Anda di halaman 1dari 53

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA LINGKUNGAN

MODUL V & VI

OKSIGEN TERLARUT (DO) & BIOCHEMICAL OXYGEN DEMAND (BOD)

Ravindra Pranamya 2006576924

Asisten : Farah Adiba

Tanggal Praktikum : 23 Maret 2022 & 13 April 2022

Nilai Laporan :

Paraf Asisten :

LABORATORIUM TEKNIK PENYEHATAN LINGKUNGAN

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK

2022
1

1.1 Tujuan
1.1.1 Modul DO
Tujuan dari percobaan praktikum modul DO adalah untuk mengetahui kadar oksigen
terlarut dari sampel dengan metode iodometri atau modifikasi azida untuk kadar oksigen terlarut
sama atau di bawah kejenuhannya.

1.1.2 Modul BOD


Tujuan dari percobaan praktikum modul BOD adalah untuk memperoleh kadar
kebutuhan oksigen biokimiawi atau yang dikenal sebagai BOD.

1.2 Teori Dasar


1.2.1 Modul Oksigen Terlarut

1.2.1.1 Definisi DO
Oksigen terlarut atau dissolved oxygen (DO) merupakan salah satu ukuran dari beberapa
molekul oksigen yang terlarut dalam air yang tentunya sangat penting dalam keberlangsungan
kehidupan ekosistem perairan. Oksigen dalam air diklasifikasikan sebagai zat yang sukar untuk
larut atau poorly soluble karena oksigen tidak dapat bereaksi dengan air secara kimiawi karena
kelarutan oksigen sangat bergantung pada tekanan parsial oksigen tersebut. Selain itu, kelarutan
dari oksigen juga sangat bervariasi tergantung dengan temperature yang dimilikinya. Maka dari
itu, Hukum Henry digunakan sebagai tolak ukur untuk perhitungan jumlah kadar saturasi oksigen
pada temperatur-temperatur tertentu.
Kadar oksigen yang terlarut pada air umumnya diukur dengan satuan mg/L dan part per
million (ppm). Selain itu, kadar oksigen terlarut yang umumnya terdapat pada perairan tawar
terletak pada rentang 14.6 mg/L pada temperatur 0°C hingga 7 mg/L pada temperatur 35°C pada
tekanan 1 atmosfer. Rentang kadar oksigen tersebut tentunya juga dapat mengindikasikan kondisi
kesehatan ekosistem akuatik tersebut. Pada umumnya, kadar oksigen yang dibutuhkan oleh
kebanyakan makhluk hidup adalah setidaknya lebih atau sama dengan 5 ppm agar makhluk hidup
akuatik tersebut dapat bertahan hidup dan tetap bereproduksi (Sawyer & McCarty, 2003). Berikut
adalah jenis kualitas air berdasarkan kadar oksigen terlarutnya:

Tabel 1 Jenis Kualitas Air Berdasarkan Kadar Oksigen Terlarut


Kualitas Air Oksigen Terlarut (mg/L)
Baik Di atas 8
Sedikit tercemar 6.5–8.0
Tercemar sedang 4.5–6.5

Universitas Indonesia
2

Kualitas Air Oksigen Terlarut (mg/L)


Sangat tercemar 4.0–4.5
Tercemar sangat berat Di bawah 4
Sumber: (Weiner, 2012)

1.2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi DO


Terdapat tiga faktor utama yang umumnya mempengaruhi kadar oksigen terlarut pada
air. Faktor yang pertama adalah temperatur. Mengingat bahwa oksigen merupakan senyawa yang
sukar larut dalam air, kelarutannya bervariasi tergantung dengan tekanan atmosfer pada
temperatur-temperatur tertentu (Sawyer & McCarty, 2003). Hal ini dapat disebabkan salah
satunya karena ketika temperatur pada air meningkat pada kisaran temperatur yang masih dapat
ditolerir, maka laju metabolisme dari organisme akan meningkat juga sebesar dua hingga tiga kali
lipat. Dengan meningkatnya laju metabolisme ini, konsumsi atau kebutuhan oksigen juga akan
semakin meningkat, sementara di waktu yang bersamaan organisme air akan mengalami kesulitan
untuk melakukan respirasi ketika temperature meningkat. Maka dari itu, kadar oksigen akan
semakin berkurang ketika terjadi peningkatan temperatur (Tahir, 2016).

Gambar 1. Hubungan Kelarutan Oksigen dan Nitrogen pada Air Suling dengan
Kondisi 1 atm
Sumber: (Sawyer & McCarty, 2003)
Faktor kedua yang dapat mempengaruhi kadar oksigen terlarut adalah kedalaman air.
Berdasarkan stratifikasi lapisan air, kadar oksigen terlarut akan semakin tinggi pada lapisan
permukaan atau lapisan epilimnion. Hal ini disebabkan karena adanya proses difusi antara air
dengan udara permukaan. Selain itu, pada lapisan permukaan, proses fotosintesis juga masih

Universitas Indonesia
3

berjalan dengan optimal karena penetrasi cahaya dan oksigen yang masuk masih optimum. Maka
dari itu, dengan bertambahnya kedalaman, maka akan terjadi penurunan kadar oksigen terlarut
karena proses fotosintesis yang berkurang dan kadar oksigen yang ada telah terpakai untuk proses
oksidasi dan respirasi bahan-bahan organik dan anorganik yang ada di dalam air (Tahir, 2016).
Selain itu, faktor ketiga yang dapat mempengaruhi kelarutan oksigen dalam air adalah
salinitas. Salinitas merupakan faktor pembatas bagi organisme perairan terutama yang berada
pada range yang sempit. Selain itu, salinitas merupakan indikator utama untuk mengetahui
penyebaran massa air lautan sehingga penyebaran nilai-nilai salinitas secara langsung
menunjukkan penyebaran dan peredaran massa air dari satu tempat ke tempat lainnya.
Kebalikannya terhadap hubungan suhu dan kadar oksigen terlarut, salinitas akan menyebabkan
semakin berkurangnya kadar oksigen terlarut ketika salinitas semakin tinggi. Hal ini disebabkan
karena adanya faktor yang mempengaruhi terjadinya salinitas yang baik secara langsung maupun
secara tidak langsung mempengaruhi kadar oksigen terlarut, seperti curah hujan, pengaliran air
tawar ke laut secara langsung maupun lewat sungai dan gletser, arus laut, turbulensi pencampuran
(mixing), penguapan, serta aksi gelombang (Paena, Suhaimi, & Undu, 2015).

1.2.1.3 Metode Pemeriksaan


Pada awalnya, pengukuran kadar oksigen terlarut dilakukan dengan memanaskan
sampel untuk mengeluarkan atau menguapkan gas-gasnya sehingga gas yang dihasilkan tersebut
dapat dianalisis lebih lanjut menggunakan analisis gas. Namun, metode-metode tersebut
cenderung memakan waktu yang sangat lama dan membutuhkan sampel dalam jumlah yang
besar.
Terdapat tiga metode yang umumnya digunakan dalam penentuan kadar oksigen terlarut
dalam air, yaitu metode winkler atau metode iodometri tanpa modifikasi, metode winkler dengan
modifikasi azida, serta metode winkler dengan modifikasi Rideal-Stewart. Metode winkler atau
metode iodometri dan kedua metode modifikasinya merupakan standar yang digunakan untuk
menentukan kadar oksigen terlarut pada saat ini. Pengujian dilakukan berdasarkan gas oksigen
yang mengoksidasi Mn2+ sehingga bilangan valensinya bertambah dalam keadaan basa. Mangan
dengan valensi yang tinggi ini mampu mengoksidasi I- menjadi I2 dalam keadaan asam. Maka
dari itu, jumlah I2 yang dilepaskan akan sama dengan kadar oksigen terlarut yang hadir.
Selanjutnya, iodine kemudian diukur dengan larutan standar sodium tiosulfat dan diaplikasikan
sebagai kadar oksigen terlarut.
Metode winkler tanpa modifikasi ditujukan untuk dihadapkan dengan banyaknya
interfensi larutan. Beberapa agen pengoksidasi, seperti nitrit dan Fe3+ mampu untuk mengoksidasi
I- menjadi I2. Sementara itu, beberapa agen pereduksi, seperti Fe2+, SO32-, S2-, dan politionat mamu

Universitas Indonesia
4

mereduksi I2 menjadi I- dan menghasilkan produk yang lebih rendah. Metode winkler tanpa
modifikasi ini hanya mampu diaplikasikan pada air murni.
Metode kedua yang dapat digunakan adalah metode winkler dengan modifikasi azida.
Berdasarkan SNI 06-6989-14-2004, metode ini merupakan cara pengujian kadar oksigen terlarut
(DO) dari contoh air dan air limbah, terutama untuk contoh air dan air limbah yang mengandung
lebih besar dari 50 μg NO2 dan kadar besi (II) lebih kecil dari 1 mg/L dengan menggunakan
metode iodometri (modifikasi azida) untuk kadar oksigen terlarut sama atau di bawah
kejenuhannya. Prinsip kerja dari metode ini adalah oksigen terlarut yang bereaksi dengan ion
mangan (II) dalam suasana basa menjadi hidroksida mangan dengan valensi yang lebih tinggi
(Mn IV). Dengan adanya ion yodida (I-) dalam suasana asam, ion mangan (IV) akan kembali
menjadi ion mangan (II) dengna membebaskan iodin (I2) yang setara dengan kandungan oksigen
terlarut. Iodin yang terbentuk kemudian dititrasi dengan sodium tiosulfat dengan indikator
amilum.
Metode ketiga yang dapat digunakan adalah metode winkler dengan modifikasi Rideal-
Stewart merupakan metode modifikasi permanganate yang diciptakan untuk menghadapi akibat
dari banyaknya gangguan yang disebabkan oleh senyawa pereduksi, seperti nitrit. Permanganat
yang ditambahkan dalam jumlah banyak akan mengoksidasi agen pereduksi yang terdapat pada
sampel. Sisa permanganat yang masih ada kemudian dihilangkan dengan penambahan agen
pereduksi, yaitu potassium oksalat.

1.2.1.4 Dampak DO terhadap Lingkungan


Pada umumnya, kadar oksigen terlarut yang ada pada air dihasilkan oleh proses
fotosintesis organisme akuatik tersebut dan sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup biota akuatik
tersebut untuk melakukan metabolismenya secara mandiri dan untuk mengoksidasi material-
material baik organik maupun anorganik yang ada di dalam air sehingga kondisi ekosistem
akuatik tersebut kembali normal. Kadar oksigen terlarut yang ada pada air dapat mempengaruhi
ekosistem akuatik itu sendiri. Ketika kadar oksigen terlarut yang ada pada air tidak dapat
memenuhi kebutuhan biota ekosistem perairan tersebut, maka akan terjadi ketidakseimbangan
yang disebabkan karena matinya makhluk hidup perairan tersebut akibat dari kekurangan kadar
oksigen. Hal ini tentunya juga dapat menyebabkan ketidakseimbangan rantai makanan perairan
tersebut. Akan tetapi, jika kadar oksigen terlarut yang ada pada air dapat memenuhi kebutuhan
biota ekosistem perairan tersebut, maka kadar oksigen terlarut yang ada dapat digunakan untuk
melakukan metabolisme dan untuk mengoksidasi material-material yang ada di dalam air
sehingga kondisi ekosistem biota air tersebut dapat kembali menjadi sehat (Salmin, 2005).

Universitas Indonesia
5

1.2.1.5 Standar Baku Mutu DO


Standar baku mutu yang berlaku di Indonesia mengenai kadar kelarutan oksigen dalam
air adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaran
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22 Tahun 2021 Tentang
Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, disebutkan bahwa kadar
oksigen terlarut (DO) minimal yang diperbolehkan untuk air sungai dan air danau adalah minimal
sebesar 6 mg/L untuk kelas 1, 4 mg/L untuk kelas 2, 3 mg/L untuk kelas 3, serta 1 mg/L untuk
kelas 4 (Peraturan Pemerintah No. 22, 2021).
Berikut adalah peruntukan kelas air berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun
2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup:
• Kelas 1
Merupakan air yang peruntukannya dapat digunakan untuk baku air minum, dan/atau air
peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
• Kelas 2
Merupakan air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air,
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan/atau
peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
• Kelas 3
Merupakan air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air
tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan/atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
• Kelas 4
Merupakan air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman,
dan/atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut.

1.2.1.6 Aplikasi DO dalam Bidang Teknik Lingkungan


Pengujian kadar oksigen terlarut sangat penting jika dikaitkan dengan bidang teknik
lingkungan, khususnya pada suatu badan air. Kadar oksigen terlarut yang ada pada suatu badan
air akan mempengaruhi jumlah organisme yang hidup pada badan air tersebut. Jika kadar oksigen
terlarut pada badan air tersebut tidak memenuhi batasan yang ada, maka organisme aerobik
tersebut akan mengambil alih dan semakin berkembang. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa pengujian kadar oksigen terlarut sangat penting untuk menjaga kondisi aerobik pada air
yang terpapar polusi.

Universitas Indonesia
6

Selain itu, pengujian kadar oksigen terlarut juga dapat digunakan untuk mengontrol
polusi pada limpasan air. Hal ini dapat dikatakan sangat penting guna mempertahankan dan
menjaga kondisi optimum bagi biota badan air tersebut untuk tumbuh dan bereproduksi. Maka
dari itu, untuk tetap menjaga dan mempertahankan kondisi tersebut, diperlukan pemeliharaan
kadar oksigen terlarut agar tetap dapat menopang kehidupan biota yang berada pada badan air
(Sawyer & McCarty, 2003).

1.2.2 Modul BOD

1.2.2.1 Definisi BOD


BOD atau Biochemical Oxygen Demand adalah suatu karakteristik atau ukuran yang
dapat menunjukkan jumlah kandungan oksigen terlarut yang digunakan oleh populasi mikroba
yang terkandung pada suatu perairan sebagai respon terhadap masuknya bahan organik yang
dapat diurai. Bahan organik yang terdekomposisi dalam BOD adalah bahan organik yang siap
terdekomposisi (readily decomposable organic matter). Proses dekomposisi bahan organik ini
dapat diartikan bahwa mikroorganisme biota perairan tersebut memperoleh energi dari proses
oksidasi dan mengonsumsi bahan organik yang terdapat di perairan (Daroini & Arisandi, 2020).
BOD atau Biochemical Oxygen Demand juga sering didefinisikan sebagai jumlah kadar
oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme saat melakukan proses stabilisasi pada material
organik yang terdekomposisi di bawah kondisi aerobik. Dalam hal ini, proses dekomposisi yang
dimaksud adalah ketika material organik dapat berperan sebagai makanan bagi mikroorganisme
sehingga energi dapat diperoleh dari proses oksidasi tersebut. Secara umum, pengujian kadar
BOD di suatu perairan bertujuan untuk menentukan seberapa besar populasi yang dihasilkan oleh
limbah indsutri dan limbah domestik dari segi kebutuhan oksigennya jika limbah-limbah tersebut
dibuang ke dalam badan air dengan kondisi yang aerobic (Sawyer & McCarty, 2003)

1.2.2.2 Faktor yang Mempengaruhi BOD


Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi nilai BOD di antaranya adalah suhu, salinitas,
pH, kecerahan, dan kondisi air secara keseluruhan. Dalam hal ini, suhu akan mempengaruhi kadar
oksigen terlarut yang ada di dalam air. Kadar oksigen terlarut akan jika suhu di dalam air
meningkat. Selain itu, kadar oksigen terlarut juga dipengaruhi oleh kecepatan aliran dan volume
pada suatu perairan. Hal ini disebabkan karena turbulensi pada air dapat memaparkan area
permukaan yang lebih banyak ke udara sehingga dapat membantu oksigen terlarut di lapisan
permukaan yang disebabkan dari difusi udara yang masuk.
Selain itu, BOD juga dapat dipengaruhi oleh adanya total suspended solid (TSS) atau
padatan tersuspensi. Dalam hal ini, oksigen dapat larut dengan mudah pada perairan dengan
kondisi sedikit kandungan padatan tersuspensi (TSS). Padatan terendap dan padatan tersuspensi

Universitas Indonesia
7

ini dapat berpotensi mengurangi penetrasi cahaya matahari ke dalam air sehingga dapat
mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosintesa (Weiner, 2012).
Selain itu, faktor lainnya yang mempengaruhi kadar BOD pada suatu perairan adalah
jumlah senyawa organik yang akan diuraikan, adanya mikroorganisme aerobik yang mampu
menguraikan senyawa organik tersebut, serta tersedianya sejumlah kadar oksigen yang
dibutuhkan untuk proses penguraian atau proses degradasi tersebut (Sawyer & McCarty, 2003).
Hal ini pun juga sejalan dengan formula laju reaksi BOD yang juga berbanding lurus
dengan jumlah material organik biodegradable yang tersisa setiap saat yang juga dipengaruhi
oleh organisme aktif. Ketika populasi organisme telah mencapai titik di mana hanya terjadi sedikit
variasi, maka laju reaksi dikontrol oleh jumlah makanan organisme yang tersisa dan dapat
diekspresikan dalam rumus berikut:
dC
− = k′C
dt
Dengan C merepresentasikan konsentrasi material organik biodegradable (polutan) pada
waktu tertentu (t), dan k’ adalah nilai konstanta dari reaksi tersebut. Hal ini menandakan bahwa
laju reaksi dari BOD akan semakin berkurang seiring dengan konsentrasi C (material organik
biodegradable) yang berkurang juga (Sawyer & McCarty, 2003).

1.2.2.3 Metode Pengukuran BOD


Metode pengukuran BOD atau Biochemical Oxygen Demand dapat dilakukan dengan
beberapa metode, seperti metode langsung (tanpa pengenceran) dan metode dengan pengenceran.
Untuk metode langsung, prosedur yang biasa dilakukan adalah membuat suhu sampel menjadi
20°C dan mengaerasinya dengan udara atmosfer untuk meningkatkan atau mengurangi kadar gas
dari sampel hingga mendekati saturasi. Botol BOD sebanyak dua atau lebih botol kemudian diisi
dengan sampel dan salah satunya kemudian dianalisis untuk kadar oksigen terlarutnya, dan yang
satunya lagi diinkubasi selama lima hari pada suhu 20°C. Setelah lima hari, jumlah kadar oksigen
terlarut yang tersisa pada sampel yang diinkubasi kemudian dapat ditentukan, dan kadar BOD
hari ke-5 kemudian dapat dihitung dengan mengurangi nilai hasil pada hari ke-5 dengan nilai hasil
pada hari ke-0.
Untuk metode dengan pengenceran (metode dilusi), digunakan larutan pengencer
berupa air suling atau air yang telah terdistilasi karena larutan pengencer yang digunakan pada
metode ini harus bebas dari zat-zat yang berbahaya, seperti klorin atau kloramin. Kadar pH pada
larutan pengencer juga harus berada pada rentang 6.5 – 8.5.
Metode pengujian BOD juga tercantum dalam SNI 6989.72-2009 tentang Cara Uji
Kebutuhan Oksigen Biokimia (BOD). Berdasarkan SNI 6989.72-2009, metode pengujian BOD
tersebut menggunakan prinsip di mana sejumlah contoh uji ditambahkan ke dalam larutan

Universitas Indonesia
8

pengencer jenuh oksigen yang telah ditambah larutan nutrisi dan bibit mikroba yang kemudian
diinkubasi dalam ruang gelap pada suhu 20°C ± 1°C selama lima hari. Nilai BOD kemudian dapat
dihitung berdasarkan selisih konsentrasi oksigen terlarut hari ke-0 dan hari ke-5. Bahan kontrol
standar dalam uji BOD tersebut adalah menggunakan larutan glukosa-asam glutamat. Tahapan
prosedur dari pengujian ini diawali dengan mengondisikan contoh uji pada suhu 20°C ± 3°C dan
pada pH 6 – 8 serta menghilangkan zat-zat pengganggu (bagi contoh uji yang mengandung klorin
sisa, mengandung senyawa toksik, dan mengandung hidrogen peroksida). Lalu, contoh uji yang
mendapat hasil ∆DO > 2 mg/L dan DO5 > 1 mg/L selanjutnya diencerkan. Kemudian, botol DO
atau botol Winkler disiapkan dan diisi dengan contoh uji yang kemudian diukur kandungan DO0
dengan DO meter atau titrasi secara iodometri. Selanjutnya, botol Winkler kemudian diinkubasi
pada suhu 20°C ± 1°C selama lima hari ± 6 jam. Kemudian, DO5 dapat diukur dengan DO meter
atau titrasi secara iodometri. Setelah itu, pengerjaan diulang untuk blanko (air pengencer) dan
kontrol standar (GGA) dan kemudian dapat menentukan kadar masing-masing DO0 dan DO5.
Setelah itu, kadar konsentrasi BOD dapat ditentukan (SNI 6989.72-2009 tentang Cara Uji
Kebutuhan Oksigen Biokimia (BOD), 2009)

1.2.2.4 Dampak Kegiatan Manusia Terhadap BOD


Perilaku masyarakat sangat berpengaruh dan sangat memegang peranan penting
terhadap kualitas air sungai. Perilaku-perilaku seperti pembuangan sampah yang sembarangan,
pengumpulan timbulan sampah pada TPS-TPS illegal, sangat berdampak kepada kualitas sungai
di dekatnya. Keberadaan TPS illegal tersebut dapat mengancam kualitas sungai terutama ketika
musim penghujan dan sampah-sampah sudah menumpuk yang akan menyebabkan sampah
tersebut mengalir ke sungai. Selain itu, aktivitas limbah domestik dan limbah industri juga dapat
meningkatkan konsentrasi BOD yang terdapat pada suatu badan air. Selain itu, perubahan pola
dan pemanfaatan lahan menjadi lahan pertanian dan permukiman yang diiringi dengan
meningkatnya industri juga dapat memberikan dampak terhadap kondisi hidrologi setempat.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembuangan baik limbah industri maupun limbah
domestik dapat meningkatkan kadar BOD dalam badan air. Akibatnya, konsentrasi nilai BOD
yang tinggi pada badan air juga dapat menyebabkan pendangkalan akibat adanya sedimen-
sedimen yang mengendap di dasar sungai (Anwariani, 2019).

1.2.2.5 Dampak BOD Terhadap Lingkungan


Banyaknya material organik yang melebihi standar baku mutu di suatu perairan dapat
merusak kadar kimia air dan menyebabkan kandungan oksigen terlarut di suatu perairan menjadi
kritis. Kadar kimia air yang rusak tersebut akan berpengaruh terhadap peran atau fungsi dari
perairan itu sendiri. Jumlah polutan yang terdapat di perairan dapat mempengaruhi tingginya
pencemaran yang ditampung oleh badan perairan akibat air buangan domestik yang berasal dari

Universitas Indonesia
9

penduduk maupun buangan dari proses-proses industri. Kandungan BOD yang tinggi jug
menandakan minimnya oksigen terlarut yang terdapat di dalam perairan. Kandungan BOD yang
tinggi akan berdampak terhadap kematian organisme perairan, seperti ikan, akibat kekurangan
oksigen terlarut (anoxia) (Daroini & Arisandi, 2020).

1.2.2.6 Hubungan BOD dengan DO dan COD


Parameter Biochemical Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD) dan
Dissolved Oxygen (DO) merupakan parameter yang sering digunakan untuk mengidentifikasi
konsentrasi zat organik di dalam air. Ketiga parameter tersebut merupakan tiga di antara
parameter kualitas air di Indonesia yang diatur berdasarkan baku mutu yang berlaku di Indonesia.
Secara umum, kandungan BOD dan COD di dalam air diidentifikasi untuk menggambarkan
banyaknya zat organik yang terlarut dalam air tersebut. Dalam hal ini, BOD merupakan jumlah
oksigen terlarut (DO) yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan dan mengoksidasi seluruh
bahan organik yang terlarut di dalam air. Sementara itu, COD merupakan kebutuhan oksigen
kimia untuk mengurai seluruh bahan organik yang terkandung di dalam air.
Pada prinsipnya, pengujian konsentrasi BOD menggunakan konsentrasi oksigen terlarut
awal (DO0) dari sampel yang kemudian mengukur konsentrasi oksigen terlarut tersebut setelah
diinkubasi selama lima hari (DO5) pada kondisi gelap dan suhu tetap (20°C). Selisih DO0 dan DO5
merupakan nilai BOD yang dinyatakan dalam satuan milligram oksigen per liter. Sementara itu,
prinsip dari pengukuran COD adalah dengan melakukan penambahan kalium bikromat sebagai
oksidator pada sampel yang telah ditambahkan asam pekat dan katalis perak sulfat yang kemudian
dipanaskan selama beberapa waktu. Jumlah kalium bikromat yang terpakai untuk oksidasi bahan
organik dalam sampel tersebut kemudian dapat dihitung dan konsentrasi COD dapat ditentukan.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa nilai BOD baru dapat diidentifikasi setelah waktu
inkubasi selama lima hari. Sementara itu, nilai COD dapat segera diketahui setelah satu atau dua
jam. Walaupun demikian, jumlah total bahan organik dapat diketahui melalui COD dengan waktu
penentuan yang lebih cepat, nilai BOD tetap masih diperlukan. Selain itu, dengan
membandingkan nilai BOD terhadap COD, maka besaran jumlah bahan-bahan organik yang lebih
persisten yang ada di perairan dapat diidentifikasi (Zoko, 2013).
Selain itu, nilai kadar COD yang didapatkan pada suatu penelitian akan selalu lebih
tinggi jika dibandingkan dengan nilai kadar BOD. Hal ini disebabkan karena banyaknya zat
organik yang dioksidasi secara kimiawi tetapi tidak dapat dioksidasi biologis. Selain itu, nilai
BOD juga hanya terpengaruh pada jumlah TSS dan zat organik yang ada dalam air. Sementara
itu, nilai COD adalah total keseluruhan dari pengotor TSS, jumlah zat organik, mineral bervalensi
rendah, dan ditambah dengan zat kimia yang memakan oksigen (oxygen scavenger) (Royani,
Fitriana, Enarga, & Bagaskara, 2021).

Universitas Indonesia
10

1.2.2.7 Alasan BOD Menjadi Parameter


BOD merupakan suatu parameter penduga dari jumlah kadar oksigen terlarut yang
tentunya diperlukan oleh perairan untuk mendegradasi material organik yang terkandung di
dalamnya yang juga sekaligus merupakan gambaran bahan organik yang mudah urai
(biodegradable) yang ada dalam air atau perairan yang bersangkutan. Apabila pengujian BOD
dilakukan tanpa perlakuan tertentu dan dengan melakukan inkubasi pada suhu yang setara dengan
suhu perairan (20 derajat Celcius), maka kadar BOD ini dapat menggambarkan kemampuan suatu
badan air dalam mendegradasi material organik. Dengan demikian, BOD memegang peranan
penting sebagai parameter dalam baku mutu air limbah atau sebagai parameter pencemaran
lainnya. Hal ini disebabkan karena peranan BOD sebagai penduga pencemaran material organik
dan kaitannya dengan penurunan jumlah lonsentrasi oksigen terlarut pada suatu perairan, di mana
oksigen juga memegang peranan penting dalam kehidupan ekosistem biota air. BOD juga
berperan sebagai parameter yang setara dengan parameter lainnya yang juga menjadi parameter
kunci dalam dugaan pencemaran yang diakibatkan oleh kegiatan tertentu (Atima, 2015).

1.2.2.8 Standar Baku Mutu BOD


Standar baku mutu yang berlaku di Indonesia mengenai kadar kebutuhan oksigen
biokimiawi (BOD) dalam air adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22 Tahun
2021 Tentang Penyelenggaran Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22 Tahun 2021 Tentang
Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, disebutkan bahwa kadar
kebutuhan oksigen biokimiawi (BOD) maksimal yang diperbolehkan untuk air sungai dan air
danau adalah maksimal sebesar 2 mg/L untuk kelas 1, 3 mg/L untuk kelas 2, 6 mg/L untuk kelas
3, serta 12 mg/L untuk kelas 4 (Peraturan Pemerintah No. 22, 2021).
Berikut adalah peruntukan kelas air berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun
2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup:
• Kelas 1
Merupakan air yang peruntukannya dapat digunakan untuk baku air minum, dan/atau air
peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
• Kelas 2
Merupakan air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air,
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan/atau
peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

Universitas Indonesia
11

• Kelas 3
Merupakan air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air
tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan/atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
• Kelas 4
Merupakan air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman,
dan/atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut.

1.2.2.9 Aplikasi BOD dalam Bidang Teknik Lingkungan


Dalam bidang teknik lingkungan, BOD dapat berperan sebagai parameter dasar untuk
pembuangan limbah domestik dan limbah industri yang berfungsi untuk menentukan jumlah
kebutuhan oksigen yang digunakan untuk proses stabilisasi. Pengujian BOD ini memberikan hasil
berupa jumlah kadar material organik yang teroksidasi secara biologis. Maka dari itu, saat ini
BOD menjadi parameter wajib yang digunakan dalam pengendalian pencemaran pada suatu
badan air di mana material organik harus dibatasi agar kadar konsentrasi oksigen terlarut yang
diinginkan dapat dipertahankan (Sawyer & McCarty, 2003).

1.2.2.10 Pengolahan untuk BOD


Secara umum, terdapat banyak metode yang telah dikembangkan untuk menurunkan
kadar bahan pencemar dari badan perairan baik secara fisika maupun kimia, seperti metode
elektrokimia, presipitasi, evaporasi, dan sebagainya. Namun, metode-metode tersebut dianggap
tidak efektif karena membutuhkan biaya yang relatif tinggi. Maka dari itu, metode-metode yang
dianggap cocok untuk menurunkan kadar bahan pencemar dari badan perairan, seperti BOD,
COD, dan sebagainya ialah pengolahan yang dilakukan secara biologis, seperti pengolahan
lumpur aktif (activated sludge), reaktor kombinasi anaerob-aerob, reverse osmosis (RO), trickling
filter, reaktor biologis putar (rotating biological contactor/RBC).
Pengolahan limbah cair dengan proses trickling filter merupakan proses pengolahan
yang dilakukan dengan cara menyebarkan air limbah ke dalam suatu tumpukan atau media yang
terdiri dari bahan batu pecah atau kerikil, bahan keramik, sisa tanur, dan media dari bahan plastik.
Cara tersebut membuat permukaan media akan ditumbuhi oleh lapisan biologis atau biofilm,
seperti lender. Lapisan biofilm tersebut akan bersentuhan dengan air limbah sehingga senyawa
polutan yang ada di dalam air limbah tersebut dapat terurai. Prinsip pengolahan proses pengolahan
limbah cair dengan metode ini hampir menyerupai dengan metode lumpur aktif atau activated
sludge, di mana mikroorganisme berkembang biak dan menempel pada permukaan media
penyangga. Selain itu, senyawa polutan yang ada di dalam air limbah akan terdifusi ke dalam

Universitas Indonesia
12

lapisan biofilm yang melekat pada permukaan medium. Bahan organik yang terdapat pada air
limbah akan didegradasi oleh mikroorganisme yang menempel pada permukaan media trickling
filter menjadi air, gas, dan sel-sel mikroorganisme baru (Rizkiyanti & Alfiah, 2018).
Sementara itu, sistem RBC (rotating biological contactor) merupakan sistem penglahan
sekunder yang didahului oleh unit pengolahan primer lainnya, seperti tanki septik, filter
anaerobik, dan sebagainya. RBC merupakan sebuah alternatif untuk teknologi pengolahan air
limbah seperti lumpur aktif. Pada prosesnya, mikroorganisme tumbuh dengan merendahkan
substrat yang menarik pertumbuhan mikroorganisme pada sebuah static biological film. Sistem
RBC iini mempunyai keunggulan, di antaranya adalah memiliki kapasitas yang tinggi untuk
mentolerir fluktuasi air limbah dan dapat menghasilkan efisiensi transfer oksigen yang tinggi
sehingga pada hasil akhirnya akan menghasilkan biaya yang lebih sedikit (Rilisavitri, 2021).

1.3 Prosedur Praktikum


1.3.1 Modul DO
Tabel 2. Prosedur Praktikum Modul DO
No Prosedur Kerja Catatan Gambar
Alat pelindung diri terdiri dari jas
Memastikan standar laboratorium, masker, sepatu
kemananan laboratorium tertutup, serta sarung tangan yang
1 telah terpenuhi dengan berfungsi untuk memenuhi
menggunakan alat pelindung keamanan laboratorium dan
diri. mencegah terjadinya kecelakaan
kerja.
Alat dan bahan yang digunakan
adalah sebagai berikut:
o Statif
o Buret dan Klem
o Kertas Titar
Menyiapkan alat dan bahan
o Labu Erlenmeyer
2 yang digunakan dalam
o Pipet volume 50 mL
praktikum.
o Pipet ukur dan bulb
o Air suling
o Amilum
o MnSO4
o Alkali iodida

Universitas Indonesia
13

No Prosedur Kerja Catatan Gambar


o Air sampel
o Botol Winkler
o Pipet Tetes
o Asan Sulfat
Pengukuran DO Menggunakan Metode Iodometri pada Botol Winkler
Proses penuangan dilakukan
Air Sampel
secara perlahan dan hati-hati agar
Menuangkan air sampel ke
air sampel tidak melebihi atau
dalam botol Winkler
kurang dari batas atas leher botol
1 bervolume 300 mL hingga
sehingga mengurangi potensi
mencapai batas atas leher
udara yang tertinggal di dalam
botol.
botol yang dapat mengganggu
percobaan.
Alat pipet ukur dan bulb yang
digunakan pada proses ini
Mengambil 1 mL larutan
berfungsi untuk memindahkan
2 MnSO4 menggunakan pipet
larutan dengan menekan bagian Larutan
ukur dan bulb.
tertentu sesuai dengan prosedur Mangan
Sulfat
penggunaannya.
Proses pemasukkan larutan
mangan sulfat ini menggunakan
Larutan
pipet yang ditempatkan tepat di
Memasukkan larutan MnSO4 Mangan
3 atas permukaan larutan dan Sulfat
ke dalam botol Winkler.
dilakukan secara hati-hati dan
perlahan agar menghindari
terjadinya tumpahan.
Alat pipet ukur dan bulb yang
Mengambil 1 mL larutan digunakan pada proses ini
alkali iodida azida berfungsi untuk memindahkan
4
menggunakan pipet ukur dan larutan dengan menekan bagian Alkali
bulb. tertentu sesuai dengan prosedur Iodida
penggunaannya. Azida

Universitas Indonesia
14

No Prosedur Kerja Catatan Gambar


Proses pemasukkan larutan iodida
azida ini menggunakan pipet yang
ditempatkan tepat di atas
Memasukkan larutan alkali permukaan larutan dan dilakukan
5 iodida azida ke dalam botol secara hati-hati dan perlahan agar
Winkler. menghindari terjadinya tumpahan.
Larutan alkali iodida akan
menyebabkan air sampel menjadi
keruh.

Botol Winkler ditutup agar


6 Menutup botol Winkler. mencegah terjadinya penguapan
larutan.

Proses homogenisasi dilakukan


dengan cara membolak-balikkan
botol Winkler dengan tangan
Menghomogenkan larutan
7 kanan memegang bagian atas gelas
pada botol Winkler.
ukur. Proses homogenisasi
berfungsi agar partikel dalam air
sampel tersebar secara merata.

Botol Winkler didiamkan selama


Mendiamkan botol Winkler
8 10 menit hingga terjadi
selama 10 menit.
pengendapan pada larutan sampel.

Ruang asam merupakan ruangan


yang berfungsi untuk menjaga
Memindahkan botol Winkler keamanan praktikan dari potensi
9
ke ruang asam. paparan asam yang berbahaya dari
suatu bahan kimia ketika
menggunakan larutan asam.

Universitas Indonesia
15

No Prosedur Kerja Catatan Gambar


Alat pipet ukur dan bulb yang
digunakan pada proses ini
berfungsi untuk memindahkan
larutan dengan menekan bagian
Mengambil 1 mL asam sulfat
tertentu sesuai dengan prosedur
10 pekat dengan menggunakan
penggunaannya. Proses
pipet ukur dan bulb.
pengambilan dilakukan secara Asam
Sulfat
perlahan dan hati-hati sehingga
Pekat
volume pada pipet ukur tidak
berkurang dan tumpah.

Membuka tutup botol


11
Winkler

Proses pemasukkan larutan asam


Asam
sulfat harus dilakukan segera agar Sulfat
Memasukkan larutan asam tidak terjadi pengurangan volume Pekat
12
sulfat ke dalam botol Winkler. karena tetesan dari pipet dan
menghindari potensi paparan dari
asam sulfat tersebut.

Botol Winkler ditutup agar


Menutup kembali botol
13 mencegah terjadinya penguapan
Winkler.
larutan.

Proses homogenisasi dilakukan


dengan cara membolak-balikkan
Menghomogenkan larutan botol Winkler dengan tangan
14
pada botol Winkler. kanan memegang bagian atas gelas
ukur. Proses homogenisasi
berfungsi agar partikel dalam air

Universitas Indonesia
16

No Prosedur Kerja Catatan Gambar


sampel tersebar secara merata dan
endapan terlarut dengan sempurna.
Alat pipet ukur dan bulb yang
digunakan pada proses ini
Mengambil larutan tiosulfat
berfungsi untuk memindahkan
15 dengan menggunakan pipet
larutan dengan menekan bagian
ukur dan bulb. Larutan
tertentu sesuai dengan prosedur
Tiosulfat
penggunaannya.

Memasukkan larutan tiosulfat


16
ke dalam buret.

Membuka tutup botol


17
Winkler.

Alat pipet ukur dan bulb yang


digunakan pada proses ini
Mengambil air sampel berfungsi untuk memindahkan
sebanyak 50 mL larutan dengan menekan bagian
18
menggunakan pipet volume tertentu sesuai dengan prosedur
dan bulb. penggunaannya. Proses ini
Air
dilakukan hingga pipet mencapai Sampel
volume 50 mL.

Proses ini dilakukan dengan cara


Memasukkan air sampel ke Air
tangan kanan memegang pipet dan Sampel
19 dalam labu Erlenmeyer 250
tangan kiri memegang labu
mL.
Erlenmeyer yang dimiringkan.

Universitas Indonesia
17

No Prosedur Kerja Catatan Gambar


Alat pipet ukur dan bulb yang
digunakan pada proses ini
berfungsi untuk memindahkan Larutan
Amilum
Mengambil larutan amilum larutan dengan menekan bagian
20
dengan pipet tetes. tertentu sesuai dengan prosedur
penggunaannya. Pada proses ini,
diteteskan larutan amilum
sebanyak tiga tetes.

Larutan
Memasukkan larutan amilum Amilum
21
ke dalam labu Erlenmeyer.

Proses homogenisasi dilakukan


dengan cara memutar-muter labu
Erlenmeyer dengan tangan kanan.
Menghomogenkan larutan Proses homogenisasi berfungsi
22
pada labu Erlenmeyer. agar partikel dalam air sampel
tersebar secara merata. Proses ini
dilakukan hingga larutan berubah
warna menjadi kuning kecoklatan.

Titrasi dilakukan dengan cara


tangan kiri memegang buret dan
tangan kanan memegang labu
Melakukan titrasi pada air Erlenmeyer sambal
23
sampel. mengguncangkannya. Proses
titrasi ini dilakukan hingga air
sampel berubah warna menjadi
bening atau tidak berwarna.

Mencatat volume natrium Berdasarkan hasil pengamatan,


24 thiosulfat yang digunakan didapatkan hasil volume natrium
pada proses titrasi. thiosulfat yang digunakan selama

Universitas Indonesia
18

No Prosedur Kerja Catatan Gambar


proses titrasi adalah sebesar 0,45
mL.
Sumber: (Praktikan, 2022)

1.3.2 Modul BOD


Tabel 3. Prosedur Praktikum Modul DO
No Prosedur Kerja Catatan Gambar
Alat pelindung diri terdiri dari jas
Memastikan standar laboratorium, masker, sepatu
kemananan laboratorium tertutup, serta sarung tangan yang
1 telah terpenuhi dengan berfungsi untuk memenuhi
menggunakan alat pelindung keamanan laboratorium dan
diri. mencegah terjadinya kecelakaan
kerja.
Alat dan bahan yang digunakan
adalah sebagai berikut:
o 4 buah botol Winkler
o Inkubator suhu ± 20°C
o Buret
o Klem
o Statif
o Pipet ukur
o Pipet volume
Menyiapkan alat dan bahan
o Pipet tetes
2 yang digunakan dalam
o Labu Erlenmeyer
praktikum.
o Bulb
o Magnetic stirrer
o Beaker glass 2L
o Gelas ukur
o Larutan buffer fosfat
o Larutan magnesium
sulfat
o Larutan kalsium klorida
o Larutan besi III klorida

Universitas Indonesia
19

No Prosedur Kerja Catatan Gambar


o Larutan mangan sulfat
o Larutan alkali iodida
azida
o Larutan asam sulfat
pekat
o Amilum
o Larutan tiosulfat
o Air sampel
o Air suling
Pembuatan Larutan Pengencer dan Larutan Sampel

Proses penuangan dilakukan


Menuangkan 2 liter air suling
secara perlahan dan hati-hati agar
ke dalam beaker glass 2000
1 mengurangi potensi tumpahan air
mL yang didalamnya sudah
yang dapat mengakibatkan
terdapat magnetic stirrer.
pengurangan volume larutan.

Alat pipet ukur dan bulb yang


Memasukkan 2 mL larutan Larutan
digunakan pada proses ini
buffer fosfat dengan buffer
berfungsi untuk memindahkan fosfat
2 menggunakan pipet ukur dan
larutan dengan menekan bagian
bulb ke dalam beaker glass
tertentu sesuai dengan prosedur
2000 mL.
penggunaannya.

Universitas Indonesia
20

No Prosedur Kerja Catatan Gambar


Alat pipet ukur dan bulb yang
digunakan pada proses ini
Memasukkan 2 mL larutan berfungsi untuk memindahkan Larutan
magnesi
magnesium sulfat dengan larutan dengan menekan bagian
um
3 menggunakan pipet ukur dan tertentu sesuai dengan prosedur sulfat
bulb yang baru ke dalam penggunaannya. Penggunaan pipet
beaker glass 2000 mL. ukur dan bulb yang baru bertujuan
untuk menghindari terjadinya
kontaminasi antarsampel.
Alat pipet ukur dan bulb yang
digunakan pada proses ini
Memasukkan 2 mL larutan berfungsi untuk memindahkan Larutan
feri
besi III klorida dengan larutan dengan menekan bagian
klorida
4 menggunakan pipet ukur dan tertentu sesuai dengan prosedur
bulb yang baru ke dalam penggunaannya. Penggunaan pipet
beaker glass 2000 mL. ukur dan bulb yang baru bertujuan
untuk menghindari terjadinya
kontaminasi antarsampel.
Alat pipet ukur dan bulb yang
digunakan pada proses ini
Memasukkan 2 mL larutan berfungsi untuk memindahkan Larutan
kalsium
kalsium klorida dengan larutan dengan menekan bagian
klorida
5 menggunakan pipet ukur dan tertentu sesuai dengan prosedur
bulb yang baru ke dalam penggunaannya. Penggunaan pipet
beaker glass 2000 mL. ukur dan bulb yang baru bertujuan
untuk menghindari terjadinya
kontaminasi antarsampel.

Universitas Indonesia
21

No Prosedur Kerja Catatan Gambar


Alat pipet ukur dan bulb yang
digunakan pada proses ini
Memasukkan 2 mL larutan air berfungsi untuk memindahkan Air
suling dengan menggunakan larutan dengan menekan bagian suling

6 pipet ukur dan bulb yang baru tertentu sesuai dengan prosedur
ke dalam beaker glass 2000 penggunaannya. Penggunaan pipet
mL. ukur dan bulb yang baru bertujuan
untuk menghindari terjadinya
kontaminasi antarsampel.

Proses ini bertujuan untuk


Melakukan pengadukan membuat larutan pengencer yang
7 dengan magnetic stirrer nantinya digunakan dalam proses
selama 30 menit. praktikum dan untuk
menghomogenkan larutan.

Menuangkan larutan Pada proses ini, akan terbentuk


pengencer masing-masing larutan blanko hari ke-0 dan hari
8
sebanyak 300 mL ke dalam 2 ke-5 yang nantinya digunakan
botol Winkler. dalam proses praktikum.

Pada proses ini, dilakukan dengan


Mencampurkan larutan derajat pengenceran sebesar 0,25,
9
pengencer dengan air sampel larutan pengencer 750 mL dan air
sampel 250 mL.

Universitas Indonesia
22

No Prosedur Kerja Catatan Gambar

Pada proses ini, akan terbentuk


Mengaduk larutan dengan larutan sampel yang nantinya
10
batang pengaduk digunakan dalam proses
praktikum.

Proses ini bertujuan untuk


Menuangkan larutan sampel
memisahkan larutan sampel hari
ke dalam 2 botol Winkler
11 ke 0 dan hari ke-5 yang digunakan
masing-masing sebanyak 300
secara terpisah pada proses
mL
praktikum.
Pengujian DO

Memasukkan larutan blanko


Suhu 20 derajat dinilai sebagai
dan larutan sampel hari ke-5
1 suhu yang setara dengan suhu
ke dalam inkubator suhu 20 ±
perairan.
1°C terlebih dahulu.

Alat pipet ukur dan bulb yang


digunakan pada proses ini
Mengambil 1 mL larutan
berfungsi untuk memindahkan
2 MnSO4 menggunakan pipet
larutan dengan menekan bagian Larutan
ukur dan bulb.
tertentu sesuai dengan prosedur Mangan
Sulfat
penggunaannya.

Universitas Indonesia
23

No Prosedur Kerja Catatan Gambar


Proses pemasukkan larutan Larutan
Mangan
mangan sulfat ini menggunakan Sulfat
Memasukkan larutan MnSO4
pipet yang ditempatkan tepat di
ke dalam botol Winkler yang
3 atas permukaan larutan dan
berisi larutan blanko hari ke-
dilakukan secara hati-hati dan Larutan
0. Blanko
perlahan agar menghindari hari 0
terjadinya tumpahan.
Alat pipet ukur dan bulb yang
Mengambil 1 mL larutan digunakan pada proses ini
alkali iodida azida berfungsi untuk memindahkan
4
menggunakan pipet ukur dan larutan dengan menekan bagian Alkali
bulb. tertentu sesuai dengan prosedur Iodida
penggunaannya. Azida

Proses pemasukkan larutan iodida


Alkali
azida ini menggunakan pipet yang
Iodida
ditempatkan tepat di atas Azida
Memasukkan larutan alkali
permukaan larutan dan dilakukan
iodida azida ke dalam botol
5 secara hati-hati dan perlahan agar
Winkler yang berisi larutan
menghindari terjadinya tumpahan.
blanko hari ke-0.
Larutan alkali iodida akan Larutan
Blanko
menyebabkan air sampel menjadi hari 0

keruh.

Botol Winkler ditutup agar


6 Menutup botol Winkler. mencegah terjadinya penguapan
larutan.

Proses homogenisasi dilakukan


dengan cara membolak-balikkan
Menghomogenkan larutan
7 botol Winkler dengan tangan
pada botol Winkler.
kanan memegang bagian atas gelas
ukur. Proses homogenisasi

Universitas Indonesia
24

No Prosedur Kerja Catatan Gambar


berfungsi agar partikel dalam air
sampel tersebar secara merata.

Botol Winkler didiamkan selama


Mendiamkan botol Winkler
8 10 menit hingga terjadi
selama 10 menit.
pengendapan pada larutan sampel.

Ruang asam merupakan ruangan


yang berfungsi untuk menjaga
Memindahkan botol Winkler keamanan praktikan dari potensi
9
ke ruang asam. paparan asam yang berbahaya dari
suatu bahan kimia ketika
menggunakan larutan asam.

Alat pipet ukur dan bulb yang


digunakan pada proses ini
berfungsi untuk memindahkan
larutan dengan menekan bagian
Mengambil 1 mL asam sulfat
tertentu sesuai dengan prosedur
10 pekat dengan menggunakan
penggunaannya. Proses
pipet ukur dan bulb.
pengambilan dilakukan secara Asam
Sulfat
perlahan dan hati-hati sehingga
Pekat
volume pada pipet ukur tidak
berkurang dan tumpah.

Membuka tutup botol


11
Winkler

Universitas Indonesia
25

No Prosedur Kerja Catatan Gambar

Proses pemasukkan larutan asam


Asam
sulfat harus dilakukan segera agar Sulfat
Memasukkan larutan asam tidak terjadi pengurangan volume Pekat
12
sulfat ke dalam botol Winkler. karena tetesan dari pipet dan
menghindari potensi paparan dari
asam sulfat tersebut.

Botol Winkler ditutup agar


Menutup kembali botol
13 mencegah terjadinya penguapan
Winkler.
larutan.

Proses homogenisasi dilakukan


dengan cara membolak-balikkan
botol Winkler dengan tangan
Menghomogenkan larutan kanan memegang bagian atas gelas
14
pada botol Winkler. ukur. Proses homogenisasi
berfungsi agar partikel dalam air
sampel tersebar secara merata dan
endapan terlarut dengan sempurna.
Alat pipet ukur dan bulb yang
digunakan pada proses ini
Mengambil larutan tiosulfat
berfungsi untuk memindahkan
15 dengan menggunakan pipet
larutan dengan menekan bagian
ukur dan bulb. Larutan
tertentu sesuai dengan prosedur
Tiosulfat
penggunaannya.

Memasukkan larutan tiosulfat


16
ke dalam buret.

Universitas Indonesia
26

No Prosedur Kerja Catatan Gambar

Membuka tutup botol


17
Winkler.

Alat pipet ukur dan bulb yang


digunakan pada proses ini
Mengambil air sampel berfungsi untuk memindahkan
sebanyak 50 mL larutan dengan menekan bagian
18
menggunakan pipet volume tertentu sesuai dengan prosedur
dan bulb. penggunaannya. Proses ini
Air
dilakukan hingga pipet mencapai Sampel
volume 50 mL.

Proses ini dilakukan dengan cara


Memasukkan air sampel ke Air
tangan kanan memegang pipet dan Sampel
19 dalam labu Erlenmeyer 250
tangan kiri memegang labu
mL.
Erlenmeyer yang dimiringkan.

Alat pipet ukur dan bulb yang


digunakan pada proses ini
berfungsi untuk memindahkan Larutan
Amilum
Mengambil larutan amilum larutan dengan menekan bagian
20
dengan pipet tetes. tertentu sesuai dengan prosedur
penggunaannya. Pada proses ini,
diteteskan larutan amilum
sebanyak tiga tetes.

Larutan
Memasukkan larutan amilum Amilum
21
ke dalam labu Erlenmeyer.

Universitas Indonesia
27

No Prosedur Kerja Catatan Gambar


Proses homogenisasi dilakukan
dengan cara memutar-muter labu
Erlenmeyer dengan tangan kanan.
Menghomogenkan larutan Proses homogenisasi berfungsi
22
pada labu Erlenmeyer. agar partikel dalam air sampel
tersebar secara merata. Proses ini
dilakukan hingga larutan berubah
warna menjadi kuning kecoklatan.

Titrasi dilakukan dengan cara


tangan kiri memegang buret dan
tangan kanan memegang labu
Melakukan titrasi pada air Erlenmeyer sambal
23
sampel. mengguncangkannya. Proses
titrasi ini dilakukan hingga air
sampel berubah warna menjadi
bening atau tidak berwarna.

Berdasarkan hasil pengamatan,


didapatkan hasil volume natrium
thiosulfat yang digunakan selama
Mencatat volume natrium proses titrasi adalah sebesar 0,45
24 thiosulfat yang digunakan mL untuk larutan sampel hari ke-0,
pada proses titrasi. 0,1 mL untuk larutan sampel hari
ke-5, 0,6 mL untuk larutan blanko
hari ke-0, serta 0,45 untuk larutan
blanko hari ke-5

Mengulangi langkah yang


25 sama untuk larutan sampel
pada hari ke-0

Universitas Indonesia
28

No Prosedur Kerja Catatan Gambar

Mengeluarkan larutan blanko


26 dan larutan sampel hari ke-5
dari dalam inkubator.

Melakukan uji DO untuk


larutan blanko dan larutan
27 sampel pada hari ke-5 dengan
prosedur yang sama dengan
hari ke-0
Sumber: (Praktikan, 2022)

1.4 Hasil Pengamatan


1.4.1 Modul DO
Berikut adalah hasil dari pengamatan yang dilakukan oleh praktikan pada modul ini:
Tabel 4. Hasil Pengamatan Data Modul DO
Volume Titrasi dengan Natrium
0,45 mL
Thiosulfat
Normalitas Natrium Thiosulfat 0,1 N
Volume Botol Winkler 300 mL
Volume Pereaksi MnSO4 1 mL
Volume Alkali Iodida Azida 1 mL
Sumber: (Praktikan, 2022)

1.4.1.1 Pengolahan Data


Berdasarkan hasil pengamatan di atas, maka selanjutnya dapat dihitung nilai faktor agar
dapat menghitung data selanjutnya, yaitu konsentrasi oksigen terlarut seperti di bawah:
• Perhitungan Faktor
Vol. Botol
F=
(Vol. Botol − Vol. MnSO4 − Vol. Alkali Iodida Azida)
300 mL
F= = 1,01
(300 mL − 1 mL − 1 mL)
• Konsentrasi Oksign Terlarut (DO) dari Sampel Sungai X
mg V × N × 8000 × F
Oksigen Terlarut ( ⁄L) =
50

Universitas Indonesia
29

mg 0,45 × 0,1 × 8000 × 1,01 mg


Oksigen Terlarut ( ⁄L) = = 7,272 ⁄L
50
Dengan:
V = Volume Natrium Thiosulfat (mL)
N = Normalitas Natrium Thiosulfat (N)
F = Nilai Faktor

1.4.2 Modul BOD


Berikut adalah hasil dari pengamatan yang dilakukan oleh praktikan pada modul ini:
Tabel 5. Hasil Data Pengamatan Modul BOD
Normalitas Na2S2O3 0,1 N
Volume botol Winkler 300 mL
Volume perekasi MnSO4 1 mL
Volume alkali iodida azida 1 mL
Sumber: (Praktikan, 2022)

Tabel 6. Hasil Data Pengamatan Modul BOD


Volume titrasi dengan Na2S2O3
Hari Sampel Blanko
0 0,45 mL 0,6 mL
5 0,1 mL 0,45 mL
Sumber: (Praktikan, 2022)

1.4.2.1 Pengolahan Data


Berdasarkan hasil pengamatan di atas, maka selanjutnya dapat dilakukan perhitungan
faktor yang nantinya dapat dipakai pada perhitungan konsentrasi oksigen terlarut (DO), seperti
sebagai berikut:
• Perhitungan Faktor
Vol. Botol
F=
(Vol. Botol − Vol. MnSO4 − Vol. Alkali Iodida Azida)
300 mL
F= =1
(300 mL − 1 mL − 1 mL)
• Perhitungan DO Hari 0 Blanko
mg V × N × 8000 × F
Oksigen Terlarut ( ⁄L) =
50
mg 0,6 × 0,1 × 8000 × 1,01 mg
Oksigen Terlarut ( ⁄L) = = 9,6 ⁄L
50

Universitas Indonesia
30

Dengan:
V = Volume Natrium Thiosulfat (mL)
N = Normalitas Natrium Thiosulfat (N)
F = Nilai Faktor

• Perhitungan DO Hari 0 Sampel


mg V × N × 8000 × F
Oksigen Terlarut ( ⁄L) =
50
mg 0,45 × 0,1 × 8000 × 1,01 mg
Oksigen Terlarut ( ⁄L) = = 7,27 ⁄L
50
Dengan:
V = Volume Natrium Thiosulfat (mL)
N = Normalitas Natrium Thiosulfat (N)
F = Nilai Faktor

• Perhitungan DO Hari 5 Blanko


mg V × N × 8000 × F
Oksigen Terlarut ( ⁄L) =
50
mg 0,45 × 0,1 × 8000 × 1,01 mg
Oksigen Terlarut ( ⁄L) = = 7,27 ⁄L
50
Dengan:
V = Volume Natrium Thiosulfat (mL)
N = Normalitas Natrium Thiosulfat (N)
F = Nilai Faktor

• Perhitungan DO Hari 5 Sampel


mg V × N × 8000 × F
Oksigen Terlarut ( ⁄L) =
50
mg 0,1 × 0,1 × 8000 × 1,01 mg
Oksigen Terlarut ( ⁄L) = = 1,61 ⁄L
50
Dengan:
V = Volume Natrium Thiosulfat (mL)
N = Normalitas Natrium Thiosulfat (N)
F = Nilai Faktor

Universitas Indonesia
31

• Perhitungan BOD
mg (X 0 − X 5 ) − ((B0 − B5 )(1 − P))
BOD5 ( ⁄L) =
P
mg (7.27 − 1.61) − ((9.7 − 7.27)(1 − 0.25))
BOD5 ( ⁄L) = = 15.35 mg/L
0.25

Dengan:
X0 = DO sampel pada hari 0 (mg/L)
X5 = DO sampel pada hari 5 (mg/L)
B0 = DO blanko pada hari 0 (mg/L)
B5 = DO blanko pada hari 5 (mg/L)
P = Derajat pengenceran

1.5 Analisis
1.5.1 Analisis Percobaan
1.5.1.1 Modul DO
Percobaan pada modul kekeruhan ini memiliki tujuan untuk mengetahui kadar oksigen
terlarut dari sampel dengan metode iodometri atau modifikasi azida untuk kadar oksigen terlarut
sama atau di bawah kejenuhannya. Pada percobaan dengan metode iodometri ini, terdapat
beberapa keunggulan dan kekurangan yang ada pada percobaan ini. Keunggulan dari metode
iodometri atau metode modifikasi azida ini adalah keberlangsungan percobaan yang dapat
dibilang cepat karena menggunakan proses titrasi sehingga titran dapat langsung bereaksi.
Sementara itu, kekurangan dari metode iodometri atau metode modifikasi azida ini adalah titran
yang mudah terurai oleh cahaya. Sebelum praktikum dimulai, praktikan diwajibkan untuk
memastikan standar kemananan laboratorium telah terpenuhi dengan menggunakan alat
pelindung diri, seperti jas lab, masker, sepatu tertutup, serta sarung tangan agar mencegah terjadi
kecelakaan kerja.
Selanjutnya, praktikan menyiapkan alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum, di
antaranya statif sebagai alat titrasi, buret dan klem sebagai alat titrasi, kertas titar untuk
mengidentifikasi warna ketika proses titrasi, labu Erlenmeyer sebagai wadah percobaan, pipet
volume 50 mL berfungsi untuk memindahkan larutan, pipet ukur dan bulb berfungsi untuk
menambahkan dan memindahkan larutan, mangan sulfat, alkali iodida azida, amilum sebagai
indikator warna yang mengindikasikan perubahan warna dalam proses titrasi, natrium tiosulfat
sebagai titran, asam sulfat sebagai pembuat sampel menjadi asam, air sampel sebagai sampel yang
akan diujicoba dalam percobaan, botol Winkler sebagai wadah percobaan, serta pipet tetes untuk
memindahkan amilum ke dalam sampel.

Universitas Indonesia
32

Percobaan dimulai dengan menuangkan air sampel ke dalam botol Winkler bervolume
300 mL hingga mencapai batas atas leher botol. Proses penuangan ini dilakukan secara perlahan
dan hati-hati agar air sampel tidak melebihi atau kurang dari batas atas leher botol sehingga
mengurangi potensi udara yang tertinggal di dalam botol yang dapat mengganggu percobaan.
Selain itu, pemilihan penggunaan botol Winkler pada percobaan ini adalah karena botol Winkler
mempunyai penutup yang memungkinkan larutan di dalamnya benar-benar terisi penuh sehingga
tidak menyisakan oksigen atau udara yang masuk yang dapat mengganggu kestabilan konsentrasi
oksigen terlarut dari larutan yang ada di dalamnya. Selanjutnya, larutan mangan sulfat diambil
sebanyak 1 mL menggunakan pipet ukur dan bulb. Alat pipet ukur dan bulb yang digunakan pada
proses ini berfungsi untuk memindahkan larutan dengan menekan bagian tertentu sesuai dengan
prosedur penggunaannya. Lalu, larutan mangan sulfat dimasukkan ke dalam botol Winkler
menggunakan pipet yang ditempatkan tepat di atas permukaan larutan dan dilakukan secara hati-
hati dan perlahan agar menghindari terjadinya tumpahan. Penambahan mangan sulfat yang
dilakukan proses ini bertujuan untuk mempermudah indikasi adanya oksigen pada air sampel.
Selanjutnya, larutan alkali iodida azida diambil sebanyak 1 mL menggunakan pipet ukur dan bulb.
Alat pipet ukur dan bulb yang digunakan pada proses ini berfungsi untuk memindahkan larutan
dengan menekan bagian tertentu sesuai dengan prosedur penggunaannya. Kemudian, larutan
alkali iodide azida dimasukkan ke dalam botol Winkler menggunakan pipet yang ditempatkan
tepat di atas permukaan larutan dan dilakukan secara hati-hati dan perlahan agar menghindari
terjadinya tumpahan. Penambahan alkali iodida azida berfungsi untuk menandakan adanya
oksigen pada air sampel yang ditunjukkan dengan adanya endapan dan perubahan warna yang
terjadi. Pada proses ini, larutan alkali iodida akan menyebabkan air sampel menjadi keruh yang
menandakan adanya oksigen terlarut pada sampel. Lalu, botol Winkler ditutup agar mencegah
terjadinya penguapan larutan. Selanjutnya, larutan pada botol Winkler dihomogenkan dengan
cara membolak-balikkan botol Winkler dengan tangan kanan memegang bagian atas gelas ukur.
Proses homogenisasi berfungsi agar partikel dalam air sampel tersebar secara merata. Lalu, botol
Winkler didiamkan selama 10 menit hingga terjadi pengendapan MnO2 (mangan oksida) pada
larutan sampel. Kemudian, botol Winkler dipindahkan ke ruang asam. Dalam hal ini, ruang asam
merupakan ruangan yang berfungsi untuk menjaga keamanan praktikan dari potensi paparan asam
yang berbahaya dari suatu bahan kimia ketika menggunakan larutan asam. Selanjutnya, asam
sulfat pekat diambil sebanyak 1 mL dengan menggunakan pipet ukur dan bulb. Alat pipet ukur
dan bulb yang digunakan pada proses ini berfungsi untuk memindahkan larutan dengan menekan
bagian tertentu sesuai dengan prosedur penggunaannya. Proses pengambilan dilakukan secara
perlahan dan hati-hati sehingga volume pada pipet ukur tidak berkurang dan tumpah. Selain itu,
penambahan asam sulfat yang dilakukan pada proses ini bertujuan untuk menimbulkan reaksi

Universitas Indonesia
33

oksidasi dari I- menjadi I2 pada kondisi asam. Praktikan kemudian membuka tutup botol Winkler
dan memasukkan larutan asam sulfat ke dalam botol Winkler. Proses pemasukkan larutan asam
sulfat harus dilakukan segera agar tidak terjadi pengurangan volume karena tetesan dari pipet dan
menghindari potensi paparan dari asam sulfat tersebut. Praktikan kemudian menutup kembali
botol Winkler agar mencegah terjadinya penguapan. Lalu, larutan pada botol Winkler
dihomogenkan dengan cara membolak-balikkan botol Winkler dengan tangan kanan memegang
bagian atas gelas ukur. Proses homogenisasi berfungsi agar partikel dalam air sampel tersebar
secara merata dan endapan dapat terlarut dengan sempurna. Selanjutnya, larutan natrium tiosulfat
diambil menggunakan pipet ukur dan bulb. Digunakannya larutan standar natrium tiosulfat ini
adalah karena larutan ini merupakan titran dan berperan penting dalam mentitrasi iodin yang
sudah bebas akibat penambahan mangan sulfat dan asam sulfat pada proses sebelumnya. Setelah
itu, larutan tiosulfat dimasukkan ke dalam buret agar dapat mempermudah proses titrasi.
Kemudian, tutup botol Winkler dibuka. Selanjutnya air sampel diambil sebanyak 50 mL
menggunakan pipet volume dan bulb. Proses pengambilan ini dilakukan hingga volume pada
pipet mencapai 50 mL. Lalu, air sampel yang sudah diambil kemudian dimasukkan ke dalam labu
Erlenmeyer 250 mL dengan cara tangan kanan memegang pipet dan tangan kiri memegang labu
Erlenmeyer yang dimiringkan. Kemudian, larutan amilum diambil dengan pipet tetes.
Selanjutnya, larutan amilum kemudian dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer sebanyak tiga
tetes. Kemudian, larutan pada labu Erlenmeyer dihomogenkan dengan cara memutar-mutarkan
labu Erlenmeyer dengan tangan kanan. Proses homogenisasi berfungsi agar partikel dalam air
sampel tersebar secara merata. Proses ini dilakukan hingga larutan berubah warna menjadi kuning
kecoklatan. Setelah itu, proses titrasi dilakukan pada air sampel. Proses titrasi dilakukan dengan
cara tangan kiri memegang buret dan tangan kanan memegang labu Erlenmeyer sambal
mengguncangkannya. Proses titrasi ini dilakukan hingga air sampel berubah warna menjadi
bening atau tidak berwarna. Setelah proses titrasi selesai, volume natrium tiosulfat yang
digunakan selama proses titrasi dicatat.
Kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi pada saat percobaan berlangsung adalah
proses titrasi tetap dilakukan oleh praktikan walaupun sudah terjadi perubahan warna. Hal ini
dapat terjadi jika buret titrasi tidak langsung ditutup ketika sudah terjadi perubahan warna atau
terlalu cepat dibuka sehingga volume pada proses titrasi menjadi tidak tepat yang nantinya dapat
mengganggu perhitungan. Selain itu, terdapat juga kemungkinan kesalahan pada proses
homogenisasi, seperti proses pengguncangan yang lebih cepat atau lebih lambat yang dilakukan
pada proses titrasi yang mempengaruhi kecepatan pengendapan atau perubahan warna.

Universitas Indonesia
34

1.5.1.2 Modul BOD


Percobaan pada modul kekeruhan ini memiliki tujuan untuk memperoleh kadar
kebutuhan oksigen biokimiawi atau yang dikenal sebagai BOD. Sebelum praktikum dimulai,
praktikan diwajibkan untuk memastikan standar kemananan laboratorium telah terpenuhi dengan
menggunakan alat pelindung diri, seperti jas lab, masker, sepatu tertutup, serta sarung tangan agar
mencegah terjadi kecelakaan kerja.
Selanjutnya, praktikan menyiapkan alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum, di
antaranya statif sebagai alat titrasi, buret dan klem sebagai alat titrasi, kertas titar untuk
mengidentifikasi warna ketika proses titrasi, labu Erlenmeyer sebagai wadah percobaan, pipet
volume berfungsi untuk memindahkan larutan, pipet ukur dan bulb berfungsi untuk
menambahkan dan memindahkan larutan, mangan sulfat dan alkali iodida azida sebagai indikator
adanya kadar oksigen terlarut, amilum sebagai indikator warna yang mengindikasikan perubahan
warna dalam proses titrasi, natrium tiosulfat sebagai titran, asam sulfat sebagai pembuat sampel
menjadi asam, air sampel sebagai sampel yang akan diujicoba dalam percobaan, botol Winkler
sebagai wadah percobaan, serta untuk memindahkan amilum ke dalam sampel, inkubator suhu ±
20°C sebagai tempat menyimpan larutan blanko dan larutan sampel selama lima hari, magnetic
stirrer sebagai alat untuk mengaduk larutan pengencer, beaker glass 2L untuk wadah air sampel,
larutan buffer fosfat untuk membuat pH larutan menjadi stabil bagi perkemgangan
mikroorganisme, larutan kalsium klorida dan larutan besi III klorida sebagai larutan penutrisi
untuk mikroorganisme, serta air sampel dan air suling sebagai larutan air yang akan digunakan
untuk membuat larutan pengencer dan larutan sampel.
Percobaan pada modul BOD ini diawali dengan membuat larutan pengencer dan larutan
sampel dengan cara menuangkan 2 liter air suling ke dalam beaker glass 2000 mL yang
didalamnya sudah terdapat magnetic stirrer. Dalam hal ini, larutan pengencer berfungsi sebagai
larutan pembanding yang di dalamnya telah diperkaya oleh nutrisi dan suspense bibit mikroba.
Kemudian, 2 mL larutan buffer fosfat jiuga dimasukkan dengan menggunakan pipet ukur dan
bulb ke dalam beaker glass 2000 mL. Selanjutnya, larutan magnesium sulfat, larutan besi III
klorida, larutan kalsium klorida, serta air suling dimasukkan ke dalam beaker glass 2000 mL
dengan menggunakan pipet ukur dan bulb yang baru pada masing-masing larutannya.
Penggunaan pipet ukur dan bulb yang baru bertujuan untuk menghindari terjadinya kontaminasi
antarsampel. Kemudian, larutan-larutan yang sudah tercampur tersebut kemudian diaduk
menggunakan magnetic stirrer secara otomatis selama 30 menit. Pemilihan waktu 30 menit pada
proses pengadukan tersebut juga dinilai tepat dan cocok, tidak kurang dan tidak lebih, mengingat
bahwa volume larutan yang ingin dihomogenkan cukup banyak. Proses ini bertujuan untuk
membuat larutan pengencer yang nantinya digunakan dalam proses praktikum. Pengadukan pada

Universitas Indonesia
35

proses tersebut dilakukan secara otomatis dengan menggunakan magnetic stirrer karena interval
waktu yang dilakukan untuk mengaduk dapat dikatakan cukup lama dan mengingat bahwa
volume di dalamnya cukup besar sehingga jika dilakukan secara manual menggunakan batang
pengaduk akan dinilai tidak efisien dan laju putarannya tidak akan kontan. Lalu, larutan pengencer
masing-masing dituangkan ke dalam 2 botol Winkler sebanyak 300 mL. Pada proses ini, akan
terbentuk larutan blanko hari ke-0 dan hari ke-5 yang nantinya digunakan dalam proses
praktikum. Dalam hal ini, larutan blanko berfungsi untuk tujuan kalibrasi di mana di dalam larutan
blanko tidak berisi analit. Proses inkubasi selama lima hari tersebut dinilai tepat karena pada
pengukuran selama lima hari, kadar bahan organik yang teroksidasi yang terhitung hanya
sebanyak 68%, dan waktu lima hari merupakan standar uji yang berlaku. Untuk mengoksidasi
bahan organic seluruhnya secara sempurna akan memerlukan waktu yang lebih lama, yaitu dapat
memakan waktu hingga 20 hari sehingga dianggap tidak efisien. Kemudian, larutan pengencer
dicampurkan dengan air sampel dengan memakai derajat pengenceran sebesar 0,25, di mana
komposisi larutan pengencer sebesar 750 mL dan air sampel sebesar 250 mL. Pada proses ini,
pemilihan penggunaan derajat pengenceran sebesar 0,25 adalah karena jenis air sampel yang
digunakan merupakan air sungai dan perkiraan dari BOD5 nya adalah sebesar 15 mg/L.
Selanjutnya, larutan kemudian diaduk dengan batang pengaduk. Pada proses ini, akan terbentuk
larutan sampel yang nantinya digunakan dalam proses praktikum. Setelah itu, larutan sampel
dituang ke dalam 2 botol Winkler masing-masing sebanyak 300 mL. Proses ini bertujuan untuk
memisahkan larutan sampel hari ke 0 dan hari ke-5 yang digunakan secara terpisah pada proses
praktikum.
Setelah larutan pengencer dan larutan sampel terbuat, praktikan selanjutnya dapat
melanjutkan percobaan ke tahap pengujian kadar oksigen terlarut yang dimulai dengan
memasukkan larutan blanko dan larutan sampel hari ke-5 ke dalam inkubator suhu 20 ± 1°C
terlebih dahulu. Proses inkubasi disebabkan karena melibatkan mikroorganisme sebagai pengurai
bahan organik dan bertujuan untuk menentukan besarnya pengenceran contoh air karena
perkiraan angka BOD5 harus diperkirakan. Jika pengenceran terlalu kecil, maka pada waktu
pengukuran DO 5 hari dikhawatirkan oksigen terlarutnya menjadi 0 mg/L sehingga percobaan
menjadi gagal. Suhu 20 derajat dinilai sebagai suhu yang setara dengan suhu perairan. Lalu,
larutan mangan sulfat dan larutan alkali iodida azida diambil masing-masing sebanyak 1 mL
dengan menggunakan pipet ukur dan bulb. Kemudian, larutan mangan sulfat dimasukkan ke
dalam botol Winkler yang sudah berisi larutan blanko hari ke-0 dan larutan alkali iodide azida
dimasukkan ke dalam botol Winkler yang sudah berisi larutan blanko hari ke-0. Praktikan
selanjutnya dapat menutup botol Winkler agar mencegah terjadinya penguapan larutan dan
mencegah adanya oksigen yang dapat mengganggu kestabilan kadar oksigen terlarut. Kemudian,

Universitas Indonesia
36

larutan pada botol Winkler dihomogenkan dengan cara membolak-balikkan botol Winkler dengan
tangan kanan memegang bagian atas gelas ukur. Proses homogenisasi berfungsi agar partikel
dalam air sampel tersebar secara merata. Botol Winkler selanjutnya didiamkan selama 10 menit
hingga terjadi pengendapan pada larutan sampel. Selanjutnya, praktikan kemudian memindahkan
botol Winkler ke ruang asam yang merupakan ruangan yang berfungsi untuk menjaga keamanan
praktikan dari potensi paparan asam yang berbahaya dari suatu bahan kimia ketika menggunakan
larutan asam. Setelah itu, larutan asam sulfat pekat diambil sebanyak 1 mL dengan menggunakan
pipet ukur dan bulb berfungsi untuk memindahkan larutan dengan menekan bagian tertentu sesuai
dengan prosedur penggunaannya. Lalu, tutup botol Winkler dibuka untuk memasukkan larutan
asam sulfat pekat ke dalam botol Winkler. Proses pemasukkan larutan asam sulfat harus dilakukan
segera agar tidak terjadi pengurangan volume karena tetesan dari pipet dan menghindari potensi
paparan dari asam sulfat tersebut. Praktikan selanjutnya menutup kembali botol Winkler agar
mencegah terjadinya penguapan larutan dan mencegah adanya oksigen yang dapat mengganggu
kestabilan kadar oksigen terlarut. Kemudian, larutan pada botol Winkler dihomogenkan dengan
cara membolak-balikkan botol Winkler dengan tangan kanan memegang bagian atas gelas ukur.
Proses homogenisasi berfungsi agar partikel dalam air sampel tersebar secara merata.
Selanjutnya, larutan natrium tiosulfat diambil menggunakan pipet ukur dan bulb. Digunakannya
larutan standar natrium tiosulfat ini adalah karena larutan ini merupakan titran dan berperan
penting dalam mentitrasi iodin yang sudah bebas akibat penambahan mangan sulfat dan asam
sulfat pada proses sebelumnya. Setelah itu, larutan tiosulfat dimasukkan ke dalam buret agar dapat
mempermudah proses titrasi. Kemudian, tutup botol Winkler dibuka. Selanjutnya air sampel
diambil sebanyak 50 mL menggunakan pipet volume dan bulb. Proses pengambilan ini dilakukan
hingga volume pada pipet mencapai 50 mL. Lalu, air sampel yang sudah diambil kemudian
dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 250 mL dengan cara tangan kanan memegang pipet dan
tangan kiri memegang labu Erlenmeyer yang dimiringkan. Kemudian, larutan amilum diambil
dengan pipet tetes. Selanjutnya, larutan amilum kemudian dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer
sebanyak tiga tetes. Kemudian, larutan pada labu Erlenmeyer dihomogenkan dengan cara
memutar-mutarkan labu Erlenmeyer dengan tangan kanan. Proses homogenisasi berfungsi agar
partikel dalam air sampel tersebar secara merata. Proses ini dilakukan hingga larutan berubah
warna menjadi coklat kegelapan. Setelah itu, proses titrasi dilakukan pada air sampel. Proses
titrasi dilakukan dengan cara tangan kiri memegang buret dan tangan kanan memegang labu
Erlenmeyer sambal mengguncangkannya. Proses titrasi ini dilakukan hingga air sampel berubah
warna menjadi bening atau tidak berwarna. Setelah proses titrasi selesai, volume natrium tiosulfat
yang digunakan selama proses titrasi dicatat. Setelah itu, langkah yang sama diulangi untuk
pengujian dengan larutan sampel pada hari ke-0. Setelah pengujian larutan sampel pada hari ke-

Universitas Indonesia
37

0 selesai, selanjutnya larutan blanko dan larutan sampel hari ke-5 dikeluarkan dari dalam
inkubator untuk selanjutnya dapat dilakukan pengujian DO untuk larutan blanko dan larutan
sampel pada hari ke-5 dengan prosedur yang sama dengan hari ke-0.
Kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi pada saat percobaan berlangsung adalah
proses titrasi tetap dilakukan oleh praktikan walaupun sudah terjadi perubahan warna. Hal ini
dapat terjadi jika buret titrasi tidak langsung ditutup ketika sudah terjadi perubahan warna atau
terlalu cepat dibuka sehingga volume pada proses titrasi menjadi tidak tepat yang nantinya dapat
mengganggu perhitungan. Selain itu, terdapat juga kemungkinan kesalahan pada proses
homogenisasi, seperti proses pengguncangan yang lebih cepat atau lebih lambat yang dilakukan
pada proses titrasi yang mempengaruhi kecepatan pengendapan atau perubahan warna.

1.5.2 Analisis Data

1.5.2.1 Modul DO
Berdasarkan hasil pengolahan data, didapatkan hasil nilai faktor sebesar 1,01. Setelah
mendapatkan nilai faktor titrasi, praktikan kemudian dapat melakukan perhitungan kadar oksigen
terlarut dengan hasil seperti yang telah dihitung pada pengolahan data sebesar 7,272 mg/L.
Jika dibandingkan berdasarkan baku mutu yang berlaku di Indonesia, yaitu Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, hasil kadar oksigen terlarut yang terdapat pada air sampel dinilai
masih memenuhi seluruh kelas pada baku mutu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22
Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hal ini
disebabkan karena nilai kadar oksigen terlarut yang dihasilkan, yaitu sebesar 7,272 mg/L, masih
memenuhi batas minimal kelas 1 yang sebesar 6 mg/L dengan peruntukan dapat digunakan untuk
baku air minum, dan/atau air peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut, batas minimal kelas 2 yang sebesar 4 mg/L dengan peruntukan dapat
digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air
untuk mengairi pertanaman, dan/atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama
dengan kegunaan tersebut, batas minimal kelas 3 yang sebesar 3 mg/L dengan peruntukan dapat
digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman,
dan/atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut,
serta batas minimal kelas 4 yang sebesar 1 mg/L dengan peruntukan dapat digunakan untuk
mengairi pertanaman, dan/atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama
dengan kegunaan tersebut.

Universitas Indonesia
2

Berdasarkan kadar oksigen terlarut yang tercatat, dapat dikatakan bahwa air sampel
yang merepresentasikan badan air tersebut sudah tercemar walaupun dalam jumlah yang sedikit.
Hal ini disebabkan karena nilai kadar oksigen terlarut 7,272 mg/L termasuk ke dalam kategori
kualitas air sedikit tercemar yang berada di rentang 6,5–8 mg/L.
Hasil kadar oksigen terlarut yang tercatat tentunya dapat disebabkan oleh tiga faktor
utama, seperti temperatur, salinitas air, serta kedalaman air dari sampel badan air tersebut. Selain
itu, nilai kadar oksigen terlarut yang tercatat juga masih dapat menopang keberlangsungan
ekosistem biota akuatik pada badan air tersebut karena untuk menopang keberlangsungan
kehidupan ekosistem biota akuatik pada suatu badan air biasanya membutuhkan kadar oksigen
terlarut sebesar 5-6 ppm. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dengan diketahuinya kadar
oksigen terlarut pada suatu badan air, maka kualitas air pada badan air tersebut dapat diidentifikasi
juga karena kadar oksigen terlarut mencerminkan seberapa besar perairan tersebut sudah
tercemar.

1.5.2.2 Modul BOD


Berdasarkan hasil pengolahan data, didapatkan hasil nilai faktor sebesar 1,01. Setelah
mendapatkan nilai faktor titrasi, praktikan kemudian dapat melakukan perhitungan kadar
biochemical oxygen demand (BOD) dengan hasil seperti yang telah dihitung pada pengolahan
data sebesar 15,35 mg/L.
Jika dibandingkan berdasarkan baku mutu yang berlaku di Indonesia, yaitu Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, hasil kadar biochemical oxygen demand (BOD) yang terdapat
pada air sampel dinilai sudah tidak dapat memenuhi seluruh kelas pada standar baku mutu
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hal ini disebabkan karena nilai biochemical
oxygen demand (BOD) yang dihasilkan, yaitu sebesar 7,272 mg/L, berada di atas batas maksimal
yang berlaku bagi keempat kelas pada standar baku mutu tersebut.
Untuk sampel air yang tidak memenuhi standar baku mutu, khususnya untuk air minum
tersebut, diperlukan pengolahan lebih lanjut, seperti menggunakan sistem pengolahan lumpur
aktif (activated sludge), reaktor kombinasi anaerob-aerob, reverse osmosis (RO), trickling filter,
reaktor biologis putar (rotating biological contactor/RBC).
Hasil kadar biochemical oxygen demand (BOD) yang tercatat tentunya juga disebabkan
oleh beberapa faktor, seperti suhu, salinitas, pH, kecerahan, total suspended solid (TSS), serta
jumlah senyawa organik yang akan diuraikan. Pengaruh TSS terhadap BOD karena oksigen dapat
larut dengan mudah pada perairan dengan kondisi sedikit kandungan padatan tersuspensi (TSS).
Padatan terendap dan padatan tersuspensi ini dapat berpotensi mengurangi penetrasi cahaya

Universitas Indonesia
3

matahari ke dalam air sehingga dapat mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosintesa. Selain
itu, faktor lainnya yang mempengaruhi kadar BOD pada suatu perairan adalah jumlah senyawa
organik yang akan diuraikan, adanya mikroorganisme aerobik yang mampu menguraikan
senyawa organik tersebut, serta tersedianya sejumlah kadar oksigen yang dibutuhkan untuk proses
penguraian atau proses degradasi tersebut.
Dengan demikian, berdasarkan analisis dan hasil perhitungan kadar BOD pada sampel
tersebut adalah sampel perairan tersebut cukup tercemar berat yang kemungkinan dapat
disebabkan karena adanya beban pencemar, seperti limbah domestik, limbah industri, serta
limbah peternakan/pertanian yang dapat memperparah kualitas badan air tersebut. Adanya beban-
beban pencemar tersebut tentunya meningkatkan kadar BOD pada perairan tersebut karena kadar
oksigen terlarutnya menurun, kadar TSS meningkat, warna air berubah menjadi keruh, dan
sebagainya.

1.5.3 Studi Kasus

1.5.3.1 Modul DO
3 buah sampel dari badan air X, Y, dan Z dilakukan pengujian untuk mengukur
konsentrasi DO menggunakan metode iodometri pada botol Winkler 300 mL, volume titrasi
dengan thiosulfat 0,1 N sehingga didapatkan data sebagai berikut:
• Volume Titrasi Natrium Thiosulfat
- Sampel X: 0,1 mL
- Sampel Y: 0,25 mL
- Sampel Z: 0,47 mL
Volume pereaksi MnSO4 dan iodida azida masing-masing sebesar 1 mL. Bagaimana
perkiraan kondisi badan air X, Y, dan Z dilihat dari kandungan oksigen terlarutnya?
• Sampel Sungai X
• Perhitungan Faktor
Vol. Botol
F=
(Vol. Botol − Vol. MnSO4 − Vol. Alkali Iodida Azida)
300 mL
F= = 1,01
(300 mL − 1 mL − 1 mL)
• Konsentrasi Oksigen Terlarut (DO) dari Sampel Sungai X
mg V × N × 8000 × F
Oksigen Terlarut ( ⁄L) =
50
mg 0,1 × 0,1 × 8000 × 1,01
Oksigen Terlarut ( ⁄L) = = 1.61 mg/L
50

Universitas Indonesia
4

• Sampel Sungai Y
• Perhitungan Faktor
Vol. Botol
F=
(Vol. Botol − Vol. MnSO4 − Vol. Alkali Iodida Azida)
300 mL
F= = 1,01
(300 mL − 1 mL − 1 mL)
• Konsentrasi Oksigen Terlarut (DO) dari Sampel Sungai X
mg V × N × 8000 × F
Oksigen Terlarut ( ⁄L) =
50
mg 0,25 × 0,1 × 8000 × 1,01
Oksigen Terlarut ( ⁄L) = = 4.04 mg/L
50

• Sampel Sungai Z
• Perhitungan Faktor
Vol. Botol
F=
(Vol. Botol − Vol. MnSO4 − Vol. Alkali Iodida Azida)
300 mL
F= = 1,01
(300 mL − 1 mL − 1 mL)
• Konsentrasi Oksigen Terlarut (DO) dari Sampel Sungai X
mg V × N × 8000 × F
Oksigen Terlarut ( ⁄L) =
50
mg 0,47 × 0,1 × 8000 × 1,01
Oksigen Terlarut ( ⁄L) = = 7.59 mg/L
50
Berdasarkan standar baku mutu yang berlaku di Indonesia mengenai kadar oksigen
terlarut (DO) dalam air yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22
Tahun 2021 Tentang Penyelenggaran Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
disebutkan bahwa kadar oksigen terlarut (DO) minimal yang diperbolehkan untuk air sungai dan
air danau adalah minimal sebesar 6 mg/L untuk kelas 1, 4 mg/L untuk kelas 2, 3 mg/L untuk kelas
3, serta 1 mg/L untuk kelas 4.
Berdasarkan perhitungan kadar DO di atas, maka sampel sungai X hanya memenuhi
standar baku mutu untuk kelas 4 sehingga hanya dapat diperuntukan untuk mengairi pertanaman.
Untuk sampel sungai Y, kadar DO yang dimiliki masih memenuhi baku mutu yang berlaku untuk
kelas 2, kelas 3, dan kelas 4 yang peruntukannya untuk sarana/prasarana rekreasi air,
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, serta untuk mengairi pertanaman. Sementara itu,
untuk sampel sungai Z, kadar BOD yang dimiliki masih memenuhi standar baku mutu yang
berlaku dan lolos pada kelas 1, 2, 3, dan 4 yang berarti air tersebut masih sangat cocok untuk
digunakan sebagai sumber baku air minum, untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan
ikan air tawar, peternakan, serta untuk mengairi pertanaman.

Universitas Indonesia
5

Bagi sampel sungai yang belum dapat memenuhi standar baku mutu yang peruntukan
airnya dapat digunakan sebagai air baku minum, maka dapat dilakukan pengolahan lebih lanjut.
Pengolahan yang dapat membuat kadar oksigen terlarut pada air meningkat adalah dengan
menggunakan konsep aerasi dan agitasi. Aerasi merupakan suatu proses penambahan udara atau
oksigen di dalam air dengan cara membawa air dan udara tersebut ke dalam kontak yang dekat,
dengan menyemprotkan udara ke dalam air melalui suatu pori-pori yang kecil sehingga
membentuk gelembung udara yang halus serta membiarkannya untuk bisa naik melalui air.
Sementara itu, untuk konsep agitasi menggunakan prinsip pengadukan sehingga terbentuk arus
gelombang air yang memercik dengan tujuan memperluas dan memperlama bidang kontak
dengan udara sehingga memungkinkan oksigen lebih banyak terdifusi dalam air. Contoh alat yang
menggunakan konsep agitasi tersebut salah satunya ialah kincir air yang banyak dijumpai pada
tambak perikanan. Sedangkan, untuk contoh alat yang menggunakan konsep aerasi banyak
dijumpai pada akuarium (Wazzan, 2020).

1.5.3.2 Modul BOD


Pada badan air X, Y, dan Z sebelumnya telah dilakukan pengujian untuk mengukur
konsentrasi DO. Dari hasil pengukuran ternyata menunjukkan bahwa kondisi lingkungan sekitar
badan air sangat mempengaruhi kualitas dari badan air tersebut.
Selanjutnya dilakukan pengukuran BOD pada badan air X, Y, Z dengan derajat
pengenceran 0.25. Menggunakan botol winkler 300 mL dengan volume pereaksi MnSO4 dan
iodida azida sebesar masing-masing 1 mL. Volume titrasi dengan thiosulfat 0,1 N sebagai berikut:
Tabel 7. Badan Air X
Volume Titrasi (mL)
DO sampel (0) 0.9
DO blanko (0) 0.5
DO sampel (5) 0.1
DO blanko (5) 0.5

Tabel 8. Badan Air Y


Volume Titrasi (mL)
DO sampel (0) 0.6
DO blanko (0) 0.8
DO sampel (5) 0.35
DO blanko (5) 0.79

Universitas Indonesia
6

Tabel 9. Badan Air Z


Volume Titrasi (mL)
DO sampel (0) 0.7
DO blanko (0) 0.6
DO sampel (5) 0.645
DO blanko (5) 0.55

Jawab:
a. Analisis
Berdasarkan pada gambar di atas, diasumsikan bahwa terdapat tiga segmen
badan air, yaitu badan air X, badan air Y, dan badan air Z dengan arah aliran sungai
berawal dari segmen badan air Z menuju ke arah badan air X. Pada segmen badan air Z,
sesuai pada gambar, belum terdapat beban pencemar sama sekali yang dapat
mempengaruhi kualitas air sungai. Akan terdapat kemungkinan adanya kandungan BOD
(walaupun dalam jumlah yang kecil) pada segmen badan air Z ini yang dapat disebabkan
karena adanya pengaruh dari suhu air, salinitas air, pH air, serta kecerahan dari badan air
tersebut. Maka dari itu, karena belum terdapat beban pencemar sama sekali, kecil
kemungkinan badan air tersebut mengandung bahan-bahan organik.
Pada segmen badan air Y, sudah mulai melewati kawasan peternakan yang
menandakan sudah terdapat beban pencemar berupa nonpoint sources. Beban pencemar
dari peternakan ini akan mengakibatkan terbuangnya nutrient-nutrien ke dalam badan air

Universitas Indonesia
7

sehingga badan air akan mulai mengandung material-material organik yang nantinya akan
berdampak pada meningkatnya kadar BOD pada segmen badan air tersebut.
Bergeser ke segmen badan air X, terlihat pada gambar bahwa segmen tersebut
sudah mulai dikelilingi oleh beban pencemar yang lebih banyak, terdapat kawasan
pertanian dan kawasan permukiman yang berperan sebagai beban pencemar nonpoint
sources, serta kawasan industri yang berperan sebagai point sources. Sama seperti beban
pencemar dari peternakan, aktivitas dari kawasan pertanian dan kawasan pemukiman ini
akan membuang nutrient-nutrien organik, limbah pestisida, serta limbah rumah tangga
lainnya yang dipakai dalam aktivitas pertanian dan pemukiman ke dalam segmen badan air
tersebut. Walaupun beban pencemar pemukiman dan pertanian tidak mencemari badan air
secara langsung, tetap saja limbah tersebut akan ditransportasikan melalui limpasan air
hujan dan air tanah yang nantinya tetap berhilir di segmen sungai tersebut. Untuk beban
pencemar dari kawasan industri, limbah-limbah yang dihasilkan akan lebih berbahaya (jika
tidak melalui pengolahan lanjutan), seperti limbah kimia, limbah tekstil, dan sebagainya.
Tentunya, beban pencemar point source dan nonpoint sources tersebut dapat
mengakibatkan peningkatan pada kadar BOD pada segmen sungai tersebut karena
kandungan bahan organik pada segmen sungai tersebut juga akan semakin meningkat.
Ditambah lagi dengan kadar oksigen yang semakin menurun akibat semakin banyaknya
padatan tersuspensi serta kekeruhan badan air yang semakin meningkat juga.
• Perhitungan BOD Badan Air X
a. Perhitungan Faktor
Vol. Botol
F=
(Vol. Botol − Vol. MnSO4 − Vol. Alkali Iodida Azida)
300 mL
F= =1
(300 mL − 1 mL − 1 mL)
b. Perhitungan DO Hari 0 Blanko
mg V × N × 8000 × F
Oksigen Terlarut ( ⁄L) =
50
mg 0,5 × 0,1 × 8000 × 1 mg
Oksigen Terlarut ( ⁄L) = = 8 ⁄L
50
Dengan:
V = Volume Natrium Thiosulfat (mL)
N = Normalitas Natrium Thiosulfat (N)
F = Nilai Faktor

Universitas Indonesia
8

c. Perhitungan DO Hari 0 Sampel


mg V × N × 8000 × F
Oksigen Terlarut ( ⁄L) =
50
mg 0,9 × 0,1 × 8000 × 1 mg
Oksigen Terlarut ( ⁄L) = = 14.4 ⁄L
50
Dengan:
V = Volume Natrium Thiosulfat (mL)
N = Normalitas Natrium Thiosulfat (N)
F = Nilai Faktor

d. Perhitungan DO Hari 5 Blanko


mg V × N × 8000 × F
Oksigen Terlarut ( ⁄L) =
50
mg 0,5 × 0,1 × 8000 × 1 mg
Oksigen Terlarut ( ⁄L) = = 8 ⁄L
50
Dengan:
V = Volume Natrium Thiosulfat (mL)
N = Normalitas Natrium Thiosulfat (N)
F = Nilai Faktor

e. Perhitungan DO Hari 5 Sampel


mg V × N × 8000 × F
Oksigen Terlarut ( ⁄L) =
50
mg 0,1 × 0,1 × 8000 × 1 mg
Oksigen Terlarut ( ⁄L) = = 1,6 ⁄L
50
Dengan:
V = Volume Natrium Thiosulfat (mL)
N = Normalitas Natrium Thiosulfat (N)
F = Nilai Faktor

f. Perhitungan BOD
mg (X 0 − X 5 ) − ((B0 − B5 )(1 − P))
BOD5 ( ⁄L) =
P
mg (14.4 − 1.6) − ((8 − 8)(1 − 0.25))
BOD5 ( ⁄L) = = 51.2 mg/L
0.25

Dengan:
X0 = DO sampel pada hari 0 (mg/L)

Universitas Indonesia
9

X5 = DO sampel pada hari 5 (mg/L)


B0 = DO blanko pada hari 0 (mg/L)
B5 = DO blanko pada hari 5 (mg/L)
P = Derajat pengenceran

• Perhitungan BOD Badan Air Y


a. Perhitungan Faktor
Vol. Botol
F=
(Vol. Botol − Vol. MnSO4 − Vol. Alkali Iodida Azida)
300 mL
F= =1
(300 mL − 1 mL − 1 mL)
b. Perhitungan DO Hari 0 Blanko
mg V × N × 8000 × F
Oksigen Terlarut ( ⁄L) =
50
mg 0,8 × 0,1 × 8000 × 1 mg
Oksigen Terlarut ( ⁄L) = = 12.8 ⁄L
50
Dengan:
V = Volume Natrium Thiosulfat (mL)
N = Normalitas Natrium Thiosulfat (N)
F = Nilai Faktor

c. Perhitungan DO Hari 0 Sampel


mg V × N × 8000 × F
Oksigen Terlarut ( ⁄L) =
50
mg 0,6 × 0,1 × 8000 × 1 mg
Oksigen Terlarut ( ⁄L) = = 9.6 ⁄L
50
Dengan:
V = Volume Natrium Thiosulfat (mL)
N = Normalitas Natrium Thiosulfat (N)
F = Nilai Faktor

d. Perhitungan DO Hari 5 Blanko


mg V × N × 8000 × F
Oksigen Terlarut ( ⁄L) =
50
mg 0,79 × 0,1 × 8000 × 1 mg
Oksigen Terlarut ( ⁄L) = = 12.64 ⁄L
50
Dengan:
V = Volume Natrium Thiosulfat (mL)

Universitas Indonesia
10

N = Normalitas Natrium Thiosulfat (N)


F = Nilai Faktor

e. Perhitungan DO Hari 5 Sampel


mg V × N × 8000 × F
Oksigen Terlarut ( ⁄L) =
50
mg 0,35 × 0,1 × 8000 × 1 mg
Oksigen Terlarut ( ⁄L) = = 5.6 ⁄L
50
Dengan:
V = Volume Natrium Thiosulfat (mL)
N = Normalitas Natrium Thiosulfat (N)
F = Nilai Faktor

f. Perhitungan BOD
mg (X 0 − X 5 ) − ((B0 − B5 )(1 − P))
BOD5 ( ⁄L) =
P
mg (9.6 − 5.6) − ((12.8 − 12.64)(1 − 0.25))
BOD5 ( ⁄L) = = 15.52 mg/L
0.25

Dengan:
X0 = DO sampel pada hari 0 (mg/L)
X5 = DO sampel pada hari 5 (mg/L)
B0 = DO blanko pada hari 0 (mg/L)
B5 = DO blanko pada hari 5 (mg/L)
P = Derajat pengenceran

• Perhitungan BOD Badan Air Z


a. Perhitungan Faktor
Vol. Botol
F=
(Vol. Botol − Vol. MnSO4 − Vol. Alkali Iodida Azida)
300 mL
F= =1
(300 mL − 1 mL − 1 mL)
b. Perhitungan DO Hari 0 Blanko
mg V × N × 8000 × F
Oksigen Terlarut ( ⁄L) =
50
mg 0,6 × 0,1 × 8000 × 1 mg
Oksigen Terlarut ( ⁄L) = = 9,6 ⁄L
50

Universitas Indonesia
11

Dengan:
V = Volume Natrium Thiosulfat (mL)
N = Normalitas Natrium Thiosulfat (N)
F = Nilai Faktor

c. Perhitungan DO Hari 0 Sampel


mg V × N × 8000 × F
Oksigen Terlarut ( ⁄L) =
50
mg 0,7 × 0,1 × 8000 × 1 mg
Oksigen Terlarut ( ⁄L) = = 11.2 ⁄L
50
Dengan:
V = Volume Natrium Thiosulfat (mL)
N = Normalitas Natrium Thiosulfat (N)
F = Nilai Faktor

d. Perhitungan DO Hari 5 Blanko


mg V × N × 8000 × F
Oksigen Terlarut ( ⁄L) =
50
mg 0,55 × 0,1 × 8000 ×1 mg
Oksigen Terlarut ( ⁄L) = = 8.8 ⁄L
50
Dengan:
V = Volume Natrium Thiosulfat (mL)
N = Normalitas Natrium Thiosulfat (N)
F = Nilai Faktor

e. Perhitungan DO Hari 5 Sampel


mg V × N × 8000 × F
Oksigen Terlarut ( ⁄L) =
50
mg 0,645 × 0,1 × 8000 × 1 mg
Oksigen Terlarut ( ⁄L) = = 10.32 ⁄L
50
Dengan:
V = Volume Natrium Thiosulfat (mL)
N = Normalitas Natrium Thiosulfat (N)
F = Nilai Faktor

Universitas Indonesia
12

f. Perhitungan BOD
mg (X 0 − X 5 ) − ((B0 − B5 )(1 − P))
BOD5 ( ⁄L) =
P
mg (11.2 − 10.32) − ((9.6 − 8.8)(1 − 0.25))
BOD5 ( ⁄L) = = 1.12 mg/L
0.25

Dengan:
X0 = DO sampel pada hari 0 (mg/L)
X5 = DO sampel pada hari 5 (mg/L)
B0 = DO blanko pada hari 0 (mg/L)
B5 = DO blanko pada hari 5 (mg/L)
P = Derajat pengenceran

• Peruntukan Air
Berdasarkan standar baku mutu yang berlaku di Indonesia mengenai kadar kebutuhan
oksigen biokimiawi (BOD) dalam air yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaran Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, disebutkan bahwa kadar kebutuhan oksigen biokimiawi (BOD) maksimal
yang diperbolehkan untuk air sungai dan air danau adalah maksimal sebesar 2 mg/L untuk kelas
1, 3 mg/L untuk kelas 2, 6 mg/L untuk kelas 3, serta 12 mg/L untuk kelas 4.
Berdasarkan perhitungan kadar BOD di atas, maka segmen sungai X tidak memenuhi
standar baku mutu yang berlaku karena kadar BOD yang sangat tinggi sehingga airnya tidak
cocok dan tidak layak untuk peruntukan apapun. Untuk segmen sungai Y, kadar BOD yang
dimiliki juga tidak dapat memenuhi standar baku mutu yang berlaku karena nilai BOD nya masih
berada di atas standar baku mutu sehingga airnya tidak cocok dan tidak layak untuk peruntukan
apapun. Sementara itu, untuk segmen sungai Z, kadar BOD yang dimiliki masih memenuhi
standar baku mutu yang berlaku dan lolos pada kelas 1, 2, 3, dan 4 yang berarti air tersebut masih
sangat cocok untuk digunakan sebagai sumber baku air minum, untuk prasarana/sarana rekreasi
air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, serta untuk mengairi pertanaman.
Maka dari itu, untuk segmen sungai X dan segmen sungai Y, diperlukan pengolahan
biologis lebih lanjut, seperti menggunakan sistem lumpur aktif, RBC, RO, dan sebagainya agar
air pada segmen tersebut dapat memenuhi standar baku mutu yang berlaku di Indonesia sehingga
dapat diperuntukan sesuai dengan kelasnya masing-masing.

Universitas Indonesia
13

1.6 Kesimpulan dan Saran

1.6.1 Kesimpulan

1.6.1.1 Kesimpulan Modul DO


• Berdasarkan hasil pengolahan data dan pengamatan, didapatkan hasil nilai kadar oksigen
terlarut (DO) sebesar 7,27 mg/L.
• Berdasarkan baku mutu yang berlaku di Indonesia, yaitu Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, hasil kadar oksigen terlarut yang terdapat pada air sampel dinilai masih
memenuhi seluruh kelas pada baku mutu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22
Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Hal ini disebabkan karena nilai kadar oksigen terlarut yang dihasilkan, yaitu sebesar 7,272
mg/L, masih memenuhi batas minimal kelas 1 yang sebesar 6 mg/L dengan peruntukan
dapat digunakan untuk baku air minum, dan/atau air peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut, batas minimal kelas 2
yang sebesar 4 mg/L dengan peruntukan dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi
air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan/atau
peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut,
batas minimal kelas 3 yang sebesar 3 mg/L dengan peruntukan dapat digunakan untuk
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan/atau
peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut,
serta batas minimal kelas 4 yang sebesar 1 mg/L dengan peruntukan dapat digunakan untuk
mengairi pertanaman, dan/atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama
dengan kegunaan tersebut.
• Berdasarkan kadar oksigen terlarut yang tercatat, dapat dikatakan bahwa air sampel yang
merepresentasikan badan air tersebut sudah tercemar walaupun dalam jumlah yang sedikit.
Hal ini disebabkan karena nilai kadar oksigen terlarut 7,272 mg/L termasuk ke dalam
kategori kualitas air sedikit tercemar yang berada di rentang 6,5–8 mg/L.
• Hasil nilai kadar oksigen terlarut yang tercatat juga masih dapat menopang
keberlangsungan ekosistem biota akuatik pada badan air tersebut karena untuk menopang
keberlangsungan kehidupan ekosistem biota akuatik pada suatu badan air biasanya
membutuhkan kadar oksigen terlarut sebesar 5-6 ppm.

1.6.1.2 Kesimpulan Modul BOD


• Berdasarkan hasil pengolahan data dan pengamatan, didapatkan hasil nilai kadar
biochemical oxygen demand (BOD) sebesar 15,35 mg/L.

Universitas Indonesia
14

• Berdasarkan baku mutu yang berlaku di Indonesia, yaitu Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, hasil kadar biochemical oxygen demand (BOD) yang terdapat pada air
sampel dinilai sudah tidak dapat memenuhi seluruh kelas pada standar baku mutu Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
• Hasil kadar biochemical oxygen demand (BOD) yang tercatat disebabkan oleh beberapa
faktor, seperti suhu, salinitas, pH, kecerahan, total suspended solid (TSS), serta jumlah
senyawa organik yang akan diuraikan.
• Berdasarkan analisis dan hasil perhitungan kadar BOD pada sampel tersebut adalah sampel
perairan tersebut cukup tercemar berat yang kemungkinan dapat disebabkan karena adanya
beban pencemar, seperti limbah domestik, limbah industri, serta limbah
peternakan/pertanian yang dapat memperparah kualitas badan air tersebut.

1.6.2 Saran

1.6.2.1 Saran Modul DO


• Praktikan perlu lebih teliti dan konsentrasi saat percobaan berlangsung agar perhitungan
dan hasil yang didapat sesuai dengan dasar teori yang ada dan kesalahan-kesalahan yang
terjadi dapat diminimalisir.

1.6.2.2 Saran Modul BOD


• Untuk sampel air yang tidak memenuhi standar baku mutu, khususnya untuk air minum
tersebut, diperlukan pengolahan lebih lanjut, seperti menggunakan sistem pengolahan
lumpur aktif (activated sludge), reaktor kombinasi anaerob-aerob, reverse osmosis (RO),
trickling filter, reaktor biologis putar (rotating biological contactor/RBC).
• Praktikan perlu lebih teliti dan konsentrasi saat percobaan berlangsung agar perhitungan
dan hasil yang didapat sesuai dengan dasar teori yang ada dan kesalahan-kesalahan yang
terjadi dapat diminimalisir.

Universitas Indonesia
15

1.7 Referensi

6989.72, S. (2009). SNI 6989.72-2009 tentang Cara Uji Kebutuhan Oksigen Biokimia (BOD).

Anwariani, D. (2019). Pengaruh Air Limbah Domestik Terhadap Kualitas Sungai. Jurnal Teknik
Lingkungan.

Atima, W. (2015). BOD dan COD Sebagai Parameter Pencemaran Air dan Baku Mutu Air
Limba. Jurnal Biology Science & Education, 63-73.

Daroini, T. A., & Arisandi, A. (2020). Analisis BOD (Biological Oxygen Demand) di Perairan
Desa Prancak Kecamatan Sepulu, Bangkalan. Juvenil, Volume 1, No. 4, 558-567.

Paena, M., Suhaimi, R. A., & Undu, M. C. (2015). Analisis Konsentrasi Oksigen Terlarut (DO),
pH, Salinitas, dan Suhu pada Musim Hujan Terhadap Penurunan Kualitas Air Perairan
Teluk Punduh Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung. Seminar Nasional Kelautan X.

Peraturan Pemerintah No. 22. (2021). Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Praktikan. (2022).

Rilisavitri, H. (2021). Perbandingan Performa Trickling Filter dan Rotating Biological


Contactor Sebagai Polishing Unit dari UASB Melalui Simulasi Model Menggunakan
Software GPS-X. Retrieved from
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/30964/17513082%20Hani%20Rilis
avitri.pdf?sequence=1&isAllowed=y

Rizkiyanti, D. F., & Alfiah, T. (2018). Kinerja Trickling Filter Untuk Mengolah Limbah Cair
Katering dengan Variasi Media Bioball dan Batu Apung ditinjau dari Parameter BOD5
dan COD. Seminar Nasional Sains dan Teknologi Terapan VI, 297-302. Retrieved from
https://www.researchgate.net/publication/344527835_KINERJA_TRICKLING_FILTE
R_UNTUK_MENGOLAH_LIMBAH_CAIR_KATERING_DENGAN_VARIASI_ME
DIA_BIOBALL_DAN_BATU_APUNG_DITINJAU_DARI_PARAMETER_BOD5_D
AN_COD

Royani, S., Fitriana, A. S., Enarga, A. B., & Bagaskara, H. Z. (2021). Kajian COD dan BOD
dalam Air di Lingkungan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah Kaliori Kabupaten
Banuumas. Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan, Volume 13, Nomor 1, 40-49.
Retrieved from https://journal.uii.ac.id/JSTL/article/view/16974/11009

Universitas Indonesia
16

Salmin. (2005). Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) Sebagai Salah
Satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan. Oseana, Volume XXX, No. 3, 21-
26.

Sawyer, C., & McCarty, P. G. (2003). Chemistry for Environmental and Engineering Science.
New York: McGraw Hill Inc.

Tahir, R. B. (2016). Analisis Sebaran Kadar Oksigen (O2) dan Kadar Oksigen Terlarut
(Dissolved Oxygen) dengan Menggunakan Data In Situ dan Citra Satelit Landsar 8
(Studi Kasus: Wilayah Gili Ilyang Kabupaten Sumenep).

Wazzan, I. M. (2020, April 3). Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan
Perikanan. Retrieved from Dissolved Oxygen, Oksigennya Organisme Akuatik:
https://kkp.go.id/brsdm/artikel/18575-dissolved-oxygen-oksigennya-organisme-akuatik

Weiner, E. (2012). Applications of Environmental Aquatic Chemistry: A Practical Guide. Boca


Raton: CRC Press. doi:https://doi.org/10.1201/b12963

Zoko, G. (2013). Korelasi BOD dan COD. Retrieved from


http://goalterzoko.blogspot.com/2011/05/korelasi-bod-dan-cod.html

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai