Disusun oleh :
Tasya Anita Salam (1102019211)
Pembimbing :
dr. Maryam Jamilah, SpJP
Hipertensi adalah tekanan darah yang sama atau melebihi 140 mmHg sistolik, dan atau
sama atau melebihi 90 mmHg diastolik pada seseorang yang tidak sedang makan obat
antihipertensi. Hipertensi biasanya merupakan peningkatan kronis dari tekanan darah melebihi
140/90 mmHg yang etiologinya 90 – 95 % tidak diketahui (Hipertensi essensial) (1).
Sedangkan krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah
yang sangat tinggi dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi kelainan pada organ
target (2).
Data di Amerika Serikat menunjukkan peningkatan kasus krisis hipertensi yang dirawat
di Instalasi Gawat Darurat, yaitu dari 1.820 kasus per satu juta penduduk pada 2006 menjadi
4.610 kasus per satu juta penduduk pada 2013 (5). Di wilayah Asia Tenggara sebanyak 36%
populasi dewasa mengalami hipertensi. Sebuah studi yang menilai prevalensi dari krisis
hipertensi selama 1 tahun disertai penilaian pada kerusakan target organ selama 24 jam pertama
setelah krisis hipertensi ditegakan melaporkan bahwa frekuensi dari hipertensi urgensi adalah
sebesar 76% sedangkan hipertensi emergensi adalah sebesar 24% dari seluruh kasus krisis
hipertensi. Studi ini juga menemukan bahwa sebagian besar pasien yang mengalami krisis
hipertensi memiliki gangguan pada ginjalnya.
Krisis hipertensi ditandai dengan peningkatan tekanan darah akut dan sering
berhubungan dengan gejala sistemik. Kerusakan organ merupakan komplikasi dari penderita
dengan krisis hipertensi dan membutuhkan penanganan segera untuk mencegah komplikasi
yang mengancam jiwa.
Pencegahan primer hipertensi dapat dilakukan dengan intervensi pola hidup pada
populasi umum dan populasi khusus (populasi yang mempunyai resiko tinggi). Intervensi
efektif untuk pencegahan primer termasuk mengurangi konsumsi natrium dan alkohol,
menurunkan berat badan, serta dengan olahraga teratur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan sesuai dengan kecurigaan organ target yang terkena
berdasarkan anamnesis yang didapat. Dilanjutkan pemeriksaan tekanan darah dengan
mempersiapkan pasien untuk tenang (istirahat 5 menit), tidak mengkonsumsi
kafein/merokok/olahraga dalam 30 menit, tidak menggunakan pakaian ketat pada lengan, juga
pasien diam. Posisi pasien bisa duduk, berdiri maupun berbaring sesuai kondisi klinis. Apabila
duduk, lengan diistirahatkan di meja, posisi fleksi lengan bawah setinggi jantung, kedua kaki
menyentuh lantai dan tidak disilangkan. Kemudian pasang manset 2,5 cm di atas fossa
antecubital. Setelah itu letakkan bell dari stetoskop di atas arteri brakialis di bawah manset dan
pompa manset. Diagnosis tekanan darah tinggi berdasarkan hasil pengukuran tekanan sistolik
adalah suara fase 1 dan tekanan diastolik adalah suara fase 5 (Nicolai Sergeyevich Korotkoff).
Klasifikasi tekanan darah tinggi berdasarkan hasil rata-rata pengukuran tekanan darah yang
dilakukan minimal 2 kali tiap kunjungan oleh individu yang sama dengan selang waktu 30
detik setelah pengukuran pertama (dapat lengan yang sama ataupun yang sebelahnya, pada
kunjungan pertama harus pada ke dua lengan) pada 2 kunjungan atau lebih.
c. Pemeriksaan penunjang
• Funduskopi
Funduskopi merupakan pemeriksaan bedside untuk mendeteksi adanaya retinopatai hipertensi.
Fundoskopi sangat penting dilakukakn pada hipertensi urgensi maupun emergensi untuk
mendeteksi perdarahan di retina, cotton wool spot, microaneurisma maupun papiledema.
• EKG 12 lead
Elektrokardiografi untuk mencari apakah ada acute coronary ischemia, left ventrikular
hypertrophy, dan adanya aritmia. Kriteria EKG LVH yaitu:
Sokolow-Lyon SV1+RV5 >35 mm, atau R di aVL ≥11 mm;
Cornell voltage SV3+RaVL >28 mm (laki-laki), >20 mm (perempuan)
• Hemoglobin, trombosit, dan fibrinogen
Untuk mencari tanda-tanda hemolisis maupun trombositopenia yang mengarah ke trombotik
microangiopathy salah satunya yaitu HELLP Syndrome
• Creatinine, GFR, elektrolit, LDH untuk mengevaluasi adanya kerusakan ginjal
• Urine albumin Albuminuria untuk deteksi kerusakan ginjal
• Test kehamilan pada wanita usia subur
2.5 Penatalaksanaan
Strategi penatalaksanaan pasien dengan hipertensi emergensi yaitu (1) :
1. Menetapkan organ target yang terpengaruh; apakah diperlukan intervensi khusus selain
menurunkan tekanan darah, dan adakah penyebab lain dari peningkatan tekanan darah
akut yang mungkin memengaruhi rencana terapi (misalnya kehamilan)
2. Jangka waktu dan besaran penurunan tekanan darah yang dianjurkan untuk penurunan
tekanan darah yang aman
3. Menentukan enis obat penurun tekanan darah yang diperlukan.
Terapi farmakologi pada hipertensi emergensi, menggunakan obat-obatan intravena
dengan waktu paruh pendek merupakan pilihan ideal sehingga memungkinkan untuk
melakukan titrasi yang cermat terkait respons tekanan darah terhadap pengobatan pada fasilitas
dengan pemantauan hemodinamik berkelanjutan. Penurunan tekanan darah yang cepat dan
tepat pada hipertensi emergensi dapat mencegah kerusakan organ target lebih lanjut. Dalam
penanganannya, pasien hipertensi emergensi membutuhkan perawatan di rumah sakit dan
pengawasan di ruang ICCU (intensive cardiac care unit) untuk pemantauan tekanan darah,
penilaian dan pengobaran kerusakan organ target, serta pemantauan hemodinamik pada
pemberian obat antihipertensi intravena (4). Berikut beberapa pilihan obat yang dapat
digunakan dalam penanganan hipertensi emergensi:
Tabel 3. Pilihan Terapi Hipertensi Emergensi pada Kondisi Tertentu
HELLP: hemolysis, elevated liver enzymes, and low platelets, MAP: mean arterial pressure,
TDS: tekanan darah sistolik, TDD: tekanan darah diastolik.
Sumber : ESC/ESH Hypertension Guidelines, 2018
Tabel 4. Karakteristik Pilihan Terapi Hipertensi Emergensi
Berbeda dengan pasien hipertensi emergensi, pasien hipertensi urgensi umumnya tidak
memerlukan rawat inap. Pada kondisi hipertensi urgensi, penurunan tekanan darah yang
agresif pada pasien harus dihindari, sehingga penggunaan obat parenteral tidak dianjurkan, dan
obat yang direkomendasikan adalah obat antihipertensi oral. Setelah dikonfirmasi tidak ada
kerusakan organ, penyebab hipertensi yang dapat diobati harus segera dicari dan diatasi. Jika
belum ditemukan, pasien dibiarkan beristirahat setidaknya 30 menit, setelah itu tekanan darah
diukur kembali. Jika tetap meningkat pada pasien dengan gejala ringan (sakit kepala, mual,
sesak napas, palpitasi, epistaksis, kecemasan) dapat diberikan terapi antihipertensi (lihat Tabel
4) dan dijadwalkan kunjungan ke fasilitas kesehatan 1–2 minggu selanjutnya.
ACEi: angiotensin-converting enzyme inhibitor, ARB: angiotensin receptor blocker,
CCB: calcium channel blocker, MI: myocardial infarction, O.D.: once daily
Gambar 1. Strategi terapi pada hipertensi tanpa komplikasi
Pencegahan primer hipertensi perlu dilakukan dengan intervensi pola hidup pada
populasi umum dan populasi yang memili resiko tinggi. Apabila pasien sudah terdiagnosis,
maka tata laksana krisis hipertensi mengacu pada presentasi klinis pasien dan memiliki
prognosis yang berbeda terkait ada atau tidaknya kerusakan organ target akut. Ketika
ditemukan kerusakan pada organ target seperti pada hipertensi emergensi, tata laksana yang
tepat dapat melindungi fungsi organ yang ada, mencegah kerusakan lebih lanjut, dan
mengurangi risiko komplikasi. Sedangkan pada hipertensi urgensi tidak memerlukan tata
laksana yang agresif. Kunjungan berkala, minimal setiap bulan, disarankan bagi pasien krisis
hipertensi untuk pemantauan tekanan darah dan menghindari risiko terjadinya komplikasi,
sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Indonesin Society of Hypertension (INASH) 2019. Anna A, Eka H, Ni Made H., et al. (2019).
Konsensus Penatalaksaan Hipertensi. Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia
2. Sudoyo AW, Sirnadibrata M, Idrus A, Marcellus S., et al. (2010). Krisis Hipertensi. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
3. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam (PAPDI) 2019. Alwi I, Simon S, Rudy H., et
al. (2019). Panduan Praktik Klinis. Jakarta: Cetakan keempat, Interna Publishing Pusat
Penerbitan ilmu Penyakit Dalam
4. Williams B, et al. (2018). ESC/ESH Guidelines for the management of arterial hypertension:
The Task Force for the management of arterial hypertension of the European Society of
Cardiology (ESC) and the European Society of Hypertension (ESH). European Heart Journal.
2018;39(33):3021-104. doi: 10.1093/eurheartj/ehy339.
5. Liwang F, Patria W, Yuswar., et al. (2020). Krisis Hipertensi. Kapita Selekta Kedokteran Jilid
I. Jakarta: Penerbit Media Aesculapius
6. Unger T, Borghi C, Charchar F, Khan N. A, Poulter N.R., et al. (2020). International Society of
Hypertension global hypertension practise guideliness
7. Van den Born, Cremer A, Segura J, Morales E., et al. (2019). ESC Council of hypertension
position document on the management of hypertensive emergencies. European Heart Journal-
Cardiovascular Pharmacotherapy
8. Atherton J, Bauersachs J, Carerj S, Ceconi, Guazzi M., et al. (2016). ESC Guidelines for the
diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure. European Heart Journal