MODUL V & VI
Nilai Laporan :
Paraf Asisten :
DEPOK
2022
1
1.1 Tujuan
1.1.1 Modul DO
Tujuan dari percobaan praktikum modul DO adalah untuk mengetahui kadar oksigen
terlarut dari sampel dengan metode iodometri atau modifikasi azida untuk kadar oksigen terlarut
sama atau di bawah kejenuhannya.
1.2.1.1 Definisi DO
Oksigen terlarut atau dissolved oxygen (DO) merupakan salah satu ukuran dari beberapa
molekul oksigen yang terlarut dalam air yang tentunya sangat penting dalam keberlangsungan
kehidupan ekosistem perairan. Oksigen dalam air diklasifikasikan sebagai zat yang sukar untuk
larut atau poorly soluble karena oksigen tidak dapat bereaksi dengan air secara kimiawi karena
kelarutan oksigen sangat bergantung pada tekanan parsial oksigen tersebut. Selain itu, kelarutan
dari oksigen juga sangat bervariasi tergantung dengan temperature yang dimilikinya. Maka dari
itu, Hukum Henry digunakan sebagai tolak ukur untuk perhitungan jumlah kadar saturasi oksigen
pada temperatur-temperatur tertentu.
Kadar oksigen yang terlarut pada air umumnya diukur dengan satuan mg/L dan part per
million (ppm). Selain itu, kadar oksigen terlarut yang umumnya terdapat pada perairan tawar
terletak pada rentang 14.6 mg/L pada temperatur 0°C hingga 7 mg/L pada temperatur 35°C pada
tekanan 1 atmosfer. Rentang kadar oksigen tersebut tentunya juga dapat mengindikasikan kondisi
kesehatan ekosistem akuatik tersebut. Pada umumnya, kadar oksigen yang dibutuhkan oleh
kebanyakan makhluk hidup adalah setidaknya lebih atau sama dengan 5 ppm agar makhluk hidup
akuatik tersebut dapat bertahan hidup dan tetap bereproduksi (Sawyer & McCarty, 2003). Berikut
adalah jenis kualitas air berdasarkan kadar oksigen terlarutnya:
Universitas Indonesia
2
Gambar 1. Hubungan Kelarutan Oksigen dan Nitrogen pada Air Suling dengan
Kondisi 1 atm
Sumber: (Sawyer & McCarty, 2003)
Faktor kedua yang dapat mempengaruhi kadar oksigen terlarut adalah kedalaman air.
Berdasarkan stratifikasi lapisan air, kadar oksigen terlarut akan semakin tinggi pada lapisan
permukaan atau lapisan epilimnion. Hal ini disebabkan karena adanya proses difusi antara air
dengan udara permukaan. Selain itu, pada lapisan permukaan, proses fotosintesis juga masih
Universitas Indonesia
3
berjalan dengan optimal karena penetrasi cahaya dan oksigen yang masuk masih optimum. Maka
dari itu, dengan bertambahnya kedalaman, maka akan terjadi penurunan kadar oksigen terlarut
karena proses fotosintesis yang berkurang dan kadar oksigen yang ada telah terpakai untuk proses
oksidasi dan respirasi bahan-bahan organik dan anorganik yang ada di dalam air (Tahir, 2016).
Selain itu, faktor ketiga yang dapat mempengaruhi kelarutan oksigen dalam air adalah
salinitas. Salinitas merupakan faktor pembatas bagi organisme perairan terutama yang berada
pada range yang sempit. Selain itu, salinitas merupakan indikator utama untuk mengetahui
penyebaran massa air lautan sehingga penyebaran nilai-nilai salinitas secara langsung
menunjukkan penyebaran dan peredaran massa air dari satu tempat ke tempat lainnya.
Kebalikannya terhadap hubungan suhu dan kadar oksigen terlarut, salinitas akan menyebabkan
semakin berkurangnya kadar oksigen terlarut ketika salinitas semakin tinggi. Hal ini disebabkan
karena adanya faktor yang mempengaruhi terjadinya salinitas yang baik secara langsung maupun
secara tidak langsung mempengaruhi kadar oksigen terlarut, seperti curah hujan, pengaliran air
tawar ke laut secara langsung maupun lewat sungai dan gletser, arus laut, turbulensi pencampuran
(mixing), penguapan, serta aksi gelombang (Paena, Suhaimi, & Undu, 2015).
Universitas Indonesia
4
mereduksi I2 menjadi I- dan menghasilkan produk yang lebih rendah. Metode winkler tanpa
modifikasi ini hanya mampu diaplikasikan pada air murni.
Metode kedua yang dapat digunakan adalah metode winkler dengan modifikasi azida.
Berdasarkan SNI 06-6989-14-2004, metode ini merupakan cara pengujian kadar oksigen terlarut
(DO) dari contoh air dan air limbah, terutama untuk contoh air dan air limbah yang mengandung
lebih besar dari 50 μg NO2 dan kadar besi (II) lebih kecil dari 1 mg/L dengan menggunakan
metode iodometri (modifikasi azida) untuk kadar oksigen terlarut sama atau di bawah
kejenuhannya. Prinsip kerja dari metode ini adalah oksigen terlarut yang bereaksi dengan ion
mangan (II) dalam suasana basa menjadi hidroksida mangan dengan valensi yang lebih tinggi
(Mn IV). Dengan adanya ion yodida (I-) dalam suasana asam, ion mangan (IV) akan kembali
menjadi ion mangan (II) dengna membebaskan iodin (I2) yang setara dengan kandungan oksigen
terlarut. Iodin yang terbentuk kemudian dititrasi dengan sodium tiosulfat dengan indikator
amilum.
Metode ketiga yang dapat digunakan adalah metode winkler dengan modifikasi Rideal-
Stewart merupakan metode modifikasi permanganate yang diciptakan untuk menghadapi akibat
dari banyaknya gangguan yang disebabkan oleh senyawa pereduksi, seperti nitrit. Permanganat
yang ditambahkan dalam jumlah banyak akan mengoksidasi agen pereduksi yang terdapat pada
sampel. Sisa permanganat yang masih ada kemudian dihilangkan dengan penambahan agen
pereduksi, yaitu potassium oksalat.
Universitas Indonesia
5
Universitas Indonesia
6
Selain itu, pengujian kadar oksigen terlarut juga dapat digunakan untuk mengontrol
polusi pada limpasan air. Hal ini dapat dikatakan sangat penting guna mempertahankan dan
menjaga kondisi optimum bagi biota badan air tersebut untuk tumbuh dan bereproduksi. Maka
dari itu, untuk tetap menjaga dan mempertahankan kondisi tersebut, diperlukan pemeliharaan
kadar oksigen terlarut agar tetap dapat menopang kehidupan biota yang berada pada badan air
(Sawyer & McCarty, 2003).
Universitas Indonesia
7
ini dapat berpotensi mengurangi penetrasi cahaya matahari ke dalam air sehingga dapat
mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosintesa (Weiner, 2012).
Selain itu, faktor lainnya yang mempengaruhi kadar BOD pada suatu perairan adalah
jumlah senyawa organik yang akan diuraikan, adanya mikroorganisme aerobik yang mampu
menguraikan senyawa organik tersebut, serta tersedianya sejumlah kadar oksigen yang
dibutuhkan untuk proses penguraian atau proses degradasi tersebut (Sawyer & McCarty, 2003).
Hal ini pun juga sejalan dengan formula laju reaksi BOD yang juga berbanding lurus
dengan jumlah material organik biodegradable yang tersisa setiap saat yang juga dipengaruhi
oleh organisme aktif. Ketika populasi organisme telah mencapai titik di mana hanya terjadi sedikit
variasi, maka laju reaksi dikontrol oleh jumlah makanan organisme yang tersisa dan dapat
diekspresikan dalam rumus berikut:
dC
− = k′C
dt
Dengan C merepresentasikan konsentrasi material organik biodegradable (polutan) pada
waktu tertentu (t), dan k’ adalah nilai konstanta dari reaksi tersebut. Hal ini menandakan bahwa
laju reaksi dari BOD akan semakin berkurang seiring dengan konsentrasi C (material organik
biodegradable) yang berkurang juga (Sawyer & McCarty, 2003).
Universitas Indonesia
8
pengencer jenuh oksigen yang telah ditambah larutan nutrisi dan bibit mikroba yang kemudian
diinkubasi dalam ruang gelap pada suhu 20°C ± 1°C selama lima hari. Nilai BOD kemudian dapat
dihitung berdasarkan selisih konsentrasi oksigen terlarut hari ke-0 dan hari ke-5. Bahan kontrol
standar dalam uji BOD tersebut adalah menggunakan larutan glukosa-asam glutamat. Tahapan
prosedur dari pengujian ini diawali dengan mengondisikan contoh uji pada suhu 20°C ± 3°C dan
pada pH 6 – 8 serta menghilangkan zat-zat pengganggu (bagi contoh uji yang mengandung klorin
sisa, mengandung senyawa toksik, dan mengandung hidrogen peroksida). Lalu, contoh uji yang
mendapat hasil ∆DO > 2 mg/L dan DO5 > 1 mg/L selanjutnya diencerkan. Kemudian, botol DO
atau botol Winkler disiapkan dan diisi dengan contoh uji yang kemudian diukur kandungan DO0
dengan DO meter atau titrasi secara iodometri. Selanjutnya, botol Winkler kemudian diinkubasi
pada suhu 20°C ± 1°C selama lima hari ± 6 jam. Kemudian, DO5 dapat diukur dengan DO meter
atau titrasi secara iodometri. Setelah itu, pengerjaan diulang untuk blanko (air pengencer) dan
kontrol standar (GGA) dan kemudian dapat menentukan kadar masing-masing DO0 dan DO5.
Setelah itu, kadar konsentrasi BOD dapat ditentukan (SNI 6989.72-2009 tentang Cara Uji
Kebutuhan Oksigen Biokimia (BOD), 2009)
Universitas Indonesia
9
penduduk maupun buangan dari proses-proses industri. Kandungan BOD yang tinggi jug
menandakan minimnya oksigen terlarut yang terdapat di dalam perairan. Kandungan BOD yang
tinggi akan berdampak terhadap kematian organisme perairan, seperti ikan, akibat kekurangan
oksigen terlarut (anoxia) (Daroini & Arisandi, 2020).
Universitas Indonesia
10
Universitas Indonesia
11
• Kelas 3
Merupakan air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air
tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan/atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
• Kelas 4
Merupakan air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman,
dan/atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut.
Universitas Indonesia
12
lapisan biofilm yang melekat pada permukaan medium. Bahan organik yang terdapat pada air
limbah akan didegradasi oleh mikroorganisme yang menempel pada permukaan media trickling
filter menjadi air, gas, dan sel-sel mikroorganisme baru (Rizkiyanti & Alfiah, 2018).
Sementara itu, sistem RBC (rotating biological contactor) merupakan sistem penglahan
sekunder yang didahului oleh unit pengolahan primer lainnya, seperti tanki septik, filter
anaerobik, dan sebagainya. RBC merupakan sebuah alternatif untuk teknologi pengolahan air
limbah seperti lumpur aktif. Pada prosesnya, mikroorganisme tumbuh dengan merendahkan
substrat yang menarik pertumbuhan mikroorganisme pada sebuah static biological film. Sistem
RBC iini mempunyai keunggulan, di antaranya adalah memiliki kapasitas yang tinggi untuk
mentolerir fluktuasi air limbah dan dapat menghasilkan efisiensi transfer oksigen yang tinggi
sehingga pada hasil akhirnya akan menghasilkan biaya yang lebih sedikit (Rilisavitri, 2021).
Universitas Indonesia
13
Universitas Indonesia
14
Universitas Indonesia
15
Universitas Indonesia
16
Universitas Indonesia
17
Larutan
Memasukkan larutan amilum Amilum
21
ke dalam labu Erlenmeyer.
Universitas Indonesia
18
Universitas Indonesia
19
Universitas Indonesia
20
Universitas Indonesia
21
6 pipet ukur dan bulb yang baru tertentu sesuai dengan prosedur
ke dalam beaker glass 2000 penggunaannya. Penggunaan pipet
mL. ukur dan bulb yang baru bertujuan
untuk menghindari terjadinya
kontaminasi antarsampel.
Universitas Indonesia
22
Universitas Indonesia
23
keruh.
Universitas Indonesia
24
Universitas Indonesia
25
Universitas Indonesia
26
Larutan
Memasukkan larutan amilum Amilum
21
ke dalam labu Erlenmeyer.
Universitas Indonesia
27
Universitas Indonesia
28
Universitas Indonesia
29
Universitas Indonesia
30
Dengan:
V = Volume Natrium Thiosulfat (mL)
N = Normalitas Natrium Thiosulfat (N)
F = Nilai Faktor
Universitas Indonesia
31
• Perhitungan BOD
mg (X 0 − X 5 ) − ((B0 − B5 )(1 − P))
BOD5 ( ⁄L) =
P
mg (7.27 − 1.61) − ((9.7 − 7.27)(1 − 0.25))
BOD5 ( ⁄L) = = 15.35 mg/L
0.25
Dengan:
X0 = DO sampel pada hari 0 (mg/L)
X5 = DO sampel pada hari 5 (mg/L)
B0 = DO blanko pada hari 0 (mg/L)
B5 = DO blanko pada hari 5 (mg/L)
P = Derajat pengenceran
1.5 Analisis
1.5.1 Analisis Percobaan
1.5.1.1 Modul DO
Percobaan pada modul kekeruhan ini memiliki tujuan untuk mengetahui kadar oksigen
terlarut dari sampel dengan metode iodometri atau modifikasi azida untuk kadar oksigen terlarut
sama atau di bawah kejenuhannya. Pada percobaan dengan metode iodometri ini, terdapat
beberapa keunggulan dan kekurangan yang ada pada percobaan ini. Keunggulan dari metode
iodometri atau metode modifikasi azida ini adalah keberlangsungan percobaan yang dapat
dibilang cepat karena menggunakan proses titrasi sehingga titran dapat langsung bereaksi.
Sementara itu, kekurangan dari metode iodometri atau metode modifikasi azida ini adalah titran
yang mudah terurai oleh cahaya. Sebelum praktikum dimulai, praktikan diwajibkan untuk
memastikan standar kemananan laboratorium telah terpenuhi dengan menggunakan alat
pelindung diri, seperti jas lab, masker, sepatu tertutup, serta sarung tangan agar mencegah terjadi
kecelakaan kerja.
Selanjutnya, praktikan menyiapkan alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum, di
antaranya statif sebagai alat titrasi, buret dan klem sebagai alat titrasi, kertas titar untuk
mengidentifikasi warna ketika proses titrasi, labu Erlenmeyer sebagai wadah percobaan, pipet
volume 50 mL berfungsi untuk memindahkan larutan, pipet ukur dan bulb berfungsi untuk
menambahkan dan memindahkan larutan, mangan sulfat, alkali iodida azida, amilum sebagai
indikator warna yang mengindikasikan perubahan warna dalam proses titrasi, natrium tiosulfat
sebagai titran, asam sulfat sebagai pembuat sampel menjadi asam, air sampel sebagai sampel yang
akan diujicoba dalam percobaan, botol Winkler sebagai wadah percobaan, serta pipet tetes untuk
memindahkan amilum ke dalam sampel.
Universitas Indonesia
32
Percobaan dimulai dengan menuangkan air sampel ke dalam botol Winkler bervolume
300 mL hingga mencapai batas atas leher botol. Proses penuangan ini dilakukan secara perlahan
dan hati-hati agar air sampel tidak melebihi atau kurang dari batas atas leher botol sehingga
mengurangi potensi udara yang tertinggal di dalam botol yang dapat mengganggu percobaan.
Selain itu, pemilihan penggunaan botol Winkler pada percobaan ini adalah karena botol Winkler
mempunyai penutup yang memungkinkan larutan di dalamnya benar-benar terisi penuh sehingga
tidak menyisakan oksigen atau udara yang masuk yang dapat mengganggu kestabilan konsentrasi
oksigen terlarut dari larutan yang ada di dalamnya. Selanjutnya, larutan mangan sulfat diambil
sebanyak 1 mL menggunakan pipet ukur dan bulb. Alat pipet ukur dan bulb yang digunakan pada
proses ini berfungsi untuk memindahkan larutan dengan menekan bagian tertentu sesuai dengan
prosedur penggunaannya. Lalu, larutan mangan sulfat dimasukkan ke dalam botol Winkler
menggunakan pipet yang ditempatkan tepat di atas permukaan larutan dan dilakukan secara hati-
hati dan perlahan agar menghindari terjadinya tumpahan. Penambahan mangan sulfat yang
dilakukan proses ini bertujuan untuk mempermudah indikasi adanya oksigen pada air sampel.
Selanjutnya, larutan alkali iodida azida diambil sebanyak 1 mL menggunakan pipet ukur dan bulb.
Alat pipet ukur dan bulb yang digunakan pada proses ini berfungsi untuk memindahkan larutan
dengan menekan bagian tertentu sesuai dengan prosedur penggunaannya. Kemudian, larutan
alkali iodide azida dimasukkan ke dalam botol Winkler menggunakan pipet yang ditempatkan
tepat di atas permukaan larutan dan dilakukan secara hati-hati dan perlahan agar menghindari
terjadinya tumpahan. Penambahan alkali iodida azida berfungsi untuk menandakan adanya
oksigen pada air sampel yang ditunjukkan dengan adanya endapan dan perubahan warna yang
terjadi. Pada proses ini, larutan alkali iodida akan menyebabkan air sampel menjadi keruh yang
menandakan adanya oksigen terlarut pada sampel. Lalu, botol Winkler ditutup agar mencegah
terjadinya penguapan larutan. Selanjutnya, larutan pada botol Winkler dihomogenkan dengan
cara membolak-balikkan botol Winkler dengan tangan kanan memegang bagian atas gelas ukur.
Proses homogenisasi berfungsi agar partikel dalam air sampel tersebar secara merata. Lalu, botol
Winkler didiamkan selama 10 menit hingga terjadi pengendapan MnO2 (mangan oksida) pada
larutan sampel. Kemudian, botol Winkler dipindahkan ke ruang asam. Dalam hal ini, ruang asam
merupakan ruangan yang berfungsi untuk menjaga keamanan praktikan dari potensi paparan asam
yang berbahaya dari suatu bahan kimia ketika menggunakan larutan asam. Selanjutnya, asam
sulfat pekat diambil sebanyak 1 mL dengan menggunakan pipet ukur dan bulb. Alat pipet ukur
dan bulb yang digunakan pada proses ini berfungsi untuk memindahkan larutan dengan menekan
bagian tertentu sesuai dengan prosedur penggunaannya. Proses pengambilan dilakukan secara
perlahan dan hati-hati sehingga volume pada pipet ukur tidak berkurang dan tumpah. Selain itu,
penambahan asam sulfat yang dilakukan pada proses ini bertujuan untuk menimbulkan reaksi
Universitas Indonesia
33
oksidasi dari I- menjadi I2 pada kondisi asam. Praktikan kemudian membuka tutup botol Winkler
dan memasukkan larutan asam sulfat ke dalam botol Winkler. Proses pemasukkan larutan asam
sulfat harus dilakukan segera agar tidak terjadi pengurangan volume karena tetesan dari pipet dan
menghindari potensi paparan dari asam sulfat tersebut. Praktikan kemudian menutup kembali
botol Winkler agar mencegah terjadinya penguapan. Lalu, larutan pada botol Winkler
dihomogenkan dengan cara membolak-balikkan botol Winkler dengan tangan kanan memegang
bagian atas gelas ukur. Proses homogenisasi berfungsi agar partikel dalam air sampel tersebar
secara merata dan endapan dapat terlarut dengan sempurna. Selanjutnya, larutan natrium tiosulfat
diambil menggunakan pipet ukur dan bulb. Digunakannya larutan standar natrium tiosulfat ini
adalah karena larutan ini merupakan titran dan berperan penting dalam mentitrasi iodin yang
sudah bebas akibat penambahan mangan sulfat dan asam sulfat pada proses sebelumnya. Setelah
itu, larutan tiosulfat dimasukkan ke dalam buret agar dapat mempermudah proses titrasi.
Kemudian, tutup botol Winkler dibuka. Selanjutnya air sampel diambil sebanyak 50 mL
menggunakan pipet volume dan bulb. Proses pengambilan ini dilakukan hingga volume pada
pipet mencapai 50 mL. Lalu, air sampel yang sudah diambil kemudian dimasukkan ke dalam labu
Erlenmeyer 250 mL dengan cara tangan kanan memegang pipet dan tangan kiri memegang labu
Erlenmeyer yang dimiringkan. Kemudian, larutan amilum diambil dengan pipet tetes.
Selanjutnya, larutan amilum kemudian dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer sebanyak tiga
tetes. Kemudian, larutan pada labu Erlenmeyer dihomogenkan dengan cara memutar-mutarkan
labu Erlenmeyer dengan tangan kanan. Proses homogenisasi berfungsi agar partikel dalam air
sampel tersebar secara merata. Proses ini dilakukan hingga larutan berubah warna menjadi kuning
kecoklatan. Setelah itu, proses titrasi dilakukan pada air sampel. Proses titrasi dilakukan dengan
cara tangan kiri memegang buret dan tangan kanan memegang labu Erlenmeyer sambal
mengguncangkannya. Proses titrasi ini dilakukan hingga air sampel berubah warna menjadi
bening atau tidak berwarna. Setelah proses titrasi selesai, volume natrium tiosulfat yang
digunakan selama proses titrasi dicatat.
Kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi pada saat percobaan berlangsung adalah
proses titrasi tetap dilakukan oleh praktikan walaupun sudah terjadi perubahan warna. Hal ini
dapat terjadi jika buret titrasi tidak langsung ditutup ketika sudah terjadi perubahan warna atau
terlalu cepat dibuka sehingga volume pada proses titrasi menjadi tidak tepat yang nantinya dapat
mengganggu perhitungan. Selain itu, terdapat juga kemungkinan kesalahan pada proses
homogenisasi, seperti proses pengguncangan yang lebih cepat atau lebih lambat yang dilakukan
pada proses titrasi yang mempengaruhi kecepatan pengendapan atau perubahan warna.
Universitas Indonesia
34
Universitas Indonesia
35
proses tersebut dilakukan secara otomatis dengan menggunakan magnetic stirrer karena interval
waktu yang dilakukan untuk mengaduk dapat dikatakan cukup lama dan mengingat bahwa
volume di dalamnya cukup besar sehingga jika dilakukan secara manual menggunakan batang
pengaduk akan dinilai tidak efisien dan laju putarannya tidak akan kontan. Lalu, larutan pengencer
masing-masing dituangkan ke dalam 2 botol Winkler sebanyak 300 mL. Pada proses ini, akan
terbentuk larutan blanko hari ke-0 dan hari ke-5 yang nantinya digunakan dalam proses
praktikum. Dalam hal ini, larutan blanko berfungsi untuk tujuan kalibrasi di mana di dalam larutan
blanko tidak berisi analit. Proses inkubasi selama lima hari tersebut dinilai tepat karena pada
pengukuran selama lima hari, kadar bahan organik yang teroksidasi yang terhitung hanya
sebanyak 68%, dan waktu lima hari merupakan standar uji yang berlaku. Untuk mengoksidasi
bahan organic seluruhnya secara sempurna akan memerlukan waktu yang lebih lama, yaitu dapat
memakan waktu hingga 20 hari sehingga dianggap tidak efisien. Kemudian, larutan pengencer
dicampurkan dengan air sampel dengan memakai derajat pengenceran sebesar 0,25, di mana
komposisi larutan pengencer sebesar 750 mL dan air sampel sebesar 250 mL. Pada proses ini,
pemilihan penggunaan derajat pengenceran sebesar 0,25 adalah karena jenis air sampel yang
digunakan merupakan air sungai dan perkiraan dari BOD5 nya adalah sebesar 15 mg/L.
Selanjutnya, larutan kemudian diaduk dengan batang pengaduk. Pada proses ini, akan terbentuk
larutan sampel yang nantinya digunakan dalam proses praktikum. Setelah itu, larutan sampel
dituang ke dalam 2 botol Winkler masing-masing sebanyak 300 mL. Proses ini bertujuan untuk
memisahkan larutan sampel hari ke 0 dan hari ke-5 yang digunakan secara terpisah pada proses
praktikum.
Setelah larutan pengencer dan larutan sampel terbuat, praktikan selanjutnya dapat
melanjutkan percobaan ke tahap pengujian kadar oksigen terlarut yang dimulai dengan
memasukkan larutan blanko dan larutan sampel hari ke-5 ke dalam inkubator suhu 20 ± 1°C
terlebih dahulu. Proses inkubasi disebabkan karena melibatkan mikroorganisme sebagai pengurai
bahan organik dan bertujuan untuk menentukan besarnya pengenceran contoh air karena
perkiraan angka BOD5 harus diperkirakan. Jika pengenceran terlalu kecil, maka pada waktu
pengukuran DO 5 hari dikhawatirkan oksigen terlarutnya menjadi 0 mg/L sehingga percobaan
menjadi gagal. Suhu 20 derajat dinilai sebagai suhu yang setara dengan suhu perairan. Lalu,
larutan mangan sulfat dan larutan alkali iodida azida diambil masing-masing sebanyak 1 mL
dengan menggunakan pipet ukur dan bulb. Kemudian, larutan mangan sulfat dimasukkan ke
dalam botol Winkler yang sudah berisi larutan blanko hari ke-0 dan larutan alkali iodide azida
dimasukkan ke dalam botol Winkler yang sudah berisi larutan blanko hari ke-0. Praktikan
selanjutnya dapat menutup botol Winkler agar mencegah terjadinya penguapan larutan dan
mencegah adanya oksigen yang dapat mengganggu kestabilan kadar oksigen terlarut. Kemudian,
Universitas Indonesia
36
larutan pada botol Winkler dihomogenkan dengan cara membolak-balikkan botol Winkler dengan
tangan kanan memegang bagian atas gelas ukur. Proses homogenisasi berfungsi agar partikel
dalam air sampel tersebar secara merata. Botol Winkler selanjutnya didiamkan selama 10 menit
hingga terjadi pengendapan pada larutan sampel. Selanjutnya, praktikan kemudian memindahkan
botol Winkler ke ruang asam yang merupakan ruangan yang berfungsi untuk menjaga keamanan
praktikan dari potensi paparan asam yang berbahaya dari suatu bahan kimia ketika menggunakan
larutan asam. Setelah itu, larutan asam sulfat pekat diambil sebanyak 1 mL dengan menggunakan
pipet ukur dan bulb berfungsi untuk memindahkan larutan dengan menekan bagian tertentu sesuai
dengan prosedur penggunaannya. Lalu, tutup botol Winkler dibuka untuk memasukkan larutan
asam sulfat pekat ke dalam botol Winkler. Proses pemasukkan larutan asam sulfat harus dilakukan
segera agar tidak terjadi pengurangan volume karena tetesan dari pipet dan menghindari potensi
paparan dari asam sulfat tersebut. Praktikan selanjutnya menutup kembali botol Winkler agar
mencegah terjadinya penguapan larutan dan mencegah adanya oksigen yang dapat mengganggu
kestabilan kadar oksigen terlarut. Kemudian, larutan pada botol Winkler dihomogenkan dengan
cara membolak-balikkan botol Winkler dengan tangan kanan memegang bagian atas gelas ukur.
Proses homogenisasi berfungsi agar partikel dalam air sampel tersebar secara merata.
Selanjutnya, larutan natrium tiosulfat diambil menggunakan pipet ukur dan bulb. Digunakannya
larutan standar natrium tiosulfat ini adalah karena larutan ini merupakan titran dan berperan
penting dalam mentitrasi iodin yang sudah bebas akibat penambahan mangan sulfat dan asam
sulfat pada proses sebelumnya. Setelah itu, larutan tiosulfat dimasukkan ke dalam buret agar dapat
mempermudah proses titrasi. Kemudian, tutup botol Winkler dibuka. Selanjutnya air sampel
diambil sebanyak 50 mL menggunakan pipet volume dan bulb. Proses pengambilan ini dilakukan
hingga volume pada pipet mencapai 50 mL. Lalu, air sampel yang sudah diambil kemudian
dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 250 mL dengan cara tangan kanan memegang pipet dan
tangan kiri memegang labu Erlenmeyer yang dimiringkan. Kemudian, larutan amilum diambil
dengan pipet tetes. Selanjutnya, larutan amilum kemudian dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer
sebanyak tiga tetes. Kemudian, larutan pada labu Erlenmeyer dihomogenkan dengan cara
memutar-mutarkan labu Erlenmeyer dengan tangan kanan. Proses homogenisasi berfungsi agar
partikel dalam air sampel tersebar secara merata. Proses ini dilakukan hingga larutan berubah
warna menjadi coklat kegelapan. Setelah itu, proses titrasi dilakukan pada air sampel. Proses
titrasi dilakukan dengan cara tangan kiri memegang buret dan tangan kanan memegang labu
Erlenmeyer sambal mengguncangkannya. Proses titrasi ini dilakukan hingga air sampel berubah
warna menjadi bening atau tidak berwarna. Setelah proses titrasi selesai, volume natrium tiosulfat
yang digunakan selama proses titrasi dicatat. Setelah itu, langkah yang sama diulangi untuk
pengujian dengan larutan sampel pada hari ke-0. Setelah pengujian larutan sampel pada hari ke-
Universitas Indonesia
37
0 selesai, selanjutnya larutan blanko dan larutan sampel hari ke-5 dikeluarkan dari dalam
inkubator untuk selanjutnya dapat dilakukan pengujian DO untuk larutan blanko dan larutan
sampel pada hari ke-5 dengan prosedur yang sama dengan hari ke-0.
Kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi pada saat percobaan berlangsung adalah
proses titrasi tetap dilakukan oleh praktikan walaupun sudah terjadi perubahan warna. Hal ini
dapat terjadi jika buret titrasi tidak langsung ditutup ketika sudah terjadi perubahan warna atau
terlalu cepat dibuka sehingga volume pada proses titrasi menjadi tidak tepat yang nantinya dapat
mengganggu perhitungan. Selain itu, terdapat juga kemungkinan kesalahan pada proses
homogenisasi, seperti proses pengguncangan yang lebih cepat atau lebih lambat yang dilakukan
pada proses titrasi yang mempengaruhi kecepatan pengendapan atau perubahan warna.
1.5.2.1 Modul DO
Berdasarkan hasil pengolahan data, didapatkan hasil nilai faktor sebesar 1,01. Setelah
mendapatkan nilai faktor titrasi, praktikan kemudian dapat melakukan perhitungan kadar oksigen
terlarut dengan hasil seperti yang telah dihitung pada pengolahan data sebesar 7,272 mg/L.
Jika dibandingkan berdasarkan baku mutu yang berlaku di Indonesia, yaitu Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, hasil kadar oksigen terlarut yang terdapat pada air sampel dinilai
masih memenuhi seluruh kelas pada baku mutu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22
Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hal ini
disebabkan karena nilai kadar oksigen terlarut yang dihasilkan, yaitu sebesar 7,272 mg/L, masih
memenuhi batas minimal kelas 1 yang sebesar 6 mg/L dengan peruntukan dapat digunakan untuk
baku air minum, dan/atau air peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut, batas minimal kelas 2 yang sebesar 4 mg/L dengan peruntukan dapat
digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air
untuk mengairi pertanaman, dan/atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama
dengan kegunaan tersebut, batas minimal kelas 3 yang sebesar 3 mg/L dengan peruntukan dapat
digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman,
dan/atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut,
serta batas minimal kelas 4 yang sebesar 1 mg/L dengan peruntukan dapat digunakan untuk
mengairi pertanaman, dan/atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama
dengan kegunaan tersebut.
Universitas Indonesia
2
Berdasarkan kadar oksigen terlarut yang tercatat, dapat dikatakan bahwa air sampel
yang merepresentasikan badan air tersebut sudah tercemar walaupun dalam jumlah yang sedikit.
Hal ini disebabkan karena nilai kadar oksigen terlarut 7,272 mg/L termasuk ke dalam kategori
kualitas air sedikit tercemar yang berada di rentang 6,5–8 mg/L.
Hasil kadar oksigen terlarut yang tercatat tentunya dapat disebabkan oleh tiga faktor
utama, seperti temperatur, salinitas air, serta kedalaman air dari sampel badan air tersebut. Selain
itu, nilai kadar oksigen terlarut yang tercatat juga masih dapat menopang keberlangsungan
ekosistem biota akuatik pada badan air tersebut karena untuk menopang keberlangsungan
kehidupan ekosistem biota akuatik pada suatu badan air biasanya membutuhkan kadar oksigen
terlarut sebesar 5-6 ppm. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dengan diketahuinya kadar
oksigen terlarut pada suatu badan air, maka kualitas air pada badan air tersebut dapat diidentifikasi
juga karena kadar oksigen terlarut mencerminkan seberapa besar perairan tersebut sudah
tercemar.
Universitas Indonesia
3
matahari ke dalam air sehingga dapat mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosintesa. Selain
itu, faktor lainnya yang mempengaruhi kadar BOD pada suatu perairan adalah jumlah senyawa
organik yang akan diuraikan, adanya mikroorganisme aerobik yang mampu menguraikan
senyawa organik tersebut, serta tersedianya sejumlah kadar oksigen yang dibutuhkan untuk proses
penguraian atau proses degradasi tersebut.
Dengan demikian, berdasarkan analisis dan hasil perhitungan kadar BOD pada sampel
tersebut adalah sampel perairan tersebut cukup tercemar berat yang kemungkinan dapat
disebabkan karena adanya beban pencemar, seperti limbah domestik, limbah industri, serta
limbah peternakan/pertanian yang dapat memperparah kualitas badan air tersebut. Adanya beban-
beban pencemar tersebut tentunya meningkatkan kadar BOD pada perairan tersebut karena kadar
oksigen terlarutnya menurun, kadar TSS meningkat, warna air berubah menjadi keruh, dan
sebagainya.
1.5.3.1 Modul DO
3 buah sampel dari badan air X, Y, dan Z dilakukan pengujian untuk mengukur
konsentrasi DO menggunakan metode iodometri pada botol Winkler 300 mL, volume titrasi
dengan thiosulfat 0,1 N sehingga didapatkan data sebagai berikut:
• Volume Titrasi Natrium Thiosulfat
- Sampel X: 0,1 mL
- Sampel Y: 0,25 mL
- Sampel Z: 0,47 mL
Volume pereaksi MnSO4 dan iodida azida masing-masing sebesar 1 mL. Bagaimana
perkiraan kondisi badan air X, Y, dan Z dilihat dari kandungan oksigen terlarutnya?
• Sampel Sungai X
• Perhitungan Faktor
Vol. Botol
F=
(Vol. Botol − Vol. MnSO4 − Vol. Alkali Iodida Azida)
300 mL
F= = 1,01
(300 mL − 1 mL − 1 mL)
• Konsentrasi Oksigen Terlarut (DO) dari Sampel Sungai X
mg V × N × 8000 × F
Oksigen Terlarut ( ⁄L) =
50
mg 0,1 × 0,1 × 8000 × 1,01
Oksigen Terlarut ( ⁄L) = = 1.61 mg/L
50
Universitas Indonesia
4
• Sampel Sungai Y
• Perhitungan Faktor
Vol. Botol
F=
(Vol. Botol − Vol. MnSO4 − Vol. Alkali Iodida Azida)
300 mL
F= = 1,01
(300 mL − 1 mL − 1 mL)
• Konsentrasi Oksigen Terlarut (DO) dari Sampel Sungai X
mg V × N × 8000 × F
Oksigen Terlarut ( ⁄L) =
50
mg 0,25 × 0,1 × 8000 × 1,01
Oksigen Terlarut ( ⁄L) = = 4.04 mg/L
50
• Sampel Sungai Z
• Perhitungan Faktor
Vol. Botol
F=
(Vol. Botol − Vol. MnSO4 − Vol. Alkali Iodida Azida)
300 mL
F= = 1,01
(300 mL − 1 mL − 1 mL)
• Konsentrasi Oksigen Terlarut (DO) dari Sampel Sungai X
mg V × N × 8000 × F
Oksigen Terlarut ( ⁄L) =
50
mg 0,47 × 0,1 × 8000 × 1,01
Oksigen Terlarut ( ⁄L) = = 7.59 mg/L
50
Berdasarkan standar baku mutu yang berlaku di Indonesia mengenai kadar oksigen
terlarut (DO) dalam air yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22
Tahun 2021 Tentang Penyelenggaran Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
disebutkan bahwa kadar oksigen terlarut (DO) minimal yang diperbolehkan untuk air sungai dan
air danau adalah minimal sebesar 6 mg/L untuk kelas 1, 4 mg/L untuk kelas 2, 3 mg/L untuk kelas
3, serta 1 mg/L untuk kelas 4.
Berdasarkan perhitungan kadar DO di atas, maka sampel sungai X hanya memenuhi
standar baku mutu untuk kelas 4 sehingga hanya dapat diperuntukan untuk mengairi pertanaman.
Untuk sampel sungai Y, kadar DO yang dimiliki masih memenuhi baku mutu yang berlaku untuk
kelas 2, kelas 3, dan kelas 4 yang peruntukannya untuk sarana/prasarana rekreasi air,
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, serta untuk mengairi pertanaman. Sementara itu,
untuk sampel sungai Z, kadar BOD yang dimiliki masih memenuhi standar baku mutu yang
berlaku dan lolos pada kelas 1, 2, 3, dan 4 yang berarti air tersebut masih sangat cocok untuk
digunakan sebagai sumber baku air minum, untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan
ikan air tawar, peternakan, serta untuk mengairi pertanaman.
Universitas Indonesia
5
Bagi sampel sungai yang belum dapat memenuhi standar baku mutu yang peruntukan
airnya dapat digunakan sebagai air baku minum, maka dapat dilakukan pengolahan lebih lanjut.
Pengolahan yang dapat membuat kadar oksigen terlarut pada air meningkat adalah dengan
menggunakan konsep aerasi dan agitasi. Aerasi merupakan suatu proses penambahan udara atau
oksigen di dalam air dengan cara membawa air dan udara tersebut ke dalam kontak yang dekat,
dengan menyemprotkan udara ke dalam air melalui suatu pori-pori yang kecil sehingga
membentuk gelembung udara yang halus serta membiarkannya untuk bisa naik melalui air.
Sementara itu, untuk konsep agitasi menggunakan prinsip pengadukan sehingga terbentuk arus
gelombang air yang memercik dengan tujuan memperluas dan memperlama bidang kontak
dengan udara sehingga memungkinkan oksigen lebih banyak terdifusi dalam air. Contoh alat yang
menggunakan konsep agitasi tersebut salah satunya ialah kincir air yang banyak dijumpai pada
tambak perikanan. Sedangkan, untuk contoh alat yang menggunakan konsep aerasi banyak
dijumpai pada akuarium (Wazzan, 2020).
Universitas Indonesia
6
Jawab:
a. Analisis
Berdasarkan pada gambar di atas, diasumsikan bahwa terdapat tiga segmen
badan air, yaitu badan air X, badan air Y, dan badan air Z dengan arah aliran sungai
berawal dari segmen badan air Z menuju ke arah badan air X. Pada segmen badan air Z,
sesuai pada gambar, belum terdapat beban pencemar sama sekali yang dapat
mempengaruhi kualitas air sungai. Akan terdapat kemungkinan adanya kandungan BOD
(walaupun dalam jumlah yang kecil) pada segmen badan air Z ini yang dapat disebabkan
karena adanya pengaruh dari suhu air, salinitas air, pH air, serta kecerahan dari badan air
tersebut. Maka dari itu, karena belum terdapat beban pencemar sama sekali, kecil
kemungkinan badan air tersebut mengandung bahan-bahan organik.
Pada segmen badan air Y, sudah mulai melewati kawasan peternakan yang
menandakan sudah terdapat beban pencemar berupa nonpoint sources. Beban pencemar
dari peternakan ini akan mengakibatkan terbuangnya nutrient-nutrien ke dalam badan air
Universitas Indonesia
7
sehingga badan air akan mulai mengandung material-material organik yang nantinya akan
berdampak pada meningkatnya kadar BOD pada segmen badan air tersebut.
Bergeser ke segmen badan air X, terlihat pada gambar bahwa segmen tersebut
sudah mulai dikelilingi oleh beban pencemar yang lebih banyak, terdapat kawasan
pertanian dan kawasan permukiman yang berperan sebagai beban pencemar nonpoint
sources, serta kawasan industri yang berperan sebagai point sources. Sama seperti beban
pencemar dari peternakan, aktivitas dari kawasan pertanian dan kawasan pemukiman ini
akan membuang nutrient-nutrien organik, limbah pestisida, serta limbah rumah tangga
lainnya yang dipakai dalam aktivitas pertanian dan pemukiman ke dalam segmen badan air
tersebut. Walaupun beban pencemar pemukiman dan pertanian tidak mencemari badan air
secara langsung, tetap saja limbah tersebut akan ditransportasikan melalui limpasan air
hujan dan air tanah yang nantinya tetap berhilir di segmen sungai tersebut. Untuk beban
pencemar dari kawasan industri, limbah-limbah yang dihasilkan akan lebih berbahaya (jika
tidak melalui pengolahan lanjutan), seperti limbah kimia, limbah tekstil, dan sebagainya.
Tentunya, beban pencemar point source dan nonpoint sources tersebut dapat
mengakibatkan peningkatan pada kadar BOD pada segmen sungai tersebut karena
kandungan bahan organik pada segmen sungai tersebut juga akan semakin meningkat.
Ditambah lagi dengan kadar oksigen yang semakin menurun akibat semakin banyaknya
padatan tersuspensi serta kekeruhan badan air yang semakin meningkat juga.
• Perhitungan BOD Badan Air X
a. Perhitungan Faktor
Vol. Botol
F=
(Vol. Botol − Vol. MnSO4 − Vol. Alkali Iodida Azida)
300 mL
F= =1
(300 mL − 1 mL − 1 mL)
b. Perhitungan DO Hari 0 Blanko
mg V × N × 8000 × F
Oksigen Terlarut ( ⁄L) =
50
mg 0,5 × 0,1 × 8000 × 1 mg
Oksigen Terlarut ( ⁄L) = = 8 ⁄L
50
Dengan:
V = Volume Natrium Thiosulfat (mL)
N = Normalitas Natrium Thiosulfat (N)
F = Nilai Faktor
Universitas Indonesia
8
f. Perhitungan BOD
mg (X 0 − X 5 ) − ((B0 − B5 )(1 − P))
BOD5 ( ⁄L) =
P
mg (14.4 − 1.6) − ((8 − 8)(1 − 0.25))
BOD5 ( ⁄L) = = 51.2 mg/L
0.25
Dengan:
X0 = DO sampel pada hari 0 (mg/L)
Universitas Indonesia
9
Universitas Indonesia
10
f. Perhitungan BOD
mg (X 0 − X 5 ) − ((B0 − B5 )(1 − P))
BOD5 ( ⁄L) =
P
mg (9.6 − 5.6) − ((12.8 − 12.64)(1 − 0.25))
BOD5 ( ⁄L) = = 15.52 mg/L
0.25
Dengan:
X0 = DO sampel pada hari 0 (mg/L)
X5 = DO sampel pada hari 5 (mg/L)
B0 = DO blanko pada hari 0 (mg/L)
B5 = DO blanko pada hari 5 (mg/L)
P = Derajat pengenceran
Universitas Indonesia
11
Dengan:
V = Volume Natrium Thiosulfat (mL)
N = Normalitas Natrium Thiosulfat (N)
F = Nilai Faktor
Universitas Indonesia
12
f. Perhitungan BOD
mg (X 0 − X 5 ) − ((B0 − B5 )(1 − P))
BOD5 ( ⁄L) =
P
mg (11.2 − 10.32) − ((9.6 − 8.8)(1 − 0.25))
BOD5 ( ⁄L) = = 1.12 mg/L
0.25
Dengan:
X0 = DO sampel pada hari 0 (mg/L)
X5 = DO sampel pada hari 5 (mg/L)
B0 = DO blanko pada hari 0 (mg/L)
B5 = DO blanko pada hari 5 (mg/L)
P = Derajat pengenceran
• Peruntukan Air
Berdasarkan standar baku mutu yang berlaku di Indonesia mengenai kadar kebutuhan
oksigen biokimiawi (BOD) dalam air yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaran Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, disebutkan bahwa kadar kebutuhan oksigen biokimiawi (BOD) maksimal
yang diperbolehkan untuk air sungai dan air danau adalah maksimal sebesar 2 mg/L untuk kelas
1, 3 mg/L untuk kelas 2, 6 mg/L untuk kelas 3, serta 12 mg/L untuk kelas 4.
Berdasarkan perhitungan kadar BOD di atas, maka segmen sungai X tidak memenuhi
standar baku mutu yang berlaku karena kadar BOD yang sangat tinggi sehingga airnya tidak
cocok dan tidak layak untuk peruntukan apapun. Untuk segmen sungai Y, kadar BOD yang
dimiliki juga tidak dapat memenuhi standar baku mutu yang berlaku karena nilai BOD nya masih
berada di atas standar baku mutu sehingga airnya tidak cocok dan tidak layak untuk peruntukan
apapun. Sementara itu, untuk segmen sungai Z, kadar BOD yang dimiliki masih memenuhi
standar baku mutu yang berlaku dan lolos pada kelas 1, 2, 3, dan 4 yang berarti air tersebut masih
sangat cocok untuk digunakan sebagai sumber baku air minum, untuk prasarana/sarana rekreasi
air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, serta untuk mengairi pertanaman.
Maka dari itu, untuk segmen sungai X dan segmen sungai Y, diperlukan pengolahan
biologis lebih lanjut, seperti menggunakan sistem lumpur aktif, RBC, RO, dan sebagainya agar
air pada segmen tersebut dapat memenuhi standar baku mutu yang berlaku di Indonesia sehingga
dapat diperuntukan sesuai dengan kelasnya masing-masing.
Universitas Indonesia
13
1.6.1 Kesimpulan
Universitas Indonesia
14
• Berdasarkan baku mutu yang berlaku di Indonesia, yaitu Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, hasil kadar biochemical oxygen demand (BOD) yang terdapat pada air
sampel dinilai sudah tidak dapat memenuhi seluruh kelas pada standar baku mutu Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
• Hasil kadar biochemical oxygen demand (BOD) yang tercatat disebabkan oleh beberapa
faktor, seperti suhu, salinitas, pH, kecerahan, total suspended solid (TSS), serta jumlah
senyawa organik yang akan diuraikan.
• Berdasarkan analisis dan hasil perhitungan kadar BOD pada sampel tersebut adalah sampel
perairan tersebut cukup tercemar berat yang kemungkinan dapat disebabkan karena adanya
beban pencemar, seperti limbah domestik, limbah industri, serta limbah
peternakan/pertanian yang dapat memperparah kualitas badan air tersebut.
1.6.2 Saran
Universitas Indonesia
15
1.7 Referensi
6989.72, S. (2009). SNI 6989.72-2009 tentang Cara Uji Kebutuhan Oksigen Biokimia (BOD).
Anwariani, D. (2019). Pengaruh Air Limbah Domestik Terhadap Kualitas Sungai. Jurnal Teknik
Lingkungan.
Atima, W. (2015). BOD dan COD Sebagai Parameter Pencemaran Air dan Baku Mutu Air
Limba. Jurnal Biology Science & Education, 63-73.
Daroini, T. A., & Arisandi, A. (2020). Analisis BOD (Biological Oxygen Demand) di Perairan
Desa Prancak Kecamatan Sepulu, Bangkalan. Juvenil, Volume 1, No. 4, 558-567.
Paena, M., Suhaimi, R. A., & Undu, M. C. (2015). Analisis Konsentrasi Oksigen Terlarut (DO),
pH, Salinitas, dan Suhu pada Musim Hujan Terhadap Penurunan Kualitas Air Perairan
Teluk Punduh Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung. Seminar Nasional Kelautan X.
Peraturan Pemerintah No. 22. (2021). Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Praktikan. (2022).
Rizkiyanti, D. F., & Alfiah, T. (2018). Kinerja Trickling Filter Untuk Mengolah Limbah Cair
Katering dengan Variasi Media Bioball dan Batu Apung ditinjau dari Parameter BOD5
dan COD. Seminar Nasional Sains dan Teknologi Terapan VI, 297-302. Retrieved from
https://www.researchgate.net/publication/344527835_KINERJA_TRICKLING_FILTE
R_UNTUK_MENGOLAH_LIMBAH_CAIR_KATERING_DENGAN_VARIASI_ME
DIA_BIOBALL_DAN_BATU_APUNG_DITINJAU_DARI_PARAMETER_BOD5_D
AN_COD
Royani, S., Fitriana, A. S., Enarga, A. B., & Bagaskara, H. Z. (2021). Kajian COD dan BOD
dalam Air di Lingkungan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah Kaliori Kabupaten
Banuumas. Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan, Volume 13, Nomor 1, 40-49.
Retrieved from https://journal.uii.ac.id/JSTL/article/view/16974/11009
Universitas Indonesia
16
Salmin. (2005). Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) Sebagai Salah
Satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan. Oseana, Volume XXX, No. 3, 21-
26.
Sawyer, C., & McCarty, P. G. (2003). Chemistry for Environmental and Engineering Science.
New York: McGraw Hill Inc.
Tahir, R. B. (2016). Analisis Sebaran Kadar Oksigen (O2) dan Kadar Oksigen Terlarut
(Dissolved Oxygen) dengan Menggunakan Data In Situ dan Citra Satelit Landsar 8
(Studi Kasus: Wilayah Gili Ilyang Kabupaten Sumenep).
Wazzan, I. M. (2020, April 3). Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan
Perikanan. Retrieved from Dissolved Oxygen, Oksigennya Organisme Akuatik:
https://kkp.go.id/brsdm/artikel/18575-dissolved-oxygen-oksigennya-organisme-akuatik
Universitas Indonesia