Oleh :
Riska Mukarromah
17040284044
2017 C
S1 PENDIDIKAN SEJARAH
Segala puji dan syukur, saya sebagai penulis haturkan ke hadirat Allah SWT yang
senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta sholawat dan salam kepada Nabi
Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan review dan analisis buku
dengan judul “Gerakan Perlawanan Buruh (Gagasan Politik dan Pengembangan Buruh Pra
Reformasi)”. Tujuan penulisan laporan dan analisis ini adalah untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh nilai akhir dalam Ujian Akhir Semester 6 penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam
proses penyusunan laporan review dan analisis ini khususnya kepada dosen pengampu mata
kuliah Sejarah Sosial ini, yaitu Thomas Nugroho Aji, S.IP., M.Si. yang bersedia mengarahkan
saya dalam penyusunan laporan analisis ini.
Saya berharap agar laporan review dan analisis yang telah saya susun ini dapat
memberikan inspirasi bagi pembaca dan penulis yang lain untuk lebih dalam lagi mengenal dan
mempelajari sejarah. Saya juga berharap agar laporan review dan analisis buku ini menjadi acuan
yang baik dan berkualitas. Akhirnya penulis berharap semoga apa yang telah penulis selesaikan
ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
Penulis
GERAKAN PERLAWANAN BURUH
Pasca turbulensi politik 1998-1999, ia lalu dikenal sebagai aktivis gerakan melawan
militerisme. Munir menjadi pionir yang menyuarakan reformasi militer di tengah rezim yang
represif dimana hampir semua orang memilih untuk diam dan tidak berani menyuarakan
kebenaran. Ia dengan lantang menyuarakan agar anggota militer yang terlibat pidana umum
untuk diadili di peradilan sipil. Menurut Munir, peradilan militer menjadi sarana impunitas
karena ketika aparat militer melakukan tindak pidana umum dan diadili sanksi yang diterapkan
tidak setimpal dengan kejahatan yang dilakukan.Buku ini menceritakan perjuangan Munir yang
tak kenal lelah bergelut di dunia HAM. Munir sendiri adalah mantan aktivis mahasiswa dan
terobsesi oleh lahirnya gerakan mahasiswa. Munir memang berpartisipasi aktif dalam forum-
forum mahasiswa selagi belajar di kampus Brawijaya. Dari pengalaman itulah, Munir percaya,
mahasiswa adalah aktor yang sangat penting dalam mendorong perubahan. Ia tak terlalu yakin
bahwa setiap norma, teori atau masalah yang dipelajari mahasiswa di kelas akan benar-benar
tercermin dalam realitas. Ini sebabnya ia terkadang ikut menentukan bentuk partisipasi
mahasiswa yang bekerja bersamanya.
Dalam Buku ini, Munir menyebutkan Gerakan Buruh adalah Sebuah Produk Kebijakan
Politik yang dapat dikenali dalam dua bentuk orientasi, yaitu gerakan kepentingan ekonomi
praktis yang berorientasi untuk memperjuangkan kesejahteraan berkutat pada sasaran yang
pendek atau pragmatis sebagai persepsi dari para pekerja kasar (blue collar) tentang
kesempatannya yang terbatas dalam pasaran kerja dan gerakan politis yang berorientasi untuk
menaikkan posisi tawar buruh dalam sistem dan berupaya dalam ikut serta menentukan system.
Tetapi corak gerakannya juga ditentukan oleh kepentingan dan konteks dimana gerakan tersebut
terjadi. Penulis mengimbangi penjelasannya dengan mencantumkan paradigma atau sudut
pandang dari Adolf Sturmthal mengenai gerakan buruh yang harusnya diletakkan di factor
kontekstual beserta contoh perbandingan gerakan buruh dari beberapa Negara untuk
mempermudah pembaca memahami maksud dari gerakan buruh, permasalahan mengenai
gerakan buruh yang tidak hanya terjadi di Negara ini, factor penyebab maupun proses atau
output dari proses tersebut dijelaskan rinci oleh penulis, seperti kebijakan buruh di Filipina dan
Amerika Latin ( Chili, Brazil, Colombia). Menurut Munir, berbagai produk hukum yang
dikeluarkan pemerintah sebagai ekspresi Negara terhadap orientasi pembangunan serta
bagaimana mekanisme hubungan industrial ditempatkan bahwa gerakan buruh adalah bentuk
gerakan yang muncul sebagai respon dari kebijakan politik dan ekonomi yang dikembangkan
baik yang terjadi sebelum tahun 1973 maupun setelah kebijakan organisasi buruh tunggal
dikeluarkan. Bagaimana kompleksnya sejarah awal mula terbentuk atau munculnya pergerakan
buruh di Indonesia baik yang terorientasi dalam bentuk tindakan serikat buruh (sebelum tahun
1973) maupun aksi pemogokan buruh yang bersifat aksi komunitas pabrik yang muncul dari
kebijakan politik dan ekonomi yang dikembangkan negara (produk yang ditawarkan negara), ex.
Pemogokan buruh tani dengan tindak kekerasan tahun 1882 di Jogjakarta. Bagaimana organisasi-
organisasi/ serikat buruh mulai terbentuk dimulai pada tahun 1905 dengan mulai terbentuknya
Perserikatan Pegawai Kereta Api dan Trem. Berlanjut dengan tahun 1910(masa Hindia Belanda)-
1920 yang menurut Takashi Siraishi sebagai tahun pemogokan yang memiliki andil besar dalam
memunculkan kesadaran bahwa organisasi menjadi lembaga modern yang bisa menjadi alat
perjuangan politik dan social ekonomi sehingga melatih rakyat sadar untuk berorganisasi, dan
dilanjut dengan tahun tahun pembentukan gerakan buruh berikutnya baik mulai dari tahun 1912
hingga sesudah kemerdekaan. Penulis juga menunjukkan bagaimana kompleksnya masalah-
masalah yang muncul dalam proses perkembangan gerakan buruh tersebut, serta bagaimana
perpecahan serikat tersebut akibat kondisi saat itu (partai politik, pemerintah colonial dan
pemerintah orde baru) sehingga gerakan buruh mulai bervariasi pola dan orientasi gerakannya.
Tidak lupa Munir juga memberi contoh bagaimana politik nasional (pemerintah) dan global serta
peranan Negara superpower dalam mengatasi gerakan buruh. Munir menjelaskan ada 3 cara
memahami gerakan buruh, pertama yaitu terletak pada modal dan wawasan politik pembangunan
ekonomi, kedua yaitu permasalahan demografi dan mobilitas penduduk, dan terakhir adalah
bagaimana watak, pola, orientasi serta bentuk gerakannya. Sebagai contoh, pemogokan buruh di
Medan yang melibatkan 25.000 buruh dari 42 perusahaan yang dilahirkan dari ketidakpuasan
terhadap kondisi kerja yang jelek, tekanan yang terus berlangsung dan harapan perbaikan mutru
yang tidak kunjung terlaksana menyebabkan kelompok buruh membentuk diri sebagai gerakan
berorientasi ekonomis.
Munir juga menyebutkan bahwa pada tahun 1991-1995 jumlah kasus perselisihan
perburuhan meningkat tajam. Di Jawa Timur, pada tahun 1991 mencapai 52 kali, tahun 1991
mencapai 120 kali, tahun 1993 mencapai 153 kali dan tahun 1995 hingga September mencapai
121 kali pemogokan, dimana meningkatnya unjuk rasa tersebut sebagai tuntutan yang terjadi
akibat pelecehan hak-hak normative buruh. Munir juga menjelaskan secara gamblang mengenai
ketidakadilan dalam dunia pembangunan terutama yang berimbas besar terhadap kesejahteraan
para buruh atau pekerja sehingga muncul beberapa kasus seperti pemogokan buruh, unjuk rasa,
dll. Berikut beserta pasal-pasal dalam UU untuk melindungi buruh baik yang bertentangan
maupun tidak. Dan bagaimana pada saat itu peraturan-peraturan terkait syarat mendirikan
organisasi buruh yang dikeluarkan Menteri Tenaga Kerja dinilai terlalu posesif dan jelas untuk
mencegah terbentuknya organisasi buruh selain SPSI. Bahkan SPSI berada dalam control penuh
Negara baik dalam hal pengendalian kepemimpinan dan dana organisasi. Peraturan yang
dikeluarkan pemerintah tentang serikat buruh membuat buruh tidak memiliki kemerdekaan
berorganisasi dan tidak sesuai dengan Konvensi ILO No. 98 tahun 1949 yang menjelaskan
seberapa besar buruh mendapat kebebasan memilih dan menentukan gerak organisasi. Munir
menilai Pemerintah terlalu ikut campur atau mengatur dalam urusan organisasi buruh. Tapi di
lain sisi, para pengurus organisasi menikmati ketentuan tersebut dan menganggapnya sebagai
bentuk proteksi terhadap tuntutan kemerdekaan berorganisasi bagi buruh. Munir juga
menceritakan mengenai konflik konflik internal maupun eksternal dalam SPSI hingga akhirnya
pada tahun 1993 dan setelahnya ada beberapa perubahan dalam SPSI yaitu SPSI diubah menjadi
Federasi Pekerja Seluruh Indonesia(FPSI) yang melahirkan 13 serikat buruh sektoral, perubahan
spesialisasi bidang dan perubahan pada para elitis SPSI(bagaimana budaya konsensus telah
membenarkan adanya campur tangan pengusaha dalam peraturan organisasi buruh sejak FBSI
lahir yangmana dilahirkan dari kalangan elit organisasi sehingga menggiring serikat buruh ke
jalan monoloyalitas organisasi dan menghambat hak buruh untuk berorganisasi. Penulis
menjelaskan juga mengenai pemahaman masyarakat yang masih menjunjung tinggi paternalis
dan dampaknya bagi buruh)
Muncul pertanyaan dalam diri penulis tentang perubahan tersebut. Apakah ini memang
diperuntukkan bagi perbaikan pengakuan hak berorganisasi buruh atau hanya ganti baju semata?
apakah keadaan ini memungkinkan munculnya serikat buruh baru?dengan kondisi yang
independen dan otonom sehingga dapat menjadi pilihan bagi buruh?atau justru sebaliknya?
jangan-jangan kondisi ini tidak lebih dari sebatas spesialisasi bidang dalam penampilan
organisasi? Menurut Munir, perubahan ini malah menjadikan serikat buruh unitaris dengan
system internal organisasi presidium berdasarkan industry. Akhirnya, dapat dikatakan buruh
tetap saja tidak memiliki “pilihan lain”. Munir menyampaikan pendapatnya mengenai
keterbatasan hak berorganisasi buruh dalam akhir pembahasan.
Buku ini adalah kumpulan pemikiran dan kritik Munir atas ketidakadilan yang diterima
dan dirasakan buruh pada masa Orde baru berupa politik perburuhan, salah satunya adalah Kritik
Munir terhadap system pengupahan buruh. Munir menganalisis dan mengkritik politik
perburuhan yang dijalankan oleh pemerintahan Orde Baru. Permasalahan permasalahan yang
muncul dalam pengupahan, diantaranya kelayakan standar UMR yang menurut Munir setelah
disesuaikan dengan data-data dan kondisi saat itu termasuk tidak layak, kesenjangan
pengupahan, dan permasalahan UMR dan SDM. Pada awal tahun 1995 pemerintah menaikkan
UMR di semua propinsi. Di Jatim, UMR naik sebesar 20% menjadi Rp. 3.700. Kebijakan-
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk politik perburuhan mendapat beberapa kritik.
Salah satu kebijakan yang dikritik oleh Munir adalah pengupahan yang dianggap hanya
sebatas caritas atas pengabdian kerja dan kebutuhan hidup minimal. Munir melihat bahwa model
pengupahan demikian mengabaikan peran dan pandangan buruh terhadap seberapa besar
penghasilan yang seharusnya mereka peroleh, bagaimana hubungan penghasilan (upah) buruh
dengan manajemen industri, dan perkembangan industri yang bersangkutan, serta dimensi upah
buruh dan haknya atas perkembangan modal. Kebijakan upah minimum yang dilegitimasi oleh
negara dengan peraturan perundangan-undangan saat itu cenderung menyengsarakan buruh. Ada
beberapa kritik Munir terhadap kebijakan itu. Pertama, standar penentuan upah minimum
regional (UMR) yang menggunakan ukuran kebutuhan fisik minimum (KFM) yang ditentukan
pada 1956 itu sebenarnya sudah tidak layak karena pendapatan perkapita pd tahun 1956 hanya
sebesar 60s/d 70$, Kedua, kenaikan UMR yang diberlakukan saat itu tidak ada korelasi dengan
kenaikan kemampuan industri secara riil untuk dapat meningkatkan besar upah buruhnya.
Ketiga, politik pengupahan tidak dapat menjangkau masalah kesenjangan upah yang sangat
meluas. Keempat, tidak ada keikutsertaan buruh dalam penentuan besaran upah. Terakhir,
kenaikan UMR tidak mendukung integrasinya dengan paradigma pembangunan sumber daya
manusia.
Bagi Munir, konsep upah minimum yang demikian justru menjadikan hubungan langsung
antara buruh dan pengusaha atau pemodal semakin jauh dan menciptakan permasalahan yang
semakin kompleks. Pemerintah sebagai mesin kebijakan politik perburuhan yang
menyengsarakan. Hal itu berakibat pada konsepsi bahwa permasalahan pengupahan menjadi
semata-mata permasalahan hukum dan administrasi antara pengusaha dan alat-alat negara.
Proses itu diperkuat dengan mekanisme pengupahan yang tidak melibatkan buruh dalam
menentukan besaran upah buruh sehingga tidak ada proses tawar-menawar antara buruh dan
pengusaha secara langsung. Dalam konteks tersebut, upah bukan lagi ditentukan oleh hasil kerja
dan kemampuan industri untuk membayar upah buruh, melainkan menjadi semacam hubungan
belas kasihan dari pengusaha kepada buruhnya. Hal itu dapat dilihat dari nilai UMR yang hanya
seharga 21% dari tingkat produktivitas buruh. Sementara itu, 75% produktivitas buruh, yang
seharusnya kembali dalam benuk pengupahan, justru hilang dan dinikmati oleh pengusaha.
Dengan angka itu, upah yang diterima buruh hanya mampu mencukupi 37,5% rata-rata
kebutuhan riil buruh. Munir mencontohkan UMR di Jawa Timur pada 2005 yang sebesar Rp.
3.700 merupakan 21% dari angka produktivitas kerja buruh. Upah buruh seharusnya
menggunakan standar produktivitas, yaitu sebesar Rp. 16.000. Namun, realitas hak buruh atas
produktivitasnya hilang dan berputar di elite perusahaan sebesar Rp. 12.300. Munir menegaskan
bahwa politik perburuhan, khususnya politik pengupahan, seharusnya mampu menjangkau
peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) buruh dan anak-anak mereka. Pengembangan
SDM itu meliputi peningkatan skill, knowledge, dan atitude. Hal itu diharapkan dapat
meningkatkan produktivitas buruh. Politik pengupahan seharusnya memiliki visi untuk
menyelamatkan SDM puluhan tahun mendatang. Namun, dengan upah yang sangat rendah, yang
hanya mampu mencukupi kurang dari setengah kebutuhan buruh, sangat mustahil bagi buruh
untuk memperoleh kualitas hidup yang layak, jauh dari kemampuan meningkatkan daya beli
buruh untuk meningkatkan mutu hidup buruh. Kebutuhan pemenuhan nutrisi, mutu tempat
tinggal, pendidikan, dan kesehatan sebagai salah satu penentu kualitas SDM hanya dapat
diperoleh dengan upah yang layak.
Munir juga menjelaskan secara rinci tentang potongan upah terhadap buruh wanita, cuti
haid, dan rancangan atau peraturan pengupahan buruh yang merugikan buruh wanita. Munir
mencatat rasio perbandingan upah buruh laki-laki dan perempuan dalam sektor produksi pada
1990 adalah 100:43 untuk industri makanan, minuman, dan tembakau. Sementara itu, rasio
perbandingan 100:82 untuk industri tekstil, pakaian jadi, dan kulit. Diskriminasi pengupahan
tersebut diperparah dengan dasar penentuan upah buruh yang bias gender. Penentuan upah
minimum didasarkan pada KFM yang bias gender. KFM berpijak pada asumsi bahwa buruh
adalah laki-laki dengan hitungan hidup melajang dan standar hidup yang serba minimal.
Bagaimana dengan kebutuhan buruh yang sudah berkeluarga, baik laki-laki maupun perempuan.
Kebutuhan-kebutuhan yang khas perempuan tidak tergambarkan dalam penentuan KFM. Munir
mengilustrasikan kondisi itu dengan mencontohkan komponen pakaian. Ketika seorang buruh
perempuan menerima upah 100% KFM, buruh perempuan tidak mampu membeli BH dalam satu
tahun bekerja, juga tidak mampu membeli pembalut karena tidak tercantum dalam KFM pada
komponen pakaian. Ini adalah kebutuhan-kebutuhan khas perempuan yang tidak dimiliki oleh
laki-laki. Buruh pun semakin sengsara. Bukan hanya bias gender, kesenjangan pengupahan juga
terlihat sangat lebar Antara white collar labour dan blue collar labour. Buruh pada level bawah
justru mensubsidi upah pekerja pada level manajer. Munir mencatat kesenjangan pengupahan
buruh pada level terbawah dengan upah tertinggi sebesar 1 banding 200 sampai 250. Hal itu pula
semakin menunjukkan eksploitasi buruh di level bawah.
Pada era “pembangunan” Orde Baru, di bawah Presiden Soeharto, kebebasan berserikat
dibatasi sedemikian rupa hingga hanya ada satu organisasi buruh sebagai wadah tunggal, yakni
Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Control atas kegiatan buruh hamper tak terbatas
melalui intervensi militer, terutama kegiatan keserikatan diluar pabrik, bahkan dalam
pereundingan Antara buruh dan majikan. Militer dilibatkan secara aktif untuk menangani
konflik-konflik industrial, hukum digunakan sebagai alat untuk menakut-nakuti buruh yang
bergerak dan berpartisipasi. Pendekatan keamanan dilakukan dengan politik kekerasan dan usaha
sistematis bersifat represif untuk memperkecil kemampuan korektif. Buruh dibungkam dan
ditundukkan untuk memuluskan pembangunan ekonomi dan industri. Industrialisasi yang
berorientasi pada peningkatan ekspor berdampak buruk pada buruh. Pada fase tersebut,
pemerintah gencar mempromosikan buruh murah untuk menarik investasi. Upaya itu menuai
hasil. Ekspor Indonesia mencapai sekitar 60% sampai 70% yang berasal dari industri ekspor
padat karya, seperti industri pakaian jadi, sepatu, dan elektronik. Menurut Munir, hal itu
berdampak pada golongan buruh yang hanya diposisikan sebagai “bahan bakar” lokomotif
negara dalam produksi. Secara politik, buruh dijadikan massa pengamanan bangunan
industrialisasi. Kaum buruh benar-benar dalam posisi tidak berdaya menghadapi himpitan negara
dan pengusaha. Politik perburuhan ini mencapai klimaks pada tahun 1986. Di akhir pembahasan,
Munir menyatakan pendapatnya mengenai perbaikan kebijakan yang harus diubah demi
melindungi dan buruh wanita. Salah satunya adalah perombakan standar KFM dan KHM sebagai
pertimbangan besaran upah minimum saat ini.
Sesuai dengan penjelasan Munir, jika pada tahun 60-an dan awal masa Orde Baru
pemerintah membuat kebijakan perburuhan yang melarang buruh untuk melakukan pemogokan
kerja, berbeda dengan tahun 80-an dimana larangan mogok telah dihapus tetapi diganti dengan
kebijakan meminimalisir partisipasi buruh dalam hal berunding yang dilakukan melalui beberapa
cara seperti hak berorganisasi dikurangi melalui penunggalan organisasi, pendekatan keamanan,
dan pemudahan pemutusan hubungan kerja buruh.
Salah satu bagian menarik dari kumpulan pemikiran Munir ini adalah refleksinya
tentang pemikiran buruh Surtinah, salah seorang buruh pabrik sepatu di Tandes, Surabaya, yang
kasusnya pernah diadvokasi oleh Munir. Pada suatu Jumat Kliwon, Surtinah membuat janji
dengan beberapa kawan untuk kembali berdiskusi tentang sesuatu yang masih sulit
dibayangkan dalam angan-angan kehidupan layak, yaitu UMR, hak berorganisasi, dan tetek
bengeknya. Sambil menunggu kedatangan kawan buruh lainnya, Kanto, teman kerja Surtinah,
mengajukan pertanyaan kepada Surtinah.
“Tidak, tidak sama sekali, ini semua perbuatan manusia, dan kita ini adalah terompah dari semua
itu.”
“O.. kalau begitu, yang membuat kita begini ini salah nama toh?”
“Hus... Bukan begitu! Maksudku, sejak kita lahir, memang kita tidak banyak diberikan pilihan.
Apakah sampean pernah usul nama? Kan, enggak. Usul akan lahir di keluarga yang melarat?
Kan, enggak! Itu kan kenyataan.”“Kalau begitu, posisi buruh itu kenyataan yang berarti tidak
berubah.”“Begini, Kang. Kalau nama memang aku tidak ikut menentukan. Lahir dan menjadi
anak dari Pak Susanto dan Mbok Bawon, aku juga tidak ikut menentukan karena itu di luar
kemampuanku. Tapi, buruk kan sebenarnya bukan disebabkan nama, tapi posisi. Setiap hari, kita
ada dan menjadi satu di dalamnya. Kita sekarang sudah bisa berpikir, berkehendak, menentukan
yang baik dan yang buruk, yang sah dan yang tidak sah, yang curang dan yang tidak curang ,
yang menghisap dan tidak, mana hak kita dan bukan. Masalahnya sekarang , kita ini dipaksakan
untuk menerima buruh sebagai nasib, sementara hal-hal yang sebenarnya bisa membuat
berubah posisi buruh dihilangkan oleh mereka yang membutuhkan terompah tadi. Jadi,
jelas bedanya, antara Surtinah dan buruh, Surtinah ada seperti ini memang adanya, sedangkan
buruh dibuat seperti itu adanya.”
Selain Surtinah, ada satu buruh perempuan lagi yang kasusnya juga diadvokasi
oleh Munir, yaitu Marsinah. Marsinah merupakan buruh pabrik PT Catur Putra Surya di Jawa
Timur. Ia dibunuh karena menuntut kenaikan upah buruh di pabrik tempatnya bekerja. Sengketa
upah dilatarbelakangi oleh Surat Edaran Gubernur K DH Tingkat I Jawa Timur No. 50
Tahun 1972 tentang imbauan kepada pengusaha agar meningkatkan kesejahteraan karyawan
dengan memberikan kenaikan upah sebesar 20 persen dari gaji pokok. Para pengusaha Jawa
Timur termasuk PT Catur Putra Surya keberatan atas kebijakan gubernur itu karena akan
membebani pengeluaran perusahaan. Marsinah dan aktivis buruh PT Catur Putra Surya
melakukan unjuk rasa karena sikap perusahaan yang tidak kooperatif dan tidak memedulikan
surat edaran gubernur itu. Mereka menuntut perusahaan menaikkan upah mereka dari
Rp1.700 menjadi Rp2.250 per hari. A ksi itu memakan korban, Marsinah diculik dan dibunuh.
Menurut Munir, permasalahan buruh perempuan yang paling krusial adalah standar
perekrutannya sangat bias gender. Buruh perempuan dianggap mendukung pengamanan dan
produktivitas pabrik kapitalistik yang bersifat eksploitatif. Asumsinya, buruh perempuan
adalah kelompok masyarakat yang telah disiapkan untuk menerima pekerjaan dengan batas-
batas toleransi yang tinggi terhadap tekanan dan eksploitasi. Munir meyakini, dalam posisi
tawar buruh yang begitu rendah, manajemen yang menekan ditambah faktor tidak
terorganisasinya kelompok buruh perempuan, bahaya pelecehan seksual dan eksploitasi
terhadap mereka berlangsung terus.
KELEBIHAN :
KEKURANGAN :
Beberapa istilah asing atau kata yang susah dipahami, yang masih awam bagi pembaca.
Kurangnya penjelasan terkait istilah-istilah asing tersebut yang menjadikan pembaca merasa
bingung KESIMPULAN :
Buku ini adalah kumpulan pemikiran sang penulis, yakni Munir selaku pejuang atau aktivis
HAM sesuai dengan keadaan masa itu dimana buruh dianggap rendah oleh pemerintah. Gagasan
gagasan politik dan pengalaman pemberdayaan buruh pra reformasi yang dialami beliau
dituangkan secara lengkap di buku ini. Baik awal mula lahirnya organisasi buruh, gerakan buruh,
feminisme (perburuhan wanita), segudang permasalahan-permasalahannya, konsep, hubungan
sebab akibat, dan bahkan solusi dari masalah-masalah yang terjadi dari penulis yang juga
dituangkan dalam buku ini. Munir mengawali buku ini dengan menjelaskan mengenai bagaimana
kekuasaan pada saat pra reformasi sangat represif terhadap gerakan atau serikat buruh, dan
mengakhirinya dengan tulisan berisi pengalaman-pengalaman tentang permasalahan perburuhan
dan pengorganisasian buruh perempuan dan menganalisinya, salah satunya kasus Marsinah.
Teori :
Buku ini erat kaitannya dengan istilah “pergerakan”. Sesuai dengan tema buku yaitu
pergerakan kaum buruh yang juga berkaitan dengan teori gerakan sosial. Teori yang akan
dibahas yaitu teori gerakan sosial klasik/lama. Teori ini beranggapan bahwa gerakan sosial lahir
karena dukungan dari mereka yang terbelenggu dan terisolasi dalam lingkup masyarakat.
Gerakan sosial muncul karena adanya ketidakadilan pemerintah terhadap masyarakat. Dengan
kata lain, gerakan sosial lahir dari reaksi terhadap sesuatu yang tidak diinginkan rakyat atau
menginginkan perubahan kebijakan karena dinilai tidak adil. Gerakan sosial merupakan gerakan
yang lahir dari prakarsa masyarakat dalam menuntut perubahan dalam institusi, kebijakan atau
struktur pemerintahan. Gerakan sosial ini muncul sebagai cerminan perjuangan kelas masyarakat
pada proses produksi sehingga gerakan sosial selalu dipelopori dan berpusat pada kaum buruh.
Pengertian gerakan sosial menurut para ahli, antara lain: Tarrow (1998) yang berpendapat
bahwa gerakan sosial merupakan politik perlawanan yang terjadi ketika rakyat biasa yang
bergabung dengan para kelompok masyarakat yang lebih berpengaruh menggalang kekuatan
untuk melawan para elit, pemegang otoritas, dan pihak-pihak lawan lainnya. Kedua yaitu
Blumer, yang menyatakan bahwa gerakan sosial adalah suatu gerakan yang ditandai dengan
adanya rasa kegelisahan yang diakibatkan oleh ketidakpuasan terhadap dinamika kehidupan,
yang kemudian gerakan ini memunculkan harapan serta keinginan untuk mencapai tatanan
kehidupan yang lebih baik yang dapat dicapai secara kolektif. Ketiga yaitu pendapat Rudolf
Haberle, menjelaskan bahwa gerakan sosial adalah gerakan bersama yang diakibatkan oleh
kekacauan yang dirasakan dalam kehidupan masyarakat serta menimbulkan kegelisahan,
kemudian muncul usaha bersama- sama dalam mencapai tujuan yang nyata dan tergambar jelas,
yang secara spesifik bertujuan merubah ke dalam bentuk kelembagaan social. Gerakan sosial
memiliki beberapa karakteristik yang menjadi pembeda dengan gerakan lain, yaitu gerakan sosial
dilakukan secara kolektif, atau lebih dari satu orang hingga membentuk sebuah kesatuan menjadi
kelompok. Kedua yaitu gerakan sosial dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku. Dasar,
Tujuan, strategi, dan prosesnya sudah terorganisir dengan jelas. Selanjutnya yaitu gerakan sosial
dilakukan berkelanjutan dalam jangka waktu yang panjang dan bersifat dinamis dengan tujuan
mewujudkan kepentingan bersama.
Menurut penulis, teori yang sesuai dengan buku ini adalah teori keluhan oleh Sidney
Tarrow. Teori ini memandang gerakan sosial sebagai politik perlawanan yang terjadi ketika
rakyat biasa yang bergabung dengan para kelompok masyarakat yang lebih berpengaruh
menggalang kekuatan untuk melawan para elit, pemegang otoritas, dan pihak-pihak lawan
lainnya. Tarrow lebih memfokuskan pada aspek sosial politik dimana dalam pernyataannya
gerakan sosial ia definisikan sebagai sebuah tindakan perlawanan yang dilakukan oleh
sekelompok masyarakat atau warga biasa yang bergabung dan membentuk aliensi dengan para
tokoh atau kelompok yang memiliki pengaruh besar dalam suatu negara, kelompok atau
semacamnya bersama-sama bergerak untuk melakukan suatu perlawanan terhadap para
pemegang kekuasaan atau para elit politik jika apa yang menjadi sebuah kebijakan dirasa tidak
sesuai dengan apa yang diinginkan. Teori keluhan menganalisa pemicu utama gerakan sosial
dari berbagai bentuk ekploitasi, ketidakadilan dan ketimpangan. Gagasan ini muncul setelah
Lenin melihat bahwa thesis Marx tentang revolusi social memiliki sejumlah kelemahan salah
satunya adalah Marx tidak melihat betapa pentingnya organisasi gerakan dimana upaya
mobilisasi massa dan pendidikan kepada massa terhadap kondisi ekonomi politik yang mereka
alami akan terwujud melalui organisasi gerakan.
Konsep gerakan sosial menurut Tarrow ini sesuai dengan gerakan buruh pada masa
presiden Soeharto yangmana dalam peristiwa ini, kelompok masyarakat (buruh) yang menjadi
korban dari kebijakan pemerintah yang dianggap tidak bisa mengangkat derajat kehidupan
mereka bergabung dengan kelompok mahasiswa yang mana dalam hal ini posisi mahasiswa
dianggap sebagai kelompok yang bisa menyuarakan aspirasi rakyat atau bisa menjadi
representasi dari keinginan masyarakat bersama-sama melakukan suatu upaya perlawanan untuk
melawan kebijakan politik pemerintah yang sedang berkuasa, perlawanan tersebut muncul dari
kelompok buruh yang merasa sebuah kebijakan atau rencana yang dikemukakan oleh pemegang
kekuasaan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan/diinginkan buruh dan tidak sebanding
dengan apa yang telah dilakukan oleh para buruh. Hal hal yang dirasa buruh tidak adil tersebut
mendorong buruh untuk berpikir kritis bahwa penghisapan tenaga mereka hanya menguntungkan
kelompok pemilik modal dan kemudian ini menjadi basis material buruh melakukan revolusi
sosial. Karena tingkat upah yang sangat jauh dalam memenuhi kebutuhan hidup standar buruh,
jam kerja yang sangat panjang, pemotongan upah yang tidak transparan, tempat kerja yang tidak
mengindahkan keselamatan para buruh disamping ancaman dan tindakan fisik yang dilakukan
oleh para pemilik modal agar buruh bisa bekerja keras untuk menghasilkan laba yang tinggi bagi
pemilik modal, serta masalah pelik lain yang terus muncul akibat kebijakan politik ekonomi
pemerintah yang merugikan kaum buruh. Pada dasarnya jika diringkas teori ini sesuai dengan
gerakan buruh pada masa Soeharto dimana gerakan buruh tersebut sebagai respon keluhan dari
kesadaran buruh terhadap kebijakan politik dan ekonomi pemerintah yang dianggap kurang
menguntungkan posisi buruh, gerakan ini sebagai alat dan perjuangan politik dan ekonomi
pemerintah serta kondisi umum masyarakat Indonesia. Dimana keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia dipandang jauh dari kata cukup. Teori ini juga relevan dengan realita yang telah
dibahas Munir selaku penulis buku “Gerakan Perlawanan Buruh” bahwa Perlawanan
sekelompok masyarakat merasa kebijakan yang diterapkan baik oleh pemegang
kekuasaan/pengusaha/pemerintah dianggap tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan dan
diinginkan oleh masyarakat sehingga gerakan sosial muncul sebagai jawaban/reaksi atas
ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah karena merugikan kaum buruh. Tindakan ini
didasari aksi kolektif yang melawan (contentius collective action) dari golongan buruh. Munir
selaku penulis buku ini dan seorang aktivis HAM juga menegaskan bahwa gerakan perlawanan
buruh dimulai dari keresahan para buruh yang akhirnya menimbulkan kesadaran pada diri
mereka. Dengan didukung oleh para aktivis dan penggerak HAM pada saat itu, baik dari
kalangan mahasiswa, maupun alumni. Sehingga muncul kesadaran akan keadaan yang memuat
ketimpangan sosial di antara buruh sebagai bentuk akibat dari keserakahan para pemegang
kekuasaan baik pemerintahan, aparat Negara maupun para pengusaha.