Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi Emergensi

2.1.1 Definisi Hipertensi Emergensi

Hipertensi emergensi merupakan bagian dari hipertensi krisis. Kondisi ini merupakan
hipertensi derajat 3 dengan HMOD akut (jika tidak disertai dengan HMOD akut, disebut
dengan hipertensi urgensi). Hal ini sering kali mengancam jiwa dan memerlukan penanganan
segera dan seksama. Untuk menurunkan tekanan darah biasanya memerlukan obat intravena.
Kecepatan peningkatan dan tinggi tekanan darah sama pentingnya dengan nilai absolut
tekanan darah dalam menentukan besarnya kerusakan organ.1,2,3

Tabel 1. Perbedaan antara Hipertensi Emergensi dan Urgensi.3

Hipertensi emergensi adalah peningkatan tekanan darah utama dan sering mendadak,
terkait dengan disfungsi organ target progresif dan akut. Hal ini dapat terjadi sebagai kejadian
serebrovaskular akut atau fungsi serebral yang tidak teratur, sindrom koroner akut dengan
iskemia atau infark, edema paru akut, atau disfungsi ginjal akut. Tekanan darah sangat tinggi
pada pasien dengan kerusakan organ target akut yang sedang berlangsung, dan merupakan
keadaan gawat medis yang sebenarnya, yang memerlukan penurunan tekanan darah segera
(walaupun jarang ke kisaran normal).4

2.1.2 Gambaran Klinis Hipertensi Emergensi

Gambaran hipertensi emergensi adalah sebagai berikut: 1) Hipertensi maligna:


hipertensi berat (umumnya derajat 3) dengan perubahan gambaran funduskopi (perdarahan

2
retina dan atau papiledema), mikroangiopati dan koagulasi intravaskular diseminasi serta
ensefalopati (terjadi pada sekitar 15% kasus), gagal jantung akut, penurunan fungsi ginjal
akut. Gambaran dapat berupa nekrosis fibrinoid arteri kecil di ginjal, retina dan otak. Makna
maligna merefleksikan prognosis buruk apabila tidak ditangani dengan baik; 2) Hipertensi
berat dengan kondisi klinis lain, dan memerlukan penurunan tekanan darah segera, seperti
diseksi aorta akut, iskemi miokard akut atau gagal jantung akut; 3) Hipertensi berat
mendadak akibat feokromositoma, berakibat kerusakan organ; dan 4) Ibu hamil dengan
hipertensi berat atau preeklampsia.1,2

Gejala emergensi tergantung kepada organ terdampak, seperti sakit kepala, gangguan
penglihatan, nyeri dada, sesak napas, pusing kepala atau gejala defsit neurologis. Gejala
klinis ensefalopati hipertensi berupa somnolen, letargi, kejang tonik klonik dan kebutaan
kortikal hingga gangguan kesadaran. Meskipun demikian, lesi neurologis fokal jarang terjadi
dan bila terjadi, maka hendaknya dicurigai sebagai stroke. Kejadian stroke akut terutama
hemoragik dengan hipertensi berat disebut sebagai hipertensi emergensi. Namun demikian
penurunan tekanan darah hendaknya dilakukan dengan hati-hati.1,2

Tabel 2. Karakteristik Klinis Hipertensi Emergensi.4

2.1.3 Prevalensi Hipertensi Emergensi

Diperkirakan sekitar 30% orang dewasa di Amerika menderita hipertensi. Dari jumlah
tersebut, 1% hingga 2% akan mengalami krisis hipertensi, sebuah istilah termasuk darurat
hipertensi dan urgensi hipertensi. Edema paru akut, iskemia jantung, dan kedaruratan
neurologis adalah jenis disfungsi organ target akut yang paling umum.5

3
Studi di Amerika berdasarkan data kunjungan di IGD pasien dewasa tahun 2006-2013
didapatkan sebanyak 809 juta kasus emergensi. Dari 809 juta, ternyata sebanyak 2.4 juta
merupakan hipertensi akut. Dari 2.4 juta hipertensi akut diperoleh sebanyak 900 ribu
mengalami kerusakan organ target (hipertensi emergensi). Berdasarkan studi ini diperoleh
bahwa prevalensi hipertensi emergensi jarang terjadi. Insiden hipertensi emergensi di
Amerika Serikat menurun dari 7% menjadi 1%. Tingkat kelangsungan hidup 1 tahun
(survival rate) meningkat dari 20% tahun 1950 menjadi 90% dengan perawatan yang bagus.
Walaupun demikian kunjungan hipertensi emergensi meningkat lebih dari 2 kali lipat dari
2006 sampai 2013. Peningkatan pasien yang berkunjung ke IGD di Amerika Serikat
meningkat dari data tahun 2006-2013, hal ini dapat dilihat pada Gambar 5.4

Gambar 1. Peningkatan Pasien yang Berkunjung ke IGD di Amerika Serikat pada Tahun
2006-2013.4

Penelitian di Brazil menunjukkan bahwa prevalensi pasien dengan krisis hipertensi


yang berkunjung ke IGD dalam periode enam bulan adalah 6/1.000 pasien. Sebanyak 71,7%
menunjukkan hipertensi urgensi, 19,1% adalah hipertensi emergensi, dan 9,2% adalah
pseudokrisis hipertensi. Penelitian ini juga menemukan bahwa usia lanjut dan masalah
neurologis berhubungan dengan hipertensi emergensi. 6 Penelitian yang dilakukan pada pasien
hipertensi emergensi berusia ≥18 tahun yang dirawat di R.N.T. Medical College, Udaipur,
Rajasthan selama delapan bulan, menunjukkan bahwa 70% pasien adalah laki-laki,
sedangkan sisanya adalah perempuan. Gejala yang paling banyak adalah defisit neurologis,
yang ditemukan pada 50 pasien.7

4
Pada penelitian yang dilakukan di Tertiary Care Center di Karachi, Pakistan dari
1.336 pasien, 28,6% (387 pasien) memiliki hipertensi yang tidak terkontrol. Prevalensi krisis
hipertensi di antara hipertensi yang tidak terkontrol adalah 56,3% (218 pasien).8 Pada
penelitian mengenai profil pasien dengan hipertensi urgensi dan emergensi yang berkunjung
ke departemen darurat rumah sakit rujukan tersier di daerah perkotaan di Tanzania dari 203
pasien, 138 pasien (68%) mengalami hipertensi emergensi, dan 65 pasien (32%) menderita
hipertensi urgensi. Tingkat kematian di rumah sakit untuk hipertensi emergensi pada
penelitian ini adalah 37 (26,8%).9

2.1.4 Patofisiologi Hipertensi Emergensi

Patofisiologi yang tepat dari krisis hipertensi masih belum jelas. Kecepatan onset
menunjukkan faktor pemicunya adalah hipertensi yang sudah ada sebelumnya. Dua
mekanisme yang berbeda namun saling terkait mungkin memainkan peran sentral dalam
patofisiologi krisis hipertensi. Mekanisme pertama adalah gangguan mekanisme autoregulasi
di vascular bed. Sistem autoregulasi merupakan faktor kunci dalam patofisiologi hipertensi
dan krisis hipertensi. Autoregulasi didefinisikan sebagai kemampuan organ (otak, jantung,
dan ginjal) untuk menjaga aliran darah yang stabil terlepas dari perubahan tekanan perfusi.4

Jika tekanan perfusi turun, aliran darah yang sesuai akan menurun sementara, namun
kembali ke nilai normal setelah beberapa menit berikutnya. Pada saat terjadi kerusakan fungsi
autoregulasi, jika tekanan perfusi turun, hal ini menyebabkan penurunan aliran darah dan
peningkatan resistensi vaskular. Dalam krisis hipertensi, ada kekurangan autoregulasi di
vascular bed dan aliran darah sehingga tekanan darah meningkat secara mendadak dan
resistensi vaskular sistemik dapat terjadi, yang sering menyebabkan stres mekanis dan cedera
endotelial.4

5
Gambar 2. Patofisiologi Krisis Hipertensi karena Gangguan Autoregulasi.4

Mekanisme kedua adalah aktivasi sistem renin-angiotensin, yang menyebabkan


vasokonstriksi lebih lanjut dan dengan demikian menghasilkan lingkaran setan dari cedera
terus-menerus dan kemudian iskemia. Dalam keadaan normal, sistem renin-angiotensin-
aldosteron berperan sentral dalam regulasi homeostasis tekanan darah. Overproduksi renin
oleh ginjal merangsang pembentukan angiotensin II, vasokonstriktor yang kuat. Akibatnya,
terjadi peningkatan resistansi pembuluh darah perifer dan tekanan darah. Krisis hipertensi
diprakarsai oleh peningkatan resistensi vaskular sistemik yang tiba-tiba yang mungkin terkait
dengan vasokonstriktor humoral. Dalam keadaan krisis hipertensi, penguatan aktivitas sistem
renin terjadi, menyebabkan cedera vaskular, iskemia jaringan, dan overproduksi
reninangiotensin lebih lanjut. Siklus berulang ini berkontribusi pada patogenesis krisis
hipertensi.4

6
Gambar 3. Patofisiologi Krisis Hipertensi karena Sistem RAA.4

2.1.5 Diagnosis Hipertensi Emergensi

Pendekatan awal pada krisis hipertensi dilakukan dengan tepat dan cepat di luar
rumah sakit maupun di dalam rumah sakit secara sistematis mulai dari anamnesis hingga
menentukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan. Anamnesis pasien harus dilakukan
secara cermat, mengenai: 1) Riwayat hipertensi (awitan hipertensi, jenis obat yang
dikonsumsi, kepatuhan berobat) dan 2) Gangguan organ (kardiovaskular, serebrovaskular,
renovaskular, dan organ lain). Setelah itu, pemeriksaan fisik dilakukan sesuai dengan
kecurigaan organ target yang terkena berdasarkan anamnesis yang didapat: 1) Pengukuran
tekanan darah di kedua lengan; 2) Palpasi denyut nadi di keempat ekstremitas; 3) Auskultasi
untuk mendengar ada/tidak bruit pembuluh darah besar, bising jantung, dan rhonki paru; 3)
Pemeriksaan neurologis umum; atau 4) Pemeriksaan funduskopi.4,5

Jika hipertensi emergensi sudah dicurigaim, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang


untuk memastikan diagnosis. Pemeriksaan laboratorium awal dan penunjang yang dilakukan
disesuaikan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang ditemukan serta ketersediaan
fasilitas. Pemeriksaan laboratorium awal meliputi Hb, Ht, ureum, kreatinin, gula darah dan

7
elektrolit, serta urinalisis. Pemeriksaan penunjang lain meliputi EKG, foto polos thoraks, CT
scan kepala, ekokardiografi, atau USG.1,2,4,5

Tabel 3. Pemeriksaan Umum untuk Hipertensi Emergensi.2

Tabel 4. Pemeriksaan Spesifik Berdasarkan Indikasi.2

2.1.6 Penatalaksanaan Hipertensi Emergensi

Terdapat beberapa pertimbangan strategi penatalaksanaan hipertensi emergensi: 1)


Konfirmasi organ target terdampak, tentukan penatalaksanaan spesifk selain penurunan
tekanan darah. Temukan faktor pemicu lain kenaikan tekanan darah akut, misalnya
kehamilan, yang dapat mempengaruhi strategi penatalaksanaan; 2) Tentukan kecepatan dan
besaran penurunan tekanan darah yang aman; dan 3) Tentukan obat antihipertensi yang
diperlukan. Obat intravena dengan waktu paruh pendek merupakan pilihan ideal untuk titrasi
tekanan darah secara hati-hati, dilakukan di fasilitas kesehatan yang mampu melakukan
pemantauan hemodinamik kontinyu.1,2

8
Tabel 4. Obat-Obat Hipertensi Emergensi yang Tersedia di Indonesia.2

Pada stroke iskemik akut misalnya, tekanan darah diturunkan secara perlahan, namun
pada kasus edema paru akut atau diseksi aorta dan sindroma koroner akut maka penurunan
tekanan darah dilakukan dengan agresif. Penurunan tekanan darah bertujuan menurunkan
hingga <25% MAP pada jam pertama, dan menurun perlahan setelah itu. Obat yang akan
digunakan awalnya intravena dan selanjutnya secara oral, merupakan pengobatan yang
direkomendasikan.4

Secara umum, penggunaan terapi oral tidak disarankan untuk hipertensi emergensi,
sebaiknya menggunakan parenteral. Pada orang dewasa dengan hipertensi emergensi,
disarankan masuk ke unit perawatan intensif (ICU), dilakukan pemantauan secara terus-
menerus terhadap tekanan darah dan kerusakan organ target dengan pemberian obat
parenteral yang tepat. Tekanan darah sistolik harus dikurangi menjadi <140 mmHg selama
satu jam pertama dan <120 mmHg pada diseksi aorta.4

9
Gambar 4. Skema Evaluasi Hipertensi Emergensi.4

Tabel 5. Kondisi Hipertensi Emergensi yang memerlukan Penurunan Tekanan Darah Segera
dengan Obat Intravena beserta Targetnya.1,2

Meskipun pemberian obat secara intravena sangat direkomendasikan, terapi oral


dengan ACEi, ARB atau beta bloker kadang sangat efektif pada hipertensi maligna, karena
umumnya terjadi aktivasi sistem renin oleh iskemia renal. Pemberian awal dimulai dengan

10
dosis rendah karena pasien kemungkinan sensitif terhadap pemberiannya dan sebaiknya
dilakukan di rumah sakit.1,2

2.1.7 Prognosis dan Tindak Lanjut

Angka kesintasan penderita hipertensi emergensi mengalami peningkatan dalam


dekade terakhir. Meskipun demikian kelompok pasien ini tetap dalam kategori risiko tinggi
dan perlu dilakukan penapisan untuk hipertensi sekunder.1,2

Setelah tekanan darah mencapai tingkat aman dan stabil dengan terapi oral, pasien
dapat rawat jalan. Kontrol rawat jalan dianjurkan minimal satu kali sebulan hingga target
tekanan darah optimal tercapai dan dilanjutkan kontrol teratur jangka panjang.1,2

11

Anda mungkin juga menyukai