Anda di halaman 1dari 68

PENGARUH PSIKOEDUKASI KELUARGA TERHADAP

TINGKAT STRES KELUARGA DALAM MERAWAT


PASIEN SKIZOFRENIA DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS BONTOSUNGGU KECAMATAN
BONTOHARU KABUPATEN KEPULAUAN
SELAYAR

SKRIPSI

Oleh :

JUSRIANI

NIM : A.19.11.057

PROGRAM STUDI SI KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
PANRITA HUSADA BULUKUMBA
2023
ABSTRAK

Pengaruh Psikoedukasi Keluarga Terhadap Tingkat Stres Keluarga Dalam


Merawat Pasien Skizofrenia di Wilayah Kerja Puskesmas Bontosunggu
Kecamatan Bontoharu Kabupaten Kepulauan Selayar. Jusriani, Haryanti
Haris1, Hj. Fatmawati2.

Latar belakang: Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis di


Kecamantan Bontoharu terkait tingkat stres keluarga selama merawat keluarganya
yang menderita skizofrenia di peroleh hasil bahwa responden mengatakan pemicu
tingkat stres yang dialami oleh keluarga dikarenakan kurangnya waktu istirahat
setelah bekerja. Pemberian psikoedukasi ini digunakan untuk memberikan
informasi pada keluarga sehingga diharapkan keluarga akan mempunyai koping
yang positif terhadap tingkat stres yang dialaminya dan pemberian psikoedukasi
keluarga ini jarang di terapkan pada keluarga yang memiliki penderita skizofrenia.
Tujuan Penelitian:Diketahuinya pengaruh psikoedukasi keluarga terhadap tingkat
stres keluarga dalam merawat pasien skizofrenia di wilayah kerja Puskesmas
Bontosunggu Kecamatan Bontoharu Kabupaten Kepulauan Selayar.
Metode Penelitian:Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
desain penelitian kuantitatif dengan metode pre-eksperimental ( one group pre-
post test desigm). Teknik sampling yang digunakan yaitu non probability
sampling dengan besar sampel 28 orang. Penelitian ini telah dilaksanakan pada
bulan Juni 2022 di wilayah kerja Puskesmas Bontosunggu.
Hasil Penelitian:Berdasarkan hasil uji paired t-tes menunjukkan nilai p valuet =
0,00 < 0,05 yaitu ada pengaruh psikoedukasi keluarga terhadap tingkat stres
keluarga dalam merawat pasien skizofrenia di wilayah kerja Puskesmas
Bontosunggu.
Kesimpulan dan Saran:Bagi keluarga penderita skizofrenia Keluarga penyuluhan
sebagai media penamban informasi dan Bagi pihak puskesmas Bontosunggu
Memberikan lebih banyak edukasi serta Mengadakan pelatihan untuk membantu
dalam upaya pemberian psikoedukasi terhadap keluarga penderita skizofrenia.
Kata kunci: Tingkat stres keluarga, Pemberian psikoedukasi
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut WHO (2019) Skizofrenia adalah penyakit mental serius yang

ditandai oleh adanya gangguan berfikirpikir, perilaku aneh, ucapan terputus,

dan halusinasi, seperti mendengarkan suara. Skizofrenia dapat di obati dengan

menggunakan perawatan obat-obatan dan dukungan psikososial efektif.

Fasilitas hidup dibantu, misalnya perumahan yang mendukung dan pekerjaan

yang didukung adalah strategi manajemen yang efektif untuk orang dengan

skizofrenia (Tantan Hadiansyah, 2020)

Saat ini, permasalahan kesehatan jiwa telah menjadi issue global, data

dari WHO (2019) menyebutkan bahwa prevalensi pasien skizofrenia 20 juta

orang di dunia. Menurut WHO (2022) Menyebutkan bahwa prevalensi

gangguan jiwa diseluruh dunia hampir mencapai 1 milyar orang. Angka ini

dikatakan sebagai penyumbang 10% dari beban penyakit global. Hampir 1

dari 300 orang (0.32%) diseluruh dunia mengalami gangguan jiwa, termaksud

24 juta orang yang mengalami skizofrenia (Yunita Anggraini, 2022).

Berdasarkan Riset Departemen Kesehatan 2019, menunjukkan bahwa

prevalensi skizofrenia di Indonesia adalah 6,7%, dengan wilayah persebaran

didaerah perkotaan sebanyak 6,4% dan pedesaan 7,0%. Sedangkan cakupan

pengobatan pada skizofrenia yaitu mencapai 85,0% (Yunita Anggraini, 2022).

1
Berdasarkan hasil data yang di peroleh dari RSKD Provinsi Sulawasi

Selatan menunjukkan bahwa jumlah pasien skizofrenia di RSKD provinsi

Sulawesi Selatan pada tahun 2018 mengalami penurunan 7,4% dengan

banyaknya pasien 13.292, sedangkan pada bulan januari sampai agustus 2019

sebanyak 1.343 pasien dengan rata-rata perbulan sebanyak 168 pasien (Syarif

et al., 2020).

Kabupaten Kepulauan Selayar merupakan salah satu wilayah yang ada

di Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki kepadatan penduduk sebanyak

137.974 jiwa pertahun 2021. Berdasarkan data yang di terima dari Dinas

Kesehatan Kabupaten Kepulauan Selayar untuk wilayah Puskesmas

Bontosunggu pada tahun 2019, masyarakat yang menderita gangguan jiwa

(Skizofrenia) sebanyak 2 orang, pada tahun 2020 sebanyak 5 0rang dan pada

tahun 2021-2022 sebanyak 30 orang. Terjadinya peningkatan setiap tahunnya

disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya ketersediaan fasilitas

pelayanan kesehatan dan tenaga perawat dan psikolog yang masih kurang.

Keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa berat

seperti skizofrenia akan mengalami peningkatan stressor berupa peningkatan

beban (Pardede et al., 2020). Beban tersebut meliputi beban ekonomi dalam

biaya pengobatan, beban psikologis terkait perilaku pasien, beban sosial

terutama dalam menghadapi penolakan, pegucilan, dan stigma, serta

diskriminasi dari masyarakat (Arum, 2020).

2
Pada umumnya pasien skizofrenia mengalami penurunan yang nyata

terhadap fungsi aktivitas sehari-hari. Hal ini menyebabkan pasien harus

ditangani dan dirawat dengan baik oleh pendamping atau pengasuh.

Pendamping keluarga merupakan orang terpenting yang dapat mendukung

kesembuhan pasien, namun selama pengobatan, keluarga dapat terkena

dampak negatif.

Stres Adalah perasaan yang paling umum dialami oleh keluarga yang

memiliki anggota keluarga dengan penderita skizofrenia (Made et al., 2019).

Stres yang dialami keluarga dengan gangguan jiwa skizofrenia jika tidak

tertangani dengan baik akan berdampak pada masalah psikososial keluarga di

masyarakat. Selain itu, dampak lain yang dapat di alami oleh keluarga itu

sendiri adalah dampak sosial dan dampak ekomoni (Novianti Nurrohmah

Zainuddin, 2021)

Psikoedukasi keluarga merupakan terapi yang digunakan untuk

menginformasikan keluarga tentang peningkatan keterampilan dalam

merawat anggota keluarga, sehingga diharapkan keluarga dapat melakukan

manajemen stres secara akif. Dengan psikoedukasi yang diberikan kepada

keluarga diharapkan dapat mengurangi stres yang dialami keluarga dalam

merawat skizofrenia (Solehah, 2021).

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis di

Kecamantan Bontoharu kepada 3 responden terkait tingkat stres keluarga

selama merawat keluarganya yang menderita skizofrenia di peroleh hasil

3
bahwa responden 1 mengatakan pemicu tingkat stres yang dialami oleh

keluarga dikarenakan kurangnya waktu istirahat setelah bekerja. Responden 2

mengatakan pemicu utama stres yang dirasakan keluarga yaitu kesulitan

dalam pemberian obat dimana penderita tidak mau minum obat karena

baranggapan jika dia sudah sembuh, hal itu yang memicu emosi dan amarah

keluarga tetapi tidak dapat dilampiaskan. Responden 3 mengatakan pemicu

utama stres yang dirasakan karena stigma masyarakat tentang keadaan

istrinya dan sulitnya beban finansial.

Hasil Penelitian (Made et al., 2019) menyatakan dalam penelitiannya

bahwa pemberian terapi psikoedukasi keluarga bermanfaat bagi keluarga

dimana hal ini dapat mengurangi tingkat stres keluarga dalam merawat pasien

skizofrenia dan dapat meningkatkan kemampuan kognitif.

Berdasarkan penjelasan pada latar belakang diatas maka peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Psikoedukasi Keluarga

Terhadap Tingkat Stres Keluarga Dalam Merawat Pasien Skizofrenia.

Pemberian psikoedukasi ini digunakan untuk memberikan informasi pada

keluarga sehingga diharapkan keluarga akan mempunyai koping yang positif

terhadap tingkat stres yang dialaminya dan pemberian psikoedukasi keluarga

ini jarang di terapkan pada keluarga yang memiliki penderita skizofrenia.

B. Rumusan Masalah

Tingkat stres yang dialami keluarga dari berbagai faktor mencakup stigma

masyarakat dan keadaan anggota keluarga pengidap Skizofrenia. Dalam

4
lingkup wilayah terdekat atau lingkungan sekitar, kerap kali pengidap

skizofrenia ini menjadi bahan perbincangan oleh masyarakat sekitar. Dalam

hal ini, penerapan metode Psikoedukasi kepada keluarga yang mengalami

stres menjadi salah satu solusi dengan harapan dapat mengurangi tingkat stres

yang dialami, Adapun rumuan masalahnya sebagai berikut:

Bagaimana pengaruh psikoedukasi keluarga terhadap tingkat stres

keluarga dalam merawat pasien skizofrenia di Wilayah Kerja Puskesmas

Bontosunggu Kecamatan Bontoharu Kabupaten Kepulauan Selayar Tahun

2023?.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah diketahuinya pengaruh

psikoedukasi keluarga terhadap tingkat stres keluarga dalam merawat

pasien skizofrenia di Wilayah kerja Puskesmas Bontosunggu Kecamatan

Bontoharu Kabupaten Kepualaun Selayar Tahun 2023.

2. Tujuan Khusus

a. Diidentifitikasi tingkat stres keluarga dalam merawat pasien

skizofrenia.

b. Diidentifikasi pengaruh terapi psikoedukasi sebelum diberikan

intervensi.

5
c. Dianalisis pengaruh terapi psikoedukasi keluarga setelah diberikan

intervensi.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Diharapkan dengan adanya penelitian ini menjadi masukan bagi

puskesmas Bontosunggu dalam proses penanggulangan skrizofrenia

dan Tingkat stres bagi keluarga

b. Diharapkan dengan adanya penelitian ini menjadi masukan bagi

masyarakat terkait dengan pengaruh psikoedukasi keluarga terhadap

tingkat stres keluarga dalam merawat pasien skizofrenia

c. Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat menjadi bahan

bacaan dan referensi bagi mahasiswa yang ingin melakukan

penelitian yang sama.

2. Manfaat Praktis

a. Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat menjadi salah satu

sumber ilmu pengetahuan terkait dengan pengaruh Psikoedukasi

keluarga terhadap tingkat stres keluarga dalam merawat pasien

skizofrenia.

b. Diharapkan dengan adanya penelitian ini menambah ilmu

pengetahuan dalam bidang pemberian psikoedukasi keluarga pada

keluarga yang mengalami tingkat stres.

6
3. Untuk Tenaga Puskesma Bontosunggu

Dapat membantu petugas kesehatan untuk mengetahui

Psikoedukasi keluarga terhadap tingkat stres keluarga dalam merawat

pasien skizofrenia, sehingga petugas kesehatan dapat memberikan

edukasi kepada keluarga penderita skizofrenia.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Stres

1. Definisi Stres

Stres adalah tantangan/respon tubuh terhadap berbagai tuntutan atau

beban yang tidak spesifik. Namun selain itu, stress juga dapat menjadi

agen, sebab dan akibat dari gangguan atau penyakit. (Rizka Yunita,

S.Kep., Ns., M.Kep, Lin Aini Isnawati, S.Kep., Ns., M.Kes, Widya

Addiarto S.Kep., Ns., 2020) Buku Ajar Psikoteri Self Help Group Pada

Keluarga Pasien Skizofrenia).

Stres keluarga terjadi karena adanya stresor, dimana semakin tinggi

stresor maka stres keluarga akan semakin berat. Stres yang dialami oleh

keluarga meliputi stresor utama yang berasal dari kebutuhan pasien

sedangkan stresor sekunder melibatkan ketengangan peran, yang

berhubungan dengan peren keluarga secara langsung dan peran yang

melibatkan kegiatan di luar situasi perawatan . (Nasriati, 2020).

Jenis kelamin merupakan faktor yang mempengaruhi stres, dimana

jenis kelamin perempuan lebih banyak mengalami stres dibandingkan

laki-laki. Perempuan memiliki tanggung jawab yang lebih besar seperti

8
sebagai seorang ibu, istri, saudara perempuan, dan teman perempuan

dikarenakan perempuan lebih banyak waktu untuk memberikan

perawatan bila dibandingkan dengan keluarga pria. wanita lebih rentang

mengalami stres psikologis seperti kecemasan, ketakutan, kesedihan,

gangguan tidur, kehilangan nafsu makan, kehilangan libido dan depresi

(Nasriati, 2020).

2. Jenis-Jenis Stres Berdasarkan Model Stres.

Stres memiliki beberapa jenis model menurut Yosep dan Sutini

(2014), dikutip dalam buku (Rizka Yunita, S.Kep., Ns., M.Kep, Lin Aini

Isnawati, S.Kep., Ns., M.Kes, Widya Addiarto S.Kep., Ns., 2020) .

a. Model Stres Berdasarkan Stimulus

Pendekatan permodelan stimulus menganggap stres sebagai fitur

dari stimulus lingkungan yang dianggap mengkhawatirkan,

mengancam dan berbahaya menyebabkan stres. Kelemahan dari

model stimulus ini adalah tidak dapat melihat secara realistis

bagaimana mempresentasikan stimulus lingkungan terhadap

tanggapan atau perbedaan pendapat dalam suatu lingkungan.

b. Model Stres Berdasarkan Respon

Model ini mendefinisikan stres sebagai respons individu terhadap

stresor yang di terima. Selye menjelaskan stres sebagai respon

nonspesifik yang timbul dari tuntutan lingkungan. Reaksi umum ini

dikenal sebagai sindrom adaptasi umum dan dibagi dalam tiga fase

9
yaitu : terhadap respon atau fase sinyal, fase berlawanan, dan fase

keletihan. Selama fase, ini terjadi peningkatan hormon kortikal,

emosi. Stres Perlawananterjadi ketika respons adaptif tidak

mengurangi persepsi ancaman, yang ditandai dengan tingginya

kadarhormon kortikal. Fese kelelahan, yaitu kemampaun menahan

stres yang berkepanjangan, fungsi otak bergantung pada perubahan

metabolisme, sistem kekebalan tubuh menjadi kurang efisien, dan

penyakit serius mulai muncul saat kondisi menurun.

c. Model Stres Berdasarkan Transaksional

Pendekatan ini mengacu pada interaksi yang timbul antara manusia

dan lingkungan. Antata variabel lingkungan dan individu terhadap

proses penilaian kognitif (cognitive appraisal) yang menajdi

mediatornya.

Tiga langkah dalam mengukur stres:

1) Pengukuran primer yaitu menggali potensi individu terhadap

masalah saat ia menilai tantangan atau tuntutan yang

menimpanya.

2) Pengukuran sekunder yaitu mengakaji kemampuan seseorang

atau sumber-sumber tersebut diarahkan untuk mengatasi

masalah.

3) Pengukuran tersier yaitu berfokus pada perkiraan efektifitas

perilaku respons dalam memitigasi dan mengelola ancaman.

10
3. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Stres

Menurut wahjono, senot imam (2010), dikutip dalam (Pradana, 2022)

Menyatakan bahwa beberapa faktor yang menyebakan stres antara lain :

a. Faktor lingkungan

Ketidakpastian lingkungan mempengaruhi rancangan struktur

oraganisasi. Bentuk-bentuk ketidakpastian lingkungan ini antara lain

ketidakpastian ekonomi, ketidak pastian politik, ketidakpastian

keamanan.

b. Faktor organisasi

Faktor organisasi yang menjadi potensi sumber stres antara lain :

1) Tuntutan tugas dalam hal pekerjaan individu, kondisi kerja, dan

tata letak kerja fisik

2) Persyaratan peran melibatkan tekanan yang ditempatkan pada

seseorang berdasarkan peran tertentu.

3) Kebutuhan interpersonal, yaitu tekanan yang diciptakan oleh

anggota keluarga lain seperti kurangnya dukungan sosial dan

hubungan interpersonal yang buruk dari anggota keluarga

lainnya.

c. Faktor individu

Faktor pribadi mengacu pada faktor-faktor dalam kehidupan

pribadi individu. Faktor-faktor ini termasuk masalah keluarga,

masalah ekonomi pribadi, dan sifat kepribadiaan bawaan. Menurut

11
Robbins (2016), dikutip dalam (Pradana, 2022) setiap individu

memiliki tingkat stres yang berbeda meskipun diasumsikan berada

dalam faktor-faktor pendorong stres yang ada.

4. Aspek-Aspek Stres

Adapun aspek-aspek stres yang dikemukakan oleh Sarafino dan Smith

(2011), dikutip dalam buku (Rizka Yunita, S.Kep., Ns., M.Kep, Lin Aini

Isnawati, S.Kep., Ns., M.Kes, Widya Addiarto S.Kep., Ns., 2020).

a. Aspek Biologis

Setiap orang yang menghadapi suatu kondisi tertentu yang

mengancam dan berbahaya bagi dirinya dapat memunculkan rekasi

fisiologis pada tubuh terhadap stres, misalnya detak jantung.

b. Aspek Psikososial

Stresor dapat menghasilakn perubahan-perubahan psikologis serta

sosial dari individu, perubahan-perubahn tersebut antara lain:

1) Kognitif

Stres mengganggu fungsi kognitif dengan mengubah perhatian

individu. Kognitif melibatkan memori, kesulitan berkonsentrasi,

pelupa, dan ketidakmampuan untuk memecahkan masalah.

2) Emosi

Emosi cenderung menyertai stres, dan orang sering

menggunakan keadaan emosi mereka untuk mengukur tingkat

stres yang di rasakan.

12
3) Perilaku sosial

Stres akan merubah perilaku seseorang terhadap oang lain.

seseorang yang merasa berada dalam situasi stres akan menjadi

kurang ramah dan tidak peka terhadap kebutuhan orang lain.

5. Tanda Dan Gejala Stres

Menurut Davinson et al (2006), dikutip dalam buku (Rizka Yunita,

S.Kep., Ns., M.Kep, Lin Aini Isnawati, S.Kep., Ns., M.Kes, Widya

Addiarto S.Kep., Ns., 2020), Buku Ajar Psikotepi Self Help Group Pada

Keluarga Pasien Skizofrenia mengelompokan tanda-tanda atau gejala-

gejala stres sebagai berikut:

a. Perasaan

Diantaranya rasa cemas, gelisah, selalu stres, merasa takut, merasa

mudah tersinggung, dll.

b. Pikiran

Diantaranya harga diri rendah, takut gagal, ketidakmampu

berkonsentrasi, ketidak stabilan emosi.

c. Perilaku

Diantaranya kegagapan atau ucapan gugup dan kesulitan bicaran

lainnya, kesulitan bekerja sama, ketidakmampuan untuk bersantai,

menangis tanpa alasan yang jelas, dll.

d. Tubuh

13
Meliputi berkeringat, serangan jantung meningkat, gelisah, mulut

dan kerongkongan kering, mudah letih , sering buang air kecil,

mempunyai persoalan dengan tidur dan lain-lain.

6. Jenis-Jenis Stres

Menurut Donsu (2017), dikutip dalam (Pradana, 2022) secara umum

stres dibagi menjadi dua yaitu:

a. Stres akut

Stres yang dikenal juga dengan fight or fliht respons. Stres akut

adalah respons stres akut yang segera di instensif di beberapa

keadaan dapat menimbulkan gemetaran.

b. Stres kronis

Stres Kronis adalah stres yang lebih sulit dipisahkan atau diatasi dan

efeknya lebih panjang.

Menurut Priyoto (2014), dikutip dalam (Pradana, 2022) menurut

gejalanya stres dibagi menjadi tiga stres yaitu:

1) Stres ringan

stress ringan yang dihadapi setiap orang secara teratur, situasi

stres ringan belangsung beberapa menit atau jam saja. ciri-ciri

stres ringan yaitu semangat meningkat, penglihatan tajam,

energy meningkat namun candangan energynya menurun. Stres

ringan sangat membantu dikarenakan dapat membuat seseorang

14
merenung dan berusaha lebih tangguh dalam menghadapi

tantangan hidup

2) Stres sedang

Stres sedang berlangsung lebih lama dari pada stres ringan. ciri-

ciri stres sedang adalah sakit perut, mulas,merasa stres, sulit

tidur, merasa pusing.

3) Stres Berat

Stres berat merupakan kondisi yang dirasakan seseorang dalam

jangka waktu yang lama, yang dapat berlangsung berminggu-

minggun hingga berbulan-bulan. Ciri-ciri stres berat adalah

kesulitan melakukan raktifitas, mengganggu hubungan sosial,

sulit tidur, konsentrasi menurun, kebingungan dan kecemasan,

peningkatan kelelahan, ketidakmampuan melakukan tugas,

pekerjaan sederhana.

7. Dampak Stres

Menurut Priyoto (2014), dikutip dalam (Pradana, 2022) dampak stres

dibedakan menjadi 3 kategori yaitu :

a. Dampak Fisiologik

1) Gangguan pada organ tubuh hiperaktif dalam salah satu sistem

tertentu. seperti otot tertentu mengencang atau melemah, tekanan

darah naik, sistem pencernaan terganggu.

15
2) Gangguan pada sistem reproduksi, seperti terlambat haid,

ketidakmampuan berovulasi pada wanita, hilangnya libido.

b. Dampak Psikologik

1) Kelebihan emosi jenuh

2) kewalahan/keletihan emosi

3) pencapaian pribadi menurun

c. Dampak Perilaku

1) Stres menadi menyusahkan dan seringkali ada perilaku yang

tidak dapat diterima secara sosial.

2) Tingkat stress yang cukup tinggi secara negatif mempengaruhi

kemampuan untuk membuat keputusan dan tindakan yang tepat.

8. Alat ukur tingkat stres

Alat ukur yang digunakan dalam pengukuran tingkat stres dalam

penelitian ini yaitu kuesioner DASS-42 yang didalamnya terdapat 42

askep penelitian dengan 3 skala yang diukur yaitu skala depresi,

kecemasan, dan stress. Dalam penelitian yang mengukur tingkat stress,

aspek pertanyaan yang digunakan dari kuesioner DASS-42 yaitu nomor

1,6,8,11,12,18,22,7,29,32,33,35, dan 39. Self assesment yang dilakukan

dengan cara mengisikan nilai 0 : jarang terjadi, 2: Kadang-kadang terjadi,

atau 3: sering terjadi pada setiap item. Skor akhir pada kuesioner DASS-

43 dihitung berdasarkan total skor untuk setiap gangguan adalah sebesar

3x14 = 42 (Pradana, 2022)

16
Tabel 2.1 Kuesioner DASS

Tingkat Tingkat Stress

Normal 0-14

Ringan 15-18

Sedang 19-25

Parah 26-33

Sangat Parah >34

Dukungan keluarga adalah segala bantuan yang diberikan oleh

anggota keluarga untuk memberikan kenyamanan fisik dan psikis kepada

orang yang merasa tertekan atau stres. Stres yang dirasakan oleh keluarga

dapat diatasi dengan pembarian terapi psikoedukasi keluarga.

B. Konsep Psikoedukasi

1. Definisi Psikoedukasi keluarga

Psikoedukasi keluarga merupakan salah satu kompenen program

perawatan kesehatan mental keluarga dengan memberikan informasi

pendidikan melalui komunikasi terapeutik. Program psikoedukasi

merupakan pendekatan yang bersifat edukasi dan progmatic (Kurniawan

et al., 2020)

17
2. Model Psikoedukasi

Terdapat tiga macam psikoedukasi antara lain menurut (Fitri Firranda

Nurmalisyah, 2018)

a. Model skills deficit atau life skills

Model skills (keterampian) defisit atau model tidak terampil adalah

pola pikir yang menganggap bahwa seseorang akan menunjukkan

atau menunjukan kemampuan yang buruk, dalam keterampilan sosial

karena mereka tidak memiliki respons tertentu dalam khazanah

responnya, atau sebenarnya memiliki namun gagal menggunakan

atau menerapkannya semestinya.

Life Skills dapat diartikan sebagai kecakapan yang dibutuhkan

seseorang untuk hidup dengan pertumbuhan pribadi secara optimis,

yaitu menjadi yang terbaik dengan menggunakanseluruh potensi dan

pegetahuan dirinya, sehingga membantunya untuk hidup dengan

baik di masyarakat.

b. Model tugas perkembangan

Tugas perkembangan adalah tugas-tugas yang terjadi selama atau

sekitar tahap tertentu dari kehidupan seseorang, yang jika dilakukan

dengan sukses akan mengarah pada keberhasilan dan keberhasilan

dalam menyelesaikan tugas-tugas berikutnya, tetapi jika gagal akan

menyebabkan ketidakbahagiaan bagi orang yang bersangkutan,

penolakan oleh masyarakat dan kesulitan dalam menjalani tugas misi

18
berikutnya. dicapai secara berhasil akan membawa pada kebahagiaan

dan keberhasilan mencapai tugas-tugas berikutnya, namun jika gagal

akan membawa ketidakbahagiaan bagi yang bersangkutan,

penolakan oleh masyarakat dan kesulitan dalam menjalankan tugas

misi berikutnya

c. Model ragam bantuan

Ragam bantuan merupakan istilah untuk membedakan jenis-

jenis psikoedukasi berdasarkan bidang kehidupan tetentu atau aspek

perkembangan tertentu yang dijadikan fokus atau meateri

psikoedukasi. Terdapat enam jenis psikoedukasi anatara lain:

1) Infomation model

Model psikoedukasi ini menggunakan pemberian pengetahuan

kepada keluarga tentang penyakit dan perawatan. Tujuan dari

model ini adalah untuk membuat keluarga sadar akan penyakit

dan dan kontribusinya terhadap perawatan pasien.

2) The skills training model

Model psikoedukasi ini menunjukkan pengembangan secara

sistematis terhadap perilaku yang spesifik sehingga invididu

dapat menambah kemampuan dalam mengatasi masalah

kesehatan secara lebih efektif.

3) The supportive Model

19
Model psikoedukasi ini merupakan suatu model yang

memberikan dukungan kepada klien dan keluarga untuk berbagi

perasaan dan pengalamannya. Tujuan utama dari model ini

adalah meningkatkan kapasitas emosinal klien dan keluarga

untuk menunjukkan keterampilan koping yang positif.

4) Comprehensive model

Model ini dapat dikatakan sebagai kombinasi dari

information,skills training dan supportive model. inti dari model

ini adalah memberikan informasi atau ceramah terkait penyakit.

5) The multiple group therapy model

Model ini menekankan pada pemberian bantuan pada klien

dan keluarga dalam mengakomodasi penatalksanaan penyakit

dengan meningkatkan sistem dukungan sosial untuk mengurangi

kebingungan dan kecemasan pada klien dan keluarga dengan

mempelajari strategi adaptif.

6) The behavioral family manajement model

Model ini memberikan intervensi pada keluarga untuk

meningkatkan mekanisme koping yang efektif sehingga klien

dapat menghindari efek negatif dari stres lingkungan. Model ini

meberikan pengetahuan pada anggota keluarga tentang

bagaimana merencenakan dan mengimplementasikan variasi

dari tugas penting untuk rehabilitasi klien.

20
7) Peer o peer psychoeducation oppoach

Model ini diterapkan pada area klinis dimana pasien yang

pernah mengalami masalah yang sama akan saling memotivasi

untuk menciptaka harapan baru bagi klien.

3. Tujuan Psikoedukasi

Tujuan pendidikan psikoedukasi ini adalah meningkatkan

pengetahuan individu dan keluarga guna menurunkan tingkat

kecema kecemasan dan meningkatkan fungsi keluarga (Stuart,

2009). Intervensi psikoedukasi ini diharapkan dapat meningkatkan

pencapaian pengetahuan individu dan keluarga tentang penyakit,

mengajarkan bagaimana eknik pengajaran dalam upaya membantu

mereka melindungi individu dengan mengetahui gejala-gejala

perilaku dan mendukung individu (Fitri Firranda Nurmalisyah,

2018).

4. Indikasi

Psikoedukasi dapat digunakan pada keluarga dengan gangguan seperti

skizofrenia, depresi mayor, dan gangguan bipolae. Psikoedukasi juga bisa

diberikan pada keluarga yang mengalami masalah psikososial dan

gangguan jiwa (Dhita Kurnia sari, 2017).

21
5. Pedoman Pelaksanaan Famili Psychoeducation Therapy

Menurut (Dhita Kurnia sari, 2017), pelaksanaan terapi psikoedukasi

keluarga terdiri dari 5 sesi. Setiap sesi dilakukan selama 45-60 menit.

urutan terapi ini adalah :

a. Sesi 1 : Pengkajian masalah keluarga

Pada sesi pertama ini terapis dan keluarga bersama-sama

mengidentifikasi masalah yang timbul dikeluarga karena memiliki

klien skizofrenia. Terapi ini melibatkan seluruh anggota keluarga

yang terpengaruh dan terlibat dalam perawatan klien, terutama

caregiver. Hal yang perlu diidentifikasi adalah makna gangguan jiwa

bagi keluarga dan dampaknya pada orang tua, anak, saudara kandung

dan pasangan. Pengkaji dilakukan secara terpisah antara terpisah

antara masalah yang dirasakan oleh pengasuh dan anggota keluarga

yang lainya. Beberapa pertanyaan yang mungkin muncul ketika

mempertimbangkan pernyataan ini adalah:

1) Situasi bagaimana yang membuat stress pada keluarga?

Bagaimana perasaan anda mengenai ketergantungan, interaksi

social atau respon terhadap tindakan pada anggota keluarga

yang sakit?

2) Seberapa besar dukungan yang anda dapatkan dari professional

kesehatan mental, komunikasi atau keluarga besar anda?

22
b. Sesi 2 : Perawatan klien skizofrenia

Sesi 2 ini berfokus pada pendidikan tentang masalah yang

dirasakan. Edukasi yang diberikan oleh keluarga terkait dengan

diagnosa medis dan diagnosa keperawatan yang dialami klien.

c. Sesi 3 : Manajemen stress keluarga

Kondisi klien dengan skizofrenia dapat menjadi stressor

tersendiri bagi keluarga. Stressor apapun dapat diatasi dengan

keterampilan koping yang baik. Untuk meningkatkan koping yang

baik diperlukan menajemen stress yang baik. Menajemen stres

adalah berbagai metode yang digunakan oleh seseorang untuk

mengurangi tekanan dan respon maladaptif lain terhadap stres dalam

hidup, termasuk latihan relaksasi, latihan fisik, musix, mental

imageri, atau tehnik-tehnik lain yang berhasil pada individu tersebut.

d. Sesi 4 : Menejemen beban keluarga

Pada bagian 4, terapis bersama seluruh anggota keluarga,

membahas mengenai masalah yang timbul akibat penyakit klien dan

bekerja sama untuk mencari solusi dari masalah tersebut. sakit dan

mencari pemecahan masalah bersama-sama. Dalam sesi ini

kontribusi seluruh anggota keluarga sangat dibutuhkan untuk

menyelesaikan permasalahan yang dirasakan oleh keluarga.

e. Sesi 5 : Pemberdayaan komunitas untuk membantu keluarga

23
Pada bagian 5, kita akan membahas pemberdayaan sumber daya

diluar keluarga, khususnya dimasyarakat untuk membantu mengatasi

masalah keluarga dengan klien skizofrenia.

C. Tinjauan Skizofrenia

1. Definisi skizofrenia

Menurut (Dhita Kurnia sari, 2017) dalam buku yang berjudul Buku

Ajar Psikoedukasi keluargas untuk memandirikan orang dengan

gangguan jiwa (ODGJ) Menjelaskan bahwa Skizofrenia adalah suatu

penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran,

persepsi, emosi, gerakan dan perilaku yang aneh dan terganggu.

Skizofrenia tidak dapat didefinisikan sebagai penyakit tersendiri,

melainkan diduga sebagai suatu sindrom atau proses penyakit yang

mencakup banyak jenis dengan berbagai gejala seperti jenis kanker.

Skizofrenia adalah terdapatnya suatu tanda gejala positif yang terdiri

dari dua atau lebih dari gejala delusi, halusinasi, gangguan bicara seperti

inkoheren, serta tingkah laku katatonik . Skizofrenia merupakan penyakit

gangguan jiwa yang menyebabkan beban serta mekanisme koping

maladaptif pada keluarga. Skizofrenia adalah salah satu gangguan jiwa

berat yang dapat mempengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku individu

((Rizka Yunita, S.Kep., Ns., M.Kep, Lin Aini Isnawati, S.Kep., Ns.,

M.Kes, Widya Addiarto S.Kep., Ns., 2020).

24
2. Etiologi Skizofrenia

Menurut Ann (2005) dalam buku (Rizka Yunita, S.Kep., Ns., M.Kep,

Lin Aini Isnawati, S.Kep., Ns., M.Kes, Widya Addiarto S.Kep., Ns.,

2020) Buku Ajar Psikoterapi Self Help Group Pada Keluarga Pasien

Skizofrenia, Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan

terjadinya skizofrenia adalah :

a. Keturunan

Telah dibuktikan dengan penelitian bahwa angka kesakitan bagi

saudara tiri 0,9-1,8%, bagi saudara kandung 7-15%, bagi anak

dengan salah satu orang tua yang menderita skizofrenia 40-68%,

kembar 2 terul 2-15% dan kembar satu telur 61-86%.

b. Endokrin

Teori ini dikemukakan berhubungan dengan sering timbulnya

skizofrenia pada waktu punertas, waktu kehamilan atau pucrperium

dan waktu klimakterium, terapi teori ini tidak dapat dibuktikan.

c. Metabolisme

Teori ini didasarkan karena penderita skizofrenia tampak bucat, tidak

sehat, ujung ektremitas agak sianosis, nafsu makan berkurang dan

berat badan menurun serta pada penderita dengan stupor katatonik

konsumsi zat asam menurun. Hipotesa ini masih dalam pembuktian

dengan pemberian obat halusinogenik.

25
d. Susunan saraf pusat

Penyebab skizofrenia diarahkan pada kelainan sistem saraf pusat

(SPP) yaitu pada diensefalon atau kortek otak, tetapi kelainan

patologis yang ditemukan mungkin disebabkan oleh perubahan

postmortem atau merupakan artefakt pada waktu membuat sediaan.

e. Teori Adolf Meyer

Skizofrenia tidak disebabkan oleh penyakit badaniah sebab hingga

sekarang tidak dapat ditemukan kelainan patologis anatomis atau

fisiologis yang khas pada SPP tetapi Meyer mengakui bahwa suatu

konstitusi yang inferior atau penyakit badaniah dapat mempengaruhi.

f. Teori Sigmund Freud

Teori Sigmund freud termasuk teori psikogenis. Bila kita memakai

formula freud, maka pada skizofrenia terdapat

1) Kelemahan ego, yang dapat timbul karena penyebab psikogenik

ataupun somatik.

2) Superego dikesampingkan sehingga tidak bertenaga lagi dan Id

yang berkuasa serta terjadi suatu regresi ke fase narsisme.

3) Kehilangan kapasitas untuk pemindahan sehingga terjadi

psikoanalitik tidak mungkin.

g. Teori lain

26
Skizofrenia sebagai suatu sindroma yang dapat disebabkan oleh

bermacam-macam antara lain keturunan, pendidikan yang salah,

maladaptasi, tekanan jiwa, penyakit badaniah seperti arterosklerosis

otak dan penyakit lain yang belum diketahui.

3. Tipe dan Klasifikasi Skizofrenia

Pembagian Skizofrenia yang dikutip dari Maramis (2016) dalam

Skripsi (Mariani, 2019).

a. Skizofrenia simplex

Sering timbul pertama kali pada masa pubertas, gejala utama pada

jenis simplex adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan,

gangguan proses berfikir sukar ditemukan, wahan dan halusinasi.

b. Skizofrenia bebefrenik

Permulaanya perlahan-lahan/sub akut dan sering timbul pada masa

remaja/antata 15-25 Tahun yang menyolok ialah gangguan proses

berfikir, gagguan kemauan dan adanya depersonalisasi/double

personality.

c. Skizofrenia Katatonik

Timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun dan biasanya akut

serta didahului dengan oleh stres emosional, mungkin terjadi gaduh

gelisah katatnik/stupor katatonik.

d. Jenis skizo-aktif (skizofrenia skizo afektif)

27
Disamping gejala-gejala skizofrenia terdapat menonjol secara

bersamaan juga gejela-gejala depresi (skizo-depresi) atau gejala-

gejala (skizo-mekanik) jenis ini cenderung untuk menjadi sembuh

tanpa efek tetapi mungkin juga timbul lagi serangan.

4. Manifestasi klinis

Sementara itu menurut Bleuler yang dikutip dari maramis (2016),

dalam skripsi (Mariani, 2019), gelaja-gejala Skizofrenia dapat di bagi

menajadi 2 kelompok, yaitu :

a. Gejala primer

1) Gangguan proses pikiran (bentuk, langkah dan isi pikiran)

Pada skizofrenia inti gangguan terdapat pada proses pikiran

yang terganggu terutama pada sosialisasi, seseorang dengan

skizofrenia juga mempunyai kecenderungan untuk

menyamanakan hal-hal, kadang pikiran seakan-akan berhenti,

tidak timbul ide lagi. Keadaan ini dinamakan “Blocking”

biasanya berlangsung beberapa detik saja, tetapi kadang-kadang

sampai beberapa hari.

2) Gangguan efek dan emosi

Gangguan ini pada skizofrenia mungkin berupa : Kedangkalan

efek dan emosi (emotional blunting)

a) Parathim : apa yang seharusnya menimbulkan masa senang

dan gembira pada penderita timbul rasa sedih atau murah.

28
b) Paramii : penderita merasa senang dan gembira, akan tetapi

menangis, kadang-kadang emosi dan efek serta ekspresinya

tidak mempunyai kesatuan, misalnya sesudah membunuh

anaknya penderita menangis berhari-hari tetapi mulutnya

tertawa.

c) Emosi yang berlebihan, sehingga kelihatan seperti dibuat-

buat seperti bermain sandiriwara. Yang penting juga pada

skizofrenia ialah hilangnya kemampuan untuk mengadakan

hubungan emoso yang baik (emotional rapport) karena

terpecah belahnya kepribadian, maka dua hal berlawanan

mungkin terdapat bersama-sama, umpan mencintai dan

membensi satu orang yang salam atau menangis dan tertawa

tentang satu hal yang sama ini dinamakan ambivalensi pada

efek.

d) Gangguan kemauan

Banyak penderita dengan skizofrenia mempunyai

kelemahan kemauan mereka tidak dapat mengambil

keputusan, tidak dapat bertindak dalam suatu keadaan.

Mereka selalu memberikan alasannya, meskipun alasan itu

tidak jelas atau tepat ataumereka menganggap hal itu biasa

saja dan tidak diterangkan.

e) Gejala psikomotor

29
Gejala ini juga dinamakan gejala-gejala katatonik atau

gangguan perbuatan kelompok gejala ini oleh Bleuker

dimasukan kedalam kelompok gejala skizofrenia yang

sekunder sebab didepati juga pada penyakit lain.

b. Gejala Sekunder

1) Waham

Pada skizofrenia waham tidak sering tidak logis sama sekali,

bizar mayer gross membagi waham dalam dalam 2 kelompok :

a) Waham primer timbul secara tidak logis sama sekali, tanpa

penyebab apa-apa dari luar.

b) Waham sekunder biasanya logis kedengarannya, dapat

diikuti dan merupakan cara bagi penderita untuk

mererangkan gejala-gejala skizofrenia lain.

2) Halusinasi

Pada skizofrenia, Halusinasi timbul tanpa penurunan

kesadaran dan hal ini merupakan suatu gejala yang hampir tidak

dijumpai pada keadaan lain.

D. Penelitian Terkait

1. Penelitian yang dilakukan oleh (Made et al., 2019) dengan judul Pengaruh

Psikoedukasi keluarga terhadap tingkat stres keluargamerawat orang

dengan gangguan jiwa (ODGJ) Dirumah dengan melibatkan 30 0rang

sebagai responden. Penelitian ini mengenai pemberian intervensi

30
psikoedukasi keluarga dan mengurangi stres keluarga. Hasil penelitian

menyimpulkan bahwa pemberian terapi psikoedukasi keluarga bermanfaat

bagi keluarga dimana hal ini dapat mengurangi tingkat stres keluarga

dalam merawat pasien skizofrenia dan dapat meningkatkan kemampuan

kognitif.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Bagus (Bagus Dwi Cahyono, Evy

Aristawati, 2022) dengan judul Pengaruh Psikoedukasi Keluarga Tentang

Pengelolaan Stres Terhadap Peningkatan Self Efficacykeluarga Dalam

Merawat ODGJ dengan melibatkan 22 orang sebagai responden.

Penelitian ini mengenai pemahaman keluarga tentang gangguan jiwa dan

manajemen stres terhadap pemberian psikoedukasi. Hasil penelitian ini

menyimpulkan bahwa dengan pemahaman yang mamadai tentang

gangguan jiwa melalui pemberian psikoedukasi oleh perawat, maka akan

tumbuh kepercayaan diri keluarga dalam merawat anggota keluarganya

yang sakit.

3. Penelitian yang dilakukan oleh (Solehah, 2021) dengan judul Pengaruh

Psikoedukasi Tentang Manajemen Stres Dalam Meningkatkan Self

Efficacy Keluarga merawat ODGJ Di Wialayah Kerja Balowerti Kota

Kediri. Dilakukan dengan melibatkan 41 orang sebagai responden.

Penelitian ini mengenai keyakinan yang dimiliki oleh keluarga dimana

sebelum diberikan psikoedukasi tentang managemen stres banyak

keluarga yang mempunyai self efficacy rendah dalam merawat anggota

31
keluarga dengan skizofrenia. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa

kelurga merasa tenang dalam merawat anggota keluarga yang menderita

skizofrenia dan keluarga tidak merasa khawatir dan cemas dalam

melakukan perawatan pada pasien skizofrenia

E. Kerangka Teori

Keluarga
dengan Tingkat Psikoedukasi
anggota Stres keluarga
keluarga Keluarga
penderita
skziofrenia

Jenis-jenis stres
berdasarkan model Model psikoedukasi
stres a. Model skills
a. Model stres deficit atau life
berdasarkan skills.
stimulus b. Model tugas
b. Model stres perkembangan
berdasarkan c. Model ragam
respo bantuan
c. Model stres
berdasarkan
transaksional

Pedoman
Faktor-faktor yang pelaksanaan famili
menyebabkan stres psychoeducation
therapy
a. Faktor a. Pengkajian
lingkungan masalah
b. Faktor b. perawatan
klien
organisasi
skizofrenia
c. Faktor Individu c. Manajemen
beban keluarga
d. Pemberdayaan
komunitas
untuk
membantu 32
keluarga.
Dampak stres
a. Dampak fisiologik
Gambar 2.1
b. Dampak psikologik
c. DampakBAB
Perilaku
III
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, VARIABEL PENELITIAN, DAN
DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka konsep

Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau kaitan

antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atau antara variabel yang

satu dengan dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti

(Hardani, S.Pd. et al., 2020)

Berikut ini merupakan kerangka konsep dalam penelitian ini,yaitu :

Variabel Independen Variabel Dependent

Psikoedukasi
Keluarga Tingkat Stres
Keluarga:

Keterangan :
: Variabel Independen

: Variabel Dependent

33
: Penghubung antar Variabel

Gambar 3.1 Kerangka teori

B. Hipotesis

Hipotesis adalah persyaratan awal penelitian mengenai hubungan antar

variabel yang merupakan jawaban peneliti tentang kemungkinan hasil

penelitian (Dharma, 2011). Hipotesis merupakan proposisi keilmuan yang

dilandasi oleh kerangka konseptual penelitian dan merupakan jawaban

sementara terhadap permasalahan yang dihadapi, yang dapat diuji

kebenarannya berdasarkan fakta empiris.

Hipotesis pada penelitian ini adalah H1 yaitu Ada pengaruh psikoedukasi

keluarga terhadap tingkat stres keluarga dalam merawat pasien skizofrenia.

C. Variabel Penelitian

Variabel adalah semua faktor yang berperanan dalam proses penelitian.

Dengan demikian jenis variable juga bermacam-macam yang ditentukan oleh

landasan teoritis dan ditegaskan dalam hipotesis penelitian. oleh karena itu

setiap jenis penelitian mempunyai batasan untuk tiap-tiap variable yang

berbeda-beda.

1. Variabel Independen (Bebas)

Variabel independen disebut juga variabel sebab yaitu karakteristik

dari subjek yang dengan keberadaanya menyebabkan perubahan pada

variabel lainnya (Dharma, 2011) dalam Buku Metodologi Penelitian

34
Keperawatan). Dalam penelitian ini yang menjadi variabel independen

adalah Pengaruh Psikoedukasi keluarga.

2. Variabel Dependen (Terikat)

Variabel Dependen adalah variabel akibat atau variabel yang akan

berubah akibat pengaruh atau perubahan yang terjadi pada variabel

independent (Dharma, 2011), dalam buku Metodologi Penelitian

Keperawata Dalam penelitian ini variabel dependen adalah Tingkat stres

dalam merawat pasien skizofrenia.

D. Definisi Konseptual

Defini konseptual adalah sebuah konsep yang mendeskripsikan dengan

konsep lain, sehingga konsep tersebut dapat dipahami (Heryana, 2020:79)

1. Psikoedukasi keluarga adalah salah satu elemen program perawatan

kesehatan jiwa keluarga dengan cara pemberian informasi edukasi,

melalui komunikasi terapeutik. Program psikoedukasi merupakan

pendekatan yang bersifat edukasi dan progmatic (Kurniawan et al.,

2020).

2. Stres keluarga terjadi karena adanya stresor, Stres yang dialami oleh

keluarga meliputi stresor utama yang berasal dari kebutuhan pasien

sedangkan stresor sekunder melibatkan ketengangan peran, yang

35
berhubungan dengan peren keluarga secara langsung dan peran yang

melibatkan kegiatan di luar situasi perawatan (Nasriati, 2020).

E. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional

berdasarkan karakteristik yang diamati memungkinkan peneliti untuk

melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek

atau fenomena (Dr. Drs. Ismail Nurdin, M.Si Dra. Sri Hartati, 2019)

1. Variabel Independen

a. Psikoedukasi keluarga adalah pemberian informasi edukasi melalui

komunikasi terapeutik dan pengetahuan pada keluarga dimana

pemberiannya melalu 5 sesi. 5 sesi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Sesi ke-1: Pengkajian masalah keluarga

2. Sesi ke-2 : Perawatan penderita skizofrenia

3. Sesi ke-3 : Managemen stres keluarga

4. Sesi ke 4 : Managemen beban keluarga.

5. Sesi ke 5 : Pemberdayaan komunitas untuk membantu keluarga.

b. Kriteria objektif

Dinyatakan dalam :

0 : Sebelum diberikan tindakan psikoedukasi keluarga.

1 : Setelah diberikan tindakan psikoedukasi keluarga.

c. Alat ukur : Lembar SOP Psikoedukasi setiap sesi

36
d. Skala ukur : Ordinal

2. Variabel Dependen

a. Tingkat stres keluarga adalah reaksi tubuh terhadap tuntutan dan

beban yang bersifat non spesifik dimana semakin tinggi stresor maka

stres keluarga akan semakin berat.

b. Kriteria objektif :

Dinyatakan dalam :

Normal : 0-14

Ringan : 15-18

Sedang : 19-25

Berat : 26-33

c. Alat ukur : Lembar kuisioner DASS

d. Skala ukur : Ordinal

37
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian adalah model atau metode yang digunakan peneliti untuk

melakukan suatu penelitian yang memberikan arah terhadap jalannya

penelitian. Desain penelitian ditetapkan berdasarkan tujuan dan hipotesis

penelitian. Jika suatu penelitian bertujuan mengetahui efektifitas suatu

intervensi keperawatan terhadap peningkatan derajat kesehatan pasien, maka

desain yang paling tepat adalah eksperimen (Dharma, 2011), Metodologi

penelitian keperawatan). Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif

deskriptif. Menurut (Putri Dian Dia Conia1, 2022) Penelitian deskriptif

kuantitatif adalah penelitian yang menggambarkan, menguji dan menjelakan

suatu fenomena dengan data (angka) apa adanya tanpa bermaksud menguji

suatu hipoteis tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh

psikoedukai keluarga terhadap tingkat stres keluarga dalam merawat pasien

skizofrenia di Puskema Bontosunggu Kabupaten Kepulauan selayar. Adapun

metode kuantitatif yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian pre-

eksperimental (One Grup Pre Post Test Design) yang bertujuan untuk

mengetahui pengaruh psikoedukasi keluarga terhadap tingkat stres keluarga

38
dalam merawat pasien skizofrenia di wilayah kerja puskesmas bontosunggu

kecataman bontoharu kabupaten kepualauan selayar.

B. Waktu dan Lokasi Penelitian

1. Waktu penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan juni tanggal 08 – 07 juli 2023

2. Lokasi Penelitian

Dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Bontosunggu Kecematan

Bontoharu Kabupaten kepulauan selayar.

C. Populasi, Sampel, Dan Sampling

1. Populasi

Menurut (Hardani, S.Pd. et al., 2020) Populasi adalah keseluruhan

objek penelitian yang terdiri dari manusia, benda-benda, hewan,

tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai tes, atau peristiwa-peristiwa

sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu di dalam

suatu penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien yang

merawat pasien skizofrenia yang ada di wilayah kerja Puskesma

Bontosunggu kelurahan Bontoharu Kabupaten kepulauan selayar.

2. Sampel

Menurut (Hardani, S.Pd. et al., 2020) sampel adalah sebagian

anggota populasi yang diambil dengan menggunakan teknik

39
pengambilan sampling. Teknk pengambilan sampling yaitu

menggunakan rumus besar sampel (Dahlan, 2016)

Keterangan :

n = jumlah subjek

s1 = simpang baku pengukuran kesatuan

s2 = simpang baku pengukuran kedua

x = rerata selisih pengukuran kesatu dan kedua

s = simpang baku selisih

za = 1,96

zb = 0,84

n=¿2

n=¿2

n= ( [ 2 ,8 ] x 18
9 , 43 )
2

n= ( 509 , 43, 4 ) 2

n=(5 , 34)2

n=28

Dari hasil perhitungan mengunakan rumus besar sampel dapatkan jumlah

sampel pada penelitian ini sebanyak 28 orang.

3. Teknik sampling

40
Metode sampling adalah suatu cara yang ditetapkan penelitian

untuk menentukan atau memilih sejumlah sampel dari populasinya

(Dharma, 2011). Penentuan sampel dalam penelitian ini mengunakan non

probability sampling (sampel non random) dengan menggunakan

purposive sampling yang merupakan suatu metode pemilihan sampel

yang dilakukan berdasarkan maksud atau tujuan tertentu yang ditentukan

oleh peneliti. Seseorang dapat dijadikan sebagai sampel karena peneliti

menganggap bahwa orang tersebut memiliki informasi yang diperlukan

untuk penelitiannya (Dharma, 2011).

Sampel dalam penelitian ini adalah kelompok keluarga yang

masuk dalam kriteria insklusi dan eksklusi sebagai berikut :

a. Kriteria insklusi

Menurut Made Sudarma Adiputra et al (2021) Kriteria insklusi

merupakan karakteristik umum subjek penelitian pada populasi

target dan sumber. Adapun kriteria insklusi yang dimaksud sebagai

berikut:

1) Keluarga yang merawat pasien penderita skizofrenia.

2) Keluarga setuju untuk menjadi responden dalam penelitian ini.

3) Keluarga yang mampu mengisi kuesioner.

b. Kriteria eksklusi

Menurut Made Sudarma Adiputra et al (2021) Kriteria

eksklusif merupakan kriteria dari subjek penelitian yang tidak boleh

41
ada, dan jika subjek mempunyai kriteria ekslusif maka subjek harus

dikeluarkan dari penelitian. Adapun Kriteria eksklusi yang dimaksud

sebagai berikut:

1. Keluarga tidak bersedia menjadi partisipan.

2. Keluarga dalam keadaan sakit.

3. Keluarga yang tidak ada di rumah atau Berpergian.

F. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan oleh peneliti untuk

mengopservasi, mengukur atau menilai suatu fenomena. Data yang diperoleh

dari suatu pengukuran kemudian dianalisis dan dijadikan sebagai bukti

(evidence) dari suatu penelitian (Dharma, 2011).

1. Psikoedukasi = Alat ukur yang digunakan yaitu lembar SOP

Psikoedukasi keluarga setiap sesi dengan skala ukur nominal

2. Pengukuran tingkat stres = Alat ukur yang digunakan berupa kuesioner

karakteristik responden mencakup nama, usia, jenis kelamin, suku,

pendidikan terakhir, pekerjaan,status perkawinan, hubungan

kekeluargaan dan kuesioner DASS untuk mengetahui tingkat stres yang

dirasakan responden yang terdiri dari 9 pertanyaan dengan skala ukur

nominal.

G. Alur Penelitian Psikoedukasi


Populasi : Keluarga penderita skizofrenia di wilayah kerja Puskesmas
Bontosunggu Kecamatan Bontoharu Kabupaten Kepulauan selayar sebanayak
30 0rang

42
Sampel sebanyak 28 orang dan teknik pengambilan sampel mengunakan teknik
non probability sampling (sampel non random)

Pengumpulan data pre-test mengunakan kuesioner karakteristik responden, dan


kuesioner DASS untuk mengukur tingkat stres
Pembagian sampel dibagi menjadi 2 kelompok
(kelompok perlakuan dan kelompok kontrol)

Kelompok Perlakuan Kelompok kontrol

(14 orang) (14 orang)

Intervensi psikoedukasi
keluarga dilakukan dengan 5
sesi pertemuan tiap 1 sesi
dilakukan selama 45 menit.

Alat bantu yang digunakan


adalah lembar SOP dan
leaflet

Pengumpulan data post test mengunakan kuesioner Dass setelah


diberikan terapi psikoedukasi

Analisa Data

43
Univariat Bivariat

Hasil
Gambar 4.1

1. Tehnik Pengumpulan DataLangkah-langkah pengumpulan data

a. Data Primer

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara lansung dari

subyek pengamatan dari sumper pertama (Heryana,2020). Data yang

diperoleh melalui wawancara serta pemberian kuesioner yang nanti

telah disediakan oleh peneliti. Wawancara adalah proses memperoleh

keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil

bertahap maka antara sipewawancara dengan sipenjawab (responden)

dengan menggunakan alat yang disebut interview gulde (panduan

wawancara) sedangkan pemberian kuesioner (angket) merupakan

tehnik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi

seperangkat pertanyaan atau tertulis kepada responden untuk

dijawabnya (Dr. Garaika, Darmanah, S.E., 2019). Pengumpulan data

yang akan diperoleh nantinya adalah dengan cara membagikan

kuesioner yang telah berisi sejumlah pertanyaan yang telah

disediakan.

b. Data Sekunder

44
Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari

subyek penelitian (Heryana,2020). Data sekunder pada penelitian ini

yaitu data banyaknya jumlah penderita skizofrenia dimana yang akan

diteliti adalah keluarga penderita skizofrenia diperoleh melalui

dokumentasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan selayar.

2. Teknik pengumpulan data


Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu kuesioner dan wawancara.

a. Menurut (Dr. Garaika, Darmanah, S.E., 2019)Kuesioner merupakan

teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi

seperangkat pertanyaan tertulis kepada responden untuk dijawabnya.

petugas yang terlibat dalam pengumpulan data ini adalah petugas

yang ada di wilaya kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan

Selayar.

b. Menurut (Dr. Garaika, Darmanah, S.E., 2019) wawancara adalah

proses memproleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara

tanya jawab sambil bertahap antara sipewawancara dengan

sipenjawab (responden) dengan menggunakan alat yang disebut

interview gulde (panduan wawancara)

3. Jadwal waktu pelaksanaan pengumpulan data

Waktu pengumpulan data dilakukan sejak dikerluarkanya izin dari kepala

Stikes Panrita Husada Bulukumba.

45
H. Tehnik Pengelolaan dan Analisa Data

1. Tehnik Pengelolaan Data

Menurut (Notoatmodjo, 2010), Bahwa proses pengolahan data instrument

test melalui tahap berikut:

a. Editing yaitu hasil wawancara,angket atau pengamatan dari lapangan

harus dilakukan penyuntingan (editing) terlebih dahulu. Secara umum

editing merupakan kegitana untuk pengecekan dan perbaikan isian

formulir atau kuesioner.

b. Coding yaitu semua kuesioner diedit atau disunting , selanjutnya

dilakukan peng”kodean” atau “coding”, yakni mengubah data

berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan.

Misalnya jenis kelamin: 1=laki-laki, 2=perempuan, pekerjaan ibu:

1=tidak bekerja, 2=bekerja selain sebagai ibu rumah tangga.

c. Entrying Data yakni jawaban-jawaban dari masing-masing responden

yang dalam bentuk “kode” (angka atau huruf) dimasukkan ke dalam

program atau “softwere” .

d. Cleaning yakni apabila semua data dari setiap sumber data atau

responden selesai dimasukkan, perlu dicek kembali untuk melihat

kemungkinan-kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode,

46
ketidaklengkapan, dan sebagainya kemudian dilakukan pembetulan

atau korensi

2. Analisa Data

Analisa data bertujuan untuk mendapatkan hasil yang relevan

terhadap objek yang sedang atau akan diteliti dimana dalam penelitian ini

mengunakan dua teknik analisa yaitu analisa data univariat dan bivariat.

a. Analisa Univariat

Analisa Univariat dapat menghasilkan distribusi dan presentasi dari

tiap variabel yang akan diteliti. Analisa univariat dapat dilihat secara

umum sebagai gambarn tiap variabel. Dihitung dengan menggunakan

SPSS versi 22.

b. Analisa Bivariat.

Pada penelitian ini untuk mengetahui pengaruh tingkat stres keluarga

sebelum di berikan psikoedukasi apakah signifikan atau tidak

signifikan atau kebenaran 0,5 dengan menggunakan uji Mann whitney

dimana nilai p < 0,05, maka ada pengaruh psikoedukasi terhadap

tingkat stres keluarga dalam merawat pasien skizofrenia di wilayah

puskesmas bontosunggu, sedangkan jika nilai p> = 0,05, maka tidak

ada pengaruh psikoedukasi keluarga terhadap tingkat stres keluarga

dalam merawat pasien skizofrenia di wilayah kerja puskesmas

bontosunggu kecamatan bontoharu kabupaten kepulauan selayar.

I. Etika Penelitian

47
Dalam penelitian ini, peneliti mengajukan permohonan persetujuan kepada

pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Selayar. Setelah peneliti

mendapatkan persetujuan, kemudian dilakukan penelitian dengan

menekankan pada masalah etika. Menurut Komisi Nasional Etika Penelitian

Kesehatan (Dr. drg. Wiworo Haryani, M.Kes Drh. Idi Setyobroto, 2022),

bahwa kode etika penelitian yaitu :

1. Respect for persons

Hal ini bertujuan menghormati otonomi untuk mengambil keputusan

mandiri (Self determination) dan melindungi kelompok-kelompok

dependent (tergantung) atau rentan (vulnerable) dari penyalahgunaan

(harm dan abuse).

2. Benefiscience

Prinsip berbuat baik, memberikan manfaat yang maksimal dan

risiko yang minimal.

3. Justice

Prinsip ini menekankan setiap orang layak mendapatkan sesuatu

sesuai dengan haknya menyangkut keadilan distributif dan pembagian

yang seimbang (equitable)

48
BAB V

HASIL PENELITIAN DAN ANALISA DATA

A. Hasil Penelitian

1. Karakteristik Responden

Tabel 5.1

Distribusi Karakteristik Responden Bersadarkan Usia, Jenis

Kelamin, Pekerjaan, dan pendidikan terakhir

Perlakuan Kontrol
Frekuensi Presentase Frekuensi Presentas
Karakteristik Responden
(f) (%) (f) e
(%)
Kelompok_umur
Remaja 1 7,1% 0 0,0%
Dewasa 6 42,9% 7 50,0%
Lansia 7 50,0% 7 50,0%
Jenis Kelamin
Laki-laki 1 7,1% 9 64,3%
Perempuan 13 92,9% 5 35,7%
Pendidikan
SD 9 64,3% 5 35,7%
SMP 2 14,3% 3 21,4%
SMA 2 14,3% 4 28,6%
S1 1 7,1% 2 14,3%
Jenis Pekerjaan
Tidak Bekerja 10 71,4% 2 14,3%
Bekerja 4 28,6% 12 85,7%
Hubungan penderita
Ayah 1 7,1% 0 0,0%
Ibu 1 7,1% 0 0,0%
Suami 5 35,7% 2 14,3%
Istri 1 7,1% 7 50,0%
Kakak 2 14,3% 1 7,1%
Adek 1 7,1% 2 14,3%

49
Anak 3 21,4% 2 14,3%
Jumlah 14 100% 14 100%
Sumber: data primer,2023

Bersadarkan tabel 5.1 Pada kelompok perlakuan menunjukkan

bahwa kelompok umur yang paling banyak pada rentang usia lansia

sebanyak 7 responden (50,0%) sedangkan paling kecil pada usia

remaja sebanyak 1 responden (7,1%). Jenis kelamin perempuan 13

responden (92,9%) lebih banyak dibandingkan laki-laki 1 responden

(7,1%). Jenis pekerjaan paling banyak yaitu tidak bekerja sebanyak

10 responden (71,4%) sedangkan yang bekerja sebanyak 4 rsponden

(28,6%). Pendidikan paling banyak yaitu SD sebanyak 9 responden

(64,3%) sedangkan pendidikan paling sedikit adalah S1 sebanyak 1

responden (7,1%) . Hubungan Penderita paling banyak yaitu pada

suami sebanyak 5 responden (35,7%), sedangkan hubungan penderita

antara ayah, ibu, istri, kakak, adek ssemuanya sama sebanyak 1

responden (7,1%).

Pada kelompok kontrol menunjukkan bahwa kelompok

umur paling pada rentang usia dewasa dan lansia sama sebanyak 7

responden (50,0%) sedangkan pada kelompok remaja tidak ada

responden. Jenis kelamin laki-laki 9 responden (64,3%) lebih banyak

di bandingkan perempuan 5 responden (35,7%). Jenis pekerjaan lebih

banyak bekerja sebanyak 12 responden (85,7%) dibandingkan yang

tidak bekerja sebanyak 2 responden (14,3%). Pendidikan paling

50
banyak yaitu SD sebanyak 5 responden (35,7%) sedangkan yang

paling sedikit pada S1 sebanyak 2 responden (14,3%). Hubungan

Penderita paling banyak yaitu pada istri sebanyak 7 responden

(50,0%), sedangkan hubungan penderita paling sedikit yaitu pada

kakak yaitu sebanyak 1 responden (7,1%).

2. Analisa Univariat

Dalam penelitian ini analisa univariat yang dilakukan adalah untuk

melihat distribusi frekuensi dari tiap variabel yang akan di teliti yaitu

terkait dengan tingkat stres keluarga.

Tabel 5.2

Distribusi Frekuensi responden Berdasarkan Tingkat Stres


Keluarga sebelum dan sesudah dilakukan pemberian Psikoedukasi
pada Kelompok Perlakuan dan Kontrol

Variabel Kelompok Perlakuan Kelompok kontrol


f % f %
Stres sebelum
Ringan 0 0,0 7 50,0
Sedang 13 92,9 7 50,0
Parah 1 7,1 0 0,0
Stres setelah
Normal 9 64,3 0 0,0
Ringan 5 35,7 7 50,0
Sedang 0 0,0 7 50,0
Sumber:data primer,2023

Tabel 3.2 Menunjukkan tingkat stres untuk kelompok perlakuan

pada stres sebelum yaitu responden yang mengalami tingkat stres sedang

sebanyak 13 responden (92,9%), stres parah sebanyak 1 responden

(7,.1%) sedangkan pada stres setelah yang di berikan intervensi

51
mengalami penurunan yaitu mengalami stres normal sebanyak 9

responden (64.3%), responden yang mengalami stres ringan sebanyak 5

responden (35.7).

Untuk kelompok kontrol pada stres sebelum menunjukan

responden yang mengalami stres ringan sebanyak 7 responden (50.0%),

responden yang mengalami stres sedang sebanyak 7 responden (50.0%)

sedangan untuk stres setelah menunjukan responden tidak mengalami

perubahan yaitu stres ringan sebanyak 7 responden (50.0%), yang

mengalami stres sedang sebanyak 7 responden (50.0%).

Tabel 5.3

Distribusi Frekuensi responden berdasarkan tingkat stres yang di


rasakan oleh keluarga selama merawat pasien skizofrenia

Tingkat stres Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol


n Median Min - Mak n Median Min - Mak
Stres sebelum 14 20.00 19 – 27 14 18.50 17 - 21
Stres setelah 14 14.00 13 - 15 14 18.50 17 – 20
Sumber:Data primer,2023

Dari table 5.2 tersebut di atas menujukkan bahwa median untuk

kelompok perlakuan pada stres sebelum sebesar 20.00 dengan nilai

minimun 19 – maksimum 27 sedangkan pada stres setelah sebesar 14.00

dengan nilai minimun 13 – Maksimum 15. Untuk kelompok kontrol pada

stres sebelum sebesar 18.50 dengan nilai minimum 17 – Maksimum 21,

52
sedangkan pada stres setelah sebesar 18.50 dengan nilai minimum 17 –

maksimum 20.

3. Analisa Bivariat

Analisa Bivariat ini dilakukan dengan maksud untuk melihat

pengaruh psikoedukasi keluarga terhadap tingkat stres keluarga dalam

merawat pasien skizofrenia di wilayah kerja Puskesmas Bontosunggu

Kecamatan Bontoharu Kabupaten Kepualaun Selayar yang dilakukan

dengan menggunakan uji Mann Whitney yang diolah dengan SPSS 22

dengan tingkat kemaknaan α = 0,05. Pengaruh pskoedukasi keluarga

terhadap tingkat stres keluarga dalam merawat pasien skizofrenia di

wilayah kerja Puskesmas Bontosunggu Kecamatan Bontoharu Kabupaten

Kepulauan Selayar.

Tabel 5.3

Analisa Pengaruh sebelum di berikan psikoedukasi keluarga


terhadap tingkat stres keluarga dalam merawat pasien skizofrenia di
wialaya kerja puskesma bontosunggu kecamatan Bontoharu
Kabupaten Kepulauan Selayar

Kelompok N Median (Min – Selisih Nilai


Mak) p
Stres Setelah
Perlakuan 14 14.00 (13 – 15) -4,5 0,000
Kontrol 14 18.50 ( 17 -20)
Sumber:uji Mann Whitney,2023.

Dari tabel 5.3 di atas menunjukan bahwa median pada kelompok

perlakuan sebesar 14.00 sedangkan pada kelompok kontrol sebesar 18.50

dengan selisih perbedaan -4,5 . Hasil uji statistic menggunakan uji T

53
Mann whitney menunjukkan nilai p : 0,000 (P< 0,05). Menunjukkan Ho

ditolak sehingga dapat di simpulkan terdapat perbedaan pada kelompok

perlakuan dengan kelompok kontrol.

B. Pembahasan

Pada pembahasan ini membahas tentang hasil penelitian pengaruh

psikoedukasi keluarga terhadap tingkat stres keluarga dalam merawar

penderita skizofrenia di wilayah kerja puskesma bontosunggu kecamtan

bontoharu kabupaten kepulauan selayar.

1. Tingkat stres keluarga penderita skizofrenia

Berdasarkan hasil analisa univariat menunjukan Tingkat stres

untuk kelompok perlakuan pada stres sebelum yaitu responden yang

mengalami tingkat stres sedang sebanyak 13 responden (92.9%), stres

parah sebanyak 1 responden (7.1%) sedangkan pada stres setelah diberikan

intervensi mengalami penurunan yang signifikan yaitu responden yang

mengalami stres normal sebanyak 9 responden (64.3%). responden yang

mengalami stres ringan sebanyak 5 responden (35.7%). Untuk kelompok

kontrol pada stres sebelum yang mengalami tingkat stres yaitu stres

ringan sebanyak 7 responden (50.0%), responden yang mengalami stres

sedang sebanyak 7 responden (50.0%) sedangan untuk stres setelah

menunjukan responden tidak mengalami penurunan tingkat stres yaitu

54
stres ringan sebanyak 7 responden (50.0%), yang mengalami stres sedang

sebanyak 7 responden (50.0%).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Meidiana Dwidiyanti

(2021) yang menunjukan pada kelompok perlakuan sebelum dilakukan

intrvensi untuk tingkat stres sedang sebanyak 20 responden (80.00%),

setelah dilakukan intervensi di dapatkan dari hasil pengukuran tingkat

stres normal sebanyak 25 responden (100,0%). Kelompok kontrol sebelum

dilakukan intevensi di dapatkan hasil tingkat stres ringan sebanyak 17

responden (68,0%) dan stres sedang sebanyak 8 responden (32,0%).

Dari hasil yang di dapatkan diatas dapat di simbulkan bahwa pada

kelompok perlakukan terjadi perubahan yang signifikan di karenakan

diberikan intevensi sedangkan pada kelompok kontrol tidak terjadi

penurunan tingkat stres. Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan

terjadinya stres seperti usia, jenis kelamin dan pekerjaan. Persepsi stigma

yang negatif juga menjadi salah satu faktor tekanan psikologis yang dapat

dialami oleh keluarga dan memuculkan gelaja depresi. stigma yang

melekat dengan penyakit metal dapat mempersulit pemberian perawatan

pada keluarga karena terjadi peningkatan isolasi sosial dari keluarga,

kesulitan biaya pengobatan, kesulitan akses pendidikan atau pekerjaan

yang tidak sesuai dengan pendapatan.

Berdasarkan hasil analisis data menujukkan bahwa median untuk

kelompok perlakuan pada stres sebelum sebesar 20.00 dengan nilai

55
minimun 19 – maksimum 27 sedangkan pada stres setelah sebesar 14.00

dengan nilai minimun 13 – Maksimum 15. Untuk kelompok kontrol pada

stres sebelum sebesar 18.50 dengan nilai minimum 17 – Maksimum 20,

sedangkan pada stres setelah sebesar 18.00 dengan nilai minimum 17 –

maksimum 20.

Dengan hasil yang didapatkan diatas, dapat disimpulkan bahwa

terjadi penurunan median yang signifikan pada kelompok perlakuan

sebelum dan setelah diberikan psikoedukasi dan mendapatkan respon

positif yang diberikan oleh responden setelah dilakukan pemberian

psikoedukasi tersebut.

Stres merupakan keadaan dimana seseorang dapat mengalami

tekanan berlebih, tekanan yang biasanya dirasakan muncul karena tidak

seimbangnya pemenuhan kebutuhan atau keinginan. Stres yang dihadapi

oleh keluarga dengan adanya pasien gangguan jiwa ditunjukkan pada

perubahan waktu istirahat, perubahan nafsu makan, hilangnya ketertarikan

dalam menjalani liburan yang dulunya menyenangkan, dan terganggu

dalam melakukan ibadah. Oleh karena itu keluarga perlu mendapatkan

pertolongan agar dapat mencegah stres berkelanjutan, karena keluarga

merupakan populasi yang berisiko mengalami masalah kejiwaan (Tololiu

et al., 2018).

Keluarga yang tinggal bersama anggota keluarganya yang

mengalami gangguan jiwa biasanya sering menghadapi masalah dari

56
lingkungan sosialnya sehingga cenderung untuk melakukan isolasi sosial.

Selain itu keluarga juga dapat mengalami perasaan marah, sedih,

kehilangan nafsu makan dan paling parahnya dapat mengalami depresi.

perasaan takut, rasa bersalah, stigma dari masyarakat dan stres terkait

dengan tanggungjawab keuangan dalam merawat anggota keluarga yang

mengalami gangguan jiwa (Nasriati, 2020). Peneliti berpendapat bahwa

perubahan sifat yang terjadi di dalam suatu keluarga yang memiliki

anggota keluarga pengidap gangguan jiwa dikarenakan banyaknya stigma

yang diberikan oleh masyarakat termaksud lingkungan sekitarnya yang

memicu pemikiran-pemikiran negatif yang menyebabkan depresi dan pada

akhirnya mengalami stres baik itu ringan sampai stres berat atau parah.

Hasil dari penelitian di dapatkan berdasarkan karakteristik

responden berdasarkan umur, mayoritas umur berada pada rentan usia

lansia untuk kelompok perlakuan sebanyak 7 responden (50,0%)

sedangkan kelompok kontrol sebanyak 7 responden (50,0) dimana stres

ditemukan paling sering terjadi pada rentan usia >50 tahun, hal ini sejalan

dengan penelitian oleh (Tololiu et al., 2018) bahwa dalam penelitiannya

terdapat (29,2%) dari sampelnya dengan rentang umur > 45 tahun

mempunyai resiko mengalami stres lebih besar.

Berdasarkan karakteristik jenis kelamin di ketahui bahwa jenis

kelamin perempuan menjadi responden terbanyak dengan jumlah pada

kelompok perlakuan 13 (92,9%) sedangkan kelompok kontrol 5 (35,7%)

57
di banding laki-laki pada kelompok perlakuan hanya 1 (7,1%) sedangkan

kelompok kontrol 9 (64,3%). Dapat di simpulkan bahwa presentase

berdasarkan jenis kelamin yang mengalami stres terbanyak adalah

perempuan. Hal ini di dukung oleh penelitian (Meidiana Dwidiyanti,

Diyan yuli wijayanti,2020) menyatakan bahwa perempuan lebih banyak

memikirkan serta mengkhwatirkan banyak hal seperti terjadi pada anggota

kelurganya yang tidak dapat sembuh, peresaan terhadap keadaan anggota

keluarganya yang tidak menunjukkan perubahan atau tanda bahwa akan

membaik dan memikirkan biaya terhadap pengobatan dimana penderita

akan selalu ketegantungan dengan obat.

Dalam penelitian ini, peneliti berasumsi bahwa stres rentan terjadi

pada usia menengah dan atas, dikarenakan banyaknya faktor yang

mempengaruhi, seperti tuntutan pekerjaan, lingkungan , stigma masyarakat

masalah finansial dan beberapa hal lainnya yang menjadi pemicu,

menyebabkan perkembangan skala stres ini menjadi cepat dan sulit untuk

di antisipasi. Bertambahnya jumlah ODGJ setiap tahunnya menjadi bukti

bahwa stres bukanlah penyakit yang sepele dan harus dilakukan program

psikoedukasi keluarga secara menyeluruh baik itu yang mempunyai

anggota keluarga pengidap skizofrenia maupun yang tidak, guna

mengatasi dan mencegah perkembangan skala stres yang terjadi di sekitar

kita.

58
Berdasarkan tingkat pendidikan keluarga pada kelompok perlakuan

paling banyak adalah SD sebanyak 9 (64,3%) paling sedikit adalah

pendidikan S1 1 (7,1%) sedangkan pada kelompok kontrol SD sebanyak 5

(21,4%) paling sedikit adalah S1 sebanyak 2 (14,3%). sehingga dapat di

simpulkan bahwa kebanyakan responden yang mengalami stres berlatar

belakang pendidikan SD, Hal ini di dukung oleh penelitian yang dilakukan

oleh (Sius, 2021) bahwa pengetahuan berhubungan terhadap segala

sesuatu yang diketahui dimana dapat di peroleh dari proses pembelajaran,

pendidikan dan pengalaman hidup. Peneliti berasusmsi bahwa semakin

tinggi pendidikan seseorang maka semakin banyak pengetahuan yang di

milikir oleh seseorang sehingga penderita mendepatkan perawatan yang

maksimal dan penderita juga bisa mendapatkan pelayanan yang cepat dan

tepat.

2. Pengaruh psikoedukasi keluarga terhadap tingkat stres keluarga dalam

merawat penderita skizofrenia.

Berdasarkan hasil uji statistic dengan menggunakan uji mann-

whitney test terdapat perbedaan tingkat stres setelah diberikan intervensi

dimana nilai (p : 0,000 < 0,05). Dari hasil uji tersebut menunjukkan bahwa

terdapat pengaruh psikoedukasi dalam menurunkan tingkat stres dalam

merawat pasien skizofrenia. Nilai median pada kelompok perlakuan

sebesar 14.00 sedangkan pada kelompok kontrol sebesar 18.00 dengan

59
selisih perbedaan -4,0 yang berati bahwa terdapat penurunan stres pada

kelompok perlakuan setelah diberikan intervensi.

Hasil penelitian ini, sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

(Made et al., 2019). Yang berjudul Pengaruh Psikoedukasi keluarga

terhadap tingkat Stres keluarga dalam merawat orang dengan Gangguan

Jiwa

( ODGJ ) dirumah. Yang menunjukkan bahwa terdapat penurunan tingkat

stres sebelum dan setelah diberikan psikoedukasi.

Perubahan tingkat stres keluarga yang terjadi selain karena

intevensi yang diberikan juga diapat dipengaruhi oleh bebebrapa faktor

antara lain faktor usia, jenis kelamin, dan dukungan kerabat atau keluarga

lain, dimana usia 50-60 tahun mempunyai resiko stres yang lebih besar.

Latar belakang pendidikan SD, pada sebagian responden berpengaruh

terhadap tingkat stres yang dirasakan, dimana pengetahuan keluarga yang

merawat penderita sangat terbatas.

Tujuan dari psikoedukasi ini adalah untuk menambah pengetahuan

bagi individu dan keluarga sehingga diharapkan dapat menurunkan tingkat

kecemasan dan meningkatkan fungsi keluarga. Intervensi psikoedukasi

dapat meningkatkan pencapaian pengetahuan individu tentang penyakit,

mengajarkan bagaimana teknik pengajaran terhadap upaya membantu

dalam melindungi individu dengan mengetahui gejala-gejala perilaku dan

mendukung individu. (Fitri Firranda Nurmalisyah, 2018).

60
Psikoedukasi yang diberikan merupakan suatu wadah dalam

meningkatkan pengetahuan keluarga selama proses pengobatan penderita

skizofrenia. Psikoedukasi juga dapat meningkatkan kemampuan kognitif

dimana tetapi terebut mengandung unsur dalam meningkatkan

pengetahuan keluarga tetang penyakit, teknik dalam membantu keluarga

untuk mengetahui gejala-gelaja penyakit.

Peneliti berasumsi bahwa pemberian terapi psikoedukasi keluarga

ini, terbilang efektif dalam mengurangi tingkat stres yang dialami oleh

keluarga penderita skizofrenia. Target utama dari pemberian psikedukasi

ini ialah pengetahuan keluarga penderita skizofrenia, dalam hal ini

keluarga harus memiliki ilmu dan pengetahuan mengenai penanganan

yang meliputi cara dan langkah yang tepat dalam mengatasi penderita

skizofrenia, sehingga penderita mendapatkan perawatan yang membantu

dalam proses penyembuhan dan perlu diketahui bahwa keluarga adalah

komponen paling penting dalam merawat penderita skizofrenia.

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan maka penulis menarik

kesimpulan bahwa ada pengaruh signifikan antara pemberian psikoedukasi

terhadap tingkat stres keluarga dalam merawat penderita skizofrenia

diwilayah kerja puskesmas bontosunggu.

C. Keterbatasan Penelitian

Peneliti masih banyak menemukan keterbatasan penelitian :

61
Peneliti merupakan peneliti pemula, dimana banyak hal yang masih

harus dipelajari bersamaan dengan jalannya penelitian. Adanya beberapa

kendala yang ditemui seperti keluarga penderita yang takut dan ragu-ragu

dalam mengisi kuesioner, serta jarak rumah satu dengan yang lainnya

lumayan berjauhan, kemudian ada beberapa responden yang berdomisili di

pulau yang mengharuskan untuk menyebrangi lautan, hal ini juga

membutuhkan waktu yang cukup lama. Adapun keterbatasan tenaga dari

peneliti secara langsung maupun tidak langsung yang mempengaruhi hasil

penelitian seperti keterbatasan dalam berbahasa.

62
BAB 6

PENUTUP

A. Kesimpulan

Terapi psikoedukasi keluarga bermanfaat terhadap

1. Dari 28 responden dilakuan pengelompokan menjadi 2 kelompok.

kelompok perlakuan pada stres sebelum yaitu responden yang

mengalami tingkat stres sedang sebanyak 13 responden (46.4), stres

parah sebanyak 1 responden (3.6%), Untuk kelompok kontrol pada

stres sebelum menunjukan responden yang mengalami stres ringan

sebanyak 7 responden (25.0%), responden yang mengalami stres

sedang sebanyak 7 responden (25.0%).

2. Kelompok perlakuan pada stres sebelum dengan nilai median sebesar

20.00 dengan nilai minimun 19 – maksimum 27. Untuk kelompok

kontrol pada stres sebelum dengan nilai median sebesar 18.50 dengan

nilai minimum 17 – Maksimum 20.

3. Nilai Median setelah diberikan psikoedukasi pada kelompok

perlakuan sebesar 14.00 sedangkan pada kelompok kontrol sebesar

63
18.00 dengan selisih perbedaan -4,0 . Hasil uji statistic menggunakan

uji T Mann whitney menunjukkan nilai p : 0,000 (P< 0,05).

Menunjukkan Ho ditolak sehingga dapat di simpulkan terdapat

perbedaan pada kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol.

B. Saran

1. Bagi keluarga penderita skizofrenia

Keluarga dapat mengikuti serangkaian kegiatan psikoedukasi

keluarga da penyuluhan sebagai media penamban informasi dan

pengetahuan dalam merawat penderita skizofrenia dirumah.

2. Bagi pihak puskesmas Bontosunggu

Memberikan lebih banyak edukasi serta Mengadakan pelatihan

petugas kesehatan untuk membantu dalam upaya pemeberian

psikoedukasi terhadap keluarga penderita skizofrenia.

3. Bagi Mahasiswa

Untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian

lebih lanjut tentang faktor lain yang mempengaruhi tingkat stres

keluarga dalam merawat pasien skizofrenia.

64
65
1

Anda mungkin juga menyukai