Anda di halaman 1dari 2

CARA PEROLEHAN ILMU MENURUT AL GHAZALI

tugas mandiri
mata kuliah Filsafat Ilmu dan Metode Berfikir Ilmiah
Dosen Pengampu Prof. Dr. H. Cecep Sumarna, M.A

Nama :
Dedeh Maryati, S.Pd
NIM. 20 – MPI00273

INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) BUNGA BANGSA CIREBON


Jl. Widarasari III, Sutawinangun, Kedawung, Cirebon, Jawa Barat
2021
FILSAFAT ILMU
MATERI : CARA PEROLEHAN ILMU MENURUT AL GHAZALI

Muhammad Ibn Ahmad Al-Ghazali (1056-1111 M) mempelajari filsafat secara otodidak dengan
jalan menelaah karya-karya para filosof seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Miskawaih. Al-
Ghazali sangat kental dengan warna skeptisisme (keraguan) sehingga ia meragukan segala sesuatu
kecuali satu hal, yaitu bahwa ia sedang dalam keadaan ragu. Warna inilah yang kemudian juga
berimbas kepada konsep epistemologinya.
Al-Ghazali menjelaskan bahwa yang dimaksud pengetahuan itu harus apriori dan aksiomatik
(artinya kebenaran itu harus tidak terbantahkan, seperti : 1+1 = 2). Untuk mendapatkan pengetahuan
yang seperti ini, maka manusia harus menggunakan instrumen yang disebut dengan Al-Dzauq
(intuisi). Menurut Al-Ghazali, Al-Dzauq lebih tinggi derajatnya (tingkat keterpercayaannya sebagai
alat untuk mendapatkan pengetahuan) daripada akal. Contoh dari cara kerja Al-Dzauq itu adalah
seperti ketika Nabi mendapatkan wahyu atau seperti manusia ketika mendapatkan ilham. Artinya
apa yang diperoleh para nabi dan manusia, baik itu wahyu ataupun ilham melalui instrumen Al-
Dzauq tadi, maka itu adalah pengetahuan sejati yang tidak ada keragu-raguan lagi akan
keaksiomatikan dan ke-apriori-annya.
Al-Ghazali berpendapat bahwa Al-Dzauq adalah satu-satunya instrumen yang dapat diandalkan oleh
manusia ketika ingin mencari dan mendapatkan pengetahuan di muka bumi ini, bukannya akal dan
bukan pula indera. Sebab, keduanya (akal dan indera) masih memiliki kelemahan untuk dijadikan
instrumen dalam memperoleh pengetahuan yang aksiomatik dan apriori. Kelemahan akal misalnya,
dapat dibuktikan dengan sebuah fenomena banyaknya aliran-aliran yang bertahan dengan dalil-dalil
akal mereka masing-masing. Bahkan akal mereka itu sendiri tidak mampu untuk menyatukan satu
pengetahuan yang benar. Dalam hal ini, artinya akal tidak mampu membawa manusia kepada
kebenaran yang objektif. Begitu pula dengan indera manusia juga lemah. Hal ini dibuktikan, ketika
mata manusia melihat bintang di langit, mata menyimpulkan bahwa ukuran bintang itu lebih kecil
dari bumi. Padahal bintang itu lebih besar daripada bumi. Dari dua misal yang dimajukan oleh Al-
Ghazali ini, dapatlah dipahami bahwa baik akal maupun indera memiliki kualitas yang lebih rendah
dibandingkan Al-Dzauq dalam konteks sebagai instrumen untuk memperoleh pengetahuan.
Dalam perkembangannya, pemikiran Al-Ghazali telah mendapatkan kritikan dari berbagai ahli pikir
lainnya. Kritikan itu muncul sebab dengan meyakini Al-Dzauq sebagai instrumen untuk mencapai
pengetahuan, itu sama saja dengan mengatakan tidak semua manusia mampu untuk mendapatkan
pengetahuan. Sebab Al-Dzauq (intuisi atau ilham) hanya diberikan oleh Allah SWT kepada manusia
tertentu saja. Pemikiran Al-Ghazali ini dikhawatirkan akan menggiring kepada pemahaman
ekslusifitas dalam mencari pengetahuan.
Menurut Al – Ghazali dasar atau pondasi ilmu adalah pemikiran lebih mencintai akhirat daripada
duniawi. Orang-orang yang mencari ilmu akan berhasil jika mereka lebih mencintai kehidupan
untuk bekal di akhirat daripada kehidupan duniawi. Sedangkan puncak ilmu adalah takut kepada
Allah. Semakin banyak ilmu seseorang maka semakin takut atau semakin patuh kepada Allah.

Anda mungkin juga menyukai