mengenai setiap sistem organ. Meskipun preeklamsia lebih dari sekedar hipertensi
gestasional sederhana ditambah proteinuria, timbulnya proteinuria tetap merupakan kriteria
diagnostik objektif yang penting. Proteinuria didefinisikan sebagai ekskresi protein dalam
urin melebihi 300 mg dalam 24 jam, rasio protein : kreatinin urin > 0,3, atau terdapatnya
protein sebanyak 30 mg/dL (carik celup 1+) dalam sampel acak urin secara menetap.
(Lindheimer, dkk., 2008a). Tidak ada satupun nilai tadi yang bersifat mutlak. Kepekatan urin
sangat berarti selama siang hari sehingga hasil pembacaan carik celup juga sangat bervariasi.
Karena itu, pemeriksaan bahkan mungkin memberikan hasil 1+ atau 2+ pada spesimen urin
pekat dari perempuan yang mengekskresikan <300 mg/hari. Penentuan rasio urin/kreatinin
sewaktu mungkin akan menggantikan pengukuran urin 24 jam di masa mendatang.
ETIOPATOGENESIS
Setiap teori yang memuaskan mengenai etiologi dan patogenesis preeklamsia harus dapat
menjelaskan hasil pengamatan bahwa penyakit hipertensi dalam kehamilan lebih mungkin
timbul pada perempuan yang :
Adanya janin bukan merupakan syarat diagnosa preeklamsia. Juga, meskipun vili korionik
berperan penting, mereka tidak harus terdapat dalam uterus. Misalnya, Worley dk., (2008)
melaporkan insidensi preeklamsia sebesar 30% pada perempuan yang hamil ekstrauteri lebih
dari 18 minggu gestasi.
Etiologi
Preeklamsia tidaklah sesederhana “satu penyakit”, melainkan merupakan hasil akhir berbagai
faktor yang kemungkinan meliputi sejumlah faktor pada ibu, plasenta, dan janin. Faktor-
faktor yang saat ini dianggap penting mencakup :
1. Implantasi plasenta disertai invasi trofoblastik abnormal pada pembuluh darah uterus
2. Toleransi imunologis yang bersifat maladaptif diatara jaringan maternal, paternal
(plasental), dan fetal.
3. Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskuar atau inflamatorik yang
terjadi pada kehamilan normal
4. Faktor-faktor genetik, termasuk gen predesposisi yang diwariskan, serta pengaruh
epigenetik.
Pada implantasi normal, arteriola spiralis uteri mengalami remodeling ekstensif karena
diinvasi oleh trofoblas endovaskular. Sel-sel ini menggantikan lapisan otot dan endotel untuk
memperlebar diameter pembuluh darah. Vena-vena hanya diinvasi secara superfisial. Namun,
pada preeklamsia, mungkin terjadi invasi trofoblastik inkomplet. Bila terjadi invasi yang
dangkal seperti ini, pembuluh desidua, dan bukan pembuluh miometrium, akan dilapisi oleh
trofoblas endovaskular. Arteriola miometrium yang lebih dalam tidak kehilangan lapisan
endotel dan jaringan muskuloslastik mereka, dan rerata diameter eksternal mereka hanya
setengah diameter pembuluh darah plasenta normal (Fisher, dkk., 2009). Madazli, dkk.
(2000) memperlihatkan bahwa derajat gangguan invasi trofoblas pada arteria spiralis
berhubungan dengan keparahan penyakit hipertensi.
Dengan menggunakan mikroskop elektron, De Wolf, dkk (1990) memeriksa arteri yang
diamil dari lokasi implantasi. Mereka melaporkan adanya preubahan preeklamtik dini,
termasuk kerusakan endotel, insudasi komponen plasma ke dalam dinding pembuluh,
poliferasi sel miointima, dan nekrosis tunika media. Lipid awalnya terakumulasi dalam sel
miointima dan selanjutnya dalam makrofag. Sel yang dipenuhi lipid seperti ini dan temuan
terkait, disebut sebagai aterosis oleh Herrig (1945). Biasanya, pembuluh yang terkenan
aterosis akan mengalami dilatasi aneurismal (Khong, 1991).
Karena itu, lumen arteriola spiralis yang terlalu sempit (abnormal) kemungkinan
mengganggu aliran darah plasenta. Berkurangnya perfusi dan lingkungan yang hipoksik
akhirnya menyebabkan pelepasan debris plasenta yang mencetuskan respons inflamasi
sistemik, seperti yang di uraikan oleh Redman dan Sargent (2008) baru-baru ini
mempublikasikan ulasan yang sangat bagus mengenai mekanisme molekular yang terlibat
dalam interaksi ini.
Faktor Imunologis
Terdapat data empiris yang menunjukkan kemungkinan gangguan yang diperantarai sistem
imun pada preeklamsia. Misalnya, resiko preeklamsia meningkat secara nyata pada kondisi
mungkin terganggunya pembentukkan anibodi penyekat situs antigenik plasenta. Pada
kondisi ini, kehamilan pertama akan memiliki resiko yang lebih tinggi. Disregulasi toleransi
mungkin juga menjelaskan peningkatan resiko bila eban antigenik paternal meningkat, yakni,
dengan dua set kromosom paternal –“dosis ganda.” Misalnya, perempuan dengan kehamilan
mola memiliki insiden tinggi mengalami preeklamsia awitan-dini. Selain itu, perempuan yang
mengandung janin trisomi 13 memiliki insiden preeklamsi sebesar 30-40%. Bdolah dkk,
(2006) memperlihatkan bahwa perempuan-perempuan tersebut juga memiliki kadar faktor
antiangiogenik yang meningkat dalam serum. Gen untuk salah satu faktor ini, sFLT-1,
terletak pada kromosom 13. Sebaliknya, perempuanyang sebelumnya terpajan antigen
paternal, misalnya pada kehamilan sebelumnya-dengan pasangan yang sama, tetapi tidak bila
pasangan berbeda-telah “terimunisasi” terhadap preeklamsia. Fenomena ini tidak terlalu
nyata pada perempuan yang pernah mengalami aborsi. Strickland dkk, (1968) mempelajari
lebih dari 29.000 kehamilan di Parkland Hospital dan melaporkan bahwa penyakit hipertensif
meurun secara bermakna, tetapi tidak banyak pada perempuan yang sebelumnya pernah
keguguran dibandingkan dengan nuligravida. Penelitian lain telah memperlihatkan bahwa
perempuan multipara yang hamil dengan pasangan yang berbeda memiliki resiko preeklamsia
yang meningkat (Mostello dkk., 2002).
Redman dkk., (2009) aru-baru ini mengulas kemungkinan peran maladaptasi imunitas dalam
atofisiologi preeklamsia. Pada awal kehamilan yang ditakdirkan untuk mengalami komplikasi
preeklamsia, trofoblas ekstravilus mengekspresikan antigen leukosit manusia G(HLA-G)
yang bersifat imunosupresif dalam jumlah yang berkurang. Ekspresi yang rendah ini mungkin
berperan dalam kecacatan vaskularisasi plasenta di tahap 1. Selama kehamilan normal,
dihasilkan limfosit T-penolong (Th) sehingga aktivitas tipe 2 meningkat dibandingkan tipe 1-
dinamakan blas tipe 2 (Redmen dan Sargent, 2008). Sel-sel Th 2 memacu imunitas humoral,
sedangkan sel Th1 merangsang sekresi sitokin peradangan. Sejak awal trimester kedua pada
perempuan yang selanjutnya mengalami preeklamsia, kerja Th 1 meningkat dan terjadi
perubahan rasio Th1/ Th2. Faktor-faktor yang berperan terhadap reaksi radang yang dipacu
secara imunologis ini dirangsang oleh mikropartikel plasenta, serta oleh adiposit (Redman
dan Sargent, 2008).
Dalam banyak cara, perubahan inflamatorik diduga merupakan kelanjutan perubahan pada
tahap 1 yang disebabkan oleh kecacatan dalam plasentasi. Sebagai respons terhadap faktor-
faktor plasenta yang dilepaskan akibat perubahan iskemik atau akibat faktor pencetus lainnya,
serangkaian peristiwa akan tercetus (Taylor dkk., 2009). Karena itu, faktor metabolik dan
antiangiogenik serta mediator inflamasi lainnya diduga memicu cedera endotel.
Telah diajukan suatu teori bahwa disfungsi sel endotel disebabkan oleh keadaan leukosit
terhiperaktivasi dalam sirkulasi ibu (Faas, 2000; Gervasi, 2000; Redman, 1999, beserta rekan
mereka). Secara sinkat, sitokin, seperti faktor nekrosis tumor-α (TNF-α) dan interleukin (IL)
mungkin berperan dalam timbulnya stres oksidatif terkait preeklamsia. Stres oksidatif ini
ditandai dengan terdapatnya spesies oksigen reaktif dan radikal bebas yang menyebabkan
terbentuknya peroksida lipid yang berpropagasi-sendiri (manten dkk., 2005). Hal ini
kemudian akan membentuk radikal-radikal yang amat toksik yang akan mencederai sel
endotel, mengubah produksi nitrat oksida mereka, dan mengganggu keseimbangan
prostaglanding. Akibat lain stres oksidatif mencakup produksi sel busa makrofag yang penuh
lipid yang tampak pada aterosis, aktivasi koagulasi mikrovaskular, yang bermanifestasi
sebagai trombositopenia, dan peningkatan permeabilitas kapiler, yang ditandai dengan edema
dan proteinuria.
Temuan-temuan akibat stres oksidatif pada preeklamsia tersebut telah menarik perhatian
terhadap manfaat potensial antioksidan untuk mencegah preeklamsia. Antioksidan berasal
dari suatu famili senyawa yang beragam dan berfungsi mencegah produksi berlebihan serta
kerusakan akibat radikal bebas yang berbahaya. Contoh antioksidan antara lain vitamin E
(tokoferol-α), vitamin C (asam akorbat), dan β-karoten. Suplementasi diet dengan antioksidan
tersebut untuk mencegah preeklamsia sejauh ini belum terbukti bermanfaat.
Faktor Nutrisi
John dkk., (2002) memperlihatkan ahwa pada populasi umum, diet tinggi buah dan sayuran
yang memiliki aktivitas antioksidan berkaitan dengan penurunan tekanan darah. Zhang dkk.,
(2002) melaporkan bahwa insiden preeklamsia meningkat 2x lipat pada perempuan yang
memiliki asupan asam askorbat kurang dari 85 mg perhari. Penelitian-penelitian ini diikuti
dengan uji teracak untuk meneliti suplementasi diet. Villar, dkk. (2006) memperlihatkan
bahwa suplementasi kalsium pada populasi yang memiliki asupan kalsium diet yang rendah
memiliki sedikit efek dalam menurunkan angka kematian perinatal, tetapi tidak berdampak
pada insiden preeklamsia. Pada sejumlah penelitian, suplementasi antioksidan vitamin C dan
E tidak menunjukkan manfaat.
Faktor Genetik
Preeklamsia merupakan penyakit multifaktorial dan poligenik. Dalam suatu ulasan yang
komprehensif, Ward dan Lindheimer (2009) mengutip resiko insiden preeklamsia sebesar 20-
40% pada anak dari ibu yang perah mengalami preeklamsia; 11-37% pada saudaar
perempuan seorang penderita preeklamsia; dan 22-47% pada kembar. Pada suatu penelitian
yang dilakukan Nilsson, dkk. (2004) pada hampir 1,2 juta pelahiran di Swedia, mereka
melaporkan adanya komponen genetik untuk hipertensi gestasional sekaligus preeklamsia.
Mereka juga melaporkan angka kejadian bersama sebesar 60% pada kemar monozigotik
perempuan.
Kecenderungan herediter ini yang mungkin merupakan akibat interaksi ratusan gen yang
diwariskan-baik dari ayah maupun ibu-yang megedalikan sejumlah besar fungsi metabolik
dan enzimatik di setiap sistem organ.
Patogenesis
Vasospasme
Selama dua dekade terakhir, aktivasi sel endotelial telah menjadi pusat dari pemahaman
kontemporer mengenai patogenesis preeklamsia. Pada skema ini, faktor-faktor yang tidak
diketahui –kemungkinan berasal dari plasenta- disekresikan ke dalam sirkulasi maternal dan
menceetuskan ktivasi dan disfungsi endotel vaskular. Sindrom kliis preeklamsia diduga
terjadi akibat perubahan sel endotel yang tersebar luas. Selain mikropartikel, Grundmann
dkk., (2008) telah melaporkan bahwa kadar sel endotel yang bersirkulasi-CEC- meningkat
secara nyata sebesar empat kali lipat pada darah perifer perempuan preeklamtik.
Endotel yang utuh memiliki sifat antikoagulan, dan sel endotel menumpulkan respons otot
polos pembuluh darah terhadap agonis dengan cara melepaskan nitrat oksida.sel endotel yang
rusak atau teraktivasi dapat menghasilkan lebih sedikit nitrat oksida dan menyekeresikan
substansi yang memacu koagulasi, serta meningkatkan sensitifitas terhadap vasopresor (Gant
dkk., 1974). Bukti lebih lanjut mengenai aktivasi endotel meliputi peruahan khas pada
morfologi endotel kapiler glomerulus, peningkatan permeabilitas kapiler, dan peningkatan
kadar zat-zat terkait aktivasi sel-sel endotel dalam darah. Zat-zat yang disebut belakangan ini
dapat dipindahkan, dan serum dari perempuan dengan preeklamsia semakin memacu
pembentukan zat-zat ini dalam jumlah yang lebih besar. Kemungkinan, berbagai faktor dalam
plasma perempuan preeklamtik berkombinasi untuk menyebabkan efek vasoaktif tersebut
(Myers dkk., 2007; Walsh, 2009).
Prostaglandin
Sejumlah prostanoid diduga menjadi pusat patofisiologi sindrom preeklamsia. Secara khusus,
pengumpulan respons presor yang tampak pada kehamilan normal paling tidak sebagian
disebabkan oleh penurunan responsivitas vaskular yang di antarai sintesis prostaglandin
endotel. Misalnya, jika dibandingkan dengan kehamilan normal, produksi prostaglandin
endotel (PGI2) menurun pada preeklamsia. Efek ini tampaknya dimediasi oleh fosfolipase A 2
(Taylor dan Roberts, 1999). Pada saaat yang sama, sekresi tromboksan A 2 oleh trombosit
meningkat dan rasio prostasiklin : tromboksan A 2 menurun. Hasil bersihnya cenderung
meningkatkan sensitivitas terhadap angiotensin II yang diinfuskan, dan pada akhirnya,
vasokonstriksi (Spitz dkk, 1988). Chavvaria dkk., (2003) telah membuktikan bahwa
perubahan-perubahan ini tampak sejak kehamilan 22 minggu pada perempuan yang
selanjutya mengalami preeklamsia.
Nitrat Oksida
Vasodilator poten ini disintesis dari L-arginin oleh sel endotel. Penurunan drastis nitrat
oksida menyebabkan gambaran klinis yang serupa dengan preeklamsia pada model binatang
yang sedang hamil (Conrad dan Vernier, 1989). Inhibisi sintesis nitrat oksida meningkatkan
tekanan arteri rerata, menurunkan laju jantung dan membalikkan ketidaksensitifan terhadap
vasopressor yang diinduksi kehamilan. Pada manusia, nitrat oksida tampaknya merupakan
senyawa yang mempetahankan kondisi normal pembuluh darah yang berdilatasi dan
bertekanan rendah, yang khas untuk perfusi fetoplasenta (Myatt dkk., 1992; Weiner dkk.,
1992). Zat ini juga dihasilkan oleh endotel janin dan kadarnya meningkat sebagai respons
terhadap preeklamsia, diabetes, dan infeksi (Parra dkk., 2001; von Mandach dkk., 2003).
Efek produksi nitrat oksida pada kehamilan belum jelas (Taylor dkk., 2009). Tampaknya
sindrom ini berkaitan dengan penurunan ekspresi nitrat oksida sintase pada endotel sehingga
meningkatkan inaktivasi nitrat oksida. Respons-respons tersebut dapat berkaitan dengan ras,
dengan perempuan Afrika-Amerika menghasilkan lebih banyak nitrat oksida (Wallace, dkk.,
2009)
1. Soluble Fms-like tyrosinekinase I (sFlt-I) merupakan varian reseptor Flt-I untuk faktor
pertumbuhan plasenta (PIGF) dan faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF).
Peningkatan kadar sFlt-I pada sirkulasi ibu akan menginaktifkan dan menurunkan
kadar PIGF dan VEGF bebas dalam sirkulasi sehingga terjadi disfungsi endotel
(Maynard dkk., 2003).
2. Soluble endoglin (sEng) merupakan molekul 65-kDa yang dihasilkan plasenta dan
menyekat endoglin-disebut juga CD105-yang merupakan koreseptor famili TGF-β.
Bentuk endoglin terlarut ini menghambat berbagai isotop TGF-β untuk berikatan
dengan reseptor di endotel sehingga menyebabkan penurunan vasodilatasi yang
bergantung nitrat oksida endotelial (Levine dkk., 2006; Venkatesha dkk., 2006).
Proteinuria
Masalah lain adalah belum dipastikannya metode optimal untuk menentukan kadar abnormal
albumin atau protein urin. Chen dkk., (2008) memperlihatkan bahwa spesimen urin yang
didapat melalui kateterisasi atau urin pancaran tengah berkolerasi baik dengan proteinuria.
Namun, penentuan secara kualitatif menggunakan carik celup bergantung pada kepekatan
urin dan sangat rentan terhadap hasil positif semu maupun negatif semu. Untuk spesimen urin
kuantitatif 24 jam, nilai ambanag standar sesuai “konsensus” adalah >300 mg/24 jam-atau
ekuivalennya yang telah diekstrapolasi untuk periode pengumpulan urin yang lebih singkat.
Penting diingat, penentuan nilai standar ini bukannya tidak menimbulkan perdebatan.
Penentuan protein urin : atau rasio albumin : kreatinin mungkin dapat menggantikan
kuatifikasi 24 jam yang sangat memberatkan (Kyle dkk., 2008). Pada sebuah ulasan
sistematik terbaru, Papanna dkk., (2008) menyimpulkan bahwa rasio protein : kreatinin urin
acak yang diawah 130 terhadap 150 mg/g-0,13 berbanding, 0,15- menandakan kemungkinan
rendah terjadinya proteinuria yang melebihi 300 mg/hari. Rasio dalam kisaran pertengahan,
yakni, 300 mg/g-0,3- memiliki sensitivitas dan spesifitas yang rendah. Para peneliti ini
menganjurkan bahwa bila didapatan hasil pada kisaran pertengahan, dilakukan pemeriksaan
spesimen urin 24 jam untuk akurasi.
Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk mengukur proteinuria, dan tidak satupun
mendeteksi semua jenis protein yang normal diekskresikan. Metode yang leih akurat meliputi
pegukuran ekskresi albmin. Filtrasi albumin lebih tinggi dibandingkan globulin (yang
berukuran lebih besar), dan pada penyakit glomerular, seperti preeklamsia, sebagian besar
protein dalam urin adalah albumin. Set alat pemeriksaan yang termutakhir memungkinkan
pengukuran cepat rasio albumin: kreatinin urin pada pasien rawat jalan (Kyle dkk., 2008).
Akhirnya, meskipun perburukan proteinuria kisaran nefrotik telah dianggap oleh sebagian
besar kalangan sebagai tanda penyakit berat, anggapan ini mungkin tidak tepat (Airoldi dan
Weinstein, 2007). Karena itu, saat ini sedang diteliti kuantitas ekskresi protein secara
tersendiri sebagai penanda keparahan preeklamsia.
Manifestasi Klinis
1. Nyeri kepala dan skotomata diduga timul akibat hiperfusi serebrovaskular yang
memiliki predileksi pada lobus oksipital. Menurut Sibai (2005) dan Zwart dkk.,
(2008), hingga 50 hingga 75% perempuan mengalami nyeri kepala dan 20-30%
diantaranya mengalami gangguan penglihatan yang mendahului kejang eklamtik.
Nyeri kepala dapat ringan hingga berat, dan dapat intermitten atau konstan. Menurut
pengalaman kami, tanda ini unik karena biasanya membaik setelah dimulainya infus
magnesium sulfat.
2. Kejang bersifat diagnostik untuk eklamsia.
3. Kebutaan jarang terjadi pada preeklamsia saja, tetapi sering menjadi komplikasi pada
kejang eklamtik, yaitu pada hingga 15% perempuan (Cunningham dkk, 1995).
Kebutaan telah dilaporkan timbul hingga seminggu atau lebih setelah pelahiran
(Chambers dan Chain, 2004).
4. Edema otak menyeluruh dapat timbul pada sindrom preeklamsia dan biasanya
bermanifestasi sebagai perubahan status mental yang bervariasi dari kebingungan
hingga koma. Kondisi ini khususnya berbahaya karena dapat menybabkan herniasi
supratentorial yang membahayakan jiwa.