Anda di halaman 1dari 9

ASPEK EPISTEMOLOGI FILSAFAT HUKUM INDONESIA1

Max Boli Sabon


Fakultas Hukum UnikaAtma Jaya, Jakarta
Jalan Jenderal Sudirman 51, Jakarta 12930
email: max.boli@atmajaya.ac.id

Abstract

Many people say that the implementation of law in Indonesia has been on the track, nonetheless, it is
only the way of putting into effect that is not wise enough. From the point of view of the aspect of
anthology of philosophy, the application of Jaw in Indonesia is having no problem so far. On the other
hand, the problem is in its epistemology. The duty of philosophy of law is to give explanation of such
phenomenon. The problem is therefore laid down in epistemology, it is wise to use the school that talks a
lot about epistemology of law. Furthermore, Indonesia is a pluralistic society, for that reason, the choice
to use the Modern Natural Law as its approach is considered to be as one of the alternative, for the
school itself is emphasizing upon the epistemology of law as well as the custom law which as the
characteristic of pluralism of Indonesia. The study of epistemology of philosophy of Jaw in Indonesia,
with the approach through the Modern Natural Law toward custom law of Indonesia is supported by the
legal studies progressively that may explain the phenomenon of the confused and depraved
enforcement of/aw in Indonesia.

Key words : Epistemology of Law, Philosophy of Law, Modern Natural Law, Custom Law, Legal Studies
Progressively

Abstrak

Banyak orang mengatakan pengaturan hukum di Indonesia sudah baik; hanya cara pelaksanaannya
yang tidak baik. Gejala ini berarti dari aspek ontologi filsafat hukum, hukum di Indonesia tidak
bermasalah. Yang bermasalah adalah aspek epistemologinya. Filsafat hukum bertugas menjelaskan
gejala ini. 0/eh karena permasalahnnya terletak di bidang epistemologi, maka digunakan mazhab
hukum yang banyak membicarakan tentang epistemologi hukum. Selain itu, Indonesia adalah bangsa
yang majemuk. Untuk itu pilihannya antara lain adalah Mazhab Hukum Alam Modern karena banyak
berbicara tentang epistemologi hukum sekaligus hukum adat sebagai ciri kemajemukan Indonesia.
Studi epistemologi filsafat hukum Indonesia dengan pendekatan Mazhab Hukum Alam Modern
terhadap hukum adat Indonesia yang didukung oleh pemikiran hukum secara progersif, dapat
menjelaskan gejala carut-marutnya cara pelaksanaan hukum di Indonesia.

Kata Kunci: Epistemologi Hukum, Filsafat Hukum, Hukum Alam Modern, Hukum Adat, Pemikiran
Hukum Progresif

A. Pendahuluan adalah epistemologinya.2 Jika epistemologi hukum


Ban yak orang mengatakan peraturan hukum di bermasalah, hukum tidak dapat berfungsi dalam
Indonesia sudah baik; hanya cara pelaksanaannya memelihara kepentingan umum masyarakat,
yang tidak baik. Gejala ini berarti ontologi hukum di rnenjaga dan menumbuhkembangkan hak-hak
Indonesia tidak bermasalah. Yang bermasalah manusia, serta mewujudkan keadilan dalam

1 Naskah ini pemah dipresentas1kan pada Konferensi Nasional ke-2 Asosiasi F usatat Hukum Indonesia tentang Filsafat Hukum dan Kemajemukan Masyarakat
Indonesia, di Semarang, 16-17 Juli2012
2 Tentang ontolog, epistemology dapat dibaca di dalam Yuyun S. Suriasumantri, 1988, Filsafat I/mu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta. Pustaka Sinar Harapan,
hlm.63dsl

423
MMH, Ji/id 41 No. 3 Juli 2012

suasana hidup bersama.3 Ketika berbicara Brunner, dan WAM Luypen. Mereka muncul setelah
mengenai hukum pada tataran ontologis, kita baru Perang Ounia II sebagai tanda keprihatinan
sampai kepada hukum sebagai sesuatu yang terhadap prinsip-prinsip fundamental hukum yang
seharusnya. Segala sesuatu yang seharusnya (das diinjak-lnjak oleh para politisi Nazi Jerman. Mereka
sol/en) selalu jauh dari kehidupan umat manusia menuntut adanya norma-norma hukum tetap yang
baik kehidupan individu maupun kehidupan sosial. mencerminkan prinsip-prinsip etika untuk
Sesungguhnya dunia para ahli hukum merupakan mencegah kesewenang-wenangan pada masa itu
suatu "dunia asing" yang disebut sebagai "the dan yang akan datang. Meskipun demikian, sarjana-
strangge inner world of the lawyer' di tengah-tengah sarjana yang membarui teori hukum alam tidak
"dunia reelitas" sebagaimana dikenal umurn.' hanya menerima prinsip-prinsip umum sebagai
Guna mendekatkan hukum dari suasana yang dasar hukum, melainkan juga mengakui hukum
supranatural (das sol/en) menjadi suasana yang alam yang konkret, yang sesuai dengan situasi
natural (das sein) maka hukum harus membumi. hidup yang sebenamya, baik dalam relasi antar
Ketika hukum itu membumi, maka ia harus manusia, maupun secara individual selaku
bersentuhan dengan keanekaragaman ilmu yang warganegara.6
tumbuh dan berkembang di bumi ini. Sebab itu teori Francois Geny menyuguhkan metode
hukum yang murni (reine rechtslehre) Hans Kelsen penafsiran dalam ilmu hukum dengan mengatakan
akan tersingkir dari bumi ini karena tidak bisa hidup penafsiran hukum terhadap undang-undang dimulai
bersama bidang-bidang ilmu yang lain. Untuk itu dari kehendak para pembuatnya dan harus pula
harus diubah mindset cara berpikir hukum untuk memperhatkan berbagai faktor (sosial, ekonomi,
beralih dari cara berpikir hukum yang legal thinking, budaya, politik) yang berpengaruh pada saat
ke cara berpikir hukum yang holistik (legal holistic undang-undang itu dirumuskan. Semua unsur harus
thingking). Cara ini dikenal pada mazhab hukum dipertimbangkan baik undang-undang maupun
1
alam klasik maupun modern. Berdasarkan uraian- situasi konkret masyarakat. Pandangan itu senada
uraian tersebut, epistemologi hukum dengan dengan Capra bahwa kehidupan, organisme, sistem
mempertimbangkan keanekaragaman hukum di sosial, maupun sistem lingkungan, dalam segala
Indonesia, ajaran mazhab hukum alam modem tingkatannya tidak dapat dipahami dalam keadaan
dapat menjadi alternatif untuk menjelaskan gejala terisolasi. 8
hukum saat ini. Manakala tafsiran undang undang itu tidak
cocok lagi dengan perubahan zaman, maka harus
B. Pembahasan disimpulkan bahwa undang undang tidak dapat
1. Mazhab Hukum Alam Modern diterapkan pad a situasi baru. Kekosongan hukum
Setelah mazhab demi mazhab hilang berganti, dalam situasi ini harus diisi dengan hukum adat
dari zaman Yunani-Romawi (Plato, Aristoteles) setempat. Jika undang undang dan hukum adat
hingga zaman Fenomenologi dan Eksistensialisme tidak mencukupi, maka sumber-sumber lain harus
(Adolf Reinach, Paul Amselek), kini muncul lagi digali, misalnya doktrin hukum (doctrine) dan
zaman baru, zaman Hukum Alam Modern, berbeda putusan hakim Uurisprudence).9
dengan hukum alam klasik.5 Hukum alam klasik Tokoh lainnya adalah Johannes Messner. la
memperkenalkan hukum alam yang statis, berpendapat bahwa cara menafsirkan hukum harus
sebaliknya hukum alam modem memperlihatkan melihat keseimbangan kepentingan masyarakat
hukum alam yang dinamis. dan individu. la membedakan hukum alam fisik dan
Tokoh-tokoh mazhab hukum alam modern hukum alam moral. Hukum alam fisik adalah hukum
antara lain Francois Geny, Johanes Messner, Emil yang menyatakan dirinya dalam berjalannya alam.

3 Theo Hu11ber,, 1982, Fi/ssfatHul<um dalam Untassn Sefarah, Yogyakarta, Kanislus, him. 289.
4 PhilipAJlo~ 2002, The Health of Nations, Society and Law beyond the State, Cambridge (UK), Cambridge University Press, him. 28.
5 Theo HuiJber,, 1982, F/lsafal Hukum dalam Untasan Sejarah, Yogyakarta, Kanlsius, him. 15 dst.
6 Ibid. him. 246.
7 Ibid. him. 248.
8 Capra, dalam Salj1pto RahardJO,April 2009, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologls, Yogyakarta,Genta Publishing, him. 10.
9 TheoHulJbers.Loc.cit.

424
Max Boli Sabon,Aspek EpistemologiFilsafathukum Indonesia

Hukum alam moral adalah hukum alam fisik yang menambahkan bahwa ketidaksamaan kedudukan
ada hubungannya dengan kelakuan manusia. manusia memiliki makna yang sangat berarti.
Prinsip tertinggi dalam hukum alam moral adalah: Adanya ketidaksamaan itu agar orang-orang saling
berbuatlah yang baik, hindarilah yang jahat (bonum membutuhkan sehingga mewujudkan kehidupan
est faciendum, ma/um est vitandum). Prinsip ini bersama yang berdasarkan keadilan dan cinta
menurunkan norma kelakuan manusia, yaitu kasih."
kelakuan primer, sekunder, dan tertier. Kelakuan Pandangan ini sejalan dengan cita negara
primer mengandung prinsip keadilan, Indonesia gotong-royong dan cita hukum Indonesia
penghormatan terhadap orangtua, ketaatan kepada Pancasila. Dengan adanya unsur kesamaan,
pemerintah yang sah. Kelakuan sekunder manusia memandang dirinya sama dengan
mengandung hukum-hukum Allah di dalam Kitab manusia lain sehingga memungkinkan
Suci. Kelakuan tertier mengandung semua prinsip kesetiakawanan, tolong-menolong, bantu-
yang sesuai dengan kebaikan seperti penentuan membantu dalam hidup bernegara dan hidup
upah yang adil bagi pekeria." berhukum atas dasar cita negara gotong-royong.
Berbeda dengan tokoh-tokoh filsafat hukum Melalui gotong-royong, aspek ketidaksamaan
alam modern lainnya, Emil Brunner menolak manusia yang satu dengan yang lain dapat
positivisme hukum dan menganjurkan suatu norma terpenuhi sehingga mewujudkan kemanuisaan yang
kritis sebagai dasar hukum positif. Untuk itu hukum adil dan beradab, serta keadilan sosial bagi seluruh
alam harus dianggap sebagai suatu ide normatif- rakyat Indonesia. Untuk itulah diperlukan berbagai
kritis untuk diwujudkan dalam hukum positif negara. kecerdasan (smart) yang dicapai dalam
Karena itu cara menafsirkan hukum positif harus perkembangan psikologi, dan cara hidup baik (life
diperhatikan keseimbangan kepentingan words) yang dicapai dalam perkembangan filsafat
masyarakat umum dan individu. moral.
Selanjutnya mengenai prinsip keadilan, Tokoh lainnya adalah W.A.M. Luypen. Sebagai
Brunner berpendapat bahwa hukum a lam mendapat filsuf yang menyambut filsafat fenomenologi dan
isinya melalui sikap keadilan, yaitu kerelaan untuk eksistensialisme dalam metode verstehen untuk
mengakui suatu aturan bagi kehidupan manusia penyelidikan ilmu hukum, ia mengatakan hal yang
yang mengatasi keinginan individual, sebagai sangat menggelisahkan manusia saat ini adalah
aturan yang bojektif, a tu ran yang seharusnya kekurangan akan norma dasar dan norma kritis bagi
(ordnung des gehorens). Aturan objektif ini yang pengaturan hidup bersama. Kesalahan para
menjadi dasar dan ukuran bagi aturan yang penganut positivisme ialah menerima hukum
ditentukan (ordnung des setzen). Aturan objektif sebagai kenyataan sehingga tidak sampai
itulah yang dikehendaki Allah sebagaimana memperhatikan keadilan sebagai unsur hakiki dari
diungkapkan dalam sepuluh perintah Allah. Untuk hukum. Manusia adalah subjek tetapi selalu
menerangkan prinsip keadilan yang mana yang berhubungan dengan sesama dan selalu
berlaku bagi semua manusia secara alamiah, ia merupakan subjek perkembangan dalam sejarah,
bertolak dari kesamaan dan ketidaksamaan antar singkatnya eksistensi manusia adalah ko-
manusia. Di satu pihak manusia sama derajat eksistensi. Pada hakikatnya manusia selalu hidup
menurut martabatnya sebagai ciptaan Allah, di lain bersama manusia lain, dan pada hakikatnya juga
pihak manusia mempunyai kedudukan yang manusia selalu berada dalam waktu, sehingga
berbeda-beda dalam hidup bersama. Berdasarkan selalu dalam perkembangan, maka hukum alam
kesamaan, terbentuk prinsip keadilan tukar- tidak selalu sama isinya di semua tempat dan di
menukar (iustitia commutative), sebaliknya sepanjang zaman. Dengan ini hukum alam sebagai
berdasarkan ketidaksamaan, terbentuk prinsip norma statis dltolak."
keadilan distributif (iustitia distributive). la

10 Ibid hlm.252-253.
11 lbid.hlm.258.
12 Ibid. him. 263.

425
MMH, Ji/id 41 No. 3 Juli 2012

2. Hukum Adat Menurut Optik Hukum Alam fundamental keadilan dan kepantasan dapat
Modern digunakan sebagai pelengkap untuk menyelesaikan
Filsafat hukum sejak zaman neopositivisme persoalan hukum dalam masyarakat.
sudah melirik bidang hukum adat. Menurut H.L.A. Menurut hemat penulis, penerapan langkah-
Hart struktur sosial dari komunitas primitif sering langkah ini mengandaikan tingkat pengetahuan dan
disebut sebagai "adat-istiadat", meskipun ia lebih pemahaman yang sama bagi anggota-anggota
memilih menggunakan istilah peraturan-peraturan masyarakat tentang hukum. Kenyataan di
kewajiban primer, daripada hukum adat." Indonesia, hukum undang undang hanya bisa
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa peraturan diketahui dan dipahami oleh orang-orang yang mau
kewajiban primer (hukum adat) memiliki sekurang- belajar khusus tentang itu. Para hakim pengadilan
kurangnya tiga kelemahan, yaitu: (a) tidak bersistem yang memeriksa dan memutus perkara dianggap
sehingga sulit diidentifiksi terhadap perilaku tertentu mengetahui dan memahami hukum undang-
dan sulit ditentukan prosedur yang tetap dalam undang. Sebaliknya warga masyarakat mengetahui
mengatasi pelanggaran tertentu; (b) bersifat statis, dan memahami hukum adatnya masing-masing,
perubahan hanya terjadi dalam proses yang belum tentu diketahui dan dipahami hakim
perkembangan yang ber1angsung lambat; dan (c) yang memutus sebuah perkara. Meskipun demikian
cara untuk melaksanakannya tercerai-berai, tanpa di dalam Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan
ada lembaga yang khusus dikuasakan untuk Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009, ditetapkan
memastikan kata akhir secara otoritatif mengenai bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk
fakta adanya pelanggaran. Semua kelemahan ini memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara
dapat diatasi melalui peraturan pengakuan (rule of yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada
recognition), peraturan perubahan (rule of change), atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa
dan peraturan ajudikasi (rule of adjudication). Jika dan mengadilinya. Dengan adagium ius curia novit,
terjadi kombinasi antar ketiga peraturan itu, niscaya pengadilan dipandang mengetahui hukumnya (de
terbentuk jantung dari sebuah sistem hukum, rechtbank kent het recht), jadi memahami
sebagai sarana yang paling kuat untuk menganalisis penyelesaian hukum atas setiap perkara yang
banyak hal yang selama ini membingungkan para diajukan kepadanya. Oleh karena itu hakim harus
ahli hukum dan teoritisi politik.1' melakukan penemuan hukum (rechts vinding)
Sejalan dengan visi para tokoh hukum alam sehingga kepastian hukum yang adil dapat tercapai.
moderen untuk menegakkan prinsip-prinsip etika, Keempat lapisan itulah yang perlu diperhatikan
Hart berpendapat bahwa cara hidup berhukum dalam rangka penemuan hukum tersebut.
hendaknya dikombinasikan dengan peraturan- Berbeda dengan pandangan Hart tentang
peraturan kewajiban primer. Berdasarkan tesis hukum primer dan hukum sekunder, Messner tidak
Geny kemungkinan itu dapat ditempuh melalui menempatkan hukum adat dalam kategori hukum
metode penafsiran hukum yang berlapis-lapis. alam primer melainkan hukum alam sekunder
Lapisan pertama: penafsiran terhadap undang- karena keduanya merupakan kenyataan hukum
undang yang dimulai sejak undang-undang itu baik dalam perkembangan tata hukum maupun
dibentuk, dengan memperhalikan: kebutuhan dan perkembangan ilmu hukum. Melalui kenyataan
susunan sosial masyarakat saat itu, logika intern hukum, manusia dipandang sebagai manusia yang
dan sistematika undang undang. Lapisan kedua: jika konkret, dan berada dalam ko-eksistensi. Empat
undang undang tidak dapat ditrapkan pada situasi arah ko-eksistensi manusia, yaitu keterhubungan
yang baru, maka hukum adat setempat digunakan manusia dengan dirinya (self-esteem), dengan
untuk mengisi kekosongan hukum. Lapisan ketiga: masyarakatnya, dengan lingkungannya, dan
jika cara itu belum mencukupi, maka digunakan dengan Tuhannya, yang dalam keterhubungan itu
doktrin dan yurisprudensi. Lapisan keempat: hasil- manusia selalu mengalami perubahan menuju
hasil penelitian ilmiah tentang prinsip-prinsip kedamaian hidup dan keadilan. Dari perspektif ini,

13 H.L.A. Hart. November 2009, Konsep Hukum, Tel')f!mahan dalam Bahasa Indonesia oleh M. Khozim, Bandung, Penerbit Nusa Media, him. 143.
14 Ibid. him. 153.

426
Max Boli Sabon, Aspek Epistemologi Filsafat hukum Indonesia

hukum adat sebagai hukum asli menjelaskan Pancasila, maka hukum itu tidak akan mempunyai
keterhubungan manusia dengan dirinya sendiri, kekuatan mengikat (efficacy) meskipun secara
dengan masyarakatnya, dan dengan alam formal masih valid (validity).
sekitarnya, sementara bagian-bagian hukum agama Dalam hal Pancasila subagai sumber yang
di dalam hukum adat menjelaskan keterhubungan paling utama (Grundnorm atau Ursprungnorm),
antara manusia dengan Tuhannya. Dengan Pancasila merupakan sumber dari segala sumber
demikian studi epistemologi filsafat hukum hukum Indonesia. Pancasila memang dilihat dari
Indonesia dengan pendekatan mazhab hukum alam masing-masing sila secara terpisah, maka bersifat
modern terhadap hukum adat Indonesia diharapkan universal karena ada di banyak negara di dunia ini,
dapat memanusiakan manusia Indonesia secara namun jika dilihat secara kesatuan dalam arti sila
adil dan beradab dalam masyarakat lndoneia yang yang satu menjiwai sila yang lainnya, maka
majemuk budaya adat istiadatnya. Pancasila hanya ada di Indonesia serta menjadi
dasar Negara Republik Indonesia, dan dasar
3. Epistemologi Filsafat Hukum Indonesia falsafah negara sebagaimana tercantum pada
Epistemologi filsafat hukum Indonesia tidak alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945. Pancasila itulah
dapat dilihat secara parsial antara pembuatan sumber dari segala sumber hukum ( Grundnorm).
hukum, pemahaman hukum, dan penegakan hukum Masyarakat Indonesia saat ini hidup dalam
secara terpisah melainkan secara simultan. Hukum keadaan interdependensi antar bangsa. bahkan
sebagai satu kesatuan sistem terdapat sekurang- keadaan itu semakin ketat akibat kemajuan
ku rang nya elemen kelembagaan (elemen teknologi komunikasi internasional. lnterdependensi
institusional), elemen aturan (elemen instrumental), dapat terjadi secara aktif, pas if, positif, dan negatif.
dan elemen perilaku para subjek hukum yang Oleh karena itu pembuatan hukum harus
mempunyai hak dan kewajiban yang ditentukan oleh memperhatikan juga perkembangan hukum di luar
aturan itu (elemen subjektif dan kultural). Ketiga batas-batas Negara, agar masyarakat tetap
elemen sistem hukum itu mencakup kegiatan berkedudukan sejajar dengan bangsa lain, baik
pembuatan hukum (law making), kegiatan secara polltis, ekonomis, militer, dan kultural antar
pelaksanaan atau penerapan hukum untuk tujuan manusia sedunia." Dengan demikian maka tata
kesejahteraan rakyat (law administrating) dan hukum Indonesia yang berlaku sebagai hukum
kegiatan penegakan hukum (law enforcement and positif (ius constitutum) maupun tata hukum baru
peace maintenance). Dari ketiga elemen itu bagian yang diharapkan akan berlaku (ius constituendum)
yang paling penting adalah pemahaman hukum harus senantiasa bersumber dari dan berdasar pada
yang dilakukan melalui pemasyarakatan hukum (law Pancasila.
socialization) dan pendidikan hukum (law Filsafat hukum Indonesia, mempunyai fugsi
education).15 khusus dalam lingkungan sosial-budaya Indonesia
antara lain menyediakan dasar dan sarana untuk
a. Epistemologi Pembentukan Hukum dialog antar umat beragama di Indonesia pada
Indonesia umumnya, dan secara khusus dalam rangka
Pembentukan hukum Indonesia terutama kerjasama antar umat beragama membangun
hukum peraturan perundangan-undangan (legislasi masyarakat yang berperikemanusiaan, adil, dan
dan regulasi) dan hukum yurisprudensi harus beradab berdasarkan Pancasila. Argumentasi
berdasarkan Pancasila sebagai cita hukum filsafat mengacu kepada manusia dan rasionalitas
Indonesia. Pancasila sebagai bintang pemandu pada umumnya, tidak terbatas pada pendekatan
(leitstem) artinya sebagai alat ukur pembuatan salah satu agama tertentu, tanpa mengurangi
hukum dan pengawal ke arah tujuan yang hendak pentingnya sikap beragama. Justru para agamawan
dicapai. Manakala dalam perjalannya suatu hukum memerlukan filsafat hukum supaya dapat
ditafsirkan menyimpang atau keluar dari rel berkomunikasi satu sama lain dan bersama-sama

15 J1mly Asshiddiqie, 2009, MenllJU Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta, PT Bhuana llrnu Popular, Kelornpok Grarnedia, him 3.
16 Su1131JatJ Hartono.1986. Dari HukumAntar Golongan ke HukumAntar Adat, Bandung, Alumni. him. 17.

427
MMH, Ji/kl 41 No. 3 Juli 2012

memecahkan masalah nasional." Melalui dialog Dua kecerdasan baru adalah AQ (adversity
antar masyarakat adat dan antar umat beragama, quotient) dan FQ (financial quotient)2°.
epistemologi filsafat hukum alam modem dapat Perekmbangan ini merambah juga ke teori hukum
memberi pencerahan secara evaluat.if, kritis, dan progresif dalam member inspirasi mencari
reflektif, dalam membentuk hukum dan terobosan baru mengatas persoalan dan inspirasi
memecahkan persoalan hukum saat ini. pengelolaan uang agar tidak terjerumus ke jurang
perhambaan uang.
b. Epistemologi Pemahaman Hukum
Indonesia c. Epistemologi Hidup Bernegara Hukum
Menurut Satjipto Rahardjo, kemajuan ilmu Indonesia
pengetahuan tentang cara berpikir manusia sudah Betapapun Indonesia adalah negara
sedemikian rupa, sehingga menghasilkan banyak hukum(rechtsstaat) bukan negara kekuasaan
macam cara berpikir secara beragam. Sebelumnya (machtsstaat).21, namun Presiden Soeharto justru
hanya dikenal satu ukuran untuk mengukur kekuasaan belaka (machtsstaat) yang
kemampuan berpikir, yaitu IQ (intellectual quotient). dipertontonkan selama lebih dari 32 tahun, seolah-
Kini terdapat cara berpikir perasaan yang diukur olah negara hukum. Demikian antara lain Sulvio
dengan EQ (emotional quotient) dan cara berpikir Bomer, dkk rnenulis:"
spiritual diukur dengan SQ (spiritual quotient). Indonesia could be called a stable dictatorship
Kecerdasan berpikir rasional, disebut juga logis, because the polffical system is tailored in such a way
linier, dan serial, tidak ada rasa ketertibatan that the reelection of president Suharto is completely
(dispassionate) berbeda dengan kecerdasan assured. The overall credibility of the institutional
emosional .18 framework is a result of the reputation established by
Keterpurukan hukum dewasa ini memberi the government over a long period oft he time.
kesempatan kita melakukan refleksi yang lebih Pada waktu amandemen UUD 1945 yang ke-3
dalam tentang makna kehidupan sosial bemegara (9 November 2001 ), dirumuskan ketentuan secara
hukum, tidak semata-mata dengan kecerdasan tegas bahwa lndonsesia adalah sebuah negara
intelektual untuk memperoleh kebenaran rasional, hukum pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yag
dan kecerdasan emosional untuk melakukan berbunyi: "Negara Indonesia adalah negara hukum. n
empati, komitmen, dan dedikasi, melainkan lebih Senyatanya negara hukum yang seolah-olah,
menggunakan kecerdasan spiritual untuk mencari sebagaimana diuraikan di atas. Permasalahan-
hukum di dalam peraturan, yaitu menemukan permasalahan ini tidak dapat dijelaskan dengan
makna dan nilai yang terkandung di dalam ontologi hukum, melainkan epistemologi hukum,
peraturan. Setiap kita yang mampu memahami yaitu cara untuk menjalankan hidup bemegara
makna dan nilai yang terkandung di balik peraturan, hukum Indonesia dengan satu tekad dan satu tujuan
kita telah pmemahami hukum secara progresif untuk yaitu memanusiakan manusia Indonesia.
menjadikan bangsa kita merasa bahagia dan Indonesia mempunyai cita hukum (rechtsidee)
sejahtera. 19 Sejatinya teori hukum progresif Satjipto yang bernama Pancasila, pada dasarnya
Rahardjo ini berorientasi kepada epistemologi merupakan pengejawantahan dari cita negara
hukum melalui pendekagtan antara lain sosilogi, Indonesia (staatsidee). Hamid S. Attamimi
psikologi, dan moral. Cabang-cabang ilmu ini berpendapat bahwa para pendiri negara Republik
perkembangannya sangat cepat seperti psikologi Indonesia telah berbulat pendapat untuk
yang sebelumnya hanya mengenal tiga macam menetapkan cita negara Indonesia adalah cita
kecerdasan sekarang seudah menjadi lima macam. negara integralistik atau cita negara persatuan (cita

17 Franz Magnis-Suseno, Mei 1992, BerMsafatdariKontel<s, Jakarta, Penelbrt PT Gramedia Pustaka Utama, him. 22-23.
18 Sag1pt0Rahardjo.Maret 2007, M&mbedah Hukum Progresif, Jakarta, PenerbitBuku Kompas, him. 16-18.
19 fbid.hlm.21-22.
20 JansenS1namo,Januan 2011, 8 EtosKe,ja Profesional, Bogo(, Grafika MardiYuana, him. 40-41.
21 s. PraJUd1Atmosud1rdJ0, et al., 1983, KonstitusiIndonesia,Jakarta, Ghalia Indonesia, him. 24.
22 Bomer, Silvio, etal., 1995, Polibca/Credibt1ityand Economic Development, Grea!Bnta1n, Macmillan Press Ltd., hlm.120.

428
Max Boli Sabon, Aspek Epistemologi F,lsafat hukum Indonesia

negara kekeluargaan) sebagai cita negara yang The right to development is an inalienable
tepat bagi bangsa lndonesia." Akan tetapi pendapat human right by virtue of which every human
ini menurut hemat penulis bukanlah bukti sejarah, person and all peoples are entitled to
melainkan apriori mendukung pendapat Soepomo participate in, contribute to, and enjoy
selaku anggota BPUPK dan anggota PPKI. Cila economic, social, cultural and political
negara integralistik sebagai cita negara asli development, in which all human rights and
Indonesia bukan kesepakatan dari para pendiri fundamental freedoms can be fully realized.
negara. Sukarno sendiri dengan tegas menolak
pendapat itu.2• Jika disimak baik-baik dan dipahami Ketentuan ini berarti hak atas pembangunan
sungguh-sungguh kata-kata yang diucapkan Bung adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
Hatta, sejatinya Bung Hatta juga menolak gagasan dipisahkan dari hak asasi lainnya yang di dalamnya
Supomo tersebut." Hal yang sama bagi Bung Kama, mengandung tiga prinsip utama, yaitu: (1) hak
Bung Hatta, maupun Supomo menghendaki cita berpartisipasi, (2) hak berkontribusi, dan (3) hak
negafra Indonesia adalah gotong-royong, bukan menikmati hasil pembangunan ekonomi, sosial,
integralistik. ltulah sebabnya maka Koentjaraningrat budaya dan politik, yang di dalamnya semua hak
menulis: "Dengan singkat, apa yang bisa kita ambil asasi manusia dan kebebasan dasar dapat
dari gotong royong untuk pembangunan kita diwujudkan sepenuhnya. Oleh karena itu
sekarang ini terutama adalah semanqatnya." pembangunan nasional harus bottom up, bukan top
Dari perspektif demokrasi, diketahui bahwa down.28 Maksudnya pembangunan dimulai dari
sesungguhnya gotong royong itu mengandung nilai masyarakat yang paling kecil yaitu keluarga menuju
kesamaan (equality before the law) sebagai unsur ke masyarakat yang paling besar yaitu negara, mulai
utama demokrasi, yang menjadi landasan dari dari masyarakat yang paling pinggir di perbatasan
demokrasi asli Indonesia. Hal ini memang sangat negara hingga ke masyarakat yang paling tengah di
tampak dalam kehidupan kekerabatan masyarakat pusat-pusat pemerintahan dan pusat-pusat bisnis.
pedesaan, terutama di luar Jawa, seperti perinsip Uraian-uraian tersebut di atas hendak
ikatan suku dalam masyarakat nagari di menjelaskan bahwa cita negara gotong royong
Minangkabau, atau prinsip ikatan marga dalam merupakan konfigurasi berbagai energi alam selaku
masyarakat kuta di Balak Toba, atau ikatan dadia makrokosmos dan berbagai energi manusia selaku
dalam masyarakat banjar di Bali Selatan. mikrokosmos yang sanggup menghadirkan Negara
Berdasarkan teori demokrasi pula diketemukan Kesatuan Republik Indonesia dari tidak ada menjadi
bahwa gotong royong mengandung nilai ada, akan sanggup pula menyelesaikan masalah-
musyawarah untuk mufakat yang menjadi landasan masalah hukum yang kini terjadi serta menjawab
proses demokrasi asli Indonesia dalam hal dan menjelaskan gejala-gejala hukum saat ini.
pengambilan keputusan, terutama pada kehidupan Syaratnya hanya satu, yaitu gotong-royong. DPR
masyarakat pedesaan di Jawa.21 bergotong royong bersama Pemerintah cq Presiden
Di dalam gotong-royong, dimensi-dimensi hak untuk membuat undang-undang yang bertujuan
atas pembangunan bersemayam dalam wujud kerja memanusiakan manusia Indonesia. Palisi
sama antar/antara pemerintah dengan rakyat, bergotong royong bersama masyarakat untuk
rakyat dengan korporasi, dan korporasi dengan menertibkan gejala-gejala yang semakin tidak
pemerintah, bahkan negara dengan negara. mengindahkan norma-norma hukum dan norma-
Deklarasi PBB tentang Hak Alas Pembangunan, norma sosial lainnya. Pengacara, Jaksa, dan Hakim
tahun 1986, Pasal 1 ayat (1) menetapkan konsep bergotong royong untuk menghasilkan vonis-vonis
hak atas pembangunan sebagai berikut: hakim yang berpihak kepada kemanuisaan yang adil

23 Hamtd S. Allam m,, 1990, Peranan Keputusan PreSJden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemenntahan Negara Suatu Studi Anal/Sis Mengenai
Keputusan PreSJden yang BerfungsiPengaturan dalam Kurvn WcJldu PelitaI· Pelita IV, Dsertas. Jakarta, Umversrtas Indonesia, him. 28-29.
24 HadJt Muhammad Yamin, 1971, Naskah PersiapanUndang Undang Dasar 1945, J1hd Pertama, Cetakan kedua, Jal<arta S1guntang, him. 79.
25 Ibid. him. 229-230.
26 Koentiaraningral 2004. Sunga Rampai: Kebudayaan,Mentalttas, dan Pembangunan, Jakarta. Penerbit PT Gramed,a Pustaka Utama, him. 66-67.
27 Ibid him. 65.
28 Max Bolt Sabon 2006, KongftJ81lsi Hak alas Pembangunan, Pasal 33 UUD 1945, dan Tipe Negara Hukum, serla impliksinya terhadap Tipe Negara Hul<um
Matenil, Oisertas,, Bandung, Program Pascasaqana Un,vers1as PadJadJaran, him. 510-511.

429
MMH, Ji/kl 41 No. 3 Juli 2012

dan beradab. ltulah epistemologi hidup bemegara Penerbit Kanisius


hukum Indonesia. Friedmann, W., 1990, Teori & Filsafat Hukum I

Susunan I, Jakarta: Rajawali Pers


C. Simpulan Hart, H.L.A., November 2009, Konsep Hukum,
Akhir kata, beberapa simpulan dapat ditarik Terjemahan dalam Bahasa Indonesia oleh
sebagaiberikut: M. Khozim. Bandung: Penerbit Nusa
1. Dalam upaya menjelaskan gejala-gejala Media
hukum di Indonesia, epistemolog filsafat Hartono, Sunarjati, 1986, Dari Hukum Antar
hukum berpedoman kepada prinsip manusia Golongan ke HukumAntarAdat, Bandung:
adalah ko-eksistensi, baik dengan diri sendiri, Alumni
dengan sesama, dengan lingkungan, maupun Huijbers, Theo, 1982, Filsafat Hukum dalern
dengan Tuhannya, sehingga hukum adalah Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius
sarana untuk kebahagiaan umat manusia. Huijbers, Theo, 1990, Filsafat Hukum, Yogyakarta:
2. Epistemologi pembentukan hukum Indonesia Kanisius
harus dibangun dari Pancasila sebagai cita Koentjaraningrat, 2004, Bunga Rampai:
hukum (rechtsidee) dan berdasarkan gotong- Kebudayaan, Mentalitas, dan
royong sebagai cita negara (staatsidee). Pembangunan, Jakarta: Penerbit PT
3. Epistemologi pemahaman hukum Indonesia Gramedia Pustaka Utama
hendaknya menggunakan cara pendekatan Magnis-Suseno, Franz, Mei 1992, Berfilsafat dari
hukum yang progresif, melalui metode Konteks, Jakarta: Penerbit PT Gramedia
verstehen yang smart menurut kecerdasan IQ, Pustaka Utama
EQ, SQ, AQ, dan FQ, dan life words bagi hidup Indonesia, 2004, Putusan Maje/is Permusyawaratan
yang bermoral. Rakyat Republik Indonesia: Sidang
4. Epistemologi hidup bernegara hukum Maje/is Permusyawaratan Rakyat
hendaknya diterapkan tipe Negara Hukum Republik Indonesia Akhir Masa Jabatan
Pembangunan dengan model pembangunan Periode 1999-2004
bottom up menurut paradigma humanis Notonagoro, 1982, Beberapa Hal Mengenai
partisipatoris. Fa/safah Pancasila: Pengertian lnti-isi-
m utla k daripada Pancasila Dasar
DAFTAR PUSTAKA Falsafah Negara, Pokok Pangkal
Pelaksanaannya Secara Murni dan
Allot, Philip, 2002, The Health of Nations, Society Konsekwen, Jakarta: Pantjuran Tudjuh
and Law beyond the State, Cambridge Rahardjo, Satjipto, Januari 2009, Lapisan-Japisan
(UK): Cambridge University Press dalam Studi Hukum, Malang: Bayumedia
Asshiddiqie, Jimly, 2009, Menuju Negara Hukum Publishing
yang Demokratis, Jakarta: PT Bhuana Rahardjo, Satjipto, Maret 2007, Membedah Hukum
llmu Populer, Kelompok Gramedia Progresif, Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Attamimi, Hamid S, 1990, Peranan Keputusan Rahardjo, Satjipto, April 2009, Penegakan Hukum
Presiden Republik Indonesia dalam Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta:
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Genta Publishing
Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Saban, Max Boli, 2006, Kongruensi Hak atas
Presiden yang Berfungsi Pengaturan Pembangunan, Pasa/ 33 UUD 1945, dan
dalam Kurun Waktu Pelita I - Pelita JV, Tipe Negara Hukum, serta impliksinya
Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia terhadap Tipe Negara Hukum Materiil,
Bomer, Silvio, et al., 1995, Political Credibility and Disertasi, Bandung: Program
Economic Development, Great Britain: Pascasarjana Universitas Padjadjaran
Macmillan Press Ltd Schmandt, Henry J., 2002, Filsafat Politik: Kajian
Drijarkara, N, S.J., 1989, Filsafat Manusia, Cetakan Historis dari Zaman Yunani Kuno Sampai
kedelapan Pustaka Filsafat,Yogyakarta: Zaman Modern, Yogyakarta: Pustaka

430
Max Boli Sabon, Aspek EpistemologiFilsafat hukum Indonesia

Pela jar Mempe/ajari Hukum Adat, Jakarta:


Simorangkir, Mr. J.C.T. dan Sastropranoto, MMr. Penerbit CV Rajawali
Woerjono, 1956, Pelajaran Hukum Suriasumantri, Yuyun S., 1988, Filsafat I/mu Sebuah
Indonesia. Jakarta: Penerbit Gunung Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka
Agung Sinar Harapan
Sinamo, Jansen, Januari 2011, 8 Etos Kerja Yamin, Hadji Muhammad, 1971, Naskah Persiapan
Profesional, Bogar: Grafika Mardi Yuana Undang Undang Dasar 1945, Jilid
Soehino, 1986, I/mu Negara, Yogyakarta: Liberty Pertama, Cetakan kedua, Jakarta:
Soekanto, Februari 1985, Meninjau Hukum Adat Siguntang
Indonesia: Suatu Pengantar untuk

431

Anda mungkin juga menyukai