Anda di halaman 1dari 5

Love is Simple

Hidup ini indah…

Itulah kata-kata singkat yang senantiasa terdengar dari bibirnya dalam setiap kesempatan
berdampingan dengannya.

Membosankan… bahkan menyebalkan namun juga ahhh… ia hanya berbicara ketika aku
bertanya atau memintanya bercerita… selain itu ia lebih banyak diam setelah mengucapkan
kalimat saktinya “Hidup ini indah”.

Kalimat itu memang sakti… Ayahkupun sampai tak bisa berkata apa-apa ketika ia menanyakan
alasan apa yang membuatnya berani melamarku… ia menjawab bahwa “Karena Hidup ini Indah
makanya saya melamar anak Bapak”.

***

“Cahya… kalau kamu???” nama yang ia sebutkan ketika pertama berjumpa dengannya di titian
trotoar di pinggiran sungai yang membelah kota.

“Bundaku memberiku nama Rinai” demikian kujawab gaya sok kenalnya.

Kupikir tadinya ia adalah pria yang bawel karena banyak sekali bercerita tentang kehidupannya
dalam bulan pertama sejak mengenalnya.
Cahya memang senantiasa ada di titian trotoar di pinggir sungai karena pekerjaannya adalah
berjualan aneka kopi seduh. Dengan sebuah meja kecil… dua buah termos… sebuah tabung gas
kecil dan kompor satu tungku… dan juga sebuah catatan kecil dari kumpulan kertas bekas yang
ia gunakan bagian yang belum bertinta untuk mencurahkan seluruh kisah hidupnya. Catatan
perjalanan hidupnya yang baru bisa aku baca setelah kepergiannya.

Hubungan yang kujalin dengan Cahya sebelum menikah dengannya lumayan berlangsung
lama… kudengarkan seluruh kisah kehidupannya sebelum ia mengenalku… pengalaman yang
sungguh sangat luar biasa… pengalaman yang mampu membuat bibirnya selalu berkata bahwa
“Hidup ini Indah”. Pengalaman hidup yang sesungguhnya membuatku tak kuasa menahan tangis
ketika mendengarkannya bercerita.

Pejantan Tangguh… itulah alasan pertamaku menyukai diri Cahya. Profesiku sendiri sebagai
seorang Notaris tak membuat Cahya gentar untuk memulai hubungan… Ia bahkan begitu setia
dengan profesinya sebagai penjual aneka kopi seduh… bukan bermaksud meremehkannya… apa
yang kuperoleh dari kantor notaris milikku sendiri lebih dari cukup untuk biaya hidup kami
berdua… namun ia tak pernah sedikitpun membahas mengenai keuanganku… ia setia menjalani
usahanya… dan bahkan tetap memberiku nafkah dari hasilnya berjualan. Hal yang membuatku
begitu terharu.

Seminggu sebelum ia melamarku… ia mengutarakan niatnya untuk menikahiku… dan aku balik
bertanya…

“Mengapa???”

Jawabannya tetap saja sama yaitu bahwa ia melamarku karena “Hidup ini Indah”

Menyebalkan!!!

Ku tak mengerti mengapa aku tak menolak ketika ia mengutarakan niatnya di hadapanku… dan
bahkan ku pun tak mengerti apakah aku mencintainya atau tidak… yang kurasakan hanya bahwa
aku merasa sangat nyaman saat berada di dekatnya. Itu saja.

***

Malam Pertama…

Sepanjang hari sejak pagi hingga sore yang melelahkan… banyak sekali tamu yang datang… tak
pernah kukira. Ketegangan menyelimuti tubuh, pikiran dan juga hatiku. Terngiang ucapan
sahabat dekatku yang telah lebih dulu berumah tangga tadi siang ketika berjabat tangan sambil
membisikkan sesuatu ditelingaku…

“Selamat… hehehe jangan tegang ya sakitnya hanya sebentar dan setelah itu silakan atur
skenario sendiri!”

Edan… kataku… namun memang begitu menegangkan.


Ketegangan yang kurasakan sedikit terlupakan ketika kuselesai membersihkan tubuh tak
kutemukan Cahya dalam peraduan… eh rupanya ia duduk di teras lantai dua manakala kuintip
lewat jendela kamar… segera kuhampiri dirinya.

“Eh… kamu mau kopi Aya?” hehehe itulah panggilan yang telah sekian lama kuberikan pada
Cahya.

“Tentu saja… Hidup Ini Indah apalagi jika aku sebagai penjual kopi mendapatkan suguhan kopi
istimewa dari isteriku hehehe”

“Dasar kamu Aya Jueleekk!!!” sambil meledek aku melangkah menuju dapur.

***

Kubiarkan sejenak Aya menghirup kopi yang kusuguhkan… suasana semakin indah dengan
gerimis yang turun namun tak menutupi cahaya bintang-bintang.

“Hhmm Aya… boleh aku bertanya?”

Ia tak menjawab namun menoleh menatapku sambil menganggukan kepalanya.

“Apa artinya Cinta dan Apa rasanya?… eh maaf ya Aya suamiku… aku hanya bertanya hehehe
tak ada maksud lain hehehe” Sedikit ada rasa malu juga saat aku bertanya.

Ia menatapku sejenak dan kemudian lengannya menunjuk ke arah gerimis yang telah jadi agak
sedikit deras.

“Cinta adalah seperti namamu Rinai… seperti gerimis yang turun itu!”

Jawaban yang membuatku mengerutkan kening…

Ia menatapku namun kali ini sambil tersenyum… dan…

“Cinta itu adalah Kerinduan yang belum datang… dan ketika kerinduan itu datang… kau akan
merasakan Cinta… seperti Rinai itu!”

Kerinduan yang belum datang… Aahhh entahlah bingung aku.

***

Bahagia… namun memang sedikit sakit… benar kata sahabatku… tapi hehehe mantap lah… ia
begitu romantis dan hhmm perkasa ternyata hahaha.

Rasa bahagia yang kurasakan ternyata tak berlangsung lama… bahkan sebelum aku sempat
memberikan yang terbaik… Benih yang kini tumbuh nanti pasti akan bertanya bagaimana sosok
Ayahnya.
Hampir lima tahun dan kemudian hilang… Cahya pergi… Ia dipanggil olehNYA… sakit yang ia
dapatkan semasa perjalanan hidupnya yang memang tak seperti orang pada umumnya… sakit
yang ia derita karena penindasan dari orang lain… yang membuat raganya tak mampu bertahan.

Rasa bahagia yang belum bisa membawaku mengerti akan makna Cinta yang sesungguhnya…
Rasa bahagia yang berganti menjadi kesedihan… seperti berdiri di bawah hujan yang sangat
deras tanpa perlindungan apapun.

***

Aku goncang… goyah… kesedihan yang membuatku tak bisa berkonsentrasi selama hampir tiga
bulan… aku kehilangan.

Malam ini kutermenung di teras lantai dua… Gerimis turun membasahi… Jatuhnya begitu indah
manakala beradu dengan Cahaya lampu penerang jalan.

Aku merindukan Cahya… dalam tangisanku… dalam gerimis yang turun… aku mengerti… kini
aku mengerti apa artinya Cinta… Kerinduan yang datang.

Seperti Cahaya yang begitu dirindukan manakala gelap menyelimuti… manakala hujan turun tak
henti-henti. Aku merasakannya.

Esok adalah 14 Februari… hari di mana aku mengenal Cahya… Pria yang hidupnya begitu Indah
walaupun sebenarnya kepedihan menjadi bagian terlama dalam waktu kehidupannya.

Akan kubawakan bukan hanya seikat bunga… namun juga bibit dan benihnya… agar dapat
tumbuh dengan Indah dan senantiasa merindukan Rinai dan CahayaNYA.

***

Cahya… aku merasakan Cinta… dan karena ini begitu Indah seperti kalimat saktimu yang
senantiasa terucap… anak dalam kandunganku ini akan kuberinama “Indah”. Ya namanya
Indah… Indah RinaiCahya.

Kau telah memberikan makna cinta dengan caramu yang indah dan sederhana. Ya Cinta itu
Indah, Bercahaya dan juga sederhana.

Cinta itu kini hadir dalam setiap kerinduanku padamu.

~oooOOOooo~

~Just My Imagination~

Ilustrasi “Miss You” dari goodlightscraps.com

~Hsu~

Anda mungkin juga menyukai