Kisah Hidup
Nommensen berasal dari Pulau Nordstrand di Schleswig, yang pada waktu itu
merupakan wilayah Denmark (sekarang Jerman).[1] Keluarganya hidup dalam kemiskinan
dan penderitaan. Sejak kecil, Nommensen terbiasa hidup dalam kondisi yang demikian. [1][2]
[3]
Ketika berusia 7 tahun, Nommensen memilih menggembalakan angsa daripada duduk di
bangku sekolah.[4] Pada usia 8 tahun, ia mulai mencari nafkah untuk membantu orang tuanya
dengan cara menggembalakan domba.[1][4] Pada usia 9 tahun, ia belajar menjadi tukang atap. [1]
[4]
Lalu, pada usia 10 tahun, ia bekerja pada seorang petani kaya sambil belajar mengerjakan
tanah.[3] Ia juga bekerja menuntun kuda yang menarik bajak untuk membajak tanah petani
kaya tersebut.[3]
Pada tahun 1846, saat berusia 12 tahun, Nommensen mengalami kecelakaan. [1]
[3]
Sewaktu ia bermain kejar-kejaran dengan temannya, ia tertabrak kereta kuda yang
menggilas kakinya sampai patah. Kecelakaan itu membuatnya harus berbaring di tempat tidur
berbulan-bulan lamanya.[1] Saat itu, Nommensen berdoa meminta kesembuhan dan berjanji
akan memberitakan Injil kepada orang kafir jika ia sembuh. [1][5] Setelah kakinya sembuh,
Nommensen kembali menjadi buruh tani untuk membantu keluarganya setelah kematian
ayahnya.[6]
Anda mengatakan bahwa saya seorang pemimpi, tetapi saya berkata; Tidak, saya
tidak. Saya tidak bermimpi. Iman saya melihat ini semua, hal ini akan terjadi karena seluruh
kerajaan akan menjadi milikNya dan setiap lidah akan mengetahui bahwa Kristus adalah
Tuhan bagi kemuliaan Allah Bapa. Karena itu, saya merasa gembira, walaupun rakyat
mungkin menentang firman Allah (masa itu).
Suatu aliran berkat pastilah akan mengalir atas mereka. "Hari sudah mulai terbit.
Segera cahaya terang akan menembus, kemudian Matahari Kebenaran dalam segala
kemuliaanNya akan bersinar atas seluruh tepi-langit tanah Batak dari Selatan bahkan sampai
ke pantai-pantai Danau Toba”.