Anda di halaman 1dari 2

KRITIK FILM [MA]CHO (dokumenter)

Oleh Traska Tynita

Jalan raya dipenuhi para demostran, mereka meneriakkan tuntutan kesetaraan gender terhadap
perempuan. “Hidup pekerja perempuan! Hidup pekerja rumah tangga! Hidup kawan-kawan …
orientasi seksual! … “.
Seorang wanita berambut merah, bernama Revalusya, duduk disebuah bar dengan seorang
sahabat perempuannya. Sambil bercanda, ia bercerita mengenai apa saja yang diperjuangkan
di negara Indonesia.

Begitulah suasana pembukaan film dokumenter [MA]CHO (2018) yang disutradarai oleh
Jazmin Sheila Ramadhani. Film bergenre naratif visual yang berdurasi berdurasi 8 menit 34
detik ini bercerita mengenai kesetaraan gender dan pencarian keadilan bagi kaum LGBT, salah
satunya pernikahan sejenis. Sudut pandang yang diambil adalah seorang lesbian maskulin yang
ingin memiliki anak.

Film ini juga mengingatkan saya pada sebuah film di sebuah platfrom berjudul Pelangi. Dalam
bagian filmnya, disebutkan bahwa pada tahun 2013, berdasarkan data arus pelangi, kelompok
orang LGBT di Indonesia mengalami kekerasan, dan juga berimbas pada pemenuhan hak-hak
mereka sebagai warga negara. Kelompok LGBT sering mendapatkan mendapat tindakan
diskriminatif lewat pergaulan maupun dalam aktivitas sehari-hari, baik itu di dalam keluarga,
lingkungan kerja, tempat-tempat umum, atau di dalam lingkungan masyarakat. Masyarakat
membuat anggapan-anggapan negatif terhadap kelompok LGBT, misalnya terdapat anggapan
bahwa homoseksual adalah suatu “penyakit” dan dapat menular kepada orang lain. Akhirnya,
kelompok LGBT sering diasingkan di dalam pergaulan masyarakat.

Di Indonesia, tidak ada hukum yang mengatur mengenai homoseksual, hanya saja terdapat UU
pernikahan pasal satu yang menyebutkan “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.” Itu berarti seseorang
yang lesbian tidak bisa menikah dan merasa tidak mendapatkan keadilan. Hal lain yang
seringkali melekat dalam pernikahan yaitu keturunan. Ketika Revalusya ditanyai seberapa
penting seorang anak, ia tidak dapat mejelaskan dengan kata-kata, “banyak alasan buat
tersenyum karena dia”, ungkapnya.

Film ini menceritakan bagaimana siasat Revalusya agar tetap mendapatkan anak, tanpa harus
memiliki keterikatan dengan seorang pria. Revalusya yang merupakan lesbian maskulin ini
mengaku ingin memiliki anak kepada sahabatnya (lelaki). Sahabatnya itupun juga
menginginkan anak tanpa harus ada keterikatan pernikahan dengan seorang perempuan.
Tetapi di indonesia membuat akta kelahiran anak tanpa memenuhi syarat sudah tentu tidak
mudah dan tidak akan dilayani. Salah satu syarat yang tidak dapat dipenuhi jika tidak adanya
pernikahan adalah buku nikah KUA atau akte pernikahan dari catatan sipil, oleh sebab itu
mereka memutuskan untuk menikah agar kehidupan masa depan anak mereka terjamin.

Hukum yang digunakan dalam UU perkawinan negara Indonesia tidak mengatur untuk
pasangan homoseksual. Oleh sebab itu, siasat yang dilakukan semata-mata hanya untuk
“memenuhi” syarat untuk bertahan hidup di negara Indonesia, tetapi mereka tetap bisa memilih
pasangannya sendiri, memiliki anak dan lain-lain. Pernikahan bisa saja dilakukan tanpa harus
lelaki dan perempuan. Hal yang dipertekankan di film ini adalah bagaimana cara agar lesbian
dan homoseksual yang lainnya mendapatkan hak kebahagiaannya dengan dilegalkannya
pernikahan sesama jenis.

Dalam kasus yang saya lihat dalam film ini, pembuat film ingin kita semua mengetahui sebuah
realita yang terjadi. Manusia yang memiliki ketertarikan terhadap sesama jenis juga ingin
dipandang sama dengan manusia lainnya, dan dengan demikian mereka melakukan banyak
siasat agar semua pilihan hidupnya dapat berjalan di dunia yang tidak ramah untuk mereka.
Kekhawatiran yang diungkapkan dalam film [MA]CHO mencerminkan golongan orang
lesbian di Indonesia kerapkali mendapatkan diskrimasi oleh masyarakat. Terlihat pada
pernyataan Revalusya, yang mengatakan “Pastikan nanti kalo udah besar (anaknya), pasti dia
diolok-olokin gitu kan sama temennya…”

Dokumenter ini merupakan salah satu suara dari sekian banyak homoseksual yang merasa tidak
memiliki akses keadilan atas hak warga negara hanya karena orientasi seksual yang berbeda
dan bisa menjadi salah satu contoh sudut pandang dari seorang lesbian terhadap pernikahan
sebagai suatu jalan atau siasat untuk bertahan hidup di negara hukum seperti di indonesia ini.
Para homoseksual, khususnya lesbian berharap adanya suatu keadilan agar hak-hak yang
seharusnya ia dapatkan terpenuhi

Anda mungkin juga menyukai