Berikut adalah keterkaitan antara bahasa dan pikiran dinyatakan oleh Edward Sapir
dan Benjamin Lee Whorf. Sapir dan Whorf melihat bahwa pikiran manusia
ditentukan oleh sistem klasifikasi dari bahasa tertentu yang digunakan
manusia. Sapir dan Whorf menguraikan dua hipotesis mengenai keterkaitan antara
bahasa dan pikiran.
Edward Sapir (1884-1939) linguis Amerika memiliki pendapat yang hampir sama
dengan Von Humboldt. Sapir mengatakan bahwa manusia hidup di dunia ini di bawah
“belas kasih” bahasanya yang telah menjadi alat pengantar dalam kehidupannya
bermasyarakat. Menurut Sapir, telah menjadi fakta bahwa kehidupan suatu masyarakat
sebagian “didirikan” di atas tabiat-tabiat dan sifat-sifat bahasa itu. Karena
itulah, tidak ada dua bahasa yang sama sehingga dapat dianggap mewakili
satu masyarakat yang sama.
Sama halnya dengan Von Humboldt dan Sapir, Whorf juga menyatakan bahwa bahasa
menentukan pikiran seseorang sampai kadang-kadang bisa membahayakan dirinya
sendiri. Sebagai contoh, whorf yang bekas anggota pemadam kebakaran menyatakan
“kaleng kosong” bekas minyak bisa meledak. Kata kosong digunakan dengan pengertian
tidak ada minyak di dalamnya. Padahal sebenarnya ada cukup efek-lepas (after effect)
pada kaleng bekas minyak untuk bisa meledak. Jika isi kaleng dibuang, maka kaleng itu
akan kosong, tetapi dalam ilmu kimia hal ini tidak selalu benar. Kaleng minyak yang
sudah kosong masih bisa meledak kalau terkena panas. Di sinilah, menurut Whorf,
tampak jalan pikiran seseorang telah ditentukan bahasanya.
Menurut Whorf selanjutnya sistem tata bahasa suatu bahasa bukan hanya
merupakan alat untuk mengungkapkan ide-ide, tetapi juga merupakan
pembentuk ide-ide itu, merupakan program kegiatan mental seseorang,
penentu struktur mental seseorang. Dengan kata lain, tata bahasalah yang
menentukan jalan pikiran seseorang, bukan kata-kata. Hipotesis Sapir-Whorf tampak
lebih memfokuskan pada hubungan antara tata bahasa dan pikiran manusia,
bukan kata-kata (Chaer, 2009:53).
Setelah meneliti bahasa Hopi, salah satu bahasa Indian di California Amerika Serikat,
dengan mendalam, Whorf mengajukan satu hipotesis yang lazim disebut hipotesis
Whorf (atau juga hipotesis Sapir-Whorf) mengenai relativitas bahasa. Menurut
hipotesis itu, bahasa-bahasa yang berbeda “membedah” alam ini dengan cara yang
berbeda, sehingga terciptalah satu relativitas sistem-sistem konsep yang tergantung
pada bahasa-bahasa beragam yang digunakan oleh berbagai kelompok masyarakat.
Pengaruh bahasa terhadap pikiran dapat terjadi melalui habituasi dan melalui aspek
formal bahasa, misalnya grammar dan leksikon. Whorf mengatakan “grammatical and
lexical resources of individual languages heavily constrain the conceptual
representations available to their speakers” (Grammar dan leksikon dalam sebuah
bahasa menjadi penentu representasi konseptual yang ada dalam pengguna bahasa
tersebut). Selain habituasi dan aspek formal bahasa, salah satu aspek yang dominan
dalam konsep Sapir dan Whorf adalah masalah bahasa mempengaruhi kategorisasi
dalam persepsi manusia yang akan menjadi premis dalam berpikir.
Berdasarkan hipotesis Sapir-Whorf itu dapatlah dikatakan bahwa hidup dan pandangan
hidup bangsa-bangsa di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Filipina, dan lain-lain)
adalah sama karena bahasa-bahasa mereka mempunyai struktur yang sama. Sedangkan
hidup dan pandangan hidup bangsa-bangsa lain seperti Cina, Jepang, Amerika, Eropa,
Afrika, dan lain-lain adalah berlainan karena struktur bahasa mereka berlainan. Untuk
memperjelas hal ini Whorf membandingkan kebudayaan Hopi dan kebudayaan Eropa.
Kebudayaan Hopi dioraganisasi berdasarkan peristiwa-peristiwa (event), sedangkan
kebudayaan Eropa diorganisasi berdasarkan ruang (space) dan waktu (time). Menurut
kebudayaan Hopi kalau satu bibit ditanam maka bibit itu akan tumbuh. Jarak waktu
yang diperlukan antara masa menanam dan tumbuhnya bibit tidaklah penting. Yang
penting adalah peristiwa menanam dan peristiwa tumbuhnya bibit itu. Sedangkan bagi
kebudayaan Eropa jangka waktu itulah yang penting. Menurut Whorf, inilah bukti
bahwa bahasa mereka telah menggariskan realitas hidup dengan cara-cara yang
berlainan.
Dari uraian di atas dapat saya simpulkan bahwabahasa dan pikiran tidak bisa
dipisahkan satu sama lain.karena yang menentukan jalan pikiran seseorang adalah tata
bahasa bukan kata-kata.oleh karena itu , bahasa tidak saja berperan sebagai suatu
mekanisme untuk berlangsungnya komunikasi antara yang satu dengan yang laintetapi
juga sebagai pedoman ke arah kenyataan sosial.kenyataannya bahwa seseorang
berbicara atau mengungkapkan pendapatnya dengan cara/bahasa yang berbeda karena
mereka berpikir dengan cara yang berbeda pula.
Rujukan:
Prinsip determinisme linguistik: cara seseorang berpikir ditentukan oleh bahasa yang
digunakannya