Anda di halaman 1dari 20

HUBUNGAN SPRITUAL WELL BEING DENGAN

KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PASIEN SKIZOFRENIA


DI POLIKLINIK KESEHATAN JIWA RSUD
SULTAN IMANUDDIN PANGKALAN BUN

PROPOSAL PENELITIAN

MARTINA ROLAS DAME


21111AL

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BORNEO CENDEKIA MEDIKA
PANGKALAN BUN
2023

5
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan jiwa merupakan keadaan individu yang sanggup mengatasi
tekanan hidup, dapat bekerja secara produktif dan berperan dalam kehidupan
masyarakat, dapat secara mandiri menyadari kemampuannya, dan dapat
mengembangkanya baik secara fisik, mental, spiritual dan social. Salah satu
masalah kesehatan jiwa yang sering dialami pada masyarakat yang tidak
mampu menyelesaikan masalah hidupnya, bisa dapat mengakibatkan penyakit
jiwa yaitu skizofrenia.
Skizofrenia merupakan gangguan mental yang parah, ditandai oleh
distorsi dalam berpikir, persepsi, emosi, bahasa, rasa diri dan perilaku.
Pengalaman psikotik yang umum termasuk halusinasi (mendengar, melihat
atau merasakan hal-hal yang tidak ada) dan delusi (memperbaiki keyakinan
atau kecurigaan palsu yang dipegang teguh bahkan ketika ada bukti yang
bertentangan). Gangguan ini dapat mempersulit orang yang terkena dampak
untuk bekerja atau belajar secara normal (Masta, 2019).
Di seluruh dunia, skizofrenia dikaitkan dengan kecacatan yang cukup
besar dan dapat memengaruhi kinerja pendidikan dan pekerjaan. Skizofrenia
adalah gangguan mental kronis dan parah yang menyerang 20 juta orang di
seluruh dunia (WHO, 2019). Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 di
Indonesia terdapat skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak
1,7 per 1.000 penduduk (Depkes RI., 2019).
Provinsi Kalimantan Tengah menurut hasil Rikesdas (2018) terdapat
sebanyak 6.407 orang yang mengalami skizofrenia yang terbagi di berbagai
kabupaten yang ada di provensi kalimantan tengah, untuk Kabupaten
Kotawaringin Barat sendiri terdapat 741 Orang yang mengalami skizofrenia.
Sedangkan data pasien yang mengalami skizofrenia yang tercatat di RSUD
Sultan Imanuddin 3 Bulan Terakhir yaitu sebanyak ........

1
2

Skizofrenia adalah penyakit mental serius yang ditandai oleh pikiran yang
tidak koheren, perilaku aneh, ucapan aneh, dan halusinasi, seperti mendengar
suara (APA, 2020). Skizofrenia dapat diobati. Perawatan dengan obat-obatan
dan dukungan psikososial efektif. Fasilitasi hidup yang dibantu, perumahan
yang didukung dan pekerjaan yang didukung adalah strategi manajemen yang
efektif untuk orang dengan skizofrenia (WHO, 2019).
Skizofrenia ditandai dengan munculnya gejala positif dan gejala negatif.
Penatalaksanaan dibutuhkan untuk mengurangi dan mengendalikan gejala-
gejala yang muncul dengan pengobatan pada pasien skizofrenia (Hafifah,
dkk, 2018). Farmakoterapi merupakan salah satu penatalaksanaan dalam
penanganan skizofrenia dengan penggunaan obat-obat antipsikotik (Sutejo,
2018). Antipsikotik mempengaruhi kerja dopamin dan serotonin pada otak
sehingga dapat mencegah dan mengurangi munculnya gejala skizofrenia
(Kemenkes RI, 2019). Selain terapi farmakologi terapi non farmakologi juga
bisa diterapkan pada pasien skizofrenia salah satunya terapi aktivitas
kelompok. TAK sering digunakan dalam praktik kesehatan jiwa, bahkan saat
ini terapi aktivitas kelompok merupakan hal yang penting dari keterampilan
terapeutik dalam keperawatan (Keliat B.A, 2014). Penggunaan terapi
kelompok dalam praktek keperawatan jiwa akan memberikan dampak positif
dalam upaya pencegahan, pengobatan atau terapi serta pemulihan kesehatan.
Namun penatalaksanaan pada pasien skizofrenia baik dengan non
farmakolgi atau dengan farmakologi tidak akan maksimal jika pasien tidak
patuh dalam minum obat (Yudhantara & Istiqomah, 2018). Ketidakpatuhan
minum obat merupakan tantangan utama dalam pengobatan pasien
skizofrenia secara global karena untuk perawatan pasien skizofrenia
membutuhkan waktu yang cukup lama (Akter et al., 2019). Kepatuhan
minum obat merupakan hal utama yang bepengaruh pada keberhasilan
pengobatan dan kesembuhan pasien skizofrenia (Muliyani et al., 2020).
Ketidakpatuhan minum obat dapat berdampak pada risiko kekambuhan lebih
tinggi dibandingkan dengan pasien yang patuh, risiko lebih tinggi untuk rawat
inap, penurunan kualitas hidup dan kejadian bunuh diri. (Muliyani et al.,
2020).
3

Faktor- faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat termasuk pada


pasien skizofrenia di kategorikan menjadi faktor terkait pasien, faktor terkait
pengobatan dan faktor lingkungan (Abdel-Baki et al, 2012 dalam Tham et al.,
2018). Untuk membentengi kesehatan mental pada pasien skizofrenia hal lain
yang perlu diperhatikan yaitu aspek spiritual well-being. Spiritual well-being
adalah afirmasi hidup dalam berelasi dengan, diri sendiri, komunitas
lingkungan, dan Tuhan. Spiritual Well-Being merupakan indikasi kualitas
hidup seseorang dalam dimensi spiritual atau indikasi dari kesehatan
spiritualnya (Ellison, 1983; Bufford et al., 2018).
Orang yang memiliki spiritual well being yang baik dilihat dari situasi
sejauh mana dia memiliki relasi yang baik dengan diri sendiri, sesama,
lingkungan dan Tuhan. Masalah spiritual well being tidak hanya menyangkut
relasi dengan Tuhan atau Ilahi, tapi juga akumulasi relasi yang baik dan
harmonis dengan diri sendiri, sesama, dan lingkungannya.
Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk mengkaji
secara mendalam bagaimana Hubungan Spiritual well being Dengan
Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien Skizofrenia di Poliklinik Kesehatan
Jiwa RSUD Sultan Imanuddin Pangkalan Bun.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
masalah penelitian. Apakah ada Hubungan Spiritual well being Dengan
Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien Skizofrenia di Poliklinik Kesehatan
Jiwa RSUD Sultan Imanuddin Pangkalan Bun.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Mengetahui Hubungan Spiritual well being Dengan Kepatuhan Minum
Obat Pada Pasien Skizofrenia di Poliklinik Kesehatan Jiwa RSUD Sultan
Imanuddin Pangkalan Bun.
2. Tujuan Khusus
4

a. Mengidentifikasi Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien Skizofrenia


di Poliklinik Kesehatan Jiwa RSUD Sultan Imanuddin Pangkalan
Bun.
b. Mengidentifikasi Spiritual well being Pada Pasien Skizofrenia di
Poliklinik Kesehatan Jiwa RSUD Sultan Imanuddin Pangkalan Bun.
c. Menganalisis Hubungan Spiritual well being Dengan Kepatuhan
Minum Obat Pada Pasien Skizofrenia di Poliklinik Kesehatan Jiwa
RSUD Sultan Imanuddin Pangkalan Bun.

D. Manfaat Penelitian
1. Pasien dan Keluarga
Sebagai informasi untuk menambah pengetahuan pasien dan keluarga
tentang spritual well being terhadap kepatuhan minum obat pada pasien
skizofrenia.
2. Rumah Sakit
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bagi pelayanan
kesehatan yaitu Rumah Sakit terkait dengan pengetahuan spritual well
being guna meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit dalam mengatasi
ketidakpatuhan pasien skizofrenia untuk minum obat.
3. Institusi Pendidikan
Penelitian ini diharapkan memeberikan kontribusi bagi ilmu pengetahuan
bidang kesehatan khususnya terkait dengan upaya menurunkan
ketidakpatuhan pasien jiwa untuk minum obat.
4. Ilmu Keperawatan
Hasil dari penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan
tenaga kesehatan terutama perawat mengenai spiritual well being.
5. Peneliti Selanjutanya
Hasil dari penelitian dapat sebagai informasi pertama bagi peneliti yang
berminat melakukan penelitian yang serupa atau lanjutan.

E.
5

F. Keaslian Penelitian
Penulis/Tahun/ Perbedaan Dengan
No Metode Hasil Penelitian
Judul Yang Akan Diteliti
1 Sri Martini (2022) Penelitian ini adalah Hasil penelitian Variabel independen
Implementasi deskriptif dalam menunjukkan bahwa yaitu spiritual
Keperawatan bentuk studi kasus pasien mampu wellbeing dan
Terapi Spiritual untuk mengeksplorasi untuk mengontrol variabel dependen
Pada Pasien implementasi perilaku kekerasan kepatuhan minum
Skizofrenia dengan keperawatan spiritual dengan implementasi obat
Masalah healing di dari
Keperawatan pasien skizofrenia 1 strategi
Perilaku Kekerasan penyembuhan
spiritual
3 Fitria (2020) Penelitian ini Terdapat hubungan Variabel independen
Hubungan menggunakan metode kepatuhan minum yang digunakan
Kepatuhan Minum penelitian deskriptif obat dengan penulis yaitu spiritual
Obat Dengan analitik dengan kekambuhan pasien wellbeing
Kekambuhan rancangan cross skizofrenia
Pasien sectional study.
Skizofrenia Pengambilan sampel
menggunakan
purposive sampling

4 Fausia (2020) Penelitian deskriptif Terdapat hubungan Variabel independen


Hubungan Tingkat analitik dengan tingkat pengetahuan yang digunakan
Pengetahuan Rancangan cross keluarga dengan penulis yaitu spiritual
Keluarga Dengan sectional study. kepatuhan minum wellbeing
Kepatuhan Minum Pengambilan sampel obat pasien
Obat Pasien menggunakan skizofrenia
Skizofrenia purposive sampling
Di Poli Jiwa Rsud
Salewangan Maros
5 Kasihani (2019) Penelitian deskriptif Terdapat hubungan Variabel independen
Analisis Perilaku korelasional dengan pengetahuan yaitu spiritual
Spiritual Terhadap pendekatan cross spritualitas terhadap wellbeing dan
Penerapan Spritual sectional study penerapan variabel dependen
Pada Pasien Dengan pengambilan spritualitas pada kepatuhan minum
Gangguan Jiwa Di sampel menggunakan pasien obat
Rumah Sakit Jiwa teknik total sampling
Banda Aceh
6

8 Kadek (2018) Penelitian kuantitatif Terdapat Penelitian orang lain


Hubungan Antara dengan pendekatan Hubungan antara variabel dependen
Pemenuhan cross sectional pemenuhan yaitu tingkat status
Kebutuhan Dengan pengambilan kebutuhan spiritual mental pada odgj
Spiritual Dengan sampel dengan dengan tingkat status Sedangkan penulis
Tingkat Status menggunakan mental pada odgj variabel dependen
Mental Pada Orang purposive kepatuhan minum
Dengan Gangguan Sampling. Teknik obat
Jiwa pengolahan data
menggunakan teknik
spearman-rho

10 Angel (2018) Penelitian Terdapat hubungan Variabel independen


Hubungan menggunakan dukungan keluarga yang digunakan
Dukungan deskriptif analitik dengan kepatuhan penulis yaitu spiritual
Keluarga Dengan dengan pendekatan minum obat pasien wellbeing
Kepatuhan Minum Cross Sectional. skizofrenia
Obat Pasien Teknik
Skizofrenia pengambilan sampel
menggunakan simple
random sampling
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Spiritual well being


1. Pengertian Spiritual well being
Spiritual well being atau dikenal dengan kesejahteraan spiritual
berasal dari dua kata yaitu kesejahteraan dan spiritual. Berdasarkan
KBBI sejahtera juga mengandung pengertian aman sentosa, makmur,
serta selamat, terlepas dari berbagai gangguan. Spiritual dan religusitas
menempati tempat penting dalam kehidupan manusia sebagai motivasi
dan kekuatan harmonisasi. Spiritual adalah struktur multidimensional dan
telah dimanfaatkan dalam berbagai konteks seperti kebaikan spiritual dan
spiritual well being (Eksi & Kardas, 2017).
Spiritual well being mengacu pada kegembiraan akan rasa
menerima, emosi positif dan rasa interaksi positif dengan kekuatan
“superior”, dengan orang lain, diri sendiri dan dicapai melalui proses
kognitif, emosional dan interaksi yang dinamis dan terkoordinasi.
Spiritual well being merupakan inti dari kesehatan manusia dan yang
mendasari dimensi fisik, psikologis dan dimensi sosial serta
kesejahtaraan seseorang (Mansori et al, 2017).
Spiritual well being berfungsi sebagai koping dan dapat
meningkatkan lokus internal dalam mengendalikan situasi stres (Itsna,
2015). Spiritual well being diidentifikasikan melalui karakteristik seperti
stabilitas dalam kehidupan, kedamaian, rasa hubungan dekat dengan diri
sendiri, Tuhan, orang lain dan lingkungan, makna hidup serta tujuan
hidup (Mansori et al, 2017). Spiritual well being adalah keadaan yang
dirasakan seseorang dimana orang tersebut merasakan adanya kepuasan
yang berkaitan dengan Tuhan atau tujuan dan makna hidup.

7
8

2. Domain Spiritual well being


Domain spiritual well being merupakan, hal yang penting dalam
menilai perkembangan spiritual well being individu. Menurut Fisher
domain-domain tersebut yang memengaruhi spiritual well being pada
pengembangan beberapa hubungan dengan kesesuaian daerah
keberadaan individu (Firmansyah, 2018 : 5). Berikut merupakan domain
kesejahteraan spiritual, antara lain:
a. Hubungan dengan diri sendiri (domain personal), berkaitan dengan
diri sendiri, pencarian makna pribadi, pencarian tujuan dan nilai-nilai
kehidupan. Domain pribadi ini berkaitan dengan kesadaran diri,
yaitu kekuatan pendorong jiwa manusia untuk mencapai identitas
dan harga diri, aspeknya: makna, tujuan, nilai-nilai, kesadaran diri,
kegembiraan, perdamaian, kesabaran, identitas, dan nilai diri.
b. Hubungan dengan orang lain (domain communal) berupa kualitas
dan kemampuan interpersonalnya dengan tingkat kualitas lebih
mendalam, menjalin hubungan dengan orang lain, berkaitan dengan
moralitas dan budaya. Adanya kasih sayang, pengampunan,
kepercayaan, harapan dan kemampuan mengaktualisasikan iman
terhadap sesama, aspeknya: moral, kebudayaan, agama, kedalaman
hubungan antar personal, pemaaf, keadilan, cinta dan kepercayaan.
c. Hubungan dengan lingkungan (domain environmental), berupa
keterikatan terhadap lingkungan secara natural, kepuasan saat
mengalami pengalaman puncak (peak experience), menikmati
keindahan alam, kemampuan untuk memelihara lingkungan agar
dapat memberi manfaat terhadap sekitar, aspeknya: mempedulikan,
pekerjaan (mengurus), hubungan dengan alam, dan puncak
pengalaman yang menimbulkan kekaguman.
d. Hubungan dengan transenden (domain transcendental), kemampuan
untuk menjalin hubungan dengan pencipta, melibatkan iman,
pemujaan dan penyembahan terhadap realitas transenden yaitu
Tuhan. Ada kepercayaan (faith) terhadap Tuhan aspeknya:
kepentingan yang sangat pada transenden, kekuatan alam yang
9

mengacu pada rasa yang melampaui ruang dan waktu, kekhawatiran


yang sangat, keyakinan, penyembahan, dan ibadah (Kurniawati,
2015 : 143).
Gomez & Fisher menyebutkan spiritual well being adalah konsep
mengenai keadaan bawaan, ada unsur motivasi atau dorongan untuk
menemukan tujuan hidupnya, sifatnya dinamis dan subyektif serta
memusat pada sesuatu yang khas kemudian diyakini sebagai kebenaran
(Kurniawati, 2015). Spiritual well being merupakan individu yang dalam
kondisi makmur dari segala aspek, baik rohani, mental, keagamaan dll.
Dimensi spiritual well being personal, communal, environmemtal, dan
transcedental merupakan kunci bagi setiap individu dalam pencarian
makna dan tujuan hidup, sebab setiap domain memiliki keterikatan satu
dengan yang lain. Keharmonisan empat domain tersebut akan
memberikan individu kebahagiaan dan keselaran hidup.
Individu dikatakan sudah dalam keadaan sejahtera secara spiritual
apabila mencakup ke empat domain tersebut. Karena Keempat domain
yang telah dijelaskan di atas adalah hal yang sangat penting, domain-
domain tersebut merupakan komponen yang membangun spiritual well
being secara total dan utuh. ketika individu hanya memiliki domain
Transenden dan Personal maka individu dikatakan mengalami spiritual
dis-ease (penyakit spiritual) karena terisolasi dari masyarakat dan
meniadakan domain communal serta environmental (Sriwiyanti, 2015).

3. Manfaat Spiritual Well Being


Manfaat spiritual well being dalam kehidupan individu menurut
(Andika Priastana et al., 2016), yaitu memiliki rasa kepuasan terhadap
kehidupan, menjaga keseimbangan dan kontrol hidup, membangun
hubungan yang positif, memiliki makna dan tujuan dalam kehidupan,
memiliki kemampuan yang bersumber pada diri sendiri dengan kekuatan
yang lebih tinggi dari individu tersebut dan menerima adanya tantangan
dan perubahan dalam hidup. Meningkatnya spiritual well being pasien
10

akan memberikan manfaat seperti berkurangnya rasa sakit, meningkatkan


koping, meningkatkan kualitas hidup pasien (Wei et al., 2016).
4. Faktor yang mempengaruhi Spiritual Well Being
a. Usia
Faktor usia akan mempengaruhi spiritual well being hal tersebut
ditunjukkan dengan spiritualitas seseorang cenderung meningkat
seiring dengan bertambahnya usia. Semakin tua usia pasien, dimensi
transcendental lebih penting.
b. Jenis Kelamin
Penelitian yang dilakukan oleh (Lewis et al., 2014) menunjukan jika
spiritual well being antara pria dan wanita tidak ada perbedaan yang
signifikan tetapi skor spiritual well being wanita lebih tinggi
daripada skor spiritual well being pria.

5. Pengukuran Spiritual well being


Spiritualitas merupakan suatu kontruksi yang luas dengan
mencakup banyak unsur baik religius maupun non religius. Alat ukur
yang digunakan dalam mengukur spiritual well being beraneka ragam.
Terdapat tiga alat ukur yang digunakan dalam mengukur kesejahteraan
spiritual, yaitu :
a. The Spirituality Assesment Scale (SAS)
Alat ukur SAS dikembangkan dari perspektif keperawatan yang
dipandu oleh empat komponen kerangka spiritualitas termasuk
keterkaitan, sumber kekuatan, tujuan dan makna hidup serta
transendensi. SAS terdiri dari 28 item pertanyaan dengan
menggunakan 5 poin skala Linkert, di mulai dari pernyataan sangat
tidak setuju sampai sangat setuju (Lou, 2015).
b. The Functional Assessment of Chronic Illness Therapy–Spiritual
well being Scale (Facit-SP)
Alat ukur ini adalah ukuran yang paling umum digunakan untuk
spiritual well being dalam penelitian yang meneliti orang-orang yang
memiliki penyakit kronis. Facit-SP mengukur subjek keseluruhan
11

spiritual well being dan mencakup 2 subskala, yaitu makna /


kedamaian dan iman. Instrumen spiritual well being ini terdiri dari
12 item pertanyaan dengan skor total 0-44 (Hasegawa dkk., 2017).
c. Spiritual Well-Being Scale (SWBS)
Penggunaan SWBS untuk mengukur skala spiritual well being
banyak digunakan pada penelitian dalam konteks spiritual
(Chaiviboontham dkk., 2016). Pengukuran spiritual well being
menggunakan SWBS telah digunakan dalam berbagai penelitian
khususnya dibidang kesehatan. SWBS telah digunakan lebih dari
300 artikel yang diterbitkan dan 200 disertasi serta tesis (Paloutzian
dan Park, 2014). SWBS telah digunakan dalam penilaian untuk
mengeksplorasi dimensi spiritual dari keseluruhan kesehatan
individu dalam berbagai konteks, seperti mental, psikologis,
perawatan kesehatan fisik, praktik klinis, universitas dan kongregasi
(You dan Yoo, 2015).
Skala penilaian SWBS terdiri dari dua sub skala, yaitu mengukur
kesejahteraan religius (RWB) dan kesejahteraan eksistensial (EWB).
Sub skala EWB menghasilkan penilaian diri terhadap tujuan hidup
individu dan kepuasan hidup secara keseluruhan dan sub skala RWB
memberikan penilaian diri terhadap hubungan seseorang dengan
Tuhan (Chaiviboontham dkk., 2016). SWBS berisi 20 item, dimana
10 item menilai RWB dan 10 item menilai EWB (Soleimani dkk.,
2016). Skala SWBS menggunakan 6 poin skala Likert, dimulai dari
pernyataan “sangat tidak setuju” poin 1, “cukup tidak setuju” poin 2,
“tidak setuju” poin 3, “setuju” poin 4, “cukup setuju” poin 5, “sangat
setuju” point 6 dan skor tertinggi untuk skala SWBS adalah 120.
Klasifikasi skor menurut Abbasi dkk., (2014) adalah sebagai
berikut :
1) Skor 20-40 = spiritual well being rendah
2) Skor 41-99 = spiritual well being sedang
3) Skor 100-120 = spiritual well being tinggi
12
13

B. Konsep Kepatuhan Minum Obat


1. Pengertian Kepatuhan
Kepatuhan pada pasien menurut Sackett yaitu “sejauh mana
perilaku individu sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh petugas
kesehatan”. (Notoatmodjo, 2012) Kepatuhan adalah tingkat ketepatan
perilaku seorang individu dengan nasehat medis atau kesehatan dan
menggambarkan penggunaan obat sesuai dengan petunjuk pada resep
serta mencakup penggunaannya pada waktu yang benar.( Nursalam.
2011).
Kepatuhan adalah suatu istilah yang menggambaran penggunaan
obat sesuai dengan petunjuk obat ini mencakup penggunaanya pada
waktu yang benar dan mengikuti pembatasan makanan yang berlaku.
Perilaku kepatuhan pengobatan tergantung pada situasi klinis spesifik,
sifat alam penyakit dan program pengobatan. Kepatuhan minum obat
sendiri kembali pada kesesuaian penderita dengan rekomendasi pemberi
pelayanan yang berhubungandengan waktu, dosis dan frekuensi
pengobatan selama jangka waktu pengobatan yang dianjurkan.
Sebaliknya “ketekunan” mengau pada tindakan untuk melanjutkan
pengobatan dalam jangka waktu yang lebih panjang waktu penderita
mengambil obat, dibatasi oleh waktu antara dosis pertama dan terakhir
(Peterson dalam Agency For Healthcareb Research and uality, 2012).
Kepatuhan adalah tingkat perilaku pasien yang tertuju terhadap instruksi
atau petunjuk yang diberikan dalam bentuk terapi apapun yang
ditentukan, pengobatan atau menepati janji pertemuan dengan tenaga
kesehatan (Yuliantika. 2012).

2. Jenis Ketiakpatuhan
a. Ketidakpatuhan yang disengaja
Ketidakpatuhan yang disengaja dapat disebabkan oleh:
Keterbatasan biaya pengobatan, sikap apatis pasien dan
ketidakpercayaan pasien akan efektifitas obat
14

b. Ketidakpatuhan yang tidak disengaja


Ketidakpatuhan yang tidak disengaja dapat disebabkan oleh:
Pasien lupa minum obat, ketidakpatuhan akan petunjuk pengobatan
dan kesalahan dalam hal pembacaat etiket

3. Faktor penyebab Ketidakpatuhan Terhadap Pengobatan


a. Kurang pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan itu
b. Tidak mengertinya pasien tentang pentingnya mengikuti aturan
pengobatan yang ditetapkan sehubungan dengan prognosisnya
c. Sukarnya memperoleh obat itu dari luar rumah sakit
d. Mahalnya harga obat
e. Kurangnya perhatian dan kepedulian keluarga, yang mungkin
bertanggung jawab atas pembelian atau pemberian obat kepada
Pasien.
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Minum Obat
Menurut Niven (2012), faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan
dapat digolongkan menjadi empat bagian antara lain:
a. Penderita atau individu
1) Sikap atau motivasi pasien ingin sembuh
Sikap atau motivasi yang paling kuat adalah dalam diri individu
sendiri. Motivasi individu ingin tetap mempertahankan
kesehatannya untuk melaksanakan terapi secara patuh sangat
berpengaruh terhadap faktorfaktor yang berhubungan dengan
perilaku penderita dalam kepatuhan minum obat.
2) Keyakinan
Keyakinan merupakan dimensi spiritual yang dapat menjalani
kehidupan. Penderita yang berpegang teguh terhadap
keyakinannya akan memiliki jiwa yang tabah dan tidak mudah
putus asa serta dapat menerima keadaanya, demikian juga cara
berperilaku lebih baik. Kemauannya untuk melaksanakan
minum obat secara patuh dapat dipengaruhi oleh keyakinan
15

penderita, dimana penderita memiliki keyakinan yang kuat akan


lebih tabah terhadap anjuran dan larangan kalau tahu akibatnya.
b. Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga merupakan bagian dari penderita yang paling
dekat dan tidak dapat dipisahkan. Penderita akan akan merasa
senang dan tentram apabila mendapat perhatian dan dukungan dari
keluarganya. Karena dengan dukungan tersebut akan menimbulkan
kepercayaan dirinya untuk menghadapi dan mengelola penyakitnya
dengan lebih baik, serta penderita mau menuruti saran-saran yang
diberikan oleh keluarga untuk menunjang pengelohan penyakitnya.
c. Dukungan Sosial
Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota
keluarga lain merupakan faktor-faktor penting dalam kepatuhan
terhadap program-program medis. Keluarga dapat mengurangi
ansietas yang disebabkan oleh penyakit tertentu dan dapat
mengurangi godaan terhadap ketidakpatuhan minum obat.
d. Dukungan Petugas Kesehatan
Dukungan petugas kesehatan merupakan faktor lain yang dapat
mempengaruhi perilaku kepatuhan. Dukungan mereka berguna pada
pasien menghadapi bahwa perilaku sehat yang baru tersebut
merupakan hal penting. Begitu juga mereka dapat mempengaruhi
perilaku pasien dengan cara menyampaikan antusias mereka
terhadap tindakan tertentu dari pasien yang telah mampu beradaptasi
dengan programnya.

5. Pengukuran Kepatuhan Minum Obat


Menurut Niven (2012), pengukuran kepatuhan dikategorikan menjadi:
a. Patuh
Bila prilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh
petugas kesehatan. Pada keadaan ini penderita tidak hanya berobat
secara teratur sesuai batas yang diterapkan melainkan juga patuh
memakai obat secara teratur sesuai petunjuk dokter.
16

b. Tidak Patuh
Bila pasien menunjukkan ketidakpatuhan terhadap intruksi yang
diberikan sehingga obat yang diberikan habis sebelum waktunya dan
pasien yang putus obat atau tidak menggunakan obat sama sekali.

C. Konsep Skizofrenia
1. Pengertian Skizofrenia
Skizofrenia adalah suatu gangguan psikosis fungsional berupa
gangguan mental berulang yang ditandai dengan gejala-gejala psikotik
yang khas dan kemunduran fungsi social, fungsi kerja, dan perawatan
diri (Azizah, 2011). Skizofrenia adalah suatu bentuk psikosa
fungsional dengan gangguan utama pada proses fikir serta disharmoni
(keretakan, perpecahan) antara proses pikir, afek/emosi kamauan dan
psikomotor disertai distorsi kenyataan, terutama karena waham dan
halusinasi, asoisasi terbagi-bagi sehingga timbul inkoherens, afek dan
emosi perilaku bizar.
Skizoprenia merupakan bentuk psikosa yang banyak dijumpai
dimana-mana namun faktor penyebabnya belum dapat diidentifikasi
secara jelas. Kraepelin menyebut gangguan ini sebagai demensia
precox. (Azizah, 2016). Skizofrenia merupakan sekelompok gangguan
psikotik dengan gangguan dasar pada kepribadian, distorsi khas pada
proses pikir. Kadang-kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya
sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar (Ibrahim, 2011)

2. Tanda dan Gejala Skizofrenia


Secara umum, gejala -gejala yang umum pada penderita skizofrenia
adalah (Azizah, 2016) :
a. Muncul delusi dan halusinasi. Delusi adalah keyakinan /
pemikiran yang salah dan tidak sesuai dengan kenyataan, namun
tetap dipertahankan sekalipun dihadapkan pada cukup banyak
bukti mengenai pemikirannya yang salah tersebut. Delusi
biasanya muncul adalah bahwa penderita skizofrenia meyakini
17

bahwa dirinya adalah Tuhan, dewa, nabi, atau orang besar dan
penting. Sementara halusinasi adalah persepsi panca indera yang
tidak sesuai dengan kenyataan. Misalnya, penderita tampak
berbbicara sendiri tetapi ia mempersepsikan ada orang lain yang
sedang ia ajak bicara.
b. Kehilangan energi dan minat untuk menjalani aktivitas sehari-
hari, bersenang-senang, maupun aktivitas seksual, berbicara
hanya sedikit, gagal menjalin hubungan yang dekaat dengan
orang lain, tidak mampu memikirkan konsekuensi dari
tindakannya, menampilkan ekspresi emosi yang datar, atau 11
bahkan ekspresi emosi yang tidak sesuaai konteks (misalkan tiba-
tiba tertawa atau marah-marah tanpa sebab yang jelas).

3. Faktor faktor penyebab Skizofrenia


Skizofrenia bukanlah gangguan yang tunggal namun merupakan suatu
sindrom dengan banyak variasi dan banyak penyebab. Luana (2007)
dikutip dari Prabowo (2014) menjelaskan penyebab dari skizofrenia
dalam model diatesis- stress, bahwa skizofrenia timbul akibat faktor
psikososial dan lingkungan. Dibawah ini pengelompokan penyebab
skizofrenia, yakni :
a. Faktor Biologis
1) Komplikasi Kelahiran
Bayi laki-laki yang mengalami komplikasi saat dilahirkan
sering mengalami skizofrenia, hipoksia perinatal akan
meningkatkan kerentanan seseorang terhadap skizofrenia.
2) Infeksi
Perubahan anatomi pada susunan syaraf pusat akibat infeksi
virus pernah dilaporkan pada orang dengan skizofrenia.
Penelitian mengatakan bahwa terpapar infeksi virus pada
trimester kedua kehamilan akan meningkatkan seseorang
menjadi skizofrenia.
18

3) Hipotesis dopamin
Dopamin merupakan neurotransmiter pertama yang
berkontribusi terhadap gejala skizofrenia. Hampir semua obat
antipsikotik bsik tipikal maupun antipikal menyekat reseptor
dopamin D2, dengan terhalangnya transmisi sinyal di sistem
dopaminergik maka gejala psikotik diredakan. Berdassarkan
pengamatan di atas dikemukakan bahwa gejala-gejala
skizofrenia disebabkan oleh hiperaktifitas sistem
dopaminergik.
4) Hipotesis serotonin
Serotonin berperan pada skizofrenia karena oba antipsikotik
atipika clozapine yang ternyata mempunyai afinitas terhadap
reseptor serotonin yang lebih tinggi daripada reseptor
dopamine. Serotonin berperan pada skizofrenia karena obat
antipsikotik atipika clozapine yang ternyata mempunyai
afinitas terhadap reseptor serotonin yang lebih tinggi
daripada reseptor dopamine.
5) Struktur Otak
Daerah otak yang mendapatkan banyak perhatian adalah
sistem limbik dan ganglia basalis. Otak pada penderita
skizofrenia terlihat sedikit berbeda dengan orang normal,
ventrikel terlihat melebar, penurunan massa abu- abu dan
beberapa area terjadi peningkatan maupun penurunan
aktifitas metabolik. Pemeriksaan mikroskopis dan jaringan
otak ditentukan sedikit perubahan dalam distribusi sel otak
yang timbul pada masa prenatal karena tidak ditentukannya
sel gila, biasa timbul pada trauma otak setelah lahir.
b. Faktor Genetika
Para ilmuwan sudah lama mengetahui bahwa skizofrenia
diturunkan, 1% dari populasi umum tetapi 10% pada masyarakat
yang mempunyai hubungan derajat pertama seperti orang tua,
kakak laki-laki ataupun perempuan dengan skizofrenia.
19

Masyarakat yang mempunyai hubungan derajat ke dua seperti


paman, bibi, kakek/nenek dan sepupu dikatakan lebih sering
dibandingkan populasi umum. Kembar identik 40% sampai 65%
berpeluang menderita skizofrenia sedangkan kembar dizigotik
12%. Anak dan kedua orang tua yang skizofrenia berpeluang 40%
satu orang tua 12%. Sebagai ringkasan hingga sekarang kita
belum mengetahui dasar penyebab skizofrenia. Dapat dikatakan
bahwa faktor keturunan mempunyai pengaruh/faktor yang
mempercepat yang menjadikan manifestasi/faktor pencetus
seperti penyakit badaniah/stress psikologis.
c. Faktor Psikologis
Faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pikiran,
keyakinan, opini yang salah, ketidakmampuan membina,
mempertahankan hubungan sosial, adanya delusi dan halusinasi
yang abnormal dan gangguan afektif.
d. Faktor Lingkungan
Seseorang yang diasuh dengan keluarga yang menderita
skizofrenia , adopsi keluarga skizofrenia, tuntutan hidup yang
tinggi akan meningkatkan kerentanan penyakit skizofrenia.

Anda mungkin juga menyukai