Anda di halaman 1dari 23

APRESIASI CERPEN DENGAN TEORI STRUKTIRAL

ROBERT STANTON
Berbagai pandangan mengenai pendekatan karya sastra diuraikan oleh para
pakar sastra. Abrams dalam Sarjono (2005:62) menyatakan keragaman teori dapat
dipahami dan diteliti jika berpangkal pada situasi karya sastra secara menyeluruh
( the total situation of a work of art ). Diuraikan oleh Abrams ( 1979 : 3-29), terdapat
empat pendekatan dalam menganalisis atau mengkaji karya satra, yaitu pendekatan
yang menonjolkan kajiannya terhadap peran pengarang sebagai pencipta karya
sastra disebut pendekatan ekspresif; pendekatan yang lebih menitikberatkan pada
peranan pembaca sebagai penyambut atau penghayat sastra yaitu pendekatan
pragmatik; pendekatan yang lebih berorientasi pada aspek referensial dalam
kaitannya dengan dunia nyata yaitu pendekatan mimetik; sedangkan yang memberi
perhatian penuh pada karya sastra sebagai sesuatu struktur yang otonom dengan
koherensi intrinsik yaitu pendekatan objektif.
Keempat pendekatan tersebut memiliki konsep yang berbeda-beda, akan
tetapi dalam perkembangannya saling melengkapi. Artinya tidak ada satu model
pun yang paling tepat karena karya satra sebagai objek kajian hadir sangat beragam
dan memiliki tuntutan sendiri-sendiri (Suwondo, 2001:53).
Pendekatan objektif adalah pendekatan yang memfokuskan perhatian kepada
karya sastra itu sendiri. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai struktur
yang otononm dan bebas dari hubungannya dengan realitas, pengarang, maupun
pembaca (Wiyatmi, 2009). Orientasi ini cenderung menerangkan karya sastra atas
kompleksitas, koherensi keseimbangan integritas, dan saling hubungan antar unsur
yang membentuk karya sastra. Wellek & Warren (1990) menyebut pendekatan ini
sebagai pendekatan intrinsik karena kajian difokuskan pada unsur intrinsik karya
sastra yang dipandang memiliki kebulatan, koherensi, dan kebenaran sendiri.
Praktik pendekatan ini mengacu pada teori struktural. Sebuah karya sastra
menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara
koherensif oleh berbagai unsur (pembangun)-nya. Struktur karya fiksi menyaran
pada pengertian hubungan antar pembangunnya yang bersifat timbal balik, saling
menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama-sama membentuk satu
kesatuan yang utuh (Nurgiyantoro, 2000:36). Dalam rumusan yang lain, Sangidu
mengungkapkan bahwa teori struktural adalah suatu disiplin yang memandang
karya sastra sebagai suatu struktur yang terdiri atas beberapa unsur yang saling
berkaitan antara yang satu dengan lainnya (2004:16).
Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat,
seteliti, semendetail dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua
anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh
(Teeuw, 1988:135).
Salah satu teori struktural yang dikenal dalam dunia sastra adalah teori Robert
Stanton. Berikut ini teori Robert Stanton dibahas secara ringkas dan contoh
penerapannya dalam menganalisis prosa fiksi.

1. Teori Struktural Robert Stanton


Robert Stanton membagi struktur karya sastra menjadi tiga bagian, yaitu fakta
cerita, sarana kesastraan, dan tema.

a. Fakta-fakta Cerita
Karakter, alur, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini
berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum
menjadi satu, semua elemen ini dinamakan struktur faktual atau tingkatan faktual
cerita. Struktur faktual bukanlah choam
lmteirtptiosauhsedrari sebuah cerita. Struktur faktual

merupakan salah satu aspek cerita. Struktur faktual adalah cerita yang disorot dari
satu sudut pandang (Stanton, 2007:22).
1. Alur
Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah
cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara
kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi
dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan
berpengaruh pada keseluruhan karya. Peristiwa kausal tidak terbatas pada hal-hal
yang fisik saja seperti ujaran atau tindakan, tetapi juga mencakup perubahan sikap
karakter, kilasan- kilasan pandangannya, keputusan-keputusannya, dan segala yang
menjadi variabel pengubah dalam dirinya (Stanton, 2007:26).
Alur merupakan tulang punggung cerita. Sebuah cerita tidak akan pernah
seutuhnya dimengerti tanpa danya pemahaman terhadap peristiwa- peristiwa yang
mempertautkan alur, hubungan kausalitas, dan keberpengaruhannya. Sama halnya
dengan elemen-elemen lain, alur memiliki hukum-hukum sendiri; alur hendaknya
memiliki bagian awal, tengah, dan akhir yang nyata, meyakinkan dan logis, dapat
menciptakan bermacam kejutan, dan memunculkan sekaligus mengakhiri
ketegangan- ketegangan (Stanton, 2007:28).
Dua elemen dasar yang membangun alur adalah konflik dan klimaks.
Konflik utama selalu bersifat fundamental, membenturkan sifat- sifat dan
kekuatan-kekuatan tertentu. Konflik semacam inilah yang menjadi inti struktur
cerita, pusat yang pada gilirannya akan tumbuh dan berkembang seiring dengan alur
yang terus-menerus mengalir (Stanton, 2007:31).
Klimaks adalah saat ketika konflik terasa sangat intens sehingga ending tidak
dapat dihindari lagi. Klimaks merupakan titik yang mempertemukan kekuatan-
kekuatan konflik dan menentukan bagaimana oposisi tersebut dapat terselesaikan
(Stanton, 2007:32).
2. Karakter
Karakter biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, kartakter
merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita. Konteks kedua, karakter
merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan
prinsip moral dari individu-individu tersebut (Stanton, 2007:33).
Karakter utama yaitu karakter yang terkait dengan semua peristiwa yang
berlangsung dalam cerita. Biasanya, peristiwa-peristiwa ini menimbulkan
perubahan pada diri sang karakter atau pada sikap kita terhadap karakter tersebut
(Stanton, 2007:33).
Alasan seorang karakter untuk bertindak sebagaimana yang ia lakukan
dinamakan motivasi (Stanton, 2007:33).
3. Latar
Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita,
semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.
Latar dapat berwujud dekor. Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu (hari,
bulan, dan tahun), cuaca, atau satu periode sejarah. Meski tidak langsung
merangkum sang karakter utama, latar juga dapat merangkum orang-orang yang
menjadi dekor dalam cerita (Stanton, 2007: 35).
Latar memiliki daya untuk memunculkan tone dan mood emosional yang
melingkupi sang karakter. Tone emosional ini disebut dengan istilah atmosfer.
Atmosfer bisa jadi merupakan cermin yang merefleksikan suasana jiwa sang
karakter atau sebagai salah satu bagian dunia yang berada di luar diri sang karakter
(Stanton, 2007: 36).

C. Sarana-sarana Kesastraan
Sarana kesastraan (literary devices) adalah teknik yang dipergunakan oleh
pengarang untuk memilih dan menyusun detil-detil cerita (peristiwa dan kejadian)
menjadi pola yang bermakna (Burhan Nurgiyantoro, 2007:25).
1. Judul
Judul selalu relevan terhadap karya yang diampunya sehingga keduanya
membentuk satu kesatuan. Pendapat ini dapat diterima ketika judul mengacu pada
sang karakter utama atau satu latar tertentu. Akan tetapi, bila judul tersebut
mengacu pada satu detail yang tidak menonjol. Judul semacam ini acap menjadi
petunjuk makna cerita bersangkutan (Stanton, 2007:51).
2. Sudut Pandang
Pusat kesadaran tempat kita dapat memahami setiap peristiwa dalam cerita,
dinamakan sudut pandang. Dari sisi tujuan, sudut pandang terbagi menjadi empat
tipe utama, yaitu (1) orang pertama-utama, sang karakter utama bercerita dengan
kata-katanya sendiri, (2) orang pertama- sampingan, cerita dituturkan oleh satu
karakter bukan utama (sampingan), orang ketiga-terbatas, pengarang mengacu pada
semua karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga tetapi hanya
menggambarkan apa yang dapat dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu orang
karakter saja, orang ketiga-tidak terbatas, pengarang mengacu pada setiap karakter
dan memosisikannya sebagai orang ketiga (Stanton, 2007:53−54).
3. Gaya dan Tone
Dalam sastra, gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa.
Meski dua orang pengarang memakai alur, karakter, dan latar yang sama, hasil
tulisan keduanya bisa sangat berbeda. Perbedaan tersebut secara umum terletak
pada bahasa dan menyebar dalam berbagai aspek seperti kerumitan, ritme, panjang-
pendek kalimat, detail, humor, kekonkretan, dan banyaknya imaji dan metafora. Di
samping itu, gaya juga bisa terkait dengan maksud dan tujuan sebuah cerita.
Seorang pengarang mungkin tidak memilih gaya yang sesuai bagi dirinya akan
tetapi gaya tersebut justru pas dengan tema cerita (Stanton, 2007:61−62).
Satu elemen yang amat terkait dengan gaya adalah tone. Tone adalah sikap
emosional pengarang yang ditampilkan dalam cerita. Tone bisa menampak dalam
berbagai wujud, baik yang ringan, romantis, ironis, misterius, senyap, bagai mimpi,
atau penuh perasaan (Stanton, 2007:63).
4. Simbolisme
Simbol berwujud detail-detail konkret dan faktual dan memiliki kemampuan
untuk memunculkan gagasan dan emosi dalam pikiran pembaca (Stanton, 2007:64).
Dalam fiksi, simbolisme dapat memunculkan tiga efek yang masing-
masing bergantung pada bagaimana simbol bersangkutan digunakan. Pertama,
sebuah simbol yang muncul pada satu kejadian penting dalam cerita
menunjukkan makna peristiwa tersebut. Dua, satu simbol yang ditampilkan
berulang-ulang mengingatkan kita akan beberapa elemen konstan dalam semesta
cerita. Tiga, sebuah simbol yang muncul pada konteks yang berbeda-beda akan
membantu kita menemukan tema (Stanton, 2007:64−65).
5. Ironi
Secara umum, ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa
sesuatu berlawanan dengan apa yang telah diduga sebelumnya (Stanton, 2007:71).
Dalam dunia fiksi, ada dua jenis ironi yang dikenal luas yaitu ’ironi dramatis’
dan ’tone ironis. ”Ironi dramatis’ atau ironi alur dan situasi biasanya muncul melalui
kontras diametris antara penampilan dan realitas, antara maksud dan tujuan seorang
karakter dengan hasilnya, atau antara harapan dengan apa yang sebenarnya terjadi
(Stanton, 2007:71).
’Tone ironis’ atau ’ironi verbal’ digunakan untuk menyebut cara berekspresi
yang mengungkapkan makna dengan cara berkebalikan (Stanton, 2007:72).
C. Tema Cerita
Tema merupakan aspek cerita yang sejajr dengan makna dalam pengalaman
manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Sama seperti
makna pengalaman manusia, tema menyorot dan mengacu pada aspek-aspek
kehidupan sehingga nantinya akan ada nilai-nilai tertentu yang melingkupi cerita.
Tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak. Bagian
awal dan akhir cerita akan menjadi pas, sesuai, dan memuaskan berkat keberadaan
tema. Tema merupakan elemen yang relevan dengan setiap peristiwa dan detail
sebuah cerita (Stanton, 2007:36−37).
Tema hendaknya memenuhi beberapa kriteria: (1) selalu mempertimbangkan
berbagai detail menonjol dalam sebuah cerita, (2) tidak terpengaruh oleh berbagai
detail cerita yang saling berkontradiksi, (3) tidak sepenuhnya bergantung pada
bukti-bukti yang tidak secara jelas diutarakan (hanya disebut secara implisit), (4)
diujarkan secara jelas oleh cerita bersangkutan Stanton, 2007:44−45).

2. Contoh cerpen
MATA YANG ENAK DIPANDANG
(Karya Achmad Tohari)
Di bawah matahari pukul satu siang, Mirta berdiri diseberang jalan depan
stasiun. Sosok pengemis buta itu seperti patung kelaras pisang;kering,compang-
camping dan gelisah. Mirta merekam lintang-pukang lalu lintas dengan kedua
telinganya. Dengan cara itu pula Mirta mencoba menyelidik dimata
Tarsa,penuntunnya,berada. Namun MIrta segera sadar bahwa Tarsa memang
sengaja meninggalkan dirinya ditempat yang terik dan suli itu. Memanggang Mirta
di atas aspal gili-gili adalah pemerasan kali ini untuk segelas es limun. Tadi pagi
Tarsa sengaja membimbing Mirta boleh mendesis dan mengumpat sengit. Tapi
Tarsa tertawa,bahkan mengancam akan mendorong Mirta ke dalam got kecuali
Mirta mau memberi sebatang rokok. Sebelum itu,Tarsa menolak perintah Mirta
agar ia berjalan agak lambat. Perintah itu baru dipenuhi setelah Mirta
membelikannya lontong ketan.
Mirta jengkel dan tak ingin diperas terus menerus . Ia akan mencoba
bertahan maka mesti kepalanya serasa diguyur pasir pijar dari langit, Mirta tak
ingin memanggil Tarsa . Berkali kali ditelannya . Dan matahari pukul satu siang tak
sedetikpun mau berkedip. Sinarnya jatuh harus menembus batok kepala Mirta dan
membawa seribu kunang-kunang. Mirta mulai goyang. Ia bergerak untuk mencari
tempat yang teduh dengan kekuatan sendiri. Kaki yang bergetar itu mencoba turun
dari gili-gili. Namun, sebelum telapaknya menyentuh jalan, klakson-klakson
serentak membentaknya. Mirta terkejut dan surut.
Kembali menjadi patung kelaras yang gelisah, Mirta berdiri goyang di atas
gili-gili. Kunang-kunang lebih banyak lagi masuk kerongga matanya yang keropos.
Kedua kakinya bergerak lagi. Kini Mrirta bukan hendak menyeberang, melainkan
berjalan menyusur trotoar. Mirta harus meninggalkan tempat itu kalau dia tidak
ingin mati kering seperti dendeng. Namun baru beberapa kali melangkah, Mirta
melanggar sebuah sepeda yang di parker melintang. Sepeda itu tumbang dan tubuh
Mirta serta merta menindihnya. Suara berderak di sambut sorak-sorai dari seberang
jalan dan itu suara Tarsa.
Pemilik sepeda datang hanya untuk mengurus kendaraannya. Tarsa yang
sejenak tanpa asyik bermain yoyo dibawah pohon kerai payung di seberang
jalan,juga datang. Tetapi,Tarsa hanya menonton ketika Mirta bersusah payah
mencoba berdiri. Tangan Mirta menggapai-gapai sesuatu yang mungkin bias di
jadikan pegangan. Karena tangannya gagal menangkap sesuatu maka Mirta tak bias
tegak. Ia jongkok seperti mayat yang di keringkan. Kepalanya terasa menjafdi
gasing yang berputar makin lama makin cepat. Kesadarannya mulai mengawang
meski demikian, Mirta tahu Tarsa sudah berada di dekatnya.
“Panas,Kang Mirta?”
“Panas sekali, bangsat!” kata Mirta dengan suara kering dan samar.
“Sekarang kamu mau membelikan aku es limun laya,kan?”
Mirta tak menjawab. Namun Tarsa mengerti bahwa Mirta sudah tak
tahan lagi berada lebih lama di bawah matahari. Tarsa juga sudah tahu bahwa Mirta
menyerah. Maka tanpa tawar-menawar lagi Tras membawa Mirta menyebrang dan
berhenti dekat tukang minuman. Segelas es limun di minumnya dengan penuh rasa
kemenangan.
Mirta juga minum, bukan es limun melainkan air putih;segelas,segelas lagi
dan segelas lagi. Selesai membayar minuman Mirta minta di antar ketempat yang
teduh.
Dalam bayangan pohon kerai paying depan stasiun, Tarsa kembali
bergembira dengan yoyonya. Nmun Mirta duduk memeluk lutut, diam seperti
bekicot. Tiga gelas air putih yang baru di minumnya muncul kembali kepermukaan
kulit, menjadi keringat untuk mendinginkan badan yang terlalu lama tersengat
matahari. Rasa pening terus menggigit kepalanya. Dan Mirta terhuyung kesamping
karena tanh yang di dudukinya terasa miring dan terus bertambah miring. Ketika
merasa tanah makin cepat berayun, Mirta merebahkan badan, melengkung seperti
bangkai udang. Keringatnya mulai kering karena sapuan angin. Tapi wajahnya
perlahan-lahan berubah pucat. Napasnya megap-megap. Terdengar rintihan lirih
dari mulutnya, lalu segalanya tampak tenang. Mirta terbujur di bawah kerai payung
depan stasiun. Mirta tertidur atau Mirta pingsan. Dan di dekatnya Tarsa tetap
gembira dengan yoyo yang melesat turun-naik di tangan.
Tanpa sedikit pun berkedip, matahari terus beringut kebarat Bayangan kerai
paayung bergerak kearah sebaliknya dan lama-lama wajaah Mirta tertatap langsung
oleh matahari. Terik yang kembali menyengat kulit mulai membuat Mirta terjaga
atau siuman. Dan hal pertama yang di rasakan ketika Mirta mencoba duduk adalah
rasa dingin yang merambah seluruh badan, Mirta menggigil. Dan bel stasiun
berdentang nyaring. Pengumuman berkumandang kereta akan segera masuk .Tarsa
menggulung yoyonya dan berbalik kearah Mirta.
“Kerata datang. Kang ayo masuk stasiun.”
Mirta tak memberi tanggapan. Ia hanya menggoyang-goyangkan kepala
untuk mengusir pening.
“Kang kereta datang. Ayo masuk nanti ketinggalan.”
Tarsa tak sadar. Diraihnya tangan Mirta. Kere picek ini harus apalagi kalau
tidak mengemis kepada para penumpang, pikir Tarsa.
Tetapi Tarsa terkejut ketika menyentuh tangan Mirta. Panas, Tarsa juga
melihat bibir Mirta sangat pucat.
“Kamu sakit, Kang ?”
“Tidak”, jawab Mirta lirih. Tarsa ragu. Dirabanya kembali tangan Mirta
memang panas. Dan bibir itu memang pucat. Tarsa bertambah ragu.
“Bila kamu tidak sakit, ayo bangun. Kamu kere,bukan?Yang namanya kere
harus ngemis,bukan?”
“Kali ini aku malas.”
“Tapi uangmu sudah habis dan kita belum makan. Kamu juga belum kasih
aku upah!”
“Ya perolehan hari ini memang sangat sedikit.”
“Itu salahmu, Kukira kamu tolol, tak pandai mengemis.”
“Tolol? Aku sudah puluhan tahun jadi kere. Suda puluhan anak penuntunku.
Tetapi baru bersamamulah aku sering dapat duit, kamu sendiri yang tolol, “kan?
“Kamu yang punya mata. Seharusnya kamu bisa melihat orang yang bisanya
mau kasih receh punya mata lain.”
“Omong kosong.. Bagaimana aku bisa aku mengenali orang seperti itu?”
“Betul,kan? Kamu memang tolol. Perhatikan mata mereka. Orang yang
suka memberi receh punya mata lain.”
“Ah,taik kucing! Orang picek bisa melihat mata orang lain?”
“Sudah kubilang aku puluhan tahun jadi pengemis. Kata temen-temen yang
melek, mata orang mata orang yang suka memberi memang beda.”
“Tidak galak?”
“Ah betul itu dia. Dari tadi aku mau bilang begitu. Tarsa, kamu betul.”
Mata orang yang suka memberi, tidak galak. Mata orang yang suka
memberi, kata teman-teman yang melek, enak di pandang. Ya ku kira betul, mata
orang yang suka memberi memang enak di pandang. “
Tarsa nyengir. Ada suara gemuruh da bunyi rem logam yang mengurat
telinga. Kereta masuk.
“Akan ku cari peumpang-penumpang yang matanya enak di pandang. Ayo
Kang Mirta kita jalan.”
Mirta tidak sedikit pun bergerak.
“Sudah ku bilang kali ini aku malas. Apa kamu lupa kereta yang baru
datang? Kereta utama bukan? Kita tidak akan bisa masuk kerea seperti itu. Ngemis
lewat jendela pun payah. Tunggu saja nanti kereta kelas tiga.”
“Tapi kita belum makan, Kang?”
“Percuma mengemis di kereta api utama. Aku sudah berpengalaman. Jadi
trurutilah apa yang ku bilang. Tunggu saja kereta kelas ketiga.”
Tarsa diam meski hatinya jengkel bukan main. Bukan hanya jengkel kepada
Mirta melainkan juga kepada kata-katanya yang benar belaka. Tarsa ingat, memang
sulit mencari orang yang matanya enak di pandang dalam kereta kelas satu. Melalui
jendela ia sering melihat berpsang-pasang mata di balik kaca tebal itu; mata yang
dingin seperti mata bambu, mata yang menyesal karena telah tertatap sosok seorang
kere picek dan penuntunnya, mata yang bagi Tarsa membawa kesan dari dunia yang
amat jauh.
Ada bunyi keruyuk dari perut. Tarsa menelan ludah. Ia mencoba melupakan
semua dengan yoyonya. Tetapi bunyi dari perutnya makin sering terdengar. Tarsa
keluar dari banyangan kerai payung, berjalan tak menentu dan berbalik lagi. Ia ingin
mengajak Mirta, untung-untungan mengemis kepada penumpang kereta yang baru
datang. Tetapi di lihatnya Mirta sudah rebah kembali. Tubuhnya menggigil dan
terasa sangat panas. Ketika Tarsa meraih tangannya, Tarsa memandangi
penuntunnya itu dengan perasaan campur aduk. Mungkin ia menyesal telah
menjemur Mirta terlalu lama demi es limun. Mungkin juga ia jengkel ketika
menyadari dirinya tidak lebih dari kacung;sialan hidupku tergantung hanya kepada
seorang kere tua dan keropos matanya itu. Mampus kamu kang Mirta!
Ah,tidak kamu jangan mati. Kalau kamu nanti mati,Kang Mirta siapa nanti
yang kutuntun? Siapa nanti yang akan kuantar mencari orang-orang yang punya
mata enak di pandang?
Peluit Lokomotif berbunyi nyaring dan kereta kelas satu bergerak
meninggalkan stasiun. Matahari melirik tajam dari belahan langit barat. Ada
pengemis buta terbujur luglai di bawah pohon kerai payungdepan stasiun. Tarsa
sungguh menyesal telah memeras habis-habisan lelaki yang meski kere dan buta,
namu dialah satu-satunya orang yang tiap hari memberinya upah.
Bahkan Tarsa mulai takut Mirta benar-benar sakit lalu mati.
Dalam ketakutannya, Tarsa berpikir bahwa dia lebih baik tidak lagi
menyiksa Mirta. Tarsa juga berpikir bahwa dia lelaki baik, tidak lagi menyiksa
Mirta. Tarsa juga berpikir bahwa sebaiknya ia ikuti saja semua kata Mirta, hanya
mengemis di kereta kelas tiga. Dalam hati Tarsa mengaku, sebagai pengemis Mirta
sudah sangat-sangat berpengalaman.
Bel di stasiun kembali berdering. Di umumkan, kereta akan masuk. Tarsa
hafal, yang akan tiba adalah kereta kelas tiga dari Surabaya. Di tolehnya Mirta yang
masih menggeletak di tanah. Mulut Mirta setengah terbuka, bibirnya sangat pucat.
Napasnya pendek-pendek. Ketika di raba tubuh Mirta masih terasa sangat panas.
Kereta masuk dan remnya terasa menggores hati. Perut Tarsa berkeruyuk.
Tarsa ingin mengoyang tubuh Mirta, tetapi ragu, Maka Tarsa hanya berbisik di
telinga lelaki buta yang tengah tergolek itu. Lirih bisiknya.
“Kang Mirta bangun kereta api kelas tiga sudah datang. Ayo kita cari orang-
orang yang matanya enak di pandang.”
Tak ada reaksi apapun dari tubuh lunglai itu. Matahari makin miring ke
barat, namun panasnya masih menyengat. Tarsa gagap, tak tahu apa yang harus di
lakukannya. Mungkin tidak sengaja ketika dia mengulang berbisik di telinga Mirta.
“Kang kamu ingin kuantar menemui orang-orang yang matanya enak di
pandang bukan?”
Hening.

3. Contoh Analisis

http://tugasnyakuliah.blogspot.com/2015/11/analisis-struktural-robert-stanton-
pada.html

Wednesday, 25 November 2015

ANALISIS STRUKTURAL ROBERT STANTON PADA CERPEN MATA


YANG ENAK DIPANDANG KARYA AHMAD TOHARI
Kartikasari F.
Surel: ksari8015@gmail.com
Setiap karya sastra yang berhasil merupakan individu yang unik karena
sebenarnya tidak ada seorang pun yang dapat ‘menguraikan’ sebuah organisme
secara menyeluruh. Meskipun demikian, sebagaimana yang dialami oleh filsafat,
biologi, dan kedokteran, semuanya harus diawali dari prinsip-prinsip umum.
Pembaca perlu mewaspadai adanya modifikasi-modifikasi atau kontradiksi-
kontradiksi yang terjadi pada sebuah cerita meski dia mengawalinya dari suatu
generalisasi. Konsep-konsep seperti tema, simbolisme, konflik dan sebagainya
dapat membantu pembaca memahami sebuah cerita. Satu yang tidak dapat
dilakukan adalah merekayasa cerita agar cocok dengan konsep-konsep tertentu.

Singkat kata, tidak ada satu pun konsep atau prinsip kesastraan yang dapat
menggantikan peran membaca (terutama yang penuh dengan penghayatan).
Kejelian dibutuhkan untuk membaca suatu karya sastra. Jika membaca suatu karya
sastra secara cepat dan singkat, pemahaman keseluruhan yang diperoleh dari suatu
cerita akan bersifat prematur. Seorang pengarang fiksi serius yang bagus adalah
pribadi yang cerdas, peka, dan ahli dalam menjalankan profesinya yang sulit.
Karya-karyanya selalu membutuhkan dan menghendaki perlakuan-perlakuan
khusus. Pembacaan sembrono, kesimpulan prematur dan penilaian yang terburu-
buru hanya akan menjadikan nilainya berkurang.
Analisis ini akan menggunakan cerpen yang berjudul Mata yang Enak
Dipandang karya Ahmad Tohari sebagai objeknya. Dalam analisis ini akan dibahas
mengenai tiga bagian utama yakni fakta-fakta cerita, tema, dan sarana-sarana sastra
sebagai berikut.

A. Fakta-fakta Cerita
Karakter, alur dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini
berfungsi sebagai catatan kejadian yang imajinatif dari sebuah cerita. Jika
dirangkum menjadi satu, semua elemen ini dinamakan ‘struktur faktual’ atau
‘tingkatan faktual’ cerita.
1. Alur
Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah
cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara
kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi
dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan
berpengaruh pada keseluruhan karya. Peristiwa kausal tidak terbatas pada hal-hal
fisik saja seperti ujaran atau tindakan, tetapi mencakup perubahan sikap karakter,
kilasan-kilasan pandangannya, keputusan-keputusannya, dan segala yang menjadi
variabel pengubah dalam dirinya.
Dua elemen dasar yang membangun alur adalah ‘konflik’ dan ‘klimaks’. Setiap
karya sastra fiksi setidak-tidaknya memiliki konflik internal (yang tampak jelas)
yang hadir melalui hasrat dua orang karakter atau hasrat seseorang dengan
lingkungannya. Konflik-konflik spesifik ini merupakan subordinasi satu ‘konflik
utama’ yang bersifat eksternal, internal atau dua-duanya. Sedangkan klimaks adalah
saat ketika konflik sangat intens sehinggan ending tidak dapat dihindari lagi.
Klimaks merupakan titik yang mempertemukan kekuatan-kekuatan konflik dan
menentukan bagaimana oposisi tersebut dapat terselesaikan (terselesaikan bukan
ditentukan). Klimaks utama sulit dikenali karena konflik-konflik subordinat pun
memiliki klimaks-klimaks sendiri.
Alur dalam cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari adalah
alur maju karena cerita dimulai dari awal cerita, tengah dan akhir. Plot atau alur
terebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Bagian Awal
Pada bagian awal, pengarang menceritakan kegelisahan Mitra yang buta
kepanasan. Masalah yang muncul di bagian awal adalah Mitra yang tidak bisa pergi
dari tempat panas itu. Konflik yang terjadi pada bagian awal adalah konflik internal
atau konflik batin. Konflik itu terjadi pada diri Mitra. Ia merasa sangat tersiksa dan
gelisah di tempat yang sangat panas itu. Akan tetapi Mitra mencoba menabahkan
dirinya agar tetap bertahan tanpa Tarsa penuntunnya yang jahat. Mitra kemudian
mencoba berusaha pergi dari tempat itu. Namun baru saja ia hendak pergi, klakson-
klakson kendaraan banyak yang membentaknya. Mitra mengurungkan niatnya dan
kembali di tempat semula.
Mitra tidak putus asa dengan keadaannya. Namun dalam hati Mitra merasa
sangat gelisah. Ia tidak mau mati kering di tempat itu seperti dendeng. Mitra
mencoba berusaha lagi. Mitra mencoba pergi dari tempat itu melewati trotoar.
Usaha Mitra masih belum berhasil karena ia menabrak sepeda yang diparkir
melintang. Mitra ambruk bersama sepeda itu. Pemilik sepeda datang hanya untuk
membenarkan sepedanya dan tidak mempedulikan Mitra yang tak berdaya.
Sementara Tarsa tertawa dari seberang jalan.
Akhirnya Tarsa menolong Mitra dan mengajaknya pergi minum es limun. Mitra
membelikan es limun pada penuntunnya itu agar mau menuruti perintahnya. Mitra
membelikan es limun untuk Tarsa sementara ia hanya minum tiga gelas air putih.
Setelah itu, Tarsa kembali bermain dengan yoyonya sementara Mitra terkulai lemas
di bawah pohon kerai payung. Konflik yang ada saat itu adalah konflik internal
dalam diri Mitra. Mitra tidak dapat pergi kemana-mana tanpa penuntunya tapi ia
juga tidak bisa diperas terus-menerus oleh Tarsa. Terjadi konflik batin Mitra untuk
menuruti keinginan Tarsa yang memaksa atau memeras itu. Namun akhirnya Mitra
menuruti permintaan Tarsa.
b. Bagian Tengah
Konflik di bagian tengah dimulai saat kereta kelas satu datang. Tarsa mengajak
Mitra untuk mengemis di kereta itu. Mitra bangun dari tidurnya atau siuman tapi ia
tidak mau mengemis di kereta itu. Mitra sakit, badannya panas dan bibirnya sangat
pucat. Tarsa tetap memaksa Mitra untuk mengemis karena dari pagi mereka belum
makan dan butuh uang untuk makan. Mitra tetap menolak.
Klimaks dalam cerpen ini dimunculkan pada bagian tengah. Saat Mitra tetap
menolak dan Tarsa tidak mau mengalah, terjadilah klimaks di cerpen ini. Mitra dan
Tarsa berdebat tentang mengemis. Mitra berpendapat bahwa mata orang yang suka
memberi adalah mata-mata yang enak dipandang. Namun Tarsa tidak menerima
pendapat Mitra karena ia tahu Mitra buta. Tarsa berpikiran bahwa orang buta tidak
mungkin akan dapat melihat mata orang yang enak dipandang. Mitra tidak mau
mengalah karena pengalamannya menjadi pengemis sudah banyak dan penuntun-
penuntun sebelum Tarsa dapat membawanya ke orang-orang yang matanya enak
dipandang.
Menurut Mitra mata orang-orang yang enak dipandang jarang dijumpai di
kereta kelas satu. Mata orang yang dermawan atau orang yang suka memberi
banyak dijumpai di kereta kelas tiga. Tarsa akhirnya memikirkan pendapat Mitra
dan akhirnya ia tahu pendapat Mitra itu benar. Mereka berdua sepakat untuk
menunggu kereta kelas tiga dan mengemis di kereta itu.
c. Bagian Akhir
Setelah mereka berdua sepakat untuk menunggu kedatangan kereta kelas tiga,
Mitra kembali merbahkan tubuhnya. Beberapa saat kemudian kereta kelas tiga
datang dan Tarsa mencoba membangunkan Mitra. Akhir cerita dalam cerpen
tersebut tidak begitu jelas karena hanya dijelaskan Mitra tidak menjawab panggilan
Tarsa dan saat Tarsa menggoyangkan tubuh Mitra, masih tetap hening. Akhir cerita
ini digantung oleh pengarang. Pengarang ingin membuat pembaca menebak-nebak
apa yang seharusnya terjadi. Pembaca akan bertanya-tanya tentang akhir yang
sebenarnya. Apakah Mitra pingsan atau malah mati?

2. Karakter
Terma karakter biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter
menunjuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita. Konteks kedua
karakter merujuk pada pencampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi,
dan prinsip moral dari individu-individu tersebut yang tampak implisit. Berikut
akan dijelaskan karakter-karakter yang ada dalam cerpen Mata yang Enak
Dipandang karya Ahmad Tohari.
a. Mitra
Dalam cerpen tersebut Mitra memiliki karakter tidak mudah putus asa. Dia tetap
berusaha bertahan hidup dengan penuntunnya yang memerasnya padahal matanya
buta. Mitra di ancam akan diceburkan ke got apabila tidak mau membelikan rokok
penuntunnya. Kemudian Mitra juga harus membelikan lontong ketan apabila ia
ingin penuntunnya berjalan lambat. Mitra tetap berusaha walaupun saat dia
ditinggalkan penuntunnya di tempat yang panasa. Tarsa penuntun Mitra senaja
meninggalkan Mitra di tempat yang panas agar mau membelikannya es limun.
Mitra yang tidak mudah putus asa dapat terlihat dari kutipan berikut:
Mitra jengkel dan tidak ingin diperas terus-menerus. Ia akan mencoba bertahan.
Maka meski kepalanya serasa diguyur pasir pijar dari langit, Mitra tak ingin
memangil Tarsa. Berkali-kali ditelannya ludah yang pekat. Ditahannya rasa pening
yang menusuk ubun-ubun. Diusapnya wajah untuk mencoba meredam panas yang
menjerang. Mitra betul-betul tidak ingin menyerah kepada penuntunnya. Dan
matahari pukul satu siang tak sedetik pun mau berkedip. Sinarnya jatuh lurus
menembus batok kepala Mitra dan membawa seribu kunang-kunang. Mitra mulai
goyang. Ia bergerak mencari tempat yang teduh dengan kekuatannya sendiri. Kaki
yang beretar itu mencoba turun dari gili-gili. Namun, sebelum telapaknya
menyentuh jalan, klakson-klakson serentak membentaknya. Mitra terkejut dan
surut. (Mata yang Enak Dipandang, 2013: 10)
Dari kutipan di atas terlihat bahwa Mitra merupakan orang yang tidak mudah
putus asa. Mitra tidak mudah menyerah pada keadaan. Meskipun ia buta tapi tetap
berusaha dengan kekuatannya sendiri. Pada paragraf selanjutnya juga diperjelas
bahwa Mitra memiliki karakter tidak mudah menyerah. Di paragraf selanjutnya
diceritakan Mitra mencoba mencari tempat teduh dengan kekuatannya sendiri
melewati trotoar, tapi masih belum berhasil karena dia menabrak sepeda yang
diparkir melintang. Dari usaha-usaha yang banyak Mitra lakukan itu dapat
disimpulkan Mitra memiliki karakter tidak mudah putus asa.

b. Tarsa
Mitra memiliki karakter tercela yakni suka memeras. Ia sering memeras Mitra
yang hanya menjadi pengemis buta. Sebagai penuntun Mitra, Tarsa sering
memaksakan kehendak Mitra. Ia akan menjadi penuntun yang baik dan menuruti
keinginan Mitra apabila Mitra menuruti kemauannya. Sikap Mitra yang suka
memaksakan kehendak atau suka memeras dibuktikan dengan kutipan berikut:
Tadi pagi Tarsa sengaja membimbing Mitra sedemikian rupa sehingga kaki
Mitra menginjak tahi anjing. Mitra boleh mendesis dan mengumpat sengit. Tapi
Tarsa tertawa, bahkan mengancam akan mendorong Mitra ke dalam got kecuali
Mitra mau memberi sebatang rokok. Sebelum itu, Tarsa menolak perintah Mitra
untuk berjalan agak lambat. Perintah itu baru dipenuhi setelah Mitra
membelikannya lontong ketan. (Mata yang Enak Dipandang, 2013: 9-10)
Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa karakter Tarsa suka memeras. Tarsa
memeras Mitra yang hanya menjadi pengemis buta. Dengan cara memaksa atau
memeras, Tarsa memperoleh apa yang diinginkannya. Selain itu, Tarsa juga
memiliki karakter kasar. Kata-kata yang diungkapkannya sering kasar atau tidak
punya sopan santun.

3. Latar
Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita,
semesta berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar
dapat berwujud dekor/tempat. Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu
(hari, bulan, dan tahun), cuaca dan satu periode utama sejarah.
a. Latar tempat
Di bawah matahari pukul satu siang, Mitra berdiri di seberang jalan depan stasiun.
(Mata yang Enak Dipandang, 2013: 9)
Tarsa, yang sejak tadi asyik bermain yoyo di bawah pohon kerai payung di seberang
jalan, datang juga. (Mata yang Enak Dipandang, 2013:10)
Maka tanpa tawar-menawar lagi Tarsa membawa Mitra menyeberang dan berhenti
di dekat tukang es limun. (Mata yang Enak Dipandang, 2013: 11)
Dari kutipan di atas dapat dilihat berbagai macam tempat yang digunakan dalam
cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari. Latar tempat yang ada
dalam cerita tersebut antara lain seberang jalan depan stasiun, bawah pohon kerai
payung, di dekat tukang es limun.
b. Latar waktu
Di bawah matahari pukul satu siang, Mitra berdiri di seberang jalan depan stasiun.
(Mata yang Enak Dipandang, 2013: 9)
Tanpa sedikit berkedip, matahari terus beringsut ke barat. Bayangan kerai payung
bergerak ke arah sebaliknya dan lama-lama wajah Mitra tertatap oleh matahari
langsung. (Mata yang Enak Dipandang, 2013: 12)
Dari kutipan di atas dapat dilihat dengan jelas bahwa latar waktu cerita tersebut
adalah siang hari sampai dengan sore hari. Pada kutipan di atas, latar waktu siang
hari ditunjukkan dengan kata-kata “pukul satu siang”. Kemudian latar waktu sore
hari ditunjukkan oleh kata-kata “matahari terus beringsut ke barat”. Matahari
tenggelam di sebelah barat dan kata-kata tersebut secara tidak langsung hari sudah
sore.
c. Latar Sosial
Latar sosial yang ada pada cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad
Tohari adalah kehidupan orang-orang kecil atau masyarakat bawah. Cerpen
tersebut menceritakan Mitra yang keadaannya buta atau matanya keropos. Ia
bekerja sebagai pengemis di kereta. Mitra tidak dapat melakukan pekerjaannya
sendiri. Ia membutuhkan penuntun. Mitra memiliki penuntun yang bernama Tarsa.
Mitra dan Tarsa hidup serba kekurangan. Namun dalam keadaan seperti itu Tarsa
malah memeras Mitra. Mereka berdua bekerja bersama mengemis di kereta.
Dalam cerpen tersebut latar sosial yang menunjukkan kehidupan orang-orang
bawah atau masyarakat rendah diperjelas dengan berbagai penderitaan yang mereka
alami. Selain penderitaan yang mereka alami karena kekurangan dari segi ekonomi,
mereka juga sering mendapat hinaan. Banyak mata yang memandang mereka
dengan mata yang dingin seperti mata bamboo, mata yang menyesal karena sudah
tertumbuk pada sosok seorang kere picek dan penuntunnya, mata yang bagi Tarsa
membawa kesan dari dunia yang amat jauh.

B. Tema
Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman
manusia, sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Ada banyak
cerita yang menggambarkan dan menelaah kejadian atau emosi yang dialami
manusia seperti cinta, derita, rasa takut, kedewasaan, keyakinan, penghianatan
manusia terhadap dirinya sendiri, disilusi, atau bahkan usia tua. Sama seperti makna
pengalaman manusia, tema menyorot dan mengacu pada aspek-aspek kehidupan
sehingga nantinya akan ada nilai-nilai tertentu yang melingkupi cerita. Tema
membuat cerita yang lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak. Bagian
awal dan akhir cerita akan menjadi pas, sesuai dan memuaskan berkat keberadaan
tema. Tema merupakan elemen yang relevan bagi setiap peristiwa dan detail sebuah
cerita.
Tema dari cerpen yang berjudul Mata yang Enak Dipandang adalah
penderitaan. Di setiap ceritanya menggambarkan penderitaan. Cerita diawali
dengan penderitaan seorang pengemis buta yang bernama Mitra dan penuntunnya
yang suka memeras bernama Tarsa. Dalam cerpen tersebut digambarkan
penderitaan mereka berdua. Penderitaan Mitra yang tidak bisa melihat dan harus
mengemis untuk memenuhi kebutuhannya. Diceritakan penderitaan Tarsa pula
yang menjadi penuntun Mitra yang kekurangan dan belum makan dari pagi. Namun
Tarsa juga tidak mau meninggalkan Mitra karena hal yang dapat ia lakukan
hanyalah menjadi penuntun Mitra.
Penderitaan yang digambarkan tidak hanya sampai di situ. Mitra dan Tarsa pun
sempat berdepat tentang hal yang mereka alami. Keduanya tetap menderita
walaupun telah saling memahami setelah perdebatan. Penderitaan yang
digambarkan semakin nyata saat mereka berdua tidak memiliki apapun dan Mitra
tidak mau mengemis karena sakit. Kemudian penderitaan juga ditampilkan di akhir
cerita saat Mitra tidak menanggapi panggilan Tarsa yag berbisik di telinganya.
Akhir cerita yang digambarkan tidak terlalu jelas tapi dapat diraih anggapan bahwa
Mitra akhirnya pingsan atau malah mati.

C. Sarana-sarana Sastra
Sarana-sarana sastra dapat diartikan sebagai metode (pengarang) memilih dan
menyusun detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Metode smacam ini
perlu karena dengannya pembaca melalui kacamata pengarang, memahami apa
maksud fakta-fakta tersebut sehingga pengalaman pun dapat dibagi.
1. Judul
Judul dianggap relevan dengan karyanya apabila membentuk satu kesatuan
cerita. Dalam cerpen ini judul yang digunakan oleh Ahmad Tohari adalah Mata
yang Enak Dipandang. Judul ini relevan dengan karyanya karena dalam ceritanya,
membahas tentang mata yang enak dipandang. Hal tersebut dapat dilihat dari
kutipan berikut.
Kutipan 1
“Ah betul! Itu dia. Dari tadi aku mau bilang begitu. Tarsa, kamu betul. Mata
orang yang suka memberi tidak galak. Mata orang yang suka memberi, kata teman-
teman yang melek, enak dipandang. Ya, kukira betul; mata orang yang suka
memberi memang enak dipandang.”
Kutipan 2
“Akan aku cari penumpang-penumpang yang matanya enak dipandang. Ayo,
Kang Mitra, kita jalan.”
Kutipan 3
… Tarsa ingat, memang sulit mencari orang yang matanya enak dipandang
dalam kereta kelas satu….
Kutipan 4
Ah, tidak. Kamu jangan mati. Kalau kamu mati, Kang Mitra, siapa nanti yang
akan kutuntun? Siapa nanti yang akan kuantar mencari orang-orang yang punya
mata enak dipandang?
Kutipan 5
“Kang Mitra, bangun. Kereta api kelas tiga datang. Ayo kita cari orang-orang
yang matanya enak dipandang.”
Kutipan 6
“Kang, kamu ingin kuantar menemui orang-orang yang matanya enak
dipandang, bukan?”
Dari kutipan di atas, kita dapat mengetahui bahwa judul yang digunakan penulis
relevan dengan cerita yang ada dalam karyanya. Penulis dalam judulnya ingin
menyampaikan tentang mata yang enak dipandang dan dalam karyanya pun dibahas
tentang mata yang enak dipandang tu. Mata yang enak dipandang dimaksudkan
untuk menyebut mata orang-orang yang suka memberi atau dermawan. Penulis
ingin menyampaikan bahwa mata orang-orang yang dermawan enak dipandang.

2. Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan pada cerpen Mata yang Enak Dipandang karya
Ahmad Tohari adalah sudut pandang orang ketiga tidak terbatas atau sudut pandang
orang ketiga serba tahu. Pengarang mengacu pada setiap karakter dan
memosisikannya sebagai orang ketiga. Pengarang juga dapat membuat beberapa
karekter melihat, mendengar, atau berpikir saat ketika tidak ada satu karakter pun
hadir.
Sudut pandang orang ketiga tidak terbatas dapat dilihat dari kutipan berikut ini.
Dalam ketakutannya, Tarsa berpikir bahwa dia lebih baik tidak lagi menyiksa
Mitra. Tarsa juga berpikir bahwa sebaiknya ia ikuti saja semua kata Mitra , hanya
mengemis di kereta kelas tiga. Dalam hati, Tarsa mengaku, sebagai pengemis
Mitra sudah sangat berpengalaman.
Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa pengarang memposisikan karakter
sebagai orang ketiga tidak terbatas. Pengarang dapat menceritakan karakter tersebut
tanpa batas bahkan dapat menceritakan apapun yang dilihat, didengar, dipikirkan
atau pun dirasakan karakter yang bersangkutan. Jadi cerpen yang berjudul Mata
yang Enak Dipandang menggunakan sudut pandang orang ketiga tidak terbatas.

3. Gaya dan Tone


Dalam sastra, gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Meski
dua orang pengarang memakai alur, karakter, dan latar yang sama, hasil tulisan
keduanya bisa sangat berbeda. Perbedaan tersebut secara umum terletak pada
bahasa dan menyebar dalam berbagai aspek seperti kerumitan, ritme, panjang-
pendek kalimat, detail, humor, kekonkretan dan banyaknya imaji dan metafora.
Campuran dari berbagai aspek di atas (dengan kadar tertentu) akan menghasilkan
gaya.
Beberapa pengarang memiliki gaya yang unik dan efektif sehingga dapat
dengan mudah dikenali bahkan pada saat pembacaan pertama. Kita begitu peka
terhadap satu gaya mungkin karena kita dapat menikmatinya. Kita menikmati ilusi,
visi, dan pemikiran yang dihadirkan oleh gaya itu dan kita juga mengagumi
keahlian sang pengarang dalam menerapkan bahasa.
Gaya Ahmad Tohari dalam bercerita biasanya lugas, konkret, simpel, dan
langsung. Selain itu menggunakan kalimat yang pendek-pendek dan tidak rumit
sehingga mudah dipahami. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut ini:
Mitra jengkel dan tidak ingin diperas terus-menerus. Ia akan mencoba bertahan.
Maka meski kepalanya serasa diguyur pasir pijar dari langit, Mitra tak ingin
memangil Tarsa. Berkali-kali ditelannya ludah yang pekat. Ditahannya rasa pening
yang menusuk ubun-ubun. Diusapnya wajah untuk mencoba meredam panas yang
menjerang. Mitra betul-betul tidak ingin menyerah kepada penuntunnya. (Mata
yang Enak Dipandang, 2013: 10)
Selain itu Ahmad Tohari juga padai mendeskripsikan latar dengan kata-kata
yang indah. Ahmad Tohari dengan pandai melukiskan latar sehingga menarik
perhatian pembaca. Pembaca akan dibuat seolah-olah masuk dalam cerita dan
menyaksikan kejadian yang ada. Kepandaian Ahmad Tohari dalam
mendeskripsikan latar dapat dilihat dalam kutipan berikut:
Kembali menjadi patung kelaras yang gelisah, Mitra berdiri goyang di atas gili-
gili. Kunang-kunang lebih banyak lagi masuk ke rongga matanya yang keropos.
Kedua kakinya bergerak lagi. Kini Mitra bukan hendak menyeberang, melainkan
berjalan menyusuri trotoar. Mitra harus meninggalkan tempat itu kalau ia tidak
ingin mati kering seperti dendeng. Namun baru beberapa kali melangkah, Mitra
melanggar sepeda yang diparkir melintang. Sepeda tumbang dan tubuh Mitra serta
merta menindihnya. Bunyi berderak disambut sorak sorai dari seberang jalan. Dan
itu suara Tarsa. (Mata yang Enak Dipandang, 2013: 10)
Tone adalah sikap emosional pengarang yang ditampilkan dalam cerita. Sikap
emosional yang ditunjukkan Ahmad Tohari dalam cerpen Mata yang Enak
Dipandang adalah tone misterius. Hal itu terlihat jelas pada akhir cerita. Akhir
cerita tidak dilukiskan secara jelas tapi dibuat menggantung atau misterius.
Pengarang sepertinya ingin membuat pembaca menebak-nebak apa yang terjadi
pada Mitra. Apakah Mitra mati atau hanya pingsan? Pertanyaan itu akan selalu
hadir ketika pembaca selesai membaca cerita ini. Pertanyaan itu sangat misterius
karena hanya Ahmad Tohari sendiri yang tahu jawabannya. Jadi sikap emosional
atau tone yang ditampilkan pada cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad
Tohari adalah misterius.

4. Simbolisme
Simbol yang dimunculkan dalam cerpen Mata yang Enak Dipandang karya
Ahmad Tohari melalui penamaan karakter yang ada. Karakter yang bernama Mitra
menyimbolkan judul dan keseluruhan isi cerita. Mitra dapat diartikan sebagai
teman, sahabat dan rekan kerja. Karakter Mitra dalam cerpen tersebut adalah
seorang yang buta dan tidak dapat melihat apapun. Ia bekerja sebagai pengemis di
kereta. Sebagai seorang yang buta, dia selalu membutuhkan teman. Mitra memiliki
Tarsa sebagai teman kerjanya atau penuntunnya. Tidak hanya Tarsa saja yang
dibutuhkan Mitra, tapi juga mata-mata orang yang enak dipandang atau mata yang
dermawan yang mau berteman dengan orang buta. Berteman dalam arti
memberikan uang untuk pengemis buta itu.
Nama Mitra dapat dikaitkan dengan judul dan keseluruhan isi cerita. Dalam
cerpen yang berjudul Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari
menceritakan seorang pengemis buta yang selalu membutuhkan teman hidup.
Bahkan saat ia kepanasan pun ia tidak dapat mengatasi masalah itu. Pengemis buta
itu selalu membutuhkan teman atau mitra, baik itu penuntunnya maupun mata
orang-orang yang enak dipandang yang memberinya uang untuk membantu
kehidupannya.

5. Ironi
Secara umum, ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa
sesuatu berlawanan dengan apa yang telah diduga sebelumnya. Dalam dunia fiksi
ada dua jenis ironi yaitu ironi dramatis dan tone ironis. Ironi dramatis atau ironi alur
dan situasi biasanya muncul melalui kontras diametris antara penampilan dan
realitas, antara maksud dan tujuan seseorang karakter dengan hasilnya, atau antara
harapan dengan apa yang sebenarya terjadi. Sedangkan tone ironis atau ironi verbal
digunakan untuk menyebut cara berekpresi yang mengungkapkan makna dari cara
sebaliknya.
Dalam cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari ditemukan
ironi dramatis. Suatu yang berlawanan dengan apa yang diduga sebelumnya muncul
pada harapan dengan apa yang terjadi sebenarnya. Satelah pembaca sampai pada
perdebatan Mitra dan Tarsa kemudian Tarsa sepakat untuk hanya mengemis di
kereta kelas tiga, harapan yang muncul adalah selanjutnya mereka berdua
mengemis di kereta kelas tiga setelah kereta itu datang. Namun harapan itu tidak
terjadi, yang terjadi adalah Mitra yang tidak terbangun saat kereta kelas tiga datang.
Mitra tidak mendengar panggiln Tarsa yang mengajaknya mengemis. Hal yang
diduga sebelumnya tidak sama dengan apa yang terjadi.

***

Anda mungkin juga menyukai