Anda di halaman 1dari 12

 

 
TINJAUAN BUKU
 
 
PENGUATAN DEMOKRASI: PARTAI POLITIK DAN
(SISTEM) PEMILU SEBAGAI PILAR DEMOKRASI
 
Muhadam Labodo dan Teguh Ilham, 2015. Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di
Indonesia: Teori, Konsep dan Isu Strategis. Jakarta: Raja Grafindo Persada, xi+ 282 hlm.
 
Dian Aulia
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
E-mail: dianbinaulia@gmail.com
 
 
Diterima: 20-4-2016 Direvisi: 27-4-2016 Disetujui:29-5-2016
 
 
PENDAHULUAN bab yang berbeda sehingga membantu pembaca
Buku berjudul Partai Politik dan Sistem Pemilih- lebih fokus terhadap materi. Pada akhir buku ini,
an Umum di Indonesia: Teori, Konsep, dan Isu ditawarkan konsep-konsep yang dapat menjadi
Strategis yang ditulis oleh Muhadam Labodo dan masukan dalam menguatkan partai politik sebagai
Teguh Ilham mengulas dua tema sekaligus, yakni mesin serta salah satu pilar demokrasi sekaligus
partai politik dan sistem pemilihan umum (pemi- perbaikan bagi sistem pemilu.
lu). Menurut penulis, kedua tema ini perlu dikaji Buku Muhadam dan Teguh terdiri atas lima
dan dipahami secara utuh. Apabila partai politik bab, ditambah bagian pengantar penulis dan
mampu menjadi pilar demokrasi yang melahirkan editorial. Pada bagian pengantar, penulis mem-
kader unggul, semestinya sistem pemilu mampu berikan pemahaman bahwa buku menyajikan
menjadi “jembatan” output partai politik untuk teori-teori dari para ahli mengenai partai politik
duduk ke dalam sistem pemerintahan. Melalui dan sistem pemilihan umum serta dinamika
buku ini, penulis menggunakan metode kualitatif, implementasinya yang didasarkan pada praktik
yakni mendeskripsikan dan mengurai teori dan yang terjadi di Indonesia. Teori dan konsep
konsep, yang kemudian dianalisis dan diulas ditujukan penulis agar pembaca mampu memban-
dengan isu ataupun persoalan yang dihadapi oleh dingkan dan menganalisis teori ke dalam tataran
Indonesia. Teguh Ilham dan Muhadam Labodo, praksis dalam konteks keindonesiaan. Namun,
yang juga merupakan senior sekaligus dosen dari penulis “membungkus” teori dan konsep dengan
Teguh, mendedikasikan diri pada almamaternya, menambahkan perspektif sejarah terbentuknya
yaitu Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri. Selain partai politik di dunia hingga konteks Indonesia
itu, Muhadam Labodo aktif sebagai pengajar sebagaimana yang dipaparkan pada bab pertama.
hampir di seluruh DPRD dan pemerintah Beragam konsep dan teori yang berkaitan dengan
daerah di Indonesia. Sebagai akademikus serta partai politik dijabarkan oleh penulis, misalnya
berdasarkan pada pengalaman berkecimpung Neumann (1963, 352), yang mengartikan partai
dalam urusan pemerintahan dan politik, Labodo politik sebagai organisasi dari aktivis-aktivis poli-
merupakan akademikus dari institusi pemerin- tik yang berusaha menguasai pemerintahan serta
tahan yang cukup produktif. Buku hasil kolabo- merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan
rasi antara guru dan murid ini berbeda dengan dengan suatu golongan atau golongan-golongan
buku kebanyakan, yang membahas partai politik lain, mempunyai pandangan yang berbeda. Pada
ataupun sistem pemilu secara makro. Dalam hakikatnya, pembentukan partai politik dilandasi
buku ini, kedua tema dibahas dalam tiap-tiap oleh hak asasi warga negara yang dijamin oleh
 
 
115
konstitusi, sebagaimana redaksional Pasal 28 Un- proses dan mekanisme “pemilihan” wakil dari
dang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia rakyat untuk mengambil keputusan-keputusan
Tahun 1945, bahwa kemerdekaan berserikat dan negara—atas nama rakyat. Maka, kemudian,
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan kualitas dari pelaksanaan proses dan mekanisme
dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan pemilihan tersebut dipengaruhi oleh prakondisi
undang-undang. Jika dilihat dari rangkaian pen- tertentu. Setidaknya ada tiga yang dipaparkan
jabaran teori-teori partai politik ataupun pemilu oleh penulis, yaitu Modernitas dan Kesejahteraan,
yang kemudian dikontekskan dengan persoalan Budaya Politik, serta Struktur Sosial Masyarakat.
partai politik dan pemilu di Indonesia, agaknya Selanjutnya, pada bab ketiga, penulis memba-
penulis menjabarkan demokrasi secara prose- has soal perkembangan partai politik di Indonesia
dural. Partai politik dan pemilu hanya digunakan pra dan pasca-reformasi. Dalam pembabakannya,
sebagai alat untuk bergantinya rezim kekuasaan penulis menjelaskan perkembangan partai politik
para elite, sementara rakyat bukanlah “penikmat” berdasarkan tiga masa, yakni masa demokrasi
langsung dari pelaksanaan demokrasi. Namun, liberal dan demokrasi terpimpin (Orde Lama)
penulis kurang mengurai persoalan politik, yang pada rezim Soekarno; masa Orde Baru, yakni
semestinya dapat menguatkan analisis yang pada rezim Soeharto; serta masa orde reformasi
dibangun oleh penulis terkait dengan perkem- setelah runtuhnya rezim Soeharto. Pada masa
bangan demokrasi melalui partai dan pemilu demokrasi liberal, ketika Indonesia menerapkan
dari masa ke masa. Penulis justru berfokus pada sistem pemerintahan parlementer, dominasi partai
rangkaian peristiwa yang dibangun secara histori- politik di DPR sangat memengaruhi kondisi
cal dalam bab tentang partai politik ataupun bab pemerintahan yang justru kerap tidak stabil. Hal
tentang pemilu. ini ditunjukkan oleh pergantian kabinet hingga
Pada bab kedua, berangkat dari konsep tujuh kali akibat sering kali dijatuhkannya mosi
demokrasi, penulis ingin memberikan pemaham- tidak percaya dari DPR. Kondisi demikian dipen-
an kepada pembaca bahwa pemilu merupakan garuhi pula oleh faktor sistem multipartai yang
suatu cara yang dapat mewadahi keinginan kian menunjukkan besarnya kepentingan politik
rakyat sekaligus mengangkat eksistensi rakyat, untuk mendapatkan kekuasaan. Berkebalikan
yakni pemerintahan tertinggi ada pada rakyat. dengan masa demokrasi liberal, masa demokrasi
Sebagaimana penulis mengutip adagium yang terpimpin atau Orde Lama menjadikan peran par-
diungkapkan Abraham Lincoln, “Democracy is tai politik tidak tampak, dan kekuasaan presiden
government of the people, by the people, and yang otoriter mendominasi pemerintahan.
for the people,” demikian kekuasaan negara Adapun bab keempat pada buku ini mem-
berasal dan ditentukan oleh rakyat. Meskipun bahas soal perkembangan pemilihan umum di
pada perkembangannya lahir berbagai model Indonesia. Sebagaimana pembabakan partai
demokrasi, secara mendasar konsep demokrasi politik, penulis membagi pelaksanaan pemilu di
tetap dimaknai bahwa kedaulatan tertinggi negara Indonesia menjadi tiga masa, yakni pada masa
ada pada rakyat. Hal ini sejalan dengan Ni’matul demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin/Orde
Huda (2005, 12), yang mengatakan, apa pun vari- Lama, masa Orde Baru, serta pemilu masa refor-
an model dalam mendesain kreatif demokrasi,
masi. Berdasarkan pada uraian penulis, dari pe-
seluruh bangsa di dunia tetap menggunakan
milu pertama (1955) hingga pemilu kedua sempat
istilah demokrasi di depan variasi itu, yang secara
mengalami hambatan hingga dua kali penundaan,
keseluruhan memiliki kesamaan makna, yaitu
yang akhirnya dapat dilaksanakan pada 1971.
government rule by the people (rakyat berkuasa),
Padahal, semula pemilu diagendakan akan di-
yang berasal dari bahasa Yunani, demos dan
laksanakan lima tahun setelah pemilu pertama,
kratos/kratein.
yakni pada 1960. Namun, ketidaksiapan kondisi
Pada dasarnya, pemilu merupakan suatu politik dan ekonomi pada saat itu menyebabkan
cara dalam melaksanakan demokrasi secara pelaksanaan pemilu diundurkan. Peristiwa yang
tidak langsung, yakni mewakilkan “suara rakyat” terjadi pada saat itu adalah Dekrit Presiden 5
kepada wakilnya yang telah dipilih melalui Juli 1959, yang menyatakan bahwa konstituante

  116 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016


dibubarkan dan Indonesia kembali ke UUD 1945. Sebagaimana dijelaskan di awal, partai
Sementara penundaan kedua disebabkan oleh politik di Indonesia mengalami pasang-surut pada
terjadinya peralihan rezim dari Soekarno ke rezim awal-awal kemerdekaan dan reformasi. Kondisi
Soeharto, yakni pada 1967. Penyelenggaraan demikian dipengaruhi oleh ketidakstabilan
pemilu dapat dilaksanakan secara periode lima pemerintahan yang beberapa kali mengalami
tahunan setelah dilaksanakannya pemilu ketiga. pergantian sistem pemerintahan. Ketidakstabilan
Pada bab terakhir, yakni bab kelima, dibahas terlihat, misalnya, dalam pemilu pertama pada
1955 untuk DPR sebanyak 118 peserta, yakni
tentang masa depan partai dan pemilihan umum
terdiri atas 36 partai politik, 34 organisasi kema-
di Indonesia. Pada bab inilah penulis banyak
syarakatan, dan 48 perorangan. Sementara untuk
mengelaborasi ide dan pandangan penulis secara
pemilu anggota konstituante sebanyak 91 peserta,
akademis sehingga, menurut reviewer, bagian
yang terdiri atas 39 partai politik, 23 organisasi
ini merupakan bagian “puncak” pada buku ini.
kemasyarakatan, dan 29 perorangan. Namun,
Dalam bagian ini, penulis menguraikan problem
seiring usainya pemilu berlangsung, jumlah partai
partai politik di Indonesia, di antaranya lemahnya
politik berkurang tidak lebih dari 40 partai.
ideologi, lemahnya sistem rekrutmen, pola ka-
derisasi kader, dan lemahnya sistem fundraising Menurut Syamsudin Haris (2014, 23), de-
partai politik. Sementara persoalan sistem pemilu mokrasi parlementer yang diterapkan pada era
dihadapkan pada persoalan rendahnya daya kritis Soekarno, sebagai suatu eksperimen politik, gagal
masyarakat menentukan pilihannya, mahalnya mewujudkan harapan bahwa Pemilu 1955 dapat
biaya pemilu, dan tingginya tingkat perselisihan menyelesaikan krisis politik nasional pada waktu
hasil pemilu. itu. Hal ini disebabkan oleh pengaruh tekanan
  dari Presiden Soekarno dan militer, yang akhirnya
  menghentikan eksperimen terhadap sistem parle-
PASANG-SURUT PARTAI POLITIK DI menter. Hingga pada akhirnya masa demokrasi
TIGA ZAMAN parlementer berakhir setelah Soekarno menge-
Pada awalnya, partai politik berkembang di luarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, yakni
belahan Eropa Barat, yang mulanya lebih perihal pembubaran konstituante dan kembali
berbentuk golongan atau kelompok-kelompok berlakunya UUD 1945. Situasi politik pada masa
politik dalam parlemen yang bersifat elitis dan itu kacau dan tidak stabil, konstituante dianggap
aristokratis. Penulis menggambarkan bahwa tidak mampu menetapkan undang-undang dasar,
kelompok-kelompok politik di parlemen tersebut sementara Indonesia masih menggunakan UUDS
pada akhirnya berusaha mengembangkan organi- yang dianggap pemerintahan demokrasi liberal
sasi massa, yang kemudian pada abad ke-19 pada masa itu tidak sesuai dengan kehidupan
kelompok-kelompok tersebut lahir sebagai suatu masyarakat. Selain itu, ada desakan dari militer
partai politik. Sementara dalam konteks Indone- agar Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit,
sia, penulis melihat kemunculan partai politik yakni untuk kembali pada UUD 1945 dan mem-
sudah ada sebelum kemerdekaan Indonesia, bubarkan konstituante. Keadaan yang genting
yakni cikal-bakalnya berasal dari pergerakan- inilah alasan dikeluarkannya Dekrit Presiden.
pergerakan yang berperan pada masa penjajahan Peristiwa ini sekaligus mengantarkan Indonesia
kolonial Belanda. ke masa demokrasi terpimpin/Orde Lama—era
Pergerakan dalam bentuk partai politik me- otoritarianisme.
lejit dalam menyongsong kemerdekaan, bahkan Masa Orde Lama menorehkan sejumlah
berkembang pesat seiring dengan gelombang persoalan yang justru berkebalikan dari apa yang
demokratisasi melalui gerakan reformasi 1998 dihadapi oleh masa demokrasi liberal. Kekua-
yang berujung pada percepatan pemilu pada 1999 saan Presiden sangat luas dan menonjol, segala
serta tuntutan amendemen konstitusi (Undang- kewenangan yang semula dijalankan oleh DPR
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun menjadi kewenangan presiden. Jumlah partai
1945) menuju demokrasi (Riwanto, 2016, 30). politik, yang semula begitu banyak pada masa de-
mokrasi liberal, kemudian hanya tersisa 10 partai

  Dian Aulia | Tinjauan Buku Penguatan Demokrasi: ... | 117


politik setelah Perpres No. 7 Tahun 1959 Tentang tidak memenuhi syarat sebagai badan hukum
Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian partai, serta 153 partai politik yang status badan
ditetapkan. Namun, di antara partai politik yang hukumnya dibatalkan menurut Tim Litbang
ada, PKI, yang berideologi komunis, pada saat itu Kompas (Safa’at, 2011, 1). Adapun partai politik
mendapat dukungan penuh dari Soekarno sebagai yang mengikuti pemilu pada 2009 sebanyak 38
Presiden Republik Indonesia. Dukungan penuh partai nasional dan 6 partai politik lokal di Aceh,
tersebut berkaitan dengan banyaknya jumlah namun partai yang mendapatkan kursi di DPR
partai politik yang sedikit-banyak memengaruhi berjumlah 9 partai politik.
ketidakstabilan politik di Indonesia. Sementara Sebegitu terbendungnya demokrasi pada
itu, Soekarno sebagai presiden memiliki pera- masa Orde Baru menyebabkan derasnya
nan besar dalam hal politik, termasuk untuk kemunculan berbagai macam partai politik.
mewujudkan Nasakom (Nasionalis, Agama, Persoalannya, partai politik yang bermunculan
dan Komunis). Melalui PKI, Soekarno berusaha perlu dipertanyakan esensi dan ideologi yang
merangkul seluruh partai yang memiliki ideologi melatarbelakanginya. Bagaimana tidak, nama-
berbeda-beda itu untuk persatuan bangsa. Alih- nama partai politik pada saat itu cukup menyita
alih mempersatukan bangsa, Soekarno melakukan perhatian karena keunikannya, bahkan penulis
fusi terhadap banyaknya partai yang ada hingga berpendapat nama-nama partai politik terkesan
tersisalah 10 partai yang berideologi nasionalis satire. Misalnya Partai Seni dan Dagelan In-
dan sosialis (PNI, Partai Indonesia, IPKI, dan Pa- donesia, Partai Dua Syahadat, Partai Orde Asli
tai Murba), partai berideologi keagamaan (PSII, Indonesia, dan sebagainya (Ma’shum, 2001, 41).
NU, Perti, Parkindo, dan Partai Katholik), serta
partai berideologi komunis, yaitu PKI. Hingga Meskipun pada awal reformasi terdapat
akhirnya terjadi peristiwa 30 September, yang payung hukum mengenai partai politik, yakni
menyebabkan runtuhnya PKI sebagai partai poli- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang
tik terbesar pada 1965 sekaligus mulai runtuhnya Partai Politik, syarat pendirian partai politik
rezim Soekarno. masih sangat general dan terkesan administra-
tif bahkan sekadar formalitas. Dalam Pasal 2
Pasang-surut jumlah partai politik kembali Undang-Undang No. 2 Tahun 1999 disebutkan
terjadi pada rezim Soeharto dan setelah berakhir- bahwa syarat pendirian partai politik sekurang-
nya Orde Baru. Pada masa Orde Baru, yakni kurangnya didirikan oleh 50 orang warga negara
era Soeharto, fusi terhadap partai politik juga Indonesia yang telah berusia 21 tahun; partai
dilakukan, yakni dengan membaginya ke dalam politik yang dibentuk tersebut harus memenuhi
tiga partai, yakni Partai Persatuan Pembangunan syarat, yaitu mencantumkan Pancasila sebagai
(PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan dasar negara dari Negara Kesatuan Republik
Golongan Karya (Golkar), sebagai mesin politik Indonesia dalam anggaran dasar partai; asas atau
pemerintahan Soeharto dalam melanggengkan ciri, aspirasi dan program partai politik tidak ber-
kekuasaannya. Sementara itu, ketika rezim Orde tentangan dengan Pancasila; keanggotaan partai
Baru, yang pemerintahannya dinilai diktator dan politik bersifat terbuka untuk setiap warga negara
otoriter, berakhir, demokrasi digadang-gadang, Republik Indonesia yang telah mempunyai hak
tidak sedikit kelompok-kelompok yang mendiri- pilih; partai politik tidak boleh menggunakan
kan partai politik dengan mengatasnamakan nama atau lambang yang sama dengan lambang
demokrasi. negara asing, bendera Negara Kesatuan Republik
Setidaknya, di awal masa reformasi, dari Indonesia Sang Merah Putih, bendera kebangsaan
sekitar 141 partai politik mendaftar sebagai negara asing, gambar perorangan, dan nama serta
peserta Pemilu 1999, hanya sekitar 48 partai lambang partai lain yang telah ada.
politik yang memenuhi syarat sebagai peserta
Berdasarkan pada penjabaran redaksi di atas,
pemilu. Pada 2004, pemilu hanya diikuti oleh 24
sangat memungkinkan terbentuknya partai politik
partai politik, tetapi di samping itu terdapat 26
yang secara latar belakang dan hakikatnya tidak
partai politik yang tidak lolos verifikasi Komisi
begitu substantif selama asas atau cirinya tidak
Pemilihan Umum (KPU), 58 partai politik yang
bertentangan dengan Pancasila. Namun, secara

  118 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016


ideologi, visi dan misi, kaderisasi, serta hakikat Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadil-
sebagai partai politik sangat minim. an Sejahtera (PKS), Partai Demokrasi Indonesia
Dalam perjalanannya, payung hukum me- Perjuangan (PDI Perjuangan), Partai Golongan
ngenai partai politik mengalami beberapa kali Karya (Golkar), Partai Gerakan Indonesia Raya
perubahan. Pada 2002, Undang-Undang No. 2 (Gerindra), Partai Demokrat, Partai Amanat
Tahun 1999 diubah menjadi Undang-Undang Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan
Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, (PPP), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai
yang digunakan sebagai dasar untuk melak- Damai Aceh (PDA), Partai Nasional Aceh, Partai
sanakan pemilu 2004. Selanjutnya, pada 2008, Aceh (PA), Partai Bulan Bintang (PBB), serta
Undang-Undang Partai Politik kembali diubah Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).
 
menjadi Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 se-  
bagai landasan hukum pelaksanaan Pemilu 2009. SISTEM PEMILU INDONESIA:
Terakhir, Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 PILIHAN BERDEMOKRASI
 
diubah sebagian melalui Undang-Undang No. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pemilihan
2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang- umum merupakan salah satu bentuk demokrasi
Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. perwakilan, yakni rakyat mempercayakan
Meski secara de facto kondisi partai politik saat suaranya kepada wakil-wakilnya yang telah
ini belum seideal yang dicitakan, setidaknya dari dipilih untuk menjalankan roda pemerintahan.
segi regulasi spesifikasi pendirian partai politik Pemilihan yang dilakukan oleh masyarakat ini-
lebih spesifik dan secara administrasi membu- lah yang kemudian dilakukan secara langsung
tuhkan keseriusan bagi warga negara yang ingin melalui pemilihan umum. Dalam pelaksanaan-
mendirikan partai politik sehingga tidak terkesan nya, pemilu dilaksanakan dengan asas langsung,
gampangan. umum, bebas, jujur, dan adil atau sering disebut
Beberapa materi muatan yang ditambah- Luberjurdil.
kan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 Sebagaimana pembabakan yang dilakukan
tentang Partai Politik yang terkait dengan syarat oleh penulis dalam buku ini, pemilu mulai di-
mendirikan partai politik terdapat dalam Pasal 2, lakukan pada masa demokrasi liberal/demokrasi
yakni soal keterwakilan pendiri partai dari setiap terpimpin, atau dikenal dengan masa Orde Lama,
provinsi di Indonesia minimal 30 orang warga yakni pada tahun 1955. Berlandaskan pada
negara Indonesia yang berusia 21 tahun atau Undang-Undang No. 7 Tahun 1953 tentang Pe-
sudah menikah; keterwakilan perempuan yang milihan Anggota Konstituante dan Anggota DPR
harus dipenuhi oleh partai politik sebanyak 30% juncto Undang-Undang No. 18 Tahun 1953, pe-
dari jumlah anggota partai; pendiri dan pengurus milu pertama kali tersebut dilaksanakan. Hanya,
partai politik tidak boleh merangkap sebagai evaluasi terhadap undang-undang tersebut tidak
anggota partai politik lain. Kemudian, penam- mengatur mengenai tata cara dan segala yang
bahan syarat yang harus ada pada anggaran dasar berkaitan dengan kampanye pemilu. Kemudian,
partai politik adalah harus memuat mekanisme pada 1954, sebagai peraturan pelaksanaan Un-
rekrutmen keanggotaan partai politik dan jabatan dang-Undang tentang Pemilu tersebut, dibuatlah
politik, sistem kaderisasi partai, mekanisme pem- Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1954 ten-
berhentian anggota partai politik, dan mekanisme tang Menyelenggarakan Undang-Undang Pemilu
penyelesaian perselisihan internal partai politik; serta Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 1954
serta syarat kepengurusan partai politik di tingkat tentang Cara Pencalonan Keanggotaan DPR/
pusat harus memenuhi keterwakilan perempuan Konstituante oleh Anggota Angkatan Perang dan
minimal 30% dari jumlah pengurus partai tingkat Pernyataan Nonaktif/Pemberhentian Berdasarkan
pusat. Penerimaan Keanggotaan Pencalonan Keang-
Pada Pemilu 2014, jumlah partai politik yang gotaan Tersebut, Maupun Larangan Mengadakan
menjadi peserta pemilu ada 12 partai politik nasio- Kampanye Pemilu terhadap Anggota Angkatan
nal dan 3 partai politik lokal Aceh. Partai-partai Perang.
itu adalah Partai Nasional Demokrat (NasDem),

  Dian Aulia | Tinjauan Buku Penguatan Demokrasi: ... | 119


Pemilu pertama yang diikuti oleh lebih dari pada 1999. Kondisi ini terjadi lantaran runtuh-
30-an partai politik tersebut berhasil dilaksanakan. nya kekuasaan Soeharto yang disebabkan oleh
Berdasarkan pada jumlah peserta dalam pemilu memuncaknya tuntutan mahasiswa, masyarakat,
tersebut, Indonesia menganut sistem multipartai, dan elite agar Soeharto turun dari jabatannya.
sementara penulis pula memaparkan bahwa Kemudian, di bawah Presiden B.J. Habibie,
Pemilu 1955 menggunakan sistem perwakilan Indonesia masuk ke gerbang reformasi, dan
berimbang (proportional representation) yang Pemilu 1999 pun dilaksanakan. Dasar hukum
dikaitkan dengan sistem daftar sehingga disebut terkait dengan penyelenggaraan pemilu juga
sebagai sistem proporsional tidak murni. mengalami reformasi, yang ditandai dengan
Penyelenggaraan pemilu berikutnya (kedua) lahirnya Undang-Undang No. 2 Tahun 1999
baru dapat terlaksana pada 1971, yakni pada tentang Partai Politik; Undang-Undang No. 3
rezim Soeharto. Dengan demikian, penulis Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum; serta
mengategorikan pemilu kedua ini berlangsung Undang-Undang No. 4 Tahun 1999 tentang Su-
pada masa Orde Baru. Pemilu ini masih meng- sunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD,
anut sistem multipartai, tetapi terbatas, yakni yang kemudian peraturan inilah yang melandasi
sebanyak 10 partai politik. Namun, pada pemilu pelaksanaan pemilu.
tahun berikut-berikutnya, sebagaimana dijelaskan Masa reformasi seolah membuka keran
sebelumnya, Soeharto melakukan fusi terhadap demokrasi yang selama masa Orde Baru ter-
partai politik sehingga hanya tiga partai politik bendung. Tuntutan demokrasi dijadikan dasar
yang menjadi peserta pemilu, yakni PDI, PPP, bagi kelompok-kelompok untuk membentuk
dan Golkar sebagai mesin pemerintahan. Pemilu partai politik sehingga sistem multipartai kembali
yang dimaksudkan adalah pada 1977, 1982, 1987, bangkit. Kondisi ini menyebabkan membeludak-
1992, dan 1997, yang semuanya dimenangi oleh nya jumlah partai politik yang mendaftarkan
Partai Golkar. Dominasi Partai Golkar yang begitu diri sebagai peserta Pemilu 1999. Sementara itu,
kuat dan selalu memenangi pemilu menjadikan sistem pemilu era reformasi ini masih sama den-
kedua partai lainnya hanya sebagai “peramai”. gan pemilu sebelumnya, yakni sistem perwakilan
Atas dasar itulah, penulis dalam bukunya me- berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar,
nyatakan, sesungguhnya pada masa Orde Baru dengan berdasarkan pada Pasal 1 ayat 7 Undang-
Indonesia menganut sistem partai tunggal pada Undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan
setiap pemilunya (1977–1997). Hal ini sejalan Umum.
dengan Maurice Duverger (1967, 207), yang
Pemilu selanjutnya dilakukan lima tahun
mendefinisikan sistem partai tunggal menjadi dua
setelahnya, yakni pada 2004. Terdapat banyak
pengertian: pertama, dalam suatu negara memang
perubahan yang dimaksudkan untuk perbaikan
hanya ada satu partai; dan kedua, suatu negara
dalam penyelenggaraan Pemilu 2004. Pertama,
memiliki beberapa partai saja, tetapi hanya ada
perbaikan terhadap landasan hukum penyeleng-
satu partai politik yang dominan di antara partai
garaan, yakni Undang-Undang Partai Politik
lainnya. Sementara persoalan pada Orde Baru
(sebagaimana dijelaskan pada bagian partai poli-
sesuai dengan definisi kedua Duverger.
tik); Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 diubah
Pemilu pada 1971, 1977, 1982, 1992, hingga menjadi Undang-Undang No. 12 Tahun 2003
pemilu pada 1997 menganut sistem perwakilan tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD,
berimbang (proporsional) dengan sistem stelsel dan DPRD; serta untuk pertama kalinya terdapat
daftar. Sistem ini dimaksudkan bahwa DPR dan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Pre-
DPRD memiliki kekuatan perwakilan organisasi siden dan Wakil Presiden, yakni Undang-Undang
yang sama besar dan berimbang dengan dukung- No. 23 Tahun 2003.
an pemilih. Dalam hal ini, pemilih memberikan
suaranya kepada peserta pemilu. Kedua, berbeda dengan penyelenggaraan
pemilu sebelum-sebelumnya, Pemilu 2004 di-
Selanjutnya, belum sampai periode lima selenggarakan oleh KPU, yang dipilih oleh pre-
tahunan, pemilu kembali dilaksanakan, yakni siden dengan persetujuan DPR. Sementara KPU

  120 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016


daerah diusulkan oleh eksekutif sesuai dengan pemilu putaran kedua. Kasus pemilu yang meng-
tingkatannya (kabupaten/kota/provinsi), kemu- alami putaran kedua adalah pemilihan presiden
dian disetujui oleh KPU di atasnya, misalnya dan wakil presiden pada 2004 antara pasangan
KPU kabupaten disetujui oleh KPU provinsi, dan Megawati Soekarnoputri-Ahmad Hasyim dan
KPU provinsi disetujui oleh KPU pusat. Dengan Susilo Bambang Yudhoyono-Muhammad Jusuf
demikian, penyelenggaraan pemilu sepenuhnya Kalla.
menjadi tanggung jawab KPU yang akan dilapor-
Pemilu tahun 2009 menggunakan sistem
kan kepada presiden dan DPR.
pemilihan umum yang sama dengan Pemilu 2004,
Ketiga, sistem pemilu yang digunakan pada yakni pemilu DPR dan DPRD menggunakan
Pemilu 2004 mengalami perubahan yang cukup sistem proporsional dengan daftar calon terbuka,
signifikan dibandingkan dalam pemilu yang pemilihan DPD dengan sistem distrik berwakil
selama ini telah dilaksanakan. Terdapat tiga banyak, dan sistem distrik varian two round sys-
sistem pemilu yang diterapkan sesuai dengan tem untuk pemilihan langsung bagi presiden dan
kategori peruntukannya, yakni pemilu anggota wakil presiden. Hanya, berbeda dengan pemilihan
DPR dan DPRD, pemilu untuk anggota DPD, presiden dan wakil presiden sebelumnya, pada
serta pemilihan presiden dan wakil presiden. 2009 pemilihan presiden dan wakil presiden
Sistem pemilu pada pemilu DPR dan DPRD hanya mengalami satu kali putaran karena jumlah
menggunakan sistem perwakilan berimbang suara untuk pasangan Susilo Bambang Yudoyono
(proporsional) dengan sistem calon terbuka. dan Boediono di atas 50%.
Perbedaannya dengan sistem pemilu yang se-
lama ini digunakan di Indonesia (sistem pemilu Evaluasi dan perbaikan yang dilakukan pada
proporsional berdasarkan pada stelsel daftar) Pemilu 2009 adalah kembali diubahnya Undang-
adalah sistem proporsional dengan sistem calon Undang Pemilu Legislatif, yakni Undang-Undang
terbuka memungkinkan pemilih dapat memilih No. 12 Tahun 2003, menjadi Undang-Undang
calon anggota legislatif (caleg). Artinya, dapat No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota
memilih nama caleg yang terdapat pada surat DPR, DPD, dan DPRD; Undang-Undang No.
suara (juga menampilkan gambar partai politik) 23 Tahun 2003 diubah menjadi Undang-Undang
yang dicalonkan partai politik, bukan hanya No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan
memilih partai politik. Wakil Presiden; serta Undang-Undang Partai
Politik (sebagaimana dijabarkan sebelumnya).
Sistem pemilu untuk pemilihan anggota
Selain itu, terdapat payung hukum baru mengenai
DPD dilakukan dengan sistem distrik berwakil
pengaturan penyelenggaraan pemilihan umum,
banyak. Tiap-tiap provinsi memiliki kesempatan
yakni Undang-Undang No. 22 Tahun 2007.
untuk memilih wakilnya sebanyak empat orang
untuk duduk di kursi DPD. Dalam buku Miriam Euforia pemilihan langsung presiden dan
Budiardjo (2014, 461–462), sistem pemilihan wakil presiden mendorong terselenggaranya
umum dengan sistem distrik atau single member pemilihan kepala daerah—yang selama ini di-
constituency adalah satu daerah memilih satu tunjuk atau ditetapkan oleh presiden—menjadi
wakil. Dalam sistem ini, terdapat beberapa vari- pemilihan langsung pula. Hal ini semakin diper-
an yang mendekatinya, yakni block vote (BV), kuat oleh semangat otonomi daerah yang menjadi
alternative vote (AV), serta sistem dua putaran salah satu fokus pada 1999. Dengan begitu, pada
atau two-round system (TRS). Sementara penulis 2005, pemilihan kepala daerah (pemilukada) di-
dalam bukunya menyebutkan terdapat lima vari- laksanakan secara langsung dengan berdasarkan
an (di antaranya yang disebutkan oleh Miriam pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Budiardjo), dua di antaranya adalah first past the Pemerintahan Daerah, yang kemudian menjelang
post (FPTP) dan party block vote (PBV). Sistem Pemilukada 2009 diubah menjadi Undang-
distrik yang digunakan di Indonesia, misalnya Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
pada pemilihan presiden dan wakil presiden yang Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
menggunakan sistem distrik dengan varian two tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan tersebut
round system, membuka peluang untuk dilakukan terkait dengan perubahan peserta pemilukada,

  Dian Aulia | Tinjauan Buku Penguatan Demokrasi: ... | 121


yang semula hanya boleh berasal dari partai dari segi kepentingan siapa yang diperjuangkan
politik atau gabungan partai politik, menjadi oleh wakil rakyat atau didahulukan oleh wakil
dapat diikuti oleh calon perseorangan atau inde- rakyat, yakni kepentingan daerah (distrik) atau
penden. Terakhir, pada 2015, terjadi pemisahan kepentingan nasional (bangsa-negara).
pengaturan pemilukada dalam Undang-Undang Berpijak pada pandangan Ramlan, penulis
Pemerintahan Daerah, yakni dengan diterbitkan- menyampaikan bahwa kondisi partai politik saat
nya Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang ini lebih cenderung partai politik mengutamakan
Perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun kepentingan sendiri atau golongan. Selain itu, par-
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah tai politik lebih disibukkan oleh urusan-urusan in-
Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 ternal partai dan golongan, bukan lagi mengusung
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kepentingan konstituen atau kepentingan publik.
Kota Menjadi Undang-Undang. Padahal, kader partai politik hanya dapat terpilih
 
  melalui suara rakyat yang telah memilihnya atau
PARTAI POLITIK DAN SISTEM menjadi konstituennya. Dengan begitu, kader
PEMILU: TANTANGAN DAN partai politik terpilih bukan lagi hanya mewakili
PENGUATAN dirinya secara individu ataupun hanya mewakili
golongan partai yang mengusungnya, melainkan
Partai politik dan sistem pemilu saling berkait- sebagai legislatif perpanjangan tangan bagi rakyat
an satu sama lain. Partai politik tanpa sistem secara luas. Dengan demikian, Efriza (2014, 257)
pemilu yang baik akan menyebabkan partai mengatakan bahwa seharusnya kader-kader partai
politik kehilangan “wadah” sehingga membuat- politik yang duduk di kursi parlemen/legislatif
nya menjadi tidak teratur dan stabil. Misalnya, dapat mengartikan aspirasi-aspirasi dari ma-
pembagian/penetapan jumlah kursi di parlemen syarakat dan menyuarakan keinginan masyarakat
tidak jelas sehingga membutuhkan proses yang dengan membela kepentingan masyarakat luas.
panjang, sebagaimana pengalaman Pemilu 1999.
Sehubungan dengan persoalan partai politik,
Sementara, sebaik apa pun sistem pemilu, tanpa
Muhadam dan Teguh menjelaskan setidaknya
berkualitasnya partai politik, hasil pemilu yang
terdapat tiga hal yang menjadi persoalan dan
diselenggarakan akan “kosong”. Adapun sistem
sekaligus tantangan yang dihadapi partai politik
pemilu merupakan pilihan yang formatnya dapat
Indonesia. Pertama, terkait dengan lemahnya
disesuaikan dengan kebutuhan (politik) bangsa-
ideologi partai politik. Dalam hal ini, setiap partai
negara Indonesia, tetapi penguatan partai politik
politik menganut suatu ideologi, tetapi ideologi
tidak berarti apa-apa jika tidak disertai oleh
tersebut cenderung sebatas AD/ART partai. Pem-
penguatan sistem pemilu.
berian dukungan terhadap partai politik seharus-
Berkenaan dengan peranan partai politik, nya berasaskan pada ideologi yang dianutnya,
Ramlan Surbakti (1992, 175) mengatakan bahwa tetapi yang terjadi kepentingan politik pada saat
terdapat beberapa tipe perwakilan, yakni 1) tertentu justru dominan menjadi pertimbangan
Pandangan yang mengatakan bahwa rakyat bagi partai politik dalam mengambil kebijakan.
melaksanakan fungsinya sesuai dengan program Misalnya, pada Pemilu 2004, koalisi antara PDIP
partai; 2) Partai merupakan penghubung an- dan partai pendukung yang mengusung pasangan
tara kepentingan lokal dan kepentingan nasional Megawati-Hasyim Muzadi, yakni Golkar, PPP,
yang diperjuangkan oleh partai politik. Dengan PDS, dan PBR. Secara ideologi, PDIP, PDS, dan
melaksanakan program partai, wakil rakyat Golkar merupakan partai sekuler yang berideologi
melaksanakan kepentingan nasional; 3) Apa yang Pancasila. Sementara PPP dan PBR merupakan
diperjuangkan oleh suatu partai politik tidak selalu partai Islam. Begitu berbeda ideologi antara PDIP
menyangkut kepentingan nasional. Oleh karena dan PPP. Selain itu, sikap PPP, yang semula tegas
itu, sebagian wakil rakyat terkait dengan program menolak perempuan untuk menjadi presiden, ke-
partai, dan sebagian lagi ditentukan dengan per- tika Hasyim Muzadi (Ketua Umum Tanfidziyah
timbangan demi kepentingan nasional; serta 4) PBNU) menjadi wakil calon presiden justru turut
Pandangan yang membedakan perwakilan rakyat mengusung pasangan calon ini. Belum lagi per-

  122 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016


soalan relasi antara Megawati dan Hamzah Haz tik cenderung kesulitan mengumpulkan dana dari
(PPP) pada saat berpasangan menjadi presiden iuran anggotanya. Oleh sebab itu, partai politik
dan wakil presiden, yang sempat dikabarkan ataupun politikus melakukan simbiosis mutualis-
kurang harmonis, serta relasi antara PPP dan PDS me, yakni politikus dapat menggunakan partai
yang juga kurang harmonis karena persoalan ke- politik sebagai “kendaraan” menjelang pemilu,
curigaan Kristenisasi, sementara PPP mengusung asalkan memiliki dana, sedangkan partai politik
kepentingan eksklusif komunitas Islam. Peristiwa mendapatkan dana dan kader untuk menjaga
ini terjadi pula pada Pemilu 2009. Fenomena ini eksistensinya.
menunjukkan bahwa partai politik tidak secara Pola rekrutmen dan kaderisasi yang dilaku-
konsisten berpegang teguh pada ideologinya kan oleh partai politik ini sangat berpengaruh
saat berkonsolidasi, tetapi melihat bagaimana terhadap kualitas kader yang terpilih sebagai pe-
kepentingan pragmatis partai politik pada saat mimpin ataupun wakil rakyat dalam menjalankan
itu. Padahal, konsolidasi ideologis di antara partai roda pemerintahan. Selain itu, sistem kaderisasi
begitu penting karena terkait dengan konsolidasi merupakan wadah yang tepat bagi partai politik
agenda politik yang akan dijalankan, dan melalui untuk menanamkan ideologi yang dianut oleh
konsolidasi ideologis pula setiap kader partai partai kepada para kadernya. Oleh karena itu,
“diingatkan” akan jati diri atau identitas partainya penulis memberikan beberapa catatan yang
(Noor 2013, 5). harus segera diperbaiki oleh partai politik, yakni
Berkaitan dengan persoalan ideologi terse- pertama, proses rekrutmen calon anggota partai
but, penulis berpendapat, untuk menguatkan politik haruslah diikuti dengan sistem seleksi
ideologi partai politik dapat melalui penguatan yang ketat dengan menggunakan teknik seleksi
peran divisi penelitian dan pengembangan yang baik. Dengan begitu, proses seleksi tersebut
(litbang) yang ada dalam struktur organisasi dapat menghasilkan kader-kader yang memenuhi
partai politik (tentunya selain dengan sistem kualifikasi dan kompetensi berkualitas. Kedua,
pengaderan yang mampu mentransfer dan mem- kader yang telah terpilih harus melewati masa
perkuat ideologi partai politik, yang dibahas pada orientasi dan sosialisasi dalam rangka mengenal-
poin kedua di bawah ini) sebagai divisi yang kan ideologi dan program-program partai secara
berfungsi dalam mengumpulkan, menganalisis, intensif sehingga kader memiliki karakter yang
dan mendistribusikan informasi politik kepada benar-benar matang.
semua jaringan organisasi partai politik dari pusat Catatan ketiga, anggota partai politik perlu
hingga daerah. Dengan demikian, divisi litbang diberi pembinaan yang baik, yang menekankan
dapat memberikan informasi sebagai bahan dan pada persoalan mental dan nilai-nilai moral.
dasar bagi pengambilan kebijakan partai-partai. Keempat, partai politik harus menyiapkan setiap
Kedua, lemahnya sistem rekrutmen dan pola kadernya untuk mengisi jabatan politik dengan
kaderisasi anggota partai politik. Dalam hal ini, menerapkan prinsip skala prioritas bagi kader
penulis menggambarkan dengan banyaknya yang berkualitas, cakap, berintegritas serta loya-
terjadi fenomena “kutu loncat” yang dianggap litas kepada partai dan publik. Kelima, adanya
sebagai sesuatu yang lumrah, yakni politikus atau pembatasan masa bakti anggota partai sehingga
kader partai seenaknya pindah dari satu partai regenerasi partai politik dapat berjalan dengan
ke partai yang lain. Selain itu, pola rekrutmen baik. Kemudian, yang keenam, partai politik
dan kaderisasi yang dilakukan oleh partai politik harus tegas dalam menerapkan sanksi terhadap
cenderung bersifat instan, misalnya terhadap in- kader yang terbukti melakukan pelanggaran, apa
cumbent yang telah memiliki konstituensi sendiri pun jenis pelanggarannya.
ataupun sudah “punya nama”. Menurut hipotesis Tantangan ketiga yang dihadapi oleh partai
penulis, partai politik cenderung “malas” untuk politik adalah krisisnya fundraising partai politik.
“bersusah payah” dalam mengembangkan rekrut- Berdasarkan pada Undang-Undang No. 2 Tahun
men dan pola kaderisasi yang berkualitas lantaran 2011 tentang Partai Politik, sumber keuangan par-
terbentur persoalan pendanaan partai. Partai poli- tai berasal dari iuran anggota, sumbangan yang

  Dian Aulia | Tinjauan Buku Penguatan Demokrasi: ... | 123


sah menurut hukum, serta bantuan keuangan dari pengaturan keuangan kampanye, yakni keuang-
APBN/APBD. Namun, hampir dapat dikatakan an partai politik digunakan untuk membiayai
dana yang berasal dari iuran anggota agaknya kegiatan partai, seperti pembiayaan sekretariat,
sulit diandalkan karena hubungan ideologis dan rapat-rapat partai, pendidikan politik dan kaderi-
“ketidakdekatan” anggota partai dengan partai sasi, serta kegiatan untuk publik yang bertujuan
politiknya. Maka, yang justru terjadi di lapangan untuk eksistensi partai politik (kegiatan sosial,
adalah partai politik bergantung pada bantuan kajian, aksi, dan lainnya). Sementara keuangan
dari negara melalui APBN/APBD ataupun “sum- kampanye mengatur pendapatan dan belanja
bangan” yang tidak menutup kemungkinan dari kampanye yang hanya berlangsung pada masa
elite partai yang menyebabkan partai seolah pemilu.
milik ataupun identik dengan “perseorangan”. Selanjutnya, problem dan tantangan yang
Lain halnya dengan Amerika dan Inggris yang terdapat dalam sistem pemilu, di antaranya,
begitu ketat dengan “sumber” pendanaan partai pertama, masih rendahnya daya kritis masyara-
politik sehingga sangat membatasi sumbangan kat dalam memilih. Sebagaimana yang dikutip
individual, bahkan Amerika melarang adanya oleh penulis, bahwa terdapat tipe-tipe pemilih,
sumbangan perusahaan. Begitupun dana partai yakni pemilih rasional, pemilih kritis, pemilih
yang bersumber dari negara yang juga dibatasi. tradisional, dan pemilih skeptis. Berdasarkan
Hal ini guna mencegah praktik uang dan peredar- pada tipe pemilih inilah kemudian penulis
an uang yang “tidak jelas”. Selain itu, memang mengindikasikan bahwa mayoritas pemilih di
partai bersifat mandiri sebagaimana negara Indonesia merupakan pemilih tradisional dan
libertarian ataupun political market yang me- skeptis. Pemilih tradisional dimaksudkan bahwa
nempatkan partai politik sebagai organisasi privat, pemilih memiliki pertimbangan yang sangat kuat
seperti Amerika dan Inggris. Sejatinya, yang perlu dalam hal ideologi sehingga cenderung fanatik
dimaksimalkan oleh partai politik di Indonesia dan tidak terlalu memperhatikan program kerja
sebagaimana kedua negara tersebut adalah iuran atau kinerja partai politik ataupun calon dari par-
anggota. Selain itu, yang membedakan adalah tai politik tersebut. Adapun yang menjadi ukuran
partai politik di Indonesia cenderung diposisikan adalah adanya kedekatan sosial-budaya, nilai,
sebagai organisasi publik yang konsekuensinya asal-usul, paham, ataupun agama. Sementara
banyak hukum negara yang mengaturnya. Maka, pemilih skeptis tidak mendasarkan orientasi pada
pengaturan mengenai batasan-batasan sumbangan ideologi ataupun kebijakan dan program kerja
terhadap partai politik perlu diatur lebih jelas, suatu partai atau kandidat partai. Maka, pemilih
baik besaran sumbangan, batasan sumbangan, skeptis cenderung menjadikan pemilu sebagai
maupun sumber yang memberikan sumbangan, ajang formalitas. Terkait dengan hal ini, terdapat
seluruhnya harus dilaporkan kepada negara. faktor yang memengaruhi partisipasi rakyat
Seperti telah diuraikan sebelumnya, per- dalam memilih wakilnya, yakni faktor internal
soalan partai hanya menjual “tiket” dan menjadi dan eksternal. Faktor internal yang dihadapi,
“kendaraan politik” bagi politikus saat maju misalnya, adalah kurangnya pendidikan politik
pada pemilu juga disebabkan oleh kebutuhan serta sikap apatis atau tidak peduli. Kemudian,
akan pendanaan partai politik yang besar, tetapi dari faktor eksternal, apakah partai politik dapat
terhambat oleh ketidakmampuan partai dalam menyediakan dan mengusung kader terbaiknya
mengelola sumber pemasukan dana partai politik. untuk dipilih dan menjadi wakil rakyat atau
Dengan demikian, perlu dilakukan dekonstruksi justru sebaliknya, serta peran media massa yang
fundraising partai politik sebagaimana yang begitu besar, yang tidak menutup kemungkinan
disampaikan oleh Muhadam dan Teguh, bahwa dapat disalahgunakan pemanfaatannya. Kondisi
partai politik perlu memaksimalkan iuran ang- ini dipengaruhi oleh era globalisasi ketika media
gota partai politik dengan memperbaiki sistem sosial menjadi salah satu bentuk baru atau alter-
keuangan yang baik terlebih dahulu. Misalnya, natif dari kegiatan partisipasi politik masyarakat
membedakan keuangan partai politik dengan yang pada akhirnya pula memengaruhi perilaku

  124 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016


politik masyarakat itu sendiri (Nur, 2013, 91). PENUTUP
 
Oleh karena itu, pendidikan politik kepada rakyat Pelaksanaan pemilu dari 1955 hingga terakhir
sangat perlu dilakukan, baik dalam kegiatan pada 2015 mengalami dinamika politik, hukum,
formal maupun informal. Misalnya, sejak dini serta sosiologis yang berkembang dalam kehidup-
di sekolah formal terdapat pelajaran khusus guna an masyarakat. Rezim pemerintahan bergantung
memberikan pendidikan politik, ataupun dalam pada siapa yang memimpin: masa demokrasi
kegiatan-kegiatan pelatihan serta sosialisasi- liberal, demokrasi terpimpin/Orde Lama, masa
sosialisasi yang melibatkan masyarakat langsung. Orde Baru, dan masa reformasi yang telah digu-
Termasuk pula pendidikan politik bagi elite yang lirkan. Tiap-tiap rezim memiliki kekurangan dan
terlibat dalam pemilu, seperti pegawai/staf KPU, kelebihan, tetapi keberadaan partai politik meru-
Bawaslu, serta pers atau media massa. pakan pilar yang berwadahkan sistem pemilihan
Persoalan kedua, tingginya biaya pemilu. umum yang menentukan bagaimana suatu rezim
dilaksanakan, baik atau buruk. Oleh karena itu,
Sebagaimana perkembangan sistem pemilu saat
perbaikan keduanya merupakan keniscayaan
ini, penyelenggaraan pemilu yang dilakukan se-
yang harus terus diupayakan.
cara serentak termasuk bertujuan meminimalkan
biaya yang dikeluarkan oleh penyelenggaraan Melalui buku ini, Muhadam Labodo dan
pesta demokrasi. Sejak 2015 pemilu serentak Teguh Ilham mencoba memberikan sumbangsih
dilaksanakan di beberapa daerah di Indonesia, pemikiran dan pengetahuannya untuk perbaikan
partai politik dan sistem pemilihan umum di
meski terdapat beberapa catatan terkait dengan
Indonesia, dengan melihat sejarah dan konteks
evaluasi pelaksanaan pemilu tersebut. Namun,
keindonesiaan. Hanya, bahasan mengenai partai
usaha untuk mengefektifkan pemilu dengan
politik dan pemilihan umum dalam buku ini ter-
membuatnya serentak di seluruh daerah di Indo-
henti pada pemilihan umum tahun 2009. Padahal,
nesia perlu waktu, proses, dan adaptasi sehingga
sebagai buku yang dikatakan baru, yakni terbitan
hasilnya belum dapat kita simpulkan di awal tahun 2015, sayang sekali buku ini belum mem-
penerapannya. Selain itu, penulis menyampaikan bahas kondisi partai politik serta pemilihan umum
perlunya penguatan pengaturan soal dana kampa- yang dilaksanakan pada 2014, baik pemilihan
nye, yakni dengan cara mewajibkan pula setiap DPR, DPD, dan DPRD, ataupun pemilihan pre-
caleg membuat laporan dana kampanye yang siden dan wakil presiden. Pada masa mendatang,
diatur secara legal dalam peraturan KPU, misal- tidak menutup kemungkinan bagi penulis untuk
nya, serta pembatasan besaran belanja kampanye menyempurnakan bukunya yang berjudul Partai
peserta pemilu yang digunakan, misalnya untuk Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia:
membuat baliho, poster, spanduk, dan lainnya. Teori, Konsep dan Isu Strategis sehingga lebih
Lalu, ketiga, tingginya angka Perselisihan komprehensif dan “kaya”.
Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Persoalan Selain itu, buku ini dilengkapi dengan
PHPU yang terjadi karena kesalahan dalam proses bagian rangkuman dan evaluasi di tiap babnya.
pendaftaran pemilih, pemungutan suara, distribusi Bagian rangkuman memudahkan bagi pembaca
kartu suara, dan sebagainya dapat diatasi dengan mengetahui materi apa saja yang dibahas pada
sistem dan e-voting dan e-counting, yakni semua bab tersebut. Sementara bagian evaluasi berisi
proses pelaksanaan tahapan pemilu secara ad- pertanyaan-pertanyaan berupa soal kasus yang
ministrasi dicatat, disimpan, dan diproses dalam berkaitan dengan materi tiap bab. Meskipun
bentuk informasi digital. Dengan demikian, bagian rangkuman dan evaluasi ini membuat
data yang diakses dapat diperoleh secara valid, buku ini lebih terkesan seperti bahan ajar untuk
tentunya didukung oleh sistem keamanan yang mahasiswa di kampus, buku ini telah memberikan
terjamin. Selain itu, proses pelaksanaan e-voting sumbangsih terhadap perkembangan dunia aka-
dan e-counting harus tetap berpegang pada asas- demik hingga praksis. Dengan demikian, buku
ini tidak hanya dapat dibaca oleh akademikus,
asas penyelenggaraan pemilu, langsung, bebas,
tetapi juga dapat bermanfaat bagi praktisi yang
rahasia, jujur, dan adil.
bergelut di dunia politik ataupun pemerintahan.

  Dian Aulia | Tinjauan Buku Penguatan Demokrasi: ... | 125


PUSTAKA ACUAN Surbakti, R. (1992). Memahami ilmu politik. Jakarta:
Gramedia.
Buku
Jurnal
Budiardjo, M. (2014). Dasar-dasar ilmu politik.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Noor, F. (Juni 2013). Konsolidasi parpol menjelang
pemilu. Jurnal Penelitian Politik 10(1).
Duverger, M. (1967). Political parties: Their organi-
zation and activities in modern state. London: Nur, A. A. (Juni 2013). Menakar kekuatan media sosial
Metheun. menjelang pemilu 2014. Jurnal Penelitian
Politik 10(1).
Efriza. (2014). Studi parlemen: Sejarah, konsep, dan  
lanskap politik Indonesia. Malang: Setara  
Press. Peraturan Perundang-undangan
Haris, S. (2014). Partai, pemilu, dan parlemen era Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun
reformasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor. 1945.
Huda, N. (2005). Negara hukum, demokrasi, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai
judicial review. Yogyakarta: UII Press. Politik.
Ma’shum, S. (2001). KPU dan kontroversi pemilu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
1999. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu. Neumann, S. Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan
(1963). Modern political parties. Dalam DPRD.
Eckstein, Harry, & Apter, David E., Compara- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai
tive Politics: A Reader. London: The Free Press Politik.
of Glencoe. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Riwanto, A. (2016). Hukum partai politik dan hukum Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan
pemilu di Indonesia. Yogyakarta: Thafa Media. DPRD.
Safa’at, M. A. (2011). Pembubaran partai politik: Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemili-
Pengaturan dan praktik pembubaran partai han Umum.
politik dalam pergulatan republik. Jakarta: Raja Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai
Grafindo Persada. Politik.

  126 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016

Anda mungkin juga menyukai