Kapitalisme Dan Imperialisme Dalam Film Dune (2021)
Kapitalisme Dan Imperialisme Dalam Film Dune (2021)
Al Azka Zuraida
203232023
Antropologi Budaya - B
Pendahuluan
Kuartal keempat tahun 2021 disambut dengan sederet rilisan menarik dalam sinema,
salah satunya adalah adaptasi novel Frank Herbert “Dune” oleh Denis Villeneuve di Bulan
Oktober yang telah menculik penontonnya ke hamparan padang pasir penuh rempah di Planet
Arrakis. Film dengan genre sci-fi epik ini merupakan bagian pertama dari franchise dunia
“Dune” dengan Timothee Chalamet dan Zendaya sebagai peran utamanya. Villeneuve
mengambil langkah yang berbeda dari David Lynch yang alih-alih mencoba untuk merangkum
buku itu ke dalam satu film (Phipps, 2021), Ia dengan hati-hati ‘menghemat’ cerita yang akan
dimuat dalam setiap filmnya, sehingga menjadi bagian-bagian yang dapat dicerna dengan baik
oleh penonton, terutama untuk mereka yang belum pernah (atau selesai) membaca bukunya,
seperti saya.
Bagian film pertama ini membawa kita pada kisah Paul Atreides, cikal bakal seorang
adipati dan keluarganya yang harus pindah ke planet gersang Arrakis, jauh dari kemewahan yang
pernah mereka miliki sebelumnya, atas perintah Kekaisaran Padishah (Galactic Padishah
Empire). Lapisan pasir yang menyelimuti Arrakis, atau Dune, penuh dengan melange,
rempah-rempah dari cacing pasir raksasa yang menjadi satu-satunya hal berharga sekaligus teror
terbesar bagi hidup masyarakat pribumi Arrakis (fremen) maupun keberlangsungan ekonomi
dalam Kekaisaran Padishah. Sebelum Atreides, para Harkonnen-lah yang menguasai dune
tersebut–memerintah dengan bengis, melakukan eksploitasi melange, dan menjajah para fremen,
semua tanpa henti.
Bagi kekaisaran dan kaki tangannya, rempah-rempah ini merupakan komoditi yang
sangat berharga. Selain digunakan untuk bahan bakar, rempah juga dibutuhkan oleh para
navigator yang mengontrol perjalanan antar planet menggunakan presience. Untuk itu, meski
Hal tersebut dapat langsung dibuktikan lewat monolog yang sama oleh Chani di awal
film. Kontrol para Harkonnen terhadap rempah-rempah tersebut menjadikannya sangat kaya;
bahkan lebih kaya dari kekaisaran itu sendiri. Maka ketika para Dinasti Atreides datang untuk
mengambil tempat mereka di Arrakis atas perintah kekaisaran, para Harkonnen tidak tinggal
diam. Tindakan yang dilakukan oleh para Harkonnen ini dapat dijelaskan dengan baik oleh Marx
& Engels (1848), demikian:
The need of a constantly expanding market for its products chases the bourgeoisie over
the entire surface of the globe. It must nestle everywhere, settle everywhere, establish
connexions everywhere.
(Kebutuhan akan pasar yang terus berkembang untuk produk-produknya membuat para
borjuasi berkeliaran ke seluruh permukaan dunia. Mereka harus bersarang di mana-mana,
menetap di mana-mana, membangun hubungan di mana-mana.)
“Send word to Giedi Prime to begin selling our spice reserves. But slowly. We don’t want
the price to fall. You have no idea how much it cost me to bring such a force to barrier.
Now I only have one requirement. Income.” (Villeneuve, 01:55, 2021)
(“Beri kabar ke Giedi Prime untuk mulai menjual simpanan rempah-rempah kami. Tapi
perlahan. Jangan sampai harga rempah turun. Kamu tidak mengerti betapa mahalnya aku
harus membayar pasukan (Saurdakar) itu untuk sampai ke perbatasan. Sekarang aku
hanya punya satu syarat. Pemasukan.”)
Setelah membantai satu Dinasti besar, pemikiran yang akan muncul di kepala para
kapitalis seperti Baron hanyalah pemasukan. Apapun yang sudah terjadi, harga rempah, yang
merupakan komoditas utama mereka, harus tetap stabil di pasar. Menurut Lenin (1917),
imperialisme merupakan tahap tertinggi kapitalisme karena konsentrasi produksi telah
berkembang sedemikian tinggi sehingga menciptakan monopoli yang berperan penting dalam
keberlangsungan ekonomi. Karakter Dr. Liet-Kynes yang merupakan planetolog kekaisaran
bercerita bahwa misinya di Arrakis dimulai untuk menyelamatkan planet tersebut dari ekosida
dengan mengeluarkan air yang terjebak ribuan meter di dalam tanah. Dalam proses
penelitiannya, mereka menemukan melange, atau rempah-rempah. Sadar atas nilainya yang
berharga untuk kepentingan politik mereka, fokus kerja yang dilakukan di Arrakis berpindah
menjadi ekstraksi dan eksploitasi besar-besaran yang justru makin merusak lingkungan Arrakis
dan juga kehidupan para fremen. Jika misi untuk menyelamatkan lingkungan Arrakis terus
dilakukan, kondisi ekonomi pemerintahan Padishah yang sangat bergantung kepada
rempah-rempah akan hancur.
Kesimpulan
Film Dune (2021) versi Denis Villeneuve merupakan salah satu karya seni yang bisa
mengkomunikasikan dampak-dampak merugikan dari kapitalisme, imperialisme dan
kolonialisme lewat sajian audio visual yang menakjubkan. Ia bersama krunya bisa menangkap
makna terpenting dari novel karya Frank Herbert tersebut dengan piawai meski film ini hanyalah
suatu ‘perkenalan’ pada dunia Dune yang akan mendatang.
Phipps, K. (2021). When David Lynch Took on the Impossible Task of ‘Dune.’ The Ringer.
https://www.theringer.com/movies/2021/10/20/22735151/dune-david-lynch-1984-movie)
Viberg, P. (2019). Age of Arrakis: State Apparatuses and Foucauldian Biopolitics in Frank
Herbert's Dune. Stockholm University. Stockholm
Saleh, R., Setiawan, W. E., Indriani, D., Rahman, F., & Khalid, K. (2019). Ecocide: Memutus
Impunitas Korporasi-Walhi Riau. Cahaya Indonesia Publisher.
Villeneuve, D. (2021). Dune: Part One. Legendary Entertainment, Warner Bros. Pictures.
Engels, F., & Marx, K. (2004). The communist manifesto. Penguin UK.
Lenin, V. I. (1999). Imperialism: The highest stage of capitalism. Resistance Books.