Anda di halaman 1dari 14

TUGAS MAKALAH PRNGETAHUAN BAHAN AGROINDUSTRI

“POTENSI KOMODITI DAGING SEBAGAI BAHAN AGROINDUSTRI


YANG MENGANDUNG LEMAK”

Disusun Oleh:
Ramadhani Savitri 135100307111058
Eko Widartiningsih 135100300111029
Sello Conni Prayudha 135100301111079
Muhammad Khoirul 135100301111091
Anam
El Poput Jis Popinoring 135100301111061

JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sub sektor peternakan dalam mewujudkan program pembangunan peternakan
secara operasional diawali dengan pembentukan kawasan melalui pendekatan
sistem dan usaha agribisnis. Pembangunan kawasan agribisnis berbasis
peternakan merupakan salah satu alternative program terobosan yang diharapkan
dapat menjawab tantangan dan tuntutan pembangunan peternakan yaitu
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat (Mandaka dan Hutagaol,
2005).
Pembangunan peternakan sebagai bagian dari pembangunan pertanian akan
terkait dengan reorientasi kebijakan pembangunan pertanian. Pembangunan
peternakan mempunyai paradigma baru, yakni secara makro berpihak kepada
rakyat, adanya pendelegasian tanggung jawab, perubahan struktur dan
pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, perlu diformulasikan suatu strategi
dan kebijakan yang komprehensif, sistematis, terintegrasi baik vertikal maupun
horizontal, berdaya saing, berkelanjutan, dan terdesentralisasi (Bamualim et al.
2008).
Kebutuhan daging sapi terus meningkat seiring makin baiknya kesadaran
masyarakat akan pentingnya gizi yang seimbang, pertambahan penduduk, dan
meningkatnya daya beli masyarakat. Salah satu upaya untuk memenuhi
kebutuhan daging dalam negeri yaitu dengan meningkatkan populasi, produksi,
dan produktivitas sapi potong. Indonesia dengan jumlah penduduk hampir 223
juta orang dengan laju pertumbuhan 1,01%/tahun merupakan pasar potensial bagi
produk peternakan. Volume impor sapi potong dan produk olahannya cukup
besar, setara dengan 600−700 ekor/tahun (Bamualim et al. 2008).
Dalam makalah ini membahas tentang potensi daging sapi di Indonesia.
Selain itu, juga membahas kandungan gizi yang terdapat pada daging sapi.
Komposisi daging sapi terdiri atas air, lemak, protein, mineral dan karbohidrat.
Produk olahannya juga banyak, misalnya abon.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana potensi daging sapi di Indonesia?
2. Bagaimana kandungan daging sapi?
3. Bagaimana pohon industri daging sapi?
4. Bagaimana perubahan-perubahan yang terjadi pada daging sapi?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui potensi daging sapi di Indonesia.
2. Mengetahui kandungan yang terdapat pada daging sapi.
3. Mengetahui pohon industri daging sapi.
4. Mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi pada daging sapi.
BAB II TINJAUAN
PUSTAKA

2.1 Potensi Daging Sapi di Indonesia


Industri peternakan sapi potong sebagai suatu kegiatan agribisnis mempunyai
cakupan yang sangat luas. Rantai kegiatan tidak terbatas pada kegiatan produksi
di hulu tetapi juga sampai kegiatan bisnis di hilir dan semua kegiatan bisnis
pendukungnya. Kita memimpikan mempunyai suatu industri peternakan sapi
potong yang tangguh dalam arti sebagai suatu industri peternakan yang
mempunyai daya saing yang tinggi dan mampu secara mandiri terus tumbuh
berkembang di era persaingan dalam ekonomi pasar global (Boediyana, 2008)
Ditinjau dari sisi potensi yang ada, Indonesia selayaknya mampu memenuhi
kebutuhan pangan asal ternak dan berpotensi menjadi pengekspor produk
peternakan. Hal tersebut dimungkinkan karena didukung oleh ketersediaan
sumber daya ternak dan peternak, lahan
dengan berbagai jenis tanaman pakan, produk sampingan industri pertanian
sebagai sumber pakan, serta ketersediaan inovasi teknologi. Jika potensi lahan
yang ada dapat dimanfaatkan 50% saja maka jumlah ternak yang dapat ditampung
mencapai 29 juta satuan ternak (ST). Belum lagi kalau padang rumput alam yang
ada diperbaiki dan ditingkatkan kualitasnya dengan menggunakan rumput unggul
sehingga daya tampungnya meningkat secara nyata (Bamualim et al. 2008).
Laju peningkatan populasi sapi potong relatif lambat, yaitu 4,23% pada
tahun 2007 (Direktorat Jenderal Peternakan 2007). Kondisi tersebut
menyebabkan sumbangan sapi potong terhadap produksi daging nasional
rendah (Mersyah 2005; Santi 2008) sehingga terjadi kesenjangan yang makin
lebar antara permintaan dan penawaran (Setiyono, 2007). Pada tahun 2006,
tingkat konsumsi daging sapi diperkirakan 399.660 ton, atau setara dengan
1,702 juta ekor sapi potong (Koran Tempo 2008), sementara produksi hanya
288.430 ton (Badan Pusat Statistik 2005).
Produksi Daging Sapi (Ton) 2007-2013
Sapi
Provinsi
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013*
Aceh 12146 7322 7614 7914 8303 6569 7478
Sumatera Utara 9341 16261 13261 14256 18299 24547 32171
Sumatera Barat 14774 16026 18322 20442 20287 22638 23543
Riau 5640 6222 7294 10950 12658 11317 11473
Kepulauan Riau 776 794 579 450 532 585 592
Jambi 3164 3558 3868 6349 6515 6507 8034
Sumatera Selatan 8887 9630 12482 12703 13601 14649 16114
Kepulauan Bangka
1628 1658 2004 3024 3932 2917 3209
Belitung
Bengkulu 1388 1905 2411 2691 3276 3761 4183
Lampung 3155 10670 10694 9527 10064 9833 9226
DKI Jakarta 7051 8562 5657 6058 9413 12206 12847
Jawa Barat 50646 70010 70662 76066 78476 74312 81254
Banten 14875 25882 18728 20326 25806 36121 31914
Jawa Tengah 46855 45736 48340 51001 60322 60893 62720
DI Yogyakarta 4924 4628 5384 5690 7657 8896 10408
JawaTimur 81538 85173 107768 109016 112447 110762 118363
Bali 5875 8356 6283 6238 8081 8759 8832
Nusa Tenggara Barat 7609 6767 6567 9287 10958 11228 11565
Nusa Tenggara Timur 5898 8134 6486 4507 8668 13595 13595
Kalimantan Barat 5532 6767 6567 7074 10437 7263 13375
Kalimantan Tengah 4779 4898 2564 5224 3116 4154 4322
Kalimantan Selatan 5475 5796 5946 7058 8459 9610 9678
Kalimantan Timur 6973 7147 6729 7530 8240 8069 8473
Sulawesi Utara 4242 4326 4571 4386 4446 4501 4568
Gorontalo 2909 2892 3063 3926 3985 4347 4419
Sulawesi Tengah 3265 2640 3359 3672 3058 4250 5126
Sulawesi Selatan 11160 9504 11323 9056 11026 12725 12979
Sulawesi Barat 544 1594 1361 1795 3917 3053 3202
Sulawesi Tenggara 3148 3555 3737 3902 2709 3328 3428
Maluku 1450 1261 1338 1420 1320 1496 1699
Maluku Utara 859 1110 223 243 274 578 562
Papua 2145 2133 2427 2770 2737 2903 3116
Papua Barat 828 1594 1696 1899 2316 2533 3153
Indonesia 339480 392511 409308 436450 485335 508905 545621
2.2 Kandungan Daging Sapi
Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan
gizi. Secara umum, komposisi daging terdiri atas air, lemak, protein, mineral dan
karbohidrat. Kandungan gizi yang lengkap dan keanekaragaman produk
olahannya menjadikan daging sebagai bahan pangan yang hampir tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia, namun demikian kualitas daging yang
beredar di masyarakat seringkali tidak terjamin dengan baik. Bagian terpenting
yang menjadi acuan konsumen dalam pemilihan daging adalah sifat fisik
(Prasetyo, 2013).
Sifat fisik memegang peranan penting dalam proses pengolahan dikarenakan
sifat fisik menentukan kualitas serta jenis olahan yang akan dibuat. Sifat fisik
sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sebelum pemotongan dan setelah
pemotongan. Faktor penting sebelum pemotongan adalah perlakuan istirahat yang
dapat menentukan tingkat cekaman (stres) pada ternak. Ternak yang tidak
diistirahatkan akan menghasilkan daging yang berwarna gelap, bertekstur keras,
kering, memiliki nilai pH tinggi dan daya mengikat air tinggi. Faktor setelah
pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging adalah metode pelayuan,
metode pemasakan, tingkat keasaman (pH) daging, bahan tambahan (termasuk
enzim daging), lemak intramuskular (marbling), metode penyimpanan dan
pengawetan macan otot daging, serta lokasi otot (Prasetyo, 2013).
Kualitas kimia daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah
pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas
daging adalah genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan
dan bahan aditif (hormon, antibiotik, dan mineral), serta keadaan stres. Faktor
setelah pemotongan meliputi kualitas kadar air, kadar lemak, dan kadar protein.
Rata-rata komposisi kimia daging sapi yaitu protein bervariasi antara l6-22%,
lemak 1,5- l3%, senyawa nitrogen non protein l,5%, senyawa anorganik l%,
karbohidrat 0,5%, dan air antara 65-80% (Soeparno, 2005).
Kandungan Gizi Daging Sapi (per 100gr) (Suprapti, 2003):
No Unsur Gizi Sapi Muda Sapi Dewasa
Kurus Sedang Gemuk Kurus Sedang Gemuk
1 Kalori (kal) 168,00 184,00 219,00 168,00 201,00 268,00
2 Air (g) 69,00 64,00 64,00 69,00 66,00 60,00
3 Protein (g) 19,60 19,10 18,80 19,60 18,80 17,50
4 Lemak (g) 10,00 12,00 16,00 10,00 14,00 22,00
5 Karbohidrat (g) - - - - - -
6 Mineral (g) 1,40 0,90 1,20 1,40 1,20 0,50
7 Kalsium (mg) 11,00 11,00 10,00 11,00 11,00 10,00
8 Fosfor (mg) 201,00 193,00 200,00 181,00 170,00 150,00
9 Zat Besi (mg) 2,90 2,90 2,20 2,90 2,80 2,60
10 Vitamin B1 (mcg) 6,00 12,00 12,00 6,00 9,00 12,00
11 Vitamin B2 (mg) 0,08 0,14 0,13 0,08 0,08 0,08
12 Vitamin C (mg) - - - - - -

2.3 Pohon Industri


2.4 Perubahan yang Terjadi

2.4.1 Pascapanen

Daging sangat memenuhi syarat untuk pertumbuhan dan perkembangbiakkan


mikroorgansime, karena mempunyai kadar air atau kelembaban yang tinggi, adanya
oksigen, tingkatkeasamandankebasaan (pH) sertakandungannutrisi yang tinggi.
Karena itu daging sangat mudah mengalami kerusakan apabila disimpan pada suhu
kamar. Sel-sel yang terdapat dalam daging mentah masih terus mengalami proses
kehidupan, sehingga di dalamnya masih terjadi reaksi-reaksi metabolisme. Kecepatan
proses metabolism tersebut sangat tergantung pada suhu penyimpanan. Semakin
rendah suhu semakin lambat proses tersebut berlangsung dan semakin lama daging
dapat disimpan. Di samping itu suhu penyimpanan yang rendah juga menghambat
pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri pembusuk yang terdapat pada
permukaan. Daging segar atau mentah tanpa pendinginan yang disimpan pada suhu
kamar (27®C) hanya dapat bertahan selama 25 jam dan lebih dari itu sudah
menunjukkan adanya pembusukan pada daging tersebut. Daging segar dalam suhu
kamar hanya mampu bertahan 1 – 2 hari. Olehkarena itu bila masih ingin disimpan
selama 1 minggu makadaging tersebut harus diolah untuk menghasilkan berbagai
bentuk baru atau dilakukan pengawetan dengan menggunakan bahan pengawet kimia.
Dengan demikian proses kerusakan dapat dihambat dan usia simpan dapat
diperpanjang melalui penyimpanan yang sesuai untuk daging olahan, seperti dendeng
daging sapi, agar kualitasnya dapat dipertahankan pada penyimpanan suhu kamar.
Penyimpanan bahan makanan merupakan satu dari 7 prinsip higiene dan sanitasi
makanan. Penyimpanan bahan makanan yang tidak baik, terutama dalam jumlah yang
banyak (untuk katering dan jasa boga) dapat menyebabkan kerusakan bahan makanan
tersebut.

2.4.2 Selama Proses

Daging sapi digiling dengan chopper pada suhu rendah sehingga selama
penggilingan, suhu dapat dipertahankan tetap di bawah 16°C. Hal tersebut dilakukan
dengan menambahkan es batu atau air dingin.Hasil gilingan berupa daging cincang
yang masih kasar.Setelah dicincang, daging dimasukkan ke dalam mixer untuk
mencampur daging, bumbu, dan bahan lainnya menjadi adonan yang homogen.Agar
emulsi tetap terjaga stabilitasnya, pencampuran harus dilakukan pada suhu rendah
(10-16°C) (Wagiyono. 2003).

Emulsi daging yang telah terbentuk selanjutnya diisikan ke dalam kaleng yang
sebelumnya telah disterilkan dengan panas.Pengisian dilakukan dengan menyisakan
sedikit ruang kosong di dalam kaleng, disebut head space. Kaleng yang telah diisi,
kemudian divakum (exhausting) dengan cara melewatkannya melalui ban berjalan ke
dalam exhauster box bersuhu 90-95°C selama 15 menit. Setelah keluar dari exhauster
box, kaleng dalam keadaan panas langsung ditutup dengan mesin penutup kaleng
(Wagiyono. 2003).Setelah ditutup, kaleng beserta isinya disterilisasi dengan cara
memasukkan kaleng ke dalam retort dan dimasak pada suhu 120°C dan tekanan 0,55
kg/cm2, selama 15 menit. Agar daging tidak mengalami pemanasan yang berlebihan,
kaleng yang telah disterilkan harus segera didinginkan di dalam bak pendingin yang
berisi air selama 20-25 menit.Setelah permukaan kaleng dibersihkan dengan lap
hingga kering, produk siap untuk diberi label dan dikemas (Wagiyono. 2003).

a. Pembersihan Bahan Baku (Daging Sapi)

Pembersihan dilakukan dengan menggunakan air bersih yang mengalir, guna


menghilangkan kotoran yang menempel pada bahan. Selain itu menghilangkan
bagian-bagian yang tidak bisa dimakan.

b. Chopping

Daging sapi digiling dengan chopper pada suhu rendah sehingga selama
penggilingan, suhu dapat dipertahankan tetap di bawah 16°C. Hal tersebut dilakukan
dengan menambahkan es batu atau air dingin. Hasil gilingan berupa daging cincang
yang masih kasar.

c. Curing

Setelah dicincang, daging dimasukkan ke dalam mixer untukmencampur


daging, bumbu, dan bahan lainnya menjadi adonan yang homogen yang disebut
dengan curing. Agar emulsi tetap terjaga stabilitasnya, pencampuran harus dilakukan
pada suhu rendah (10-16°C). Menurut Soeparno (2005) curing adalah cara processing
daging dengan menambahkan beberapa bahan seperti garam NaCl, Na-nitrat dan atau
Na-nitrit dan gula (dekstrosa atau sukrosa), serta bumbu-bumbu. Maksud curing
antara lain untuk mendapatkan warna yang stabil, aroma, tekstur dan kelezatan yang
baik, dan untuk mengurangi pengerutan daging selama processing serta
memperpanjang masa simpan produk daging.

d. Filling

Emulsi daging yang telah terbentuk selanjutnya diisikan ke dalam kaleng yang
sebelumnya telah disterilkan dengan panas. kemudian ditimbang dengan timbangan
kasar. Pengisian dilakukan dengan metode hot filling. Hot filling adalah kombinasi
proses pengawetan dengan pemanasan (pasteurisasi) dengan metode lainnya
(pengawetan sekunder) untuk memberikan tingkat keamanan produk yang diinginkan.
Produk pangan diisikan ke dalam kemasan dalam keadaan panas (hot fiiling),
umumnya pada suhu 180°F. Pemanasan yang diberikan tidak membunuh spora dan
pada proses pendinginan terbentuk kondisi vakum (anaerobik).. Setelah dilakukan
filling, kaleng disusun dalam nampan dan diletakkan ke atas conveyor belt. Lalu
dalam perjalanannya menuju ke exhauster box, kaleng-kaleng tersebut ditimbang
kembali dengan timbangan digital yang lebih akurat. Beratnya bervariasi tergantung
jenis kaleng yang digunakan. Pengisian dilakukan dengan menyisakan sedikit ruang
kosong di dalam kaleng, disebut head space. Ukuran head space bervariasi, umumnya
kurang dari ¼ tinggi kaleng.

e. Exhausting

Kaleng yang telah diisi, kemudian divakum (exhausting) dengan cara


melewatkannya melalui ban berjalan ke dalam exhauster box bersuhu 90-95°C
selama 15 menit.

f. Seaming

Setelah keluar dari exhauster box, kaleng dalam keadaan panas langsung
ditutup dengan mesin penutup kaleng. Semakin tinggi suhu penutupan ka-leng, maka
semakin tinggi pula tingkat kevakumannya (semakin rendah tekanannya). Proses
penutupan kaleng juga merupakan hal yang sangat penting karena daya awet produk
dalam kaleng sangat tergantung pada kemampuan kaleng (terutama bagian-bagian
sambungan dan penutupan) untuk mengisolasikan produk di dalamnya dengan udara
luar. Penutupan yang baik akan mencegah terjadinya kebocoran yang dapat
mengakibatkan kerusakan.

g. Pencucian

Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang tercecer di


permukaan kaleng akibat proses filling. Apabila kotoran tidak dibersihkan,
dikhawatirkan mikroba akan dapat tumbuh dan mengkontaminasi produk setelah
dibuka, karena proses sterilisasi hanya difokuskan pada produk yang berada dalam
kaleng.

h. Sterilisasi

Setelah ditutup, kaleng beserta isinya disterilisasi dengan cara memasukkan


kaleng ke dalam retort dan dimasak pada suhu 120°C dan tekanan 0,55 kg/cm2,
selama 15 menit.
i. Cooling

Agar daging tidak mengalami pemanasan yang berlebihan, kaleng yang telah
disterilkan harus segera didinginkan di dalam bak pendingin yang berisi air selama
20-25 menit. Pendinginan pasca sterilisasi menjadi penting karena timbul perbedaan
tekanan yang cukup besar yang dapat menyebabkan rekontaminasi dari air pendingin
ke dalam produk. Perlu dipastikan bahwa air pendingin yang digunakan memenuhi
persyaratan mikrobiologis. Untuk industri besar, proses pendinginan biasanya
dilakukan secara otomatis di dalam retort, yaitu sesaat setelah katup uap dimadkan
maka segera dibuka katup air dingin. Untuk ukuran kaleng yang besar, maka tekanan
udara dalam retort perlu dikendalikan sehingga tidak menyebabkan terjadinya kaleng-
kaleng yang menggelembung dan rusak.

2.4.3 Setelah Proses

Syarat mutu daging kornet telah ditentukan berdasarkan Standar Nasional


Indonesia (SNI).Namun, dalam praktiknya masih ada produk yang tidak sesuai
dengan standar tersebut. Membaca secara seksama label pada kemasan produk
merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan.Komposisi zat gizi kornet dalam
kaleng sangat beragam, tergantung pada jenis daging yang digunakan, mutu bahan
baku sebelum diolah, cara pengolahan, cara dan lama penyimpanan produk serta
kondisi kaleng selama penyimpanan. Secara umum dapat dikatakan bahwa daging
kornet dalam kaleng mempunyai nilai gizi yang cukup baik, khususnya protein,
vitamin, dan mineral (SNI. 2006).

Ciri-ciri Kerusakan Kornet

Daging kornet yang ada di pasaran umumnya dikemas dengan kaleng.Kaleng


mempunyai sifat yang baik sebagai pengemas karena mampu menahan gas, uap air,
jasad renik, debu, dan kotoran.Kaleng juga memiliki kekuatan mekanik yang tinggi,
tahan terhadap perubahan suhu yang ekstrem, dan toksisitasnya relatif rendah. Umur
simpan daging kornet dalam kaleng dapat mencapai 2 tahun atau lebih, tergantung
proses pengolahan, jenis kaleng, penyimpanan, dan distribusi (Astawan. 2012).

Kebusukan kornet dalam kaleng dapat disebabkan oleh proses pembuatan


yang tidak benar, kebocoran wadah karena penutupan yang kurang baik, atau
penyimpanan pada suhu yang tidak tepat dan terlalu lama. Kebusukan tersebut tidak
selalu dapat dideteksi dari penampakan wadah karena tidak selalu diikuti oleh
perubahan bentuk wadah (Astawan. 2012).Secara umum, ciri-ciri yang dapat
digunakan untuk menilai kualitas kornet dalam kaleng menurut Astawan (2012)
adalah sebagai berikut:
•Flat Sour

Apabila produk di dalam kaleng memberikan cita rasa asam karena adanya aktivitas
mikroba tanpa memproduksi gas, kebusukan tersebut dikenal dengan sebutan flat
sour (kaleng tetap datar, tidak menggembung, tetapi produk menjadi asam). Jenis
kebusukan ini disebabkan oleh aktivitas spora bakteri tahan panas yang tidak
terhancurkan selama proses sterilisasi. Hal tersebut bisa terjadi akibat sanitasi selama
pengolahan yang buruk atau karena proses pengolahan tidak tepat.

•Penggembungan Kaleng (Swells)

Kaleng yang gembung dapat terjadi akibat terbentuknya gas di dalam wadah
karena adanya pertumbuhan dan aktivitas mikroba.Adanya gas tersebut menyebabkan
meningkatnya tekanan di dalam kaleng, sehingga kaleng menjadi gembung pada
bagian tutup dan dasar kaleng.Kaleng yang gembung dapat juga disebabkan oleh
penuhnya pengisian kornet, sehingga tidak cukup adanya ruang kosong di dalam
kaleng.

•StackBurn

Stack burn terjadi akibat pendinginan yang tidak sempurna, yaitu kaleng yang
belum benar-benar dingin sudah disimpan. Biasanya produk di dalam kaleng menjadi
lunak, berwarna gelap, dan menjadi tidak dapat dikonsumsi lagi.

•Kaleng yang penyok

Kaleng yang penyok dapat mengakibatkan terjadinya lubang-lubang kecil


yang merupakan sumber masuknya mikroba pembusuk. Penyoknya kaleng dapat
disebabkan oleh benturan-benturan mekanis akibat perlakukan kasar, baik selama
proses pembuatan, penyimpanan, pengangkutan, atau pemasaran. Sebagai konsumen
yang kritis, sebaiknya Anda tetap waspada dengan tidak memilih sotiap produk yang
kalengnya dalam keadaan tidak normal.

•Kaleng yang bocor dan berkarat

Bocornya kaleng disebabkan deh sambungan kaleng yang kurang rapat,


penyolderan kurang sempurna, atau tertusuk oleh benda tajam.Kaleng yang bocor
ditandai dengan tumbuhnya mikroba dan timbulnya bau kurang sedap.Kaleng oval
umumnya lebih jarang mengalami kebocoran daripada yang berbentuk silinder.
Kaleng yang berkarat dapat mencerminkan bahwa produk tersebut telah lama
diproduksi atau disimpan pada tempat yang kurang tepat (keadaan lembab).
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2005. Statistik Indonesia.Badan Pusat Statistik, Jakarta.


Bamualim, A.M., B. Trisnamurti, dan C. Thalib. 2008. Arah
penelitian
pengembangan sapi potong di Indonesia. hlm. 4−12. Dalam A.L. Amar, M.H.
Husain, K. Kasim, Marsetyo, Y. Duma, Y. Rusyantono, Rusdin, Damry, dan B.
Sundu (Ed). Pengembangan Sapi Potong untuk Mendukung Percepatan
Pencapaian Swasembada Daging Sapi 2008− 2010. Prosiding Seminar
Nasional, Palu, 24 November 2008. Kerja Sama antara Universitas Tadulako,
Sub Dinas Peternakan dan Dinas Pertanian Perkebunan dan Peternakan
Sulawesi Tengah.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2007. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal
Peternakan. Jakarta.
Koran Tempo. 2008. Indonesia belumsiapimporsapi Brazil. Edisi Senin, 13 Oktober
2008.Jakarta.
Mandaka, S. dan M. P. Hutagaol. 2005. Analisis fungsi keuntungan, efisiensi ekonomi
dan kemungkinan skema kredit bagi pengembangan skala usaha peternakan
sapi perah rakyat di Kelurahan Kebon Pedes, Kota Bogor. Jurnal Agro Ekonomi
23: 191-208.
Mersyah, R. 2005. Desain system budidaya sapi potong berkelanjutan untuk
mendukung pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Bengkulu Selatan.
Disertasi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Nugroho, B.A. 2006. Pengembangan agribisnis peternakan pola bantuan usaha
ekonomi produktif (Studi di Provinsi Sulawesi Utara). hlm. 162−172. Dalam B.
Suryanto, Isbandi, B.S. Mulayatno, B. Sukamto, E. Rianto, dan A.M. Legowo.
Pemberdayaan Masyarakat Peternakan di Bidang Agribisnis untuk Mendukung
Ketahanan Pangan. Prosiding Seminar Nasional 2006, Semarang. Universitas
Diponegoro.
Prasetyo, Heru dkk. 2013. Kajian Kualitas Fisika Kimia Daging Sapi Di Pasar Kota
Malang. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak. Vol. 8, No. 2.
Santi, W.P. 2008. Respons Penggemukan Sapi PO dan Persilangannya sebagai Hasil
IB terhadap Pemberian Jerami Padi Fermentasi dan Konsentrat di Kabupaten
Blora. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Setiyono, P.B.W.H.E., Suryahadi, T. Torahmat,dan R. Syarief. 2007. Strategi
suplementasi protein ransum sapi potong berbasis jerami dan dedak padi.
Jurnal Ilmu Pengetahuan danTeknologi Peternakan 30(3): 207−217
Soeparno. 2005. Komposisi Karkas dan Teknologi Daging. Fakultas Peternakan.
Pascasarjana UGM. Yogyakarta.
Suprapti, Lies. 2003. MembuatBaksoDaging&BaksoIkan. Yogyakarta: Kanisius
Tawaf, R. dan S. Kuswaryan. 2006. Kendala kecukupan daging 2010. hlm. 173−185.
Dalam B. Suryanto, Isbandi, B.S. Mulayatno, B. Sukamto, E. Rianto, dan A.M.
Legowo (Ed.). Pemberdayaan Masyarakat Peternakan di Bidang Agribisnis
untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Prosiding Seminar Nasional 2006,
Semarang. Universitas Diponegoro.

Anda mungkin juga menyukai