pernah berhenti. Terkadang berikan reinforcers gratis di saat terapi
untuk menunjukkan kepada anak bahwa terapis menyukai anak apapun kondisinya
walaupun anak selalu patuh.
Konsep instructional control ini juga dapat diterapkan oleh orangtua dirumah, dalam terapi di
rumah atau kegiatan sehari-hari.
a. Prosedur Teknik DTT mengajarkan Ya/Tidak
Meskipun terlihat sederhana, tetapi mengajarkan “ya/tidak” terhadap sebagian anak
autis yang memiliki bahasa yang kaku adalah cukup rumit. Jika mampu menjawab
pertanyaan “ya/tidak” dengan benar, anak dapat memberikan pilihan, menjawab pertanyaan
dan secara jelas menggambarkan apa yang dia ingin dan butuhkan. Kemampuan ini dapat
mengurangi frustasi karena kesalahpahaman komunikasi di anak autis. Beberapa anak autis
yang tidak paham konsep “ya/tidak” akan menjawab semua yang ditanyakan dengan “ya”,
atau dilain waktu akan selalu menjawab “tidak”, sementara dia tidak paham maknanya yang
akhirnya akan menimbulkan masalah behavior menangis, tantrum, dll.
Mengajarkan menjawab “ya/tidak” adalah kemampuan yang cukup kompleks karena
dia melibatkan beberapa verbal operants (mand=meminta, tact=melabel, echoic=meniru
bunyi dan intraverbal=menjawab pertanyaan). Sebelum memulai program, kita harus
melakukan assessment apakah anak paham menjawab “ya/tidak” dalam setiap verbal
operantnya. Menurut Dr. Mary Barbera, urutan pengajaran “ya/tidak” dimulai dengan
“ya/tidak mand” (Kamu mau apel?), jika sudah mahir dilanjutkan “ya/tidak tact” (Apakah
ini apel?) dan terakhir “ya/tidak intraverbal” (Apakah makanan favoritmu apel?).
Untuk sedikit menurunkan problem behavior, mengajarkan berkata “tidak” atau
respons dengan menggeleng dapat diajarkan lebih dini tetapi mengajarkan berkata
“ya/tidak” dalam satu paket khusus sesi terapi baru dilakukan setelah beberapa syarat
terpenuhi. Memang sedikit aneh kedengarannya, tetapi anak-anak autis terkadang dapat
mengungkapkan apa yang dia tidak mau (dan berkata “tidak” atau mendorong barangnya

19
atau menggelengkan kepalanya) dibanding mengungkapkan bahwa dia ingin barangnya dan
berkata “ya”.
Saudara diminta untuk lakukan pengamatan dengan memperhatikan tayangan video
berikut ini dengan judul 02_Ya_Tidak

Berdasarkan pengamatan pada video lakukan diskusi pada sesi forum diskusi untuk
memberikan deskripsi tentang mengajarkan Ya/Tidak terhadap tayangan video tersebut
(buat narasi 150 kata).

Syarat untuk mengajarkan “ya/tidak manding” adalah anak sudah mahir beberapa
mand (di atas 25) yang barangnya terlihat ataupun tidak terlihat dan juga sudah bisa mand
beberapa aktivitas. Pengajaran “ya/tidak” terlalu cepat akan mengurangi mand yang spontan
dan bisa menyebPDBKan penurunan dari kemampuan mand nya karena anak akhirnya
hanya akan menunggu ditanya dan menjawab “ya/tidak”. Mand diajarkan pertama karena
memiliki motivasi dan anak bisa langsung memahami arti dari “ya/tidak”, bahwa apa yang
dia inginkan dia bisa jawab ”ya” dan apa yang tidak dia inginkan dia jawab “tidak”. Tahapan
pengajaran “ya/tidak”:
1. Mengajarkan “ya/tidak manding” dan barangnya terlihat
Pilihlah barang yang anak suka, anak sudah dapat mand dengan spontan saat barangnya
tidak terlihat dan juga sudah mahir tact. Pilihlah barang yang anak tidak suka tetapi bisa
tact barangnya. Lakukan pengetesan sebelum ditanya, apakah anak benar-benar suka atau
tidak dengan barang itu saat itu dengan melihat reaksinya, anak mengambil atau
mendorong barang itu. Jika sudah yakin, saat terapi, berikan prompt penuh sebelum anak
menjawab dengan kesalahan.

20
2. Batasi latihan “ya/tidak” sekitar 10-20 menit sesi per hari. Jika terlalu banyak akan
terjadi penurunan “ya/tidak manding” yang spontan. Sementara kegiatan sehari-hari
tetap fokus pada mand yang spontan. Jangan lakukan latihan “ya/tidak” diluar sesi jika
anak belum banyak mand yang spontannya.
Melatih “ya”. Asumsi anak mau kue.
Terapis : “Mau kue?” Prompt dengan “ya” dan anggukan kepala
Anak echo : “ya”
Transfer — tanyakan sekali lagi
Terapis : “Mau kue?” Kurangi prompt dengan partial prompt (y-) atau
gesture (terapis mengangguk)
Anak : “ya”
Melatih “tidak”. Asumsi anak tidak mau makan buncis
Terapis : “Mau buncis?” Prompt dengan “tidak” dan gelengan kepala Anak
echo : “tidak”
Transfer — tanyakan sekali lagi
Terapis : “Mau buncis?” Kurangi prompt dengan partial prompt (n-) atau
gesture (terapis menggeleng)
Anak ” “tidak”
Jika diperlukan bisa dibantu dengan tulisan “ya” dan “tidak” Jika anak meng-echo
dengan “ya kue” atau “tidak buncis”, berarti anak kurang paham dengan
pertanyaannya dan hanya meng-echo karena jawaban cukup “ya” atau “tidak” saja.
Ulangi lagi pertanyaan, tetapi hilangkan kata bendanya, jadi tanyakan dengan
“Mau apa?” sehingga anak tidak mengecho barangnya (“ya kue”, “tidak buncis”).
Setelah agak mahir, coba lagi dengan nama barangnya dan jika anak sudah mahir
dan tidak echo nama barangnya, bisa diperkenalkan kembali dengan pertanyaan
“Mau?”.
Setelah anak mahir dan jawaban 80% benar selama 3 hari berturut-turut, acak
pertanyaan dengan jawaban ”ya” dan “tidak”. Jangan lupa tetap melatih mand
spontan supaya tidak hilang.

21
3. Mengajarkan “ya/tidak manding” dan barangnya tidak terlihat
Jika anak sudah mahir “ya/tidak manding” yang barangnya terlihat, mulai secara
perlahan barang yang sama disembunyikan di dalam tempat tertutup dan tanyakan
kepada anak. “Mau kue?” “Mau buncis?” seperti prosedur di atas.
Jika sudah mahir, baru mulai mulai diperkenalkan di natural environment atau kegiatan
sehari-hari. Jangan lupa selalu mendorong penggunaan mand yang spontan dan sekali-
kali ajukan pertanyaan “ya/tidak mand”. Jika anak terlihat berkurang penggunaan
mand yang spontan, coba kurangi ajukan pertanyaan “ya/tidak”. Ajarkan kemahiran
ini di berbagai macam setting, orang yang berbeda dan tempat berbeda, misal di rumah
dengan seluruh keluarga, di sekolah, dll.
4. Mengajarkan “ya/tidak tacting”
Dimulai dengan kata-kata yang sudah anak punya dan mahir. Jika diperlukan beri
bantuan tulisan “ya” dan “tidak”. Jika sudah mahir, hilangkan perlahan prompt tulisan
“ya” dan “tidak” sehingga anak bisa menjawab secara mandiri, walau mungkin di awal
tulisan masih ada dan hanya perlu menunjuk tulisannya (tidak diangkat seperti di video
contoh), perlahan dikurangi menjadi prompt dengan gesture (anggukan dan gelengan)
atau verbal partial prompt (y untuk ya; t untuk tidak). Dimulai dengan kata-kata benda,
dilanjutkan kata kerja dan kata-kata sifat, fungsi, kategori, dll. Setelah mahir dalam
sesi terapi, sebaiknya di praktekkan di lingkurangan sehari-hari supaya anak dapat
mengeneralisir jawabannya.
5. Mengajarkan “ya/tidak intraverbal “
Mengajarkan ya/tidak intraverbal akan menjadi hal yang cukup sulit, karena beberapa
intraverbal benar-benar sudah abstrak yang kadang sulit dipahami. Tetapi bisa dilatih
dengan cara yang mirip dengan tact di atas, dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan
yang anak sudah mahir dan dipraktekkan di lingkungan sehari-hari. Pertanyaan yang
jawabannya lebih pasti lebih dulu diajarkan dibandingkan yang lebih abstrak. Gunakan
VB-MAPP intraverbal subtest sebagai panduannya. Bebarapa anak yang sudah mahir
mand dan tact sudah bisa langsung mengeneralisir di intraverbal tanpa latihan khusus.

22
Saudara diminta untuk lakukan pengamatan dengan memperhatikan tayangan video
berikut ini dengan judul 03_ekspresif_pilih

Berdasarkan pengamatan pada video lakukan diskusi pada sesi forum diskusi untuk
memberikan deskripsi tentang mengajarkan memilih sesuai konseo kata setalah memahami
Ya/Tidak terhadap tayangan video tersebut (buat narasi 150 kata).

04. Aktifitas Pebelajaran


Saudara dapat melakukan aktifitas dengan mengisi lembar kerja sebagai berikut :
1. Saudara diminta untuk membuat narasi mengenai perencanaan prosedur untuk
melakukan pembelajran dnegan DTT mengajarkan tentang memilih huruf S, X, W
diketik pada Ms-word file nya diunggah di pengirman file di LK ini !

23
24

Anda mungkin juga menyukai