Anda di halaman 1dari 19

Tugas Makalah

Pengolahan Produk Turunan dari Rumput Laut Alginat

Oleh:
Rachelita Putri
NIM.147221082/ THP-D/ Semester 3
Mata Kuliah Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan

FAKULTAS PERIKANAN DAN LAUTAN


PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
BAB I
1.1 Pendahuluan 3
1.2 Tinjauan Pustaka 4
BAB II METODE PENELITIAN
2.1 Bahan 5
2.2 Pengembangan Metode Ekstraksi Alginat 5
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Rendemen 7
3.2 Warna 12
3.3 Viskositas 12
3.4 Biaya Produksi dan Derajat Putih 12
Penutupan
Kesimpulan 16
Daftar Pustaka 17

2
BAB I

1.1 Pendahuluan
Alginat, sebuah polisakarida yang diekstraksi dari rumput laut coklat seperti Sargassum
sp. dan Turbinaria sp., dapat ditemukan secara luas di perairan Indonesia (Basmal dkk., 2002).
Potensi budidaya rumput laut ini juga tinggi karena pertumbuhannya yang cepat dan
kemampuannya dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan musim. Budidaya Sargassum
polycystum menunjukkan pertumbuhan sekitar 2,34 cm/minggu (Kalangi, 2001). Secara alami,
rumput laut penghasil alginat selalu tersedia sepanjang tahun, baik pada musim kemarau
maupun musim hujan, menjadikan potensi pemanfaatannya luas untuk menghasilkan alginat
dan produk turunannya. Jenis rumput laut penghasil alginat (alginofit) yang paling banyak
tersebar di perairan Indonesia adalah dari genus Sargassum, diikuti oleh genus Turbinaria
(Yunizal, 2004). Meskipun potensi produksinya cukup besar, pemanfaatan rumput laut ini
masih terbatas, bahkan di beberapa daerah tidak dimanfaatkan sama sekali.

Potensi tinggi dari rumput laut penghasil alginat belum dioptimalkan sepenuhnya,
mengingat perkembangan metode ekstraksi alginat di dalam negeri yang masih belum optimal.
Meskipun Indonesia merupakan salah satu produsen tekstil terbesar di dunia, negara ini masih
bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan alginatnya. Volume impor produk alginat
Indonesia mencapai 1.480.100 kg/tahun (Sulistijo, 2002), dan perkiraan terkini menunjukkan
angka impor melebihi 2000 ton/tahun (Anonim, 2010). Alginat digunakan secara mayoritas di
industri tekstil printing, mencapai sekitar 50% dari total penggunaan alginat di seluruh dunia,
sementara industri pangan menggunakan sekitar 30%, dan industri lainnya sekitar 20%
(Mc.Hugh, 2008).

Meskipun telah dilakukan berbagai penelitian mengenai ekstraksi alginat dari rumput
laut lokal, umumnya produk alginat yang dihasilkan memiliki viskositas rendah dan biaya
ekstraksi yang masih tinggi (Basmal dkk., 1999; Murtini dkk., 2000; Tazwir dkk., 2000;
Wikanta dkk., 2000; Yunizal dkk., 2000; Basmal dkk., 2001; Basmal dkk., 2002). Hal ini
menyebabkan viskositas alginat lokal untuk tekstil printing cenderung menurun selama
menunggu proses pencetakan. Kelemahan stabilitas viskositas dan biaya ekstraksi yang mahal
membuat produk
ini belum mampu bersaing dengan impor, terutama dari China, yang memiliki harga
alginat di pasaran saat ini sekitar Rp170.000 - 200.000/kg (Anonim, 2010).

3
Dengan melakukan perbaikan metode ekstraksi alginat dari rumput laut lokal untuk
menciptakan teknologi ekstraksi yang lebih ekonomis, diharapkan dapat meningkatkan
penggunaan rumput laut coklat yang memiliki potensi melimpah. Penelitian ini memiliki tujuan
untuk mengembangkan teknologi ekstraksi alginat dari rumput laut coklat yang ekonomis dan
berkualitas.

1.2 Tinjauan Pustaka


Alginat, hasil ekstraksi dari berbagai jenis rumput laut cokelat, memiliki peran penting
dalam industri sebagai bahan pengental, pengemulsi, penstabil, pembentuk film, dan
pembentuk gel. Indonesia memenuhi kebutuhannya melalui impor sejumlah 3.653.365 kg per
tahun, dengan nilai mencapai US$ 5.473.142 (Biro Pusat Statistik, 1999). Dalam industri dan
perdagangan, alginat dikenal sebagai asam alginat atau Na-alginat, dimana asam alginat
merupakan getah dalam membran sel, dan Na-alginat merupakan bentuk garamnya. Komponen
ini dapat ditemukan pada semua jenis alga cokelat sebagai penyusun dinding sel, bersama
dengan selulosa dan pektin.

Secara kimia, asam alginat merupakan senyawa karbohidrat kompleks dengan sifat
koloidal hidrofilik, polimer yang terdiri dari asam D-manuronat dan asam L-guluronat dengan
rumus kimia (CHO)n, dengan nilai n berkisar antara 80—83. Sifat-sifat alginat terutama
bergantung pada tingkat polimerisasi serta perbandingan komposisi guluronat dan manuronat
dalam molekulnya. Asam alginat tidak larut dalam air dan mengendap pada pH < 3,5.

Garam alginat biasanya larut dalam air dingin atau air panas dan dapat membentuk
larutan yang stabil, kecuali garam kalsium, magnesium, dan barium alginat. Na-alginat tidak
larut dalam pelarut organik dan dapat mengendap dengan alkohol. Alginat stabil pada pH 5—
10, sementara pada pH yang lebih tinggi viskositasnya kecil karena terjadi degradasi. Penelitian
menunjukkan bahwa perendaman asam alginat yang terlalu lama pada suhu tinggi dapat
menyebabkan hidrolisis dan menurunkan rasio manuronat dan guluronat. Kemampuan alginat
membentuk gel terkait dengan proporsi L-guluronat, dan banyak digunakan sebagai bahan
pembentuk gel dan pengental thermoreversible di berbagai industri (Maharani dan Widyayanti,
2012).
Alginat dihasilkan oleh berbagai jenis alga cokelat yang melimpah di perairan
Indonesia, termasuk Sargassum sp., Turbinaria sp., Hormophysa sp., dan Padina sp. (Rasyid,
2003 dalam Loupatty et al., 2012).

4
BAB II
METODE PENELITIAN

2.1 Bahan
Bahan penelitian yang digunakan adalah rumput laut coklat jenis Sargassum sp. yang
diperoleh dari Perairan Sumedang, Jawa Barat. Setelah dipanen dari lingkungan alam,
penanganan rumput laut coklat dilakukan di lapangan dengan melakukan sortasi dan
membersihkannya dari kotoran. Proses selanjutnya melibatkan pencucian menggunakan air
tawar, perendaman dalam larutan KOH 0,1% selama 1 jam, pencucian lanjutan untuk
menghilangkan residu alkali, dan penjemuran hingga kadar airnya mencapai kurang dari 15%.
Rumput laut kemudian dikemas dan dibawa ke lokasi penelitian untuk proses ekstraksi alginat.

2.2 Pengembangan Metode Ekstraksi Alginat


Metode ekstraksi yang diinovasikan terdiri dari jalur kalsium alginat (Mc.Hugh, 2008),
sementara metode kontrol menggunakan jalur asam alginat yang telah dikembangkan di Balai
Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Jakarta (lihat
Gambar 1). Tahapan ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 2.

Pertama-tama, ekstraksi melalui jalur kalsium alginat dilakukan dengan tiga perlakuan
konsentrasi CaCl2, yakni 0,5; 0,75; dan 1 M, menggunakan 150 g rumput laut kering. Tahap
awal ekstraksi natrium alginat melibatkan pemisahan alginat dari filtrat melalui pengendapan
dalam bentuk Ca-alginat. Untuk mencapai ini, CaCl2 ditambahkan pada filtrat yang dihasilkan
dari proses ekstraksi. Setelah mendapatkan Ca-alginat, langkah berikutnya adalah pemucatan
dan konversi menjadi asam alginat. Proses ini bertujuan mengubah garam alginat menjadi asam
alginat, memungkinkan konversi kembali menjadi Na-alginat yang larut dalam air.

Langkah terakhir dalam proses ini adalah konversi Ca-alginat menjadi asam alginat,
yang dilakukan dengan merendam Ca-alginat dalam asam seperti HCl. Setelah asam alginat
terbentuk, tahap selanjutnya adalah konversi menjadi natrium alginat yang larut dalam air,
dengan menambahkan Na2CO3.

5
Observasi yang dilakukan mencakup rendemen alginat, karakteristik visual produk,
viskositas, dan derajat keputihan. Rendemen dihitung dengan membandingkan jumlah alginat
yang dihasilkan dengan bahan baku, kemudian hasilnya dikalikan 100% (Subaryono, 2009).

Pengukuran viskositas dilakukan pada konsentrasi alginat 1% (b/v) dalam air murni.
Alat yang digunakan adalah rapid visco analyzer (RVA) yang dilengkapi dengan pengatur
suhu. Pengukuran dilakukan pada suhu sampel 20 °C, dengan kecepatan putaran 130 rpm, dan
hasilnya dinyatakan dalam satuan centipoise (cP). Suhu diatur secara digital menggunakan
komputer dengan sirkulasi air dingin yang terhubung ke RVA. Derajat keputihan alginat diukur
menggunakan alat Whiteness tester.

6
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Rendemen
Dalam penelitian ini, ekstraksi dilakukan menggunakan metode jalur kalsium alginat
dengan tiga tingkat konsentrasi CaCl2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi
CaCl2 memiliki pengaruh signifikan pada produk antara Ca-alginat yang dihasilkan dan
rendemen Ca-alginat yang diperoleh. Pengamatan menunjukkan bahwa semakin tinggi
konsentrasi CaCl2 yang digunakan, cenderung menghasilkan produk dengan tekstur lebih
kasar, warna yang tidak merata (kecoklatan), dan rendemen yang lebih tinggi. Data mengenai
pembentukan Ca-alginat sebagai produk antara dalam proses ekstraksi natrium alginat dapat
ditemukan pada Tabel 1.

Tingkat konsentrasi CaCl2 yang ditambahkan memberikan dampak yang nyata pada
kondisi serat Ca-alginat yang dihasilkan. Perbedaan kondisi serat Ca-alginat tersebut
disebabkan oleh peningkatan ketersediaan ion Ca2+ untuk berikatan dengan alginat,
menghasilkan lebih banyak ikatan silang. Oleh karena itu, secara visual, serat Ca-alginat yang
dihasilkan menjadi lebih kasar teksturnya

7
(Tabel 1). Hasil ini konsisten dengan pandangan Draget (2000), yang menyatakan
bahwa ketika ion Ca2+ tersedia, asam poliguluronat dalam asam alginat akan bereaksi dengan
ion Ca dan membentuk ikatan silang antar molekul alginat, sehingga terjadi endapan yang
merupakan kalsium alginat.

Peningkatan konsentrasi CaCl2 cenderung menghasilkan rendemen Ca-alginat yang


lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh peningkatan jumlah CaCl2 yang ditambahkan,
meningkatkan ketersediaan ion Ca2+ dalam larutan. Dengan tingginya ketersediaan ion Ca,
peluang terbentuknya ikatan silang menjadi lebih besar (Mc.Hugh, 2008). Ketersediaan ion Ca
yang tinggi ini meningkatkan kemungkinan untuk mengendapkan semua alginat dalam larutan,
mengakibatkan peningkatan rendemen Ca-alginat.
Pada kondisi di mana ketersediaan ion Ca kurang, sebagian alginat mungkin tidak
berhasil diendapkan dan tetap berada bebas dalam larutan, yang mengakibatkan rendemen yang
lebih rendah.

Kondisi asam alginat dengan penambahan Na2CO3 pada proses konversi menjadi
natrium alginat memengaruhi kebutuhan Na2CO3 dan rendemen natrium alginat, seperti
terlihat pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan bahwa kondisi asam alginat setelah penambahan
natrium karbonat menjadi berair dan kemudian berubah menjadi pasta kental. Tidak ada
perbedaan kondisi yang signifikan antara ketiga perlakuan; perbedaan utamanya terletak pada
kebutuhan natrium karbonat dan berat natrium alginat yang dihasilkan, yang cenderung
meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi CaCl2. Fenomena ini terkait dengan
rendemen asam alginat yang tinggi yang diperoleh dengan peningkatan konsentrasi CaCl2 yang
digunakan.
Dalam kondisi di mana ketersediaan ion Ca kurang, sebagian alginat mungkin tidak
berhasil diendapkan dan tetap berada dalam larutan, mengakibatkan rendemen yang lebih
rendah. Proses konversi asam alginat menjadi natrium alginat, dengan penambahan Na2CO3,
mempengaruhi kebutuhan Na2CO3 dan rendemen natrium alginat, seperti yang terlihat pada
Tabel 2.

8
Rendemen natrium alginat dan kualitas natrium alginat yang dihasilkan dibandingkan
dengan perlakuan kontrol (ekstraksi natrium alginat melalui jalur asam alginat) dapat
ditemukan dalam Tabel 3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi
CaCl2 cenderung meningkatkan rendemen natrium alginat yang dihasilkan. Peningkatan ini
disebabkan oleh fakta bahwa semakin tinggi konsentrasi CaCl2, semakin efektif pemisahan
alginat dari filtrat ekstraksi melalui reaksi dengan ion Ca2+ dari CaCl2, yang menghasilkan
serat Ca-alginat. Keberadaan ion Ca dalam larutan alginate dalam jumlah sedikit akan
meningkatkan viskositas larutan, dan semakin tinggi konsentrasi akan menyebabkan
pembentukan serat atau gel yang dapat dipisahkan dari larutan (Subaryono dan Peranginangin,
2009). Peningkatan efektivitas pemisahan alginat mengurangi kehilangan alginat dalam limbah
filtrat, sehingga rendemen yang dihasilkan menjadi lebih tinggi.

9
Rendemen yang diperoleh melalui ekstraksi jalur Ca-alginat cenderung lebih tinggi
daripada kontrol (jalur asam alginat). Pada konsentrasi 1 M, rendemen mencapai 53,33%,
melebihi kontrol sebesar 31,67%. Tingginya rendemen ini kemungkinan disebabkan oleh
penambahan ion Ca yang lebih efektif dalam mengendapkan alginat menjadi Ca-alginat
dibandingkan dengan penambahan HCl untuk memisahkan alginat menjadi asam alginat.

Pada penambahan HCl untuk memisahkan asam alginat, sering kali masih terdapat
asam alginat dalam bentuk sangat halus yang dapat lolos pada saat penyaringan, menyebabkan
rendemen alginat yang diekstrak melalui jalur asam alginat menjadi lebih rendah. Selain itu,
tingginya rendemen alginat dari ekstraksi jalur Ca-alginat diduga karena kelebihan CaCl2 yang
ditambahkan, di mana kelebihan Ca turut mengendap dalam Ca-alginat dan meningkatkan
rendemennya. Dukungan untuk hal ini dapat ditemukan dalam data viskositas, di mana
viskositas alginat yang diekstrak melalui jalur Ca-alginat lebih rendah dibandingkan dengan
jalur asam alginat, mencerminkan kemurniannya yang lebih rendah. Rendemen alginat dalam
penelitian ini juga melampaui laporan Subaryono dkk. (2009) untuk rumput laut Sargassum
filipendula sebesar 33,93%.

10
11
3.2 Warna
Warna tidak merata pada Ca-alginat pada konsentrasi tinggi CaCl2 (lihat Tabel 1)
disebabkan oleh tekstur kasar, yang menyebabkan proses pemucatan dengan penambahan
NaOCl tidak merata di semua bagian Ca-alginat. Bagian dalam gumpalan cenderung tidak
sepenuhnya terpapar NaOCl dengan baik, sehingga proses pemucatan tidak berjalan sempurna
dan menghasilkan sedikit warna kecoklatan. Warna kecoklatan ini merupakan hasil dari reaksi
yang terjadi karena adanya senyawa fenolik yang masih terdapat dalam alginat selama proses
ekstraksi yang melibatkan panas, menyebabkan terjadinya reaksi browning (Mc.Hugh, 2008).
Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya reaksi browning, sebelum proses ekstraksi, bahan
baku dikenai perendaman dengan formalin untuk mengurangi kandungan senyawa fenolik
yang masih ada dalam bahan baku (Draget, 2000; Mc.Hugh, 2008).

3.3 Viskositas
Pengamatan viskositas menunjukkan bahwa antara ketiga perlakuan konsentrasi CaCl2
relatif tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, namun dibandingkan dengan perlakuan
kontrol (ekstraksi alginat melalui jalur asam alginat) cenderung lebih rendah. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh kemurnian natrium alginat yang dihasilkan dari ekstraksi
menggunakan jalur Ca-alginat yang lebih rendah dibandingkan dengan jalur asam alginat. Ini
dapat terjadi karena adanya residu Ca dalam alginat akibat konversi menjadi asam alginat yang
tidak sempurna. Pada ekstraksi melalui jalur asam alginat, kondisi ini tidak terjadi, sehingga
kemurnian natrium alginat yang dihasilkan lebih tinggi, menghasilkan viskositas yang lebih
tinggi. Selain panjang polimer alginat, viskositas juga sangat dipengaruhi oleh kemurnian
alginat yang digunakan (Subaryono dkk., 2009). Viskositas alginat yang diekstrak melalui jalur
Ca-alginat mencapai 149 cP, sedangkan yang diekstrak melalui jalur asam alginat mencapai
304 cP. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan viskositas alginat dari Sargassum filipendula yang
mencapai 108 cP (Subaryono dkk., 2009).

3.4 Biaya Produksi dan Derajat Putih


Untuk mengevaluasi biaya produksi alginat yang diekstraksi melalui jalur Ca-alginat
dan jalur asam alginat, dilakukan analisis kebutuhan bahan kimia dan harganya, sebagaimana
terlihat pada Tabel 4 dan 5. Dari Tabel 4, dapat disimpulkan bahwa kebutuhan bahan kimia
untuk ekstraksi alginat melalui jalur Ca-alginat mencakup HCl, Na2CO3, CaCl2, NaOCl,
Na2CO3, dan etanol, sementara kebutuhan bahan kimia untuk ekstraksi melalui jalur asam
alginat melibatkan HCl, Na2CO3, NaOCl, NaOH, dan isopropil alkohol (IPA).

12
Dari Tabel 5, terlihat bahwa ekstraksi alginat melalui jalur Ca-alginat jauh lebih
ekonomis, dengan biaya hanya Rp. 9.202 per 150 g rumput laut kering, sedangkan pada jalur
asam alginat memerlukan biaya Rp. 93.079 per 150 g rumput laut kering. Perbedaan biaya yang
signifikan terutama terletak pada kebutuhan IPA, di mana pada ekstraksi jalur Ca-alginat
menggunakan etanol yang lebih terjangkau dan dalam jumlah yang lebih sedikit. Oleh karena
itu, metode ekstraksi melalui jalur Ca-alginat terbukti lebih efisien, memungkinkan produk
dihasilkan dengan harga lebih terjangkau.

Meskipun metode ekstraksi jalur Ca-alginat lebih ekonomis, namun dari segi kualitas
produk alginat masih kalah dibandingkan dengan alginat yang diekstrak melalui jalur asam
alginat, terutama dalam parameter viskositas. Selain itu, kelarutan alginatnya juga kurang
dalam air, diduga karena kelebihan Ca yang masih ada dalam alginat hasil ekstraksi. Alginat
dikenal memiliki keterbatasan dalam kelarutannya di lingkungan yang mengandung asam atau
ion Ca2+ (Draget, 2000; Mc.Hugh, 2008). Oleh karena itu, dalam penelitian ini, pengembangan
metode ekstraksi melalui jalur Ca-alginat dianggap belum sepenuhnya dapat mengatasi
masalah, terutama terkait kualitas alginat yang dihasilkan.

13
Berdasarkan struktur biaya ekstraksi, kelemahan metode jalur asam alginat terletak
pada penggunaan isopropil alkohol (IPA) yang besar, menyebabkan biaya ekstraksi menjadi
tinggi. Ketika dibandingkan antara metode ekstraksi alginat melalui jalur Ca-alginat dan jalur
asam alginat, biaya ekstraksi untuk tahap persiapan hingga konversi ke natrium alginat
tampaknya relatif serupa. Untuk meningkatkan kualitas alginat hasil ekstraksi tanpa
meningkatkan biaya produksi, penelitian dilanjutkan dengan pengembangan metode gabungan,
di mana tahap ekstraksi tetap melalui jalur asam alginat, namun beberapa langkah diadopsi,
seperti pengepresan asam alginat dan konversi asam alginat menjadi natrium alginat
menggunakan Na2CO3. Ethanol teknis juga digunakan untuk membantu pengeringan.

Metode ekstraksi gabungan ini, seperti yang diilustrasikan dalam Gambar 3, dapat
mengatasi risiko kelebihan Ca dalam natrium alginat dan mengurangi biaya yang disebabkan
oleh penggunaan isopropil alkohol dengan menggantinya dengan ethanol yang lebih
terjangkau. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa alginat yang diekstraksi dengan metode
gabungan ini memiliki kualitas yang lebih baik dan biaya ekstraksi yang lebih rendah.
Kebutuhan ethanol untuk membantu pengeringan natrium alginat hanya 300 ml per 150 gram
rumput laut, dengan rendemen 28,84% dan viskositas 238 cP. Selanjutnya, untuk formulasi
dan aplikasi alginat dalam tekstil printing, dilakukan ekstraksi dengan skala bahan baku seberat
1 kg, dengan kebutuhan bahan kimia dan kualitas produk yang dihasilkan disajikan pada Tabel
6.

14
Natrium alginat yang dihasilkan dari ekstraksi skala 1 kg rumput laut menunjukkan
kesamaan dengan produk manutex komersial, yang biasanya digunakan sebagai standar
pengental dalam tekstil printing. Produk ini memiliki warna kuning gading, dengan derajat
putih sebesar 24,7%, sedangkan manutex komersial memiliki derajat putih 36,5%. Rendemen
yang diperoleh cukup tinggi, mencapai 33,57%, sementara kebutuhan bahan kimia relatif
minim. Biaya total untuk bahan kimia ekstraksi ini adalah Rp. 69.485,- per kg rumput laut.

15
KESIMPULAN
Berdsar dari temuan penelitian, dapat disimpulkan bahwa untuk memperoleh natrium
alginat berkualitas tinggi dengan biaya ekstraksi yang ekonomis, metode ekstraksi melalui jalur
asam alginat merupakan pilihan yang efektif. Modifikasi dalam proses pengepresan asam
alginat dan penggunaan ethanol sebagai bahan kimia pembantu pengeringan turut berkontribusi
dalam meningkatkan kualitas produk. Biaya total untuk bahan kimia ekstraksi ini mencapai
Rp. 69.485,- per kg rumput laut.

16
DAFTAR PUSTAKA

Anonim (2010b). Industri alginat (peluang dan potensinya). http://www.kabarindonesia.com/berita.


php?pil=10&jd=Industri-Alginat-(Peluang-dan- Potensinya)&dn=200702161 01948. [13
April 2010].
Basmal, J., Wikanta, T. dan Tazwir (2002). Pengaruh kombinasi perlakuan kalium hidroksida dan
natrium karbonat dalam ekstraksi natrium alginat terhadap kualitas produk yang dihasilkan.
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 8: 45-52.
Basmal, J., Sekarsih, Y. dan Bunasa, T.K. (2001). Pengaruh konsentrasi bahan pemucat dan enis bahan
pengendap terhadap embentukan sodium alginat dari rumput laut coklat Sargassum filipendula
Agarct. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 7: 74-81.
Basmal, J., Yunizal dan Murtini, J.T. (1999). Pengaruh volume dan waktu ekstraksi natrium alginat
dalam larutan natrium karbonat. Makalah pada Forum Komunikasi I. Ikatan Fikologi
Indonesia, Serpong 8 September 1999. 119-126.
Draget, K.I. (2000). Alginates. Dalam: Philips, G.O. dan Williams, P.A. (ed.). Handbook of
Hydrocolloids. Hal 379-395. CRC Press.
Kalangi, S.M. (2001). Pertumbuhan dan kandungan nutrisi rumput laut coklat Sargassum polycystum
di Tasik Ria, Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara. http:// digilib.bi.itb.ac.
id/go.php?id=saptunsrat-gdl-res-2001- kalangi2c-1936-coklat. [15 Jan 2008].
McHugh, D.J. (2008). Production, properties and uses of alginates. Dalam: FAO Corporate Document
Repository. Production and Utilization of Products from Commercial Seaweeds. 45 p.
http://www.fao.org/ docrep/006/ y4765e08.htm. [15 Jan 2008].
Murtini, J.T., Hak, N. dan Yunizal (2000). Pengaruh perlakuan asam klorida dan formaldehid pada
ekstraksi rumput laut coklat Sargassum ilicifolium terhadap sifat fisiko-kimia natrium alginat.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan 1999/2000, Sukamandi 21-22 September 2000.
318-330.
Subaryono ( 2009). Karakterisasi Pembentukan Gel Alginat dari Rumput Laut Sargassum sp. dan
Turbinaria sp. Thesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Subaryono dan Peranginangin, R. (2009). Perbaikan viskositas alginat S. filipendula dan T. decurens
menggunakan CaCO3 dan LBG. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
4: 131-140.
Subaryono, Peranginangin, R., Fardiaz, D. dan Kusnandar,
F. (2009). Sifat fisiko-kimia alginat dari rumput laut Sargassum filipendula dan Turbinaria decurens
dari Perairan Binuangeun, Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan V.

17
Surabaya (II): 529-535.

Sulistijo (2002). Penelitian Budidaya Rumput Laut (Algae/ Makroseaweed) di Indonesia. Pidato
Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Mariculture. Pusat Penelitian Oceanologi-LIPI.
Jakarta.
Tazwir, Nasran, S. dan Yunizal (2000). Teknik ekstraksi asam alginat dari rumput laut coklat
(Phaeophyceae). Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan 1999/2000, Sukamandi 21-22
September 2000. 310-
318.
Wikanta, T., Basmal, J. dan Yunizal (2000). Pengaruh perbedaan penggunaan bahan pengemas dan
lama penyimpanan pada suhu kamar terhadap sifat fisiko- kimia produk natrium alginat.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan 1999/2000, Sukamandi 21-22 September 2000.
301-310.
Yunizal, Tazwir, Murtini, J.T. dan Wikanta, T. (2000). Penelitian penanganan rumput laut coklat
(Sargassum filipendula) setelah dipanen menggunakan larutan kalium hidroksida. Octopus 4:
49-56.
Yunizal (2004). Teknologi Pengolahan Alginat. Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi
Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

18
19

Anda mungkin juga menyukai