Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA KRISIS HIPERTENSI

Disusun oleh :
Tasya Anita Salam (1102019211)

Pembimbing :
dr. Maryam Jamilah, SpJP

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD DR. SLAMET KABUPATEN GARUT
PERIODE 11 SEPTEMBER – 4 NOVEMBER 2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .............................................................................................................................. 2


BAB I ......................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 3
BAB II ........................................................................................................................................ 4
TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................................. 4
2.1 Definisi Krisis Hipertensi ................................................................................................. 4
2.2 Acute Target Organ Damage ............................................................................................ 5
2.3 Penegakkan Diagnosis...................................................................................................... 6
2.5 Penatalaksanaan ............................................................................................................... 9
BAB III .................................................................................................................................... 16
KESIMPULAN ........................................................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN

Hipertensi adalah tekanan darah yang sama atau melebihi 140 mmHg sistolik, dan atau
sama atau melebihi 90 mmHg diastolik pada seseorang yang tidak sedang makan obat
antihipertensi. Hipertensi biasanya merupakan peningkatan kronis dari tekanan darah melebihi
140/90 mmHg yang etiologinya 90 – 95 % tidak diketahui (Hipertensi essensial) (1).
Sedangkan krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah
yang sangat tinggi dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi kelainan pada organ
target (2).
Data di Amerika Serikat menunjukkan peningkatan kasus krisis hipertensi yang dirawat
di Instalasi Gawat Darurat, yaitu dari 1.820 kasus per satu juta penduduk pada 2006 menjadi
4.610 kasus per satu juta penduduk pada 2013 (5). Di wilayah Asia Tenggara sebanyak 36%
populasi dewasa mengalami hipertensi. Sebuah studi yang menilai prevalensi dari krisis
hipertensi selama 1 tahun disertai penilaian pada kerusakan target organ selama 24 jam pertama
setelah krisis hipertensi ditegakan melaporkan bahwa frekuensi dari hipertensi urgensi adalah
sebesar 76% sedangkan hipertensi emergensi adalah sebesar 24% dari seluruh kasus krisis
hipertensi. Studi ini juga menemukan bahwa sebagian besar pasien yang mengalami krisis
hipertensi memiliki gangguan pada ginjalnya.
Krisis hipertensi ditandai dengan peningkatan tekanan darah akut dan sering
berhubungan dengan gejala sistemik. Kerusakan organ merupakan komplikasi dari penderita
dengan krisis hipertensi dan membutuhkan penanganan segera untuk mencegah komplikasi
yang mengancam jiwa.
Pencegahan primer hipertensi dapat dilakukan dengan intervensi pola hidup pada
populasi umum dan populasi khusus (populasi yang mempunyai resiko tinggi). Intervensi
efektif untuk pencegahan primer termasuk mengurangi konsumsi natrium dan alkohol,
menurunkan berat badan, serta dengan olahraga teratur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Krisis Hipertensi


Krisis hipertensi adalah suatu sindrom klinis yang ditandai dengan peningkatan tekanan
darah mendadak pada penderita hipertensi, dimana tekanan darah sistolik >180 mmHg dan
diastolik >120 mmHg, dengan komplikasi disfungsi dari target organ, baik yang sedang dalam
proses maupun sudah dalam tahap akut progresif (3).Terminologi krisis hipertensi terdiri dari:
• Hipertensi urgensi
Peningkatan tekanan darah yang berat (>180/120 mmHg) tanpa disertai kerusakan target organ.
Pada kasus ini, penurunan tekanan darah dapat dicapai dalam waktu beberapa jam hingga hari.
• Hipertensi emergensi
Peningkatan tekanan darah yang berat (>180/120 mmHg) disertai kerusakan target organ yang
baru atau progresif. Pada kasus ini, diharapkan penurunan tekanan darah tercapai segera (dalam
beberapa jam). Target organ yang dapat mengalami kerusakan antara lain neurologi, mata,
jantung, ginjal, dan eklamsia.
Patofisiologi pasti hipertensi krisis hingga saat ini masih belum diketahui secara jelas.
Terdapat dua mekanisme berbeda saling terkait yang diduga berperan dalam patofisiologi
hipertensi krisis. Pertama, kegagalan mekanisme autoregulasi. Autoregulasi didefinisikan
sebagai kemampuan organ (otak, jantung, dan ginjal) untuk mempertahankan aliran darah yang
stabil saat terjadi perubahan tekanan perfusi. Autoregulasi menyebabkan pembuluh darah
berdilatasi atau berkonstriksi sebagai respons terhadap perubahan tekanan perfusi agar perfusi
organ normal dapat dipertahankan. Aliran darah serebral dipertahankan pada individu
normotensif dengan tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure/MAP) antara 60 mmHg
hingga 150 mmHg. Pada kasus kegagalan autoregulasi, saat terjadi kenaikan tekanan darah
mendadak yang melampaui batas autoregulasi, pembuluh darah gagal berkonstriksi sehingga
terjadi vasodilatasi. Hal ini menyebabkan tekanan perfusi jaringan menurun akibat penurunan
aliran darah ke jaringan (5).
Hipertensi emergensi dapat terjadi pada berbagai keadaan klinis, namun paling umum
terjadi pada pasien hipertensi kronis yang tidak diobati atau hipertensi yang tidak terkontrol,
dengan TD biasanya di atas 180/110 mmHg. Pada pasien tersebut, peningkatan tekanan darah
secara kronis tidak mempengaruhi perfusi organ target karena adanya mekanisme autoregulasi
tubuh. Pada individu normotensif, aliran darah dapat dipertahankan pada rentang tekanan darah
rata-rata yang luas, biasanya antara 60 dan 150 mmHg. Peningkatan kronis tekanan darah dapat
menyebabkan kompensasi berupa perubahan fungsional dan struktural pada sirkulasi arteri
serebral dan menggeser kurva autoregulasi ke kanan (shift to the right), yang memungkinkan
pasien hipertensi kronis untuk mempertahankan perfusi normal dan menghindari aliran darah
yang berlebihan pada tingkat tekanan darah yang lebih tinggi. Meskipun terjadi pergeseran
autoregulasi, breakthrough hyperperfusion akan tetap terjadi bila MAP meningkat tinggi
melebihi 180 mmHg (220/110 mHg).
Mekanisme kedua adalah aktivasi sistem renin-angiotensin yang menyebabkan
vasokonstriksi lebih lanjut, peningkatan tekanan darah, natriuresis, hipovolemia, dan produksi
sitokin proinflamasi, seperti interleukin. Selain itu, aktivasi platelet juga diduga berperan dalam
hipertensi krisis (5).

2.2 Acute Target Organ Damage


Acute target organ damage pada hipertensi emergensi meliputi:
• Otak
Prevalensi paling banyak yaitu didapatkan pada otak dengan prevalensi infark serebral sekitar
24,5%, ensefalopati hipertensi sebesar 16,3%, dan stroke hemoragik (ICH dan SAH) sebesar
4,5%. Ensefalopati hipertensi dapat terjadi ketika tekanan darah meningkat terlalu tinggi,
autoregulasi otak tidak dapat mencegah peningkatan tekanan intrakranial sehingga
menyebabkan cerebral edema terutama pada posterior cerebral. Pemeriksaan MRI dapat
membantu untuk menemukan adanya white matter lesion, microbleed, microinfarct. Sementara
untuk mencari bukti perdarahan pada kasus stroke hemoragik dapat dilakukan CT scan (7).
• Jantung
Prevalensi pada jantung didapatkan acute pulmonary edema sehubungan dengan gagal jantung
kiri sebesar 22,5%, acute congestive heart failure (gagal jantung kiri dan/atau kanan) sebesar
14,3%, dan acute coronary ischemia (myocardial infarction atau unstable angina) sebesar 12%.
Acute heart failure mengacu pada onset cepat atau memburuknya gejala dan / atau tanda gagal
jantung. Ini adalah kondisi medis yang mengancam jiwa yang membutuhkan evaluasi dan
perawatan segera/emergensi. Pada kondisi acute heart failure didapatkan pada 90% kasus
terdapat tanda-tanda kongesti seperti acute pulmonary edema, orthopnea, paroksismal
nocturnal dispneu, edema tungkai bawah bilateral, peningkatan JVP, hepatomegali kongesti,
asites, dan juga hepatojugular reflux (8).
• Ginjal
Didapatkan prevalensi acute kidney injury (AKI) sebesar <10%. AKI merupakan kerusakan
ginjal akut yang ditandai dengan peningkatan serum kreatinin sebesar ≥ 0,3 mg/dL dalam
waktu 48 jam atau meningkat ≥ 1,5 kali lipat dari standar yang diketahui atau dianggap telah
terjadi dalam waktu satu minggu atau urine output.
• Liver
Pada Liver didapatkan peningkatan enzim hati yang paling banyak berhubungan dengan
HELLP Syndrome dengan prevalensi 0,1 - 0,8%. HELLP syndrome merupakan kondisi
kehamilan dimana didapatkan hemolisis, peningkatan enzim hati dan juga penurunan platelet,
pad kondisi ini dibutuhkan penanganan dan persalinan segera (6).
• Mata
Pada mata didapatkan retinopati hipertensi dengan eksudat/perdarahan pada retina dengan
prevalensi sebesar 0,01-0,02%. Kelainan retina yang berhubungan dengan hipertensi
emergensi terdiri dari flame sahped hemorrhage, cotton wool spots (Grade III) dengan atau
tanpa adanya papilloedema (Grade IV). Abnormalitas retinal ini jarang terjadi pada populasi
normal dan, jika terjadi secara bilateral, sangat spesifik terjadi hipertensi emergensi.
• Vaskular
Pada vaskular kelainan yang terjadi yaitu eklampsia dengan prevalensi 4,5% dan diseksi aorta
sebesar 2%. Eklampsia merupakan hipertensi pada keamilan yang disertai dengan kejang, sakit
kepala berat, gangguan pengelihatan, nyeri perut, mual dan muntah dan menurunnya produksi
urine output. Penanganan segera dan persalianan segera sibutuhkan pada kondisi ini (1).
Diseksi aorta merupakan pemisahan lapisan pada dinding aorta yang mengakibatkan adanya 2
aliran darah pada aorta. Robekan pada lapisan intima dinding aorta mengakibatkan penyebaran
diseksi sekunder setelah darah memasuki ruang intimamedia. Gejala dapat bervariasi sesuai
dengan lokasi robekan. Robekan di aorta asendens akan menyebabkan nyeri di anterior midline
dada. Robekan pada arkus aorta dapat menyebabkan nyeri pada rahang atau leher. Nyeri
punggung dan perut intra-skapular lebih sering terjadi pada aorta desendens.

2.3 Penegakkan Diagnosis


Tujuan utama proses diagnostik krisis hipertensi adalah membedakan keadaan emergensi
dengan atau urgensi, dikarenakan penatalaksanaan yang berbeda. Selanjutnya penilaian secara
cepat tipe dan beratnya kerusakan organ target yang berlangsung. Pendekatan awal harus
dilakukan dengan tepat dan cepat sejak diluar rumah sakit maupun saat didalam rumah sakit,
meliputi:
a. Anamnesis
Pada anamnesis pasien lakuan secara cermat mengenai tabel 2 dan riwayat berikut:
• Riwayat hipertensi (awitan, durasi, beratnya, pengobatan anti-HT sebelumnya)
• Riwayat obat-obatan (penggunaan steroid, estrogen, simpatomimetik, MAO inhibitor)
• Riwayat sosial (merokok, minum alkohol, obat-obatan terlarang, kehamilan)
• Riwayat keluarga (usia dini terkena HT, penyakit kardio-vaskuler dan serebrovaskuler)
• Riwayat spesifik sesuai keluhan (kardiovaskuler, neurologis, ginjal, endokrin)

b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan sesuai dengan kecurigaan organ target yang terkena
berdasarkan anamnesis yang didapat. Dilanjutkan pemeriksaan tekanan darah dengan
mempersiapkan pasien untuk tenang (istirahat 5 menit), tidak mengkonsumsi
kafein/merokok/olahraga dalam 30 menit, tidak menggunakan pakaian ketat pada lengan, juga
pasien diam. Posisi pasien bisa duduk, berdiri maupun berbaring sesuai kondisi klinis. Apabila
duduk, lengan diistirahatkan di meja, posisi fleksi lengan bawah setinggi jantung, kedua kaki
menyentuh lantai dan tidak disilangkan. Kemudian pasang manset 2,5 cm di atas fossa
antecubital. Setelah itu letakkan bell dari stetoskop di atas arteri brakialis di bawah manset dan
pompa manset. Diagnosis tekanan darah tinggi berdasarkan hasil pengukuran tekanan sistolik
adalah suara fase 1 dan tekanan diastolik adalah suara fase 5 (Nicolai Sergeyevich Korotkoff).
Klasifikasi tekanan darah tinggi berdasarkan hasil rata-rata pengukuran tekanan darah yang
dilakukan minimal 2 kali tiap kunjungan oleh individu yang sama dengan selang waktu 30
detik setelah pengukuran pertama (dapat lengan yang sama ataupun yang sebelahnya, pada
kunjungan pertama harus pada ke dua lengan) pada 2 kunjungan atau lebih.

c. Pemeriksaan penunjang
• Funduskopi
Funduskopi merupakan pemeriksaan bedside untuk mendeteksi adanaya retinopatai hipertensi.
Fundoskopi sangat penting dilakukakn pada hipertensi urgensi maupun emergensi untuk
mendeteksi perdarahan di retina, cotton wool spot, microaneurisma maupun papiledema.
• EKG 12 lead
Elektrokardiografi untuk mencari apakah ada acute coronary ischemia, left ventrikular
hypertrophy, dan adanya aritmia. Kriteria EKG LVH yaitu:
Sokolow-Lyon SV1+RV5 >35 mm, atau R di aVL ≥11 mm;
Cornell voltage SV3+RaVL >28 mm (laki-laki), >20 mm (perempuan)
• Hemoglobin, trombosit, dan fibrinogen
Untuk mencari tanda-tanda hemolisis maupun trombositopenia yang mengarah ke trombotik
microangiopathy salah satunya yaitu HELLP Syndrome
• Creatinine, GFR, elektrolit, LDH untuk mengevaluasi adanya kerusakan ginjal
• Urine albumin Albuminuria untuk deteksi kerusakan ginjal
• Test kehamilan pada wanita usia subur

Pemeriksaan Khusus (dilakukan apabila ada indikasi)


1. Troponin, CK-MB, dan NT-proBNP dilakukan bila ada kecurigaan masalah jantung,
misalnya nyeri dada akut atau gagal jantung akut.
2. Chest X-Ray dilakukan bila ada kecurigaan acute pulmonary oedema, selain itu juga untuk
menyingkirkan kemungkinan dispneu non-cardiac
3. Echocardiography dilakukakn bila ada kecurigaan diseksi aorta, gagal jantung atau iskemi
miokard. Untuk melihat kelainan struktur maupun fungsi kardiak
4. CT angiography thorax/abdomen dilakukan bila ada kecurigaan diseksi aorta akut
5. CT or MRI brain

Tabel 1. Karakter klinis hipertensi emergensi

Sumber : PAPDI, 2019


Tabel 2. Evaluasi triase hipertensi emergensi dan urgensi

Sumber : PAPDI, 2019

2.5 Penatalaksanaan
Strategi penatalaksanaan pasien dengan hipertensi emergensi yaitu (1) :
1. Menetapkan organ target yang terpengaruh; apakah diperlukan intervensi khusus selain
menurunkan tekanan darah, dan adakah penyebab lain dari peningkatan tekanan darah
akut yang mungkin memengaruhi rencana terapi (misalnya kehamilan)
2. Jangka waktu dan besaran penurunan tekanan darah yang dianjurkan untuk penurunan
tekanan darah yang aman
3. Menentukan enis obat penurun tekanan darah yang diperlukan.
Terapi farmakologi pada hipertensi emergensi, menggunakan obat-obatan intravena
dengan waktu paruh pendek merupakan pilihan ideal sehingga memungkinkan untuk
melakukan titrasi yang cermat terkait respons tekanan darah terhadap pengobatan pada fasilitas
dengan pemantauan hemodinamik berkelanjutan. Penurunan tekanan darah yang cepat dan
tepat pada hipertensi emergensi dapat mencegah kerusakan organ target lebih lanjut. Dalam
penanganannya, pasien hipertensi emergensi membutuhkan perawatan di rumah sakit dan
pengawasan di ruang ICCU (intensive cardiac care unit) untuk pemantauan tekanan darah,
penilaian dan pengobaran kerusakan organ target, serta pemantauan hemodinamik pada
pemberian obat antihipertensi intravena (4). Berikut beberapa pilihan obat yang dapat
digunakan dalam penanganan hipertensi emergensi:
Tabel 3. Pilihan Terapi Hipertensi Emergensi pada Kondisi Tertentu

HELLP: hemolysis, elevated liver enzymes, and low platelets, MAP: mean arterial pressure,
TDS: tekanan darah sistolik, TDD: tekanan darah diastolik.
Sumber : ESC/ESH Hypertension Guidelines, 2018
Tabel 4. Karakteristik Pilihan Terapi Hipertensi Emergensi

Sumber : ESC/ESH Hypertension Guidelines, 2018

Berbeda dengan pasien hipertensi emergensi, pasien hipertensi urgensi umumnya tidak
memerlukan rawat inap. Pada kondisi hipertensi urgensi, penurunan tekanan darah yang
agresif pada pasien harus dihindari, sehingga penggunaan obat parenteral tidak dianjurkan, dan
obat yang direkomendasikan adalah obat antihipertensi oral. Setelah dikonfirmasi tidak ada
kerusakan organ, penyebab hipertensi yang dapat diobati harus segera dicari dan diatasi. Jika
belum ditemukan, pasien dibiarkan beristirahat setidaknya 30 menit, setelah itu tekanan darah
diukur kembali. Jika tetap meningkat pada pasien dengan gejala ringan (sakit kepala, mual,
sesak napas, palpitasi, epistaksis, kecemasan) dapat diberikan terapi antihipertensi (lihat Tabel
4) dan dijadwalkan kunjungan ke fasilitas kesehatan 1–2 minggu selanjutnya.
ACEi: angiotensin-converting enzyme inhibitor, ARB: angiotensin receptor blocker,
CCB: calcium channel blocker, MI: myocardial infarction, O.D.: once daily
Gambar 1. Strategi terapi pada hipertensi tanpa komplikasi

Tabel 5. Pilihan terapi antihipertensi oral


Sumber : ESC/ESH Hypertension Guidelines, 2018
BAB III
KESIMPULAN

Pencegahan primer hipertensi perlu dilakukan dengan intervensi pola hidup pada
populasi umum dan populasi yang memili resiko tinggi. Apabila pasien sudah terdiagnosis,
maka tata laksana krisis hipertensi mengacu pada presentasi klinis pasien dan memiliki
prognosis yang berbeda terkait ada atau tidaknya kerusakan organ target akut. Ketika
ditemukan kerusakan pada organ target seperti pada hipertensi emergensi, tata laksana yang
tepat dapat melindungi fungsi organ yang ada, mencegah kerusakan lebih lanjut, dan
mengurangi risiko komplikasi. Sedangkan pada hipertensi urgensi tidak memerlukan tata
laksana yang agresif. Kunjungan berkala, minimal setiap bulan, disarankan bagi pasien krisis
hipertensi untuk pemantauan tekanan darah dan menghindari risiko terjadinya komplikasi,
sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.
DAFTAR PUSTAKA

1. Indonesin Society of Hypertension (INASH) 2019. Anna A, Eka H, Ni Made H., et al. (2019).
Konsensus Penatalaksaan Hipertensi. Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia
2. Sudoyo AW, Sirnadibrata M, Idrus A, Marcellus S., et al. (2010). Krisis Hipertensi. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
3. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam (PAPDI) 2019. Alwi I, Simon S, Rudy H., et
al. (2019). Panduan Praktik Klinis. Jakarta: Cetakan keempat, Interna Publishing Pusat
Penerbitan ilmu Penyakit Dalam
4. Williams B, et al. (2018). ESC/ESH Guidelines for the management of arterial hypertension:
The Task Force for the management of arterial hypertension of the European Society of
Cardiology (ESC) and the European Society of Hypertension (ESH). European Heart Journal.
2018;39(33):3021-104. doi: 10.1093/eurheartj/ehy339.
5. Liwang F, Patria W, Yuswar., et al. (2020). Krisis Hipertensi. Kapita Selekta Kedokteran Jilid
I. Jakarta: Penerbit Media Aesculapius
6. Unger T, Borghi C, Charchar F, Khan N. A, Poulter N.R., et al. (2020). International Society of
Hypertension global hypertension practise guideliness
7. Van den Born, Cremer A, Segura J, Morales E., et al. (2019). ESC Council of hypertension
position document on the management of hypertensive emergencies. European Heart Journal-
Cardiovascular Pharmacotherapy
8. Atherton J, Bauersachs J, Carerj S, Ceconi, Guazzi M., et al. (2016). ESC Guidelines for the
diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure. European Heart Journal

Anda mungkin juga menyukai