Anda di halaman 1dari 2

NAMA : DEAN RIZKY SAPUTRA

NPM : 197510151

MATA KULIAH : PEREMPUAN DAN KEADILAN

DOSEN PENGAMPU : NERI WIDYA RAMAILIS,. ., M.Krim

Kekurangan UU No 18 Tahun 2017 :

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia


disahkan pada tanggal 22 November 2017 oleh Presiden Joko Widodo dan diundangkan pada
tanggal yang sama dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 242
disertai dengan Penjelasan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Pelindungan
Pekerja Migran Indonesia dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6141.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin setiap warga
negara Indonesia mempunyai hak dan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk
memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak. Bekerja merupakan hak asasi manusia
yang wajib dijunjung tinggi, dihormati, dan dijamin penegakannya. Pekerja Migran Indonesia
harus dilindungi dari perdagangan manusia, termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban
kekerasan, kesewenang- wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta
perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia. Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
perlu dilakukan dalam suatu sistem yang terpadu yang melibatkan Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat.

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia meliputi pelindungan secara kelembagaan yang


mengatur tugas dan kewenangan kementerian sebagai regulator/pembuat kebijakan dengan
Badan sebagai operator/pelaksana kebijakan.

KEKURANGAN :

a. Pertama, Pasal 13 huruf G tentang perjanjian penempatan yang menjadi salah satu
persyaratan penempatan pekerja migran. "Ketentuan ini menegaskan bahwa
penempatan pekerja migran hanya melalui perusahaan swasta. Padahal dalam undang-
undang ini juga diatur tentang penempatan melalui badan dan mandiri
b. Kedua, Pasal 44 Ayat 3 yang menyebutkan bahwa kepala badan bertanggung jawab
kepada Presiden melalui menteri. pasal ini berpotensi menimbulkan konflik
kewenangan antara kementerian dan badan. jika ingin UU ini diimplementasikan
sebagai instrumen perlindungan, maka harus disosialisasikan kepada seluruh elemen
masyarakat.
c. Kelemahan lain yang terkandung dalam UU ini adalah belum adanya pasal khusus
yang mengafirmasi kebutuhan khusus perlindungan buruh migran Indonesia (terutama
perempuan) yang bekerja di sektor pekerja rumah tangga. Kebutuhan ini penting
mengingat mayoritas buruh migran Indonesia bekerja di sektor ini dan menghadapi
situasi kerentanan yang berkepanjangan.

Tentu saja hadirnya UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia tentu bukan jawaban
satu-satunya atas tuntutan kehadiran negara dalam perlindungan buruh migran
Indonesia tetapi harus disertai dengan langkah-langkah konkrit mencabut kebijakan-
kebijakan lama yang sudah usang dan menyegerakan adanya transisi perubahan tata
kelola migrasi tenaga kerja yang berbasis pada tanggungjawab negara atas
perlindungan warganya dan penghormatan atas hak asasi manusia serta keadilan dan
kesetaraan gender.
d. Pembiaran kriminalisasi buruh migran, Di dalam UU ini, pasal-pasal mengenai
perlindungan hak-hak buruh migran serta jaminan sosial buruh migran berpedoman
pada Konvensi ini meskipun belum secara keseluruhan. Beberapa substansi penting
dalam Konvensi yang belum mendapatkan tempat di UU ini adalah perlindungan pada
anggota keluarga buruh migran serta memastikan buruh migran yang tidak
berdokumen dikriminalisasi. patut disayangkan masih ada pasal yang mengingkari
tanggungjawab negara terkait dengan buruh migran Indonesia yang bekerja secara
mandiri. Pasal ini membuka ruang adanya (pembiaran) kriminalisasi buruh migran.

Anda mungkin juga menyukai