Klasifikasi Hidrokarbon
Berdasarkan jenis ikatan antara atom karbon, senyawa hidrokarbon dapat dibedakan
menjadi hidrokarbon jenuh dan tak jenuh. Seluruh ikatan antar atom karbon pada
hidrokarbon jenuh merupakan ikatan kovalen tunggal. Pada hidrokarbon tak jenuh,
terdapat satu atau lebih ikatan rangkap ataupun ikatan rangkap tiga.
Berdasarkan bentuk rantai karbon dan jenis ikatannya, senyawa hidrokarbon
dikelompokkan menjadi:
1. Hidrokarbon alifatik,
yaitu hidrokarbon dengan rantai terbuka dengan ikatan tunggal (jenuh) ataupun ikatan
rangkap (tak jenuh).
2. Hidrokarbon alisiklik,
yaitu hidrokarbon dengan rantai tertutup atau melingkar.
3. Hidrokarbon aromatik,
yaitu hidrokarbon rantai melingkar dengan ikatan konjugasi, yaitu ikatan tunggal dan
ikatan rangkap yang berselang-seling.
Tata Nama Senyawa Hidrokarbon Alifatik
Alkana
Alkana adalah senyawa hidrokarbon alifatik jenuh dengan rumus umum CnH2n+2. Alkana
membentuk deret homolog, yaitu kelompok senyawa dengan rumus umum sama dan
sifat bermiripan. Berikut tabel deret homolog alkana dengan rumus molekul, rumus
bangun, dan nama dari masing-masing senyawa.
1. Rantai C yang terpanjang ditetapkan sebagai rantai utama. Bila terdapat dua
atau lebih rantai terpanjang yang sama panjangnya, maka dipilih rantai
dengan cabang terbanyak sebagai rantai utama.
2. Cabang dari rantai utama dengan substituen hidrokarbon (gugus alkil) diberi
nama dengan mengganti akhiran ana pada alkana menjadi il. Berikut tabel
struktur dan nama dari beberapa gugus alkil.
3. Atom-atom C pada rantai utama diberi nomor secara berurut dimulai dari
salah satu ujung rantai yang posisi cabangnya mendapat nomor terkecil.
Alkena
Alkena adalah senyawa hidrokarbon alifatik tak jenuh dengan ikatan rangkap dua.
Rumus umum alkena adalah CnH2n. Aturan IUPAC dalam penamaan alkena hampir
sama dengan alkana, namun dengan beberapa modifikasi aturan berikut.
1. Rantai utama yang dipilih adalah rantai terpanjang yang mengandung ikatan
rangkap. Nama rantai utama diturunkan dari nama alkana dengan jumlah C
sama dengan mengganti akhiran ana menjadi ena.
2. Urutan penomoran pada rantai utama dimulai dari salah satu ujung rantai
yang posisi atom C berikatan rangkapnya mendapat nomor terkecil. Nomor
posisi ikatan rangkap didasarkan pada nomor atom C berikatan rangkap
yang nomornya lebih kecil.
Alkuna
Alkuna adalah senyawa hidrokarbon alifatik tak jenuh dengan ikatan rangkap tiga.
Rumus umum alkuna adalah CnH2n−2. Aturan IUPAC dalam penamaan alkuna hampir
seluruhnya sama dengan alkena. Dalam penamaan alkuna, nama rantai utama yang
diturunkan dari alkena dengan jumlah C sama yang memiliki akhiran ena diubah
menjadi una. Contoh:
Alkana
1. sebagai bahan bakar, misal metana yang merupakan komponen utama LNG
(Liquefied Natural Gas), propana atau butana yang merupakan komponen
utama LPG (Liqufied Petroleum Gas);
2. sebagai pelarut organik nonpolar, misal pentana, heksana, dan heptana; dan
3. sebagai bahan baku dalam industri petrokimia, misal untuk pembuatan
alkena dengan reaksi cracking dan pembuatan haloalkana.
Alkena
Sebagai bahan baku dalam industri petrokimia, misal untuk pembuatan alkana,
haloalkana, alkohol, aldehid, keton, dan polimer. Etena merupakan hormon tumbuhan
yang dapat mempercepat matangnya buah, selain itu etena juga merupakan bahan
baku dari plastik polietilena. Propena merupakan bahan baku pembuatan plastik
polipropilena. 1,3-Butadiena merupakan bahan baku pembuatan karet sintetis
polibutadiena. Isoprena (2-metil-1,3-butadiena) juga merupakan bahan baku pembuatan
karet poliisoprena.
Alkuna
Senyawa alkuna yang paling penting adalah etuna (asetilena). Asetilena digunakan
sebagai bahan bakar dalam pemotongan logam dan penyambungan logam dengan las
karbit (oxyacetylene welding). Pembakaran asetilena dengan oksigen dapat menghasilkan
panas hingga sekitar 3000°C. Dalam jumlah sedikit, asetilena dapat dibuat melalui
reaksi batu karbit (kalsium karbida) dengan air seperti berikut.
Contoh Soal
Tulislah nama IUPAC dari senyawa berikut.
Jawab:
a.
b.
c.
Cabang: metil (―CH3) pada C-2 dan C-7; etil (―CH2CH3) pada C-3 dan C-6
Nama IUPAC: 3,6-dietil-2,7-dimetil-4-oktuna
Fraksi Minyak
Bumi Jumlah atom C Titik didih (oC) Manfaat Minyak Bumi
Bahan bakar gas (LPG) dan bahan baku
Gas C1-C4 < 20 sintesis senyawa organic
Eter petroleum C5-C7 30 – 90 Pelarut dan cairan pembersih
Bensin (Gasolin) C5-C10 40 – 180 Bahan bakar kendaraan bermotor
Nafta C6-C10 70 – 180 Bahan baku sintesis senyawa organic
Bahan bakar jet dan bahan bakar
Kerosin C11-C14 180 – 250 kompor paraffin
Minyak solar dan Bahan bakar kendaraan bermesin diesel
diesel C15-C17 250 – 300 dan bahan bakar tungku di industry
Minyak pelumas C18-C20 300 – 350 Oil dan pelumas
Petroleum jelly dan lilin paraffin untuk
membuat lilin, kertas berlapis lilin, lilin
Lilin C20+ > 350 batik, dan bahan pengkilan seperti semir
Bahan bakar kapal, pemanas industri
Minyak bakar C20+ > 350 (boiler plant), dan pembangkit listrik
Bitumen C40+ > 350 Material aspal jalan dan atap bangunan
Bensin
Bensin merupakan bahan bakar kendaraan bermotor yang memiliki peranan penting. Di
Indonesia, tersedia beberapa jenis bensin, misalnya premium, pertamax, dan pertamax
plus. Setiap jenis bensin memiliki mutu yang berbeda. Mutu bensin ditentukan oleh
efektivitas pembakarannya di dalam mesin. Hal ini dipengaruhi ketepatan waktu
pembakaran sehingga tidak menimbulkan ketukan (knocking) yang mengganggu
gerakan piston pada mesin. Ketukan dapat mengurangi efisiensi bahan bakar,
menyebabkan mesin mengelitik, dan bahkan merusak mesin.
Mutu bensin biasanya dinyatakan dengan bilangan oktan (octane number). Bilangan
oktan ditentukan melalui uji pembakaran sampel bensin sehingga diperoleh karakteristik
pembakarannya. Karakteristik tersebut kemudian dibandingkan dengan karakteristik
pembakaran berbagai campuran n-heptana dan isooktana. Nilai bilangan oktan 0
ditetapkan untuk n-heptana yang mudah terbakar dan menghasilkan ketukan paling
banyak, sedangkan nilai 100 untuk isooktana yang tidak mudah terbakar dan
menghasilkan ketukan paling sedikit. Sebagai contoh, suatu campuran yang terdiri dari
25% n-heptana dan 75% isooktana akan mempunyai bilangan oktan (25/100 × 0) +
(75/100 × 100) = 75. Jadi, pertamax dengan bilangan oktan 92 akan memiliki mutu
bensin yang setara dengan campuran 92% isooktana dan 8% n-heptana.
Secara umum, bensin yang mengandung alkana rantai lurus akan memiliki nilai bilangan
oktan lebih rendah dibanding yang mengandung alkana rantai bercabang, alisiklik,
ataupun aromatik. Sebagai contoh, n-heksana memiliki bilangan oktan 25, sedangkan
2,2-dimetilbutana memiliki bilangan oktan 92.
Fraksi bensin dari hasil penyulingan umumnya mempunyai bilangan oktan ~70 yang
tergolong relatif rendah. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk
menaikkan bilangan oktan:
2. Hitunglah bilangan oktan dari sampel bensin yang setara dengan campuran 95%
isooktana dan 5% n-heptana.
Jawab: Bilangan oktan = (95/100 × 100) + (5/100 × 0) = 95
Jawab: Komposisinya yaitu 84% isooktana dan 100% − 84% = 16% n-heptana.
Referensi
Jenkins, Frank. et al. 2002. Nelson Chemistry 11. Toronto: Nelson Education Ltd.
Johari, J.M.C. & Rachmawati, M. 2009. Kimia SMA dan MA untuk Kelas X Jilid 1.
Jakarta: Esis
Purba, Michael. 2006. Kimia 1B untuk SMA Kelas X. Jakarta: Erlangga
Retnowati, Priscilla. 2004. SeribuPena Kimia SMA Kelas X Jilid 1. Jakarta: Erlangga
Smith, Janice G. 2016. General, Organic, & Biological Chemistry (3rd edition). New York:
McGraw-Hill Education
Sudarmo, Unggul. 2007. Kimia SMA 1 untuk SMA Kelas X. Jakarta: Phibeta
Termokimia
Termokimia adalah ilmu yang mempelajari reaksi kimia dan perubahan energi yang
terlibat. Dalam mempelajari termokimia, diperlukan definisi “sistem” dan “lingkungan”.
Sistem adalah segala sesuatu yang menjadi fokus perhatian kita. Lingkungan adalah
segala sesuatu selain sistem.
Hukum pertama termodinamika menyatakan bahwa energi tidak dapat diciptakan
ataupun dimusnahkan. Implikasi hukum ini pada energi dalam sistem, yaitu perubahan
energi dalam, ΔE sama dengan penjumlahan kalor (q) yang diserap atau dilepas sistem
dengan kerja (w) yang dilakukan atau diterima sistem.
Entalpi reaksi (ΔHrx) juga merupakan fungsi keadaan, yang nilainya bergantung pada
Hakhir dan Hawal. Dalam suatu reaksi kimia, “akhir” dan “awal” bisa dinyatakan sebagai
“produk” dan “reaktan”. Jadi, Hproduk dapat lebih dari ataupun kurang dari Hreaktan sehingga
tanda nilai ΔHrx bergantung pada apakah kalor diserap atau dilepas oleh sistem reaksi.
Reaksi disebut eksoterm bilamana melepas kalor sehingga entalpi sistem menurun dan
ΔHrx< 0. Reaksi disebut endoterm bilamana menyerap kalor sehingga entalpi sistem
meningkat dan ΔHrx> 0.
Diagram termokimia: entalpi untuk reaksi eksoterm (A) dan endoterm (B)
(Sumber: Silberberg, Martin S. 2009. Chemistry: The Molecular Nature of Matter and
Change (5th edition). New York: McGraw Hill)
Kalorimetri
Kalorimetri adalah cara penentuan kalor reaksi dengan kalorimeter. Kalorimeter
merupakan sistem terisolasi (tidak ada perpindahan materi dan energi dengan
lingkungan). Jika dianggap keseluruhan kalorimeter adalah sistem, maka qsistem = 0.
Dengan mengukur perubahan temperatur (ΔT), dapat dihitung jumlah kalor (q) yang
terlibat dalam reaksi di dalam kalorimeter sebagaimana rumus:
Kalorimeter bom
(Sumber: Gilbert, Thomas N. et al. 2012. Chemistry: The Science in Context (3rd edition).
New York: W. W. Norton & Company, Inc.)
Pada kalorimeter bom berlaku rumus:
[V konstan]
Kalorimeter sederhana (kalorimetri tekanan konstan)
[V konstan]
Sebagai contoh, pada reaksi hipotetis berikut di mana a, b, c, dan d adalah koefisien
stoikiometrik,
aA + bB → cC + dD
Hukum Hess
Hukum Hess menyatakan bahwa ketika reaktan terkonversi menjadi produk, nilai
perubahan entalpi dari reaksi tetap sama, baik dengan satu langkah ataupun dengan
sederetan langkah. Dengan kata lain, perubahan entalpi dari keseluruhan proses sama
dengan jumlah total perubahan entalpi setiap langkah. Perhatikan contoh berikut.
Dalam penerapan hukum Hess, kadangkala persamaan termokimia yang tersedia perlu
dimanipulasi terlebih dahulu. Berikut aturan dalam memanipulasi persamaan
termokimia:
Jawab:
ΔH = ∑D(reaktan) − ∑D(produk)
= [12(413 kJ) + 2(348 kJ) + 7(495 kJ)] – [8(799 kJ) + 12(463 kJ)]
= 9117 kJ – 11948 kJ
ΔH = −2831 kJ
Termokimia – Referensi
– Brown, Theodore L. et al. 2015. Chemistry: The Central Science (13th edition). New
Jersey: Pearson Education, Inc.
– Chang, Raymond. 2010. Chemistry (10th edition). New York: McGraw Hill
– Gilbert, Thomas N. et al. 2012. Chemistry: The Science in Context (3rd edition). New
York: W. W. Norton & Company, Inc.
– Jespersen, Neil D., Brady, James E., & Hyslop, Allison. Chemistry: The Molecular
Nature of Matter (6th edition). New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
– Petrucci, Ralph H. et al. 2011. General Chemistry: Principles and Modern Applications
(10th edition). Toronto: Pearson Canada Inc.
– Purba, Michael. 2006. Kimia 2A untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Erlangga.
– Silberberg, Martin S. 2009. Chemistry: The Molecular Nature of Matter and Change
(5th edition). New York: McGraw Hill
– Stacy, Angelica M. 2015. Living by Chemistry (2nd edition). New York: W.H. Freeman
and Company
Laju Reaksi
Teori Tumbukan
Teori tumbukan menyatakan bahwa partikel-partikel reaktan harus saling bertumbukan
untuk bereaksi. Tumbukan antar partikel reaktan yang berhasil menghasilkan reaksi
disebut tumbukan efektif. Energi minimum yang harus dimiliki oleh partikel reaktan untuk
bertumbukan efektif disebut energi aktivasi (Ea). Pada dasarnya, laju reaksi bergantung
pada:
1. Orientasi (arah) tumbukan partikel
Pada reaksi umumnya, partikel harus dalam orientasi yang tertentu ketika bertumbukan
agar tumbukan yang terjadi efektif menghasilkan reaksi. Sebagai contoh, perhatikan
beberapa tumbukan yang mungkin terjadi antara molekul gas NO dan molekul gas NO3
dalam reaksi:
NO(g) + NO3(g) → 2NO2(g)
1. Konsentrasi Reaktan
Semakin tinggi konsentrasi reaktan, semakin banyak jumlah partikel reaktan yang
bertumbukan, sehingga semakin tinggi frekuensi terjadinya tumbukan dan lajunya
meningkat. Sebagai contoh, dalam reaksi korosi besi di udara, laju reaksi korosi besi
lebih tinggi pada udara yang kelembabannya lebih tinggi (konsentrasi reaktan H2O
tinggi)
2. Wujud Fisik Reaktan
Jika reaktan yang bereaksi dalam wujud fisik (fasa) yang sama, semuanya gas atau
semuanya cair, maka tumbukan antar partikel didasarkan pada gerak acak termal dari
partikel. Jika reaktan yang bereaksi berbeda wujud fisik (fasa), tumbukan yang efektif
hanya terjadi pada bagian antarfasa. Jadi, reaksi dengan reaktan-reaktan berbeda fasa
dibatasi oleh luas permukaan kontak reaktan. Oleh karena itu, semakin luas permukaan
kontak reaktan per unit volum, maka semakin tinggi frekuensi terjadinya tumbukan
partikel reaktan dan laju reaksi meningkat. Sebagai contoh, pada reaksi pembakaran
kayu, akan lebih mudah dan cepat membakar kayu gelondongan yang telah dipotong
menjadi balok-balok kecil dibanding dengan langsung membakar kayu gelondongan
tersebut.
3. Temperatur
Semakin tinggi temperatur maka semakin tinggi energi kinetik dari partikel reaktan,
sehingga frekuensi tumbukan dan energi tumbukan meningkat. Oleh karena itu, semakin
tinggi temperatur, laju reaksi juga semakin cepat. Sebagai contoh, pada reaksi glowing
stick menyala (reaksi chemiluminescence), glowing stick menyala lebih cepat dan terang
di dalam air panas dibanding dalam air dingin.
4. Keberadaan Katalis
Katalis adalah zat yang dapat mempercepat laju reaksi, tanpa terkonsumsi di dalam
reaksi tersebut. Katalis menyediakan alternatif jalur reaksi dengan energi aktivasi yang
lebih rendah dibanding jalur reaksi tanpa katalis sehingga reaksinya menjadi semakin
cepat.
Hukum Laju
Hukum laju (persamaan laju) menyatakan hubungan antara laju reaksi dengan
konsentrasi dari reaktan dipangkatkan bilangan tertentu. Untuk reaksi:
aA + bB → cC + dD
Hukumnya adalah:
di mana nilai konstanta laju, k dan nilai x dan y ditentukan berdasarkan eksperimen,
bukan berdasarkan koefisien stoikiometri persamaan reaksi setara. Untuk reaksi
tersebut, dikatakan reaksi orde ke-x terhadap A, orde ke-y terhadap B, dan orde reaksi
total sama dengan x + y.
Contoh soal:
a. Untuk menghitung nilai x pada [NO2]x, kita perlu membandingkan data eksperimen 1
dan 2, di mana [NO2] bervariasi namun [CO] konstan.
atau
atau
e.
Referensi
– Brown, Theodore L. et al. 2015. Chemistry: The Central Science (13th edition). New
Jersey: Pearson Education, Inc.
– Chang, Raymond. 2010. Chemistry (10th edition). New York: McGraw Hill
– Purba, Michael. 2006. Kimia 2A untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Erlangga.
– Silberberg, Martin S. 2009. Chemistry: The Molecular Nature of Matter and Change
(5th edition). New York: McGraw Hill
Kesetimbangan Kimia
Kesetimbangan kimia terjadi pada reaksi kimia yang reversibel. Reaksi reversibel adalah
reaksi yang di mana produk reaksi dapat bereaksi balik membentuk reaktan.
Kesetimbangan kimia tercapai ketika laju reaksi maju sama dengan laju reaksi balik dan
konsentrasi dari reaktan-reaktan dan produk-produk tidak berubah lagi.
Untuk persamaan reaksi reversibel yang berada dalam kesetimbangan pada temperatur
tertentu berikut,
aA + bB ⇌ cC +dD
atau
di mana, R = tetapan gas universal, T = temperatur, dan Δng = jumlah mol produk gas –
jumlah mol reaktan gas.
Dalam perhitungan konstanta kesetimbangan reaksi heterogen (reaksi di mana terdapat
lebih dari 1 fasa) yang melibatkan substansi dalam wujud cairan murni atau padatan
murni, konsentrasi substansi cair dan padat tersebut diabaikan dan tidak ikut
diperhitungkan. Contohnya:
=>
Untuk mengetahui apakah reaksi telah mencapai kesetimbangan dan memprediksikan
arah reaksi, ditentukan nilai dari kuosien reaksi, Qc, dengan mensubstitusikan nilai
konsentrasi masing-masing substansi (produk dan reaktan) pada keadaan setimbang
pada konstanta kesetimbangan kimia, Kc, dengan nilai konsentrasi awal masing-masing
substansi pada keadaan reaksi tersebut.
Qc = Kc , reaksi telah mencapai kesetimbangan. Jika Qc = Kc, reaktan ⇌ produk
Qc < Kc , reaksi akan berlangsung dari arah kiri ke kanan (pembentukan produk) hingga
mencapai kesetimbangan kimia (Qc = Kc). Jika Qc < Kc, reaktan → produk
Qc > Kc , reaksi akan berlangsung dari arah kanan ke kiri (pembentukan reaktan) hingga
mencapai kesetimbangan kimia (Qc = Kc). Jika Qc > Kc, reaktan ← produk
Berikut beberapa hubungan Q dan hubungan K dari reaksi-reaksi yang berkaitan.
[H2]0 = 0,00623 M
[I2]0 = 0,00414 M
[HI]0 = 0,0224 M
Kc = 54,3
Pertama, kita tentukan nilai kuosien reaksi, Qc, untuk mengetahui apakah sistem telah
setimbang atau belum, dan ke arah mana reaksi berlangsung jika belum setimbang.
Karena Qc (19,5) < Kc (54,3), reaksi akan berlangsung dari arah kiri ke kanan hingga
mencapai kesetimbangan. Jadi, konsentrasi H2 dan I2 akan berkurang dan konsentrasi
HI akan bertambah sampai reaksi setimbang.
Selanjutnya, asumsikan bahwa konsentrasi H2 berkurang sebanyak x hingga reaksi
setimbang, lalu kita buat persamaan stoikiometri dengan MRS (Mula-mula, Reaksi,
Setimbang).
Pengertian Koloid
Pengertian koloid adalah campuran heterogen dari dua zat atau lebih di mana partikel-
partikel zat berukuran antara 1 hingga 1000 nm terdispersi (tersebar) merata dalam
medium zat lain. Zat yang terdispersi sebagai partikel disebut fase terdispersi,
sedangkan zat yang menjadi medium mendispersikan partikel disebut medium
pendispersi.
Secara makroskopis, koloid terlihat seperti larutan, di mana terbentuk campuran
homogen dari zat terlarut dan pelarut. Namun, secara mikroskopis, terlihat seperti
suspensi, yakni campuran heterogen di mana masing-masing komponen campuran
cenderung saling memisah.
Warna pada cat berasal dari warna pigmen yang sebenarnya tidak larut dalam air
ataupun medium pelarut lainnya. Namun demikian, cat terlihat seperti campuran yang
homogen layaknya larutan garam dan bukan seperti campuran heterogen layaknya
campuran pasir dengan air. Hal ini terjadi sebagaimana cat merupakan sistem koloid
dengan pigmen terdispersi dalam air atau medium pelarut cat lainnya.
Jenis-jenis Koloid
Sistem koloid dapat dikelompokkan berdasarkan fase terdispersi dan fase
pendispersinya. Berdasarkan fase terdispersi, jenis koloid ada tiga, antara lain sol (fase
tersispersi padat), emulsi (fase terdispersi cair), dan buih (fase terdispersi gas). Koloid
dengan fase pendispersi gas disebut aerosol.
Berdasarkan fase terdispersi dan pendispersinya, jenis koloid dapat dibagi menjadi 8
golongan seperti pada tabel berikut.
Sifat-sifat Koloid
1. Efek Tyndall
Ketika seberkas cahaya diarahkan kepada larutan, cahaya akan diteruskan. Namun,
ketika berkas cahaya diarahkan kepada sistem koloid, cahaya akan dihamburkan. Efek
penghamburan cahaya oleh partikel koloid ini disebut efek Tyndall. Efek Tyndall dapat
digunakan untuk membedakan sistem koloid dari larutan. Penghamburan cahaya ini
terjadi karena ukuran partikel koloid hampir sama dengan panjang gelombang
cahaya tampak (400 – 750 nm).
Eksperimen efek Tyndall: Cahaya diteruskan melalui larutan (kiri) tetapi dihamburkan
oleh sistem koloid Fe2O3 (kanan).
(Sumber: Brown, Theodore L. et al. 2015. Chemistry: The Central Science (13th edition).
New Jersey: Pearson Education, Inc.)
2. Gerak Brown
Secara mikroskopis, partikel-partikel koloid bergerak secara acak dengan jalur patah-
patah (zig-zag) dalam medium pendispersi. Gerakan ini disebabkan oleh terjadinya
tumbukan antara partikel koloid dengan medium pendispersi. Gerakan acak partikel ini
disebut gerak Brown. Gerak Brown membantu menstabilkan partikel koloid sehingga
tidak terjadi pemisahan antara partikel terdispersi dan medium pendispersi oleh
pengaruh gaya gravitasi.
Muatan koloid
a. Adsorpsi
Partikel koloid dapat menyerap partikel-partikel lain yang bermuatan maupun tidak
bermuatan pada bagian permukaannya. Peristiwa penyerapan partikel-partikel pada
permukaan zat ini disebut adsorpsi. Partikel koloid dapat mengadsorpsi ion-ion dari
medium pendispersinya sehingga partikel tersebut menjadi bermuatan listrik. Jenis
muatannya bergantung pada muatan ion-ion yang diserap. Sebagai contoh, sol
Fe(OH)3 dalam air bermuatan positif karena mengadsorpsi ion-ion positif, sedangkan sol
As2S3 bermuatan negatif karena mengadsorpsi ion-ion negatif.
b. Elektroforesis
Partikel koloid dapat bergerak dalam medan listrik. Hal ini menunjukkan bahwa partikel
koloid bermuatan listrik. Pergerakan partikel koloid dalam medan listrik di mana partikel
bermuatan bergerak ke arah elektrode dengan muatan berlawanan ini disebut
elektroforesis. Koloid bermuatan positif akan bergerak ke arah elektrode negatif,
sedangkan koloid bermuatan negatif akan bergerak ke arah elektrode positif. Oleh
karena itu, elektroforesis dapat digunakan untuk menentukan jenis muatan koloid dan
juga untuk memisahkan partikel-partikel koloid berdasarkan ukuran partikel dan
muatannya.
4. Koagulasi
Muatan listrik sejenis dari partikel-partikel koloid membantu menstabilkan sistem koloid.
Jika muatan listrik tersebut hilang, partikel-partikel koloid akan menjadi tidak stabil dan
bergabung membentuk gumpalan. Proses pembentukan gumpalan-gumpalan partikel ini
disebut koagulasi. Setelah gumpalan-gumpalan ini menjadi cukup besar, gumpalan ini
akhirnya akan mengendap akibat pengaruh gravitasi. Koagulasi dapat dilakukan
dengan empat cara, yaitu:
1. mekanik, yakni dengan pengadukan, pemanasan atau pendinginan;
2. menggunakan prinsip elektroforesis, di mana partikel-partikel koloid
bermuatan negatif akan digumpalkan di elektrode positif dan partikel-partikel
koloid bermuatan positif akan digumpalkan di elektrode negatif jika dialirkan
arus listrik cukup lama;
3. menambahkan elektrolit, di mana ion positif dari elektrolit akan ditarik partikel
koloid bermuatan negatif dan ion negatif dari elektrolit akan ditarik partikel
koloid bermuatan positif sehingga partikel-partikel koloid dikelilingi oleh
lapisan kedua yang memiliki muatan berlawanan dengan lapisan pertama.
Apabila jarak antara kedua lapisan tersebut cukup dekat, muatan partikel
koloid akan menjadi netral sehingga terjadilah koagulasi. Semakin besar
muatan ion dari elektrolit, proses koagulasi semakin cepat dan efektif;
4. menambahkan koloid lain dengan muatan berlawanan, di mana kedua
sistem koloid dengan muatan berlawanan akan saling tarik-menarik dan
saling mengadsorpsi sehingga terjadi koagulasi.
Koagulasi dapat dicegah dengan penambahan koloid pelindung, yakni suatu koloid yang
berfungsi menstabilkan partikel koloid yang terdispersi dengan membungkus partikel
tersebut sehingga tidak dapat saling bergabung membentuk gumpalan.
Pembuatan Koloid
1. Reaksi redoks
Contoh: pembuatan sol belerang
1. Cara mekanik
Pada cara ini, butiran-butiran kasar digerus ataupun digiling dengan penggiling koloid
hingga tingkat kehalusan tertentu lalu diaduk dalam medium pendispersi. Contoh: sol
belerang dapat dibuat dengan menggerus serbuk belerang bersama-sama dengan gula
pasir, kemudian serbuk yang sudah halus tersebut dicampur dengan air.
1. Cara peptisasi
Pada cara ini, partikel-partikel besar dipecah dengan bantuan zat pemeptisasi
(pemecah). Contoh: endapan Al(OH)3 dipeptisasi oleh AlCl3; endapan NiS oleh H2S; dan
agar-agar dipeptisasi oleh air.
1. Cara busur Bredig
Cara ini digunakan untuk membuat sol-sol logam seperti Ag, Au, dan Pt. Logam yang
akan dijadikan koloid digunakan sebagai elektrode yang dicelupkan dalam medium
pendispersi lalu kedua ujung elektroda diberi loncatan listrik.
a. styrofoam
b. batu apung
c. tinta
d. alkohol 70%
e. margarin
Jawab:
d. alkohol 70%
Contoh Soal 2
Dispersi zat padat dalam zat cair disebut…
a. sol
b. aerosol
c. emulsi
d. emulsi padat
e. buih padat
Jawab:
a. sol
Sol adalah koloid dengan fase terdispersi padat dan fase pendispersi cair.
Referensi
Brown, Theodore L. et al. 2015. Chemistry: The Central Science (13th edition). New
Jersey: Pearson Education, Inc.
Johari, J.M.C. & Rachmawati, M. 2009. Kimia SMA dan MA untuk Kelas XI Jilid 2.
Jakarta: Esis
Kotz, John C., Treichel, Paul M., & Townsend, John R. 2012. Chemistry & Chemical
Reactivity (8th edition). California: Brooks/Cole
Pashley, Richard M. & Karaman, Marilyn E. 2004. Applied Colloid and Surface
Chemistry. Chichester: John Wiley & Sons, Ltd.
Petrucci, Ralph H. et al. 2017. General Chemistry: Principles and Modern Applications
(11th edition). Toronto: Pearson Canada Inc.
Purba, Michael. 2006. Kimia 2B untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Erlangga
Retnowati, Priscilla. 2005. SeribuPena Kimia SMA Kelas XI Jilid 2. Jakarta: Erlangga
Silberberg, Martin S. & Amateis, Patricia. 2015. Chemistry: The Molecular Nature of
Matter and Change (7th edition). New York: McGraw-Hill Education
Teori Asam Basa
Asam dan basa adalah dua golongan zat kimia yang sangat umum ditemukan di sekitar
kita. Sebagai contoh, cuka, asam sitrun, dan asam dalam lambung tergolong asam,
sedangkan kapur sirih dan soda api tergolong basa. Asam dan basa memiliki sifat-sifat
yang berbeda. Pada mulanya, asam dan basa dibedakan berdasarkan rasanya, di mana
asam terasa masam sedangkan basa terasa pahit dan licin seperti sabun. Namun,
secara umum zat-zat asam maupun basa bersifat korosif dan beracun — khususnya
dalam bentuk larutan dengan kadar tinggi — sehingga sangat berbahaya jika diuji
sifatnya dengan metode merasakannya.
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pembedaan asam dan basa
pun dapat dilakukan dengan menggunakan indikator seperti kertas lakmus dan indikator
universal ataupun instrumen pH meter. Larutan asam akan memerahkan kertas lakmus
biru, sedangkan larutan basa akan membirukan kertas lakmus merah. Pada pengujian
zat dengan pH meter, larutan asam akan menunjukkan pH lebih kecil dari 7, sedangkan
larutan basa akan menunjukkan pH lebih besar dari 7. Larutant dengan pH sama
dengan 7 disebut netral.
Namun demikian, apakah yang menentukan suatu senyawa bersifat asam atau basa?
Definisi asam dan basa pun akhirnya menjadi rumusan masalah bagi para ahli selama
ratusan tahun. Dari berbagai teori definisi asam basa yang pernah diajukan, terdapat
tiga teori yang sangat bermakna, antara lain teori asam basa Arrhenius, teori asam basa
Brønsted–Lowry, dan teori asam basa Lewis.
asam adalah senyawa yang jika dilarutkan dalam air melepaskan ion H+.
basa adalah senyawa yang jika dilarutkan dalam air melepaskan ion OH−.
Gas asam klorida (HCl) yang sangat larut dalam air tergolong asam Arrhenius,
sebagaimana HCl dapat terurai menjadi ion H+dan Cl− di dalam air. Berbeda halnya
dengan metana (CH4) yang bukan asam Arrhenius karena tidak dapat menghasilkan ion
H+ dalam air meskipun memiliki atom H. Natrium hidroksida (NaOH) termasuk basa
Arrhenius, sebagaimana NaOH merupakan senyawa ionik yang terdisosiasi menjadi ion
Na+ dan OH− ketika dilarutkan dalam air. Konsep asam dan basa Arrhenius ini terbatas
pada kondisi air sebagai pelarut.
Teori Asam Basa Brønsted–Lowry
Pada tahun 1923, Johannes N. Brønsted dan Thomas M. Lowry secara terpisah
mengajukan definisi asam dan basa yang lebih luas. Konsep yang diajukan tersebut
didasarkan pada fakta bahwa reaksi asam–basa melibatkan transfer proton (ion H+) dari
satu zat ke zat lainnya. Proses transfer proton ini selalu melibatkan asam sebagai
pemberi/donor proton dan basa sebagai penerima/akseptor proton. Jadi, menurut
definisi asam basa Brønsted–Lowry,
asam adalah donor proton.
basa adalah akseptor proton.
Jika ditinjau dengan teori Brønsted–Lowry, pada reaksi ionisasi HCl ketika dilarutkan
dalam air, HCl berperan sebagai asam dan H2O sebagai basa.
HCl(aq) + H2O(l) → Cl−(aq) + H3O+(aq)
HCl berubah menjadi ion Cl− setelah memberikan proton (H+) kepada H2O. H2O
menerima proton dengan menggunakan sepasang elektron bebas pada atom O untuk
berikatan dengan H+ sehingga terbentuk ion hidronium (H3O+).
Sedangkan pada reaksi ionisasi NH3 ketika dilarutkan dalam air, NH3 berperan sebagai
basa dan H2O sebagai asam.
NH3(aq) + H2O(l) ⇌ NH4+(aq) + OH−(aq)
NH3 menerima proton (H+) dari H2O dengan menggunakan sepasang elektron bebas
pada atom N untuk berikatan dengan H+ sehingga terbentuk ion ammonium (NH4+). H2O
berubah menjadi ion OH− setelah memberikan proton (H+) kepada NH3.
Pelarutan asam atau basa dalam air sebagai reaksi asam–basa Brønsted–Lowry
(Sumber: Silberberg, Martin S. & Amateis, Patricia. 2015. Chemistry: The Molecular
Nature of Matter and Change (7th edition). New York: McGraw-Hill Education)
Dari kedua contoh tersebut terlihat bahwa (1) asam Brønsted–Lowry harus mempunyai
atom hidrogen yang dapat terlepas sebagai ion H+; dan (2) basa Brønsted–Lowry harus
mempunyai pasangan elektron bebas yang dapat berikatan dengan ion H+.
Kelebihan definisi oleh Brønsted–Lowry dibanding definisi oleh Arrhenius adalah dapat
menjelaskan reaksi-reaksi asam–basa dalam fase gas, padat, cair, larutan dengan
pelarut selain air, ataupun campuran heterogen. Sebagai contoh, reaksi antara gas
NH3 (basa) dan gas HCl (asam) membentuk asap NH4Cl.
NH3(g) + HCl(g) → NH4Cl(s)
Beberapa zat dapat bertindak sebagai asam, namun juga dapat sebagai basa pada
reaksi yang lain, misalnya H2O, HCO3−, dan H2PO4−. Zat demikian disebut amfiprotik.
Suatu zat amfiprotik (misalnya H2O) akan bertindak sebagai asam bila direaksikan
dengan zat yang lebih basa darinya (misalnya NH3) dan bertindak sebagai basa bila
direaksikan dengan zat yang lebih asam darinya (misalnya HCl).
Teori Asam Basa Lewis
Pada tahun 1923, G. N. Lewis mengemukakan teori asam basa yang lebih luas
dibanding kedua teori sebelumnya dengan menekankan pada pasangan elektron yang
berkaitan dengan struktur dan ikatan. Menurut definisi asam basa Lewis,
Kelebihan definisi asam basa Lewis adalah dapat menjelaskan reaksi-reaksi asam–basa
lain dalam fase padat, gas, dan medium pelarut selain air yang tidak melibatkan transfer
proton. Misalnya, reaksi-reaksi antara oksida asam (misalnya CO2 dan SO2) dengan
oksida basa (misalnya MgO dan CaO), reaksi-reaksi pembentukan ion kompleks seperti
[Fe(CN)6]3−, [Al(H2O)6]3+, dan [Cu(NH3)4]2+, dan sebagian reaksi dalam kimia organik.
1. Berdasarkan teori asam basa Arrhenius, HCN adalah asam Arrhenius sebagaimana
HCN akan melepaskan ion H+ jika dilarutkan dalam air.
Berdasarkan teori Brønsted–Lowry, HCN adalah asam Brønsted–Lowry karena
mendonorkan proton (H+) sehingga menjadi ion CN− sedangkan H2O adalah basa
Brønsted–Lowry karena menerima proton sehingga membentuk ion H3O+.
Berdasarkan teori Lewis, H2O adalah basa Lewis karena mendonorkan pasangan
elektron kepada ion H+ yang berasal dari molekul HCN membentuk ion H3O+ sedangkan
H+ dari HCN adalah asam Lewis karena menerima pasangan elektron dari atom O pada
H2O.
2. Teori Arrhenius dan teori Brønsted–Lowry tidak dapat menjelaskan reaksi ini.
Berdasarkan teori Lewis, CN− adalah basa Lewis karena mendonorkan pasangan
elektron kepada ion Ni2+ sehingga terbentuk ikatan kovalen koordinasi sedangkan
Ni2+ adalah asam Lewis karena menerima pasangan elektron dari CN−.
Teori Asam Basa – Referensi
Atkins, Peter & Jones, Loretta. 2010. Chemical Principles: The Quest for Insight
(5th edition). New York: W.H. Freeman & Company
Brown, Theodore L. et al. 2015. Chemistry: The Central Science (13th edition). New
Jersey: Pearson Education, Inc.
Chang, Raymond & Goldsby, Kenneth A. 2016. Chemistry (12th edition). New York:
McGraw-Hill Education
Earl, Bryan & Wilford, Doug. 2014. Cambridge IGCSE® Chemistry (3rd edition). London:
Hodder Education
McMurry, John E., Fay, Robert C., & Robinson, Jill K. 2016. Chemistry (7th edition). New
Jersey: Pearson Education, Inc.
Oxtoby, David W., Gillis, H.P., & Campion, Alan. 2012. Principles of Modern Chemistry
(7th edition). California: Brooks/Cole, Cengage Learning
Petrucci, Ralph H. et al. 2017. General Chemistry: Principles and Modern Applications
(11th edition). Toronto: Pearson Canada Inc.
Purba, Michael. 2006. Kimia 2B untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Erlangga
Shriver, D. et al. 2014. Inorganic Chemistry (6th edition). New York: McGraw-Hill
Education
Silberberg, Martin S. & Amateis, Patricia. 2015. Chemistry: The Molecular Nature of
Matter and Change (7th edition). New York: McGraw-Hill Education
Stacy, Angelica M. 2015. Living by Chemistry (2nd edition). New York: W.H. Freeman
and Company