Dan
Fenomena politik
Npm : 2201020437
Nama : husnadia
Kelas : Reguler pagi A
KATA PENGANTAR
Buku berjudul "Teori Politik dan Fenomena Politik" ini dipersiapkan secara singkat
untuk menambah referensi mata kuliah Teori Politik. Akan tetapi lebih dari itu, kehadiran
buku ini sejatinya ingin menggugah komitmen mahasiswa dan siapa pun yang prihatin
dengan kondisi perpolitikan di Indonesia saat ini yang kental dengan nuansa oligarkis dan
mafia hukum.
Tidak dapat dibantah, bahwa sejak reformasi politik tahun 1998, geliat demokratisasi di
Indonesia menghasilkan sejumlah persoalan politik, seperti masalah kepemimpinan politik
dalam pemerintahan yang harus ditangani dengan baik, dalam arti telah menimbulkan
implikasi negatif dan justru memecah ikatan kebhinekaan yang telah disepakati oleh para
pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Salah satu upaya untuk mencapai demokratisasi politik, yang diharapkan dapat
mendorong tercapainya kesejahteraan. memadai dan dinikmati oleh seluruh lapisan
masyarakat, yang melalui penyelenggaraan pemerintahan di daerah yang lebih humanis,
aspiratif terhadap kepentingan lokal namun tetap dalam koridor hukum dan keberadaan
politik nasional.
Buku ini selain tetap memuat teori-teori politik untuk sebagiannya membahas
persoalan politik yang terjadi di Indonesia saat ini, termasuk masalah kerusakan lingkungan
akibat tidak hadirnya partai hijau dan seterusnya.
Membaca buku ini memang harus diiringin dengan komitmen bahwa masa depan kita
(Indonesia) masih ada, hanya saja dunia perpolitikannya harus selalu dibenahi
Akhir kata, sebagai sebuah buku yang memang belum komprehensif terutama dalam
mengurai aspek politik Indonesia kami memohon permakluman. Paling tidak kami
berjanji akan merevisinya lebih baik di masa yang akan datang.
SM & MU
1
Pengantar
Selayang Pandang Perkembangan Teori Ilmu Politik
SM dan MU
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TEORI-TEORI POLITIK
Ilmu politik adalah salah satu cabang dari ilmu sosial, yang berdampingan dengan
cabang ilmu sosial lainnya yakni sosiologi, antropologi, dll. Dengan demikian maka ilmu
politik berhubungan erat dengan ilmu-ilmu sosial tersebut yang objeknya adalah manusia
sebagai anggota kelompok (group).
Ilmu-ilmu tersebut mempelajari kelakuan manusia serta cara-cara manusia hidup serta
bekerja sama. Namun walaupun ilmu-ilmu tersebut saling berdampingan dan ber- hubungan
erat, tetapi tentu ada batasan-batasan antara ilmu politik dengan ilmu sosial lainnya dengan
melihat kepada sifat-sifat dan ruang lingkup ilmu politik itu sendiri. Konsep- konsep yang
dibahas dalam teori politik mencakup antara lain, masyarakat, kelas sosial, negara,
kekuasaan, kedaulatan, hak dan kewajiban, kemerdekaan, lembaga-lembaga negara,
Pengertian politik
Kesan yang ada selama ini politik itu kotor. Hal ini tak lepas dari persepsi umum yang
menyaksikan para politisi yang bermain secara tidak elegan. Berangkat dari itu, penting
kiranya dilacak apa dan bagaimana peristilahan dan sejarah politik itu sebenarnya.
4
c. Aksiologi Ilmu Politik
Ilmu kedokteran berorientasi pada peningkatan standar kesehatan masyarakat. Ilmu
ekonomi pada bagaimana seseorang dapat makmur secara material atau ilmu militer pada
penciptaan prajurit-prajurit yang dapat menjamin keamanan negara. Ketiganya adalah
aksiologi. Aksiologi adalah guna dari suatu ilmu atau, untuk apa ilmu tersebut diperuntukkan
nantinya.
Teori-Teori Politik
Secara umum, teori adalah sebuah sistem konsep abstrak yang mengindikasikan
adanya hubungan diantara konsep-konsep tersebut yang membantu kita memahami sebuah
fenomena. Jika disederhanakan, suatu teori adalah suatu kerangka kerja konseptual untuk
mengatur pengetahuan dan menyediakan suatu cetak biru untuk melakukan beberapa
tindakan selanjutnya.
5
2) Teori Politik Thomas Aquinas Teori politik Thomas Aquinas meliputi:
1. Pembagian negara baik dan negara buruk yang menerapkan sumber teori politik.
2. Tujuan negara yang diidentik dengan tujuan manu- sia dalam hidup yakni mencapai
kemuliaan abadi dalam hidup. Untuk mencapai kemuliaan abadi maka diperlukan
pemerintah yang berbentuk Monarki.
3. Dalam negara diperlukan adanya hukum abadi yang berakar dari jiwa Tuhan yang
mengatur alam semesta dan hukum alam manusia untuk merasionalkan manusia
menaati hukum.
6
Montesquieu terkenal dengan dunia ilmu pengetahuan tentang negara, hukum dan
kemudian dia mengemukakan State of Nature yang diartikan dalam keadaan alamiah kualitas
hidup manusia rendah.
5) Teori Kekuasaan
Hukum Teori politik hukum yang dominan mengutarakan kegiatan- kegiatan
penguasa yang harus berdasarkan hukum yang disebut Rule of Law.
7
BAB II
PARADIGMA POLITIK KLASIK DALAM ILMU POLITIK
Pendekatan klasik merupakan warisan pemikiran dari Eropa. Salah satu ciri khas dari
pemikiran Eropa adalah orientasi teoritiknya yang sangat kuat. Karl Popper adalah penganut
teoritik yang sangat kuat dan menekankan cara kerja keilmuwan yang mendahulukan teori
baru penelitian. Karl Popper, sebagaimana dikutip Mohtar Mas'oed menyatakan bahwa cara
paling efektif untuk memajukan pengetahuan sain- tifik adalah melalui pengembangan
gagasan dan percobaan untuk menolak gagasan itu melalui penelitian empirik la tidak
percaya bahwa penelitian empirik yang sistematis bisa menimbulkan teoritisasi. Penelitian
tidak bisa menimbulkan gagasan baru dan tidak bisa berfungsi sebagai metode logis untuk
membentuk teori.
Selain mendahulukan teori, pendekatan klasik juga terkenal dengan metode berpikir
yang sangat deduktif dan normatif. Cara berpikir deduktif dan normatif merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari ilmu politik klasik itu sendiri, Berbagai ilmuwan politik
membenarkan hal ini. Sebut saja namanya Ronald H. Chilcote dalam Teori Perbandingan
Politik (2003); Riswandha Imawan dalam Metode Penelitian Ilmu Politik (2000); Hoogerwerf
dalam Politikologi (1985); Mohtar Mas'oed dalam Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan
Metodologi (1994); Ichlasul Amal dan Budi Winarno dalam Metodologi Ilmu Politik (tanpa
tahun); dan Mary Grisez Kweit dan Robert W Kweit dalam Konsep dan Metode Analisa
Politik (1986).
Dalam pendekatan politik klasik nalar deduktif bekerja mengutip pendapat Ronald H
Chilcote dengan analisa deduk- tif yang menyertakan kasus-kasus khusus di bawah hukum
penjelasan yang universal. Analisa bergerak dari yang umum menuju yang khusus, dan
deduktif mengisyaratkan bahwa ke- simpulan satu fakta akan dijelaskan melalui sebuah
generalisasi. Dengan demikian, sebuah kejadian hanya dapat dijelaskan dalam hubungan
dengan sebuah hukum umum yang baku atau generalisasi empiris.
8
Objek Kajian Pendekatan Klasik
Dimensi yang bernalar normatif dan deduktif sedikit telah disinggung. Karena itu
bagian ini mencoba melakukan penajaman konsepsi pendekatan klasik ketika dijadikan pisau
analitis dalam memotret objek persoalan. Pertanyaan- pertanyaan yang berbau filosofis yang
ditopang dengan nilai- nilai, norma dan fakta sulit dipisahkan. Mengapa demikian? Karena
dalam pendekatan klasik nilai dan fakta saling terkait. Selain itu, fokus kajiannya juga
bergerak pada struktur- struktur formal (institusi dan pemerintah). Perhatiannya pada
lembaga-lembaga formal nampak dalam komentar Miriam Budiardjo dalam Demokrasi di
Indonesia. Ia menulis:
Jika pertanyaan yang diajukan apakah masih relevan pendekatan politik klasik di
Indonesia? Maka jawabnya tentu saja iya. Mengapa, karena ada banyak studi maupun laporan
media massa menunjukkan kuatnya pendekatan klasik yang berorientasi pada pengkajian
struktur maupun fungsi lembaga-lembaga formal. Misalnya, Miriam Budiarjo dan Ibrahim
Ambong. Fungsi Legislatif dalam Sistem Politk Indonesia (1995); Dahlan Thaib dan Ni'matul
Huda Pemilu dan Lembaga Perwakilan dalam Ketatanegaraan Indonesia (1992) Tim 52
PLOD Reaktualisasi Fungsi Legislatif (2006), dan Biviti Susanti dkk., Struktur DPR yang
Merespon Peran dan Fungsi Lembaga Perwakilan. Menurut Bivitri Susanti dkk. Ada dua hal
yang dibahas dalam kajian. Pertama, struktur pembagian kerja. Kedua, struktur pengambilan
keputusan. Pilihan dua hal ini didasarkan pada keberadaan DPR sebagai lembaga politik
dalam struktur ketatanegaraan dan sebagai lembaga legislatif dengan fungsi-fungsi. Isu yang
menarik dari temuan Bivitri dkk adalah sebagai berikut:
Struktur DPR, baik struktur dalam hal pembagian kerja maupun pengambilan
keputusan, seharusnya didasarkan pada peran dan fungsi DPR sebagai lembaga politik. Oleh
karena itu, beberapa konsep mengenai keberadaan alat kelengkapan seperti Baleg dengan
perannya yang baru serta keberadaan pimpinan alat kelengkapan harus ditinjau kembali
(Bivitri Susanti dkk, 2005:45).
9
BAB III
MEMAHAMI BEHAVIORALISME DALAM ILMU POLITIK
Peran suatu disiplin keilmuan yang spesifik,seperti ilmu politik juga memiliki
seperangkat pendekatan (approach) dalam perkembangan keilmuannya. Beberapa pendekatan
yang ter- dapat di dalam ilmu politik memiliki penawaran berbeda dalam hal bagaimana kita
memberikan penjelasan terbaik terhadap suatu fenomena tertentu dalam melakukan
penelitian.
Memahami masing-masing pendekatan ini penting guna bisa memahami darimana
suatu penelitian berpijak, serta membedakan satu pendekatan dengan pendekatan yang lain
meski masih dalam satu rumpun ilmu yang sama.
Ketika melihat fenomena politik tertentu, misalnya fenomena relawan politik
menjelang pemilu, kita bisa memiliki beragam penafsiran tergantung darimana kita
melihatnya. Jika menggunakan kerangka ekonomi politik yang kuantitatif, kita akan
cenderung melihat bagaimana faktor ekonomi sebagai tolok ukur sebagai determinasi
bekerjanya dunia politik: siapa yang mendanai, berapa anggarannya, kemana saja uang
dibelanjakan dan seterusnya.
Studi yang dilakukan behavioralisme sangat kontras dengan kaum tradisionalis, yang
mencoba menjelaskan politik dengan deskripsi yang tak terhitung, anekdot, analogi historis,
ideologi, dan filsafat. Behavioralisme dalam ilmu politik berusaha untuk membuang intuisi,
atau setidaknya untuk mendukung dengan pengamatan empiris, berbeda dengan seorang
tradisionalis, mereka selalu berusaha untuk mendukung intuisi dengan alasan mereka sendiri.
Behaviorise mengkritik tradisionalis karena tidak ilmiah, karena tradisionalis tidak
menggunakan metode statistik. Mereka juga percaya bahwa etika dan pertimbangan nilai
tidak memiliki tempat dalam penelitian, karena mereka bersifat subjektif dan etnosentris
yaitu, mereka muncul dari budaya tertentu (kontekstual), dan karena itu tidak universal.
Beberapa orang mendefinisikan behavioralisme sebagai suatu usaha untuk menerapkan
metode-metode ilmu-ilmu alam pada perilaku manusia, dan ada juga yang mendefinisikannya
sebagai penekanan yang berlebihan pada kuantifikasi. Orang-orang yang menyebut dirinya
sebagai behavioralis lebih cenderung berbicara tentang studi perilaku politik sebagai suatu
10
pendekatan dan menggunakan konsep revolusi, suasana hati, gerakan, persuasi atau protes
untuk menggambarkan apa yang ditunjukkan riset perilaku politik.
Banyak faktor yang muncul untuk membantu beha- vioralisme sebagai kekuatan dalam
ilmu politik yaitu:
-Ilmuwan politik merasa bahwa mereka tidak dianggap sah sebagai para ilmuwan dan
akibatnya mempunyai masalahdalam pengamanan hibah penelitian,
-Mereka percaya bahwa ilmu-ilmu sosial lainnya sedang membuat kemajuan yang
luas sedangkan ilmu politik tertinggal di belakang,
-Mereka mengejar ilmu murni yang beroperasi pada perkiraan bahwa demokrasi
adalah sistem pemerintahan terbaik karena sifatnya yang terbuka dan kualitas ilmiah.
-Ilmu politik harus lebih memperhatikan fenomena politik empiris, yaitu, perilaku
individu dan kelompok-kelompok politik,
-Penelitian teori harus didorong, dengan kata lain, penelitian harus dimulai dengan
teori yang menghasilkan hipotesis yang dapat diuji secara empiris,
-Ilmu politik harus menempatkan tekanan lebih pada metodologi dan lebih baik
menggunakan analisis, sampel survey, model matematika dan simulasi.
11
Kredo behavioralism yang dipaparkan oleh David Easton, terdapat 8 ciri-ciri, yaitu:
-Regularitas fenomena, yaitu ada pola tertentu dari perilaku politik manusia
-Verifikasi, yaitu pengetahuan harus terdiri dari proposisi yang sudah mengalami
pengujian yang empiris, semua fakta harus berdasar fenomena yang bisa diamati: apa yang
telah diucapkan dan apa yang telah diperbuat; perilaku individu dan kelompok politik.
-Teknik, yaitu Sebuah sikap terhadap teknik eksperimental, data diolah dan
dikuantifikasi secara matematis. Dengan cara ini peneliti bisa mengesampingkan kepentingan
dan nilai yang mereka miliki untuk merencanakan, melaksanakan, dan menganalisis
penelitian.
-Nilai-nilai, yaitu evaluasi etis dan analisis empiric malibatkan 2 proposisi yang
berbeda dan secara analitik perlu dipisahkan, namun demikian ilmuwan politik tidak dilarang
untuk mengajukan proposisi tersendiri atau merupakan kombinasi selama itu dilakukan
dengan benar.
- Sistematika, yaitu mengingat pentingnya teori dalam penelitian sehingga penelitian
dalam ilmu politik harus dipandu oleh teori, dan berorientasi pada teori.
-Ilmu Murni, yaitu aplikasi ilmu sama pentingnya dengan pemahaman tentang teori.
Karena keduanya merupakan bagian dari kegiatan ilmu pengetahuan.
-Integrasi, yaitu Mengintegrasikan ilmu-ilmu sosial dan nilai. Karena ilmu social tidak
bias mengindahkan temuan- temuan dari ilmu lain sehingga ilmu politik pun diharapkan
untuk mengintegrasikan ilmu-ilmu yang lain pula.
12
Behavioralisme menyebabkan survey penelitian lebih didanai dan diterbitkan,
peningkatan frekuensi relative studi kuantitatif dalam jurnal puncak disiplin, dan penurunan
relative dalam pekerjaan yang ditujukan kepada kebijakan publik Penekanan pada ilmu
pengetahuan memfasilitasi akses terhadap sumber-sumber pendanaan baru seperti National
Science Foundation. Menurut Eulau, ilmuwan politik harus berusaha untuk mengkuantifikasi
data mereka dan hasilnya Kuantifikasi, menggunakan penelitian teknologi paling maju,
metode empiris dan hipotesis yang dapat diuji, memperkenalkan ketelitian dan keandalan
untuk pengetahuan politik. Eulau berpendapat bahwa kuantifikasi politik memungkinkan
ilmuwan untuk lebih yakin tentang keabsahan pengetahuan politik.
-Ilmu poltik tidak dapat dan tidak akan dapat menjadi sairs dalam artian yang sebenarnya.
-Perilaku manusia yang tampak hanya memperlihatkan sebagian dari gejala, orang-orang
yang anti behavioralisme percaya bahwa bagian yang terbesar dari kehidupan manusia adalah
yang tidak tampak.
-Memang benar bahwa setiap penelitian harus didukung oleh teori akan tetapi kaum
behavioralist dalam kenyataanya menggunakan teori dan konsep jauh melebihi
perkembangan data itu sendiri.
-Di dalam banyak hal sejumlah persoalan politik melibatkan masalah moral dan etika dengan
demikian persoalan bahwa ilmu politik haruslah bebas nilai sangat sulit untuk dapat
dipertanggungjawabkan.
-Pendekatan yang bersifat interdisiplin memang sangat diperlukan akan tetapi hendaknya
diperhatikan bahwa jangan sampai karena pendekatan yang seperti itu maka mengakibatkan
setiap disiplin kajian akan kehilangan identitas dan jati dirinya.
13
BAB IV
MEMBEDAH TEORI KRITIS MAZHAB FRANKFURT:
(Sejarah,asumsi,dan kontrabusinya terhadap perkembangan teori ilmu sosial)
A. Pendahuluan
Secara historis, teori kritis mazhab Frankfurt (Die Frankfurter Schule) merujuk pada
sekelompok pemikir berhaluan Marxis yang tergabung dalam kerja-kerja intelektual kritis di
Institut Penelitian Sosial (Institut fur Socialforschung) yang berpusat di Frankfurt, Jerman.
Lembaga ini pertama kali didirikan pada 23 Februari 1923 oleh Felix Jose Weil, anak seorang
pedagang gandum yang kaya raya, dan sekaligus sarjana ilmu politik. Dengan bantuan
finansial ayahnya,Felix mampu mendirikan lembaga independen yang mampu bekerja secara
mandiri, tidak bergantung pada Universitas Frankfurt. Salah satu fokus perhatian yang dikaji
dan coba diselidiki di lembaga itu adalah masalah-masalah sosial, salah satunya seperti
sejarah gerakan kaum buruh yang terilhami oleh pemikiran Marxist (Bertens, 2014:252).
Dalam pandangan Horkheimer, ada tiga hal yang menjadikan teori tradisional dianggap
sebagai teori ideologis yang eksklu (Sindhunata, 1983: 74-77)
Pertama, teori tradisional melihat dan memahami realitas seperti apa adanya, tidak
bertanya secara kritis mengapa realitas itu bisa terjadi. Teori tradisional menerima realitas
sebagai apa adanya yang sudah terikat dengan hukum hukum alamaiah. Karenanya teori
tradisional menerima dan membenarkan realitas begitu saja. Sikap menerima dan dukungan
"tanpa reserve" dianggap sebagai sikap yang objektif dan netral. Padahal menurut
Horkheimer, sikap seperti itu menjadi kedok yang aman untuk menutupi "kelemahan dirinya
yang memang tidak mau mengubah realitas. Karena itu, wajar jika teori tradisional lebih pro
pada kemaparan (status quo). Horkheimer menyebut teori tradisional sebaga teori ideologis
14
yang eksklsuif, artinya ia telah menjadi atau digunakan sebagai alasan pembenar dan pelestari
realis yang ada. Dalam perkataan lain, teori ini disebut sebagai teori "status quo".
Kedua, Karena bersifat status quo, teori tradisional ini lebih berpikir "ahistoris",
dalam melihat dan memahami perkembangan masyarakat. Teori ini hanya berpusat dan
bahkan memutlaktan pada ilmu pengetahuan sebagai satu- satunya sebagai "juru selamat".
Teori tradisional lupa bahwa perkembangan historis masyarakat juga dipengaruhi dan
ditentukan oleh berbagai factor dan aspek kehidupan yang lainn-ya. Aktivitas ilmu
pengetahuan tidak berdiri dan berjalan sendiri, ia akan terkait dengan peran dan aktivitas-
aktivitas yang lain secara keseluruhan. Pendek kata, perkembangan kehidupan masyarakat
berjalan secara dialektis.
Ketiga, atas nama kenetralan ilmu pengetahuan, Teori tradisional berusaha
memisahkan teori dengan praktis. Dengan memandang, atau lebih tepat membiarkan fakta
atau realitas sosial secara lahiriah. Ini sama saja dengan teori tradisional tidak memikirkan
peran dan aplikasi praktis. Karena itu teori tradisional hanya menjadi "ilmu tukang" dalam
relasi subjek-objek. Teori tradisional tidak berpikir bagaimana teorinya dapat meng-hasilkan
kesadaran yang dapat dijadikan sebagai instrument tindakan untuk mempengaruhi dan
bahkan merubah fakta/realitas/keadaan yang ada.
Kedua, Sikap netralitas dalam konspesi ilmu pengetahuan (sciences) yang disusun
teori tradisional-positivisme Dalam konsep keilmuan (kegiatan ilmiah), bahwa adalah sesuatu
yang semu. Teori tradisional yang mencita-cita ilmu pengetahuan tanpa pamrih atau bebas
nilai adalah sesuatu yang utopis. "Nilai tidak dapat dipandang sebagai wilayah yang terletak
di luar ilmu pengetahuan (sebagaimana yang dikonsepsikan juga oleh Max Weber). Antara
fakta dan value tidak dapat dipisahkan, antara subjek-objek bukan sesuatu yang terpisah
(subjek bisa saja menjadi bagian dari yang membentuk objek, begitu sebaliknya; relasi
subjek-objek bersifat dialektis. Memimpikan terpisahnya fakta dan value, subjek dan objek
pada kenyataanya berarti memihak pada status quo.
Ketiga, teori kritis menolak pandangan dan pemahaman tentang eksistensi realitas
yang diperspesi dan diteroriakan oleh teori tradisional-positvisme, bahwa realitas sosial hadir
dan terjadi "apa adanya" dan secara alamiah. Sebaliknya, Teori kritis berpandangan bahwa
realitas sosial itu hadir dan terjadi secara dialektis, realitas sosial adalah produk atau
konstruksi dari individu-induvidu dan aspek-aspek kehidupan lainnya yang saling terkait dan
penuh dengan kompleksitas.
15
Keempat, perkembangan sejarah masyarakat dipandang sebagai pembabasan manusia
dari cengekraman alam. Perkembangan sejarah memperlihatkan proses diatasinya
ketergantungan manusia pada alam. Sejauh bangsa manusia melepaskan diri dari
ketergantungan pada alam menuju ke- bebasannya yang penuh. Sejarah perkembangan dan
kemaju- an masyarakat/bangsa tidak bergerak dalam spektrum yang linier, ia bergerak secara
dialektis.
Menurut Angger (2014:7-10), teori sosial dapat dikata kan sebagai teori kritis jika memenuhi
ciri khas sebabag berikut;
3. Teori kritis memandang. praktel dominasi itu bersifat struktural, yakni kehidupan
masyarakat sehari-hari dipengaruhi bahkan dikendalikan oleh institusi sosial yang lebih besar
seperti politik, ekonomi, hukum, budaya, dan diskursus, jender, dan ras.
5. Mengikuti pemikiran Marx, teori sosial kritis meng- gambarkan relasi antara
struktur dan manusia bersifat dialektis. Pengalaman sehari-hari dan realitas sosial dapat
menjadi sumber pengetahuan manusia tentang struktur dalam masyarakat, dan dapat
membantu masyarakat untuk mengubah kondisi sosial yang lebih baik.
16
6. Teori kritis berkeyakinan bahwa manusia bertanggung jawab sendiri sepenuhnya
atas kebebasan mereka sendiri serta mencegah mereka agar tidak saling menindas antara
sesamanya atas nama masa depan kebebasan jangka panjang. Teori kritis menolak
pragmatism revolusioner sebagaimana yang diperjuangan kaum Marxis orthodox. Dalam
pandangan Horkheimer, ada potensi-potensi besar yang ada dalam diri manusia yang dapat
diberdayakan untuk melakukan perubahan.
Teori kritis menentang Positivism, termasuk kaum Marxian karena beberapa alasan;
Pertama, positivism cenderung melihat kehidupan sosial sebagai sebuah proses
alamiah. Sementara teori kritis lebih suka memusatkan perhatiannya pada aktivitas manusia.
baginya manusia adalah makhluk otonom yang memiliki daya dan cara-cara untuk
mempengaruhi struktur sosial. Singkatnya, positivism dianggap teori kritis terlalu
mengabaikan peran aktor.
Kedua, positivisme dianggap terlalu bersifat konservatif, dan tak mampu menantang
sistem yang ada.
Ketiga, Mengangap adanya metode ilmiah tunggal yang dapat diberlakukan pada
seluruh bidang kajian, dan bersifat netral. Positifisme ditentang oleh teoritisi kritis karena
positifisme dinilai cenderung mereifikasi (men-"tuhan"-kan atau membendakan) dunia sosial
dan memeliharanya sebagai proses netral, mengabaikan aktor dan mengerdilkannya menjadi
entitas pasif yang ditentukan oleh kekuatan-kekuatan alamiah.
a. Kontribusi Teoritis
Jasa pemikiran teori Sosial kritis mahzab Frankfurt yang dipelopori Hork-heimer
bagaimanapun juga telah memberikan perspektif teoritis yang relative baru (meskipun tidak
baru sekali) dalam melihat, memahami dan menganalisis realitas sosial.
Perspektif teoritis teori Sosial kritis ini telah memberi kontribusi cukup besar terhadap
perkembangan teori sosial, yakni:
1. Terkait dengan Subjektivitas, yakni upaya untuk me- nukar orientasi teori Marxian
menuju ke arah subjek- quitif. Menggeser dari fokus diterminasi ekonomi marxis ke
ondominasi kultural. Semuanya bisa disimpulkan sebagai dew"kritik dominasi.
2. Salah satu keuntungan minat pada kesadaran individu isg adalah minat
menawarkan koreksi terhadap pesimisme ric mazhab kritis dan fokusnya pada hambatan-
hambatan bikultural. Meskipun orang dikendalikan, dijejali dengan na kebutuhan palsu, dan
dilumpuhkan, menurut gagasan Freudian merekapun dibekali dengan libido (lebih sering
dipahami energi seksual), yang menjadi dasar bagi tindakan kreatif yang berorientasi ke arah
terhapusnya bentuk- bentuk utama dominasi.
17
3. Selain itu, teori sosial kritis telah memberikan pemahaman baru bahwa aktor atau
individu pun mampu merubah struktur yang ada, melalui kekuatan rasionalitas dan daya
kreasinya. Teori kritis mampu membangun kesadaran subjektif individu secara kolektif
terhadap realitas sosial masyarakat, tak hanya terhadap struktur ekonomi Marxian tapi juga
struktur budaya yang telah membelenggu masyarakat.
4. Teori Sosial kritis juga telah memberikan khazanah teoritik terhadap perkembangan
teori ilmu sosial selanjutnya. Beberapa teori postmodern, inspirasi pemikirannya dari teori
kritis.
6. Teori kritis yang digagas Sekolah Frankfurt, telah mem- perkaya Khazanah
pengetahuan melalui sikap kritis dan jeli terhadap fenomena ekonomi, sosial, politik,
pemerintahan, agama, dan idiologi yang ada dan sedang berlangsung, Teo- ri kritis membawa
kita untuk tidak selalu melihat dan me- mahami realitas sosial secara holistic, tidak parsial.
Karena setiap pengalaman empiris dan factor-faktor sosio-kultural hidup manusia secara
eksistensial memiliki makna, kepen- tingan, dan pesan.
7. Teori kritis juga telah banyak mempengaruhi pandangan pendekatan, dan praktik
perubahan sosial di masyarakat. salah satu yang paling dirasakan pengaruhnya adalah adanya
pendekatan yang menempatkan masyarakat sebagai aktor perubahan sosial dan pem-
bangunan. Atas dasar inilah lahir metodologi dan riset "partisiaptori" (Faqih. 2001:97-98).
8. Mazhab Frankfurt ini juga menjadi salah satu mainstream dalam kajian ilmu hukum
yang selama ini didomonasi oleh aliran dan paradigm positivisme hukum yang memandang
hukum tidak hanya sekedar undang-undang. Hukum tidak hanya difahami dalam kaca-mata
positivisme, tapi juga mulai dikaji dalam perspektif ilmu sosial, khususnya perspektif teori
kritis.
b. Konstribusi Praktis
Karl Korsch menolak paham kaum Marxis bahwa teori Marx hanya suatu deskripsi ilmiah
objektif tentang proses- proses perkembangan masyarakat. Menurut Korsch, teori Marx
mempunyai suatu tujuan ganda; suatu tujuan teoritis yang sekaligus berakibat praktis. Tujuan
teoritis Marx adalah kritik terhadap kategori-ketegori ilmu-ilmu borjuis, khususnya ilmu
ekonomi. Kritik teoritis atas diterminasi ekonomi tersebuti sekaligus memecahkan daya
pesona pikiran-pikiran borjuisitu atas masyarakat dan membebaskan masyarakat kepada
suatu kesadaran revolusioner. Karena itu, Pendek kata;
1. Teori kritis secara praktis merangsang kesadaran set- iap orang untuk membangun
kesadaran atas realitas kehidupan yang ada. Selain itu, teori kritis menjadi inspirasi gerakan
praktis bagi kelompok-kelompok kiri dalam memperjuangkan hak dan kepentingannya dan
18
yang tidak puas dengan kondisi kemapanan masyarakat yang ada, terutama di negara-negara
Amerika Latin (negara-negara sosialis yang menentang dominasi sistem kapaitalisme) dan
negara-negara berkembang.
2. Teori kritis memberi pelajaran dan membawa kita untuk berfikir "menunda", tidak
terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan dan keputusan, dan tidak melihat sesuatu (realitas
sosial) secara linier. Teori kritis membawa kita untuk tidak sekedar berwacana kritis, tetapi
bertindak kritis dan emansipatoris.
3. Kritik teoritis atas diterminasi ekonomi sekaligus meme- cahkan daya pesona
pikiran-pikiran borjuis itu atas masyarakat dan membebaskan masyarakat kepada suatu
kesadaran revolusioner.
Teori kritis adalah salah satu teori yang cukup memberi pengaruh sangat signifikan
dalam perkembangan teori-teori ilmu sosial pada abad 19. Teori kritis tak hanya sekedar
menjadi perbicangan teoritis-akademik di kampus-kampus, tapi ja menjadi inspirasi bagi
individu dan kelompok oposisional dalam melakukan gerakan sosial untuk melakukan
perubahan di tengah masyarakat yang penuh dengan ketidakadilan.
Satu sisi, teori sosial kritik telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit terhadap
per-kembangan teoritik dan praktik dari ilmu pengetahuan. Dalam tataran praktis hampir
sebagian besar, gerakan-gerakan sosial oposisional terhadap kemapanan (status quo) yang
meng-inginkan adanya perubahan struktural dalam masyarakat yang lebih baik pangkal
pikirnya berawal dari pemamahan teori sosial kritis ini. Dengan kata lain, teori sosial kritis
telah memberikan horizon teoritik dalam khasanah teori sosiologi yang telah "mapan" (baca:
teori positivisme). Namun demikian, teen sosial kritis ini bukan tanpa kritis dari para
ilmuwan sosial.
19
BAB V
SISTEM MULTI PARTAI,PRESIDENSIAL DAN PERSOALAN
EFEKTIVITAS PEMERINTAH
Pendahuluan
Perdebatan paling seru menjelang diselenggarakannya hajatan nasional, pemilu 2009,
adalah bagaimana melanjutkan reformasi di bidang politik, khususnya sistem pemilu dan
pemerintahan, yang ditujukan untuk memperkuat stabilitas dan meningkatkan efektivitas
dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan pemerintah.
Tidak sedikit ahli politik berpendapat bahwa pasca turunnya Presiden Suharto,
stabilitas dan efektivitas peme- rintahan dinilai lemah. Kebijakan-kebijakan pemerintah tidak
efektif di implementasikan, bahkan pemerintah terpilih dapat diberhentikan ditengah masa
kerjanya. Contoh yang paling mudah diingat adalah ketika Presiden Abdurrahman Wahid
diturunkan dari jabatannya oleh MPR. Pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudoyono
tidak sedikit kebijakan-kebijakan atau program-program pemerintah mendapatkan
perlawanan bahkan penolakan dari DPR, misalnya pengangkatan Gubernur BI, rencana
meningkatkan BBM, dan sebagainya. Berbaliknya pendulum politik di Indonesia pasca
turunnya Presiden Suharto tidak lepas dari hasil amandemen UUD 1945.
20
Sistem Presidensialisme di Indonesia
Sistem presidensial paling tidak memiliki 2 (dua) ciri utama (Mainwarring, 1990).
Ciri pertama adalah kepala pemerintahan (presiden) dipilih secara terpisah dengan pemilihan
anggota parlemen. Dengan demikian hasil pemillu legislatif tidak menentukan kekuasaan
pemerintah (eksekutif) secara langsung. Ciri yang kedua adalah kepala pemerintah dipilih
untuk memerintah dengan periode waktu yang tetap (misalnya 5 tahun). Selian kedua ciri
utama yang dikemukakan oleh Mainwaring tersebut, Heywood memberikan beberapa ciri
lain dari sebuah sistem presidensial. Ciri-ciri tersebut antara lain kepala negara dan kepala
pemerintahan dijabat oleh seorang presiden, kekuasaan eksekutif berada di tangan presiden
sedangkan kabinet yang terdiri dari menteri-menteri adalah pembantu dan bertanggungjawab
kepada presiden,dan di dalam sistem presidensial terdapat pemisahan personel yang ada di
parlemen dan di pemerintah.
Ada beberapa alasan mengapa sistem presidensial dan sistem multi partai kurang berhasil di
dalam menciptakan pemerintahan yang efektif dan stabil dibandingkan dengan sistem
parlementer yang dikombinasikan dengan sistem dua partai. Menurut Mainawrring (2008)
terdapat beberapa alasan/kelemahan sistem presidensial yang dikombinasikan dengan sistem
multi partai.
Ketiga, di dalam sebuah sistem presidensial dan multi partai membangun koalisi
partai politik untuk memenangkan pemilu adalah hal yang sangat wajar dan umum terjadi.
Koalisi partai politik terjadi karena untuk mendapatkan dukungan mayoritas dari parlemen
merupakan sesuatu yang sangat sulit.
21
Keempat adalah lemahya penegakan fatsoen politik politisi yang ada di eksekutif
maupun parlemen. Tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat beberapa politisi di parlemen yang
tidak mengindahkan etika dalam berpolitik.
Kalau kita sepakat bahwa tujuan utama penataan sistem politik Indonesia ditujukan untuk
menciptakan pemerintahan yang efektif dan stabil maka ada beberapa alternatif jawaban yang
patut dipertimbangkan oleh para pembuat kebijakan. Beberapa alternatif tersebut adalah
sebagai berikut;
22
BAB VI
DOMINASI OLIGARKI DAN KETIDAKHADIRAN PARTAI POLITIK HIJAU DI
INDONESIA
Pendahuluan
Sesuai bunyi Pasal 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, bahwa fungsi partai
politik selain sebagai sarana partisipasi politik warga negara juga merupakan sarana
penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat. Permasalahan penting
terkait partai tentu adalah Pemilu dan Pilkada. Isu yang menjadi sorotan disini adalah partai
atau tepatnya hasil pemilu atau pilkada selalu menyisakan persoalan.Salah satu yang tidak
pernah absen setiap tahunnya adalah aspirasi terkait kerusakan lingkungan dan dampak
kerusakan lingkungan. Pemerintah juga sering kali berjanji untuk mengurangi dampak
kerusakan.
23
ekstraksi sumber daya alam jelas-jelas gagal karena hanya merusak alam dan menghilangkan
sumber- sumber kehidupan rakyat. Contoh yang paling nyata adalah Undang-Undang
Minerba". Selain Undang-Undang Minerba, Tubagus juga menilai logika Presiden Jokowi
mengundang investasi melalui Undang-Undang Cipta Kerja juga omong kosong, hal itu
justru menunjukkan wajah pemerintah sebagai bagian dari oligarki yang pada akhirnya
memperparah kesenjangan ekonomi antara "si kaya" dan "si miskin".
Sumber daya alam sebagai pendapatan oligarki tidak hanya terkonsentrasi dan
dimonopoli oligarki tetapi juga menyebabkan ketimpangan dan kerugian negara. Pasca ra
formasi, tercatat pada tahun 2017 pengelolaan sumber daya alam (SDA) menyumbang
sebesar 1.480,04 Triliun atau 10,89% dari total keuntungan PDB Indonesia. Namun alih- alih
menjadi aset pembangunan dan pertumbuhan ekonomi pengelolaan SDA juga sering kali
menyumbang pada kerugian negara. Menurut Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring
Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama S Langkun, dalam kurun waktu 2010-
2017 sekurang-kurangnya terdapat 115 kasus korupsi dan 326 orang menjadi tersangka dalam
perkara korupsi sumber daya alam, di antaranya dari sektor perkebunan, kehutanan dan
pertambangan. Enam kasus saja, menurut Tama, memiliki potensi kerugian negara sebesar
7,26 Triliun (CNN Indonesia, 2018). Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga
menetapkan Bupati Kota Waringin Timur Supian Hadi (5,8 Triliun), Mantan Gubernur
Sulawesi Tenggara Nur Alam (2,78 T) dan Mantan Bupati Konawe Utara Aswa Sulaiman
(2,7 Triliun) sebagai tersangka. Kasus korupsi pejabat daerah selain karena penyalahgunaan
kekuasaan juga bisa terjadi karena hubungan antara bisnis dan negara atau dengan kata lain
konspirasi antara pejabat publik dan perusahaan swasta (Syarif & Faisal, 2019).
Menurut Chairil Syah, polarisasi antara orang-orang yang mendukung pendirian partai
dan yang hanya meng- inginkan ormas senantiasa mewarnai setiap pertemuan sampai pada
akhirnya tahun 2012, "kami menggelar deklarasi PHI bersama dengan kawan-kawan lain
seperti Greenpeace yang saat itu mengamanatkan kepada Berry Nahdiyan Furqon untuk
menjadi ketua dan mempersiapkan kongres selanjutnya" (Wawancara Pribadi, 2020). Namun
lagi-lagi langkah ini gagal dan satu tahun kemudian Berry mundur dari jabatannya digantikan
John Muhammad. Menurut Chairil Syah, kegagalan yang berulang ini dikarenakan "pro-
kontra yang terjadi di internal aktivis lingkungan itu sendiri" (Wawancara Pribadi, 2020).
Sementara itu, menurut Muhammad dan Abraham (2016) dalam tulisannya melihat kesadaran
masyarakat akan kerusakan lingkungan dan kebutuhannya untuk memperbaiki lingkungan
tetapi terdapat paradoks di masyarakat, yaitu "Kita anti parpol, tapi kita sadar membutuhkan
parpol untuk menen- tukan kemenangan agenda publik". Hal itulah yang menjadi salah satu
kesulitan Partai Hijau berkembang di Indonesia.
24
Ketidakefektifan kekuasaan dalam
25
BAB VII
KAPITALISME DEMOKRASI,OLIGARKI LOKAL,DAN PATRONASE POLITIK
(keterlibatan pengusaha dalam pemilihan kepala daerah di kabupaten barito kuala
kalimantan selatan)
Pilkada dalam Pusaran Oligarki Lokal dan Arena Membangun Jaringan Patronase
Ekonomi dan Politik
Istilah oligarki menurut International Encylopedia of social science mendefinsikan
oligarki sebagai bentuk pemerintahan dimana kekuasaan politik berada di tangan minoritas
kecil. Sedangkan pelakunya disebut dengan oligark (oligarch). Robert Mitchel dalam
bukunya Political Parties, a Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern
Democracy menyebut kecenderungan ini dengan julukan democracy oligarchy. Sementara itu
dalam pandangan Winters (2011), oligark adalah pelaku yang menguasai dan mengendalikan
sumber daya ekonomi yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan
kekayaan pribadi dan posisi sosial. Para oligark dapat berdiri sendiri dan berkuasa atau
melekat dalam rezim otoriter dan demokrasi.
Kalimantan Selatan memiliki potensi sumber daya tam- bang terbesar kedua di negeri
ini dan memiliki potensi sumber daya tambang, para aktor lokal telah menjadikan tambang
sebagai pusaran persekongkolan di balik pilkada. Pada saat itu sumbar daya tambang telah
berada dalam kuasa oligarki lokal seiring kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
Dinamika politik lokal di Kalsel pada setiap peristiwa demokrasi (pilkada) selalu terkait
dengan isu tambang. Pilkada sebagai proses demokratisasi telah disandera oleh kekuatan
modal melalui persekongkolan antara calon penguasa dengan pengusaha. Para pengusaha
memposisikan diri sebagai pengatur pang- gung demokrasi yang bisa mengatur pola serangan
dan irama permainan politik di Kalsel. Tidak mengherankan bila pasca Pilkada para
pengusaha tersebut memposisikan diri dalam pemerintahan sebagai shadow government dan
sekaligus menjadi pangusaha klientelistik atau kroni bisnis penguasa daerah yang
memonopoli sumber-sumber ekonomi, khususnya bisnis pertambangan, dan proyek
pembangunan infrastruktur daerah, sebagai politik balas Budi.
Di era pemerintahan Orde Baru, Partai Golkar men- dominasi jagat politik di negeri
ini. Pada pasca rezim Orde Baru Partai Golkar tidak lagi menjadi kekuatan tunggal atau
dominan dalam membangun struktur kekuasaan, akan tetapi telah terfragmentasi melalui
berbagai kekuatan Partai Politik dalam membangun struktur kekuasaan politik pada level
nasional maupun lokal. Oleh karena itu, pada kasus di Kalimantan Selatan, beberapa
pengusaha tambang menguasai posisi-posisi strategis dalam partai. Dengan menguasai partai,
maka oligarki lokal akan semakin terstruktur karena telah menjadikan partai sebagai kartel
atau lembaga korporasi ketimbang menjadi katalisator politik rakyat. Oleh karena itu para
pengusaha tambang yang bermodal besar dan memiliki sejumlah perusahaan tambang,
demikian pula para pensiunan birokrat (bupati dan gubernur) yang memiliki modal besar,
berlomba-lomba memperebutkan posisi strategis dalam partai politik atau menjadi ketua dari
salah satu partai politik. Dengan menguasai lembaga demokrasi akan memiliki nilai strategis
dan membangun konsesi-konsesi ekonomi dan politik bagi para kandidat penguasa, baik dari
segi kekuatan dana maupun dari segi nilai politik.
26
Pemilihan Kepala Daerah Barito Kuala
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Baritokuala (Batola) pasangan
Noormiliyani-Rahmadian Noor (Dua Noor) unggul dengan raihan suara 48,11 persen.
Pasangan Dua Noor berhasil mengungguli dia rivalnya di Pilkada Batola yakni Hasan Ismail-
Fahrin Nizar (34,61 persen) dan Bahrian Noor-Suwandi (17,28 persen). Bupati terpilih
Noormiliyani yang berpasangan dengan Rahmadian Noor adalah isteri Hasanuddin Murad
yang telah menjabat sebagai Bupati Batola dua periode. Sementara Ramadian Noor sebagai
Wakil Bupati terpilih tidak lain adalah kemenakan Hasanuddin Murad. Tampilnya
Normiliyani-Rahmadian Noor sebagai pemenang dalam Pilkada Barito Kuala telah
memparpanjang politik dinasti kukuasaan Hasanuddin Murad dalam panggung politik lokal
di Barito Kuala.
Ketiga pasangan calon yang bertarung dalam Pilkada Barito Kuala masing-masing
dibelakangnya adalah orang- orang atau para oligarkis yang berlatar belakang pengusaha,
pejabat daerah, atau mantan penguasa daerah yang memiliki jaringan dengan para pengusaha
tambang. Hasanuddin Murad sebagai Bupati Barito kuala dua periode telah berhasil
mengantarkan isterinya sebagai pemenang. Pada proses sosialisasi atau masa-masa kampanye
kekuatan mobilisasi masaa sangat jelas dan struktur secara massive disemua titik lokasi mulai
dari desa-desa terpencil sampai pada tingkat
kecamatan dengan pengarahan armada angkutan darat dan sungai. Mobilisasi massa
pada saat kampanye sebagai arena pertunjukan kekuatan yang sulit ditandangi oleh pasangan
calon lainnya. Partai Golkar yang mengusai jagat politik lokal di Kabupaten Barito Kuala
sudah dapat dipastikan bahwa jaringan organisasi yang lebih solit dan ditambah oleh
dukungan pendanaan dari para elite-elite Partai Golkar yang memiliki jaringan bisnis
tambang menjadi kekuatan yang tidak tertandangi selama masa-masa kampanye. Tidak hanya
27
itu, dukungan pendanaan bagi pasangan Normaliyani-Rahmadian Noor datang dari
pengusaha lokal (Barito Kuala). Pengusaha lokal yang benyak bergerak dalam kontraktor
yang bernama H. Inab. Menurut Tokoh Etnis Daya Bakumpai, Pak Budiman, bahwa H. Ijab
telah memberikan bantuan dana sebanyak lima milyar bagi pasangan Normaliyani-
Rahmadian Noor dalam Pilkada.
28
Pasar Politik di Tengah Demokrasi yang Melelahkan
Hiruk-pikuk panasnya suasana politik menjelangkontestasi elektoral 2020 di
Kalimantan Selatan sudah mulai terasa. Para elite politik atau orang-orang yang ingin
bertarung di arena demokrasi mulai mendatangi kantor partai politik. Harapannya, bisa
mendapatkan dukungan partai sebagai kendaraan politik menju arena panggung demokrasi
2020.
Tidak hanya itu, jumlah kandidat kandidat sudah mulai membentuk posko
pemenangan di daerah, juga sejumah baleho atau iklan politik mulai terlihat para kandidat
dengan latar partai yang kemungkinan menjadi kendaraan politik.
Kasak-kusuk para kandidat membangun komunikasi politik dengan sejumlah partai,
juga para kandidat sudah mulai mendatangi para tokoh politik atau orang-orang yang
memiliki pangaruh polik atau tokoh masyarakat yang memiliki basis massa seperti ulama
atau kiai untuk menjelaskan visi dan misi.
Adalah Prof Edward Apspinall, Prof Marcuse Meiztner, Prof Meridith L. Weiss, Prof
Vedi R Hadiz, Prof Richard Robison, dan Dr Muhammad Uhaib As'ad. Seperti biasanya, dan
sudah menjadi kebiasaan, saya harus membaca sejumlah literatur dan jurnal yang menarik
untuk menambah adrenalin intelektul sebagai seorang akademisi.
Selain itu, karena sering mendapat undangan sebagai pembicara mulai dari kelas
kampung-lokal maupun nasional- international dan kepentingan menulis di jurnal nasional
dan internasiona.
29
DAFTAR PUSTAKA
Aspinall, Edward and Mada Sukmajati (eds) (2016). Electoral Dy namics in Indonesia:
Money Politics, Patronage and Clien- telism at the Grassroots. Singapore: NUS Press, ISBN
9789814722049
Aspinall, Edward, (2017), Vote Buying in Indonesia: Candidate Strategies, Market Logic and
Effecitiveness, Journal of East Asian Studies.
Aspinall, Edward, Gerry van Klinken (editor), (2011): "The State and Illegality in Indonesia",
KITLV Press Leiden.
Aspinall, E (2014) When brokers betray: Social networks adn electoral politics in Indonesia,
Critical Asian Studies 46 (4): 545-570.
Aspinall and As'ad (2015) The Patronase Patchwork: Village Brokerage Networks and the
Power of the State in an Indonesian Election, Bijdragen Tot De Taal, Land-EN Volkenkunde:
171 (165-195).
Aspinall and As'ad (2016, Understanding Family Politics: Success and Failures of Political
Dynasties in Regioanal Indonesia, South East Asia Research, 1-16, SAGE
Allan, Nathan W. (2012), Diversity, Patronage and Parties and Party System Change in
Indonesia. (PhD) dissertation, University of British Columbia.
As'ad, Muhammad Uhaib, (2016), Politik Kebijakan Pertamba ngan: Persekongkolan Antara
Penguasa dan Pengusaha dalam Pilkada di Kalimantan Selatan, Genta Publishing,
Yogyakarta.
As'ad, Muhammad Uhaib, (2013), Local Election: Mining and Local Bossism in South
Kalimantan and Central Kalimantan, Institute of Politics and Public Policy Studies, Banjar-
masin. As'ad, Muhammad Uhaib, (2015). Tambang dan Bisnis Politik di Kalimantan Selatan,
Fisip Universitas Islam Kalimantan, Banjarmasin.
As'ad, Muhammad Uhaib (2017), Local Bossism, Local Strongmen in the Political
Landscape in South Kalimantan, Institute of Politics and Public Policy Studies, Banjarmasin.
Case, William, Ed, (2015) Routledge Handbook of Southeast Asian Democratization. First
published by Routledge Park Square, Milton Park Abingdon, Case, William, (1995).
Comparing Regime Continuity and Change: Indonesia, Thailand and Malaysia, Published by
The Department of Political and Social Change Research School of Pacific and Asian Studies
The Australian National University 1995
30
Choi, Nankyung (2014) Local Politics Elites in Indonesia: Risers and Holdovers, Sojourn
Journal of Social Issues in Southeast Asia, 29-2:364-407.
Hidayat, S., Susanto, H., Erman, E., Soesilowati, E.S. & Usman, TS. (2006), Bisnis dan
Politik di Tingkat Lokal: Pengusaha, Penguasa, dan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
Pasca Pilkada, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jakarta: LIPI Press. 382 Hicken,
Allen (2011), Clientelism; Annual Review of Political Science 14:289- 310
MacIntyre, Andrew, (1992), Business and Politics in Indonesia, NSW: Asian Studies
Association of Australia in Assiciation with Allen and Unwin.
Migdal, Joel S, (1988), Strong Societies and Weak States. State - Society Relations and State
Capabilities in the Third World, Princeton University Press, 1988.
Muhtadi, Burhanuddin, Paper (2013, Money Politics and Electoral Dynamics in Indonesia A
Preliminary Study of The Interaction Between "Party-ID" and Patron- Client
Hutchcroft, Paul D (2013). Linking Capital and Countryside: Patronage and Clinetelis in
Japang, Thailand, adn Philippines; in: D.A. Brun and I. Diamond (eds), Clentelism,
Social Policies, and the Quality of Democracy, pp. 174- 2013 Baltimore: Johns Hopkins
University Press. Stokes, Susan C., Thad Dunning, Marcelo Nazareno, and Valeria Brusco
(2013). Brokers, Voters, and Clientelism: The Puzzle of Distributive Politics. Cambridge:
Cambridge University Press.
Susanto, Hari (2007). Penguasa, Pengusaha dan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Pasca
Pilkada: Kasus Provinsi Kalimantan Selatan; In: S. Hidayat (ed.), Bisnis dan Politik di
Tingkat Lokal: Pengusaha, Penguasa dan Penyelenggaraan Pemerintahan Daertah Pasca
Pilkada, pp. 183-233. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Sidel, John T. Capital, Coercion and Crime: Bossism in the Philippines, Stanford: Stanford
University Press, 1999. Robinson, R. and Hadiz, V, (2004), Reorganising Power in
Indonesia: ThePolitics of Oligarchy in An Age of Markets, London: Routledge Curzon.
Winters, Jeffrey A, (2017) Electoral Dynimics in Indonesia: Money Politics, Patronage and
Clientelism at the Grassroots, Bulletin of Indonesian Economics Studies, Volume 52, 2016-
Issue 3
31