Anda di halaman 1dari 5

Teks dan Cerita Sejarah

Disusun oleh :
Nama : Joniko Rafael Sagala
Kelas/no : XI MIPA 5/15

SMA NEGERI 2
Jalan Tegalrejo no 79
Salatiga
2023
A. Teks Sejarah
Sejarah Ludwig Ingwer Nommensen

Pada usia 20 tahun, Nommensen berangkat ke Barmen (sekarang Wuppertal)


untuk melamar menjadi penginjil.[1][5] Selama empat tahun, ia belajar di
seminari zending Lutheran Rheinische Missionsgesellschaft (RMG).[1][5]
Sesudah lulus, ia kemudian ditahbiskan menjadi pendeta pada tahun 1861.[1] Ia
ditugaskan oleh RMG ke Sumatra dan tiba pada tanggal 14 Mei 1862 di Padang.
[1] Ia memulai misinya di Barus dengan harapan akan mendapatkan izin untuk
menetap di daerah Toba.[5] Namun, pemerintah kolonial tidak mengizinkan
dengan alasan keamanan.[7] Oleh sebab itu, ia bergabung dengan penginjil-
penginjil lain yaitu Pdt. Heyni dan Pdt. Klammer yang telah berada di daerah
Sipirok yang setelah Perang Padri dimasukkan dalam wilayah Hindia Belanda.[7]
Di situ, sebagian dari penduduk sudah memeluk agama Islam sehingga upaya
penginjilan berjalan lambat.[7] Setelah berdiskusi dengan kedua misionaris
tersebut, disepakati pembagian wilayah pelayanan, bahwa Nommensen akan
bekerja di Silindung.
Kunjungan pertama Nommensen ke Tarutung adalah pada 11 November 1863.
Pada kunjungan pertama itu, Nommensen diterima oleh Ompu Pasang (Ompu
Tunggul) untuk tinggal di rumahnya. Wilayah kediaman Ompu Pasang masuk
dalam wilayah kekuasaan Raja Pontas Lumbantobing. Dari sini, Nommensen
kemudian kembali ke Sipirok untuk mempersiapkan segala sesuatunya yang
diperlukan dalam pelayanannya.
Pada pertengahan tahun berikutnya, 1864, Nommensen dengan membawa
semua perlengkapannya berangkat kembali ke Tarutung, dan tiba di Tarutung
pada tanggal 7 Mei 1864. Nommensen kembali ke rumah Ompu Pasang (Ompu
Tunggul), tetapi ia ditolak. Di Onan Sitahuru, Nommensen duduk dan merenung
di bawah sebatang pohon beringin (bahasa Batak: Hariara) untuk memikirkan apa
yang akan ia perbuat. Nommensen lalu pergi ke desa lain dan sampai ke desa
milik Raja Amandari Sabungan Lumban Tobing. Nommensen berharap Raja
Amandari dapat mengizinkannya tinggal di atas lumbung padinya. Akan tetapi,
pada saat itu Raja Amandari sedang pergi ke desa lain membawa isterinya yang
sakit keras. Melalui seorang utusan, Nommensen menyampaikan niatnya kepada
Raja Amandari, namun Raja Amandari menolak. Nommensen meminta utusan itu
untuk kembali menemui Raja Amandari kedua kalinya dengan pesan bahwa
penyakit istri Raja Amandari akan hilang sekembalinya ia ke desanya. Raja
Amandari setuju untuk mengizinkan Nommensen tinggal di desanya bila
perkataan Nommensen terbukti benar. Penyakit istri Raja Amandari akhirnya
sembuh. Raja Amandari kemudian mengizinkan Nommensen tinggal di
rumahnya.
Keputusan Raja Amandari Sabungan Lumban Tobing untuk menerima
Nommensen tinggal di rumahnya mendapat penolakan dari Raja Pontas
Lumbantobing. Raja Pontas berusaha memengaruhi raja-raja di Silindung supaya
menolak Nommensen. Sebaliknya, Raja Amandari berusaha mempengaruhi raja-
raja di Silindung untuk menerima Nommensen. Masyarakat di sekitar Silindung
terbagi dua dalam hal menerima Nommensen. Walaupun masyarakat Silindung
terbagi dua (ada yang menerima dan ada yang menolak Nommensen),
Nommensen tetap berada di Tarutung dan memulai pelayanannya mengabarkan
Injil.
Satu tahun kemudian, 27 Agustus 1865, Nommensen melakukan pembaptisan
pertama kepada satu orang Batak. Di kemudian hari, Raja Pontas Lumban Tobing
yang dulunya menolak Nommensen, juga meminta supaya ia dan keluarganya
dibaptis. Pada saat itu, Raja Pontas meminta supaya Nommensen pindah dari
Huta Dame ke Pearaja. Setelah Raja Pontas dan keluarganya menjadi Kristen,
masyarakat Silindung semakin banyak yang menjadi Kristen.
Sejalan dengan pertumbuhan gereja di Silindung, Nommensen membuka Sekolah
Guru di Pansur Napitu. Lulusan sekolah ini dijadikan sebagai guru Injil dan guru
sekolah. Di kemudian hari, sekolah ini dipindahkan ke Sipoholon. Kemudian,
Nommensen membuka pos penginjilan baru di Sigumpar. Dari Sigumparlah, ia
menyebarkan Injil bersama para pembantunya ke seluruh Toba Holbung dan
Samosir.
Ketika diberi izin oleh pemerintah kolonial, maka RMG menunjuk Nommensen
untuk membuka pos zending baru di Silindung.[7] Kehadiran zending ditantang
oleh sebagian raja dan juga oleh sebagian besar penduduk karena mereka takut
akan terkena bencana jika menyambut seorang asing yang tidak memelihara
adat.[5] Selain itu, sikap menolak para raja disebabkan pula oleh kekhawatiran
bahwa dengan kedatangan orang-orang kulit putih ini menjadi perintis jalan bagi
pemerintahan Belanda yang berkuasa pada waktu itu.[5] Sekalipun demikian,
Nommensen berhasil mengumpulkan jemaatnya yang pertama di Huta Dame
(terjemahan dari Yerusalem – Kampung Damai).[1] Pada tahun 1873, ia
mendirikan gedung gereja, sekolah, dan rumahnya di Pearaja dan hingga kini,
Pearaja tetap menjadi pusat Gereja HKBP.
Karena kehadiran para misionaris tidak disetujui oleh sebagian raja, terutama oleh
mereka yang berpihak pada Si Singamangaraja, maka pada bulan Januari 1878, Si
Singamangaraja XII sebagai raja yang, menurut pengakuannya sendiri, memiliki
kedaulatan atas Silindung, memberi ultimatum kepada para zendeling RMG untuk
segera meninggalkan Silindung.[4] Pada akhir Januari, Nommensen meminta
kepada pemerintah kolonial Belanda untuk mengirim tentara untuk segera
menaklukkan Tanah Batak yang pada saat itu masih merdeka.[4] Pada awal tahun
1878, pasukan pertama di bawah pimpinan Kapten Scheltens bersama dengan
Kontrolir Hoevell menuju Pearaja dan disambut oleh Nommensen. Antara
Februari hingga Maret, 380 pasukan tambahan dan 100 narapidana didatangkan
dari Sibolga. Februari 1878, ekspedisi militer untuk menumpaskan pasukan
Sisingamangaraja XII dimulai.[8] Penginjil Nommensen dan Simoneit
mendampingi pasukan Belanda selama ekspedisi militer yang dikenal sebagai
Perang Toba I.[8] Keduanya menjadi penunjuk jalan dan penerjemah, serta malah
dianggap ikut berperan dalam menentukan kampung-kampung mana yang akan
dibakar. Sesudah ekspedisi militer berakhir, puluhan kampung, termasuk markas
Sisingamangaraja XII di Bangkara dibumihanguskan. Atas jasa membantu
pemerintah Belanda, pada 27 Desember 1878, Nommensen dan Simoneit
menerima surat penghargaan dari pemerintah Belanda, ditambah uang tunai
sebanyak 1000 gulden.
Setelah Silindung dan Toba ditaklukkan dalam Perang Toba I, Batakmission
(zending Batak) mengalami kemajuan dengan pesat, khususnya di daerah Utara.
[4] Nommensen berhasil meyakinkan ratusan raja untuk berhenti mengadakan
perlawanan.[4] Tentunya, hal ini dapat terjadi setelah Nomensen meyakinkan
kembali masyarakat bahwa ia bukan kaki tangan Belanda dan kedatangannya
untuk membawa kebaikan.[7] Hal ini tampak dalam tindakan keseharian
Nommensen bagi orang-orang Batak waktu itu.[7] Contoh beberapa raja yang
akhirnya bersikap positif ialah Raja Pontas Lumban Tobing, Ompu Hatobung di
Pansur Napitu, Kali Bonar di Pahae, Ompu Batu Tahan di Balige, dan lainnya.[7]
Pada tahun 1881, Nommensen memindahkan tempat tinggalnya ke kampung
Sigumpar, dan ia tinggal di sana sampai akhir hayatnya.[9] Pada tahun
kematiannya, Batakmission (cikal bakal Huria Kristen Batak Protestan (HKBP)
mencatat jumlah orang Batak yang dibaptis telah mencapai 180.000 orang.
Untuk menjaga tatanan hidup dari ribuan orang yang baru masuk menjadi
Kristen, Nommensen menyediakan bagi mereka suatu tatanan yang baru.[5] Pada
tahun 1866, ditetapkanlah sebuah Aturan Jemaat.[5] Aturan itu meliputi
kehidupan orang Kristen di dalam jemaat maupun dalam lingkungan keluarga
menyangkut ibadah, perkawinan, hukum, dan pejabat gerejawi.[5] Di samping itu,
Nommensen menerjemahkan kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Batak Toba.
[1] Ia menerbitkan cerita-cerita Batak dan menerbitkan cerita-cerita PL.[1][9] Ia
juga berusaha untuk memperbaiki pertanian, peternakan, meminjamkan modal,
dan menebus hamba-hamba dari tuannya.[1] Jasa Nommensen juga dikenang
oleh orang Batak antara lain karena usahanya di bidang pendidikan dengan
membuka sekolah penginjil yang menghasilkan penginjil-penginjil Batak pribumi.
[1] Demikian juga untuk memenuhi kebutuhan guru di sekolah, RMG bersama
Nommensen membuka pendidikan guru.
Karena kecakapan dan jasa-jasanya dalam pekerjaan penginjilan, maka pimpinan
RMG, pada tahun 1881,mengangkat Nommensen sebagai Ephorus.[5] Jabatan ini
diembannya sampai akhir hidupnya.[1][5] Pada hari ulang tahunnya yang ke-70,
Nommensen mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Bonn.[1][4]
Pada tahun 1911, ia memperoleh penghargaan Kerajaan Belanda dengan
diangkat sebagai Officier in de Orde van Oranje-Nassau.[4] Ia pun akhirnya
mendapat gelar sebagai Rasul Orang Batak.
Nommensen meninggal pada tanggal 23 Mei 1918, pada usia 84 tahun.[1] Hingga
saat kematiannya, ia telah bekerja sebagai pendeta di tengah-tengah orang Batak
selama 57 tahun. Nommensen dimakamkan di Sigumpar, Toba.[1] Makamnya
menjadi tempat wisata rohani di Kabupaten Toba.

Anda mungkin juga menyukai