Anda di halaman 1dari 31

Teori politik

Dan
Fenomena politik

Dosen pengampu : Sobirin Malian & Muhammad Uhaib As’Ad

Npm : 2201020437
Nama : husnadia
Kelas : Reguler pagi A

KATA PENGANTAR
Buku berjudul "Teori Politik dan Fenomena Politik" ini dipersiapkan secara singkat
untuk menambah referensi mata kuliah Teori Politik. Akan tetapi lebih dari itu, kehadiran
buku ini sejatinya ingin menggugah komitmen mahasiswa dan siapa pun yang prihatin
dengan kondisi perpolitikan di Indonesia saat ini yang kental dengan nuansa oligarkis dan
mafia hukum.

Tidak dapat dibantah, bahwa sejak reformasi politik tahun 1998, geliat demokratisasi di
Indonesia menghasilkan sejumlah persoalan politik, seperti masalah kepemimpinan politik
dalam pemerintahan yang harus ditangani dengan baik, dalam arti telah menimbulkan
implikasi negatif dan justru memecah ikatan kebhinekaan yang telah disepakati oleh para
pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Salah satu upaya untuk mencapai demokratisasi politik, yang diharapkan dapat
mendorong tercapainya kesejahteraan. memadai dan dinikmati oleh seluruh lapisan
masyarakat, yang melalui penyelenggaraan pemerintahan di daerah yang lebih humanis,
aspiratif terhadap kepentingan lokal namun tetap dalam koridor hukum dan keberadaan
politik nasional.

Buku ini selain tetap memuat teori-teori politik untuk sebagiannya membahas
persoalan politik yang terjadi di Indonesia saat ini, termasuk masalah kerusakan lingkungan
akibat tidak hadirnya partai hijau dan seterusnya.

Membaca buku ini memang harus diiringin dengan komitmen bahwa masa depan kita
(Indonesia) masih ada, hanya saja dunia perpolitikannya harus selalu dibenahi

Akhir kata, sebagai sebuah buku yang memang belum komprehensif terutama dalam
mengurai aspek politik Indonesia kami memohon permakluman. Paling tidak kami
berjanji akan merevisinya lebih baik di masa yang akan datang.

Medio Januari 2023

SM & MU

1
Pengantar
Selayang Pandang Perkembangan Teori Ilmu Politik

A. Sejarah Perkembangan Ilmu Politik


Sebagai ilmu (science), disiplin ilmu politik terus ber- kembang. Secara umum
perkembangannya melalui tahapan- tahapan (steps): pendekatan tradisional, pendekatan
perilaku dan pendekatan paskaperilaku. Perubahan teori yang dilahirkan pun terus mengalami
perkembangan seiring dengan fenomena yang ada, khususnya perubahan yang terjadi pada
adanya pergeseran yang digunakan oleh para pemikir politik (political science) dalam
menggunakan pendekatan ilmu politik. Pendekatan yang paling awal atau paling kuno
biasanya disebut dengan pendekatan klasik atau pendekatan tradisional.
Jika dibandingkan dengan ilmu lain, ilmu politik termasuk salah satu ilmu tertua.
Sejak kelompok orang mulai hidup bersama (sebagai komunitas), masalah yang
menyangkupengaturan dan pengawasan mulai muncul dan sejak itulah para pemikir politik
mulai membahas yang menyangkut lingkup serta batasan penerapan kekuasaan, hubungan
antara yang memerintah dan diperintah, serta sistem apa yang paling baik dalam menjamin
adanya pemenuhan kebutuhan akan pengaturan dan pengawasan, sebagai konsekuensi adanya
kebebasan pemikiran manusia. Adanya fokus perhatian terhadap kajian dalam ilmu politik
serta pusat perhatian dari teori-teori politik maka hal itu menggambarkan bahwa tema terkait
interaksi masyarakat dan negara telah menggelitik manusia selama berabad-abad yang silam
(Varma, 1995:3).

B. Pengertian Teori Politik dan Makna Politik


Hakikatnya teori memiliki kedudukan amat penting dalam penjelasan ilmiah, teori
juga memiliki kedudukan yang sangat menentukan dalam kegiatan ilmiah (Nasiwan,
2011:12) Demikian juga dengan teori politik. Teori penting dipahami, dikuasai dengan baik
agar dapat membaca, memahami dan menjelaskan fenomena politik yang terjadi dalam
kehidupan.
Teori politik adalah bahasan dan generalisasi dari fenomena yang bersifat politik.
Dengan kata lain teori politik adalah bahasan atas, a) tujuan dari kegiatan politik b) cara-cara
mencapai itu, c) kemungkinan dan kebutuhan yang ditimbulkan situasi politik yang tertentu
dan d) kewajiban-kewajiban yang diakibatkan oleh tujuan politik itu. Konsep-konsep yang
dibahas dalam teori politik mencakup antara lain, masyarakat, kelas sosial, negara,
kekuasaan, kedaulatan, hak dan kewajiban, kemerdekaan, lembaga-lembaga negara,
perubahan sosial, pembangunan politik modernisasi dan lain sebagainya. (Budiharjo,
1992:30).
Dari apa yang diuraikan di atas, konteks yang dimaksud teori adalah suatu bentuk
pernyataan (statemen) yang menjawa pertanyaan "MENGAPA": artinya berteori adalah
upaya memberi makna pada fenomena yang terjadi. Pernyataan yang disebut teori itu
berujung pada sekumpulan generalisasi dan karena di dalam generalisasi itu terdapat konsep-
konsep bias juga diartikan bahwa teori adalah pernyataan yang menghubungkan konsep-
konsep secara logis.
Januari 2023

SM dan MU

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar |.... v


Pengantar : Selayang Pandang Perkembangan Teori Ilmu
Politik |....vii
Daftar Isi |....xxvii

BAB I SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TEORI-TEORI POLITIK |... 1

BAB II PARADIGMA POLITIK KLASIK DALAM ILMU


POLITIK |.... 21

BAB III MEMAHAMI BEHAVIORALISME DALAM POLITIK |.... 39

BAB IV MEMBEDAH TEORI KRITIS MAZHAB


FRANKFURT: Sejarah, Asumsi, dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan
Teori Ilmu Sosial |.... 51

BAB V SISTEM MULTI PARTAI, PRESIDENSIAL DAN PERSOALAN


EFEKTIVITAS PEMERINTAH |.... 87

BAB VI DOMINASI OLIGARKI DAN KETIDAKHADIRAN


PARTAI POLITIK HIJAU DI INDONESIA |....107

Bab VII KAPITALISME DEMOKRASI, OLIGARKI LOKAL DAN PATRONASE


POLITIK (Keterlibatan Pengusaha dalam Pemilihan Kepala Daerah di
Kabupaten Kuala Kalimantan Selatan) |....141

Pasar Politik di Tengah Demokrasi yang Melelahkan |....171


Jenderal Kunyuk dan Komparador |....175
Gurita Korupsi Politik dan Menjemput Ajal Anak Bangsa |....179

Daftar Pustaka |.... 183

3
BAB I
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TEORI-TEORI POLITIK

Ilmu politik adalah salah satu cabang dari ilmu sosial, yang berdampingan dengan
cabang ilmu sosial lainnya yakni sosiologi, antropologi, dll. Dengan demikian maka ilmu
politik berhubungan erat dengan ilmu-ilmu sosial tersebut yang objeknya adalah manusia
sebagai anggota kelompok (group).

Ilmu-ilmu tersebut mempelajari kelakuan manusia serta cara-cara manusia hidup serta
bekerja sama. Namun walaupun ilmu-ilmu tersebut saling berdampingan dan ber- hubungan
erat, tetapi tentu ada batasan-batasan antara ilmu politik dengan ilmu sosial lainnya dengan
melihat kepada sifat-sifat dan ruang lingkup ilmu politik itu sendiri. Konsep- konsep yang
dibahas dalam teori politik mencakup antara lain, masyarakat, kelas sosial, negara,
kekuasaan, kedaulatan, hak dan kewajiban, kemerdekaan, lembaga-lembaga negara,

Pengertian politik
Kesan yang ada selama ini politik itu kotor. Hal ini tak lepas dari persepsi umum yang
menyaksikan para politisi yang bermain secara tidak elegan. Berangkat dari itu, penting
kiranya dilacak apa dan bagaimana peristilahan dan sejarah politik itu sebenarnya.

Pengertian Sejarah Politik


Sejarah politik adalah narasi dan analisis peristiwa, gagasan, gerakan, organ
pemerintahan, pemilih, partai, dan pemimpin politik. Sejarah politik saling terkait dengan
bidang kajian sejarah lainnya, terutama sejarah diplomasi, juga dengan sejarah konstitusi dan
sejarah publik. Biasanya disusun berdasarkan negara bangsa dan walaupun berbeda dengan
ilmu bidang sejarah akan tetapi tetap berhubungan antara lain dengan bidang sejarah lain
seperti sejarah sosial, sejarah ekonomi, budaya dan sejarah militer.

Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Ilmu Politik

a. Ontologi Ilmu Politik


Secara sederhana, ontologi adalah ilmu tentang hakikat sesuatu atau benda/hal/aspek
apa yang dikaji. Epistemologi adalah ilmu tentang bagaimana "ontologi" itu dipelajari,
dibangun. Aksiologi adalah untuk apa bangunan ilmu yang dibuat diperuntukkan. Ontologi,
Epistemologi, dan Aksiologi merupakan aspek-aspek khas ilmu, apa pun bentuknya.

b. Epistemologi Ilmu Politik


Secara sederhana, epistemologi berarti bagai- mana suatu ilmu dibangun. Dalam
membangun suatu ilmu, seseorang ahli teori dibatasi oleh periode hidup serta hal-hal lain
yang mempengaruhi pikirannya saat membangun suatu ilmu. Sebagai contoh, pada abad
pertengahan, pelajaran mengenai tata surya dipengaruhi suatu kesimpulan umum bahwa
matahari mengelilingi bumi. Artinya, pusat dari tata surya adalah bumi, bukan matahari.
Namun, pendapat ini berubah tatkala Nicolaus Copernicus melontarkan pendapat bahwa
bukan matahari yang mengelilingi bumi melainkan sebaliknya. Dengan demikian, pelajaran
mengenai sistem tata surya pun berubah.

4
c. Aksiologi Ilmu Politik
Ilmu kedokteran berorientasi pada peningkatan standar kesehatan masyarakat. Ilmu
ekonomi pada bagaimana seseorang dapat makmur secara material atau ilmu militer pada
penciptaan prajurit-prajurit yang dapat menjamin keamanan negara. Ketiganya adalah
aksiologi. Aksiologi adalah guna dari suatu ilmu atau, untuk apa ilmu tersebut diperuntukkan
nantinya.

Teori-Teori Politik
Secara umum, teori adalah sebuah sistem konsep abstrak yang mengindikasikan
adanya hubungan diantara konsep-konsep tersebut yang membantu kita memahami sebuah
fenomena. Jika disederhanakan, suatu teori adalah suatu kerangka kerja konseptual untuk
mengatur pengetahuan dan menyediakan suatu cetak biru untuk melakukan beberapa
tindakan selanjutnya.

Sejarah Perkembangan Teori Politik


a. Teori Politik Zaman Klasik
1) Teori Politik Socrates
Socrates memiliki kepribadian sebagai seorang teoritikus politik yang berupaya jujur,
adil dan rasional dalam hidup kemasyarakatan dan mengembangkan teori politik yang
radikal. Namun keinginan dan kecenderungan politik Socrates sebagai teoritikus politik
membawa kematian melalui hukuman mati oleh Mahkamah Rakyat (MR).

2) Teori Politik Plato


Filsafat politik yang diuraikan oleh Plato sebagai cerminan teori politik. Dalam teori
ini yakni filsafat politik tentang keberadaan manusia di dunia terdiri dari tiga bagian yaitu,
Pikiran atau akal, Semangat/keberanian dan Nafsu/keinginan berkuasa.

3) Teori Politik Aristoteles


Teori politik Aristoteles bernuansa filsafat politik yang meliputi: Filsafat teoritis,
Filsafat praktik dan Filsafat produktif. Teori negara yang dinyatakan sebagai bentuk
persekutuan hidup yang akrab di antara warga negara untuk menciptakan persatuan yang
kukuh. Untuk itu perlu dibentuk negara kota (Polis).

b. Teori Politik Zaman Pertengahan


1) Teori Politik Agustinus
Agustinus melihat perbandingan Negara sekuler dan negara Tuhan. Negara sekuler
dianggap sebagai penyelewengan oleh para penguasa yang arif dan bijaksana sehingga ke-
kuasaan bagaikan keangkuhan dengan berbagai kejahatan.

5
2) Teori Politik Thomas Aquinas Teori politik Thomas Aquinas meliputi:
1. Pembagian negara baik dan negara buruk yang menerapkan sumber teori politik.
2. Tujuan negara yang diidentik dengan tujuan manu- sia dalam hidup yakni mencapai
kemuliaan abadi dalam hidup. Untuk mencapai kemuliaan abadi maka diperlukan
pemerintah yang berbentuk Monarki.
3. Dalam negara diperlukan adanya hukum abadi yang berakar dari jiwa Tuhan yang
mengatur alam semesta dan hukum alam manusia untuk merasionalkan manusia
menaati hukum.

3) Teori Politik Marthen Luther Teori politik Marthen Luther meliputi:


1. Teori politik reformasi yakni kebebasan politik dengan cara membatasi kekuasaan
raja dan kebebasan diserahkan pada rakyat.
2. Kekuasaan raja-raja diperjelas dan tidak diperlukan adanya campur tangan gereja
atas unsur negara. Menempatkan kekuasaan negara lebih tinggi dari kekuasaan gereja.
3. Kekuasaan Tuhan atas manusia bersifat langsung dan tidak melalui perantara. Pada
sisi lain dikatakan gereja yang sejati yaitu gereja yang didirikan manusia

c. Teori Politik Zaman Pertengahan


1) Teori Politik Ibnu Khaldun
Yaitu Teori tentang negara yang dikategorikan atas pengertian pemerintah manusia
dan keterbatasan manusia dalam negara yang disebut negara modern. Setiap warga negara
perlu memiliki Askabiyah untuk menumbuhkan kesatuan dalam negara.

2) Teori Politik Machiavelli


Menurut Machiavelli, bentuk negara meliputi negara republik dan monarki.
Selanjutnya Monarki dibagi atas dua yaitu Monarki Warisan dan Monarki Baru.

3) Teori Politik Liberalis


Pengertian dan paham liberal menunjuk pada kebebasan warga negara untuk
memenuhi kebutuhan hidup bidang politik ekonomi, sosial dan budaya

d. Teori Politik Modern

1) Teori Politik Thomas Hobbes


Teori politik Thomas Hobbes yang mencakup: Pengaruh situasi politik pada masa
sistem politik absolut di bawah kekuasaan Charles I dan Charles II di Inggris.

2) Teori Politik John Locke


John Locke mampu berkarya dalam bidang teori politik ditulis dalam buku Two
Treatises on Civil Government. State of Nature juga merupakan karya teori politik yang beda
dengan Hobbes.

3) Teori Politik Montesquine

6
Montesquieu terkenal dengan dunia ilmu pengetahuan tentang negara, hukum dan
kemudian dia mengemukakan State of Nature yang diartikan dalam keadaan alamiah kualitas
hidup manusia rendah.

4) Teori Kekuasaan Tuhan


Teori Kekuasaan Tuhan yang tidak rasional karena pe- nguasa menganggap diri
mendapat kekuasaan dari Tuhan dan menempatkan diri sebagai wakil Tuhan di dunia.

5) Teori Kekuasaan
Hukum Teori politik hukum yang dominan mengutarakan kegiatan- kegiatan
penguasa yang harus berdasarkan hukum yang disebut Rule of Law.

6) Teori Kekuasaan Negara


Teori kekuasaan negara yang meliputi: Sifat memaksa dari kekuasaan negara. Karena
setiap negara dalam bentuk negara selalu menggunakan paksa pada rakyat.

7) Teori Kekuasaan Rakyat


Kekuasaan rakyat yaitu penguasaan rakyat atas lembaga perundang-undangan yang
sekarang disebut legislatif. Menurut Rousseau kekuasaan rakyat dalam negara me- rupakan
akibat perjanjian antara individu untuk menye- rahkan semua hak politik kepada masyarakat.

8) Teori Politik Demokrasi


Demokrasi Rakyat merupakan negara dalam masa transisi, bertugas menjamin
perkembangan negara ke arah sosialisme.

9) Teori Politik Kedaulatan


Teori kedaulatan terdapat berbagai teori yang pada umumnya menekankan pada
kekuasaan sebagai suatu tandingan atau perimbangan terhadap kekuasaan penguasa atau
kekuasaan tunggal.

10) Teori Kedaulatan Intern dan Ekstern


Kedaulatan intern yang memperlihatkan batas lingkup kekuasaan negara yang
berbentuk fisik. Batas kedaulatan ini meliputi: Kedaulatan bidang politik, Kebebasan
kemerdekaan, Keadilan, Kemakmuran atau kesejahteraan dan Keamanan.

11) Teori kedaulatan De Facto dan De Jure


Teori kedaulatan ini menunjuk pada pelaksanaan kekuasaan yang nyata dalam suatu
masyarakat merdeka atau telah memiliki independensi, di antaranya: Kedaulatan De Facto
yang tidak syah dan Kedaulatan De Facto yang syah Sedangkan Teori kedaulatan De Jure,
dalam teori politik, kedaulatan De Jure menunjuk pada pengakuan suatu wilayah atau suatu
situasi menurut hukum yang berlaku.

7
BAB II
PARADIGMA POLITIK KLASIK DALAM ILMU POLITIK

Perkembangan ilmu pengetahuan diwarnai oleh dua mainstream yang saling


berhadapan yang akhirnya menjadi perdebatan panjang. Perdebatan itu terjadi cukup lama
dengan mengedepankan pertanyaan; apakah ilmu pengetahuan berkembang secara kumulatif
atau secara revolusioner? Sebuah pertanyaan penting yang senantiasa menguras pikiran para
ahli filsafat ilmu, sosiologi ilmu pengetahuan dan para peminat filsafat politik. Para ahli
inilah yang bergumul tanpa henti, mencari dan memeriksa karya-karya klasik, dokumen arsip
atau bahkan membongkar pemikiran-pemikiran masa lalu yang pernah dominan dalam
kurung waktu tertentu. Hasil akhir dari percarian dan pergumulan mereka mengenal
perkembangan ilmu, ternyata tidak saling menyapa satu sama lain dalam artian positif
melainkan saling bersaing menurut versi masing-masing.

Teori Dulu-Baru Penelitian

Pendekatan klasik merupakan warisan pemikiran dari Eropa. Salah satu ciri khas dari
pemikiran Eropa adalah orientasi teoritiknya yang sangat kuat. Karl Popper adalah penganut
teoritik yang sangat kuat dan menekankan cara kerja keilmuwan yang mendahulukan teori
baru penelitian. Karl Popper, sebagaimana dikutip Mohtar Mas'oed menyatakan bahwa cara
paling efektif untuk memajukan pengetahuan sain- tifik adalah melalui pengembangan
gagasan dan percobaan untuk menolak gagasan itu melalui penelitian empirik la tidak
percaya bahwa penelitian empirik yang sistematis bisa menimbulkan teoritisasi. Penelitian
tidak bisa menimbulkan gagasan baru dan tidak bisa berfungsi sebagai metode logis untuk
membentuk teori.

Berpikir Deduktif dan Normatif

Selain mendahulukan teori, pendekatan klasik juga terkenal dengan metode berpikir
yang sangat deduktif dan normatif. Cara berpikir deduktif dan normatif merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari ilmu politik klasik itu sendiri, Berbagai ilmuwan politik
membenarkan hal ini. Sebut saja namanya Ronald H. Chilcote dalam Teori Perbandingan
Politik (2003); Riswandha Imawan dalam Metode Penelitian Ilmu Politik (2000); Hoogerwerf
dalam Politikologi (1985); Mohtar Mas'oed dalam Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan
Metodologi (1994); Ichlasul Amal dan Budi Winarno dalam Metodologi Ilmu Politik (tanpa
tahun); dan Mary Grisez Kweit dan Robert W Kweit dalam Konsep dan Metode Analisa
Politik (1986).
Dalam pendekatan politik klasik nalar deduktif bekerja mengutip pendapat Ronald H
Chilcote dengan analisa deduk- tif yang menyertakan kasus-kasus khusus di bawah hukum
penjelasan yang universal. Analisa bergerak dari yang umum menuju yang khusus, dan
deduktif mengisyaratkan bahwa ke- simpulan satu fakta akan dijelaskan melalui sebuah
generalisasi. Dengan demikian, sebuah kejadian hanya dapat dijelaskan dalam hubungan
dengan sebuah hukum umum yang baku atau generalisasi empiris.

8
Objek Kajian Pendekatan Klasik

Dimensi yang bernalar normatif dan deduktif sedikit telah disinggung. Karena itu
bagian ini mencoba melakukan penajaman konsepsi pendekatan klasik ketika dijadikan pisau
analitis dalam memotret objek persoalan. Pertanyaan- pertanyaan yang berbau filosofis yang
ditopang dengan nilai- nilai, norma dan fakta sulit dipisahkan. Mengapa demikian? Karena
dalam pendekatan klasik nilai dan fakta saling terkait. Selain itu, fokus kajiannya juga
bergerak pada struktur- struktur formal (institusi dan pemerintah). Perhatiannya pada
lembaga-lembaga formal nampak dalam komentar Miriam Budiardjo dalam Demokrasi di
Indonesia. Ia menulis:

"Seandainya pendekatan klasik ingin mempelajari parlemen maka yang dibahas


adalah wewenang dan kekusaan yang dimilikinya seperti yang tertuang dalam naskah resmi
(Undang-undang dasar, UU, atau peraturan tata tertibnya, hubunganya formalnya dengan
lembaga eksekutif, struktur organisasi atau hasil kerjanya (berapa Undang-undang yang telah
dihasilkan). (Miriam Budiardjo,1999:1).

Implementasi Pendekatan Klasik di Indonesia

Jika pertanyaan yang diajukan apakah masih relevan pendekatan politik klasik di
Indonesia? Maka jawabnya tentu saja iya. Mengapa, karena ada banyak studi maupun laporan
media massa menunjukkan kuatnya pendekatan klasik yang berorientasi pada pengkajian
struktur maupun fungsi lembaga-lembaga formal. Misalnya, Miriam Budiarjo dan Ibrahim
Ambong. Fungsi Legislatif dalam Sistem Politk Indonesia (1995); Dahlan Thaib dan Ni'matul
Huda Pemilu dan Lembaga Perwakilan dalam Ketatanegaraan Indonesia (1992) Tim 52
PLOD Reaktualisasi Fungsi Legislatif (2006), dan Biviti Susanti dkk., Struktur DPR yang
Merespon Peran dan Fungsi Lembaga Perwakilan. Menurut Bivitri Susanti dkk. Ada dua hal
yang dibahas dalam kajian. Pertama, struktur pembagian kerja. Kedua, struktur pengambilan
keputusan. Pilihan dua hal ini didasarkan pada keberadaan DPR sebagai lembaga politik
dalam struktur ketatanegaraan dan sebagai lembaga legislatif dengan fungsi-fungsi. Isu yang
menarik dari temuan Bivitri dkk adalah sebagai berikut:

Struktur DPR, baik struktur dalam hal pembagian kerja maupun pengambilan
keputusan, seharusnya didasarkan pada peran dan fungsi DPR sebagai lembaga politik. Oleh
karena itu, beberapa konsep mengenai keberadaan alat kelengkapan seperti Baleg dengan
perannya yang baru serta keberadaan pimpinan alat kelengkapan harus ditinjau kembali
(Bivitri Susanti dkk, 2005:45).

9
BAB III
MEMAHAMI BEHAVIORALISME DALAM ILMU POLITIK

Peran suatu disiplin keilmuan yang spesifik,seperti ilmu politik juga memiliki
seperangkat pendekatan (approach) dalam perkembangan keilmuannya. Beberapa pendekatan
yang ter- dapat di dalam ilmu politik memiliki penawaran berbeda dalam hal bagaimana kita
memberikan penjelasan terbaik terhadap suatu fenomena tertentu dalam melakukan
penelitian.
Memahami masing-masing pendekatan ini penting guna bisa memahami darimana
suatu penelitian berpijak, serta membedakan satu pendekatan dengan pendekatan yang lain
meski masih dalam satu rumpun ilmu yang sama.
Ketika melihat fenomena politik tertentu, misalnya fenomena relawan politik
menjelang pemilu, kita bisa memiliki beragam penafsiran tergantung darimana kita
melihatnya. Jika menggunakan kerangka ekonomi politik yang kuantitatif, kita akan
cenderung melihat bagaimana faktor ekonomi sebagai tolok ukur sebagai determinasi
bekerjanya dunia politik: siapa yang mendanai, berapa anggarannya, kemana saja uang
dibelanjakan dan seterusnya.

Munculnya behavioralisme sebenarnya sebagai dampak dari kekecewaan terhadap


studi politik yang sangat normat (fokus pada what should be bukan what is) (Afan
Gaffar,2015)
-Behavioralisme lahir karena adanya ketidakpuasan kalangan sarjana politik terhadap
prosedur atau can melakukan studi politik tradisional yaitu salah satunya ketidakpuasan
terhadap para sarjana politik terhadap analisis yang sifatnya semata-mata deskriptif.
-Faktor lain lahirnya behavioralisme adalah pengaruh dari penganut aliran positivisme
dan pada waktu itu di Amerika semakin berkembang pengumpulan pendapat umum dengan
menggunakan reknis riset survey melalui kombinasi dengan matematika dan statistik.

Studi yang dilakukan behavioralisme sangat kontras dengan kaum tradisionalis, yang
mencoba menjelaskan politik dengan deskripsi yang tak terhitung, anekdot, analogi historis,
ideologi, dan filsafat. Behavioralisme dalam ilmu politik berusaha untuk membuang intuisi,
atau setidaknya untuk mendukung dengan pengamatan empiris, berbeda dengan seorang
tradisionalis, mereka selalu berusaha untuk mendukung intuisi dengan alasan mereka sendiri.
Behaviorise mengkritik tradisionalis karena tidak ilmiah, karena tradisionalis tidak
menggunakan metode statistik. Mereka juga percaya bahwa etika dan pertimbangan nilai
tidak memiliki tempat dalam penelitian, karena mereka bersifat subjektif dan etnosentris
yaitu, mereka muncul dari budaya tertentu (kontekstual), dan karena itu tidak universal.
Beberapa orang mendefinisikan behavioralisme sebagai suatu usaha untuk menerapkan
metode-metode ilmu-ilmu alam pada perilaku manusia, dan ada juga yang mendefinisikannya
sebagai penekanan yang berlebihan pada kuantifikasi. Orang-orang yang menyebut dirinya
sebagai behavioralis lebih cenderung berbicara tentang studi perilaku politik sebagai suatu

10
pendekatan dan menggunakan konsep revolusi, suasana hati, gerakan, persuasi atau protes
untuk menggambarkan apa yang ditunjukkan riset perilaku politik.

Banyak faktor yang muncul untuk membantu beha- vioralisme sebagai kekuatan dalam
ilmu politik yaitu:

-Ilmuwan politik merasa bahwa mereka tidak dianggap sah sebagai para ilmuwan dan
akibatnya mempunyai masalahdalam pengamanan hibah penelitian,

-Mereka percaya bahwa ilmu-ilmu sosial lainnya sedang membuat kemajuan yang
luas sedangkan ilmu politik tertinggal di belakang,

-Sifat disiplin normatif umumnya dianggap spekulatif dan tidak ilmiah,

-Teknologi penelitian (survey teknik, perhitungan statistik, komputer) menjadi lebih


lengkap dan tersedia,

-Mereka mengejar ilmu murni yang beroperasi pada perkiraan bahwa demokrasi
adalah sistem pemerintahan terbaik karena sifatnya yang terbuka dan kualitas ilmiah.

Somit dan Tanenhaus telah mampu menggabungkan berbagai kesimpulan ke dalam


"Credo behavior", yaitu:

-Ilmu politik harus mencari dengan teliti keteraturan dalam


perilaku politk untuk memfasilitasi prediksi dan penjelasan,

-Ilmu politik harus lebih memperhatikan fenomena politik empiris, yaitu, perilaku
individu dan kelompok-kelompok politik,

-Data harus dihitung dalam rangka untuk membantu kemampuan prediksi,

-Penelitian teori harus didorong, dengan kata lain, penelitian harus dimulai dengan
teori yang menghasilkan hipotesis yang dapat diuji secara empiris,

-Ilmuwan politik harus menghindari diterapkannya (refor- masi berpikir) penelitian


demi mendpat penelitian ilmiah murni,

-Nilai-nilai seperti demokrasi, kesetaraan, dan kebebasan tidak dapat ditetapkan


secara ilmiah dan dengan demikian harus dihindari atau dapat dibuat secara emiris dan dapat
diuji,
-Ilmu politik harus menjadi lebih interdisipliner, setidaknya pada tingkat perilaku,

-Ilmu politik harus menempatkan tekanan lebih pada metodologi dan lebih baik
menggunakan analisis, sampel survey, model matematika dan simulasi.

11
Kredo behavioralism yang dipaparkan oleh David Easton, terdapat 8 ciri-ciri, yaitu:

-Regularitas fenomena, yaitu ada pola tertentu dari perilaku politik manusia

-Verifikasi, yaitu pengetahuan harus terdiri dari proposisi yang sudah mengalami
pengujian yang empiris, semua fakta harus berdasar fenomena yang bisa diamati: apa yang
telah diucapkan dan apa yang telah diperbuat; perilaku individu dan kelompok politik.

-Teknik, yaitu Sebuah sikap terhadap teknik eksperimental, data diolah dan
dikuantifikasi secara matematis. Dengan cara ini peneliti bisa mengesampingkan kepentingan
dan nilai yang mereka miliki untuk merencanakan, melaksanakan, dan menganalisis
penelitian.

-Kuantifikasi, yaitu ketepatan di dalam pencatatan dan menjelaskan temuan-temuan


memerlukan pengukuran dan kuantifikasi. Kuantifikasi diperlukan selama atau dengan dasat
obyektivitas yang ada.

-Nilai-nilai, yaitu evaluasi etis dan analisis empiric malibatkan 2 proposisi yang
berbeda dan secara analitik perlu dipisahkan, namun demikian ilmuwan politik tidak dilarang
untuk mengajukan proposisi tersendiri atau merupakan kombinasi selama itu dilakukan
dengan benar.
- Sistematika, yaitu mengingat pentingnya teori dalam penelitian sehingga penelitian
dalam ilmu politik harus dipandu oleh teori, dan berorientasi pada teori.

-Ilmu Murni, yaitu aplikasi ilmu sama pentingnya dengan pemahaman tentang teori.
Karena keduanya merupakan bagian dari kegiatan ilmu pengetahuan.

-Integrasi, yaitu Mengintegrasikan ilmu-ilmu sosial dan nilai. Karena ilmu social tidak
bias mengindahkan temuan- temuan dari ilmu lain sehingga ilmu politik pun diharapkan
untuk mengintegrasikan ilmu-ilmu yang lain pula.

Dampak behavioralisme dalam ilmu politik:


Gerakan perilaku (behavioral) dalam disiplin yang metodologis mengambil isyarat
dari positivisme logis, yagn dilahirkan oleh Lingkaran Wina selama tahun 1920-an dan 1930-
an. Wina Circle, berusaha untuk mengangkat metode ilmiah dan logika matematika agar lebih
unggul sebagai pengetatuan. Behavioralism adalah sebuah pendekatan dalam ilmu politik
yang berusaha untuk memberikan yang objektif, terukur pendekatan untuk menjelaskan dan
memprediksi perilaku politik. Hal ini terkait dengan munculnya perilaku ilmu pengetahuan,
model setelah ilmu alam. Behavioralism berusaha untuk memeriksa perilaku, tindakan, dan
tindakan individu-karakteristik daripada lembaga seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif,
dan kelompok dalam pengaturan sosial yang berbeda dan menjelaskan hal ini sebagai
perilaku yang berhubungan dengan sistem politik.

12
Behavioralisme menyebabkan survey penelitian lebih didanai dan diterbitkan,
peningkatan frekuensi relative studi kuantitatif dalam jurnal puncak disiplin, dan penurunan
relative dalam pekerjaan yang ditujukan kepada kebijakan publik Penekanan pada ilmu
pengetahuan memfasilitasi akses terhadap sumber-sumber pendanaan baru seperti National
Science Foundation. Menurut Eulau, ilmuwan politik harus berusaha untuk mengkuantifikasi
data mereka dan hasilnya Kuantifikasi, menggunakan penelitian teknologi paling maju,
metode empiris dan hipotesis yang dapat diuji, memperkenalkan ketelitian dan keandalan
untuk pengetahuan politik. Eulau berpendapat bahwa kuantifikasi politik memungkinkan
ilmuwan untuk lebih yakin tentang keabsahan pengetahuan politik.

Beberapa kritik behavioralisme yang paling kuat adalah:

-Ilmu poltik tidak dapat dan tidak akan dapat menjadi sairs dalam artian yang sebenarnya.

-Perilaku manusia yang tampak hanya memperlihatkan sebagian dari gejala, orang-orang
yang anti behavioralisme percaya bahwa bagian yang terbesar dari kehidupan manusia adalah
yang tidak tampak.

-Apapun manfaat kuantifikasi tidak akan mencapai hasil yang sesungguhnya.

-Memang benar bahwa setiap penelitian harus didukung oleh teori akan tetapi kaum
behavioralist dalam kenyataanya menggunakan teori dan konsep jauh melebihi
perkembangan data itu sendiri.

-Di dalam banyak hal sejumlah persoalan politik melibatkan masalah moral dan etika dengan
demikian persoalan bahwa ilmu politik haruslah bebas nilai sangat sulit untuk dapat
dipertanggungjawabkan.

-Pendekatan yang bersifat interdisiplin memang sangat diperlukan akan tetapi hendaknya
diperhatikan bahwa jangan sampai karena pendekatan yang seperti itu maka mengakibatkan
setiap disiplin kajian akan kehilangan identitas dan jati dirinya.

13
BAB IV
MEMBEDAH TEORI KRITIS MAZHAB FRANKFURT:
(Sejarah,asumsi,dan kontrabusinya terhadap perkembangan teori ilmu sosial)

A. Pendahuluan
Secara historis, teori kritis mazhab Frankfurt (Die Frankfurter Schule) merujuk pada
sekelompok pemikir berhaluan Marxis yang tergabung dalam kerja-kerja intelektual kritis di
Institut Penelitian Sosial (Institut fur Socialforschung) yang berpusat di Frankfurt, Jerman.
Lembaga ini pertama kali didirikan pada 23 Februari 1923 oleh Felix Jose Weil, anak seorang
pedagang gandum yang kaya raya, dan sekaligus sarjana ilmu politik. Dengan bantuan
finansial ayahnya,Felix mampu mendirikan lembaga independen yang mampu bekerja secara
mandiri, tidak bergantung pada Universitas Frankfurt. Salah satu fokus perhatian yang dikaji
dan coba diselidiki di lembaga itu adalah masalah-masalah sosial, salah satunya seperti
sejarah gerakan kaum buruh yang terilhami oleh pemikiran Marxist (Bertens, 2014:252).

B. Sejarah dan Perkembangan Teori Kritis


Sejarah dan kemunculan teori kritis tak lepas dari dua aspek penting yang saling
terkait. Pertama terkait dengan kondisi lingkungan masyarakat atau negara di Eropa yang
sedang mengalami industrialisasi yang begitu masif dan kemajuan pesat sejak awal abad ke-
19. Modernisasi membawa perubahan besar dalam tatanan hidup sosial dan aktivitas serta
interaksi manusia di segala bidang. Salah satu bidang yang paling menyolok adalah pada
bidang ekonomi." Lahirnya masyarakat industri baru di Eropa - termasuk di Jerman-yang
sangat kapitalistik, dipenuhi dengan praktek penin- dasan, dominasi, ketimpangan
sosial-ekonomi yang merebak laiknya penyakit sosial yang semakin mengendemik. Singkat
kata, secara faktual, teori kritis berhadapan dengan situasi sosial yang ditandai jurang antara
negara miskin dan negara.

C. Kritik Terhadap Teori Tradisional


Secara historis, teori sosial kritis sejatinya munc sebagai respon terhadap kelemahan
dan kegagalam teo tradisional yang berpardigma positivisme. Dalam pandangan Horkheimer,
teori tradisonal (positivisme) yang berpijak pada ilmu pengetahuan, telah memisahkan antara
subjek dan objek antara teori dan fakta, dan berjalan secara alamiah. Karena itu netralitas
dilihat dari jika objek berada di luar dirinya.

Dalam pandangan Horkheimer, ada tiga hal yang menjadikan teori tradisional dianggap
sebagai teori ideologis yang eksklu (Sindhunata, 1983: 74-77)

Pertama, teori tradisional melihat dan memahami realitas seperti apa adanya, tidak
bertanya secara kritis mengapa realitas itu bisa terjadi. Teori tradisional menerima realitas
sebagai apa adanya yang sudah terikat dengan hukum hukum alamaiah. Karenanya teori
tradisional menerima dan membenarkan realitas begitu saja. Sikap menerima dan dukungan
"tanpa reserve" dianggap sebagai sikap yang objektif dan netral. Padahal menurut
Horkheimer, sikap seperti itu menjadi kedok yang aman untuk menutupi "kelemahan dirinya
yang memang tidak mau mengubah realitas. Karena itu, wajar jika teori tradisional lebih pro
pada kemaparan (status quo). Horkheimer menyebut teori tradisional sebaga teori ideologis

14
yang eksklsuif, artinya ia telah menjadi atau digunakan sebagai alasan pembenar dan pelestari
realis yang ada. Dalam perkataan lain, teori ini disebut sebagai teori "status quo".
Kedua, Karena bersifat status quo, teori tradisional ini lebih berpikir "ahistoris",
dalam melihat dan memahami perkembangan masyarakat. Teori ini hanya berpusat dan
bahkan memutlaktan pada ilmu pengetahuan sebagai satu- satunya sebagai "juru selamat".
Teori tradisional lupa bahwa perkembangan historis masyarakat juga dipengaruhi dan
ditentukan oleh berbagai factor dan aspek kehidupan yang lainn-ya. Aktivitas ilmu
pengetahuan tidak berdiri dan berjalan sendiri, ia akan terkait dengan peran dan aktivitas-
aktivitas yang lain secara keseluruhan. Pendek kata, perkembangan kehidupan masyarakat
berjalan secara dialektis.
Ketiga, atas nama kenetralan ilmu pengetahuan, Teori tradisional berusaha
memisahkan teori dengan praktis. Dengan memandang, atau lebih tepat membiarkan fakta
atau realitas sosial secara lahiriah. Ini sama saja dengan teori tradisional tidak memikirkan
peran dan aplikasi praktis. Karena itu teori tradisional hanya menjadi "ilmu tukang" dalam
relasi subjek-objek. Teori tradisional tidak berpikir bagaimana teorinya dapat meng-hasilkan
kesadaran yang dapat dijadikan sebagai instrument tindakan untuk mempengaruhi dan
bahkan merubah fakta/realitas/keadaan yang ada.

D. Asumsi Dasar Teori Kritis


Adapun asumsi dasar dari teori kritis ini, di antaranya,
pertama, bahwa pada dasaranya manusia itu adalah manusia yang memiliki otonomi
dan kebebasan. Otonomi dan kebebasannya itu yang akan membentuk pengetahuannya.
Dengan otonomi dan kebebasannya yang ditopang dengan kekuatan akalnya mampu
melakukan perubahan sosial. Karena itu, mengikuti pemikiran Immanuel Kant, pengetahuan
manusia tidak ditentukan oleh objek atau realitas, tetapi subjek yang menghasilkan
pengetahuan tersebut. Manusia tidak perlu lagi memahami alam sebagai semata-mata
alamiah, tapi alam dilihat sebagai kebudayaan, yaitu alam yang sudah dirasional-isasikan
manusia.

Kedua, Sikap netralitas dalam konspesi ilmu pengetahuan (sciences) yang disusun
teori tradisional-positivisme Dalam konsep keilmuan (kegiatan ilmiah), bahwa adalah sesuatu
yang semu. Teori tradisional yang mencita-cita ilmu pengetahuan tanpa pamrih atau bebas
nilai adalah sesuatu yang utopis. "Nilai tidak dapat dipandang sebagai wilayah yang terletak
di luar ilmu pengetahuan (sebagaimana yang dikonsepsikan juga oleh Max Weber). Antara
fakta dan value tidak dapat dipisahkan, antara subjek-objek bukan sesuatu yang terpisah
(subjek bisa saja menjadi bagian dari yang membentuk objek, begitu sebaliknya; relasi
subjek-objek bersifat dialektis. Memimpikan terpisahnya fakta dan value, subjek dan objek
pada kenyataanya berarti memihak pada status quo.

Ketiga, teori kritis menolak pandangan dan pemahaman tentang eksistensi realitas
yang diperspesi dan diteroriakan oleh teori tradisional-positvisme, bahwa realitas sosial hadir
dan terjadi "apa adanya" dan secara alamiah. Sebaliknya, Teori kritis berpandangan bahwa
realitas sosial itu hadir dan terjadi secara dialektis, realitas sosial adalah produk atau
konstruksi dari individu-induvidu dan aspek-aspek kehidupan lainnya yang saling terkait dan
penuh dengan kompleksitas.

15
Keempat, perkembangan sejarah masyarakat dipandang sebagai pembabasan manusia
dari cengekraman alam. Perkembangan sejarah memperlihatkan proses diatasinya
ketergantungan manusia pada alam. Sejauh bangsa manusia melepaskan diri dari
ketergantungan pada alam menuju ke- bebasannya yang penuh. Sejarah perkembangan dan
kemaju- an masyarakat/bangsa tidak bergerak dalam spektrum yang linier, ia bergerak secara
dialektis.

Kelima, secara filosofis, ilmu-ilmu positivisme tersebut nampaknya rasional, dan


itulah rasionalitas yang bertujuan atau rasionalitas instrumental. Namun dalam kenyataannya,
ilmu- ilmu positivisme dianggap irrasional, karena mendukung suatu sistem yang irrasional.
Sistem itu dianggap irasional karena tidak membahagiakan manusia dan gagal dalam
menciptakan hubungan sosial yang berkeadilan dan manusiawi. Teori kritis hadir untuk
melawan praktik dehumanisasi yang hidup dan berkembang dan dipertahankan oleh ilmu
positivisme yang menjelma dalam teori modernisasi dan praktik kapitalisme.

Menurut Angger (2014:7-10), teori sosial dapat dikata kan sebagai teori kritis jika memenuhi
ciri khas sebabag berikut;

1. Teori sosial kritis selalu berlawanan dengan teori-teori tradisional seperti


positivisme. Teori kritis berlawaran dengan pandangan positivis yang menyatakan bahwa
sain harus menjelaskan hukum alam masyarakat yang bersifat kausalitas. Sebaliknya, teori
sosial kritis percaya bahwa mas-yarakat ditandai dan bekerja dalam konteks historisitas yang
terus berubah secara dialektif.

2. Dalam konteks perubahan masyarakat yang dialektif tersebut, teori kritis


membedakan antara masa lalu dan masa kini. Dalam rentang perkem-bangan dan perubahan
tersebut, selalu ditandai dengan praktek dominasi, eks- ploitasi, dan penindasan. Relitas dan
perubahan sosial masyarakat tidak seperti yang dibayangkan kaum positi- visme yang
berjalan secara linier, tetapi berjalan kompleks.

3. Teori kritis memandang. praktel dominasi itu bersifat struktural, yakni kehidupan
masyarakat sehari-hari dipengaruhi bahkan dikendalikan oleh institusi sosial yang lebih besar
seperti politik, ekonomi, hukum, budaya, dan diskursus, jender, dan ras.

4. Teori kritis berkeyakinan bahwa struktur dominasi direproduksi melalui kesadaran


palsu manusia, dilang- gengkan oleh idiologi (sebagaimana yang disebut Marx). reifikasi
("menuhankan sesuatu", sebagaimana yang disebut George Lukacs), hegemoni (sebagaimana
yang disebut A. Gramci), pemikiran satu dimensi (H. Marcuse), dan metafisika keberadaan
(Derrida).

5. Mengikuti pemikiran Marx, teori sosial kritis meng- gambarkan relasi antara
struktur dan manusia bersifat dialektis. Pengalaman sehari-hari dan realitas sosial dapat
menjadi sumber pengetahuan manusia tentang struktur dalam masyarakat, dan dapat
membantu masyarakat untuk mengubah kondisi sosial yang lebih baik.

16
6. Teori kritis berkeyakinan bahwa manusia bertanggung jawab sendiri sepenuhnya
atas kebebasan mereka sendiri serta mencegah mereka agar tidak saling menindas antara
sesamanya atas nama masa depan kebebasan jangka panjang. Teori kritis menolak
pragmatism revolusioner sebagaimana yang diperjuangan kaum Marxis orthodox. Dalam
pandangan Horkheimer, ada potensi-potensi besar yang ada dalam diri manusia yang dapat
diberdayakan untuk melakukan perubahan.

F. Dari Dominasi Ekonomi Ke Dominasi Kultural

Teori kritis menentang Positivism, termasuk kaum Marxian karena beberapa alasan;
Pertama, positivism cenderung melihat kehidupan sosial sebagai sebuah proses
alamiah. Sementara teori kritis lebih suka memusatkan perhatiannya pada aktivitas manusia.
baginya manusia adalah makhluk otonom yang memiliki daya dan cara-cara untuk
mempengaruhi struktur sosial. Singkatnya, positivism dianggap teori kritis terlalu
mengabaikan peran aktor.
Kedua, positivisme dianggap terlalu bersifat konservatif, dan tak mampu menantang
sistem yang ada.
Ketiga, Mengangap adanya metode ilmiah tunggal yang dapat diberlakukan pada
seluruh bidang kajian, dan bersifat netral. Positifisme ditentang oleh teoritisi kritis karena
positifisme dinilai cenderung mereifikasi (men-"tuhan"-kan atau membendakan) dunia sosial
dan memeliharanya sebagai proses netral, mengabaikan aktor dan mengerdilkannya menjadi
entitas pasif yang ditentukan oleh kekuatan-kekuatan alamiah.

G. Kontribusi Teoritis dan Praktis

a. Kontribusi Teoritis
Jasa pemikiran teori Sosial kritis mahzab Frankfurt yang dipelopori Hork-heimer
bagaimanapun juga telah memberikan perspektif teoritis yang relative baru (meskipun tidak
baru sekali) dalam melihat, memahami dan menganalisis realitas sosial.

Perspektif teoritis teori Sosial kritis ini telah memberi kontribusi cukup besar terhadap
perkembangan teori sosial, yakni:

1. Terkait dengan Subjektivitas, yakni upaya untuk me- nukar orientasi teori Marxian
menuju ke arah subjek- quitif. Menggeser dari fokus diterminasi ekonomi marxis ke
ondominasi kultural. Semuanya bisa disimpulkan sebagai dew"kritik dominasi.

2. Salah satu keuntungan minat pada kesadaran individu isg adalah minat
menawarkan koreksi terhadap pesimisme ric mazhab kritis dan fokusnya pada hambatan-
hambatan bikultural. Meskipun orang dikendalikan, dijejali dengan na kebutuhan palsu, dan
dilumpuhkan, menurut gagasan Freudian merekapun dibekali dengan libido (lebih sering
dipahami energi seksual), yang menjadi dasar bagi tindakan kreatif yang berorientasi ke arah
terhapusnya bentuk- bentuk utama dominasi.

17
3. Selain itu, teori sosial kritis telah memberikan pemahaman baru bahwa aktor atau
individu pun mampu merubah struktur yang ada, melalui kekuatan rasionalitas dan daya
kreasinya. Teori kritis mampu membangun kesadaran subjektif individu secara kolektif
terhadap realitas sosial masyarakat, tak hanya terhadap struktur ekonomi Marxian tapi juga
struktur budaya yang telah membelenggu masyarakat.

4. Teori Sosial kritis juga telah memberikan khazanah teoritik terhadap perkembangan
teori ilmu sosial selanjutnya. Beberapa teori postmodern, inspirasi pemikirannya dari teori
kritis.

5. Secara teoritis, pendekatan teori kritis tidak diterministik (ekonomi) dan


reduksionistik sebagaimana yang dipakai oleh kaum Marxist. Teori kritis memahami realitas
sosial secara keseluruhan atau totalitas, dan bersifat dialektis. karena itu pendekatan
keilmuannya adalah interdisipliner.

6. Teori kritis yang digagas Sekolah Frankfurt, telah mem- perkaya Khazanah
pengetahuan melalui sikap kritis dan jeli terhadap fenomena ekonomi, sosial, politik,
pemerintahan, agama, dan idiologi yang ada dan sedang berlangsung, Teo- ri kritis membawa
kita untuk tidak selalu melihat dan me- mahami realitas sosial secara holistic, tidak parsial.
Karena setiap pengalaman empiris dan factor-faktor sosio-kultural hidup manusia secara
eksistensial memiliki makna, kepen- tingan, dan pesan.

7. Teori kritis juga telah banyak mempengaruhi pandangan pendekatan, dan praktik
perubahan sosial di masyarakat. salah satu yang paling dirasakan pengaruhnya adalah adanya
pendekatan yang menempatkan masyarakat sebagai aktor perubahan sosial dan pem-
bangunan. Atas dasar inilah lahir metodologi dan riset "partisiaptori" (Faqih. 2001:97-98).

8. Mazhab Frankfurt ini juga menjadi salah satu mainstream dalam kajian ilmu hukum
yang selama ini didomonasi oleh aliran dan paradigm positivisme hukum yang memandang
hukum tidak hanya sekedar undang-undang. Hukum tidak hanya difahami dalam kaca-mata
positivisme, tapi juga mulai dikaji dalam perspektif ilmu sosial, khususnya perspektif teori
kritis.

b. Konstribusi Praktis

Karl Korsch menolak paham kaum Marxis bahwa teori Marx hanya suatu deskripsi ilmiah
objektif tentang proses- proses perkembangan masyarakat. Menurut Korsch, teori Marx
mempunyai suatu tujuan ganda; suatu tujuan teoritis yang sekaligus berakibat praktis. Tujuan
teoritis Marx adalah kritik terhadap kategori-ketegori ilmu-ilmu borjuis, khususnya ilmu
ekonomi. Kritik teoritis atas diterminasi ekonomi tersebuti sekaligus memecahkan daya
pesona pikiran-pikiran borjuisitu atas masyarakat dan membebaskan masyarakat kepada
suatu kesadaran revolusioner. Karena itu, Pendek kata;

1. Teori kritis secara praktis merangsang kesadaran set- iap orang untuk membangun
kesadaran atas realitas kehidupan yang ada. Selain itu, teori kritis menjadi inspirasi gerakan
praktis bagi kelompok-kelompok kiri dalam memperjuangkan hak dan kepentingannya dan

18
yang tidak puas dengan kondisi kemapanan masyarakat yang ada, terutama di negara-negara
Amerika Latin (negara-negara sosialis yang menentang dominasi sistem kapaitalisme) dan
negara-negara berkembang.

2. Teori kritis memberi pelajaran dan membawa kita untuk berfikir "menunda", tidak
terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan dan keputusan, dan tidak melihat sesuatu (realitas
sosial) secara linier. Teori kritis membawa kita untuk tidak sekedar berwacana kritis, tetapi
bertindak kritis dan emansipatoris.

3. Kritik teoritis atas diterminasi ekonomi sekaligus meme- cahkan daya pesona
pikiran-pikiran borjuis itu atas masyarakat dan membebaskan masyarakat kepada suatu
kesadaran revolusioner.

H. Kritik Atas Teori Kritis

Teori kritis adalah salah satu teori yang cukup memberi pengaruh sangat signifikan
dalam perkembangan teori-teori ilmu sosial pada abad 19. Teori kritis tak hanya sekedar
menjadi perbicangan teoritis-akademik di kampus-kampus, tapi ja menjadi inspirasi bagi
individu dan kelompok oposisional dalam melakukan gerakan sosial untuk melakukan
perubahan di tengah masyarakat yang penuh dengan ketidakadilan.

Satu sisi, teori sosial kritik telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit terhadap
per-kembangan teoritik dan praktik dari ilmu pengetahuan. Dalam tataran praktis hampir
sebagian besar, gerakan-gerakan sosial oposisional terhadap kemapanan (status quo) yang
meng-inginkan adanya perubahan struktural dalam masyarakat yang lebih baik pangkal
pikirnya berawal dari pemamahan teori sosial kritis ini. Dengan kata lain, teori sosial kritis
telah memberikan horizon teoritik dalam khasanah teori sosiologi yang telah "mapan" (baca:
teori positivisme). Namun demikian, teen sosial kritis ini bukan tanpa kritis dari para
ilmuwan sosial.

19
BAB V
SISTEM MULTI PARTAI,PRESIDENSIAL DAN PERSOALAN
EFEKTIVITAS PEMERINTAH

Pendahuluan
Perdebatan paling seru menjelang diselenggarakannya hajatan nasional, pemilu 2009,
adalah bagaimana melanjutkan reformasi di bidang politik, khususnya sistem pemilu dan
pemerintahan, yang ditujukan untuk memperkuat stabilitas dan meningkatkan efektivitas
dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan pemerintah.
Tidak sedikit ahli politik berpendapat bahwa pasca turunnya Presiden Suharto,
stabilitas dan efektivitas peme- rintahan dinilai lemah. Kebijakan-kebijakan pemerintah tidak
efektif di implementasikan, bahkan pemerintah terpilih dapat diberhentikan ditengah masa
kerjanya. Contoh yang paling mudah diingat adalah ketika Presiden Abdurrahman Wahid
diturunkan dari jabatannya oleh MPR. Pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudoyono
tidak sedikit kebijakan-kebijakan atau program-program pemerintah mendapatkan
perlawanan bahkan penolakan dari DPR, misalnya pengangkatan Gubernur BI, rencana
meningkatkan BBM, dan sebagainya. Berbaliknya pendulum politik di Indonesia pasca
turunnya Presiden Suharto tidak lepas dari hasil amandemen UUD 1945.

Definisi Sistem Kepartaian


Sistem multi partai adalah salah satu varian dari beberapa sistem kepartaian yang
berkembang di dunia modern saat ini. Andrew Heywood (2002) berpendapat bahwa sistem
partai politik adalah sebuah jaringan dari hubungan dan interakasi antara partai politik di
dalam sebuah sistem politik yang berjalan. Untuk mempermudah memahami sistem partai
politik Heywood kemudian memberikan kata kunci untuk membedakan tipe-tipe sistem
kepartaian. Kata kunci tersebut adalah jumlah partai politik yang tumbuh atau eksis yang
mengikuti kompetisi mendapatkan kekuasaan melalui pemilu. Parameter "jumlah partai
politik untuk menentukan tipe sisem partai politik pertama kali dikenalkan dan dipopulerkan
oleh Duverger pada tahun 1954 dimana Duverger membedakan tipe sitem politik menjadi 3
sistem, yaitu sistem partai tunggal, sistem dua partai, dan sistem multi partai.

Praktek Sistem Kepartaian di Indonesia


Konsititusi kita (UUD 1945) tidak mengamanatkan secara jelas sistem kepartaian apa
yang harus diimple- mentasikan. Meskipun demikian konstitusi mengisyaratkan bahwa
bangsa Indonesia menerapkan sistem multi partai. Pasal tersebut adalah pasal 6A (2) UUD
1945 yang menyatakan bahwa Pasangan Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik. Dari pasal tersebut tersirat bahwa Indonesia menganut
sistem multi partai karena yang berhak mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil
presiden adalah partai politik atau gabungan partai politik. Kata "gabungan partai poltitik"
artinya paling sedikit dua partai politik yang menggabungkan diri untuk mencalonkan
presiden untuk bersaing dengan calon lainnya yang diusung oleh partai politik lain. Dengan
demikian dari pasal tersebut di dalam pemilu presiden dan wakil presiden paling sedikit
terdapat tiga partai politik.

20
Sistem Presidensialisme di Indonesia
Sistem presidensial paling tidak memiliki 2 (dua) ciri utama (Mainwarring, 1990).
Ciri pertama adalah kepala pemerintahan (presiden) dipilih secara terpisah dengan pemilihan
anggota parlemen. Dengan demikian hasil pemillu legislatif tidak menentukan kekuasaan
pemerintah (eksekutif) secara langsung. Ciri yang kedua adalah kepala pemerintah dipilih
untuk memerintah dengan periode waktu yang tetap (misalnya 5 tahun). Selian kedua ciri
utama yang dikemukakan oleh Mainwaring tersebut, Heywood memberikan beberapa ciri
lain dari sebuah sistem presidensial. Ciri-ciri tersebut antara lain kepala negara dan kepala
pemerintahan dijabat oleh seorang presiden, kekuasaan eksekutif berada di tangan presiden
sedangkan kabinet yang terdiri dari menteri-menteri adalah pembantu dan bertanggungjawab
kepada presiden,dan di dalam sistem presidensial terdapat pemisahan personel yang ada di
parlemen dan di pemerintah.

Presidensialisme - Multi Partai dan Efektivitas Pemerintah


Banyak pernyataan yang disampaikan oleh akademisi, anggota parlemen, dan
pengamat politik bahwa pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang
Yodoyono dinilai kurang atau tidak efektif dalam mengimplementasikan program-program
yang dihasilkan di tengah-tengah masya- rakat. Banyak ahli yang berpendapat bahwa tidak
efektifnya pemerintahan SBY disebabkan karena hubungan antara lembaga kepresidenan dan
lembaga parlemen tidak baik.

Ada beberapa alasan mengapa sistem presidensial dan sistem multi partai kurang berhasil di
dalam menciptakan pemerintahan yang efektif dan stabil dibandingkan dengan sistem
parlementer yang dikombinasikan dengan sistem dua partai. Menurut Mainawrring (2008)
terdapat beberapa alasan/kelemahan sistem presidensial yang dikombinasikan dengan sistem
multi partai.

Pertama, karena pemilihan presiden dan parlemen diselenggarakan secara terpisah


maka kemungkinan presiden yang terpilih adalah presiden yang tidak mendapatkan dukungan
mayoritas di parlemen. Hal ini terjadi di Indonesia, Presiden SBY berasal dari partai politik
yang memiliki suara dan kursi yang kecil, P.Demokrat mendapatkan suara 7,45%. Padahal di
dalam sistem presidensial dukungan parlemen kepada presiden sangat berpengaruh di dalam
proses pembuatan undang-undang dan pelaksanaan kebijakan dan program-program
pemerintah.

Kedua, personal presiden -termasuk kepribadian dan kapasitas-merupakan salah satu


faktor yang penting. Di dalamn sebuah situasi yang sulit seperti keadaan krisis ekonomi saat
ini presiden dihadapkan pada pekerjaan yang sangat banyak dan rumit.

Ketiga, di dalam sebuah sistem presidensial dan multi partai membangun koalisi
partai politik untuk memenangkan pemilu adalah hal yang sangat wajar dan umum terjadi.
Koalisi partai politik terjadi karena untuk mendapatkan dukungan mayoritas dari parlemen
merupakan sesuatu yang sangat sulit.

21
Keempat adalah lemahya penegakan fatsoen politik politisi yang ada di eksekutif
maupun parlemen. Tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat beberapa politisi di parlemen yang
tidak mengindahkan etika dalam berpolitik.

Pilihan Solusi Masalah

Kalau kita sepakat bahwa tujuan utama penataan sistem politik Indonesia ditujukan untuk
menciptakan pemerintahan yang efektif dan stabil maka ada beberapa alternatif jawaban yang
patut dipertimbangkan oleh para pembuat kebijakan. Beberapa alternatif tersebut adalah
sebagai berikut;

1. Mengubah Sistem Presidensial menjadi Sistem Parlemen Sepertinya pilihan


pertama ini sangat sulit, kalau tidak dibilang mustahil, untuk dilakukan. Selain pengalam- an
traumatis yang pernah dialami Indonesia pada masa demokrasi parlementer, UUD 1945
secara tegas meng- amanatkan bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensial.

2. Mengubah Sistem Kepartaian


Contoh negara yang mengimplementasikan sistem presidensial yang sukses adalah Amerika
dimana sistem presidensial di dukung oleh sistem dwi partai. Kalau bangsa Indonesia ingin
berkiblat kepada Amerika di dalam menata sistem politiknya maka sistem multi partai
haruslah diubah menjadi sistem dwi partai.

3. Mengurangi Jumlah Partai Politik


Jumlah partai politik yang terlalu banyak juga merupakan salah satu faktor penyumbang tidak
efektifnya sistem pemerintah di Indonesia. Banyaknya partai politik yang ikut dalam pemilu
menyebabkan koalisi yang dibangun untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden terlalu
"gemuk" karena melibatkan banyak parpol.

4. Menyelenggarakan Pemilu Presiden dan Legislatif secara Bersama-sama


(Concurrent Elections)
Beberapa pengamat politik berpendapat penyelenggaraan pemilu legislatif dan presiden
secara bersama-sama, concurrent elections, akan menciptakan pemerintahan yang efektif.
Dengan concurrent elections presiden terpilih akan mendapatkan legitimasi yang kuat dari
rakyat dan mendapatkan dukungan yang kuat dari parlemen.

22
BAB VI
DOMINASI OLIGARKI DAN KETIDAKHADIRAN PARTAI POLITIK HIJAU DI
INDONESIA

Pendahuluan
Sesuai bunyi Pasal 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, bahwa fungsi partai
politik selain sebagai sarana partisipasi politik warga negara juga merupakan sarana
penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat. Permasalahan penting
terkait partai tentu adalah Pemilu dan Pilkada. Isu yang menjadi sorotan disini adalah partai
atau tepatnya hasil pemilu atau pilkada selalu menyisakan persoalan.Salah satu yang tidak
pernah absen setiap tahunnya adalah aspirasi terkait kerusakan lingkungan dan dampak
kerusakan lingkungan. Pemerintah juga sering kali berjanji untuk mengurangi dampak
kerusakan.

Pentingnya Partai Hijau


Banyak cara untuk terlibat dalam perjuangan peles- tarian lingjungan, di antaranya
melalui jalur politik. Keterlibatan gerakan lingkungan dalam politik diimplementasikan
dalam berbagai bentuk, seperti partai politik, lembaga masyarakat atau gerakan masyarakat
itu sendiri (volunteer). Bentuk gerakan politik lingkungan atau yang kemudian disebut
sebagai politik hijau di Indonesia sampai saat ini diimplementasikan dengan pengajuan petisi,
gugatan atas kebijakan dan aksi mobilisasi massa. Sebagai contoh pada kebakaran hutan dan
lahan (karhutla) yang terjadi di Provinsi Riau tahun 2014, Walhi dan Greenpeace mengajukan
petisi online melalui platform change.org dan surat resmi kepada Presiden Joko Widodo
untuk melakukan "blusukan asap. Pada kasus Limbah di Sumedang Jawa Barat, Walhi dan
Greenpeace melakukan gugatan terhadap Bupati Sumedang yang telah menerbitkan Izin
Pembuangan Limbah Cair (IPLC) untuk Kahatex, PT. Insan Sandang, dan PT. Five Star di
Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Bandung pada tahun 2016. Sementara itu, contoh
gerakan aksi mobilisasi massa yang dilakukan kelompok masyarakat dan aktivis lingkungan
sudah sangat sering terjadi mulai dari isu perubahan iklim, kebakaran hutan, reklamasi
sampai terlibat dalam bagian aksi "tolak kenaikan BBM" bulan September 2022 bersama
dengan kelompok mahasiswa dan buruh.
Pada 5 Juni 2012 sempat dideklarasikan Partai Hijau Indonesia (PHI) oleh sejumlah
petani, buruh, dan aktivis lingkungan yang diinisiasi oleh Chairil Syah, dkk. di Bandung
Chairil Syah sendiri merupakan mantan Koordinator Nasional Walhidan Dewan Penasihat
YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), sehingga terlibat juga dalam
deklarasi tersebut jaringan Serikat Pekerja Progresif, Ikatan Walhi Internasional, dan Serikat
Hijau Indonesia (SHI). Deklarasi PHI diharapkan dapat memperjelas signifikansi isu
lingkungan dalam konstelasi politik Indonesia, tetapi faktanya justru PHI tidak cukup mampu
bahkan belum sampai mengikuti kontestasi pemilu 2014 partai tersebut sudah bubar.
Menurut M. Uhaib (2000), faktor yang menjadi latar belakang kerusakan lingkungan
dan dampaknya bukan hanya soal penyalahgunaan wewenang dan ketidakefektifan pene-
gakkan hukum tetapi, menurut Ophuls (1977) dalam Bowman (Bowman, 1978), juga
disebabkan faktor ketidakmerataan dan faktor tekanan kekuasaan. Pemerintahan Soeharto
telah mewariskan ketimpangan struktur agraria dan hasilnya, me- nurut data World Bank
tahun 2015, terdapat 1% keluarga di Indonesia yang menguasai 50% lebih kekayaan bangsa
Indo- nesia. Senada dengan itu, menurut Tubagus, "model pem- bangunan dengan cara

23
ekstraksi sumber daya alam jelas-jelas gagal karena hanya merusak alam dan menghilangkan
sumber- sumber kehidupan rakyat. Contoh yang paling nyata adalah Undang-Undang
Minerba". Selain Undang-Undang Minerba, Tubagus juga menilai logika Presiden Jokowi
mengundang investasi melalui Undang-Undang Cipta Kerja juga omong kosong, hal itu
justru menunjukkan wajah pemerintah sebagai bagian dari oligarki yang pada akhirnya
memperparah kesenjangan ekonomi antara "si kaya" dan "si miskin".
Sumber daya alam sebagai pendapatan oligarki tidak hanya terkonsentrasi dan
dimonopoli oligarki tetapi juga menyebabkan ketimpangan dan kerugian negara. Pasca ra
formasi, tercatat pada tahun 2017 pengelolaan sumber daya alam (SDA) menyumbang
sebesar 1.480,04 Triliun atau 10,89% dari total keuntungan PDB Indonesia. Namun alih- alih
menjadi aset pembangunan dan pertumbuhan ekonomi pengelolaan SDA juga sering kali
menyumbang pada kerugian negara. Menurut Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring
Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama S Langkun, dalam kurun waktu 2010-
2017 sekurang-kurangnya terdapat 115 kasus korupsi dan 326 orang menjadi tersangka dalam
perkara korupsi sumber daya alam, di antaranya dari sektor perkebunan, kehutanan dan
pertambangan. Enam kasus saja, menurut Tama, memiliki potensi kerugian negara sebesar
7,26 Triliun (CNN Indonesia, 2018). Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga
menetapkan Bupati Kota Waringin Timur Supian Hadi (5,8 Triliun), Mantan Gubernur
Sulawesi Tenggara Nur Alam (2,78 T) dan Mantan Bupati Konawe Utara Aswa Sulaiman
(2,7 Triliun) sebagai tersangka. Kasus korupsi pejabat daerah selain karena penyalahgunaan
kekuasaan juga bisa terjadi karena hubungan antara bisnis dan negara atau dengan kata lain
konspirasi antara pejabat publik dan perusahaan swasta (Syarif & Faisal, 2019).
Menurut Chairil Syah, polarisasi antara orang-orang yang mendukung pendirian partai
dan yang hanya meng- inginkan ormas senantiasa mewarnai setiap pertemuan sampai pada
akhirnya tahun 2012, "kami menggelar deklarasi PHI bersama dengan kawan-kawan lain
seperti Greenpeace yang saat itu mengamanatkan kepada Berry Nahdiyan Furqon untuk
menjadi ketua dan mempersiapkan kongres selanjutnya" (Wawancara Pribadi, 2020). Namun
lagi-lagi langkah ini gagal dan satu tahun kemudian Berry mundur dari jabatannya digantikan
John Muhammad. Menurut Chairil Syah, kegagalan yang berulang ini dikarenakan "pro-
kontra yang terjadi di internal aktivis lingkungan itu sendiri" (Wawancara Pribadi, 2020).
Sementara itu, menurut Muhammad dan Abraham (2016) dalam tulisannya melihat kesadaran
masyarakat akan kerusakan lingkungan dan kebutuhannya untuk memperbaiki lingkungan
tetapi terdapat paradoks di masyarakat, yaitu "Kita anti parpol, tapi kita sadar membutuhkan
parpol untuk menen- tukan kemenangan agenda publik". Hal itulah yang menjadi salah satu
kesulitan Partai Hijau berkembang di Indonesia.

24
Ketidakefektifan kekuasaan dalam

penyelesaian masalah lingkungan pada dasarnya karena setiap individu


mementingkan diri sendiri dan kesadaran kolektif yang terimplementasi pada aturan dan
kebijakan-kebijakan tentang penggunaan yang berkelanjutan pada dasarnya tidak akan
banyak membantu (Hardin, 1968), bahkan tindakan altruistis atasnama kepentingan
lingkungan kolektif menurut Mast (2013) akan merugikan individu yang altruistis dan
menguntungkan bagi pesaingnya. Namun meski begitu tantangan terbesar justru bukanlah
kepentingan individu tetapi ketidakseimbangan sistem politik yang menurut penulis
dihasilkan dari ketidakhadiran narasi politik hijau dalam bentuk platform partai politik. Oleh
karena itu narasi politik hijau masih memerlukan saluran formal politik untuk menegaskan
eksistensinya. Hal yang sama juga berlaku untuk kelompok lain, misalnya studi Zainuddin
dan Suryaningsih (2017) yang mendorong Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) untuk
bertransformasi menjadi partai politik seperti Ikhwanul Muslimin (IM) dalam rangka
memperjuangkan kepentingan Islam dalam kehidupan bernegara. Lebih dari itu, kehadiran
Partai Hijau di Indonesia justru berpotensi untuk membatasi ruang gerak oligarki dalam
melakukan konsentrasi penguasaan sumber daya alam. Terlepas dari perdebatan atas
legitimasi keterwakilan namun faktanya keterwakilan non-elektoral sampai saat ini masih
dirasa kurang mampu mempengaruhi pembuatan keputusan. Dalam konteks ini, narasi politik
hijau mesti bertransformasi dalam platform partai politik di Indonesia sehingga dapat secara
langsung terlibat dan berpengaruh sebagai pertimbangan proses pembuatan kebijakan politik.

25
BAB VII
KAPITALISME DEMOKRASI,OLIGARKI LOKAL,DAN PATRONASE POLITIK
(keterlibatan pengusaha dalam pemilihan kepala daerah di kabupaten barito kuala
kalimantan selatan)

Pilkada dalam Pusaran Oligarki Lokal dan Arena Membangun Jaringan Patronase
Ekonomi dan Politik
Istilah oligarki menurut International Encylopedia of social science mendefinsikan
oligarki sebagai bentuk pemerintahan dimana kekuasaan politik berada di tangan minoritas
kecil. Sedangkan pelakunya disebut dengan oligark (oligarch). Robert Mitchel dalam
bukunya Political Parties, a Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern
Democracy menyebut kecenderungan ini dengan julukan democracy oligarchy. Sementara itu
dalam pandangan Winters (2011), oligark adalah pelaku yang menguasai dan mengendalikan
sumber daya ekonomi yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan
kekayaan pribadi dan posisi sosial. Para oligark dapat berdiri sendiri dan berkuasa atau
melekat dalam rezim otoriter dan demokrasi.
Kalimantan Selatan memiliki potensi sumber daya tam- bang terbesar kedua di negeri
ini dan memiliki potensi sumber daya tambang, para aktor lokal telah menjadikan tambang
sebagai pusaran persekongkolan di balik pilkada. Pada saat itu sumbar daya tambang telah
berada dalam kuasa oligarki lokal seiring kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
Dinamika politik lokal di Kalsel pada setiap peristiwa demokrasi (pilkada) selalu terkait
dengan isu tambang. Pilkada sebagai proses demokratisasi telah disandera oleh kekuatan
modal melalui persekongkolan antara calon penguasa dengan pengusaha. Para pengusaha
memposisikan diri sebagai pengatur pang- gung demokrasi yang bisa mengatur pola serangan
dan irama permainan politik di Kalsel. Tidak mengherankan bila pasca Pilkada para
pengusaha tersebut memposisikan diri dalam pemerintahan sebagai shadow government dan
sekaligus menjadi pangusaha klientelistik atau kroni bisnis penguasa daerah yang
memonopoli sumber-sumber ekonomi, khususnya bisnis pertambangan, dan proyek
pembangunan infrastruktur daerah, sebagai politik balas Budi.
Di era pemerintahan Orde Baru, Partai Golkar men- dominasi jagat politik di negeri
ini. Pada pasca rezim Orde Baru Partai Golkar tidak lagi menjadi kekuatan tunggal atau
dominan dalam membangun struktur kekuasaan, akan tetapi telah terfragmentasi melalui
berbagai kekuatan Partai Politik dalam membangun struktur kekuasaan politik pada level
nasional maupun lokal. Oleh karena itu, pada kasus di Kalimantan Selatan, beberapa
pengusaha tambang menguasai posisi-posisi strategis dalam partai. Dengan menguasai partai,
maka oligarki lokal akan semakin terstruktur karena telah menjadikan partai sebagai kartel
atau lembaga korporasi ketimbang menjadi katalisator politik rakyat. Oleh karena itu para
pengusaha tambang yang bermodal besar dan memiliki sejumlah perusahaan tambang,
demikian pula para pensiunan birokrat (bupati dan gubernur) yang memiliki modal besar,
berlomba-lomba memperebutkan posisi strategis dalam partai politik atau menjadi ketua dari
salah satu partai politik. Dengan menguasai lembaga demokrasi akan memiliki nilai strategis
dan membangun konsesi-konsesi ekonomi dan politik bagi para kandidat penguasa, baik dari
segi kekuatan dana maupun dari segi nilai politik.

26
Pemilihan Kepala Daerah Barito Kuala
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Baritokuala (Batola) pasangan
Noormiliyani-Rahmadian Noor (Dua Noor) unggul dengan raihan suara 48,11 persen.
Pasangan Dua Noor berhasil mengungguli dia rivalnya di Pilkada Batola yakni Hasan Ismail-
Fahrin Nizar (34,61 persen) dan Bahrian Noor-Suwandi (17,28 persen). Bupati terpilih
Noormiliyani yang berpasangan dengan Rahmadian Noor adalah isteri Hasanuddin Murad
yang telah menjabat sebagai Bupati Batola dua periode. Sementara Ramadian Noor sebagai
Wakil Bupati terpilih tidak lain adalah kemenakan Hasanuddin Murad. Tampilnya
Normiliyani-Rahmadian Noor sebagai pemenang dalam Pilkada Barito Kuala telah
memparpanjang politik dinasti kukuasaan Hasanuddin Murad dalam panggung politik lokal
di Barito Kuala.

Pasangan Normaliyani-Rahmadian Noor yang diusung Partai Golkar dan Demokrat,


pasangan Bahrianoor-Suwandi didukung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai
Gerindra, sementara pasangan Hasan Ismail-Fahrin Nizar didukung Partai Keadilan Sejahtera
(PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Hanura, dan Partai Bulan Bintang. Bila
diamati para Ketua Parpol pengusung para pasangan colan bupati adalah orang-orang yang
berlatar belakang pengusaha, pejabat daerah, atau mantan pejabat daerah. Sebut saja
mislanya, Partai Golkar sebagai pengusung pasangan Normaliyani-Rahmadian Noor, salah
satu pengurus penting di Partai Golkar adalah Hasanuddin Murad yang mengusung isterinya
sebagai calon Bupati Barito Kuala. PKB dan Partai Gerindra yang mengusung pasangan
Bahrianoor-Suwandi seperti diketahui bahwa Ketua PKB Kalimantan Selatan adalah
Zahirullah Azhar mantan Bupati Tanah Bumbu dua periode yang memiliki jaringan dengan
para pengusaha tambang, sementara Ketua Partai Gerindra Kalimantan Selatan adalah H.
Abidin yang dikenal sebagai pengusaha atau pemilik pelabuhan tambang batubara. Sementara
itu, dukungan Parpol bagi pasangan Hasan Ismail- Fahrin Nizar, adalah Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan untuk Pimpinan Daerah Kalimantan Selatan adalah Mardani H Maming
yang masih menjabat sebagai Bupati Tanah Bumbu dua periode, Partai Amanat Nasional
(PAN), Ketua Pimpinan Daerah Kalimantan Selatan adalah Muhidin (Mantan Walikota
Banjarmasin, berlatar berlatar belakang pengusaha tambang). Pertai Persatuan Pembangunan
(PPP), tokoh sentralnya adalah Rudy Ariffin (mantan Gubernur Kalimantan Selatan).

Ketiga pasangan calon yang bertarung dalam Pilkada Barito Kuala masing-masing
dibelakangnya adalah orang- orang atau para oligarkis yang berlatar belakang pengusaha,
pejabat daerah, atau mantan penguasa daerah yang memiliki jaringan dengan para pengusaha
tambang. Hasanuddin Murad sebagai Bupati Barito kuala dua periode telah berhasil
mengantarkan isterinya sebagai pemenang. Pada proses sosialisasi atau masa-masa kampanye
kekuatan mobilisasi masaa sangat jelas dan struktur secara massive disemua titik lokasi mulai
dari desa-desa terpencil sampai pada tingkat
kecamatan dengan pengarahan armada angkutan darat dan sungai. Mobilisasi massa
pada saat kampanye sebagai arena pertunjukan kekuatan yang sulit ditandangi oleh pasangan
calon lainnya. Partai Golkar yang mengusai jagat politik lokal di Kabupaten Barito Kuala
sudah dapat dipastikan bahwa jaringan organisasi yang lebih solit dan ditambah oleh
dukungan pendanaan dari para elite-elite Partai Golkar yang memiliki jaringan bisnis
tambang menjadi kekuatan yang tidak tertandangi selama masa-masa kampanye. Tidak hanya

27
itu, dukungan pendanaan bagi pasangan Normaliyani-Rahmadian Noor datang dari
pengusaha lokal (Barito Kuala). Pengusaha lokal yang benyak bergerak dalam kontraktor
yang bernama H. Inab. Menurut Tokoh Etnis Daya Bakumpai, Pak Budiman, bahwa H. Ijab
telah memberikan bantuan dana sebanyak lima milyar bagi pasangan Normaliyani-
Rahmadian Noor dalam Pilkada.

Pilkada Barito Kuala: Pertarungan Para Oligarkis Predatoris


Pilkada Barito Kuala sesungguhnya adalah pertarungan para oligark untuk menguasai
wilayah kekuasaan politik dan ekonomi. Seperti dijelaskan sebelumnya walaupun daerah ini
tidak memiliki tambang batubara akan tetapi walayah ini adalah tempat lalu lintas kapal-
kapal tongkang batubara yang melintasi Sungai Barito yang masuk dalam wilayah Kabupaten
Barito Kuala. Sebut saja misalnya, Sungai Barito sumber pendapatan ekonomi dari pelintasan
tongkang-tongkang batubara setiap saat akan tetapi tidak pernah mendapatkan kejelasan
berapa pendapatan yang dihasilkan dari kapal-kapal tongkang yang melewati Alur Sungai
Barito dari sektor royalti atau sektor pendapatan lainnya. Ketika dikonfirmasin dari sejaumlah
pejabat daerah dalam soal royalti atau pengutan lain dari aktivitas ekonomi Alur Sungai
Barito, hampir semuanya bungkam dan tidak bisa menjelaskan secara jelas.

Kemana Posisi H. Sahbirin Noor (Gubernur Kalimantan Selatan) dan H. Syamsuddin


atau H. Isam dalam Pilkada Barito Kuala?
Pada awalnya H. Sahbirin Noor memberikan dukungan pada pasangan nomer tiga,
Hasan Ismali-Fahrin Nizar sebelum Sahbirin Noor terpilih secara aklamasi menjadi Ketua
Partai Golkar Kalimantan Selatan. Seiring perjalanan waktu dalam proses Pilkada nampaknya
ada sinyal dari Pimpinan Partai Golkar Pusat untuk tutup mulut. Artinya, take it silent agar
tidak pro aktif atau terlibat secara langsung mendukung pasangan Hasan Ismail-Fahrin Nizar.
Harus melakukan balik kucing mendukung pasangan nomer satu Normaliyani-Rahmadian
Noor yang diusung oleh Partai Golkar. H. Sahbirin Noor yang telah terpilih sebagai Ketua
Partai Golakar Kalimantan Selatan, harus memberikan dukungan dan memenangkan
pasangan nomer satu tersebut. Situasi politik ini sangat merugikan moral politik pasangan
nomer tiga, Hasan Ismail-Fahrin Nizar yang telah berharap pada H. Sahbirin Noor ikut
mendukung kemenangan dalam Pilkada.

Pilkada dan Proxy War para Oligarki Lokal


Pilkada Barito Kuala bagaikan proxy war para oligarki lokal untuk menguasai
wilayah politik dan ekonomi. Untuk desain politik ke depan para aktor selalu berusaha
mengusai beberapa wilayah untuk menjadikan penguasa di wilayah tersebut melalui garis
dukungan Partai Politik. Dengan menempatkan orang-orang dari partai yang politik yang
dipimpin akan lebih memudahkan membangun konsesi- konsesi kekuasaan politik dan
ekonomi. Dalam konteks ekonomi, tentunya isu pengelolalan sumber daya alama atau
tambang batubaru selalu menjadi tema abadi dalam setiap momen politik di Kalsel. Salah
satu strategi membangun jaringan di antara para aktor untuk menguasai oligarki bisnis
tambang, yaitu arena pemilihan kepala daerah (pilkada) yang sesungguhnya aktualisasi dari
jaringan bisnis dan politik. Keterlibatan para aktor tambang di balik kapitalisasi pilkada,
sebagai bandar politik (political broker) atau penyuplai dana (supporting financial), dan
strategi membangun relasi kuasa atau patronase dengan calon penguasa daerah.

28
Pasar Politik di Tengah Demokrasi yang Melelahkan
Hiruk-pikuk panasnya suasana politik menjelangkontestasi elektoral 2020 di
Kalimantan Selatan sudah mulai terasa. Para elite politik atau orang-orang yang ingin
bertarung di arena demokrasi mulai mendatangi kantor partai politik. Harapannya, bisa
mendapatkan dukungan partai sebagai kendaraan politik menju arena panggung demokrasi
2020.
Tidak hanya itu, jumlah kandidat kandidat sudah mulai membentuk posko
pemenangan di daerah, juga sejumah baleho atau iklan politik mulai terlihat para kandidat
dengan latar partai yang kemungkinan menjadi kendaraan politik.
Kasak-kusuk para kandidat membangun komunikasi politik dengan sejumlah partai,
juga para kandidat sudah mulai mendatangi para tokoh politik atau orang-orang yang
memiliki pangaruh polik atau tokoh masyarakat yang memiliki basis massa seperti ulama
atau kiai untuk menjelaskan visi dan misi.

Jenderal Kunyuk dan Komparador


Secara tidak sengaja ketika saya merapikan buku- buku perpustakaan pribadi, saya
menemukan beberapa buku dengan judul yang sangat menarik. Saya katakan buku itu
menarik karena bercerita mengenai: Patron-Client Relationship, Bereaucracy Patrimonalism,
Relations Politician and Business, State, Market, and Democracy, and Collaboration Actors
and Power Money.

Adalah Prof Edward Apspinall, Prof Marcuse Meiztner, Prof Meridith L. Weiss, Prof
Vedi R Hadiz, Prof Richard Robison, dan Dr Muhammad Uhaib As'ad. Seperti biasanya, dan
sudah menjadi kebiasaan, saya harus membaca sejumlah literatur dan jurnal yang menarik
untuk menambah adrenalin intelektul sebagai seorang akademisi.

Selain itu, karena sering mendapat undangan sebagai pembicara mulai dari kelas
kampung-lokal maupun nasional- international dan kepentingan menulis di jurnal nasional
dan internasiona.

Gurita Korupsi Politik dan Menjemput Ajal Anak Bangsa


Praktek korupsi di negeri ini sudah tidak terbendung lagi. Praktek korupsi telah
melumpuhkan institusi kehidupan bangsa. Nyaris sempurna dan tidak menyisakan, institusi
mana lagi yang tidak tenggelam dimakan arus pusaran korupsi politik
Korupsi itu terstruktur dan dilakukan secara berjamaah oleh orang-orang yang
memiliki kekuasaan, kekuasaan politik kekuasaan ekonomi, dan kekuasaan bisnis. Negara ini
telah menjadi lahan subur bagi peternakan korupsi. Menjadi epicentrum kejahatan politik,
ekonomi, dan kemanusiaan.
Institusi negara telah terseret masuk dalam arus pusaran korupsi politik yang
dimainkan oleh para aktor-aktor jahat. Tidak hanya itu, institusi negara menjadi instrumen
kolaborasi oleh para panjahat bisnis dan berlindung di baik institusi- Institusi demokrasi,
partai politik, dan institusi hukum.

29
DAFTAR PUSTAKA
Aspinall, Edward and Mada Sukmajati (eds) (2016). Electoral Dy namics in Indonesia:
Money Politics, Patronage and Clien- telism at the Grassroots. Singapore: NUS Press, ISBN
9789814722049

Aspinall, Edward, (2017), Vote Buying in Indonesia: Candidate Strategies, Market Logic and
Effecitiveness, Journal of East Asian Studies.

Aspinall, Edward, Marcus Mietzner, (2010): "Problems of Democratisation in Indonesia:


Elections, Institutions and Society", Indonesia Update Series Collega of Asia and The Pacific
The Australian National University

Aspinall, Edward, Gerry van Klinken (editor), (2011): "The State and Illegality in Indonesia",
KITLV Press Leiden.

Aspinall, E (2014) When brokers betray: Social networks adn electoral politics in Indonesia,
Critical Asian Studies 46 (4): 545-570.

Aspinall and As'ad (2015) The Patronase Patchwork: Village Brokerage Networks and the
Power of the State in an Indonesian Election, Bijdragen Tot De Taal, Land-EN Volkenkunde:
171 (165-195).

Aspinall and As'ad (2016, Understanding Family Politics: Success and Failures of Political
Dynasties in Regioanal Indonesia, South East Asia Research, 1-16, SAGE

Allan, Nathan W. (2012), Diversity, Patronage and Parties and Party System Change in
Indonesia. (PhD) dissertation, University of British Columbia.

As'ad, Muhammad Uhaib, (2016), Politik Kebijakan Pertamba ngan: Persekongkolan Antara
Penguasa dan Pengusaha dalam Pilkada di Kalimantan Selatan, Genta Publishing,
Yogyakarta.

As'ad, Muhammad Uhaib, (2013), Local Election: Mining and Local Bossism in South
Kalimantan and Central Kalimantan, Institute of Politics and Public Policy Studies, Banjar-
masin. As'ad, Muhammad Uhaib, (2015). Tambang dan Bisnis Politik di Kalimantan Selatan,
Fisip Universitas Islam Kalimantan, Banjarmasin.

As'ad, Muhammad Uhaib (2017), Local Bossism, Local Strongmen in the Political
Landscape in South Kalimantan, Institute of Politics and Public Policy Studies, Banjarmasin.

Case, William, Ed, (2015) Routledge Handbook of Southeast Asian Democratization. First
published by Routledge Park Square, Milton Park Abingdon, Case, William, (1995).
Comparing Regime Continuity and Change: Indonesia, Thailand and Malaysia, Published by
The Department of Political and Social Change Research School of Pacific and Asian Studies
The Australian National University 1995

30
Choi, Nankyung (2014) Local Politics Elites in Indonesia: Risers and Holdovers, Sojourn
Journal of Social Issues in Southeast Asia, 29-2:364-407.

Hadiz VR (2010) Localising Power in Post-Authoritarian Indonesaia: A Southeast Asia


Perspective. Stanford, CA: Stanford University Press.

Hadiz, Vedi R, (2003), Decentralization and Democracy in Indonesia: A Critique of Neo-


Institutionalist Perspectives, Working Papaers Series No. 47, Citu University of Hong Kong:
Southeast Asia Research.

Hidayat, S., Susanto, H., Erman, E., Soesilowati, E.S. & Usman, TS. (2006), Bisnis dan
Politik di Tingkat Lokal: Pengusaha, Penguasa, dan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
Pasca Pilkada, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jakarta: LIPI Press. 382 Hicken,
Allen (2011), Clientelism; Annual Review of Political Science 14:289- 310

MacIntyre, Andrew, (1992), Business and Politics in Indonesia, NSW: Asian Studies
Association of Australia in Assiciation with Allen and Unwin.

Migdal, Joel S, (1988), Strong Societies and Weak States. State - Society Relations and State
Capabilities in the Third World, Princeton University Press, 1988.

Muhtadi, Burhanuddin, Paper (2013, Money Politics and Electoral Dynamics in Indonesia A
Preliminary Study of The Interaction Between "Party-ID" and Patron- Client

Hutchcroft, Paul D (2013). Linking Capital and Countryside: Patronage and Clinetelis in
Japang, Thailand, adn Philippines; in: D.A. Brun and I. Diamond (eds), Clentelism,
Social Policies, and the Quality of Democracy, pp. 174- 2013 Baltimore: Johns Hopkins
University Press. Stokes, Susan C., Thad Dunning, Marcelo Nazareno, and Valeria Brusco
(2013). Brokers, Voters, and Clientelism: The Puzzle of Distributive Politics. Cambridge:
Cambridge University Press.

Susanto, Hari (2007). Penguasa, Pengusaha dan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Pasca
Pilkada: Kasus Provinsi Kalimantan Selatan; In: S. Hidayat (ed.), Bisnis dan Politik di
Tingkat Lokal: Pengusaha, Penguasa dan Penyelenggaraan Pemerintahan Daertah Pasca
Pilkada, pp. 183-233. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Sidel, John T. Capital, Coercion and Crime: Bossism in the Philippines, Stanford: Stanford
University Press, 1999. Robinson, R. and Hadiz, V, (2004), Reorganising Power in
Indonesia: ThePolitics of Oligarchy in An Age of Markets, London: Routledge Curzon.

Winters, Jeffrey A, (2017) Electoral Dynimics in Indonesia: Money Politics, Patronage and
Clientelism at the Grassroots, Bulletin of Indonesian Economics Studies, Volume 52, 2016-
Issue 3

31

Anda mungkin juga menyukai