Anda di halaman 1dari 5

Nama : Kuncoro Wahyudjati

Kelas : B-1 Ilmu Komunikasi

1. Definisi Kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan seorang atau suatu kelompok untuk memengaruhi
perilaku seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku.
Sarjana yang melihat kekuasaan inti dari politik beranggapan bahwa politik adalah
semua kegiatan yang menyangkut masalah memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan.
Biasanya dianggap bahwa perjuangan kekuasan (power struggle) mempunyai tujuan yang
menyangkut kepentingan seluruh masyarakat.
Pendekatan ini, yang banyak terpengaruh oleh sosiologi, lebih luas ruang lingkupnya
dan juga mecakup gejala-gejala sosial seperti serikat buruh, organisasi kegamaan, organisasi
kemahasiswaan, dan kaum militer. Pendekatan ini lebih dinamis daripada pendekatan
institusional karena memerhatikan proses. Berikut ini adalah beberapa definisi :
Harold D. Laswell dan A. Kaplan dalam Power and Society: ”Ilmu Politik
mempelajari pembentukan dan pembagian kekuasaan.”
Deliar Noer dalam Pengantar ke Pemikiran Politik menyebutkan: “Ilmu politik
memusatkan perhatian pada masalah kekuasaan dalam kehidupan bersama atau masyarakat.
Kehidupan seperti ini tidak terbatas pada bidang hukum semata-mata, dan tidak pula pada
negara yang tumbuhnya dalam sejarah hidup manusia relatif baru. Di luar bidang hukum serta
sebelum negara ada, masalah kekuasaan itu pun telah pula ada. Hanya dalam zaman modern
inilah memang kekuasaan itu berhubungan erat dengan negara.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama. 2008. Hal 17-18.
Kekuasaan secara umum dapat diartikan sebagai kemampuan menggunakan sumber-
sumber pengaruh yang dimiliki untuk memengaruhi perilaku pihak lain sehingga pihak lain
berperilaku sesuai dengan kehendak pihak yang memengaruhi.
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta : PT Grasindo. 2010. Hal 73.
Umumya, dalam ilmu politik, kekuasaan diartikan sebagai kemampuan seseorang atau
sekelompok orang untuk mempengaruhi pikiran dan tingkah laku orang atau sekelompok
orang lain, sehingga orang yang dipengaruhi itu mau melakukan sesuatu yang sebetulnya
orang itu enggan melakukannya.
Nasikun dan Mohtar Mas’oed. Sosiologi Politik. Yogyakarta : Universitas Gadjah
Mada. Hal 22.
2. Jenis-Jenis Kekuasaan
Secara visual nampaklah bahwa kekuasaan dapat dibagi dengan dua cara:
Seacara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatannya dan dalam hal ini
yang dimaksud ialah pembagian kekuasaan anatara beberapa tingkatan pemerintahan. Carl. J.
Friedrich memakai istilah pembagian kekuasaan secara teritorial (teritorial division of
power). Pembagian kekuasaan ini dengan jelas dapat kita saksikan kalau kita bandingkan
antara negara kesatuan, negara federal, serta konfederasi.
Secara horozontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya secara horizontal.
Pembagian ini menunjukkan perbedaan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat
legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang lebih dikenal sebagai trias politika atau pembagian
kekuasaan (Division of Power).
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama. 2008. Hal 267.

Pembagian kekuasaan secara vertikal :


1. Konfederasi
Menurut L.Opponheim : Konfederasi terdiri dari beberapa negara yang berdaulat
penuh yang untuk mempertahankan kemerdekaan ekstern dan intern, bersatu atas dasar
perjanjian internasional yang diakui dengan menyelenggarakan beberapa alat perlengkapan
tersendiri yang mempunyai kekuasaan tertentu terhadap negara anggota konfederasi, tetapi
tidak terhadap warga negara negara-negara itu.
Kekuasaan alat bersama itu sangat terbatas dan hanya mencakup pesoalan-persoalan
yang telah d tentukan. Negara-negara yang tergabung daalm konfederasi itu tetap merdeka
dan berdaulat, sehingga konfederasi itu sendiri pada hakikatnya bukanlah merupakan negara,
baik ditinjau dari sudut ilmu politik maupun dari sudut hukum internasional. Keanggotaan
suatu negara dalam suatu konfederasi tidaklah menghilangkan ataupun mengurangi
kedaulatannya sebagai negara anggota konfederasi itu. Apalagi terlihat bahwa kelangsungan
hidup konfederasi itu tergantung sama sekali pada keinginan ataupun kesukarelaan negara-
negara peserta serta kenyataan pula bahwa konfederasi itu pada umumnya dibentuk untuk
maksud-maksud tertentu saja yang umumnya terletak di bidang politik luar negeri dan
pertahanan bersama.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama. 2008. Hal 268.

2. Negara Kesatuan
Menurut C.F. Strong : “Negara kesatuan ialah bentuk negara di mana wewenanag
legislatif tertinggi dipusatkan dalam suatu badan legislatif nasional/pusat.” Kesatuan terletak
pada pemerintah pusat dan tidak pada pemerintahan daerah. Pemerintahan pusat mempunyai
wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak
otonomi (negara kesatuan dengan sistem desentralisasi), tetapi pada tahap terakhir kekuasaan
tertinggi tetap di tangan pemerintah pusat. Jadi kedaulatannya, baik kedaulatan ke dalam
maupun kedaulatan ke luar, sepenuhnya terletak pada pemerintahan pusat. Dengan demikian
yang menjadi hakikat negara kesatuan ialah bahwa kedaulatannya tidak terbagi, atau dengan
kata lain kekuasaan pemerintah pusat tidak dibatasi, karena konstitusi negara kesatuan tidak
mengakui badan legislatif lain selain dari badan legislatif pusat.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama. 2008. Hal 269.

3. Negara Federal
Ada pendapat yang mengemukakan bahwa agar sukar merumuskan federalisme itu,
karena ia merupakan bentuk pertengahan antara negara kesatuan dan konfederasi. Tetapi
menurut C.F. Strong salah satu ciri negara federal ialah bahwa ia mencoba menyesuaikan dua
konsep yang sebenarnya bertentangan, yaitu kedaulatan negara federal dalam keseluruhannya
dan kedaulatan negara bagian. Penyelenggaraan kedaulatan ke luar dari negara-negara
diserahkan sama sekali kepada pemerintah federal, sedangkan kedaulatan ke dalam dibatasi.
Sekalipun terdapat banyak perbedaan antara negara federal satu sama lain, tetapi ada
satu prinsip yang dipegang teguh, yaitu bahwa soal-soal yang menyangkut negara dalam
keseluruhannya diserahkan kepada kekuasaan federal. Dalam hal-hal tertentu, misalnya
mengadakan perjanjian internasional atau mencetak uang, pemerintah federal bebas dari
negara bagian dan dalam bidang itu pemerintah federal mempunyai kekuasaan yang tertinggi.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama. 2008. Hal 270.

Pembagian kekuasaan secara horizontal :


1. Perkembangan Konsep Trias Politika : Pemisahan Kekuasaan Menjadi Pembagian
Kekuasaan
Pembagian kekuasaan secara horizontal, seperti di muka sudah disinggung, adalah
pembagian kekuasaan menurut fungsinya dan ini ada hubungannya dengan doktrin Trias
Politika. Trias Politika adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri atas tiga macam
kekuasaan: Pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang (dalam
peristilahan baru sering disebut rulemaking function); kedua, kekuasaan eksekutif atau
kekuasaan melaksanakan undang-undang (dalam peristilahan baru sering disebut rule
application function); ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran
undang-undang (dalam peristilahan baru sering disebut rule adjudication function). Trias
Politika adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan (functions) ini sebaiknya
tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh
pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara lebih
terjamin.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama. 2008. Hal 281-282.
1) Kekuasaan Eksekutif
Kekuasaan ini biasanya dipegang oleh badan eksekutif yang biasanya terdiri atas kepala
negara beserta menteri-menterinya. Kekuasaannya mencakup beberapa bidang seperti:
 Administratif, yakni kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang dan peraturan
perundangan lainnya dan menyelenggarakan administrasi negara.
 Legislatif, membuat rancangan undang-undang.
 Keamanan, mengatur polisi dan angkatan bersenjata serta bertanggung jawab atas
keamanan negeri.
 Yudikatif, member grasi dan amnesty.
 Diplomatik, menyelenggarakan hubungan dengan negara lain.

2) Kekuasaan Legislatif
Kekuasaan yang menekankan akan hal perundingan sesuatu hal. Kewenangannya adalah
membuat undang-undang dan menentukan kebijakan mebuat undang-undang serta
mengontrol badan eksekutif.
3) Kekuasaan Yudikatif
Kekuasaan yang berhubungan dengan teknis yuridis dan termasuk bidang ilmu hukum.
Biasanya didalamnya ada MA dan MK. Kewenangannya antara lain adalah mengadili
suatu keputusan dari permasalahan dan memberikan keputusan ketika pihak lain
mengalami pelanggaran.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama. 2008. Hal 295-360.

3. Cara Pengukuran Kekuasaan


Dengan dimilikinya wewenang dan legitimasi, maka seseorang atau suatu kelompok
memiliki peluang untuk didengar, diikuti, dan dihormati keputusannya sehingga
mendapatkan suatu kekuasaan. Semakin besar atau tinggi wewenang dan legitimasi yang
dimiliki, maka semakin tinggi pula efektifitas wilayah kuasa pengaruhnya.

Sinaga, Rudi S. Pengantar Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2013. Hal 19.
Dengan dimilikinya wewenang dan legitimasi, maka seseorang atau suatu kelompok
memiliki peluang untuk didengar, diikuti, dan dihormati keputusannya sehingga
mendapatkan suatu kekuasaan. Semakin besar atau tinggi wewenang dan legitimasi yang
dimiliki, maka semakin tinggi pula efektifitas wilayah kuasa pengaruhnya.

Makin luas wilayah pengaruh seseorang dan makin banyak bidang kegiatan yang
dipengaruhinya, makin besar pengaruh atau kekuasaan yang dimilikinya.
Menurut robert Dahl, terdapat 3 faktor yang menjelaskan mengapa terdepat perbedaan
dalam besarnya pengaruh yang dimiliki orang-orang atau golongan-golongan dalam
masyarakat, yaitu :

1. Perbedaan dalam distribusi sumber-sumber daya politik

Sumber daya politik adalah sarana-sarana yang bisa dipakai aktor politik untuk
mempengaruhi orang-orang atau kelompok lain. Dapat berwujud kekuatan fisik, harta,
kepandaian, dan sebagainya.

2. Perbedaan dalam kecakapan dan efisiensi seseorang dalam memanfaatkan


sumber-sumber daya politik

Terjadi karena perbedaan dalam bakat, kesempatan dan motivasi untuk mempelajari
kecapakan politik.

3. Perbedaan dalam banyaknya sumberdaya politik yang dipakai untuk mencapai


tujuan-tujuan politiknya.

Dua orang aktro politik mungkin memiliki sumber daya yang sama, akan tetapi
berapa besar sumber daya yang dipakai untuk mencapai tujuan politik masing-masing belum
tentu sama.

Nasikun dan Mohtar Mas’oed. Sosiologi Politik. Yogyakarta : Universitas Gadjah


Mada. Hal 27-29.

Daftar Pustaka
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama. 2008.
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta : PT Grasindo. 2010.
Sinaga, Rudi S. Pengantar Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2013.
Nasikun dan Mohtar Mas’oed. Sosiologi Politik. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.

Anda mungkin juga menyukai