Anda di halaman 1dari 35

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini dijelaskan tentang teori yang mendukung penelitian meliputi:

1) CVA Infark, 2) konsep hambatan komunikasi verbal, dan 3) konsep asuhan

keperawatan

2.1 Konsep Dasar CVA Infark

2.1.1 Pengertian

CVA Infark didefinisikan sebagai sebuah sindrom yang memiliki

karakteristik tanda dan gejala neurologis klinis fokal atau global yang

berkembang dengan cepat, adanya gangguan fungsi serebral, dengan gejala

yang berlangsung lebih dari 24 jam atau menimbulkan kematian tanpa

terdapat penyebab selain yang berasal dari vaskular (Arifputra, 2014).

CVA Infark adalah penyakit atau gangguan fungsional otak akut

fokal maupun global akibat terhambatnya peredaran darah ke otak.

Gangguan peredaran darah otak berupa tersumbatnya pembuluh darah otak

atau pecahnya pembuluh darah di otak. Otak yang seharusnya mendapat

pasokan oksigen dan zat makanan menjadi terganggu. Kekurangan

pasokan oksigen ke otak akan memunculkan kematian sel saraf (neuron).

Gangguan fungsi otak ini akan memunculkan gejala stroke (Junaidi, 2011).

CVA Infark adalah suatu sindrom klinis yang ditandai dengan

hilangnya fungsi otak secara akut dan dapat menimbulkan kematian

(World Health Organization (WHO), 2014).


CVA Infark terjadi akibat pembuluh darah yang membawa darah

dan oksigen ke otak mengalami penyumbatan dan ruptur, kekurangan

oksigen menyebabkan fungsi control gerakan tubuh yang dikendalikan

oleh otak tidak berfungsi (American Heart Association (AHA), 2015)

National Institute of Neurological Disorder and Stroke

menyatakan bahwa CVA Infark terjadi ketika pasokan darah ke bagian

otak dengan tiba-tiba terganggu atau ketika pembuluh darah di otak pecah,

penumpahan darah ke dalam ruang yang mengelilingi sel-sel otak. Sel-sel

otak mati ketika sudah tidak menerima oksigen dan nutrisi dari darah

dalam waktu yang lama atau secara tiba-tiba terjadi perdarahan ke dalam

atau sekitar otak (NINDS, 2015).

2.1.2 Klasifikasi

a. CVA Non Hemoragik

Stroke Iskemik (non hemoragik) adalah penurunan aliran darah ke

bagian otak yang disebakan karena vasokontriksi akibat penyumbatan

pada pembuluh darah arteri sehingga suplai darah ke otak mengalami

penurunan (Mardjono & Sidharta, 2008). Stroke iskemik merupakan suatu

penyakit yang diawali dengan terjadinya serangkain perubahan dalam otak

yang terserang, apabila tidak ditangani akan segera berakhir dengan

kematian di bagian otak. Stroke ini sering diakibatkan oleh trombosis

akibat plak aterosklerosis arteri otak atau suatu emboli dari pembuluh

darah di luar otak yang tersangkut di arteri otak. Jenis stroke ini

merupakan jenis stroke yang paling sering menyerang seseorang sekitar


80% dari semua CVA (Junaidi, 2011). Berdasarkan manifestasi klinis

menurut ESO excecutive committe dan ESO writting committee (2008)

dan Jauch (2013) yaitu:

1) TIA (transient ischemic attack) atau serangan stroke sementara:

gejala defisit neurologis hanya berlangsung kurang dari 24 jam. TIA

menyebabkan penurunan jangka pendek dalam aliran darah ke suatu

bagian dari otak. TIA biasanya berlangsung selama 10-30 menit.

2) RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit) gejala defisit

neurologi yang akan menghilang dalam waktu lebih lama dari 24

jam, tetapi gejala akan menghilang tidak lebih dari 7 hari.

3) Stroke evaluasi (Progressing Stroke): kelainan atau defisit neurologi

yang berlangsung secara bertahap dari yang ringan sampai yang

berat sehingga makin lama makin berat.

4) Stroke komplit (Completed Stroke) kelainan neurologis yang sudah

menetap dan tidak berkembang lagi.

b. CVA Hemoragik

Stroke hemoragik merupakan stroke yang disebabkan oleh karena

adanya perdarahan suatu arteri serebralis yang menyebabkan kerusakan

otak dan gangguan fungsi saraf. Darah yang keluar dari pembuluh darah

dapat masuk kedalam jaringan otak sehingga terjadi hematoma (Junaidi,

2011). Berdasarkan perjalanan klinisnya stroke hemoragik di kelompokan

sebagai berikut:
1) PIS (Perdarahan intraserebral) Perdarahan intraserebral disebabkan

karena adanya pembuluh darah intraserebral yang pecah sehingga

darah keluar dari pembuluh darah dan masuk ke dalam jaringan otak.

Keadaan tersebut menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial

atau intraserebral sehingga terjadi penekanan pada pembuluh darah

otak sehingga menyebabkan penurunan aliran darah otak dan

berujung pada kematian sel sehingga mengakibatkan defisit

neurologi (Smeltzer & Bare, 2005). Perdarahan intraserebral (PIS)

adalah perdarahan yang primer berasal dari pembuluh darah dalam

parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma. Perdarahan ini

banyak disebabkan oleh hipertensi dan penyakit darah seperti

hemofilia (Pinzon & Asanti, 2010).

2) PSA (Pendarahan subarakhnoid) Pendarahan subarakhnoid

merupakan masuknya darah ke ruang subrakhnoid baik dari tempat

lain (pendarahan subarakhnoid sekunder) atau sumber perdarahan

berasal dari rongga subrakhnoid itu sendiri (pendarahan

subarakhnoid) (Junaidi, 2011). Perdarahan subarakhnoidal (PSA)

merupakan perdarahan yang terjadi masuknya darah ke dalam

ruangan subarakhnoid (Pizon & Asanti, 2010).

2.1.3 Etiologi

1. Trombosis serebral

Arteriosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah

penyebab utama trombosis serebral, yang merupakan penyebab paling


umum dari stroke. Tanda-tanda trombosis serebral bervariasi. Sakit kepala

adalah permulaan yang tidak umum. Beberapa pasien dapat mengalami

pusing, perubahan kognitif, atau kejang, dan beberapa mengalami

permulaan yang tidak dapat dibedakan dari hemoragi intraserebral atau

embolisme serebral. Secara umum, trombosis serebral tidak terjadi dengan

tiba-tiba, dan kehilangan bicara sementara, hemiplegia, atau

parestesia pada setengah tubuh dapat mendahului permulaan paralisis berat

pada beberapa jam atau hari.

2. Embolisme serebral

Embolus biasanya menyumbat arteri serebral tengah atau cabang –

cabangnya, yang merusak sirkulasi serebral. Pada permulaan hemiparesis

atau hemiplegia tiba-tiba dengan afasia atau tanpa afasia atau kehilangan

kesadaran pada pasien dengan penyakit jantung atau pulmonal adalah

karakteristik dari embolisme serebral.

3. Iskemia serebral

Iskemia serebral (insufisiensi suplai darah ke otak) terutama karena

konstriksi ateroma pada arteri yang menyuplai darah ke otak (Muttaqin,

2008)

2.1.4 Patofisiologi CVA

Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu

di otak. Luasnya infark tergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan

besarnya pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap

area yang disuplai oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke
otak dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan lokal

(thrombus, emboli, perdarahan, dan spasme vascular) atau karena

gangguan umum (hipoksia karena gangguan paru dan jantung.

Aterosklerosis sering sebagai faktor penyebab infark pada otak.

Thrombus dapat berasal dari plak aterosklerotik, atau darah dapat beku

pada area yang stenosis, tempat aliran darah mengalami perlambatan atau

terjadi turbulensi.

Thrombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa

sebagai emboli dalam aliran darah. Thrombus dapat mengakibatkan

iskemi jaringan otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang

bersangkutan dan edema dan kongesti di sekitar area. Area edema ini

menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu sendiri.

Edema dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah

beberapa hari. Dengan berkurangnya edema klien mulai menunjukkan

perbaikan. Oleh karena thrombosis biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi

perdarahan masif. Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus

menyebabkan edema dan nekrosis diikuti thrombosis. Jika terjadi septic

infeksi akan meluas pada dinding pembuluh darah maka akan terjadi

abses atau ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah

yang tersumbat menyebabkan dilatasi aneurisme pembuluh darah. Hal ini

menyebabkan perdarahan serebral, jika aneurisme pecah atau ruptur.

Perdarahan otak disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik dan

hipertensi pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas


akan lebih sering menyebabkan kematian dibandingkan keseluruhan

penyakit cerebrovaskuler, karena perdarahan yang luas terjadi destruksi

massa otak.

Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer

otak, dan perdarahan ke batang otak. Perembesan darah ke ventrikel otak

terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak di nucleus kaudatus,

thalamus dan pons.

Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia

serebral. Perubahan yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat

reversible untuk waktu 4-6 menit. Perubahan ireversibel jika anoksia

lebih dari 10 menit. Anoksia serebral dapat terjadi oleh karena gangguan

yang bervariasi salah satunya henti jantung.

Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang

relative banyak akan mengakibatkan peningkatan tekanan intracranial

dan penurunan tekanan perfusi otak serta gangguan drainase otak.

Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar dan kaskade iskemik akibat

menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan saraf di area yang terkena

darah dan sekitarnya tertekan lagi.

Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Jika volume

darah lebih dari 60 cc maka risiko kematian sebesar 93% pada

perdarahan dalam dan 71% pada perdarahan luar. Sedangkan jika terjadi

perdarahan serebelar dengan volume antara 30-36 cc diperkirakan


kemungkinan kematian sebesar 75%, namun volume darah 5 c dan

terdapat di pons sudah berakibat fatal. (Muttaqin, 2008)


2.1.5 Pathway CVA Infark
Faktor pencetus/etiologi Penimbunan lemak/kolesterol Lemak nekrotik dan Menjadi kapur/mengandung kolesterol
dalam darah berdegenerasi

Atriosklerosis Pembuluh darah menjadi pecah dan kaku


Penyempitan pembuluh darah

Thrombus/emboli Penyempitan pembuluh darah


Stroke hemoragik Kompresi jaringan otak

Stroke non
hemoragik Aliran darah terhambat
Proses metabolisme Heriasi
dalam otak
terganggu
Eritrosit bergumpal/endotel
Penurunan suplai Peningkatan TIK
darah dan O2 ke
rusak
otak
Cairan plasma hilang
Arteri carotis interna Arteri vertebra basilaris Arteri cerebri media
Iskemik pada area
Broca & Wernicke
Odema Serebri
Kerusakan N.II Kerusakan N.II, II, IV, Kerusakan N.VII, IX, XI
XII
Hambatan
komunikasi verbal Kelemahan ekstremitas
Kebutaan
Perubahan ketajaman Kelemahan otot wajah

sensori Hambatan mobilitas fisik

Resiko jatuh
Gangguan perubahan
persepsi sensori
Gambar 2.1.5 Patofisiologi CVA (Nurarif & Kusuma,2015)

1
2.1.6 Faktor Resiko

1. Hipertensi

Hipertensi merupakan faktor risiko stroke yang potensial. Hipertensi dapat

mengakibatkan pecahnya maupun menyempitnya pembuluh darah otak.

Apabila pembuluh darah otak pecah maka timbullah perdarahan otak dan

apabila pembuluh darah otak menyempit maka aliran darah ke otak akan

terganggu dan sel – sel otak akan mengalami kematian.

2. Diabetes Mellitus

Diabetes Mellitus mampu menebalkan dinding pembuluh darah otak yang

berukuran besar. Menebalnya dinding pembuluh darah otak akan

menyempitkan diameter pembuluh darah tadi dan penyempitan tersebut

kemudian akan mengganggu kelancaran aliran ke otak, yang pada akhirnya

akan menyebabkan infark sel – sel otak.

3. Penyakit Jantung

Berbagai penyakit jantung berpotensi untuk menimbulkan stroke. Faktor

risiko ini akan menimbulkan hambatan/sumbatan aliran darah ke otak

karena jantung melepas gumpalan darah atau sel – sel/jaringan yang telah

mati ke dalam aliran darah.

4. Gangguan Aliran Darah Otak Sepintas

Pada umumnya bentuk – bentuk gejalanya adalah sebagai berikut :

Hemiparesis, disartri, kelumpuhan otot – otot mulut atau pipi (perot),

kebutaan mendadak, hemiparestesi dan afasia.


5. Peningkatan Kolesterol

Meningginya angka kolesterol dalam darah, terutama low density

lipoprotein (LDL), merupakan faktor risiko penting untuk terjadinya

arteriosclerosis (menebalnya dinding pembuluh darah yang kemudian

diikuti penurunan elastisitas pembuluh darah). Peningkatan kadar LDL dan

penurunan kadar HDL (High Density Lipoprotein) merupakan faktor risiko

untuk terjadinya penyakit jantung koroner.

6. Obesitas

7. Kontrasepsi

8. Penyalahgunaan obat ( kokain)

9. Konsumsi alcohol (Wijaya & Putri, 2013).

2.1.7 Manifestasi Klinis

1. Tiba-tiba mengalami kelemahan atau kelumpuhan separuh badan

2. Hilangnya rasa peka

3. Bicara pelo

4. Gangguan bicara dan bahasa pada area Broca dan Wernicke

5. Gangguan penglihatan

6. Mulut mencong tidak simetris

7. Gangguan daya ingat

8. Nyeri kepala hebat

9. Vertigo

10. Kesadaran menurun


11. Gangguan fungsi otak (Nurarif & Kusuma, 2015).

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang CVA Infark

1. Angiografi serebral. Membantu menentukan penyebab stroke secara

spesifik misalnya pertahanan atau sumbatan

2. Scan Tromografi Komputer (Computer Tomography scanCT-scan).

Mengetahui adanya tekanan normal dan adanya thrombosis, emboli

serebral, dan tekanan intracranial (TIK). Peningkatan TIK dan cairan

yang mengandung darah menunjukkan adanya perdaraham

subarachnoid dan perdarahan intrakranial. Kadar protein total

meningkat, beberapa kasus thrombosis disertai proses inflamasi

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI). Menunjukkan daerah infark,

perdarahan, malformasi arteriovena (MAV)

4. Ultrasonografi Doppler (USG doppler). Mengidentifikasi penyakit

arteriovena (masalah sistem arteri karotis [aliran darah atau timbulnya

plak]) dan arteriosclerosis

5. Elektroensefalogram (ElectroencephalogramEEG). Mengidentifikasi

masalah pada gelombang otak dan memperlihatkan daerah lesi yang

spesifik.

6. Sinar tengkorak. Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pienal

daerah yang berlawanan dari massa yang meluas, klasifikasi karotis

interna terdapat pada thrombosis serebral; klasifikasi parsial dinding

aneurisma pada pendarahan subarachnoid.


Pemeriksaan laboratorium

1. Darah rutin

2. Gula darah

3. Urine rutin

4. Cairan serebrospinal

5. Analisa gas darah (AGD)

6. Biokimia darah

7. Elektrolit (Fransisca B. Batticaca, 2008).

2.1.9 Penatalaksanaan

Ada beberapa penatalaksanaan pada pasien dengan CVA Infark

(Muttaqin, 2008) :

1. Untuk mengobati keadaan akut, berusaha menstabilkan TTV dengan :

a. Mempertahankan saluran pernafasan yang paten

b. Kontrol tekanan darah

c. Merawat kadung kemih, tidak memakai kateter

d. Posisi yang tepat, posisi diubah tiap 2 jam, latihan gerak pasif

2. Terapi Konservatif :

a. Vasodilator untuk meningkatkan aliran serebral

b. Anti agregasi trombolis : aspirin untuk menghambat rekasi

pelepasan agregasi thrombosis yang terjadi sesudah ulserasi

alteroma.
c. Anti koagulan untuk mencegah terjadinya atau memberatnya

trombosis atau embolisasi dari tempat lain ke sistem

kardiovaskuler.

d. Bila terjadi peningkatan TIK, hal yang dilakukan :

1) Hiperventilasi dengan ventilator sehingga PaCO2 30-35 mmHg

2) Osmoterapi antara lain :

a) Infus manitol 20% 100 ml atau 0,25-0,5 g/kg BB/ kali

dalam waktu 15-30 menit, 4-6 kali/hari,

b) Infus gliserol 10% 250 ml dalam waktu 1 jam, 4 kali/ hari

3) Posisi kepala head up (15-300)

4) Menghindari mengejan pada BAB

5) Hindari batuk

6) Meminimalkan lingkungan yang panas

2.1.10 Komplikasi

1. Berhubungan dengan immobilisasi

a. Infeksi pernafasan

b. Nyeri berhubungan dengan daerah yang tertekan

c. Konstipasi

2. Berhubungan dengan mobilisasi

a. Nyeri pada daerah punggung

b. Dislokasi sendi

3. Berhubungan dengan kerusakan otak

a. Epilepsi
b. Sakit kepala

c. Hidrosefalus (Wijaya & Putri,2013).

2.2 Konsep Hambatan Komunikasi Verbal

2.2.1 Pengertian

Hambatan komunikasi verbal yaitu penurunan, kelambatan, dan

tidak ada kemampuan untuk menerima, memproses, mengirim, dan

menggunakan bahasa isyarat atau symbol (Nurarif & Kusuma, 2015)

2.2.2 Batasan Karakteristik

Menurut Lynda Juall Carpenito (2009) :

Mayor (Harus Ada)

1. Ketidakmampuan mengucapkan kata, tetapi dapat memahami

perkataan orang lain

2. Defisit perencanaan motorik dan artikulasi

Minor (Mungkin Ada)

1. Sesak napas

Menurut NANDA dalam Herdman dan Kamitsuru (2015), batasan

karakteristik dalam hambatan komunikasi verbal adalah :

1. Kesulitan memahami komunikasi

2. Kesulitan mempertahankan komunikasi

3. Kesulitan mengekspresikan pikiran secara verbal

4. Kesulitan menggunakan ekspresi tubuh

5. Kesulitan menggunakan ekspresi wajah


6. Kesulitan menyusun kalimat

7. Kesulitan menyusun kata-kata

8. Menolak bicara

9. Pelo

10. Sulit bicara

11. Sulit mengungkapkan kata-kata

12. Tidak ada kontak mata

2.2.3 Faktor yang berhubungan

Menurut NANDA dalam Herdman dan Kamitsuru (2015) :

1. Defek orofaring

2. Gangguan emosi

3. Gangguan fisiologis (misalnya: tumor otak, penurunan sirkulasi darah

ke otak, sistem muskuloskeletal melemah)

4. Gangguan perkembangan

5. Gangguan persepsi

6. Gangguan psikotik

7. Gangguan konsep diri

8. Gangguan system saraf pusat

9. Hambatan fisik (misalnya: trakeostomi, intubasi)

10. Hambatan lingkungan

11. Harga diri rendah

12. Kerentanan

13. Ketiadaan orang terdekat


14. Ketidakcukupan informasi

15. Ketidakcukupan stimuli

16. Ketidaksesuaian budaya

17. Program pengobatan

2.2.4 Rencana Keperawatan

Penatalaksanaan merupakan rencana asuhan keperawatan yang

dapat tercapai dari kerjasama anatara perawat dan dokter untuk

melaksanakan rencana asuhan keperawatan yang menyeluruh dan

kolaboratif.

Diagnosa : Klien dengan masalah hambatan komunikasi verbal pada

kasus CVA Infark

Tujuan :Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan klien

dapat berkomunikasi dengan tepat sesuai dengan

keadaannya dan dapat mengemukakan kebutuhannya.

Kriteria hasil :

1. Komunikasi : penerimaan, intrepretasi dan ekspresi pesan, lisan, verbal

dan non verbal meningkat

2. Mampu menerima komunikasi dan intrepretasi pesan verbal atau non

verbal

3. Mampu mengkoordinasi gerakan dalam menggunakan bahasa isyarat

4. Mampu memperoleh, mengatur, dan menggunakan informasi

5. Mampu mengontrol respon ketakutan dan kecemasan terhadap

ketidakmampuan berbicara
6. Mampu mengkomunikasikan kebutuhan dengan lingkungan sekitarnya

7. Mampu memanajemen kemampuan fisik yang dimiliki (Nurarif &

Kusuma, 2015).

Intervensi :

1. Observasi tipe/derajat disfungsi, seperti pasien tidak tampak

memahami kata atau mengalami kesulitan bicara atau membuat

pengertian sendiri.

Rasional : Membantu menentukan daerah dan derajat kerusakan

serebral yang terjadi dan kesulitan pasien dalam beberapa atau

keseluruhan tahap proses komunikasi. Pasien mungkin mempunyai

kesulitan dalam memahami kata yang diucapkan (afasia

sensorik/kerusakan pada area Wernicke); mengucapkan kata-kata

dengan benar (afasia ekspresi/kerusakan pada area bicara Broca) atau

mengalami kerusakan pada area kedua tersebut.

2. Perhatikan keluhan dalam komunikasi dan berikan umpan balik

Rasional : Pasien mjungkin kehilangan kemampuan untuk memantau

ucapan yang keluar dan tidak menyadari bahwa komunikasi yang

diucapkan tidak nyata. Umpan balik membantu mewujudkan kenapa

pemberi asuhan keperawatan tidak mengerti/merespon sesuai dan

memberikan kesempatan untuk mengklarifikasikan isi/makna yang

terkandung dalam ucapannya.

3. Mintalah pasien untuk mengikuti perintah sederhana (seperti “ buka

mata”,” tunjuk ke pintu” ) ulangi dengan kata/kalimat yang sederhana


Rasional : Melakukan penilaian te rhadap adanya kerusakan sensorik

(afasia sensorik)

4. Tunjukkan objek dan minta pasien untuk menyebutkan nama benda

tersebut

Rasional : Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan motorik

(afasia motorik), seperti pasien mungkin mengenalinya tetapi tidak

dapat menyebutkannya

5. Mintalah pasien untuk mengucapkan kalimat sederhana seperti “SH”

atau “PUS“

Rasional : Mengidentifikasikan adanya disartria sesuai komponen

motorik dari bicara (seperti lidah, gerakan bibir, kontrol nafas) yang

dapat mempengaruhi artikulasi dan mungkin juga tidak disertasi afasia

motorik

6. Minta klien menuliskan nama / atau kalimat pendek. Jika tidak mampu

menulis, minta klien membaca sebuah kalimat pendek.

Rasional : Menilai kemampuan menulis (afragia) dan kekurangan

dalam membaca yang benar (aleksia) yang juga merupakan bagian dari

afasia sensorik

7. Tempatkan tanda pemberitahuan pada ruang perawat dan ruang pasien

tentang adanya gangguan bicara.

Rasional : Menghilangkan ansietas pasien sehubungan dengan

ketidakmampuannya untuk berkomunikasi dan perasaan takut bahwa

kebutuhan pasien tidak akan terpenuhi dengan segera.


8. Berikan metode komunikasi alternatif, seperti menulis dipapan tulis,

gambar. Berikan petunjuk visual (gerakan tangan, gambar-

gambar,daftar kebutuhan, demonstrasi).

Rasional : Memberikan komunikasi tentang kebutuhan berdasarkan

keadaan/ defisit yang mendasar.

9. Antisipasi dan penuhi kebutuhan pasien

Rasional : Bermanfaat dan me nurunkan frustasi bila tergantung pada

orang lain dan tidak dapat berkomunikasi secara lancar.

10. Bicara secara langsung dengan klien, bicara secara perlahan dan jelas.

Gunakan pertanyaan tertutup dengan jawaban “ya/tidak” di awal

pertanyaan. Berlanjut ke pertanyaan kompleks sesuai dengan respons

klien.

Rasional : menurukan kebingungan atau ansietas selama proses

komunikasi dan berespon pada informasi yang lebih banyak pada saru

waktu tertentu. Sebagai proses latihan kembali untuk lebih

mengembangkan komunikasi lebih lanjut.

11. Bicara dengan nada normal dan hindari berbicara terlalu cepat. Beri

waktu yang cukup untuk klien berespons dengan tepat.

Rasional : Perawat tidak perlu merusak pendengaran, dan meninggikan

suara dapat menimbulkan marah pasien /menyebabkan kepedihan.

12. Anjurkan pengunjung/orang terdekat mempertahankan usahanya untuk

berkomunikasi dengan pasien, seperti membaca surat, diskusi tentang

hal-hal yang terjadi pada keluarga.


Rasional : mengurangi isolasi sosial pasien dan meningkatkan

penciptaan komunikasi yang efektif

13. Diskusi mengenai hal-hal yang dikenal pasien, seperti pekerjaan,

keluarga, dan hobi (kesenangan)

Rasional : meningkatkan percakapan yang bermakna dan memberikan

kesempatan kepada klien untuk mengutarakan kesenangannya

14. Konsultasikan dengan/rujuk kepada ahli terapi wicara

Rasional : pengkajian secara individual kemampuan bicara dan sensori,

motorik dan kognitif berfungsi untuk mengidentifikasikan

kekurangan / kebutuhan terapi (Yasmara, Nursiswati, Arafat, 2016).

2.3 Konsep Asuhan Keperawatan Pada Klien CVA

2.3.1 Pengkajian Data

1. Data Subjektif

a. Identitas klien

Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan, no.

registrasi, status perkawinan, agama, pekerjaan, TB, BB, dan tanggal

MRS

b. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat hipertensi, riwayat penyakit kardiovaskuler seperti

embolisme serebral, riwayat tinggi kolesterol, obesitas, riwayat DM,

riwayat aterosklerosis, merokok, riwayat pemakaian kontrasepsi

disertai hipertensi dan peningkatan esterogen.


c. Riwayat Kesehatan Sekarang

Gangguan persepsi, merasa kesulitan melakukan aktivitas karena

kelemahan, (nyeri, kejang otot).

d. Riwayat Kesehatan Keluarga

Adakah riwayat penyakit pada keluarga.

e. Riwayat Psikososial-spiritual

Terjadi perubahan peran berhubungan antara klien dan keluarga

karenakan ketidakmampuan klien untuk berkomunikasi. Dapat

menimbulkan kecacatan diri dan gangguan citra tubuh.

f. Kebutuhan

1) Nutrisi : Adanya gejala nafsu makan menurun, mual muntah

pada fase akut, kehilangan sensai (rasa kecap) pada lidah pipi,

tenggorokan, disfagia ditandai dengan kesulitan menelan,

obesitas

2) Eliminasi : menunjukkan adanya perubahan pola berkemih

seperti inkontinensia urine, anuria. Adanya distensi abdomen

(distensi bladder berlebih), bising usus negatif, pola defekasi

biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus

3) Aktivitas : menunjukkan adanya kesukaran untuk beraktivitas

karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/himeplegi,

mudah lelah, gangguan gangguan tonus otot, paralitik

(hemiplegia)
4) Istirahat : mengalami kesukaran untuk istirahat karena kejang

otot/nyeri otot

2. Pemeriksaan review of system (ROS)

a. B1 (Breathing) : sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas

(sternokleidomastoidius), dan peningkatan frekuensi pernafasan.

Auskultasi bunyi nafas tambahan seperti ronkhi pada klien

dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang

menurun yang sering didapatkan pada klien stroke dengan

penurunan tingkat kesadaran koma. Pada klien dengan tingkat

kesadaran compos mentis, pengkajian inspeksi pernafasannya

tidak ada kelainan, palpasi toraks didapatkan taktil premitus

seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi

napas tambahan.

b. B2 (Blood) : syok hipovolemik yang sering terjadi pada klien

stroke. Tekanan darah biasanya terjadi peningkatan dan dapat

terjadi hipertensi masif (tekanan darah >200 mmHg)

c. B3 (Brain) :

a. Tingkat kesadaran : bisa sadar baik sampai terjadi koma.

Penilaian GCS untuk menilai tingkat kesadaran klien.

b. Refleks Patologis

c. Refleks babinski positif menunjukkan adanya perdarahan di

otak/ perdarahan intraserebri dan untuk membedakan jenis

stroke yang ada apakah bleeding atau infark


d. Pemeriksaan saraf kranial

a) Saraf I : biasanya pada klien dengan stroke tidak ada

kelainan pada fungsi penciuman

b) Saraf II : disfungsi persepsi visual karena gangguan

jarak sensorik primer diantara sudut mata dan

korteks visual. Gangguan hubungan visual-spasial

sering terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri.

Klien mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa

bantuan karena ketidakmampuan untuk

mencocokkan pakaian ke bagian tubuh

c) Saraf III, IV dan VI apabila akibat stroke

mengakibatkan paralisis seisi otot-otot okularis

didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat

unilateral disisi yang sakit.

d) Saraf V pada beberapa keadaan stroke menyebabkan

paralisis saraf trigeminus, penurunan kemampuan

koordinasi gerakan mengunyah.

e) Saraf VII persepsi pengecapan dalam batas normal,

wajah asimetris, otot wajah tertarik ke bagian sisi

yang sehat.

f) Saraf VIII tidak ditemukan adanya tuli konduktif

dan tuli persepsi


g) Saraf XII lidah asimetris, terdapat deviasi pada satu

sisi dan fasikulasi. Indera pengecapan normal

h) Saraf IX dan X kemampuan menelan kurang baik

dan kesulitan membuka mulut.

i) Saraf XI tidak ada atrofi otot sternokleidomastoidius

dan trapezius.

j) Saraf XII lidah simetris, terdapat deviasi pada satu

sisi dan fasikulasi, serta indra pengecapan normal.

d. B4 (Bladder) : terjadi inkontinensia urine

e. B5 (Bowel) : adanya keluhan sulit menelan, nafsu makan

menurun, mual dan muntah pada fase akut. Mungkin

mengalami inkontinensia alvi atau terjadi konstipasi

akibat penurunan peristaltik usus. Adanya gangguan

pada saraf V yaitu pada beberapa keadaan stroke

menyebabkan paralisis saraf trigeminus, didapatkan

penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah,

penyimpangan rahang bawah pada sisi ipsilateral dan

kelumpuhan seisi otot-otot pterigoideis dan pada saraf IX

dan X yaitu kemampuan menelan kurang baik,

kesukaran membuka mulut

f. B6 (Bone) : kehilangan kontrol volenter gerakan

motorik. Terdapat hemiplegia atau hemiparesis atau


hemiparese ektremitas. Kaji adanya dekubitus akibat

immobilisasi fisik. (Muttaqin, 2008)

3. Pemeriksaan Neurologis.

a. Status mental

1) Tingkat Kesadaran : secara kualitatif dan kuantitatif (GCS)

2) Pemeriksaan kemampuan bicara

3) Orientasi (tempat, waktu, orang)

4) Pemeriksaan daya pertimbangan

5) Penilaian daya obstruksi

6) Penilaian kosakata

7) Pemeriksaan respon emosional

8) Pemeriksaan daya ingat

9) Pemeriksaan kemampuan berhitung

10) Pemeriksaan kemampuan mengenal benda

b. Nervus cranialis

1) Olfaktorius : penciuman

2) Optikus : pengihatan

3) Okulomotorius : untuk mengangkat kelopak mata keatas,

kontriksi pupil, dan sebagian gerakan ekstraokuler

4) Troklearis : gerakan mata kebawah dan kedalam

5) Trigeminus : gerakan mengunyaH, sensai wajah, lidah dan gigi,

refleks korenea dan refleks kedip

6) Abducens : gerak mata


7) Fasialis : pengecap, sensasi umum pada palatum dan telinga luar,

sekresi kelenjar lakrimalis, submandibula, sublingual, ekspresi

wajah

8) Vestibulokoklearis : pendengaran dan keseimbangan

9) Glosofaringeus : sensasi rasa

10) Vagus : refleks muntah dan menelan

11) Aksesoris spinal : fonasi, gerakan kepala, leher dan bahu

12) Hipoglosus : gerak lidah

c. Fungsi motorik :

1) Massa otot, kekuatan otot, dan tonus otot. Pada pemeriksaan ini

ekstremitas diperiksa terlebih dahulu

2) Fleksi dan ekstensi tangan

3) Abduksi dan adduksi lengan

4) Fleksi dan ekstensi pergelangan tangan

5) Abduksi adduksi jari

6) Abduksi dan adduksi pinggul

7) Fleksi dan ekstensi lutut

8) Dorsofleksi dan fleksi plantar pergelangan kaki

9) Dorsofeksi dan fleksi plantar ibu jari kaki

d. Fungsi sensori

1) Sentuhan tangan

2) Sensasi nyeri

3) Sensasi posisi
4) Sensasi getaran

5) Lpkalisasi taktil

e. Fungsi cerebellum

1) Tes jari hidung

2) Tes tumit lutut

3) Gerakan berganti

4) Tes romberg

5) Gaya berjalan

f. Refleks

1) Biceps

2) Triceps

3) Brachioradialis

4) Patella

5) Achilles (Wijaya & Putri, 2013)

2.3.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang berhubungan dengan CVA Infark :

1. Resiko peningkatan TIK berhubungan dengan meningkatnya volume

intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebral.

2. Perubahan perfusi jaringan otak berhubungan dengan perdarahan

intraserebral, oklusi otak, edema otak

3. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi

sekret, perubahan tingkat kesadaran


4. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan efek dari

kerusakan area bicara di hemisfer otak, kehilangan kontrol tonus otot

fasial atau oral, dan kelemahan komunikasi

5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kremahan

neuromuskular pada ekstremitas.

6. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan

neuromuskular, menurunnya kekuatan dan kesadaran (Muttaqin,

2008).

2.3.3 Rencana Keperawatan

Penatalaksanaan merupakan rencana asuhan keperawatan yang

dapat tercapai dari kerjasama anatara perawat dan dokter untuk

melaksanakan rencana asuhan keperawatan yang menyeluruh dan

kolaboratif.

Tujuan :Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan klien

dapat berkomunikasi dengan tepat sesuai dengan

keadaannya dan dapat mengemukakan kebutuhannya.

Kriteria hasil :

1. Komunikasi : penerimaan, intrepretasi dan ekspresi pesan, lisan, verbal

dan non verbal meningkat

2. Mampu menerima komunikasi dan intrepretasi pesan verbal atau non

verbal

3. Mampu mengkoordinasi gerakan dalam menggunakan bahasa isyarat

4. Mampu memperoleh, mengatur, dan menggunakan informasi


5. Mampu mengontrol respon ketakutan dan kecemasan terhadap

ketidakmampuan berbicara

6. Mampu mengkomunikasikan kebutuhan dengan lingkungan sekitarnya

7. Mampu memanajemen kemampuan fisik yang dimiliki (Nurarif &

Kusuma, 2015).

Intervensi Menurut (Yasmara, Nursiswati, & Arafat, 2016)

1. Observasi tipe/derajat disfungsi, seperti pasien tidak tampak memahami

kata atau mengalami kesulitan bicara atau membuat pengertian sendiri.

Rasional : Membantu menentukan daerah dan derajat kerusakan serebral

yang terjadi dan kesulitan pasien dalam beberapa atau keseluruhan tahap

proses komunikasi. Pasien mungkin mempunyai kesulitan dalam

memahami kata yang diucapkan (afasia sensorik/kerusakan pada area

Wernicke); mengucapkan kata-kata dengan benar (afasia

ekspresi/kerusakan pada area bicara Broca) atau mengalami kerusakan

pada area kedua tersebut.

2. Perhatikan keluhan dalam komunikasi dan berikan umpan balik

Rasional : Pasien mjungkin kehilangan kemampuan untuk memantau

ucapan yang keluar dan tidak menyadari bahwa komunikasi yang

diucapkan tidak nyata. Umpan balik membantu mewujudkan kenapa

pemberi asuhan keperawatan tidak mengerti/merespon sesuai dan

memberikan kesempatan untuk mengklarifikasikan isi/makna yang

terkandung dalam ucapannya.


3. Mintalah pasien untuk mengikuti perintah sederhana (seperti “ buka

mata”,” tunjuk ke pintu” ) ulangi dengan kata/kalimat yang sederhana

Rasional : Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan sensorik

(afasia sensorik)

4. Tunjukkan objek dan minta pasien untuk menyebutkan nama benda

tersebut

Rasional : Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan motorik

(afasia motorik), seperti pasien mungkin mengenalinya tetapi tidak dapat

menyebutkannya

5. Mintalah pasien untuk mengucapkan kalimat sederhana seperti “SH” atau

“PUS“

Rasional : Mengidentifikasikan adanya disartria sesuai komponen motorik

dari bicara (seperti lidah, gerakan bibir, kontrol nafas) yang dapat

mempengaruhi artikulasi dan mungkin juga tidak disertasi afasia motorik

6. Minta klien menuliskan nama / atau kalimat pendek. Jika tidak mampu

menulis, minta klien membaca sebuah kalimat pendek.

Rasional : Menilai kemampuan menulis (afragia) dan kekurangan dalam

membaca yang benar (aleksia) yang juga merupakan bagian dari afasia

sensorik

7. Tempatkan tanda pemberitahuan pada ruang perawat dan ruang pasien

tentang adanya gangguan bicara.


Rasional : Menghilangkan ansietas pasien sehubungan dengan

ketidakmampuannya untuk berkomunikasi dan perasaan takut bahwa

kebutuhan pasien tidak akan terpenuhi dengan segera.

8. Berikan metode komunikasi alternatif, seperti menulis dipapan tulis,

gambar. Berikan petunjuk visual (gerakan tangan, gambar-gambar,daftar

kebutuhan, demonstrasi).

Rasional : Memberikan komunikasi tentang kebutuhan berdasarkan

keadaan/ defisit yang mendasar.

9. Antisipasi dan penuhi kebutuhan pasien

Rasional : Bermanfaat dan me nurunkan frustasi bila tergantung pada

orang lain dan tidak dapat berkomunikasi secara lancar.

10. Bicara secara langsung dengan klien, bicara secara perlahan dan jelas.

Gunakan pertanyaan tertutup dengan jawaban “ya/tidak” di awal

pertanyaan. Berlanjut ke pertanyaan kompleks sesuai dengan respons

klien.

Rasional : menurukan kebingungan atau ‘fansietas selama proses

komunikasi dan berespon pada informasi yang lebih banyak pada saru

waktu tertentu. Sebagai proses latihan kembali untuk lebih

mengembangkan komunikasi lebih lanjut.

11. Bicara dengan nada normal dan hindari berbicara terlalu cepat. Beri waktu

yang cukup untuk klien berespons dengan tepat.

Rasional : Perawat tidak perlu merusak pendengaran, dan meninggikan

suara dapat menimbulkan marah pasien /menyebabkan kepedihan.


12. Anjurkan pengunjung/orang terdekat mempertahankan usahanya untuk

berkomunikasi dengan pasien, seperti membaca surat, diskusi tentang hal-

hal yang terjadi pada keluarga.

Rasional : mengurangi isolasi sosial pasien dan meningkatkan penciptaan

komunikasi yang efektif

13. Diskusi mengenai hal-hal yang dikenal pasien, seperti pekerjaan, keluarga,

dan hobi (kesenangan)

Rasional : meningkatkan percakapan yang bermakna dan memberikan

kesempatan kepada klien untuk mengutarakan kesenangannya

14. Konsultasikan dengan/rujuk kepada ahli terapi wicara

Rasional : pengkajian secara individual kemampuan bicara dan sensori,

motorik dan kognitif berfungsi untuk mengidentifikasikan kekurangan /

kebutuhan terapi.

2.3.4 Implementasi

Implementasi yang komprehensif merupakan tindakan dari rencana

yang telah disusun pada tahap-tahap perencanaan dapat terujud dengan

baik apabila berdasarkan diagnosa keperawatan, jenis tindakan, atau

pelaksanaan bisa dikerjakan oleh perawata itu sendiri, kolaborasi sesama

tim / kesehatan lain dan rujukan dari profesi lain. Implementasi asuhan

keperawatan pada klien dengan gangguan komunikasi verbal adalah :

1. Mengobservasi tipe/derajat disfungsi, seperti pasien tidak tampak

memahami kata atau mengalami kesulitan bicara atau membuat pengertian

sendiri.
2. Memperhatikan keluhan dalam komunikasi dan berikan umpan balik

3. Meminta pasien untuk mengikuti perintah sederhana (seperti “ buka

mata”,” tunjuk ke pintu” ) ulangi dengan kata/kalimat yang sederhana

4. Menunjukkan objek dan minta pasien untuk menyebutkan nama benda

tersebut

5. Meminta pasien untuk mengucapkan kalimat sederhana seperti “SH” atau

“PUS“

6. Meminta klien menuliskan nama / atau kalimat pendek. Jika tidak mampu

menulis, minta klien membaca sebuah kalimat pendek.

7. Menempatkan tanda pemberitahuan pada ruang perawat dan ruang pasien

tentang adanya gangguan bicara. Berikan bell khusus bila perlu.

8. Memberikan metode komunikasi alternatif, seperti menulis dipapan tulis,

gambar. Berikan petunjuk visual (gerakan tangan, gambar-gambar,daftar

kebutuhan, demonstrasi).

9. Mengantisipasi dan penuhi kebutuhan pasien

10. Berbicara secara langsung dengan klien, bicara secara perlahan dan jelas.

Gunakan pertanyaan tertutup dengan jawaban “ya/tidak” di awal

pertanyaan. Berlanjut ke pertanyaan kompleks sesuai dengan respons

klien.

11. Berbicara dengan nada normal dan hindari berbicara terlalu cepat. Beri

waktu yang cukup untuk klien berespons dengan tepat.


12. Menganjurkan pengunjung/orang terdekat mempertahankan usahanya

untuk berkomunikasi dengan pasien, seperti membaca surat, diskusi

tentang hal-hal yang terjadi pada keluarga.

13. Mendiskusikan mengenai hal-hal yang dikenal pasien, seperti pekerjaan,

keluarga, dan hobi (kesenangan)

14. Melakukan konsultasikan dengan/rujuk kepada ahli terapi wicara

(Yasmara, Nursiswati, & Arafat, 2016).

2.3.5 Evaluasi

Pada langkah ini dilakukan evaluasi keefektifan dari asuhan yang

sudah diberikan meliputi pemenuhan kebutuhan, apakah benar-benar telah

terpenuhi sesuai dengan kebutuhan yang dikaji berupa catatan

perkembangan pasien berdasarkan Nursing Out Comes / Kriteria Hasil dan

tujuan Asuhan Keperawatan terhadap hambatan komunikasi verbal yang

terjadi.

Hasil evaluasi dari asuhan keperawatan hambatan komunikasi

verbal menurut (Yasmara, Nursiswati, & Arafat, 2016)

1. Komunikasi verbal terpenuhi

2. Bicara tidak pelo

3. Dapat mengungkapkan dengan kata-kata

4. Dapat menggunakan ekspresi wajah

Anda mungkin juga menyukai