Anda di halaman 1dari 164

i

Dr. Eng. Jamhir Safani, S.Si., M.Si.

PENGANTAR
METODE EKSPLORASI GRAVITASI

Editor:
Al Rubaiyn, S.T., M.T.
Razzak Raffiu Lanata, S.T.

PENERBIT YAYASAN BARCODE


2020

ii
PENGANTAR
METODE EKSPLORASI GRAVITASI
Penulis :
Dr. Eng. Jamhir Safani, S.Si., M.Si.
Editor:
Al Rubaiyn, S.T., M.T.
Razzak Raffiu Lanata, S.T.

ISBN : 978-623-285-284-6

Design Cover & Layout:


Sulaiman Sahabuddin

Cetakan pertama : 2020

15 X 23 cm
Diterbitkan pertama kali oleh:
YAYASAN BARCODE

Divisi Publikasi dan Penelitian


Jl. Kesatuan 3 No. 9 Kelurahan Maccini Parang
Kecamatan Makassar Kota Makassar
Email: penerbitbarcode@gmail.com
Website : www.yayasanbarcode.com
HP. 0853-4039-1342

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa
ijin penerbit

iii
Kata Pengantar

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala karuniah yang


diberikan, sehingga penulis dapat merampungkan penulisan buku ini,
sejak penulisan dimulai pada awal Agustus 2019 hingga rampung pada
awal Februari 2020. Buku ini tidak saja memuat penjelasan teoritik yang
mendasar tentang teori medan gravitasi, tetapi juga dilengkapi dengan
ragam metode pengukuran serta metode-metode pemrosesan dan
interpretasi data medan gravitasi.
Pencarian gravitasi melibatkan pengukuran variasi medan gravitasi
Bumi. Pencarian ini tentunya mempunyai harapan untuk menemukan
massa-massa lokal yang memiliki densitas lebih besar atau lebih kecil
dari formasi sekitarnya atau yang kita sebut sebagai anomali massa, dan
selanjutnya mempelajari sesuatu tentang massa-massa lokal tersebut dari
ketidakteraturan yang ada di Bumi. Namun perlu dicatat bahwa tidak
mungkin menentukan sumber unik untuk anomali yang diamati.
Pengamatan gravitasi biasanya dilakukan di permukaan bumi, tetapi
terkadang survei gravitasi bawah permukaan juga dilakukan.
Biasanya, pencarian gravitasi digunakan sebagai alat penyelidikan
awal dalam eksplorasi minyak; meskipun mahal, pencarian gravitasi
masih jauh lebih murah daripada pencarian seismik. Data gravitasi juga
digunakan untuk memberikan batasan-batasan dalam interpretasi
seismik. Dalam eksplorasi mineral, pencarian gravitasi biasanya telah

iv
digunakan sebagai metode sekunder, meskipun metode ini digunakan
untuk tindak lanjut yang rinci dari survei-survei magnetik dan
elektromagnetik
Semoga buku ini semakin memperkaya khasanah pengetahuan
tentang metode eksplorasi medan gravitasi dan menambah referensi
tentang metode eksplorasi geofisika secara keseluruhan. Semoga
bermanfaat.

Kendari, Februari 2020

Penulis

v
DAFTAR ISI

Halaman Judul ……………………………………...…..…... i


Kata Pengantar ………………………………………..…..... v
Daftar Isi …………………………………………………..… vii

I Rotasi Bumi, Gravitasi, dan Pasang Surut………..…. 1


1.1 Pendahuluan…………………………………………… 1
1.2 Medan dan Potensial Gravitasi untuk Bumi
Homogen Tak-Berotasi………………………………... 2
1.3 Sosok Bumi (Figure of the Earth)…………………….. 7
1.4 Gravitasi sebagai Gradien Geopotensial………………. 13
1.5 Gravitasi Normal………………………………............ 16
1.6 Geoid………………………………….……………..… 18
1.7 Pasang Surut dan Variasi Garvitasinya……………...… 22
1.7.1 Periodisitas Pasang Surut Bulan………..…….. 27
1.7.2 Pasang Surut Matahari……………..……….… 30
1.7.3 Pasang Purnama dan Perbani …….................... 32
1.8 Rangkuman..…………………………….…………….. 35
Referensi……………………………...……………….. 37
II Pengukuran Data Gravitasi………………………...… 38
2.1 Pendahuluan: Satuan-Satuan Gravitasi………………... 38
2.2 Ragam Pengukuran Data Gravitasi……………………. 39
2.2.1 Gravitasi Mutlak……………………………… 39

vi
2.2.2 Gravitasi Relatif………………………………. 40
2.2.3 Pengukuran Gravitasi dari Satelit yang
Mengorbit……………………………………... 41
2.3 Gravity Meter (Gravimeter)…………………………… 46
2.3.1 Sistem Pegas Astatik………………………….. 47
2.3.2 Penyiapan Gravimeter………………………… 53
2.3.3 Sistem Gravitasi Laut dan Udara…………...… 55
2.3.4 Pengecekan Gravimeter………………………. 60
2.3.5 Kalibrasi Gravimeter………………………….. 61
2.4 Koreksi Drift…………………………………………... 62
2.5 Koreksi Pasang-Surut………………………………..... 63
2.6 Rangkuman..…………………………….…………….. 63
Referensi……………………………...……………….. 66
III Reduksi Data Gravitasi……………………………….. 67
3.1 Anomali Medan Gravitasi……………………………... 67
3.2 Koreksi Udara-Bebas dan Anomali Medan
Gravitasi Udara-Bebas………………………………… 69
3.3 Koreksi Bouguer, Koreksi Terrain, dan Anomali
Medan Gravitasi Bouguer……………………………... 71
3.3.1 Model-Model Koreksi Bouguer………………. 75
3.3.2 Koreksi Topografi (Terrain)………………….. 82
3.4 Penentuan Densitas Batuan……………………………. 89
3.4.1 Densitas dari Kecepatan Seismik……………... 90
3.4.2 Densitas dari Log Gamma-Gamma…………... 92
3.4.3 Gravimetri Lobang Bor (Borehole
Gravimetry)…………………………………… 95
3.4.4 Metode Nettleton……………………………... 97
3.4.5 Densitas Batuan………………………………. 101
3.5 Rangkuman..…………………………….…………….. 105

vii
Referensi……………………………...……………….. 106
IV Pemrosesan Lanjut Data Gravitasi…………………... 109
4.1 Pendahuluan…………………………………………… 109
4.2 Proyeksi ke Bidang Datar dengan Grid yang Teratur…. 109
4.2.1 Metode Sumber Ekivalen Titik Massa
(Metode Dampney)…………………………… 110
4.2.2 Metode Deret Taylor………………………….. 116
4.3 Pemisahan Anomali Medan Gravitasi Lokal-Regional.. 119
4.4 Turunan Vertikal Kedua (Second Vertical Derivative).. 125
4.5 Rangkuman..…………………………….…………….. 132
Referensi……………………………...……………….. 134
V Interpretasi Data Gravitasi 136
5.1 Pendahuluan 136
5.2 Efek Gravitasi Benda Dua-Dimensi Sembarang 137
5.3 Efek Gravitasi Dua-Dimensi untuk Benda Berbentuk
Persegi Empat 140
5.4 Pemodelan Kedepan Data Gravitasi dengan
Model 2-D Persegi Empat 142
5.5 Uji Numerik Pemodelan Kedepan dan Inversi Data
Gravitasi untuk Model 2-D Persegi Empat 145
5.5.1 Pemodelan Kedepan dan Inversi untuk
Model Patahan Homogen 145
5.5.2 Pemodelan Kedepan dan Inversi untuk 149
Model Patahan Tak-Homogen
5.6 Rangkuman..…………………………….…………….. 154
Referensi……………………………...……………….. 155
Riwayat Hidup Penulis

viii
BAB I

ROTASI BUMI, GRAVITASI,


DAN PASANG SURUT

1.1. Pendahuluan

Pada Fisika Klasik, pembahasan-pembahasan tentang potensial dan


medan gravitasi berangkat dari asumsi Bumi sebagai benda homogen tak
berotasi. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
pengamatan-pengamatan secara astronomi diperoleh kenyataan bahwa
Bumi dan bintang-bintang galaksi lainnya bukanlah benda yang tetap,
tetapi berotasi dan berevolusi. Hal ini tentunya berkonsekuensi pada
tinjauan konsepsi tentang rupa Bumi, geopotensial total dan medan
gravitasi Bumi itu sendiri. Oleh karena itu, pada bab ini pembahasan
akan didahului dengan tinjauan medan dan potensial gravitasi untuk
Bumi homegen tak-berotasi. Kemudian, pembahasan dilanjutkan dengan
tinjauan tentang bagaimana konsekuensi rotasi Bumi terhadap
geopotensial total, dan juga medan gravitasi Bumi sebagai gradien

1
geopotensial totalnya. Rotasi Bumi tentunya akan menyebabkan
terjadinya penyimpangan bentuk Bumi dari bentuk bulat ke bentuk
elipsoid, dimana terjadi pemipihan (flattening) di kutub-kutub Bumi dan
penambahan (bulging) di katulistiwa. Jika diasumsikan Bumi dilingkupi
oleh laut dangkal, maka permukaan Bumi akan mengambil bentuk yang
ditentukan oleh keseimbangan hidrodinamik dari air laut yang
mengalami gravitasi dan rotasi, dan permukaan ekuipotensial dari
permukaan laut disebut sebagai geoid atau sosok Bumi. Penjabaran
tentang geopotensial total geoid ini akan dibahas dengan cukup detail
dalam bab ini, diikuti dengan kajian medan gravitasinya.

Gravitasi Bumi juga tidak terlepas dari pengaruh interaksi Bumi


terhadap Bulan dan Matahari. Koreksi pasang-surut total dalam gravitasi
akibat interaksi Bulan dan Matahari terhadap Bumi juga melengkapi
pembahasan dalam bab ini.

1.2. Medan dan Potensial Gravitasi untuk Bumi Homogen


Tak-Berotasi

Tinjauan berikut ini adalah kondisi dimana Bumi sebagai benda


homogen tak berotasi. Jika efek rotasi Bumi tidak diperhitungkan, maka
Bumi ditinjau sebagai objek berbentuk bola yang tidak mengalami
perubahan bentuk akibat rotasi.

2
Prinsip dasar fisika yang melandasi metode gravitasi adalah hukum
Newton tentang gaya tarik antar partikel yang menyatakan bahwa gaya
tarik antara dua partikel dengan massa m1 dan m2 yang berjarak r adalah:

m1m2
F (r )  G r (1.1)
r2

dengan G adalah konstanta gravitasi yang besarnya adalah 6,672x10 -11


kg-1m3s-2. Jika persamaan (1) menyatakan gaya tarik yang dialami
partikel m2 akibat partikel m1 maka tanda negative menyatakan bahwa
gaya tarik tersebut memiliki arah yang berlawanan dengan vektor satuan
r yang mempunyai arah dari partikel m1 menuju m2.
Besaran yang terukur dalam metode gravitasi adalah medan
gravitasi yang dialami oleh massa m1 akibat tarikan massa Bumi Me yang
dinyatakan oleh:

Me
E (r )  G r (1.2a)
r2

dengan r  rrˆ .

Jika r = R, adalah jari-jari Bumi dan dengan menganggap Bumi


homogen, berbentuk bola dan tidak berotasi, maka besarnya medan
gravitasi Bumi adalah:

Me
g  E (r )  G (1.2b)
Re2

3
Karena medan gravitasi merupakan medan konservatif, medan
gravitasi dapat dinyatakan sebagai gradient dari suatu fungsi potensial
skalar U (r ) sebagai berikut:

E (r )  U (r ) (1.3a)

Jika potensial dan medan gravitasi hanya merupakan fungsi jarak radial
r, maka Persamaan (1.3a) dinyatakan sebagai:

𝜕𝑈(𝑟)
𝐸⃗ (𝑟) = − 𝜕𝑟 (1.3b)

Pemaduan Persamaan (1.2a) dan (1.3b) memberikan potensial gravitasi


sebuah massa titik (Bumi) Me:

𝜕𝑈 (𝑟) 𝑀𝑒
=𝐺 2 (1.4)
𝜕𝑟 𝑟

denga solusi adalah:


𝑀𝑒
𝑈 = −𝐺 (1.5)
𝑟

Persamaan-persamaan di atas hanya meninjau potensial dan medan


gravitasi untuk sebuah massa titik Me. Sekarang, mari kita meninjau
Bumi sebagai sebuah benda padat yang tersusun oleh sejumlah elemen
massa, dimana setiap elemen massa memberikan tarikan gravitasi dan
juga potensial gravitasi pada titik external P (Gambar 1.1). Untuk
sejumlah elemen massa pada benda padat Bumi, potensial gravitasi pada

4
titik P adalah jumlahan potensial gravitasi yang ditimbulan oleh setiap
elemen massa.
Hal yang lebih umum adalah jika objek tidak direpresentasikan
sebagai kumpulan partikel diskrit tetapi oleh distribusi massa kontinu.
Jika Bumi adalah massa yang terdistribusi kontinu dan mempunyai rapat
massa  (r0 ) di dalam volume V, maka potensial di suatu titik P di luar V
(Gambar 1.1) adalah:

 (r0 )d 3 r0
U P (r )   G  (1.6)
r  r0

dengan r  r0  r 2  r02  2rr0 cos  dan r = vektor posisi pengamat.

Jika integral volume pada persamaan (1.6) diambil untuk seluruh Bumi,
maka diperoleh potensial gravitasi Bumi di ruang bebas, dan medan

Gambar 1.1. Potensial tiga dimensi

5
gravitasinya diperoleh dengan mendeferensialkan potensial gravitasi
tersebut. Jika P berada di permukaan Bumi, medan gravitasi adalah:

g (r )   E(r )  U P (r ) (1.7)

Medan gravitasi pada arah sumbu z diberikan oleh:

U P (r )  (r0 )(Z Z0 )d 3 r0
g (r )   G  (1.8)
Z
 X  X   Y  Y    Z  Z  
V 3
2 2 2 2
0 0 0

Persamaan di atas menunjukkan bahwa medan gravitasi g di


permukaan Bumi bervariasi dan harganya tergantung pada distribusi
massa di bawah permukaan, sebagaimana ditunjukkan oleh bentuk Bumi
sebenarnya dan fungsi densitas  (r0 ) . Medan gravitasi disebut juga
percepatan gravitasi atau percepatan jatuh-bebas. Satuan g dalam CGS
adalah gal (1 gal = 1 cm/s2).

1.3. Sosok Bumi (Figure of the Earth)

Efek sentrifugal dari rotasi Bumi menimbulkan penyimpangan


bentuk Bumi dari bentuk bola ke bentuk elipsoid, dimana Bumi nampak
mempunyai penambahan katulistiwa (equatorial bulge). Jika seluruh
Bumi dilingkupi oleh laut dangkal, maka permukaan Bumi akan
mengambil bentuk yang ditentukan oleh keseimbangan hidrodinamik
dari air laut yang mengalami gravitasi dan rotasi, dan permukaan

6
ekuipotensial dari permukaan laut disebut sebagai geoid atau sosok
Bumi. Efek pasang surut oleh gradien gravitasi Bulan dan Matahari juga
dapat menyebabkan penyimpangan pada bentuk geoid, tetapi efek
pasang surut ini sangat kecil dibandingkan efek elipsisitas akibat rotasi
Bumi. Kehadiran fitur kerak yang berupa gugusan benua dan
pegunungan merupakan penyimpangan signifikan permukaan Bumi
yang sebenarnya dari geoid, tetapi kompensasi massa pada kedalaman
(prinsip isostasy) meminimalkan pengaruh fitur permukaan pada geoid
(Stacey, 1977).

Bentuk geoid telah ditentukan dari survei-survei astrogeodetik


dengan mengukur vektor gravitasi lokal relatif terhadap bintang.
Prosesnya ditunjukkan pada Gambar 1.2. Gambar ini mengilustrasikan

Gambar 1.2. Perbandingan geoid ekuilibrium dengan sebuah bola


dengan volume yang sama (Stacey, 1977).

7
perbandingan geoid ekuilibrium (garis utuh) yang berbentuk elipsoid
dengan bola bervolume sama (garis putus-putus). Penyimpangan bentuk
Bumi akibat rotasi dari bentuk Bola menjadi elipsoid direpresentasikan
oleh pemipihan (flattening) di kutub-kutub Bumi dan penambahan
(bulging) di katulistiwa. Radius bola adalah R = (a2c)1/3, dengan a dan c
secara berturutan merupakan sumbu mayor dan sumbu minor dari
elipsoid geoid.  adalah lintang geosentik pada sebarang titik dan g
adalah lintang geografik.
Geopotensial total U pada sebarang titik yang berotasi dengan Bumi
adalah jumlahan dari potensial gravitasi V dan potensial rotasi:

𝑈 = 𝑉 − 12𝜔2 (𝑥 2 + 𝑦 2 ) = 𝑉 − 12𝜔2 𝑟 2sin2 𝜃 = 𝑉 − 12𝜔2 𝑟 2𝑐𝑜𝑠 2 ∅ (1.9)

dengan  adalah kecepatan sudut rotasi Bumi di sekitar sumbu z dan (x,y)
atau (r,) merupakan koordinat titik.  adalah sudut polar (colatitude)
atau jarak angular dari kutub rotasi, dan hubungannya dengan lintang
dinyatakan sebagai 𝜃 = [(𝜋⁄2) − ∅]. Persamaan (1.9) adalah potensial
total untuk titik-titik sebarang di permukaan Bumi. Sedangkan potensial
total untuk titik-titik pada bagian dalam (interior) Bumi, Persamaan (1.9)
tersebut mesti ditambahkan satu suku, yaitu potensial akibat tekanan.
Geoid adalah sebuah permukaan geopotensial konstan Uo, dan
percepatan gravitasi pada permukaan adalah normal atau tegak lurus
geoid, yang diberikan oleh

8
𝑔 = −grad 𝑈 (1.10)

Permasalahan dalam menghitung bentuk geoid adalah soal bagaimana


mendapatkan expresi yang tepat tentang potensial gravitasi V.

Persoalan V di atas umumnya diselesaikan dengan memanfaatkan


persamaan Laplace, dengan V harus memenuhi semua titik di luar Bumi
dan pada permukaan Bumi sendiri:

1 𝜕 2 𝜕𝑉 1 𝜕 𝜕𝑉 1 𝜕2𝑉
∇2 = (𝑟 ) + (sin 𝜃 ) + =0
𝑟 2 𝜕𝑟 𝜕𝑟 𝑟 2 sin 𝜃 𝜕𝜃 𝜕𝜃 𝑟 2 sin2 𝜃 𝜕2
(1.11)

dengan  adalah garis bujur. Solusi persamaan (1.11) dibatasi pada


simetri rotasional di sekitar sumbu z, sehingga variasi terhadap 
diabaikan. Oleh karena itu solusi persamaan (1.11) hanya dinyatakan
dalam harmonik zona (variasi terhadap ) atau polynomial Legendre
(lihat Stacey, 1977):

𝐺𝑀 𝑎 𝑎 2
𝑉=− (𝐽0 𝑃0 − 𝐽1 𝑃1 (𝜃 ) − 𝐽2 ( ) 𝑃2 (𝜃 ) … ) (1.12)
𝑟 𝑟 𝑟

dengan G adalah konstanta gravitasi mutlak dan a adalah radius


equatorial (katulistiwa). P0, P1, P2…adalah koefisien-koefisien
polynomial Legendre, yaitu:

1
𝑃0 (𝜃 ) = 1; 𝑃1 (𝜃 ) = cos 𝜃; 𝑃2 (𝜃 ) = 2
(3 cos2(𝜃)−1) (1.13)

9
J0, J1, …adalah koefisien-koefisien tanpa dimensi yang perlu untuk
ditentukan karena merepresentasikan distribusi massa dalam Bumi
sebagaimana berikut:
a) J0 = 1 berdasarkan fakta bahwa pada jarak yang sangat jauh
semua suku lainnya pada Persamaan (1.12) menjadi tidak
signifikan, sehingga kita sedang hanya mempertimbangkan
potensial akibat titik massa M:

𝐺𝑀
𝑉=− (1.14)
𝑟

b) J1 = 0 apabila kita mengambil titik asal sistem koordinat menjadi


pusat massa Bumi.
c) Fokus kita pada penentuan J2 yang merupakan prinsip utama
yang diperlukan untuk memberikan bentuk ellipsoid oblate dari
geoid.
d) Pada kajian ini, koefisien-koefisien J3, J4, … diabaikan untuk
sementara saja.

Jika kita mensubtitusikan Persamaan (1.13) dan semua koefisien-


koefisien distribusi massa Bumi di atas (yaitu J0, J1, dan J2) ke Persamaan
(1.12), maka diperoleh:

𝐺𝑀 𝐺𝑀𝑎2 𝐽2
𝑉=− + (3𝑠𝑖𝑛2 ∅ − 1) (1.15)
𝑟 2𝑟 3

10
Persamaan (1.15) ini merupakan titik awal untuk pendekatan-pendekatan
terhadap permasalahan geoid.

Geopotensial total U selanjutnya diperoleh dengan mensubtitusikan


persamaan (1.15) ke Persamaan (1.9), sehingga diperoleh:

𝐺𝑀 𝐺𝑀𝑎2 𝐽2
𝑈=− + 3
(3𝑠𝑖𝑛2 ∅ − 1) − 1𝜔2 𝑟 2cos 2 ∅. (1.16)
𝑟 2𝑟 2

Sekarang, bagaimana kita mendapatkan J2 sebagaimana didiskusikan di


atas. Untuk menjawab soalan ini, kita memanfaatkan formula
MacCullagh yang memberikan bentuk lain untuk potensial gravitasi:

𝐺𝑀 𝐺
𝑉=− + 3 (𝐶 − 𝐴)(3𝑠𝑖𝑛2 ∅ − 1) (1.17)
𝑟 2𝑟

Jadi, jika kita membandingkan Persamaan (1.15) dan (1.17), maka


diperoleh keofisien J2 sebagai berikut:

𝐶−𝐴
𝐽2 = (1.18)
𝑀𝑎2

Sehingga geopotensial total menurut MacCulagh adalah:

𝐺𝑀 𝐺 1
𝑈=− + 3 (𝐶 − 𝐴)(3sin2 ∅ − 1) − 2𝜔2 𝑟 2cos 2 ∅ (1.19)
𝑟 2𝑟

Persamaan (1.19) dapat didefinisikan bahwa geoid adalah


permukaan potensial konstan Uo. Mari kita melihat definisi matematis Uo
di katulistiwa (r = a,  = 0) dan di kutub.( r = c,  = /2) sebagai berikut:

11
𝐺𝑀 𝐺 1
𝑈𝑜 = − − 3 (𝐶 − 𝐴) − 𝑎2 𝜔2 (di katulistiwa) (1.20)
𝑎 2𝑎 2

𝐺𝑀 𝐺
𝑈𝑜 = − − 3 (𝐶 − 𝐴) (di kutub) (1.21)
𝑐 2𝑐

sehingga dari kedua persamaan di atas diperoleh

𝐶−𝐴 𝑎 𝑐 1 𝑐𝑎3 𝜔2
𝑎−𝑐 = ( 2 + 2) + (1.22)
𝑀 𝑐 2𝑎 2 𝐺𝑀

dan karena a  c, pemipihan (flattening), f, dirumuskan sebagai:

𝑎 − 𝑐 3 𝐶 − 𝐴 1 𝜔 2 𝑎3
𝑓= = + (1.23)
𝑎 2 𝑀𝑎2 2 𝐺𝑀

Persamaan (1.23) dapat disederhanakan dengan mensubtitusikan


Persamaan (1.18) dan suku kedua 2a3/ GM disimbolkan sebagai m
(=3,46775 x 10-3):

3 1
𝑓= 𝐽2 + 𝑚 (1.24)
2 2

Dalam hubungannya dengan pemipihan f, radius elipsoid r dinyatakan


dalam rumusan berikut:

𝑟 = 𝑎(1 − 𝑓sin2 ∅) (1.25)

12
Pada Persamaan (1.23), kuantitas (C – A)/ Ma2 saat ini ditentukan dari
orbit-orbit satelit dengan presisi yang sangat baik, maka pemipihan geoid
f diestimasi dari data satelit yang umum digunakan di geodesi.

1.4. Gravitasi sebagai Gradien Geopotensial

Gravitasi g diperoleh dengan mendiferensialkan geopotensial total


U sebagaimana dinyatakan pada Persamaan (1.16):

𝑔 = −𝑔𝑟𝑎𝑑 𝑈

atau

1⁄ 2
𝜕𝑈 2 1 𝜕𝑈 2
𝑔 = [( ) + ( ) ] (1.26)
𝜕𝑟 𝑟 𝜕∅

Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1.2, garis normal terhadap geoid


menyimpang tehadap arah radial hanya dengan sudut kecil ( g - ),
sehingga suku kedua pada Persamaan (1.26) diabaikan, dan karenanya
diperoleh:

𝜕𝑈 𝐺𝑀 3 𝐺𝑀𝑎2
−𝑔 = = 2 − 𝐽 (3𝑠𝑖𝑛2 ∅ − 1) − 𝜔2 𝑟(1 − sin2 ∅) (1.27)
𝜕𝑟 𝑟 2 𝑟4 2

Sekarang kita dapat mensubtitusi nilai r sebagaimana Persamaan (1.25)


dengan a adalah radius katulistiwa dan f adalah pemipihan sebagaimana
Persamaan (1.24). Kita mensubtitusikan r dari Persamaan (1.25) pada
Persamaan (1.27) dan memanfaatkan expansi binomial berikut:
13
(1 − 𝑓 sin2 ∅)−𝑛 = (1 + 𝑛𝑓 sin2 ∅ … ) (1.28)

Hal ini memungkinkan perkalian-perkalian kuantitas kecil untuk


diabaikan, maka ekspansi hanya diterapkan pada suku pertama:

𝐺𝑀 2 )
3 𝐺𝑀
−𝑔 = 2
( 1 + 2𝑓 sin ∅ − 2
𝐽2 (3sin2 ∅ − 1)
𝑎 2𝑎
2 ( 2 )
− 𝜔 𝑎 1 − sin ∅ (1.29)

Karena m = 2a3/ GM maka suku ketiga pada Persamaan (1.29) dapat


disesuaikan dengan kuantitas-kuantitas pada dua suku lainnya, sehingga
diperoleh:

𝐺𝑀 3 𝐺𝑀
−𝑔 = (1 + 2𝑓 sin2 ∅) − 𝐽 (3sin2 ∅ − 1)
𝑎 2 2 𝑎2 2
𝐺𝑀
− 2 𝑚(1 − sin2 ∅) (1.30)
𝑎

Penyusunan ulang Persamaan (1.30) memberikan:

𝐺𝑀 3 𝐺𝑀 9
−𝑔 = (1 + 𝐽2 − 𝑚) − [( 𝐽 − 2𝑓 − 𝑚) sin2 ∅] (1.31)
𝑎2 2 𝑎2 2 2

dan gravitasi katulistiwa dimana garis lintang ∅ = 0 adalah:

𝐺𝑀 3
−𝑔𝑒 = (1 + 𝐽 − 𝑚) (1.32)
𝑎2 2 2

Selanjutnya, untuk orde pertama dalam f, gravitasi pada garis lintang ∅


dapat disusun dari Persamaan (1.31) dan (1.32):

14
9
𝑔 = 𝑔𝑒 [1 − ( 𝐽2 − 2𝑓 − 𝑚) sin2 ∅] (1.33)
2

Persamaan (1.33) dapat dinyatakan dalam dua formula lainnya dengan


memanfaatkan Persamaan (1.24):

3
𝑔 = 𝑔𝑒 [1 + (2𝑚 − 𝐽2 ) sin2 ∅] (1.34)
2

atau

5
𝑔 = 𝑔𝑒 [1 + ( 𝑚 − 𝑓) sin2 ∅] (1.35)
2

Persamaan (1.35) dikenal sebagai teorema Clairaut yang dijabarkan


dengan hanya memanfaatkan suku-suku orde pertama saja. Dengan
mempertahankan suku-suku orde yang lebih tinggi, medan gravitasi
normal dalam lintang geografik ∅g adalah:

5 17
𝑔 = 𝑔𝑒 [1 + ( 𝑚 − 𝑓 − 𝑚𝑓) sin2 ∅𝑔
2 14
𝑓2 5
+( − 𝑚𝑓) sin2 2∅𝑔 + ⋯ ] (1.36)
8 8

15
1.5. Gravitasi Normal

Gravitasi normal akan diamati pada elipsoid referensi. Parameter


elipsoid tergantung pada dimensi-dimensi distribusi densitas-kedalaman
rata-rata dan kecepatan sudut. Variasi gravitasi lintang hanya bergantung
lemah pada distribusi densitas-kedalaman, tetapi momen inersia Bumi
sangat dipengaruhi oleh distribusi densitas-kedalaman ini.
Elipsoid referensi yang digunakan saat ini merupakan bagian dari
Sistem Referensi Geodetik GRS80 yang digunakan pada Sistem
Geodetik Dunia WGS84 dan mempunyai parameter-parameter sebagai
berikut (Jacoby & Smilde, 2009):
 Radius katulistiwa a = 6.378.137 m
 Pemipihan f = (a – c)/a = 1/298,257222
 Konstanta gravitasi x massa GM = 3986005 x 108 m3 s-2 dengan G
= 6,6742 x 10-11 m3 kg-1 s-2 dan M = 5,972 x 1024 kg
 Frekuensi sudut  = 7,292115 x 10-11 s-1.

Dengan memasukkan nilai-nilai konstanta di atas pada Persamaan (1.36),


maka diperoleh gravitasi normal yang selanjutnya akan dimanfaatkan
sebagai standar geodetik untuk mana survei-survei gravitasi harus
dirujuk yaitu (International Union of Geodesy & Geophysics 1967):

𝑔𝑛 (∅) = 9,780318(1 + 0,0053024 sin2 ∅𝑔


− 0,0000059sin2 2∅𝑔 ) m sec −2 (1.37)

16
Persamaan ini merujuk pada gravitasi pada permukaan geoidal
(permukaan laut) yang ideal. Data survei gravitasi mengacu pada variasi
lintang standar. Rumusan medan gravitasi normal pada permukaan
elipsoid referensi ini juga telah ditetapkan oleh The International
Association of Geodesy (IAG) tahun 1980 (Jacoby & Smilde, 2009)
yaitu:

𝑔𝑛 (∅) = 9,780237(1 + 0,0053024 sin2 ∅𝑔

−0,0000058 sin2 2∅𝑔 ) m sec−2 (1.38)

Di geodesi standar untuk menghitung besarnya gravitasi normal


pada permukaan elipsoid referensi geosentrik adalah formula
Somigliana-Pizzetti tertutup (Jacoby & Smilde, 2009):

𝑔𝑛 (∅) = 𝑔𝑒 (1 + 𝑘 sin2 ∅)⁄(1 − 𝑒 2 sin2 ∅)2 (1.39)

dimana 𝑘 = (𝑏 𝑔𝑝 ⁄𝑎 𝑔𝑒𝑞 ) − 1 = 0,001931851353, 𝑒 2 = (𝑎 2 −


𝑏2 )𝑎2 = 0,00669838002290, dan a adalah sumbu semi-mayor
elipsoid, b sumbu semi-minor elipsoid, gp gravitasi normal polar (kutub),
dan geq gravitasi normal ekuatorial atau katulistiwa. Persamaan (1.39)
umumnya akurat untuk 1 Gal.

Persamaan (1.37), (1.38), dan (1.39) memperlihatkan bahwa


semakin tinggi posisi lintangnya maka semakin besar percepatan
gravitasi normal. Jadi medan gravitasi Bumi cenderung bertambah besar
ke arah kutub (Safani, 2000).
17
1.6. Geoid

Penjelasan tentang geoid telah dibahas secara sambil lalu pada Sub
Bab 1.2 bahwa geoid adalah permukaan geopotensial konstan. Pada Sub
Bab ini akan dibahas secara lebih detail tentang hal ini.

Elipsoid referensi internasional adalah sebuah perkiraan dekat


terhadap permukaan ekuipotensial dari gravitasi, tetapi perkiraan ini
sesungguhnya sebuah kesepakatan pendekatan matematis, dimana belum
disepakati wujud fisiknya berdasarkan distribusi massa sebenarnya di
dalam Bumi. Permukaan ekuipotensial secara fisik disebut geoid. Ini
mencerminkan distribusi massa yang sebenarnya di dalam Bumi dan
sedikit berbeda dari elipsoid teoretis. Jauh dari daratan, geoid ini sesuai
atau berhimpit dengan permukaan lautan yang bebas, tidak termasuk
efek-efek gangguan pasang surut dan angin yang bersifat sementara. Di
atas benua, geoid dipengaruhi oleh massa tanah dan batuan di atas
permukaan laut rata-rata (Gambar 1.3a). Massa di dalam elipsoid
menyebabkan tarikan gravitasi ke bawah menuju pusat Bumi, tetapi
sebuah bukit atau gunung yang pusat gravitasinya di luar elipsoid
menyebabkan tarikan ke atas. Ini menyebabkan elevasi geoid lokal di
atas elipsoid. Pergeseran antara geoid dan elipsoid disebut undulasi
geoid; ketinggian yang disebabkan oleh massa di atas elipsoid adalah
undulasi positif.

18
Dalam menggambarkan Bumi secara teoretis, distribusi massa di
bawah elipsoid diasumsikan homogen. Kelebihan massa lokal di bawah
elipsoid akan memperkuat gravitasi secara lokal. Potensi elipsoid dicapai
lebih jauh dari pusat Bumi. Permukaan ekipotensial dipaksa untuk
melengkung ke atas dengan tetap normal terhadap gravitasi. Ini
memberikan undulasi geoid positif terhadap kelebihan massa di bawah
ellipsoid (Gambar. 1.3b). Sebaliknya, defisit massa di bawah elipsoid

Gambar 1.3. (a) Massa di luar elipsoid atau (b) ekses massa di bawah
elipsoid menaikkan geoid di atas elipsoid. N adalah undulasi geoid
(Lowrie, 2007).

19
akan mengalihkan geoid di bawah elipsoid, menyebabkan undulasi geoid
negatif. Sebagai hasil dari topografi yang tidak merata dan distribusi
massa internal yang heterogen dari Bumi, geoid adalah permukaan
ekuipotensial yang bergelombang atau berundulasi.

Potensial geoid secara matematis direpresentasikan oleh fungsi


harmonik bola yang melibatkan polynomial Legendre terkait. Fungsi
harmonik ini lebih rumit daripada polinomial Legendre biasa yang
digunakan untuk menggambarkan potensial gravitasi elipsoid
(Persamaan. (1.16) sampai dengan (1.19)). Hingga saat ini kami hanya
mempertimbangkan variasi potensial dengan jarak r dan dengan sudut
co-latitude . Ini adalah penyederhanaan yang berlebihan, karena variasi
densitas di dalam Bumi tidak simetris di sekitar sumbu rotasi. Geoid
adalah permukaan ekuipotensial untuk distribusi densitas nyata di Bumi,
sehingga semestinya potensial geoid bervariasi dengan garis bujur dan
juga garis lintang (untuk lebih detail dapat dilihat pada Lowrie, 2007).
Variasi ini diperhitungkan dengan menyatakan potensial sebagai jumlah
dari fungsi harmonik bola. Representasi geopotensial ini analog dengan
ekspresi yang lebih sederhana untuk potensial gravitasi Bumi simetris
yang berputar menggunakan serangkaian polinomial Legendre
(Persamaan (1.19)).

Dalam analisis modern, koefisien-koefisien Jn pada Persamaan.


(1.19) dapat dihitung hingga tingkat harmonik yang tinggi. Suku-suku
hingga pada sebuah tingkat yang dipilih kemudian digunakan untuk

20
menghitung model geoid dan medan gravitasi bumi. Kombinasi data
satelit dan pengukuran gravitasi permukaan digunakan untuk
membangun Goddard Earth Model (GEM) 10. Perbandingan global
antara elipsoid referensi dengan pemipihan 1/298,257 dan permukaan
geoid yang dihitung dari model GEM 10 menunjukkan undulasi geoid
gelombang panjang (Gambar. 1.4). Undulasi negatif terbesar (-105 m)
ada di Samudra Hindia di selatan India, dan undulasi positif terbesar (+73
m) ada di Samudra Pasifik khatulistiwa di utara Australia. Fitur-fitur
skala besar ini terlalu luas jika diasumsikan berasal dari anomali

Gambar 1.4 Peta undulasi geoid dunia relatif terhadap ellipsoid referensi
pemipihan ƒ 1/298,257 (setelah Lerch dkk., 1979).

21
massa kerak atau litosfer. Lebih memungkinkan jika fitur-fitur besar
tersebut diakibatkan oleh heterogenitas yang menerus jauh ke dalam
mantel yang lebih rendah, tetapi sumber mereka belum dipahami.

1.7. Pasang Surut dan Variasi Gravitasinya

Gaya gravitasi Matahari dan Bulan terhadap Bumi menyebabkan


hal-hal sebagai berikut: a) perubahan bentuk Bumi; b) terjadinya pasang
surut di lautan, atmosfer, dan benda padat Bumi. Efek pasang surut yang
paling terlihat adalah pergeseran permukaan laut, yang merupakan
permukaan ekuipotensial hidrostatik. Bumi tidak bereaksi secara kaku
terhadap gaya pasang surut. Benda padat Bumi berubah bentuk dengan
cara serupa ke permukaan bebas, sehingga menimbulkan apa yang
disebut pasang-surut Bumi. Hal ini dapat diamati dengan instrumen yang
dirancang khusus, yang beroperasi dengan prinsip yang mirip dengan
seismometer jangka-panjang.
Ketinggian pasang-surut ekuilibrium hanya sekitar setengah meter
di atas lautan bebas. Di daerah pesisir, ketinggian pasang surut
meningkat secara signifikan oleh pendangkalan landas kontinen serta
bentuk teluk dan pelabuhan yang terbatas. Dengan demikian, ketinggian
dan variasi pasang surut di tempat mana pun sangat dipengaruhi oleh
faktor lokal yang kompleks (Stacey, 1977).
Berikut kita akan meninjau potensial pada sebuah titik sebarang di
permukaan Bumi akibat kombinasi gravitasi dan rotasi Bulan (Gambar
22
1.5) dengan kecepatan sudut orbital L sekitar sumbu yang melalui pusat
massa bersama:

𝐺𝑀 1 2 2
𝑊=− − 2𝜔 𝐿 𝑟 (1.40)
𝑅′

dengan m adalah massa Bulan. Jarak 𝑅′ dapat dinyatakan dalam jarak


Bumi-Bulan, radius Bumi a, dan sudut  (sudut antara radius Bumi a ke
P dan sumbu Bumi-Bulan) sebagai berikut:

Gambar 1.5. Geometri untuk menghitung potensial gravitasi Bulan


(massa m) pada jarak R dari pusat Bumi dan 𝑅′ dari titik sebarang P pada
permukaan Bumi. Perpotongan bidang orbital bulan dengan Bumi
ditampilkan sebagai elips dan koordinat sudut P adalah , ini dan 
diukur dalam bidang dari sumbu Bumi-Bulan. Pusat gravitasi sistem
adalah pada jarak b dari pusat Bumi, sedikit lebih kecil dari radius Bumi
a (Stacey, 1977).

23
(𝑅 ′ )2 = 𝑅2 + 𝑎2 − 2𝑎𝑅 cos  (1.41)

sedemikian sehingga orde kedua dalam kuantitas 𝑎/𝑅 adalah:

1 𝑎2 𝑎 3 𝑎2
(𝑅 ′ )−1
=𝑅 −1
(1 − + cos  + cos 2  + ⋯ ) (1.42)
2 𝑅2 𝑅 2 𝑅2

Untuk menjabarkan Persamaan (1.40), Beberapa hubungan trigonometri


berikut dapat dimanfaatkan:

cos  = sin 𝜃 cos  (1.43)

dan
𝑟 2 = 𝑏2 + (𝑎 sin 𝜃 )2 − 2𝑏 (𝑎 sin 𝜃 ) cos 
= 𝑏2 + 𝑎2 𝑠𝑖𝑛2 𝜃 − 2𝑏𝑎 cos  (1.44)
𝑚
dimana 𝑏 = 𝑀+𝑚 𝑅. (1.45)

Hubungan antara kecepatan sudut orbital L dan R diperoleh dengan


menyama-kan gaya sentripetal pada kedua benda dengan gaya tarik
gravitasinya:

𝜔𝐿2 𝑅2 = 𝐺 (𝑀 + 𝑚) (1.46)

yang merupakan kasus khusus dari hukum ketiga Kepler. Subtitusi


Persamaan (1.42), (1.44), (1.45), dan (1.46) pada Persamaan (1.40)
diperoleh:

24
𝐺𝑀 1 𝑚 𝐺𝑚𝑎2 3 1
𝑊=− (1 + 2 )− ( cos 2  − 2)
𝑅 𝑀+𝑚 𝑅3 2
1
− 2 𝜔𝐿2 𝑎2 sin2 𝜃 (1.47)

Suku pertama pada Persamaan (1.47) adalah sebuah konstanta, yang


merupakan nilai potensial gravitasi akibat Bulan di pusat Bumi, dengan
koreksi kecil yang timbul dari rotasi bersama. Suku kedua
merepresentasikan perubahan permukaan ekuipotensial ke bentuk
elipsoid prolate yang sejajar dengan sumbu Bumi-Bulan (Gambar 1.6).
(Catatan: elipsoid prolate berarti bahwa elipsoid berotasi di sekitar
sumbu mayornya). Rotasi Bumi dalam potensial ini bertanggung jawab
atas tejadinya pasang surut sehingga disebut sebagai potensial pasang
surut. Jadi rumusan potensial pasang surut secara umum dinyatakan
sebagai:

𝐺𝑚𝑎2 3 1
𝑊𝑧 = − 3
(2 cos 2  − 2) (1.48)
𝑅

Suku ketiga Persamaan (1.47) merupakan potensial rotasi titik P di


sekitar sumbu yang melalui pusat Bumi tegak lurus terhadap bidang
orbital. Potensial ini bertanggungjawab untuk perubahan elipsoid oblate
(elipsoid berotasi di sekitar sumbu minornya) dari permukaan
ekuipotensial. Potensial ini lebih besar dengan faktor hampir 30 dari
eliptisitas akibat Wz, tetapi tidak mempunyai efek pasang surut karena

25
berkaitan dengan rotasi aksial dan hanya menjadi bagian dari
penambahan rotasi khatulistiwa.
Jika Bumi merupakan sebuah benda yang kaku, maka variasi
pasang surut dalam gravitasi akan diberikan oleh variasi radial dalam Wz.

𝜕𝑊𝑧 𝐺𝑀𝑎
∆𝑔 = − = 3 (3 cos 2  − 1) (1.49)
𝜕𝑎 𝑅

dan komponen variasi sudut diberikan oleh:

1 𝜕𝑊𝑧 3 𝐺𝑀𝑎
∆𝑔 = − =− sin 2 (1.50)
𝑎 𝜕 2 𝑅3

Terkait dengan gravitasi g pada Bumi yang tak terganggu (massa M):

𝐺𝑀
𝑔=− (1.51)
𝑎2

perubahan fraksi pada intensitas medan gravitasi adalah

Gambar 1.6. Gaya-gaya pasang


surut akibat Bulan (atau
Matahari). Terlepas dari jeda
fase karena proses disipatif,
polanya simetris terhadap garis
Bumi-Bulan (atau Matahari).

26
∆𝑔 𝑚 𝑎 3
= − ( ) (3 cos 2  − 1) (1.52)
𝑔 𝑀 𝑅

Pembahasan berikut ini dimulai dengan tinjauan efek pasang surut


yang ditimbulkan oleh Bulan dan Matahari secara terpisah, dan
dilanjutkan dengan pengaruh kombinasi Bulan dan Matahari terhadap
pasang surut.

1.7.1. Periodisitas Pasang Surut Bulan

Sistem Bumi-Bulan berputar di sekitar pusat massa bersama di dekat


Bumi karena massa Bulan lebih kecil (sekitar 1/81 kali massa Bumi).
Karena sistem Bumi-Bulan berputar di sekitar pusat massa bersama
antara benda-benda langit, gaya sentrifugal pada permukaan terestrial
yang paling dekat dengan Bulan adalah kecil, dan gaya sentrifugal ini
dijumlahkan dengan gaya tarik karena mempunyai arah vektor gaya yang
sama. Pada sisi Bumi yang berlawanan, gaya sentrifugal berlawanan
dengan gaya tarik, dan resultan gaya-gaya ini menciptakan pasang tinggi
di sisi berlawanan dari planet ini, seperti yang disajikan pada Gambar 1.7
(Amarante & Trabanco, 2016).

Pasang surut ekstrem tidaklah sama di setiap lintang. Hal ini terjadi
karena adanya variasi sudut antara sumbu rotasi Bumi dan orbit Bulan
(Gambar. 1.8). Pada Gambar 1.8 terlihat bahwa di ekuator A pasang surut
yang terjadi adalah semi-diurnal (dengan dua puncak per hari) dan
besarnya sama. Pada lintang menengah B, terdapat dua pasang

27
Gambar 1.7. Pasang surut akibat interaksi Bumi-Bulan, diadopsi dari
Amarante & Trabanco (2016).

surut, tetapi pasang yang terjadi pada satu sisi lebih tinggi dari pasang
pada sisi yang lain. Pada garis lintang C serta pada lintang yang lebih
tinggi lainnya hanya ada satu pasang-surut per hari atau disebut pasang-
surut diurnal. Perbedaan ketinggian antara dua pasang-tinggi atau atau
dua pasang-rendah berturut-turut disebut ketidaksetaraan diurnal. Antara
kedua ujung lintang (A atau B atau C) pasang surut berosilasi pada
periode sekitar 12 jam dan 24 menit. "12 jam" disebabkan oleh rotasi
Bumi, dan "24 menit" adalah akibat keterlambatan harian yang
disebabkan oleh orbit bulan yang memiliki siklus 29,5 hari.

28
Gambar1.8. Rotasi bumi di
sekitar sebuah sumbu yang
condong ke bidang orbital Bulan
memperlihatkan pasang surut
yang asimetri atau ketimpangan
pasang surut, yang mendefinisi-
kan komponen pasang surut
diurnal (Stacey, 1977).

Koreksi pasang-surut dalam gravitasi akibat gaya tarik dan rotasi


Bulan disusun dengan merujuk penurunan Persamaan (1.49), hanya saja
ada penambahan untuk orde yang lebih tinggi:

𝐺𝑀𝐿 𝑎
∆𝑔𝐿 = (3 cos 2 𝐿 − 1)
𝑅𝐿2
3 𝐺𝑀𝐿 𝑎2
+ (5 cos 3 𝐿 − 3 cos 𝐿 ) (1.53)
2 𝑅𝐿4

dimana:
subskrip L menandakan lunar (atau Bulan)
ML massa Bulan = 7,34581119761 x 1023 kg (data IERS)
a jarak titik P ke pusat Bumi
RL jarak antara pusat Bumi dan Bulan
𝐿 sudut zenith Bulan yang dinyatakan oleh:

29
cos 𝐿 = sin 𝜑 sin 𝐼 sin 𝑙
𝐼
+ cos 𝜑 (cos 2 cos(𝑙 − )
2
𝐼
+ sin2 cos(𝑙 + )) (1.54)
2

dengan I adalah sudut antara orbit Bulan dan ekuator selestial, l lintang
Bulan pada orbitnya.𝜑 bujur pada titik P, dan  kenaikan ke kanan
meridian pengamatan.

1.7.2. Pasang Surut Matahari

Matahari juga memiliki pengaruh terhadap pasang surut. Teori


pasang surut Matahari dapat diikuti dengan cara yang identik dengan
pasang surut Bulan dengan kembali menerapkan prinsip "revolusi tanpa
rotasi." Massa Matahari 333.000 kali lebih besar dari Bumi, jadi pusat
massa bersama dekat dengan pusat Matahari, yaitu pada jarak radial
sekitar 450 km dari pusatnya. Periode revolusi adalah satu tahun.
Sebagaimana pada pasang surut Bulan, ketidakseimbangan antara
percepatan gravitasi Matahari dan percepatan sentrifugal akibat revolusi
bersama menyebabkan sebuah deformasi pasang surut elipsoid prolate.
Efek matahari lebih kecil dari efek yang ditimbulkan oleh Bulan.
Meskipun massa Matahari jauh lebih besar daripada Bulan, jaraknya dari
Bumi juga jauh lebih besar dan, karena percepatan gravitasi bervariasi

30
secara terbalik dengan kuadrat jarak, efek pasang surut maksimum
Matahari hanya sekitar 45% dari efek yang ditimbulkan oleh Bulan.

Koreksi pasang-surut dalam gravitasi akibat interaksi Bumi-


Matahari sama seperti ditunjukkan pada Persamaan (1.49):

𝐺𝑀𝑆 𝑎
∆𝑔𝑆 = (3 cos 2 𝑆 − 1) (1.55)
𝑅𝑆2

dimana:
subskrip S menandakan Sun (atau Matahari)
MS massa Matahari = 1,9884158 x 1030 kg (data IERS)
a jarak titik P ke pusat Bumi
RS jarak antara pusat Bumi dan Matahari
𝑆 sudut zenith Matahari yang dinyatakan oleh:

cos 𝑆 = sin 𝜑 sin 𝜔𝑡 sin 𝑙𝑆


𝜔𝑡
+ cos  (cos 2 cos(𝑙𝑆 − 𝑆 )
2
𝜔𝑡
+ sin2 cos(𝑙𝑆 + 𝑆 )) (1.56)
2

dengan I adalah kemiringan ekliptika pada 1 Januari 1900.=


23𝑜 27′ 08.26" 𝑙𝑆 garis bujur Matahari dalam elips dihitung dari Equinox
Vernal,.𝜑 bujur pada titik P, dan 𝑆 kenaikan ke kanan meridian
pengamatan dihitung dari Vernal Equinox.

31
1.7.3. Pasang Purnama dan Perbani (Spring and Neap Tides)

Superposisi dari pasang surut Bulan dan Matahari menyebabkan


modulasi amplitudo pasang surut. Bidang ekliptika ditentukan oleh orbit
Bumi di sekitar Matahari. Orbit Bulan di sekitar Bumi tidak persis di
ekliptika tetapi condong pada sudut yang sangat kecil sekitar 5 o terhadap
bidang ekliptika tersebut. Untuk diskusi tentang kombinasi pasang surut
Bulan dan Matahari, kita dapat menganggap orbitnya adalah coplanar.
Bulan dan Matahari masing-masing menghasilkan deformasi pasang
surut Bumi, tetapi orientasi relatif elipsoid ini bervariasi selama satu
bulan (Gambar 1.9). Saat konjungsi, Bulan (baru) berada di sisi Bumi
yang sama dengan Matahari, dan deformasi elipsoid menambah satu
sama lain. Hal yang sama terjadi setengah bulan kemudian di sisi Bumi
yang berlawanan (oposisi), yaitu ketika Bulan (purnama) berada di sisi
Bumi yang berlawanan dari Matahari. Pasang yang sangat tinggi di
oposisi dan konjungsi disebut pasang purnama. Fenomena ini dikenal
juga sebagai pasang syzygy (syzygy tide) yang terjadi ketika Bumi,
Matahari, dan Bulan berada dalam satu garis yang sama (Bulan Purnama
dan Bulan Baru). Selama periode ini, variasi antara pasang tinggi dan
pasang rendah adalah yang terbesar.

Sebaliknya, pada saat bulan kuarter (yaitu ketika bumi, bulan dan
Matahari membentuk sudut tegak lurus), separuh atau berkurangnya
separuh Bulan menyebabkan deformasi elipsoid prolate dalam fase yang
berbeda dengan deformasi matahari. Pasang Bulan maksimum

32
Gambar 1.9. Deformasi orientasi pasang surut Bulan dan matahari
terha-dap Bumi pada fase bulan yang berbeda. Simbol m menyata-kan
Moon (atau Bulan), dan E menyatakan Earth (Bumi) (Lowrie, 2007).

bertepatan dengan pasang Matahari minimum, dan efeknya saling


membatalkan satu sama lain. Pasang yang sangat rendah di Bulan kuarter
pertama dan ketiga disebut pasang perbani (neap tide). Superposisi

33
pasang surut Bulan dan Matahari menyebabkan modulasi amplitudo
pasut selama satu bulan (Gambar 1.10). Fenomena ini disebut juga
pasang quadrature yang terjadi ketika Bumi, Bulan, dan Matahari
membentuk sudut tegak lurus.

Gambar 1.10. Penggambaran skematis dari modulasi amplitudo pasang


surut sebagai akibat dari superposisi pasang surut Bulan dan Matahari
(Lowrie, 2007).

Koreksi pasang-surut total dalam gravitasi akibat interaksi Bulan


dan Matahari terhadap Bumi adalah:

𝑔𝑡𝑖𝑑𝑒 = 𝑔𝐿 + 𝑔𝑆 (1.57)

34
dengan 𝑔𝑡𝑖𝑑𝑒 adalah koreksi pasang surut total, 𝑔𝐿 koreksi pasang
surut Bulan (Persamaan 1.53), dan 𝑔𝑆 koreksi pasang surut Matahari
(Persamaan 1.55).

Pasang surut memiliki efek pada pengukuran gravitasi yang


dilakukan di Bumi. Efek gabungan dari Matahari dan Bulan
menyebabkan akselerasi di permukaan Bumi sekitar 0,3 mgal, yang
sekitar dua pertiganya disebabkan oleh Bulan dan sepertiga dari
Matahari. Instrumen modern sensitif yang digunakan untuk eksplorasi
gravitasi dapat dengan mudah mendeteksi perbedaan gravitasi 0,01 mgal.
Hal ini diperlukan untuk mengkompensasi pengukuran gravitasi untuk
efek pasang surut, yang bervariasi sesuai dengan lokasi, tanggal dan
waktu. Untungnya, teori pasang-surut telah berkembang dengan sangat
baik sehingga efek gravitasi dapat dihitung dan ditabulasikan untuk
setiap tempat dan waktu sebelum memulai suatu survei.

1.8. Rangkuman

Gravitasi normal akan diamati pada elipsoid referensi. Elipsoid


referensi yang digunakan saat ini merupakan bagian dari Sistem
Referensi Geodetik GRS80 yang digunakan pada Sistem Geodetik Dunia
WGS84. Gravitasi normal untuk mana survei-survei gravitasi dilakukan
merujuk pada persamaan yang telah ditetapkan oleh The International
Association of Geodesy (IAG) tahun 1980 (Jacoby & Smilde, 2009):

35
𝑔𝑛 (∅) = 978023,7(1 + 0,0053024 sin2 ∅𝑔
−0,0000058 sin2 2∅𝑔 ) 𝑚Gal (1.58)

Persamaan (1.58) memperlihatkan bahwa semakin tinggi posisi


lintangnya maka semakin besar percepatan gravitasi normal. Jadi medan
gravitasi Bumi cenderung bertambah besar ke arah kutub.
Elipsoid referensi internasional adalah sebuah perkiraan dekat
terhadap permukaan ekuipotensial dari gravitasi, tetapi perkiraan ini
sesungguhnya sebuah kesepakatan pendekatan matematis, dimana belum
disepakati wujud fisiknya berdasarkan distribusi massa sebenarnya di
dalam Bumi. Permukaan ekuipotensial secara fisik disebut geoid yang
mencerminkan distribusi massa yang sebenarnya di dalam Bumi dan
sedikit berbeda dari elipsoid teoretis. Jauh dari daratan, geoid ini sesuai
atau berhimpit dengan permukaan lautan yang bebas, tidak termasuk
efek-efek gangguan pasang surut dan angin yang bersifat sementara. Di
atas benua, geoid dipengaruhi oleh massa tanah di atas permukaan laut
rata-rata.
Pasang surut memiliki efek pada pengukuran gravitasi yang
dilakukan di Bumi. Efek gabungan dari Matahari dan Bulan
menyebabkan akselerasi di permukaan Bumi sekitar 0,3 mgal, yang
sekitar dua pertiganya disebabkan oleh Bulan dan sepertiga dari
Matahari. Teori pasang-surut telah berkembang dengan sangat baik
sehingga efek gravitasi dapat dihitung dan ditabulasikan untuk setiap
tempat dan waktu sebelum memulai suatu survei.

36
Referensi
Amarante, R. R., Trabanco, J. L. A., (2016), Calculation of the tide
correction used in gravimetry, Revista Brasileira de Geofisica 34(2),
pp.193-206.
Dubey, C.P.; Tiwari, V.M., 2016, Computation of the gravity field and
its gradient: Some applications. Comput. Geosci., Vol. 88, pp. 83–96.
Jacoby, W., Smilde, P. L. (2009), Gravity interpretation: Fundamentals
and application of gravity inversion and geological interpretation, Berlin:
Springer.
Jahandari H, Farquharson CG, 2013, Forward modeling of gravity data
using finite-volume and finite-element methods on unstructured grids,
Geophysics, Vol. 78 (3), pp 69-80.
LaFehr TR, Nabighian MN, 2012, Fundamentals of Gravity Exploration,
Tulsa: Society of Exploration Geophysicists.
Lowrie, W., 2007, Fundamentals of geophysics, New York: Cambridge
University Press.
Lerch, F. J., Klosko, S. M., Laubscher, R. E., and Wagner, C. A., 1979,
Gravity model improvement using Geos 3 (GEM 9 and 10), Journal of
Geophysical Research.
Safani, J., 2000, Analisis Anomali Medan Gravitasi di Atas Sferoid
Referensi, Thesis S-2, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Stacey, F.D., 1977, Physics of the Earth, New York: Wiley, c1977.
Tenzer, R., Foroughi, I., Hirt, C., Novák, P., and Pitoňák, M., 2019,
How to Calculate Bouguer Gravity Data in Planetary Studies, Surveys
in Geophysics, Vol. 40, pp. 107–132.

37
BAB II

PENGUKURAN DATA
GRAVITASI
2.1. Pendahuluan: Satuan-Satuan Gravitasi

Pengukuran percepatan akibat gravitasi pertama kali dilakukan oleh


Galileo dalam sebuah eksperimen yang sangat terkenal, dimana ia
melepaskan benda dari ujung Menara Pisa. Nilai normal gravitasi g pada
permukaan bumi adalah 980 cm/s2. Untuk penghormatan terhadap
Galileo, satuan c.g.s dari percepatan akibat gravitasi adalah Gal, dimana
1 Gal = 1 cm/s2.

Peralatan gravity-meter (gravimeter) modern dapat mengukur


variasi yang sangat kecil dari percepatan gravitasi. Pengukuran dapat
dilakukan dalam miliGal (1 mGal = 10-3 Gal) dan mikroGal (1Gal = 10-
6
Gal). Dalam Satuan Internasional SI, percepatan gravitasi diukur dalam
m/s2, yang selanjutnya disebut unit gravitasi (g.u), dimana 1 g.u. = 0,1

38
mGal (10 g.u. = 1 mGal). Namun unit gravitasi (g.u.) belum diterima
secara universal dan ‘mGal’ serta ‘Gal’ masih lebih umum digunakan.

2.2. Ragam Pengukuran Data Gravitasi

2.2.1. Gravitasi Mutlak

Penentuan percepatan gravitasi mutlak memerlukan prosedur


percobaan yang sangat hati-hati dan biasanya hanya dilakukan pada
kondisi laboratorium. Dua metode pengukuran yang digunakan, yaitu
metode benda jatuh dan metode pendulum ayun. Penjelasan yang lebih
terperinci tentang bagaimana gravitasi mutlak diukur diberikan oleh
Garland (1965) dan Netleton (1976) dalam Telford (1990).

Pada akhir abad ke-19, F.R. Helmut membangun Sistem Gravitasi


Wina di Austria berdasarkan pada pengukuran pendulum dengan akurasi
terestimasi relatif sebesar ± 10 mGal. Tahun 1909 sistem ini diganti oleh
Sistem Gravitasi Postdam (Jerman Timur), dengan akurasi relatif ± 3
mGal, yang mengoreksi Sistem Wina sebesar 16 mGal. Pada 1960-an,
diakui bahwa datum Potsdam tidak aktif sekitar 14 mGal, tetapi ini
masih merupakan datum yang digunakan secara internasional. Nilai
mutlak gravitasi juga telah ditentukan pada lokasi lain seperti Museum
Smithsonium (Washinton, USA), Biro Standar Nasional di Gaithersburg
(USA), Laboratorium Fisika Nasional di Teddington (Inggris), dan
Universidad Nationale de Colombia (Colombia), dan lain-lain. Pada

39
akhir 1950-an dan 1960-an serangkaian pengukuran gravitasi absolut di
seluruh dunia diintegrasikan dan dikenal sebagai International
Standardisation Gravity Net 1971 (IGSN 71). Sekitar 1900 situs di
seluruh dunia berada di jaringan ini, dimana setiap situs memiliki
perkiraan kesalahan standar kurang dari ±50 Gal, dengan koreksi 14
mGal di situs Potsdam. Dengan demikian dimungkinkan untuk mengikat
dalam survei gravitasi regional apa pun dengan nilai absolut dengan
merujuk pada IGSN 71 dan membentuk jaringan utama stasiun gravitasi
(Reynolds, 2011).

2.2.2. Gravitasi Relatif

Dalam eksplorasi gravitasi, penentukan nilai absolut gravitasi


biasanya tidak diperlukan. Hal yang umum dilakukan adalah pengukuran
variasi relatif gravitasi. Sebuah stasiun pangkalan atau base station (yang
dapat dikaitkan dengan IGSN 71) dipilih dan jaringan sekunder stasiun
gravitasi didirikan. Semua data gravitasi yang diperoleh di stasiun-
stasiun selama survei dikurangi relatif terhadap data gravitasi pada
stasiun pangkalan (Reynolds, 2011).

Jarak stasiun gravitasi sangat penting untuk interpretasi data


selanjutnya. Dalam survei regional, stasiun dapat ditempatkan dengan
kerapatan 2-3 per km2, dimana dalam eksplorasi hidrokarbon, kerapatan
stasiun dapat ditingkatkan menjadi 8-10 per km2. Dalam survei lokal
dimana diperlukan resolusi tinggi dari fitur-fitur dangkal, stasiun

40
gravitasi dapat ditempatkan pada grid dengan panjang sisi-sisi 5-50 m.
Dalam pekerjaan mikro-gravitasi, jarak stasiun bisa 0,5 m.

Pada survei gravitasi, untuk mencapai akurasi ±0,1 mGal, posisi


longitudinal gravimeter harus diketahui berada dalam jarak ±10 m, dan
elevasi berada dalam ±10 mm. Selanjutnya, dalam hubungannya dengan
pembacaan gravitasi berganda dan reduksi data presisi, data gravitasi
dapat diperoleh dalam ±1 Gal. Penyebab paling signifikan kesalahan
dalam survei gravitasi di zona darat adalah ketidakpastian ketinggian
stasiun. Di laut, kedalaman air diukur dengan mudah dengan
menggunakan sounders gema presisi tinggi. Posisi-posisi semakin baik
ditentukan oleh navigasi satelit; dan khususnya setelah munculnya
Global Positioning System (GPS), dengan perangkat kerasnya yang
ringkas dan waktu respons yang cepat, menghasilkan penetapan posisi
GPS menjadi lebih tepat. Ini terutama berlaku dengan mengacu pada
pengukuran gravitasi udara.

2.2.3. Pengukuran Gravitasi dari Satelit yang Mengorbit

Permukaan gravitasi ekuipotensial, geoid, dicirikan oleh undulasi


yang disebabkan oleh distribusi massa yang tidak homogen di Bumi.
Sampai saat ini, konstruksi model global geoid sangat melelahkan,
karena diperlukan penggabungan data dari berbagai sumber presisi
variabel. Pengukuran gravitasi permukaan yang dilakukan di darat atau
di laut ditambah dengan data dari sejumlah besar satelit yang mengorbit

41
Bumi. Satelit dalam orbit yang relatif rendah, beberapa ratus kilometer
di atas permukaan bumi, sekarang dapat digunakan bersama dengan
satelit GPS yang mengorbit pada ketinggian yang cukup tinggi (20.200
km) untuk mengukur medan gravitasi global dan geoid dengan presisi
beberapa orde lebih baik dari yang ada sebelumnya.

Pada tahun 2000 satelit Jerman CHAMP (Challenging Mini-satellite


Payload) dimasukkan ke dalam orbit yang hampir bundar dengan
ketinggian awal 450 km. Pada ketinggian ini atmosfer tipis masih mampu
memberikan tarikan, yang menurunkan ketinggian satelit sekitar 300 km
selama interval 5 tahun. Accelerometer sensitif pada satelit
memungkinkan koreksi untuk gaya-gaya non-gravitasi, seperti gaya ratik
atmosfer atau tekanan radiasi matahari. Penerima GPS (GPS receiver)
yang sangat presisi di papan satelit CHAMP, dengan menggunakan data
posisi hingga 12 buah GPS satelit secara bersamaan, memungkinkan
pengambilan posisi CHAMP dengan akurasi beberapa sentimeter.
Sedangkan orbit satelit sebelumnya dikompilasi dari banyak jalur yang
relatif pendek yang diukur ketika satelit dilihat dari stasiun bumi yang
berbeda, orbit CHAMP terus dilacak oleh satelit GPS. Gangguan kecil
dari orbit CHAMP dapat dilacak dan dimodelkan. Model-model medan
gravitasi bumi dan geoid global yang berasal dari data CHAMP sangat
ditingkatkan keakurasiannya dari model-model sebelumnya.

Berbasis pengalaman yang diperoleh dari CHAMP, sebuah proyek


gabungan Amerika-Jerman, Gravity Recovery and Climate Experiment

42
(GRACE), diluncurkan pada tahun 2002. Misi GRACE dilakukan
dengan menggunakan dua satelit yang hampir identik dalam orbit kutub
yang hampir melingkar (kecenderungan 89,5o ke ekuator). Pada awal
peluncurannya, kedua satelit ini ditempatkan sekitar 500 km di atas
permukaan Bumi. Satelit kembar ini masing-masing membawa
penerima-penerima GPS, yang memungkinkan penentuan posisi absolut
mereka di atas Bumi setiap saat. Satelit melakukan perjalanan bersama-
sama di bidang orbit yang sama, terpisah sekitar 220 km di sepanjang
lintasan mereka. Perubahan gravitasi di sepanjang orbit ditentukan
dengan mengamati perbedaan kecil dalam pemisahan dua satelit. Hal ini
dicapai dengan menggunakan sistem rentang gelombang mikro yang
sangat akurat. Setiap satelit membawa antena gelombang mikro yang
mentransmisikan gelombangnya dalam rentang frekuensi K-band
(panjang gelombang  1 cm) dan diarahkan secara akurat ke satelit
lainnya. Dengan sistem rentang ini, pemisahan kedua satelit dapat diukur
dengan presisi satu mikrometer (1 m).

Saat pasangan-satelit mengorbit Bumi, ia melintasi variasi-variasi


dalam medan gravitasi karena distribusi massa tidak homogen di Bumi.
Jika ada kelebihan massa, permukaan ekuipotensial tertarik atau
membesar ke atas, dan gravitasi ditingkatkan secara lokal. Satelit
pertama menemukan anomali ini pertama kali dan dipercepat menjauh
dari satelit kedua yang mengikutinya. Perubahan-perubahan kecil, di
sepanjang jarak antara dua satelit saat mereka bergerak di sepanjang

43
lintasan, terdeteksi oleh sistem rentang gelombang mikro yang akurat.
Satelit GRACE menyediakan pengukuran skala-besar dari medan
gravitasi dan menentukan geoid dari satu sumber. Selain itu, satelit
mengukur medan gravitasi sepenuhnya dalam waktu sekitar 30 hari.
Dengan demikian, perbandingan data dari survei suatu daerah dapat
mengungkapkan perubahan-perubahan gravitasi yang sangat kecil dan
bergantung waktu, misalnya perubahan-perubaha dari efek transien
seperti perubahan tingkat air tanah atau pencairan gletser di wilayah yang
diamati.

Hirt, dkk (2013) memberikan gambar resolusi sangat-tinggi yang


belum pernah terjadi sebelumnya terkait gravitasi bumi di semua benua
dan pulau-pulau dalam garis lintang 60 derajat. Medan gravitasi dengan
resolusi sangat-tinggi ini merupakan sebuah solusi terpadu berdasarkan
tiga konstituen kunci, yaitu gravitasi satelit GOCE/GRACE (yang
memberikan skala spasial dari kisaran 10000 km ke kisaran 100 km),
EGM2008 (dengan resolusi 100 km ke kisaran 10 km), dan gravitasi
topografik (skala resolusi dari kisaran 10 km ke kisaran 250 m). Hal ini
dapat dicapai karena keberadaan satelit baru untuk observasi-observasi
medan gravitasi Bumi dan keberadaan data elevasi topografi yang lebih
detail, serta penggunaan teknik komputasi paralel masif. Keberadaan
semua fasilitas ini memberikan gambaran gravitasi Bumi yang lebih
detail pada resolusi spasial sekitar 200 m.

44
Combinasi GRACE/GOCE/EGM2008 (GGE) saja hanya akan
memberikan medan gravitasi dengan resolusi spasial yang terbatas pada
kisaran 10 km. Solusi alternatif diperlukan untuk memperkirakan medan
gravitasi sinyal pada skala lebih pendek dari 10 km. Data topografi
resolusi tinggi secara luas dianggap sebagai kunci untuk pemodelan
gravitasi resolusi ultra-tinggi dan digunakan dengan sukses sebagai
sarana yang efektif untuk memperkirakan efek gravitasi skala pendek.
Ini karena medan gravitasi skala pendek didominasi oleh konstituen yang
dihasilkan oleh massa topografi yang nampak. Namun demikian,
estimasi medan gravitasi skala pendek ini memerlukan sumber daya
komputasi yang canggih.

Perpaduan GGE dan gravitasi topografik menghasilkan model


gravitasi global plus (GGMPlus) dengan resolusi sangat-tinggi.
Komponen-komponen GGMPlus terdiri dari percepatan gravitasi,
komponen radial medan gravitasi bumi (atau gravity disturbance) yang
merupakan data anomali gravitasi udara-bebas, komponen horisontal
medan gravitasi, dan quasigeoid.

45
2.3. Gravity Meter (Gravimeter)

Selama 50 tahun terakhir, sebagian besar pengukuran gravitasi


dilakukan menggunakan alat ukur (“meter”) dengan sistem pegas yang
tidak stabil (astatic). Survei gravitasi diperumit oleh fakta bahwa alat
ukur seperti itu mengukur perbedaan medan gravitasi, bukan kekuatan
medan absolut.

Sejak 1930-an, gravimeter tak-stabil (astatik) telah digunakan jauh


lebih luas daripada gravimeter stabil. Pada perangkat yang stabil, setelah
sistem terganggu, ia akan kembali ke posisi semula, sedangkan pada
perangkat yang tidak stabil sistem yang terganggu tersebut akan bergerak
lebih jauh dari posisi semula.

Sebagai contoh, jika sebuah pensil yang tergeletak mendatar di atas


meja diangkat pada salah satu ujungnya dan kemudian dibiarkan jatuh,
pensil itu akan kembali terletak mendatar di atas meja. Namun, jika
pensil mulai dengan diseimbangkan pada ujungnya, setelah terganggu
pensil akan jatuh; yaitu ia menjadi tidak stabil, daripada kembali ke
posisi semula. Poin utama dari ketidakstabilan adalah membesar-
besarkan sembarang gerakan, sehingga membuatnya lebih mudah untuk
diukur, dan inilah prinsip yang menjadi dasar gravimeter tak stabil.

46
2.3.1. Sistem Pegas Astatic

Berbagai model gravimeter menggunakan perangkat yang berbeda


untuk mencapai ketidakstabilan. Prinsip gravimeter astatik ditunjukkan
pada Gambar 2.1. Balok berengsel di satu ujung menopang massa di
ujung lainnya. Balok melekat pada pegas utama yang terhubung pada
ujung atasnya ke penyangga di atas engsel. Pegas mencoba menarik
balok ke atas berlawanan arah jarum jam dengan momen putarnya, yang
sama dengan gaya pemulih pegas dikalikan dengan jarak tegak lurus dari
engsel (d). Momen putar ini diimbangi oleh momen putar gravitasi yang
berupaya memutar balok searah jarum jam mengenai engsel dan sama
dengan berat massa (mg) kali panjang balok (l) dikalikan dengan kosinus
sudut balok dari horizontal (θ) (mis. mgl cos θ). Jika gravitasi berubah,
balok akan bergerak sebagai respons tetapi akan dipertahankan pada
posisi barunya karena pegas utama adalah pegas 'panjang nol'. Salah satu
keutamaan pegas tersebut adalah bahwa pegas tersebut dilakukan pra-
tegangan selama pembuatan sehingga tegangan pegas sebanding dengan
panjangnya. Ini berarti bahwa jika semua gaya dihilangkan dari pegas itu
akan kembali ke panjang-nol, sesuatu yang mustahil dalam praktiknya.
Keutamaan lain dari pegas panjang-nol adalah bahwa ia menghasilkan
instrumen yang linier dan sangat responsif terhadap berbagai nilai
gravitasi. Gravimeters astatik tidak mengukur pergerakan massa dalam
hal perubahan gravitasi, tetapi mengharuskan massa yang dipindahkan

47
Gambar 2.1. Gravimeter astatik. Tekanan pada pegas panjang-nol
sebanding dengan panjangnya. Pengukuran dilakukan dengan memutar
tombol penyetel, yang menaikkan atau menurunkan pegas pengukur
untuk mengembalikan massa ke posisi standar (Reynolds, 2011).

dikembalikan ke posisi nol dengan menggunakan mikrometer.


Pembacaan mikrometer dikalikan dengan faktor kalibrasi instrumental
untuk memberikan nilai gravitasi, biasanya hingga akurasi dalam 0,1 g.u.
(0,01 mGal) dan di beberapa perangkat spesialis hingga 0,01 g.u. (0,001
mGal = 1 μGal).

Sistem astatik menggunakan pegas utama panjang-nol (zero-length


spring). Pegas panjang-nol adalah pegas dimana tekanan sebanding
dengan panjang aktual pegas, dan jika semua gaya eksternal dihilangkan
pegas akan kembali ke panjang nol. Dengan geometri yang ditunjukkan

48
pada Gambar 2.1 dan untuk satu nilai medan gravitasi tertentu, pegas
akan mendukung lengan keseimbangan di posisi apa pun. Pada medan-
medan yang lebih kuat, pegas bantu yang jauh lebih lemah dapat
digunakan untuk mendukung peningkatan berat, yang sama dengan
perkalian total massa dan peningkatan medan gravitasi. Pegas panjang-
nol menarik beban konstan sedemikian sehingga pegas pengukuran dapat
merespons perubahan kecil dalam medan gravitasi.

Gravimeter yang diilustrasikan pada Gambar 2.2 menggunakan


sistem Gambar 2.1. Worden dan Sodin memiliki dua pegas bantu, yaitu
satu untuk penyesuaian halus dan satu untuk penyesuaian kasar, yang
melekat pada lengan penyeimbang dengan desain yang lebih rumit,
sedangkan pada gravimeter Scintrex (CG-3 dan CG-5) kekuatan pemulih
adalah elektrostatik. Gravimeter LaCoste tidak memiliki pegas bantu,
dan pengukuran dilakukan dengan menyesuaikan titik dukungan pegas
utama. Karena sistem pegas bersifat mekanis, ia dapat mengalami
penyimpangan (drift). Drift periode pendek sebagian besar disebabkan
oleh perubahan suhu yang mempengaruhi konstanta elastis pegas
meskipun perangkat kompensasi biasanya disertakan. Pembacaan
berulang di base station diperlukan untuk memantau drift dan untuk
memungkinkan koreksi yang perlu dihitung.

Meskipun gravimeter pada dasarnya tetap tidak berubah selama


hampir 50 tahun, gerakan besar dilakukan pada dekade terakhir abad dua

49
puluh menuju pembacaan otomatis dan mengurangi ketergantungan
kebutuhan terhadap operator terlatih. Gravimeter LaCoste & Romberg
Model G dan D dilengkapi dengan pembacaan elektronik, sedangkan
Scintrex CG-3 mempelopori koreksi dan pembacaan tilt otomatis.
Gravimeter LaCoste & Romberg kemudian secara total dirancang ulang
sebagai Graviton-EG yang sepenuhnya otomatis. Data logger juga telah

Gambar 2.2. Gravimeter ‘manual’. Dari kiri ke kanan: LaCoste &


Romberg tipe G (geodetic), Worden, dan Sodin (Reynolds, 2011).

50
ditambahkan pada gravimeter ini dan dapat langsung diunduh ke PC
laptop. Graviton-EG, CG-3 dan penggantinya (yaitu CG-5 Autograv)
juga cukup tangguh untuk dibawa ke lapangan tanpa memerlukan
tambahan pelindung.

Gravimeter LaCoste & Romberg Model G (Gambar 2.3)


menggunakan pegas baja. Selanjutnya diketahui bahwa baja mengantar-
kan panas dengan baik, dan hal ini tidak dapat diisolasi secara efektif,
dan oleh karenanya kontrol termostatik merupakan hal yang sangat
penting. Berat gravimeter LaCoste, sekitar 7 kg. Beberapa bentuk pengisi
daya diperlukan di lapangan karena satu pengisian daya hanya
berlangsung satu atau dua hari, tergantung pada pengaturan termostat
dan suhu eksternal. Selama dua atau tiga jam setelah mencapai suhu
operasi, penyimpangan (drift) menjadi sangat tinggi sehingga instrumen
tidak dapat digunakan. Drift kemudian sangat rendah, dan bahkan dapat
diekstrapolasi secara linier terhadap interval selama gravimeter menjadi
panas. Ini adalah bentuk utama drift dalam gravimeter LaCoste dan jika
itu terjadi lebih dari sebulan sekali, sebaiknya instrumen harus diperiksa
oleh pabrikan.
Dengan pegas dijepit, gravimeter LaCoste konon mampu bertahan
dari guncangan apa pun yang tidak merusak casing luar. Pegas ini juga
kurang terpengaruh oleh getaran dan sistem optik umumnya lebih jelas
daripada kebanyakan gravimeter kuarsa Worden dan Sodin. Bahkan
pengamat yang cukup berpengalaman hanya memiliki sedikit kesulitan

51
dalam mencapai akurasi 0,1 g.u., terutama jika dibantu oleh jarum
pengulang (repeater) elektronik.

Gambar 2.3 Kontrol-kontrol gravimeter LaCoste & Romberg Tipe G.


Perhatikan dua gelembung level pada sudut kanan, klem (Clamp) dan
tombol baca aluminium (reading dial). Penghitung digital (digital
counter) ada di belakang jendela kecil antara klem dan tombol baca.
Termometer, dilihat melalui jendela di depan klem, memonitor suhu
internal dan harus menunjukkan suhu pengoperasian yang telah
ditentukan sebelumnya jika instrumen ingin digunakan (Reynolds,
2011).

52
Keunggulan utama gravimeter LaCoste & Romberg Model G
(geodetik) dibanding gravimeter kuarsa Worden dan Sodin adalah bahwa
sekrup pengukur panjang tunggal digunakan untuk memberikan bacaan
tanpa pengaturan ulang (gravimeter LaCoste D, yang digunakan untuk
survei gayaberat mikro, mengorbankan keunggulan ini untuk
kepentingan presisi pembacaan yang lebih besar). Gravimeter LaCoste
& Romberg Model G dengan demikian memiliki keunggulan yang cukup
besar dibandingkan dengan gravimeter kuarsa, tetapi harganya lebih
mahal sekitar dua kali lipat.

2.3.2. Penyiapan Gravimeter

Gravimeter biasanya diletakkan di atas piringan cekung sebagai alas


yang ditopang oleh tiga tumpuan (kaki) pendek. Alas ini biasanya
ditekan kuat tetapi tidak terlalu dalam ke tanah. Permukaan bawah alas
piringan tidak boleh menyentuh tanah dan rerumputan tebal yang ada di
bawahnya mungkin harus dihilangkan sebelum bacaan dapat diambil.
Kaki ekstensi juga dapat digunakan tetapi pembacaan akan memakan
waktu lebih lama, dan ketinggian di atas tanah dari piringan tersebut juga
harus diukur.

Gravimeter itu sendiri bertumpu pada tiga kaki ulir sekrup yang
dapat disesuaikan dan diratakan (lihat Gambar 2.3), awalnya dengan
digerakkan di sekitar alas piringan sampai kedua gelembung-level

53
'melayang'. Ketidaksabaran untuk mempercepat tahap ini segera harus
dilawan.

Biasanya salah satu tombol level (mungkin cross-level) pada


gravimeter diatur sejajar dengan garis yang menghubungkan dua kaki
gravimeter tersebut. Penyesuaian pada kaki ketiga kemudian hampir
tidak mempengaruhi level ini. Metode leveling tercepat adalah dengan
memusatkan gelembung cross-level, menggunakan satu atau kedua dari
dua sekrup-kaki yang mengendalika cross-level tersebut, dan kemudian
menggunakan sekrup ketiga untuk mengatur long-level. Observer
berpengalaman sering menggunakan dua sekrup secara bersamaan tetapi
kemampuan untuk melakukan hal ini secara efisien hanya datang dengan
latihan.
Ketika gravimeter sudah mendapatkan kondisi level yang sesuai,
bacaan dapat diperoleh. Pada sebagian besar gravimeter, hal ini
dilakukan dengan memutar tombol bacaan (reading dial) terkalibrasi
untuk membawa sebuah pointer, yang terhubung ke sistem pegas, ke titik
tetap pada skala yang telah ditentukan. Karena penyejajaran agak
subyektif jika pointer dilihat langsung melalui lensa mata, semua bacaan
dalam satu loop harus dilakukan oleh pengamat yang sama. Hal subyektif
ini kemudian dihilangkan ketika bacaan dasar dikurangi. Subjektivitas
jauh berkurang ketika instrumen dilengkapi dengan repeater elektronik.

Merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan bahwa


gelembung level diperiksa ketika tombol bacaan sedang disesuaikan, dan

54
terutama segera setelah pembacaan yang dianggap memuaskan telah
diambil.

Semua sistem pengukuran mekanis akan mendapatkan dua hasil


bacaan yang berbeda (bahkan meskipun hal itu diambil dalam hitungan
detik satu sama lain) jika penyesuaian terakhir dilakukan dengan
putaran-putaran tombol bacaan yang berlawanan (tidak konsisten). Satu-
satunya cara untuk mengatasi hal ini adalah konsistensi yang sungguh-
sungguh dalam hal arah penyesuaian akhir.

2.3.3. Sistem Gravitasi Laut dan Udara

Sebelum tahun 1960, survei gravitasi laut dilakukan di kapal selam,


utamanya disebabkan oleh akselerasi berlebihan dari kapal-kapal
permukaan yang timbul dari keadaan laut yang kasar. Ketika platform
yang stabil dan sensor yang sangat teredam diperkenalkan, survei
gravitasi laut berbasis kapal selam tidak dilanjutkan lagi karena survei
permukaan terbukti lebih murah dan lebih mudah secara logistik. Di air
yang relatif dangkal, survei telah dilakukan dengan menggunakan
gravimeter daratan yang diletakkan dalam wadah tahan-air yang
diturunkan ke laut, dan selanjutnya instrumen dioperasikan dan dibaca
dari jarak jauh. Penggunaan gravimeter darat ini memerlukan instrumen
tambahan untuk ditempatkan di dasar laut untuk setiap stasiun di mana
pengukuran harus dilakukan, dan dengan demikian prosedurnya sangat
lambat. Adaptasi dari metode ini adalah dengan menggunakan

55
gravimeter laut, seperti LaCoste-Romberg Sea Gravity Meter, dimana
instrumen terhubung ke kapal induk melalui kabel koaksial yang
membawa sinyal gravimeter ke kapal (Reynolds, 2011). Namun, model
gravimeter ini juga masih harus diturunkan ke dasar laut untuk setiap
pengukuran. Komplikasi lebih lanjut dengan pengukuran dasar laut
termasuk kesulitan dalam menentukan koreksi medan lokal yang terkait
dengan topografi dasar laut. Adaptasi lebih lanjut dikembangkan oleh
Zumberge et al. (1997) di mana gravimeter laut LaCoste & Romberg
Model S yang disesuaikan dimasukkan di dalam rumah bertekanan
berbentuk bola dan dipasang pada platform selam yang dapat ditarik
tepat di atas dasar laut dengan kecepatan 0,5-1,0 m/s (1-2 knot), dengan
demikian terjadi peningkatan kecepatan pengukuran yang bisa diperoleh
(Gambar 2.4) relatif terhadap survei dasar laut.

Metode lain juga telah dikembangkan untuk menyebarkan


gravimeter resolusi tinggi ke dasar laut, seperti ROVDOG (Gravimeter
laut dalam yang dikerahkan oleh kendaraan dan dioperasikan secara
jarak jauh), yang pengembangannya didasarkan pada gravimeter-darat
Scintrex SG-3 yang dipasang pada gimbal dalam suatu rumah kedap air
yang mampu menahan tekanan air dengan kedalaman 4500 m (Reynolds,
2011). Standar deviasi pengukuran yang dicapai adalah 19 μGal dan
akurasi posisi (tekanan air diturunkan) 0,78 m. Sejak itu, standar deviasi
seri diam 11 hari sebesar 1,1 μGal telah dicapai dengan sistem ini
(Reynolds, 2011).

56
ZLS Dynamic MeterTM telah diperkenalkan secara komersial oleh
Austin Exploration Inc sebagai instrumen gravitasi udara dan kapal yang
baru. Menurut pabrikannya, ia dirancang untuk menghilangkan
kesalahan cross-coupling, penyesuaian damper (peredam) yang sering,
dan masalah sensitivitas getaran yang terkait dengan gravimeter tipe-
beam. Akurasinya di laut biasanya kurang dari 1 mGal dan memiliki
kisaran 7000 mGal, dan untuk sistem udara kisarannya adalah 10.000
mGal. Seperti banyak sistem lain, sistem ini juga menggunakan platform
UltraSysTM dan fungsi kontrol sensor (Reynolds, 2011).

Dalam dua puluh tahun terakhir beberapa teknologi militer telah


dideklasifikasi untuk keperluan sipil, memungkinkan pemanfaatan
teknologi yang signifikan tersedia secara komersial. Sebagai contoh,
sebuah sistem yang dikembangkan oleh pemerintah AS dan Lockheed
Martin Federal Systems sebagai sistem navigasi siluman untuk kapal
selam bertenaga nuklir kelas Trident telah dimodifikasi untuk digunakan
dalam eksplorasi hidrokarbon dan mineral. Instrumen ini adalah
gradiometer gravitasi, biasanya beratnya sekitar 450 kg dan menelan
biaya beberapa juta dolar, dan biasanya dipasang pada bagian paling
stabil dari interior pesawat (Reynolds, 2011).

57
Gambar 2.4. (A) Diagram blok dari gravimeter derek dan (B) ilustrasi skematis
yang menunjukkan komponen eksterior utama. Gravimeter yang digunakan
adalah LaCoste & Romberg Model S yang dimodifikasi. Reynolds (2011).

Gradiometer Lockheed Martin juga telah melahirkan turunan lain


untuk bersaing dengan FALCON. Pada Februari 2003, Bell Geospace
mengumumkan komersialisasi sistem Air-FTGTM-nya yang didasarkan
pada sistem akuisisi Full Tensor Gradient (3-D FTG) Bell Geospace.
Sistem 3-D FTG mengukur tiga vektor gravitasi (dalam arah x, y dan z)
dan tiga tensor untuk setiap vector, dimana masing-masing vektor

58
memiliki tiga komponen koordinat (Gx, Gy dan Gz;). Dengan mengukur
laju perubahan tiga komponen vektor gravitasi, gradien tensor diperoleh.
Ini menghasilkan sembilan komponen yang diukur. Namun, dari
Sembilan komponen tersebut, lima gradien independen dan empat
gradien tak dimanfaatkan. Arah x mengukur gradien timur-barat, arah y
utara-selatan. Arah z mengukur gravitasi vertikal dan paling dekat
mewakili struktur geologi. Sistem 3-D FTG Bell Shipborn pertama kali
digunakan dalam survei komersial pada tahun 1999. Secara fisik sistem
akuisisi terdiri dari tiga cakram putar (instrumen gradiometer gravitasi,
GGI) yang masing-masing berisi dua pasang akselerometer yang
dipasang secara ortogonal. Setiap GGI diputar pada frekuensi yang
ditetapkan untuk menghindari bias dalam pengukuran ke arah komponen
utama. Perbedaan dalam medan gravitasi yang terindera oleh masing-
masing pasangan akselerometer digunakan untuk mengimbangi sebagian
besar turbulensi yang dialami oleh pesawat. Ini juga membantu
mempertahankan sinyal frekuensi tinggi yang diperlukan untuk
memberikan kualitas data yang diperlukan untuk eksplorasi mineral.
Sistem FTG biasanya diposisikan dekat dengan pusat pitch, roll dan yaw
pesawat (seperti pesawat Cessna Grand Caravan 208B), sehingga
meminimalkan akselerasi rotasi. Survei dengan peswat yang terbang
dengan ketinggian serendah 80 m dan jarak garis dalam rentang 50 m
hingga 2000 m biasa terjadi, tergantung pada jenis target dan model
survei yang dilakukan.

59
Sistem gradiometer Lockheed Martin juga telah menghasilkan entri
baru lainnya ke arena gradiometri gravitasi udara dalam bentuk sistem
FTG yang dimodifikasi berdasarkan pada sebuah massa bukti (proof
mass)/ massa uji superkonduktor yang melayang. Prinsip sistem ini
bergantung pada fakta bahwa massa bukti superkonduktor dapat
diangkat dengan melewati arus melalui kumparan dekat dengan
permukaannya dalam modul yang dioperasikan pada 269o C. Gerakan
massa yang diangkat itu kemudian dapat dipantau dan dikendalikan
tanpa komplikasi keterikatan fisik yang diperlukan untuk membatasi
gerakan pegas. Keuntungan dari sistem ini adalah bahwa ia harus
memiliki sensitivitas, resolusi dan stabilitas yang belum pernah terjadi
sebelumnya, dipostulasikan oleh pengembangnya untuk menjadi
perangkat alat yang lebih sensitif daripada sistem saat ini. Sebagaimana
diketahui bahwa Gradiometer Eksplorasi Gravitasi (EGG) memasuki
layanan komersial pada kuartal pertama tahun 2006 yang dioperasikan
oleh Fugro Airborne Surveys atas nama pengembangnya ARKex,
Cambridge, Inggris.

2.3.4. Pengecekan Gravimeter

Serangkaian pemeriksaan harus dilakukan setiap hari sebelum


memulai pekerjaan survei rutin. Gravimeter pertama-tama harus diberi
ketukan lembut, misalnya dengan menggunakan pensil, di antara tombol-

60
tombol pembacaan sampai nilai konstan dicatat. Metode ini juga dapat
digunakan jika pointer 'menempel' di satu sisi skala.

Sistem leveling kemudian harus diperiksa. Karena sistem astatik


bersifat asimetris, efek dari kesalahan leveling tergantung pada arah
kemiringan. Sedikit kesalahan leveling dengan sudut kemiringan tertentu
memberikan pembacaan medan gravitasi dikalikan dengan cosinus sudut
kemiringan (kesalahan sekitar 0,015 mGal untuk kemiringan 0,01o ).
Cross-level yang disesuaikan dengan tepat akan mereduksi kesalahan
pembacaan, tanpa memperhatikan arah offset.

2.3.5. Kalibrasi Gravimeter

Pembacaan pada gravimeter non-otomatis biasanya merupakan


kombinasi nilai yang dibaca dari tombol dan angka yang ditampilkan
pada penghitung mekanis. Sensitivitas dari sebagian besar gravimeter
sedemikian rupa sehingga angka akhir pada tombol putaran sesuai
dengan kisaran 0,01 mGal.

Hasil pembacaan dikonversi ke satuan gravitasi dengan


menggunakan faktor kalibrasi yang spesifik untuk masing-masing
instrumen. Faktor kalibrasi biasanya diberikan oleh pabrikan dalam
miligal, bukan g.u., per bagian skala dan melibatkan penyisipan titik
desimal di suatu tempat pada hasil pembacaan. Faktor kalibrasi tidak
dipengaruhi oleh perubahan pada sensitivitas pembacaan tetapi dapat
berubah perlahan seiring waktu dan harus diperiksa secara teratur. Ini

61
dapat dilakukan oleh pabrikan atau dengan menggunakan rentang
kalibrasi dari interval gravitasi yang diketahui. Rentang kalibrasi
biasanya melibatkan perubahan gravitasi sekitar 50 mGal, yang berada
dalam kisaran bahkan pada rentang meter paling terbatas, dan hampir
selalu memanfaatkan perubahan cepat medan gravitasi terhadap
ketinggian.

2.4. Koreksi Drift

Gravimeter berubah nilai pembacaan nol-nya secara gradual


terhadap waktu. Penyimpangan ini biasanya disebabkan oleh penjalaran
perlahan-lahan pada pegas. Namun demikian, instrument-instrumen
modern saat ini memiliki drift yang sangat kecil.

Hasil dari efek drift adalah pembacaan berulang di satu stasiun


memberikan nilai-nilai yang berbeda. Koreksi drift dilakukan dengan
mengukur kembali beberapa stasiun dalam satu lintasan tertutup (loop).
Waktu maksimum antara pembacaan berulang tergantung pada
keakuratan yang diinginkan, tetapi biasanya 3 atau 4 jam. Selanjutnya,
koreksi drift yang diperoleh digunakan untuk mengoreksi pembacaan
gravimeter pada tiap-tiap stasiun (Telford dkk, 1990). Perubahan hasil
pengukuran dalam suatu lintasan tertutup tersebut dianggap linier
terhadap waktu, secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:
tn- tawal
(∆𝑔𝐷𝐶 )𝑛 = (g - g ) (mGal) (2.1)
takhir- tawal akhir awal

62
dimana (∆𝑔𝐷𝐶 )𝑛 adalah koreksi drift pada stasiun n, gawal nilai gravitasi
observasi di stasiun awal, gakhir nilai gravitasi di stasiun akhir, tawal waktu
pengamatan di stasiun awal, takhir waktu pengamatan di stasiun akhir, dan
tn waktu pengamatan di stasiun n.

2.5. Koreksi Pasang-Surut

Dalam praktiknya, koreksi pasang surut atau koreksi tidal dilakukan


dengan cara mengukur nilai gravitasi di stasiun base pada interval waktu
tertentu. Kemudian bacaan gravimeter tersebut diplot terhadap waktu
agar menghasilkan suatu persamaan yang digunakan untuk menghitung
koreksi tidal. Nilai koreksi tidal (Persamaan (1.53) atau (1.57)) selalu
ditambahkan pada pembacaan gayaberat.

gt = gobs + (∆𝑔tidal) (2.2)

2.6. Rangkuman

Jarak stasiun gravitasi sangat penting untuk interpretasi data


gravitasi. Dalam survei regional, stasiun dapat ditempatkan dengan
kerapatan 2-3 per km2, dimana dalam eksplorasi hidrokarbon, kerapatan
stasiun dapat ditingkatkan menjadi 8-10 per km2. Dalam survei lokal
dimana diperlukan resolusi tinggi dari fitur-fitur dangkal, stasiun

63
gravitasi dapat ditempatkan pada grid dengan panjang sisi-sisi 5-50 m.
Dalam pekerjaan mikro-gravitasi, jarak stasiun bisa 0,5 m.

Saat ini peralatan dan teknik pengukuran medan gravitasi telah


berkembang dengan pesat. Peralatan dengan sensitivitas dan presisi
tinggi, tidak saja dikembangkan untuk pengukuran permukaan darat saja,
tetapi juga telah merambah hingga pengukuran gravitasi di dasar laut dan
bahkan dari satelit yang mengorbit. Untuk pengukuran di permukaan
darat, gravimeter LaCoste & Romberg Model G (geodetik) memiliki
keunggulan dibanding gravimeter kuarsa Worden dan Sodin adalah
bahwa sekrup pengukur panjang tunggal digunakan untuk memberikan
bacaan tanpa pengaturan ulang. Gravimeter LaCoste D, yang digunakan
untuk survei gravitasi mikro, mengorbankan keunggulan ini untuk
kepentingan presisi pembacaan yang lebih besar. Gravimeter LaCoste &
Romberg Model G dengan demikian memiliki keunggulan yang cukup
besar dibandingkan dengan gravimeter kuarsa, tetapi harganya lebih
mahal sekitar dua kali lipat.

Untuk pengukuran di laut, para peneliti dapat menggunakan


gravimeter laut LaCoste & Romberg Model S yang dimasukkan di dalam
rumah bertekanan berbentuk bola dan dipasang pada platform selam
yang dapat ditarik tepat di atas dasar laut dengan kecepatan 0,5-1,0 m/s
(1-2 knot). Selain itu Metode lain juga telah dikembangkan untuk
menyebarkan gravimeter resolusi tinggi ke dasar laut, seperti ROVDOG
(Gravimeter laut dalam yang dikerahkan oleh kendaraan dan

64
dioperasikan secara jarak jauh), yang dipasang pada gimbal dalam suatu
rumah kedap air yang mampu menahan tekanan air dengan kedalaman
4500 m. Standar deviasi pengukuran yang dicapai adalah 19 μGal dan
akurasi posisi (tekanan air diturunkan) 0,78 m.

Pengukuran dengan satelit yang mengorbit yang berkembang saat


ini dikenal dengan istilah gravitasi global plus (GGMPlus) dengan
resolusi sangat-tinggi. Komponen-komponen GGMPlus terdiri dari
percepatan gravitasi, komponen radial medan gravitasi bumi (atau
gravity disturbance) yang merupakan data anomali gravitasi udara-
bebas, komponen horisontal medan gravitasi, dan quasigeoid.

Koreksi drif diperlukan karena gravimeter berubah nilai pembacaan


nol-nya secara gradual terhadap waktu. Penyimpangan ini biasanya
disebabkan oleh penjalaran perlahan-lahan pada pegas. Koreksi drift
dilakukan dengan mengukur kembali beberapa stasiun dalam satu
lintasan tertutup (loop), perhitungannya dapat dilihat pada Persamaan
(2.1). Koreksi drift yang diperoleh digunakan untuk mengoreksi
pembacaan gravimeter pada tiap-tiap stasiun.

65
Referensi
Hirt, C, S.J. Claessens, T. Fecher, M. Kuhn, R. Pail, M. Rexer (2013),
New ultra-high resolution picture of 2 Earth's gravity field, Geophysical
Research Letters, Vol 40, doi: 10.1002/grl.50838.
LaFehr TR, Nabighian MN, 2012, Fundamentals of Gravity
Exploration, Tulsa: Society of Exploration Geophysicists.
Reynolds, J. M., 2011, An Introduction to Applied and Inveronmental
Geophysics, Second Edition, Oxford UK: John Wiley & Sons.
Telford, W. M., Geldart, L. P., & Sheriff, R. E. 1990, Applied geophysics
second edition, New York: Press Syndicate of University of Cambridge.
Zumberge, M. A., Ridgway, J. R., & Hildebrand, J. A., 1997, A towed marine
gravity meter for near‐bottom surveys, Geophysics, Vol. 62, 5.

66
BAB III

REDUKSI DATA GRAVITASI


3.1. Anomali Medan Gravitasi

Penelaahan tentang konsep reduksi data gravitasi lebih mudah


dipahami dengan menelaah terlebih dahulu arti animali medan gravitasi.
Secara matematis dapat didefinisikan bahwa anomali medan gravitasi di
topografi atau posisi (x, y, z) merupakan selisih dari medan gravitasi
observasi di topografi terhadap medan gravitasi teoritis di topografi.
Medan gravitasi teoritis yaitu medan yang diakibatkan oleh faktor non-
geologi dan harganya dihitung berdasarkan rumusan-rumusan yang
dijabarkan secara teoritis. Nilai medan ini dipengaruhi oleh letak lintang,
ketinggian, dan massa topografi di sekitar titik tersebut. Secara
matematis, anomali medan gravitasi di topografi dapat dinyatakan dalam
bentuk persamaan berikut:

∆𝑔(𝑥, 𝑦, 𝑧) = 𝑔𝑜𝑏𝑠 (𝑥, 𝑦, 𝑧) − 𝑔𝑇𝑒𝑜𝑟𝑖𝑡𝑖𝑠 (𝑥, 𝑦, 𝑥 ) (3.1)

dengan g (x,y,z) merupakan anomali medan gravitasi di topografi, dan


𝑔𝑜𝑏𝑠 (𝑥, 𝑦, 𝑧) adalah medan gravitasi observasi di topografi yang sudah

67
dikoreksikan terhadap koreksi pasang-surut, koreksi tinggi alat dan
koreksi drift. Sedangkan 𝑔𝑇𝑒𝑜𝑟𝑖𝑡𝑖𝑠 (𝑥, 𝑦, 𝑥 ) merupakan medan gravitasi
teoritis di topografi.

Medan gravitasi teoritis yang ditentukan lebih awal adalah medan


gravitasi normal yang terletak pada bidang sferoida referensi (pada
ketinggian z = 0) sebagai titik referensi geodesi. Rumusan medan
gravitasi normal pada permukaan elipsoid referensi ini adalah seperti
yang dinyatakan pada Persamaan (1.38), yang telah ditetapkan oleh The
International Association of Geodesy (IAG) tahun 1980 (Jacoby &
Smilde, 2009) yaitu:

𝑔𝑛 (∅) = 9,780237(1 + 0,0053024 sin2 ∅𝑔 −


0,0000058 sin2 2∅𝑔 ) m sec −2 (3.2)

atau dalam satuan mGal dinyatakan sebagai:

𝑔𝑛 (∅) = 978023,700(1 + 0,0053024 sin2 ∅𝑔 −


0,0000058 sin2 2∅𝑔 ) (mGal) (3.3)

dengan ∅ adalah garis lintang.

Dari Persamaan (3.2) atau (3.3) terlihat bahwa semakin tinggi letak
lintangnya maka semakin besar percepatan gravitasinya. Jadi medan
gravitasi Bumi cenderung bertambah besar ke arah kutub.

68
3.2. Koreksi Udara-Bebas dan Anomali Medan Gravitasi Udara-
Bebas

Jika Persamaan (3.3) sebagai medan gravitasi teoritis disubtitusikan


ke Persamaan (3.1) maka anomali medan gravitasi di topografi yang
dihasilkannya belum dapat didefinisikan secara fisis. Hal ini disebabkan
karena medan gravitasi normal, 𝑔𝑛 (∅), masih berada pada bidang
sferoida referensi (z=0) sedangkan medan gravitasi observasinya,
𝑔𝑜𝑏𝑠 (𝑥, 𝑦, 𝑧), berada pada topografi. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan
suatu teknik untuk membawa medan gravitasi normal yang berada pada
bidang sferoida referensi itu ke permukaan topografi, sehingga medan
gravitasi normal dan medan gravitasi observasi sama-sama berada pada
topografi. Teknik yang digunakan untuk mengatasinya yaitu dengan
melakukan koreksi udara bebas (free-air correction) dijabarkan dari
deret Taylor sebagai berikut:

𝜕
𝑔 (𝑟 + ℎ ) = 𝑔 (𝑟 ) + ℎ 𝑔 (𝑟 ) + ⋯ (3.4)
𝜕𝑟

dengan mengabaikan suku-suku yang lebih tinggi maka Persamaan (3.4)


dapat ditulis:

𝜕
𝑔 (𝑟 + ℎ ) = 𝑔 (𝑟 ) + ℎ 𝑔 (𝑟 ) (3.5)
𝜕𝑟

dimana 𝑔(𝑟 + ℎ) merupakan medan gravitasi pada titik observasi


sedangkan g(r) menunjukkan medan gravitasi pada sferoida referensi.

69
Jika diasumsikan bahwa Bumi merupakan benda sferis dan uniform,
M
maka g (r )  G sehingga Persamaan (3.5) menjadi:
r2

2𝑔(𝑟)
𝑔 (𝑟 + ℎ ) = 𝑔 (𝑟 ) + ℎ (3.6)
𝑟

Suku terakhir dari persamaan di atas menunjukkan selisih ketinggian


antara 𝑔(𝑟 + ℎ) dan 𝑔(𝑟), yang disebut juga koreksi udara-bebas, 𝑔𝑓.𝑎 .
Dengan menggunakan harga-harga g dan r pada sferoida referensi maka
dihasilkan

𝑔𝑓.𝑎 = 0,308765 ℎ (mGal/meter) (3.7)

dengan h (meter) merupakan ketinggian dari sferoida referensi ke


stasiun.

Persamaan (3.7) di atas disebut sebagai koreksi udara-bebas karena


hanya memperhitungkan elevasi antara permukaan topografi (titik-titik
observasi) dengan sferoida referensi dengan mengabaikan massa
diantaranya. Dengan koreksi udara-bebas ini maka diperoleh anomali
medan gravitasi udara-bebas di topografi yang diformulasikan dalam
persamaan berikut.

∆𝑔𝑓.𝑎 (𝑥, 𝑦, 𝑧) = 𝑔𝑜𝑏𝑠 (𝑥, 𝑦, 𝑧) − [𝑔𝑛 (𝑥, 𝑦, 0) ∓ 𝑔𝑓.𝑎 ] (3.8𝑎)

Koreksi udara-bebas bernilai positif jika stasiun pengukuran gravitasi


berada di atas muka laut rerata:

70
∆𝑔𝑓.𝑎 (𝑥, 𝑦, 𝑧) = 𝑔𝑜𝑏𝑠 (𝑥, 𝑦, 𝑧) − 𝑔𝑛 (𝑥, 𝑦, 0)+ 𝑔𝑓.𝑎 (3.8𝑏)

dan bernilai negatif jika elevasi topografi berada di bawah muka laut
rerata:

∆𝑔𝑓.𝑎 (𝑥, 𝑦, 𝑧) = 𝑔𝑜𝑏𝑠 (𝑥, 𝑦, 𝑧) − 𝑔𝑛 (𝑥, 𝑦, 0)− 𝑔𝑓.𝑎 (3.8𝑐)

Karena koreksi udara bebas, 𝑔𝑓.𝑎 , adalah upaya untuk membawa


gravitasi normal ke permukaan topografi (x,y,z), maka Persamaan (3.8a,
b, dan c) dapat dinyatakan dalam bentuk berikut:

∆𝑔(𝑥, 𝑦, 𝑧)𝑓.𝑎 = 𝑔𝑜𝑏𝑠 (𝑥, 𝑦, 𝑧) − [𝑔𝑛 (𝑥, 𝑦, 𝑧)] (3.9)

dengan [𝑔𝑛 (𝑥, 𝑦, 0) ∓ 𝑔𝑓.𝑎 ] = 𝑔𝑛 (𝑥, 𝑦, 𝑧), 𝑔𝑛 (𝑥, 𝑦, 0) ≡ 𝑔(∅) adalah


gravitasi normal pada sferoida referensi, dan 𝑔𝑓.𝑎 adalah koreksi udara-
bebas.

Jadi koreksi udara-bebas merupakan pemindahan medan gravitasi


normal sferoida referensi, 𝑔𝑛 (𝑥, 𝑦, 0), ke medan gravitasi normal di
permukaan topografi, 𝑔𝑛 (𝑥, 𝑦, 𝑧).

3.3. Koreksi Bouguer, Koreksi Terrain, dan Anomali Medan


Gravitasi Bouguer

Pada sub bab ini konsep anomali medan gravitasi Bouguer akan
dijelaskan terlebih dahulu, yang selanjutnya disusul penjelasan tentang
model-model koreksi Bouguer dan koreksi medan (atau koreksi terrain).
71
Pada perhitungan anomali medan gravitasi udara-bebas di atas,
massa yang terletak antara sferoida referensi dan permukaan topografi
tidak diperhitungkan, padahal massa ini sangat mempengaruhi harga
anomali medan gravitasi. Maka Persamaan (3.8) atau (3.9) akan lebih
sempurna jika massa ini turut diperhitungkan. Grand and West (1965)
mendefinisikan bahwa suatu massa yang terletak antara permukaan
topografi dan bidang sferoida referensi dapat dibagi menjadi dua bagian,
yaitu:

a) Bagian massa yang terletak antara bidang Bouguer dengan sferoida


referensi dimana efek dari massa ini disebut efek Bouguer. Anomali
yang dihasilkan setelah dilakukan koreksi Bouguer terhadap anomali
udara-bebas disebut anomali medan gravitasi Bouguer Sederhana.
b) Bagian massa yang berada di atas bidang Bouguer dan bagian massa
yang hilang di bawah bidang Bouguer. Efek dari massa ini disebut
efek medan (terrain effect). Anomali yang dihasilkan setelah
dilakukan koreksi medan terhadap anomali Bouguer sederhana
disebut anomali medan gravitasi Bouguer lengkap.

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa massa batuan yang terdapat


antara bidang Bouguer dan permukaan sferoida referensi disebut sebagai
efek Bouguer, dan massa Bouguer ini menimbulkan sebuah medan
gravitasi Bouguer yang searah dengan vektor medan gravitasi observasi.
Karena efek massa Bouguer ini memperbesar medan gravitasi observasi,
sebagai kompensasinya maka komponen medan gravitasi yang

72
ditimbulkannya harus dikurangkan tehadap medan gravitasi observasi.
Inilah yang disebut sebagai koreksi Bouguer.

Secara matematis, anomali medan gravitasi Bouguer sederhana di


topografi ∆𝑔𝐵.𝑆 (𝑥, 𝑦, 𝑧), dinyatakan oleh persamaan berikut:

∆𝑔𝐵.𝑆 (𝑥, 𝑦, 𝑧) = 𝑔𝑜𝑏𝑠 (𝑥, 𝑦, 𝑧)


− [𝑔𝑛 (𝑥, 𝑦, 0) ∓ 𝑔𝑓.𝑎 + 𝑔𝐵 (𝑥, 𝑦, 𝑧)] (3.10)

atau

∆𝑔𝐵.𝑆 (𝑥, 𝑦, 𝑧) = 𝑔𝑜𝑏𝑠 (𝑥, 𝑦, 𝑧) − [𝑔𝑛 (𝑥, 𝑦, 𝑧) + 𝑔𝐵 (𝑥, 𝑦, 𝑧)] (3.11)

Persamaan (3.10) dan (3.11) dapat diekspresikan dalam hubungannya


dengan anomaly medan gravitasi udara bebas, ∆𝑔𝑓.𝑎 (𝑥, 𝑦, 𝑧):

∆𝑔𝐵.𝑆 (𝑥, 𝑦, 𝑧) = ∆𝑔𝑓.𝑎 (𝑥, 𝑦, 𝑧) − 𝑔𝐵 (𝑥, 𝑦, 𝑧) (3.12)

Penjabaran tentang koreksi Bouguer, 𝑔𝐵 , secara khusus akan dijelaskan


pada Sub Bab selanjutnya.

Sedangkan anomali medan gravitasi Bouguer lengkap di topografi


setelah dilakukan koreksi topografi atau koreksi terrain, akibat massa
yang berada di atas bidang Bouguer dan bagian massa yang hilang di
bawah bidang Bouguer, adalah:

73
∆𝑔𝐵.𝐿 (𝑥, 𝑦, 𝑧) = 𝑔𝑜𝑏𝑠 (𝑥, 𝑦, 𝑧)
− [𝑔𝑛 (𝑥, 𝑦, 0) + 𝑔𝑓.𝑎 + 𝑔𝐵 (𝑥, 𝑦, 𝑧)
− 𝑔𝑇 (𝑥, 𝑦, 𝑧)] (3.13)

atau

∆𝑔𝐵.𝐿 (𝑥, 𝑦, 𝑧) = ∆𝑔𝐵.𝑆 (𝑥, 𝑦, 𝑧) + 𝑔𝑇 (𝑥, 𝑦, 𝑧) (3.14)

Dengan 𝑔𝐵 merupakan koreksi Bouguer dan 𝑔𝑇 adalah koreksi topografi


(atau koreksi terrain).

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat bagian


massa yang berada di atas bidang Bouguer dan bagian massa yang hilang
di bawah bidang Bouguer yang pada kenyataannya merepresentasikan
keberadaan bukit dan lembah. Adanya lembah akan mengurangi nilai
medan gravitasi di titik pengamatan, demikian pula dengan adanya bukit
mengakibatkan berkurangnya medan gravitasi di titik pengamatan.
Massa bukit mengakibatkan terdapatnya komponen gaya ke atas yang
berlawanan dengan komponen gaya gravitasi observasi. Jadi lembah dan
bukit di sekitar titik pengamatan akan mengurangi besarnya medan
gravitasi pengukuran di titik tersebut, sehingga koreksi medan yang
diperhitungkan selalu berharga positif.

Anomali medan gravitasi Bouguer lengkap merefleksikan variasi-


variasi densitas dalam kerak. Contoh peta anomali medan gravitasi
Bouguer lengkap lengkap di sekitar Cekungan Sampara di Provinsi

74
Sulawesi Tenggara.ditunjukkan pada Gambar 3.1 (Hamdu, 2017). Nilai
anomali medan gravitasi berkisar antara -5 mGal – 70 mGal. Cekungan
Sampara, yang terdapat di bagian tengah ditandai dengan garis putus-
putus, mempunyai nilai anomali rendah dengan rentang -5 mGal – 30
mGal. Cekungan ini berada pada satuan batuan Aluvium yang terdiri dari
lumpur, lempung, pasir, kerikil dan kerakal.

Dengan dilakukannya koreksi Bouguer tidak menghilangkan


anomali massa yang terdapat di atas sferoida referensi karena densitas
massa yang digunakan dalam perhitungan koreksi Bouguer adalah
densitas rata-rata dengan menganggap massa topografi bersifat
homogen. Seperti halnya koreksi udara-bebas, dengan dilakukan koreksi
Bouguer tidak berarti secara fisis memindahkan titik-titik observasi ke
sferoida referensi, dan tidak pula menimbulkan diskontinuitas densitas
massa-massa yang berada di atas dan di bawah sferoida referensi.

3.3.1. Model-Model Koreksi Bouguer

Model pendekatan terhadap koreksi Bouguer telah mengalami


perkembangan dan pembaharuan. Model yang pertama dikenal adalah
model slab horizontal tak hingga (Gambar 3.2) dengan ketebalan h relatif
dari sferoida referensi ke titik amat (stasiun). Besarnya koreksi Bouguer
model slab horizontal tak hingga untuk survei yang dilakukan di darat
adalah

𝑔𝐵 = 2𝜋𝐺𝜌ℎ = 0,04192 × 10−3 𝜌ℎ (mGal) (3.15)

75
Gambar 3.1 Kontur anomali Bouguer Lengkap, jarak antar kontur 5
mGal (Hamdu, 2017)

76
dengan ρ adalah densitas massa batuan di topografi dalam kg m−3 dan h
adalah ketinggian stasiun dari sferoida referensi dalam meter.

Sedangkan untuk survei yang dilakukan di laut atau danau, koreksi


Bouguer diberikan oleh:

𝑔𝐵 = 2𝜋𝐺 (𝜌𝑟 − 𝜌𝑤 )ℎ𝑤

= 0,04192 × 10−3 (𝜌𝑟 − 𝜌𝑤 )ℎ𝑤 (mGal) (3.16)

dengan 𝜌𝑟 adalah densitas batuan, 𝜌𝑤 densitas air (1030 kg m−3 untuk


air laut dan 1000 kg m−3 untuk air danau), dan ℎ𝑤 kedalaman laut atau
danau dalam meter.

Gambar 3.2. Koreksi Bouguer model slab horizontal tak hingga

Jika daerah penelitiannya luas, dari model ini akan terdapat banyak
massa kosong yang turut menyumbang dalam perhitungan koreksi
Bouguer. Di samping itu, secara geometris model ini kurang dapat
dipertanggungjawabkan karena bentuk permukaan Bumi tidak datar.

77
Meskipun demikian, untuk daerah penelitian yang sempit (tidak luas)
dan undulasinya kecil model ini masih signifikan digunakan karena
makin sempit daerahnya maka secara geometris makin rendah derajat
kelengkungannya atau makin mendekati bentuk datar. Hal ini dapat
dilihat dari Persamaan (3.19).

Model lain dari koreksi Bouguer adalah model cangkang bola


(spherical shell) yang diajukan oleh Karl (1971), sebagaimana
ditunjukkan pada Gambar 3.3. Karl menganggap bahwa bagian massa
Bouguer berbentuk cangkang bola dengan ketebalan h dari sferoida
referensi. Besar koreksi Bouguer model ini adalah:

g B  4 Gh (3.17)

Dari Persamaan (3.17) terlihat bahwa model cangkang bola tidak


merubah bentuk efek Bouguer model slab horizontal tak hingga (masih
linear terhadap  dan h) dan hanya memperbesar menjadi 2 kali.
Meskipun mendekati geometri permukaan Bumi dan cukup mereduksi
massa kosong yang diperhitungkan dalam model slab horizontal tak
hingga, tetapi model cangkang bola ini tidak memberikan batasan
radius permukaan guna meminimalkan perbedaan antara efek yang
diperoleh dari model cangkang bola dengan efek model slab horizontal
tak hingga.

78
Gambar 3.3. Koreksi Bouguer model cangkang bola (Karl, 1971)

Model koreksi Bouguer yang lebih eksak diusulkan oleh La Fehr


(1990) dengan memodifikasi slab horizontal tak hingga ke suatu topi
sferis dengan radius permukaan 166,735 km (Gambar 3.4). Maksud dari
pemilihan radius permukaan ini adalah untuk meminimalkan perbedaan
antara efek yang diperoleh dari model topi sferis dengan efek yang
diperoleh dari model slab horizontal tak hingga yang tidak
diperhitungkan oleh Karl. Koreksi Bouguer model topi sferis La Fehr
dinyatakan dalam formula berikut:

gB  2Gh  2G( h   R) (3.18)

dengan  dan  merupakan koefisien-koefisien tanpa dimensi dan R


adalah radius Bumi sampai ke stasiun. Suku kedua di ruas kanan
Persamaan (3.18) didefinisikan sebagai koreksi kelengkungan. Koreksi

79
Gambar 3.4. Model Topi Sferis La Fehr

kelengkungan ini memodifikasi harga slab horizontal tak hingga ke suatu


topi sferis yang mempunyai radius permukaan sebesar 166,735 km dan
ketebalannya sama dengan ketebalan slab horizontal tak hingga.

La Fehr tidak memberikan interpretasi fisis terhadap koreksi


kelengkungan yang diusulkannya. Interpretasi fisis terhadap koreksi
kelengkungan La Fehr justru diberikan oleh Whitman (1991) yang
mengusulkan bentuk koreksi Bouguer sebagai berikut:

  1 
g B  2 Gh  2 Gh   H   1  (3.19)
2  2 

dengan H adalah rasio h terhadap R (dengan R = R0 + h dan R0 adalah


radius Bumi normal sampai sferoida referensi) dan  merupakan sudut
dari pusat Bumi (Gambar 3.5). Ingat bahwa pada persamaan di atas,

80
Gambar 3.5. Model Koreksi Bouguer Whitman

2𝜋𝐺 = 0,0419 × 10−3 mGal kg −1 m2. Suku kedua Persamaan (3.19)


merupakan koreksi kelengkungan Whitman. Pada persamaan di atas,
suku 𝛼 ⁄2menunjukkan gaya gravitasi vertikal akibat kelengkungan
Bumi dengan sudut kelengkungan , suku 𝐻⁄(2𝛼) menunjukkan efek
pemotongan slab flat pada radius permukaan Bullardnya (s   R0 ) ,
sedangkan suku H menunjukkan berkurangnya kelengkungan Bumi
dengan bertambahnya radius permukaan R (dengan R = R0 + h) atau
dengan bertambahnya ketebalan slab h.

Pendekatan-pendekatan terhadap koreksi kelengkungan Whitman


(suku kedua Persamaan (3.19), yang disebut juga Bullard B correction)
dalam bentuk deret pangkat ketebalan h (h dalam meter) diajukan oleh
USGS dan oleh La Fehr sebagai berikut:

81
USGS:

BB = 1,464x10-6h – 3,533x10-10h2 + 4,5x10-6h3 mGal (3.20)

La Fehr:

BB = 1,46306x10-6h – 3,552725x10-10h2 + 5,1x10-6h3 mGal (3.21)

3.3.2. Koreksi Topografi (Terrain)

Salah satu metode koreksi topografi yakni menggunakan metode


yang diusulkan oleh Kane (1962). Metode ini didesain untuk menyeleksi
data ketinggian disekitar stasiun gravitasi dimana koreksi medan akan
dicari. Pada model ini dibuat grid dengan stasiun gravitasi sebagai
pusatnya dan daerah perhitungan dibagi atas dua zona yaitu zona
eksternal dan zona internal. Dengan menggunakan metode tersebut akan
lebih efisien dalam perhitungan koreksi medan. Program komputasi dari
model ini telah dibuat oleh Ballina (1989) dengan menggunakan bahasa
Fortran.

Perhitungan koreksi medan dengan metode Hammer chart


memerlukan waktu pengerjaan yang cukup lama dan proses yang cukup
rumit karena bersifat manual. Seiring dengan diketemukannya computer
digital, para ahli geofisika telah menemukan metode baru yang lebih
mudah, cepat, murah dan cukup akurat untuk menentukan koreksi
medan.

82
Perhitungan koreksi medan menggunakan program Bahasa
fortran yang didasarkan pada model yang diusulkan oleh Kane (1962)
dan Ballina (1989) dengan beberapa modifikasi sehingga mampu
menghitung koreksi medan untuk daerah yang lebih luas dan jumlah
stasiun pengukuran yang lebih banyak.

Metode komputasi program didasarkan pada model yang diusulkan


oleh Kane (1962) sebagaimana ditunjukan pada Gambar 3.6, yang
didesain untuk menyeleksi data ketinggian pada titik-titik sekitar stasiun
gravitasi yang koreksi medannya akan ditentukan. Model akan
menyeleksi grid seluas 40 x 40 km di sekitar stasiun gravitasi dan
membaginya menjadi dua daerah perhitungan yaitu zona dalam dan zona
luar. Jika dibandingkan dengan model Hammer Chart (Hammer, 1939),
zona dalam mencakup zona D, E, dan F Hammer serta zona luar
mencakup zona G-M.

83
Gambar 3.6. Model yang digunakan untuk mengitung koreksi medan

3.3.2.1. Penghitungan Zona Luar

Komputasi zona luar didasari daya tarik gravitasi suatu prisma-prisma,


yang dapat diaproksimasi oleh suatu segmen lingkaran dengan tinggi
yang sama (perbedaan dalam daya tarik dua silinder vertical dengan

84
ketinggian sama tetapi berbeda jari-jari) sebanyak perbandingan area sesi
horizontal lingkaran, sebagaimana ditunjukan pada Gambar 3.7.

Persamaan yang digunakan yakni:

|𝑅2 − 𝑅1 + √(𝑅12 − 𝐻 2 ) − √(𝑅22 − 𝐻 2 )|


𝑔𝑇,𝑍𝐿 = 2Gρ A × (3.22)
𝑅22 − 𝑅12

dengan

𝑔𝑇,𝑍𝐿 : medan gravitasi akibat massa topografi zona luar

G : konstanta gravitasi

ρ : densitas batuan

R1 : radius lingkaran-dalam pada lingkaran angular

R2 : radius lingkarang-luar pada lingkaran angular

H : tinggi lingkaran angular pada prisma

A : panjang sisi horizontal prisma

R1 dan R2 bisa diganti dengan (R - C) dan (R + C), dimana R adalah jarak


dari stasiun gravitasi ke pusat bagian lingkaran, sedangkan C adalah
konstanta.

C = 0,63 A

R1 = R – 0,63 A

85
R2 = R – 0,63 A

maka persamaan (3.22) dapat ditulis menjadi:

𝑔𝑇,𝑍𝐿 = 𝐺𝜌𝐴 [1,26 + √(𝑅 − 0,63𝐴)2 + 𝐻 2 − √(𝑅 + 0,63𝐴)2 + 𝐻 2 ]⁄1,26𝑅


(3.23)

Gambar 3.7. Hubungan antara luasan persegi dan segmen lingkar yang
mempunya luasan yang sama.

3.3.2.2.Pengitungan Zona Dalam

Metode komputasi untuk zona-dalam berhubungan dengan gaya


gravitasi pada daerah (2 x 2) km di seputar stasiun gravitasi. Daerah
tersebut dibagi menjadi delapan bagian (Gambar 3.8.a). Masing-masing
diartikan sebagai gradien yang kontinu dari pusat ke tepi terluar. Gaya

86
gravitasi pada daerah tersebut dapat didekati dengan sebuah silinder
dengan bentuk kerucut terbalik. Persamaannya adalah sebagai berikut:

𝜋𝐺𝜌
𝑔𝑇,𝑍𝐷 = [𝑅 − √𝑅2 + 𝐻 2 + 𝐻 sin 𝛽] (3.24)
4

dengan H adalah tinggi silinder, R adalah radius silinder dan  adalah


sudut antara permukaan oktan dan permukaan horizontal.

Gambar 3.8.a. Zona Dalam Gambar 3.8.b. Oktan

3.3.2.3.Pemrograman dan Komputasi Koreksi Topografi

Program ini didesain untuk bekerja dengan koordinat grid


orthogonal/kartesian dalam meter (UTM, dll) dan variabel densitas
(gr/cm3), tergantung tipe batuan di daerah penelitian. Program ini
membutuhkan sebuah grid ketinggian-densitas (X, Y, Z, D) dengan spasi
1 km antar titik-titik grid yang harus di-overlay-kan pada daerah
penelitian gravitasi dengan mengingat bahwa koreksi stasiun mengikuti

87
zona (40 x 40) km di sekitar stasiun (Gambar 3.6), begitu juga dengan
stasiun yang koreksinya ingin didapatkan (x, y, z dan identifikasi stasiun).

Setelah program mendapatkan semua informasi yang dibutuhkan,


kemudian dibuat perhitungan untuk masing-masing stasiun sebagai
berikut:
1. Meletakkan stasiun dalam grid sesuai dengan koordinatnya.
2. Menyeleksi dari grid sebuah matriks 41 x 41 noktah dengan
stasiun sebagai pusatnya.
3. Jika stasiun gravitasi tidak terletak dalam noktah grid, maka
program akan mengkomputasi daerah kerja grid dengan stasiun
sebagai pusatnya.
4. Memberikan ketinggian dan densitas rata-rata untuk masing-
masing sektor grid sebagaimana jarak terhadap stasiun gravitasi.
5. Untuk semua sektor yang ditandai dengan nomor 1 (Gambar 3.6)
akan menggunakan 25 titik, untuk sektor yang ditandai dengan
nomor 2 menggunakan sembilan titik, dan 4 titik untuk nomor 3
dan semua digunakan untuk menghitung koreksi eksternal.
6. Untuk zona dalam dipakai grid 2 x 2 km dari grid kerja, dan
dibagi dalam oktan-oktan kemudian dihitung ketinggian dan
densitas rata-rata untuk setiap oktan sebagaimana hubungannya
dengan gaya tarik.
Selanjutnya semua gaya tarik tersebut dijumlahkan dan dihitung
koreksi medan untuk anomali Bouguer.

88
3.4. Penentuan Densitas Batuan

Densitas batuan di sekitar profil gravitasi merupakan hal yang sangat


penting untuk perhitungan Koreksi Bouguer dan koreksi topografi.
Densitas didefinisikan sebagai massa per unit volume material. Densitas
memiliki satuan-satuan yang berbeda dan nilai-nilai numerik yang
berbeda pada sistem c.g.s. dan sistem SI. Sebagai contoh, densitas air
adalah 1 g cm−3 dalam sistem c.g.s., tetapi 1000 kg m−3 dalam sistem
SI. Dalam pencarian gravitasi, satuan c.g.s. masih umum digunakan,
tetapi perlahan-lahan digantikan oleh satuan SI. Rumus yang diberikan
untuk perhitungan koreksi Bouguer dan koreksi topografi pada
persamaan-persamaan di atas, mensyaratkan bahwa densitas diberikan
dalam kg m−3 .

Densitas batuan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya


adalah rapat massa butir pembentuknya, porositas, kandungan fluida
yang mengisi pori-porinya, serta pemadatan akibat tekanan dan
pelapukan yang dialami oleh batuan tersebut.

Cara sederhana penentuan densitas yang sesuai untuk digunakan


dalam studi gravitasi adalah membuat koleksi sampel batuan yang
representatif dengan bantuan peta geologi. Gravitasi spesifik dari suatu
sampel dapat ditemukan secara langsung dengan menimbangnya
pertama kali di udara dan kemudian di air, dan menerapkan prinsip

89
Archimedes. Cara ini memberikan nilai densitas sampel batuan relatif
terhadap densitas air (Lowrie, 2007):

𝑊𝑢
𝜌𝑟 = 𝜌 (3.25)
𝑊𝑢 − 𝑊𝑎 𝑎

dengan 𝑊𝑢 adalah berat sampel di udara, 𝑊𝑎 berat sampel tercelup dalam


air, dan 𝜌𝑎 .densitas air.

Metode dengan prinsip Archimedes di atas memadai untuk


pengintaian suatu daerah. Sayangnya, seringkali sulit untuk memastikan
bahwa pengumpulan batuan-batuan permukaan dapat mewakili jenis-
jenis batuan pada struktur-struktur bawah permukaan yang lebih dalam,
sehingga metode alternatif untuk menentukan densitas yang sesuai
sangat lah diperlukan. Densitas dapat diukur dalam lubang bor vertikal,
yang dibor untuk mengeksplorasi sifat struktur yang diduga. Denisitas
yang ditentukan dalam lubang bor digunakan untuk memperbaiki
interpretasi struktur.

3.4.1. Densitas dari Kecepatan Seismik

Pengukuran pada sampel sedimen jenuh air dan sampel batuan


sedimen, serta pada batuan beku dan metamorf menunjukkan bahwa
densitas dan kecepatan seismik gelombang-P dan gelombang-S saling
terkait. Kesesuaian optimal untuk setiap set data dibuat dalam bentuk
kurva yang halus (Gambar. 3.9). Setiap kurva sedikit diidealkan, karena
data sebenarnya mengandung sebaran yang cukup besar. Untuk alasan

90
Gambar 3.9. Hubungan empiris antara densitas dan kecepatan seismic
gelombang-P dan gelombang-S pada sedimen jenuh air dan batuan sedimen,
batuan beku dan metamorf (setelah Ludwig dkk., 1970).
ini, kurva-kurva tersebut paling sesuai untuk menghitung densitas rerata
dari kecepatan seismik rerata. Penyesuaian harus dilakukan terhadap

91
suhu dan tekanan yang lebih tinggi di kedalaman bumi, yang
mempengaruhi densitas dan parameter elastis batuan. Namun, efek
tekanan dan suhu tinggi hanya dapat diperiksa dalam percobaan
laboratorium pada spesimen kecil. Tidak diketahui sejauh mana hasil
tersebut mewakili hubungan kecepatan-densitas in situ di blok-blok
kerak besar.

Kurva kecepatan-densitas adalah hubungan empiris yang tidak


memiliki dasar teori. Data gelombang seismik yang paling umum
digunakan dalam hal ini adalah data gelpmbang-P. Dalam hubungannya
dengan studi refraksi seismik, data kecepatan gelombang-P telah
digunakan untuk memodelkan distribusi densitas di kerak bumi dan
mantel bagian atas yang bertanggung jawab untuk anomali gravitasi
regional berskala besar.

3.4.2. Densitas dari Log Gamma-Gamma

Densitas formasi batuan yang berdekatan dengan lubang bor dapat


ditentukan dari instrumen di lubang bor. Prinsipnya memanfaatkan
hamburan Compton sinar- (gamma) oleh electron-elektron yang terikat
lemah pada batuan yang berdekatan dengan lubang bor. Seorang
fisikawan Amerika, Arthur H. Compton, pada tahun 1923 menemukan
bahwa radiasi yang terhambur oleh elektron-elektron yang terikat lemah
mengalami peningkatan panjang gelombang. Pengamatan sederhana ini
tidak dapat dijelaskan sama sekali jika radiasi diperlakukan sebagai

92
gelombang; radiasi hamburan akan memiliki panjang gelombang yang
sama dengan radiasi datang. Efek Compton mudah dijelaskan dengan
menganggap radiasi sebagai partikel atau foton, yaitu, partikel energi
terkuantisasi, bukan sebagai gelombang. Energi foton berbanding
terbalik dengan panjang gelombangnya. Tumbukan foton sinar- dengan
sebuah elektron seperti tumbukan antara bola-bola bilyar; bagian dari
energi foton ditransfer ke elektron. Foton yang terhambur memiliki
energi yang lebih rendah dan karenanya memiliki panjang gelombang
yang lebih panjang daripada foton yang datang. Efek Compton adalah
verifikasi penting dari teori kuantum.

Logger (pencatat) densitas, atau logger gamma-gamma (Gambar


3.10), adalah perangkat silinder yang berisi sumber radioaktif dari sinar-
, seperti 137Cs, yang memancarkan radiasi melalui celah sempit. Sinar-
sinar foton bertumbukan dengan elektron-elektron yang terikat secara
lemah di dekat lubang, dan terhambur. Sebuah penghitung kilau untuk
mendeteksi dan mengukur intensitas sinar- terletak sekitar 45-60 cm di
atas emitor pada perangkat alat; radiasi yang mencapainya juga melewati
celah. Emitor dan detektor dilindungi dengan timah, dan perangkat alat
ditekan ke dinding lubang bor oleh pegas yang kuat, sehingga satu-
satunya radiasi yang tercatat adalah yang dihasilkan dari

93
Gambar 3.10 (a) Desain perangkat logging gamma-gamma untuk menentukan
kepadatan di lubang bor (setelah Telford dkk., 1990), dan (b) log skematik
gamma-gamma yang dikalibrasi dalam hal kepadatan batuan.

hamburan Compton di formasi sekitarnya. Intensitas radiasi yang


terdeteksi ditentukan oleh densitas elektron, dan juga oleh densitas
94
batuan di dekat alat logging. Sinar- hanya menembus sekitar 15 cm ke
dalam batu.

Log gamma-gamma yang dikalibrasi memberikan densitas bulk


batuan yang mengelilingi lubang bor. Informasi ini juga diperlukan
untuk menghitung porositas, yang didefinisikan sebagai volume
fraksional batuan yang direpresentasikan oleh ruang pori. Sebagian besar
batuan sedimen berpori, jumlahnya tergantung pada jumlah pemadatan
yang dialami. Batuan beku dan metamorf umumnya memiliki porositas
rendah, kecuali jika sudah retak. Biasanya pori-pori dipenuhi dengan
udara, gas atau fluida seperti air atau minyak. Jika densitas batuan
matriks dan fluida pori diketahui, densitas bulk yang diperoleh dari log
gamma-gamma memungkinkan porositas batuan untuk ditentukan.

3.4.3. Gravimetri Lobang Bor (Borehole Gravimetry)

Instrumentasi modern memungkinkan gravitasi diukur secara akurat


di lubang bor. Salah satu jenis gravimeter borehole adalah modifikasi
instrumen LaCoste-Romberg, yang diadaptasi untuk digunakan dalam
lubang bor yang sempit dan di bawah kondisi suhu dan tekanan tinggi.
Instrumen-instrumen alternatif telah dirancang berdasarkan prinsip yang
berbeda; dimana instrument-instrumen ini memiliki sensitivitas yang
sebanding yaitu sekitar 0,01 mGal. Penggunaannya untuk penentuan
densitas lubang-bawah (down-hole density) didasarkan pada penerapan
koreksi udara-bebas dan koreksi pelat Bouguer.

95
Misalkan 𝑔1 dan 𝑔2 adalah nilai gravitasi yang diukur dalam lubang
bor vertikal pada ketinggian ℎ1 dan ℎ2 , di atas elipsoid referensi (Gambar
3.11). Perbedaan antara 𝑔1 dan 𝑔2 disebabkan oleh ketinggian yang
berbeda dan material antara dua level pengukuran di lubang bor. Nilai
𝑔2 akan lebih besar dari 𝑔1 karena dua alasan. Pertama, karena level
pengukuran yang lebih rendah terletak lebih dekat ke pusat Bumi. Harga
𝑔2 akan lebih besar dari 𝑔1 dengan jumlah koreksi elevasi gabungan,
yaitu (0,3086 − (0,0419𝜌 × 10−3 ))∆ℎ mGal, di mana ∆ℎ = ℎ1 − ℎ2 .
Kedua, pada level bawah ℎ2 gravimeter mengalami tarik Bouguer ke atas
akibat material yang terletak antara dua level pengukuran. Hal ini
mengurangi gravitasi terukur pada ℎ2 dan memerlukan peningkatan
kompensasi terhadap 𝑔2 dengan jumlah (0,0419𝜌 × 10−3 )∆ℎ mGal.
Perbedaan ∆𝑔 antara nilai-nilai terkoreksi dari 𝑔1 dan 𝑔2 setelah reduksi
ke level ℎ2 adalah

∆𝑔 = (0,3086 − 0,0419𝜌 × 10−3 )∆ℎ − 0,0419𝜌 × 10−3 ∆ℎ

= (0,3086 − 0,0838 𝜌 × 10−3 )∆ℎ (3.26)

Pengaturan ulang persamaan ini memberikan densitas 𝜌 untuk material


antara level-level pengukuran di lubang bor:

∆𝑔
𝜌 = (3,683 − 11.93 ) × 103 kg m−3 (3.27)
∆ℎ

96
3.4.4. Metode Nettleton

Penentuan densitas dengan memanfaatkan data-data hasil


pengukuran di permukaan dapat menggunakan metode Netteleton yang
dapat ditempuh dengan dua acara, yaitu:

a) Secara grafis yaitu dengan membuat profil topografi dan data anomali
Bouguer untuk densitas yang berbeda-beda dari tiap-tiap lintasan
yang dipilih. Harga densitas yang dipilih sebaga densitas Bouguer
(atau densitas topografi) adalah densitas yang profil anomali
Bouguernya tidak berkorelasi terhadap profil topografi.
b) Secara analitik yaitu dengan menggunakan persamaan matematis
untuk menghitung koefisien korelasi dari semua data pengukuran
gravitasi. Cara ini sangat baik karena memasukkan semua data
pengukuran gravitasi sehingga menjadi kros korelasi dua dimensi.
Persamaan analitik yang dipakai untuk menghitung koefisien korelasi
k adalah:

∑𝑁 ̅
𝑛=1[∆𝑔𝑛 (𝜌𝑖 ) − ∆𝑔̅ (𝜌𝑖 )][ℎ𝑛 − ℎ ]
𝑘𝑖 = (3.28)
2
√∑𝑁
𝑛=1[∆𝑔𝑛 (𝜌𝑖 ) − ∆𝑔̅ (𝜌𝑖 )]2 [ℎ𝑛 − ℎ̅]

dengan g (  ) adalah anomali medan gravitasi Bouguer sederhana yang


diformulasikan oleh Persamaan-persamaan (3.10), (3.11) dan (3.12). Jika
k = 0 maka harga anomali Bouguer dan harga-harga elevasi tidak

97
berkorelasi, yang berarti bahwa densitas yang diasumsikan merupakan
harga densitas massa topografi yang tepat.

Selain metode Netteleton, penentuan densitas batuan dapat


dilakukan dengan menggunakan metode Parasnis. Estimasi densitas
batuan dalam metode parasnis menggunakan persamaan yang
dimodifikasi dari persamaan anomali Bouguer lengkap di topografi
(Persamaan 3.14) dan Persamaan (3.12) sebagaimana yang dijabarkan
sebagai berikut.

∆𝑔𝐵.𝐿 (𝑥, 𝑦, 𝑧) = ∆𝑔𝑓.𝑎 (𝑥, 𝑦, 𝑧) − 𝑔𝐵 (𝑥, 𝑦, 𝑧) + 𝑔𝑇 (𝑥, 𝑦, 𝑧) (3.29)

∆𝑔𝑓.𝑎 (𝑥, 𝑦, 𝑧) = 𝑔𝐵 (𝑥, 𝑦, 𝑧) − 𝑔𝑇 (𝑥, 𝑦, 𝑧) + ∆𝑔𝐵.𝐿 (𝑥, 𝑦, 𝑧) (3.30)

Dalam penentuannya, densitas batuan dapat diestimasi dengan


regresi suatu kurva yang mengikuti persamaan garis lurus sederhana y =
mx + c. sehingga persamaan (3.30) di atas dapat disederhanakan
mengikuti persamaan garis lurus tersebut, dengan memisalkan anomali
gravitasi udara-bebas, ∆𝑔𝑓.𝑎 (𝑥, 𝑦, 𝑧), sebagai sumbu vertikal, anomali
Bouguer lengkap di topografi, ∆𝑔𝐵.𝐿 (𝑥, 𝑦, 𝑧) , sebagai konstanta, c, serta
selisih antara koreksi Bouguer, 𝑔𝐵 (𝑥, 𝑦, 𝑧), dan koreksi medan,
𝑔𝑇 (𝑥, 𝑦, 𝑧), sebagai sumbu horizontal. Anomali bouguer yang digunakan
dalam metode ini merupakan anomali Bouguer yang belum dioperasikan
dengan nilai densitas. Sehingga, nilai densitas didapatkan dari gradient

98
antara sumbu vertikal, ∆𝑔𝑓.𝑎 (𝑥, 𝑦, 𝑧), dan sumbu horizontal, variabel
g B ( x, y, z)  gT ( x, y, z) .

Metode dalam penentuan densitas diatas telah dilakukan di berbagai


riset yang beragam, seperti Safani (2000) yang menggunakan metode
Netteleton analitik dan Lanata (2018) menggunakan metode Parasnis.

Safani (2000) menjelaskan bahwa penentuan densitas dengan


menggunakan metode analitik yang ditunjukkan dalam persamaan
(3.28), dibuat dengan membuat grafik antara koefisien korelasi (k) versus
densitas ρ. Jika kurva memotong densitas pada k = 0 maka titik
perpotongan itu merupakan densitas yang dicari. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan, Safani memperoleh densitas sebesar ± 2.18 gr/cm 3 yang
grafiknya ditunjukkan oleh gambar (3.11).

0.2
Koefisien Korelasi (k)

0.1

0
1.9 2 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5
-0.1

-0.2

-0.3
Densitas (gr/cm3)

Gambar 3. 11. Penentuan densitas dengan metode analitik Nettleton.

99
Contoh lain diberikan oleh Lanata (2018) yang menggunakan
metode Parasnis dalam mengestimasi densitas batuan pada riset yang
telah dilakukannya. Penentuan densitas dalam metode ini yaitu dengan
membuat grafik antara nilai anomali gravitasi udara-bebas, ∆𝑔𝑓.𝑎 , dan
koreksi Bouguer. Hal yang perlu diperhatikan dalam metode parasnis
yakni koreksi Bouguer yang digunakan adalah koreksi Bouguer yang
belum dioperasikan dengan nilai densitas dan dikurangkan dengan nilai
koreksi medan pada setiap data atau stasiun pengukuran. Nilai densitas
yang dihasilkan merupakan gradient atau kemiringan pada suatu
persamaan garis lurus sederhana. Pada Gambar 3.12 ditunjukkan bahwa

Grafik Parasnis

250
Free Air Correction

200

150

100
y = 2.3095x + 52.551
50

0
-20 0 20 40 60
Bouger Correction*

Gambar 3.12. Penentuan Densitas Batuan dengan Metode Parasnis


(Lanata, 2018)

100
persamaan garis lurus sederhana yang dihasilkan adalah y = 2,3095x
+52,551. Sehingga, dapat dinyatakan bahwa nilai densitas yang
dihasilkan adalah sebesar 2,3095 gr/cm3, dimana nilai tersebut
merupakan kemiringan/gradien garis, m, pada persamaan garis lurus
yang didapatkan.

3.4.5. Densitas Batuan

Parameter yang akan ditentukan dalam eksplorasi gravitasi adalah


variasi lateral lokal dari nilai-nilai densitas. Dalam eksplorasi gravitasi,
densitas umumnya tidak diukur secara in situ, meskipun hal tersebut
dapat dilakukan melalui peralatan looging lobang bor, atau dari
pengukuran seismik, atau dari pengukuran laboratorium terhadap sampel
singkapan batuan atau sampel lobang-bor, sebagaimana dijelaskan di
atas.

Data densitas ditunjukkan pada Tabel 3.1. Batuan sedimen biasanya


kurang padat dibanding batuan beku dan batuan malihan (metamorf).

Tabel 3.1. Tabel densitas batuan dan mineral (Telford dkk, 1990).
Jenis Batuan Rentang Rerata Mineral Rentang Rerata
Sedimen (basah) Mineral Logam
Soil 1,2 - 2,4 1,92 Bauxite 2,3 – 2,55 2,45
Clay 1,63 - 2,6 2,21 Limonite 3,5 – 4,0 3,78
Gravel 1,7 - 2,4 2,0 Siderite 3,7 – 3,9 3,83
Sand 1,7 – 2,3 2,0 Rutile 4,18 – 4,3 4,25
Sandstone 1,61 –2,76 2,35 Manganite 4,2 – 4,4 4,32

101
Shale 1,77 – 3,20 2,40 Chromite 4,3 – 4,6 4,36
Limestone 1,93 – 2,90 2,55 Ilmenite 4,3- 5,0 4,67
Dolomite 2,28 – 2,90 2,70 Pyrolusite 4,7- 5,0 4,82
Sedimentary rock (av.) 2,50 Magnetite 4,9 – 5,2 5,12
Batuan Beku Franklinite 5,0 – 5,22 5,12
Rhyolite 2,35 – 2,70 2,52 Hermatite 4,9 – 5,3 5,18
Andesite 2,4 – 2,8 2,61 Cuprite 5,7 – 6,15 5,92
Granite 2,50 – 2,81 2,64 Cassiterite 6,8 – 7,1 6,92
Granodiorite 2,67 – 2,79 2,73 Wolframite 7,1 – 7,5 7,32
Porphyry 2,60 – 2,89 2,74 Sulfida, arsenida
Quartz diorite 2,62 – 2, 96 2,79 Sphalerte 3,5 – 4,0 3,75
Diorite 2,72 – 2,99 2,85 Malachite 3,9 – 4,03 4,0
Lava 2,80 – 3,00 2,90 Chalcopyrite 4,1 – 4,3 4,2
Diabase 2,50 – 3,20 2,91 Stannite 4,3 – 4,52 4,4
Basalt 2,70 – 3,30 2,99 Stibnite 4,5 – 4,6 4,6
Gabbro 2,70 – 3,50 3,03 Pyrrhotite 4,5 – 4,8 4,65
Peridotite 2,78 – 3,37 3,15 Molybdenite 4,4 – 4,8 4,7
Acid igneous 2,30 – 3,11 2,61 Marcasite 4,7 – 4,9 4,85
Basic igneous 2,09 – 3,17 2,79 Pyrite 4,9 – 5,2 5,0

Matuan Metomorf Bornite 4,9 – 5,4 5,1


Quartzite 2,5-2,7 2,60 Chalcocite 5,5 – 5,8 5,65
Schist 2,39 – 2,9 2,64 Cobaltite 5,8 – 6,3 6,1
Graywacke 2,6 – 2,7 2,65 Arsenopyrite 5,9 – 6,2 6,1
Marble 2,6 – 2,9 2,75 Bismuththinite 6,5 – 6,7 6,57
Serpentine 2,4 – 3,10 2,78 Galena 7,4 – 7,6 7,5
Slate 2,7 – 2,9 2,79 Cinnabar 8,0 – 8,2 8,1
Gneiss 2,59- 3,0 2,80 Mineral Non-logam
Amphibolite 2,90 – 3,04 2,96 Petroleum 0,6 – 0,9 -
Eclogite 3,2 – 3,54 3,37 Es 0,88 – 0,92 -
Metamorphic 2,4 – 3,1 2,74 Air Laut 1,01 – 1,05 -

102
Lignite 1,1 – 1,25 1,19
Soft coal 1,2 – 1,5 1,32
Anthracite 1,35- 1,8 1,50
Chalk 1,53 – 2,6 2,01
Graphite 1,9 – 2,3 2,15
Rock salt 2,1 – 2,6 2,22
Gypsum 2,2 – 2,6 2,35
Kaolinite 2,2 – 2,63 2,53
Orthoclase 2,5 – 2,6 -
Quartz 2,5 – 2,7 2,65
Calcite 2,6 – 2,7 -
Anhydrite 2,29 – 3,0 2,93
Biotite 2,7 – 3,2 2,92
Magnesite 2,9 – 3,12 3,03
Fluorite 3,01 – 3,25 3,14
Barite 4,3 – 4,7 4,47

Rentang densitas yang lebar dari batuan sedimen utamanya diakibatkan


oleh variasi-variasi pada porositas. Sifat dari fluida yang mengisi pori
juga mempengaruhi densitas massal (bulk density). Densitas batuan
sedimen juga dipengaruhi oleh umur, sejarah sebelumnya, dan
kedalaman dari sedimen terkubur. Batuan berpori akan terpadatkan saat
ia terkubur. Sehingga secara umum, densitas akan meningkat dengan
bertambahnya kedalaman dan waktu. Kontras densitas antara formasi
sedimen yang berdekatan di lapangan jarang didapatkan lebih besar dari
0,25 gr/cm3 (Telford dkk, 1990).

103
Meskipun batuan-batuan beku secara umum lebih padat dari batuan-
batuan sedimen, tetapi ada banyak tumpeng tindih. Gunung berapi,
khususnya lava, mungkin memiliki porositas tinggi, dan karenanya
densitasnya rendah. Secara umum, batuan beku dasar (basic igneous
rocks) lebih berat daripada batuan beku asam (acid igneous rocks).
Porositas, yang sangat mempengaruhi densitas sedimen, sangat kecil
pengaruhnya pada sebagian besar batuan beku dan metamorf kecuali
kedua batuan tersebut memiliki keretakan (fracture) yang sangat tinggi
(Telford dkk, 1990).

Densitas biasanya bertambah dengan tingkat metamorfosis karena


prosesnya cenderung mengisi ruang-ruang pori dan merekristalisasi
batuan dalam bentuk yang lebih padat. Jadi, sedimen-sedimen
termetamorfosi, seperti marmer (marble), slate, kuarsit (quartzite),
umumnya lebih padat daripada batu kapur (limestone), serpih (shale),
dan batu pasir (sandstone) asal (Telford dkk, 1990).

Mineral bukan logam umumnya memiliki densitas yang lebih


rendah dari densitas rata-rata batuan (2,67 gr/cm3 ). Di lain pihak,
mineral-mineral logam lebih berat dari densitas rata-rata ini, tetapi
karena mereka jarang terjadi dalam bentuk murni dalam volume besar,
maka efeknya biasanya tidak besar.

104
3.5. Rangkuman

Koreksi udara-bebas (free-air correction) merupakan suatu teknik


untuk membawa medan gravitasi normal dari bidang sferoida referensi
ke permukaan topografi, sehingga medan gravitasi normal dan medan
gravitasi observasi sama-sama berada pada permukaan topografi.
Anomali medan gravitasi yang dihasilkan setelah dilakukan koreksi
udara-bebas terhadap medan gravitasi terukur disebut Anomali udara-
bebas (free-air anomaly). Jika permukaan topografi dimana pengukuran
dilakukan berada di atas elipsoid referensi (atau di atas permukaan laut
rata-rata), maka koreksi udara-bebas ditambahkan kepada medan
gravitasi terukur. Hal sebaliknya berlaku apabila permukaan topografi
berada di bawah permukaan laut rata-rata.

Koreksi Bouguer dilakukan untuk memperhitungkan massa batuan


yang berada di antara bidang Bouguer (bidang horizontal yang
memotong titik pengukuran) dengan elipsoid referensi. Keberadaan
massa ini mengakibatkan terdapatnya komponen gaya ke bawah yang
searah dengan komponen gaya gravitasi observasi, sehingga menambah
besarnya medan gravitasi pengukuran di titik tersebut. Sebagai
kompensasinya, koreksi Bouguer harus dikurangkan terhadap medan
gravitasi terukur. Anomali medan gravitasi yang dihasilkan setelah
dilakukan koreksi Bouguer terhadap medan gravitasi terukur disebut
anomali Bouguer sederhana (simple Bouguer anomaly).

105
Keberadaan bukit dan lembah sangat mempengaruhi medan
gravitasi terukur, yaitu mengakibatkan berkurangnya medan gravitasi di
titik pengamatan. Massa bukit mengakibatkan terdapatnya komponen
gaya ke atas yang berlawanan dengan komponen gaya gravitasi
observasi. Jadi lembah dan bukit di sekitar titik pengamatan akan
mengurangi besarnya medan gravitasi pengukuran di titik tersebut,
sehingga koreksi medan yang diperhitungkan selalu berharga positif.
Anomali medan gravitasi yang dihasilkan setelah dilakukan koreksi
terrain terhadap medan gravitasi terukur disebut anomali Bouguer
lengkap (complete Bouguer anomaly).

Densitas massa topografi memegang peran penting dalam


perhitungan koreksi Bouguer dan koreksi terrain. Estimasi densitas
topografi banyak dilakukan secara analitik dan grafis dengan
memanfaatkan data-data pengukuran gravitasi itu sendiri, seperti metode
Nettleton dan metode Parasnis.

Referensi

Ballina, L.H.R., 1990, Fortran Program for Automatic Terrain


Correction of Gravity Measurement, Computer & Geoscience Vol. 16,
No. 2.
Blakely, R. J. 1996. Potential theory in gravity and magnetic
applications. New York: Cambridge University Press.
Dampney, C. N. G. 1969. The equivalent source technique. Journal
Geophysics, Vol. 34, 1.

106
Dubey, C.P.; Tiwari, V.M., 2016, Computation of the gravity field and
its gradient: Some applications. Comput. Geosci., Vol. 88, pp. 83–96.
Hamdu, A.Y., 2017, Interpretasi Struktur Bawah Permukaan Cekungan
Sampara Menggunakan Data Garvitasi Citra Geosat, Skripsi, Universitas
Halu Oleo, Kendari.
Jacoby, W., & Smilde, P. L., 2009, Gravity interpretation: Fundamentals
and application of gravity inversion and geological interpretation,
Springer, Berlin.
Kane, M.F., 1962, A comprehensive system of terrain correction using a
digital computer, Geophysics, Vol. 27, No 4, p. 455-462.
Karl, J.H., 1971, The Bouguer Correction for The Spherical Earth,
Geophysics, Vol. 36, No. 4, p. 761-762.
La Fehr, T.R., 1991, Standarization in Gravity Reduction, Geophysics,
Vol. 56, No. 8, p. 1170-1178.
LaFehr TR, Nabighian MN, 2012, Fundamentals of Gravity Exploration,
Tulsa: Society of Exploration Geophysicists.
Lanata, R.R., 2018, Identifikasi Struktur Sesar pada Lapangan Panas
Bumi Mangolo, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara Menggunakan
Data Gravitasi Citra Satelit, Skripsi, Universitas Halu Oleo, Kendari.
Lowrie, W., 2007, Fundamentals of Geophysics, Cambridge University
Press, Cambridge, UK.
Ludwig J. L., Nafe J. F. & Drake C. L., 1970, Seismic refraction, In A.
E. Maxwell (ed.), The Sea, Vol. 4, Part 1, pp. 53– 84. John Wiley & Sons,
Inc., New York.
Reynolds, J. M., 2011, An Introduction to Applied and Inveronmental
Geophysics, Second Edition, John Wiley & Sons, Oxford UK.
Safani, J., 2000, Analisis Anomali Medan Gravitasi Di Atas Sferoida
Referensi (Studi Kasus Daerah Krinjing-Magelang, Jawa Timur), Thesis,
Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

107
Telford, W. M., Geldart, L. P., & Sheriff, R. E. 1990, Applied geophysics
second edition, Press Syndicate of University of Cambridge, New York.
Tenzer, R., Foroughi, I., Hirt, C., Novák, P., and Pitoňák, M., 2019,
How to Calculate Bouguer Gravity Data in Planetary Studies, Surveys
in Geophysics, Vol. 40, pp. 107–132.
Zumberge, M. A., Ridgway, J. R., & Hildebrand, J. A., 1997, A towed
marine gravity meter for near‐bottom surveys, Geophysics, Vol. 62, 5.

108
BAB IV

PEMROSESAN LANJUT
DATA GRAVITASI
4.1. Pendahuluan

Reduksi-reduksi data gravitasi yang dijelaskan pada sebagian Bab 2


dan Bab 3 merupakan bagian dari pemrosesan awal data gravitasi. Pada
bab ini akan dibahas pemrosesan lanjut data gravitasi yang mencakup
proyeksi data gravitasi ke suatu bidang datar dengan grid yang teratur,
pemisahan anomali Bouguer lokal dan regional, serta turunan vertical
kedua (second vertical derivative – SVD).

4.2. Proyeksi ke Bidang Datar dengan Grid yang Teratur

Data anomali medan gravitasi Bouguer lengkap yang dihitung


dengan menggunakan Persamaan (3.13) atau (3.14) masih terpapar pada
permukaan topografi dengan ketinggian yang bervariasi dan grid yang
tidak teratur. Sedangkan dalam analisa lanjut (interpretasi) diperlukan

109
data anomali medan gravitasi yang berada pada bidang datar dengan grid
yang teratur. Untuk mengatasi masalah ini dilakukan dengan dua cara:

a) Membuat program interpretasi dari data yang masih terpapar pada


irregular surface dengan memasukkan variabel ketinggian titik
amat.
b) Membawa anomali Bouguer lengkap tersebut ke bidang datar
dengan ketinggian tertentu dan grid yang teratur.

Metode yang dapat digunakan dalam proyeksi ke bidang datar dengan


grid yang teratur yaitu metode sumber ekuivalen titik massa (Dampney,
1969) dan metode pendekatan deret Taylor.

4.2.1. Metode Sumber Ekivalen Titik Massa (Metode Dampney)

Proses yang ditempuh dalam metode Dampney yaitu menentukan


sumber ekivalen titik massa diskrit pada kedalaman tertentu di bawah
permukaan dengan memanfaatkan data anomali Bouguer lengkap
permukaan. Kemudian dihitung medan gravitasi teoritis yang
diakibatkan oleh sumber ekuivalen tersebut pada permukaan beraturan
(regular surface) sebarang sesuai yang dikehendaki, sebagaimana
diilustrasikan pada Gambar 4.1 (Safani, 2000).

Persamaan dasar yang digunakan dalam proses ini adalah:

110
∞ ∞
𝜎 (𝛼, 𝛽, ℎ)(ℎ − 𝑧)d𝛼 d𝛽
∆𝑔𝑧 (𝑥, 𝑦, 𝑧) = 𝐺 ∫ ∫ (4.1)
{(𝑥 − 𝛼)2 + (𝑦 − 𝛽)2 + (𝑧 − ℎ)2 }3/2
−∞ −∞

dengan ∆𝑔𝑧 (𝑥, 𝑦, 𝑧) adalah anomali medan gravitasi Bouguer lengkap,


𝜎 (𝛼, 𝛽, ℎ) distribusi kontras densitas yang meliputi bidang z = h, z
adalah sumbu vertikal dengan arah positif ke bawah, dan h kedalaman
bidang titik massa dari referensi sferoida.

Gambar 4.1. Proses perhitungan metode sumber ekivalen titik massa.

Berdasarkan Persamaan (4.1) terlihat bahwa anomali medan


gravitasi ∆𝑔𝑧 (𝑥, 𝑦, 𝑧) dapat diperoleh dari suatu kontras densitas

111
kontinyu 𝜎 (𝛼, 𝛽, ℎ) pada bidang z = h. Teknik sumber ekuivalen titik
massa didasarkan oleh pendekatan distribusi kontinu tersebut menjadi
sebuah deret massa-massa diskrit.

Jika terdapat N buah titik data, maka dengan menggunakan prinsip


superposisi dapat dihitung besarnya N buah titik massa pada kedalaman
tertentu (yang nantinya berperan sebagai sumber ekuivalen) dari
persamaan berikut:

g1  a11m1  a12 m2  ...  a1k mk  ...a1N mN


g1  a21m1  a22 m2  ...  a2 k mk  ...a2 N mN

gi  ai1m1  ai 2 m2  ...  aik mk  ...aiN mN (4.2)

g N  aN 1m1  aN 2 m2  ...  aNk mk  ...aNN mN


dimana
G (h  zi )
aik 
 x   
3/ 2 (4.3)
   yi   k   (zi  h) 2
2 2
i k

dengan z = h merupakan bidang horizontal yang mengandung titik-titik


massa mk pada ( k , k , h) pada posisi ∆𝑔𝑖 adalah (𝑥, 𝑦, 𝑧).
Persamaan (4.2) jika ditulis dalam bentuk matriks adalah:

 g    A m (4.4)

112
yang menggambarkan N persamaan simultan dengan N buah titik-titik
massa diskrit yang tidak diketahui, sehingga akan ada penyelesaian yang
unik.
Dengan dihasilkannya massa-massa diskrit mk pada ( k , k , h)

maka anomali medan gravitasi g ( x, y, z0 ) pada ketinggian 𝑧0 tertentu


dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan berikut:

N
m k (h  z )
g ( x, y, z 0 )  G  3/ 2 (4.5)
k 1  x      y   2  (z 0  h) 2 
2
 

Hal yang menarik dalam proyeksi ke bidang datar adalah masalah


penentuan posisi kedalaman sumber ekuivalen titik-titik massa yang
optimum. Dalam hal ini akan diberikan syarat batas yang meliputi batas
atas dan batas bawah dari posisi kedalaman titik-titik massa tersebut.

Batas atas dari sumber ekuivalen titik-titik massa diperoleh dari


transformasi Fourier Persamaan (4.5) dengan memanfaatkan teori
sampling. Transformasi Fourier dari g ( x, y, z0 ) (Dampney, 1969) adalah

 hz  N
Gz (u, v, z )  2 G exp  (u x) 2  (vx) 2    mk  k (4.6)
 x  k 1

dimana

 k  exp(i k u  ik u)
dan

113
u  2 f x ; v  2 f y

Dengan 𝑓𝑥 dan 𝑓𝑦 merupakan frekuensi spasial (ruang) diukur dalam cpm


(MKS). Besarnya

m   m
k k k  k  1 (4.7)

sehingga ∆𝑔𝑧 (𝑢, 𝑣, 𝑧) didominasi oleh fungsi

 hz 
exp  (ux)2  (vx) 2  (4.8)
 x 

dengan x adalah jarak rata-rata antar stasiun.

Menurut teori sampling bahwa frekuensi maksimum dimana


Gz (u, v, z ) dapat dihitung dari kumpulan harga-harga g (x i , yi , zi )

yaitu pada frekuensi aliasing yang diberikan oleh umax  .
x

Kenyataannya adalah amplitudo Gz (u, v, z ) yang dihitung dari


g (x i , yi , zi ) akan mendekati nol pada frekuensi aliasing. Sehingga

Gz (u, v, z ) dapat diabaikan pada :

 
umax  ; vmax 
x x

hz
dengan menganggap cukup besar. Kondisi ini memberikan batas
x

dari suatu bidang datar dimana sumber ekuivalen titik massa terdapat.

114
Batas bawah dari posisi sumber ekuivalen titik massa diperoleh teori
yang dikemukakan oleh Bullard & Cooper (1948) dimana mereka
berpendapat bahwa jika titik-titik massa diskrit terletak jauh di bawah
permukaan sedemikian sehingga massa diskrit tersebut berada di bawah
sumber sebenarnya maka akan terjadi osilasi yang sangat besar pada
medan gravitasi hasil proyeksi ke bidang datar.

Dalam suatu survei lokal, luas arealnya dapat membatasi posisi


kedalaman sumber ekuivalen titik massa. Jika (h – z) relatif lebih besar
dari dimensi survei, maka koefisien aik cenderung mendekati harga a
yang diberikan oleh

(h  zi ) 1
a  lim  lim
 x     ( z  h)
3/ 2
  yi   k   (zi  h) 2
h  2 2 h 
i k (4.9)

Jadi tensor A menjadi “ill-conditioned” dan penyelesaiannya menjadi


tidak realistis jika sumber ekuivalen terlalu jauh di bawah permukaan.

Berkaitan dengan syarat-syarat di atas maka Dampney melakukan


uji coba dalam mencari posisi sumber ekuivalen titik massa yang
optimum sehingga medan gravitasi hasil proyeksi ke bidang datar
terhindar dari aliasing dan osilasi yang sangat besar. Dari uji coba itu
disimpulkan bahwa harga-harga (h – zi) harus memenuhi:

2,5x  (h  zi )  6x (4.10)

115
Harus diingat bahwa syarat yang diberikan pada Persamaan (4.10) hanya
berdasarkan hasil ujicoba yang dilakukan oleh Dampney. Mungkin
syarat yang diberikan ini menjadi tidak realistis untuk data yang lain,
maka perlu diujicoba untuk mendapatkan syarat yang realistis.

4.2.2. Metode Deret Taylor

Selain metode sumber ekuivalen titik massa, proses membawa


anomali medan gravitasi ke bidang datar dapat juga dilakukan dengan
pendekatan deret Taylor. Metode ini menggunakan derivatif dari suatu
fungsi pada suatu titik untuk mengekstrapolasi fungsi disekitar titik itu.

Medan potensial pada irregular surface, z(x,y), dapat diperoleh


dengan melakukan kontinuasi terhadap medan potensial yang berada
pada bidang datar ( z0 = konstan) berdasarkan deret Taylor berikut :

∂ (𝑧−𝑧0 )2 ∂2
U(x, y,z) =U(x,y,𝑧0 )+(z-z0 ) ∂z U(x,y,𝑧0 )+ U(x,y,𝑧0 )+…
2 ∂z2


(z-z0 )n ∂n
=∑ U(x,y,𝑧0 ) (4.11)
n! ∂zn
n=0

Dari Persamaan (4.11) dengan mengatur suku-suku persamaannya, dapat


dilakukan proses sebaliknya yaitu menghitung medan potensial pada
bidang datar, 𝑧0 , dengan melakukan kontinyuasi terhadap medan
potensial yang berada pada irregular surface, z(x,y) :

116

( z  z0 ) n  n
U ( x, y, z0 )  U (x, y, z)   U ( x, y, z0 ) (4.12)
n 1 n! z n

Besaran 𝑈(𝑥, 𝑦, 𝑧0 ) yang diinginkan dapat diestimasi dengan cara


menentukan 𝑈(𝑥, 𝑦, 𝑧0 ) pada iterasi ke-i dan kemudian hasil ini
digunakan untuk mendapatkan 𝑈(𝑥, 𝑦, 𝑧0 ) pada iterasi ke (i+1)
berdasarkan persamaan berikut :


( z  z0 ) n  n
U ( x, y, z o )(i 1)  U ( x, y, z)   U ( x, y, z0 )i (4.13)
n 1 n! z n

Untuk menyelesaikan persamaan ini dibutuhkan tebakan awal terhadap


𝑈(𝑥, 𝑦, 𝑧0 )

Proyeksi ke bidang datar dengan menggunakan metode ekuivalen titik


massa dan metode deret Taylor telah banyak dilakukan dalam berbagai
riset. Gambar (4.2) memperlihatkan perbandingan kontur anomali
Bouguer lengkap pada topografi (irregular surface) dan pada sebuah
permukaan datar dengan yang teratur (regular surface). Proyeksi ke
bidang datar dilakukan dengan menggunakan metode deret Taylor.
Anomali Bouguer lengkap hasil proyeksi ke bidang datar (Gambar 4.2b)
menunjukkan hasil yang realistis karena memiliki trend yang sama
dengan kontur anomali medan gravitasi Bouguer lengkap yang masih
terpapar di topografi (Gambar 4.2a). Ketinggian proyeksi pada metode
ini merupakan ketinggian rata-rata titik pengukuran, sehingga selisish
anomali medan gravitasi Bouguer lengkap hasil proyeksi dan anomali

117
medan gravitasi Bouguer lengkap yang masih terpapar di topografi tidak
berbeda jauh. Nilai anomali medan gravitasi Bouguer lengkap setelah
direduksi berkisar dari -20 mGal sampai 75 mGal. Perbedaan nilai
anomali yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh ketinggian bidang datar
pada saat diproyeksikan.

Gambar 4.2. Kontur anomali Bouguer lengkap sekitar Cekungan


Sampara Sulawesi Tenggara: (a) masih terpapar di topografi, dan (b)
setelah proyeksi ke bidang datar dengan metode deret Taylor (Hamdu,
2017).

118
4.3.Pemisahan Anomali Medan Gravitasi Lokal-Regional

Anomali Bouguer lengkap merupakan superposisi dari anomali-


anomali yang dihasilkan oleh perubahan-perubahan densitas (massa-
massa anomali) pada kedalaman yang bervariasi. Beberapa massa
anomali diakibatkan oleh massa-massa yang lebih dalam dan beberapa
diakibatkan oleh massa-massa yang lebih dangkal. Efek dari massa-
massa yang dalam disebut regional, dan gravitasi yang ditimbulkannya
disebut gravitasi regional. Sedangkan efek dari massa-massa yang
dangkal disebut residual (lokal), dan gravitasi yang ditimbulkannya
disebut gravitasi lokal atau gravitasi residual. Oleh karena itu, anomali
Bouguer lengkap merupakan superposisi dari anomali Bouguer regional
dan anomali Bouguer lokal. Anomali Bouguer regional merepresentasi-
kan struktur-struktur bawah permukaan yang lebih dalam dan dicirikan
oleh anomali berfrekuensi rendah. Sedangkan anomali Bouguer lokal
merepresentasikan massa-massa anomali yang lebih dangkal.

Rentang kedalaman yang ingin ditekankan bergantung pada tujuan


interpretasi. Anomali-anomali dangkal merupakan hal yang menarik
dalam eksplorasi mineral, tetapi biasanya dianggap sebagai noise dalam
eksplorasi petroleum. Sebagaimana dalam semua teknik-teknik
geofisika, faktor yang paling penting dalam interpretasi adalah
pengetahuan tentang geologi setempat.

119
Jika pengambilan data dengan spasing antar titik pengukuran terlalu
lebar, maka frekuensi tinggi akibat pengaruh struktur bawah-permukaan
dangkal tidak akan muncul. Dan jika pengambilan spasing antar titik
pengukuran kecil, maka baik frekuensi tinggi maupun frekuensi rendah
akan terekam bersama-sama, sehingga untuk menganalisis anomali
akibat efek struktur bawah-permukaan dangkal perlu pemisahan efek
regional (signal frekuensi rendah) dari anomali lokalnya. Ada beberapa
metode pemisahan efek regional antara lain metode visual, metode
Griffin, metode turunan tegak kedua, metode polinomial, dan metode
kontinuasi keatas/kebawah (upward/downward continuation).

Metode kontinuasi keatas pada dasarnya dipakai untuk


menghilangkan efek lokal, sehingga yang didapatkan hanyalah
kecenderungan regionalnya. Hasil yang diperoleh kemudian
dikurangkan terhadap anomali medan gravitasi Bouguer lengkap yang
sudah terpapar pada bidang datar sehingga diperoleh anomali medan
gravitasi Bouguer lengkap lokal yang siap diinterpretasi.

Persamaan yang digunakan dalam melakukan kontinuasi keatas


(Blakely, 1995) adalah:

 
z U ( x ', y ', z0 )
U ( x, y, z0  z ) 
2  3
dx ' dy ' (4.14)
  ( x  x ')2  (y y ')2  z 2  2

Persamaan (4.14) dikenal sebagai integral kontinuasi keatas. Persamaan


ini menunjukkan cara perhitungan harga medan potensial pada

120
sembarang titik di atas permukaan dimana harga-harga medan yang
diketahui terdapat.

Prosedur perhitungan Persamaan (4.14) akan lebih efisien jika


dibuat dalam domain Fourier. Secara sederhana Persamaan (4.14)
merupakan konvolusi dua dimensi:

 
U ( x, y, z0  z )    U ( x ', y ', z
 
0 ) u ( x  x ', y  y ', z )dx ' dy ' (4.15)

atau
z 1
 u ( x, y, z )  (4.16)
2 ( x  y  z 2 ) 3 2
2 2

Jika medan potensial U diukur pada permukaan z = z0 memenuhi



ketidaksamaan  f ( x) dx   , maka medan U tersebut mempunyai


transformasi Fourier F[U]. Transformasi Fourier dari Persamaan (4.14)


diperoleh dengan mentransformasikan kedua sisi persamaan tersebut ke
dalam domain-domain Fourier dan memanfaatkan teorema konvolusi
Fourier sehingga diperoleh

F U u   F U  F  u  (4.17)

Dengan F[Uu] merupakan transformasi Fourier dari medan kontinuasi ke


atas. Untuk mendapatkan F[Uu] diperlukan suatu rumusan analitik dari

121
F  u  , yang dapat diperoleh dari transformasi Fourier Persamaan (4.16).

Persamaan (4.16) dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan berikut:

1  1
 u ( x, y, z )   (4.18)
2 z r

dengan r  x2  y 2  z 2 . Dengan demikian transformasi Fourier dari


Persamaan (4.18) diberikan oleh
1  1 
F  u    F 
2 z  r 
 k z
 e

z k

z k
e , z  0 (4.19)

Kontinuasi dari suatu permukaan ke suatu permukaan yang lain dapat


dicapai dengan mengalikan transformasi Fourier data pengukuran
terhadap suku eksponensial Persamaan (4.19), kemudian menginversi-
kan transformasi Fourier hasil tersebut.

Penerapan metode kontinuasi keatas (upward continuation) untuk


tujuan pemisahan anomaly regional dan lokal ditunjukkan pada Gambar
(4.3), dimana proses kontinuasi ini memperlihatkan kecenderungan
regional dari anomali medan gravitasi. Peta kontur anomali medan
gravitasi Bouguer lengkap regional, setelah pengangkatan pada
ketinggian 20.000 m di atas permukaan laut rata-rata (Gambar 4.3),

122
memperlihatkan adanya variasi lateral nilai anomali, yang
menggambarkan variasi massa batuan secara lateral pada zona dalam.

Contoh anomali medan gravitasi lokal, yang merupakan selisih


antara anomali medan gravitasi Bouguer lengkap dan anomali medan

Gambar 4.3. Kontur Anomali Gravitasi Regional sekitar Cekungan


Sampara Sulawesi Tenggara setelah pengangkatan 20.000 m di atas
muka laut rerata (MSL) (Hamdu, 2017).

123
gravitasi regional, ditunjukk pada Gambar 4.4. Nampak adanya anomali
medan gravitasi dengan nilai positif dan negatif yang tersebar secara
random. Nilai anomali rendah mencirikan struktur batuan dengan
densitas rendah, sedangkan nilai anomali tinggi mencirikan sebaliknya.

Gambar 4.4. Kontur anomali gravitasi lokal sekitar Cekungan Sampara


Sulawesi Tenggara (Hamdu, 2017).

124
Selain kontinuasi ke atas, metode lain dalam pemisahan anomali
regional dan anomali lokal adalah Second Vertical Derivative (SVD) atau
turunan vertikal kedua memunculkan efek dangkal dari pengaruh
regionalnya sehingga proses filtering dengan metoda ini bisa
menyelesaikan masalah anomali residual yang tidak mampu diselesaikan
dengan metoda pemisahan regional-lokal yang ada (Reynolds, 2011).

4.4.Turunan Vertical Kedua (Second Vertical Derivative)

Satu masalah yang selalu ada dalam interpretasi peta anomali


Bouguer adalah sulitnya untuk memisahkan efek struktur-struktur
dangkal dari efek yang ditimbulkan oleh struktur-struktur yang terletak
lebih dalam. Penghilangan efek medan regional dari data anomali
Bouguer menghasilkan sekumpulan medan residual yang tidak unik.
Merupakan sesuatu hal yang mungkin untuk memisahkan efek-efek
struktur dangkal dan struktur yang lebih dalam dengan menggunakan
turunan vertikal kedua (second vertical derivative – SVD).

Medan gravitasi (g) yang diukur dengan gravimeter bervariasi


dengan ketinggian; yang disebut sebagai gradien vertikal (𝜕𝑔⁄𝜕𝑧 = 𝑔′).
Pada Bumi yang tidak seragam dimana densitas bervariasi secara lateral,
gradien vertikal berubah dan laju perubahan (𝜕𝑔′⁄𝜕𝑧) adalah turunan
vertikal kedua dari medan gravitasi (𝜕 2 𝑔⁄𝜕𝑧 2 ). Kuantitas ini sangat
sensitif terhadap efek fitur dangkal (dan efek kebisingan dan topografi).

125
Sebagai ilustrasi tentang bagaimana efek gravitasi struktur dangkal
dan struktur dalam dapat dipisahkan, pertimbangkan dua massa titik
yang sama (m) pada dua kedalaman yang berbeda, misalnya pada
kedalaman 1 satuan dan 4 satuan. Nilai g untuk sebuah massa titik pada
kedalaman z sama dengan hasil kali konstanta gravitasi (G) dan massa
dibagi dengan kuadrat kedalaman z, jadi g = Gm/z2. Jika ini diturunkan
dua kali terhadap z, maka diperoleh 𝑔′′ = 6𝐺𝑚⁄𝑧 4 . Jelas sekali terlihat
bahwa turunan kedua dari medan gravitas, 𝑔′′, berbanding terbalik
dengan z4. Jadi rasio kedua SVD untuk 𝑧1 = 1 dan 𝑧2 = 4 adalah, ,
𝑔′′1⁄𝑔′′2 = 256.

Medan gravitasi memenuhi persamaan Laplace, sehingga persamaan


SVD dapat diperoleh dari derivatif horizontal medan gravitasi (Telford
dkk, 1990):

∂2 ∆g ∂2 ∆g ∂2 ∆g
+ + =0 (4.20)
∂x2 ∂y2 ∂z2

∂2 ∆g 𝜕 2 ∆𝑔 𝜕 2 ∆𝑔
= -( 2 + ) (4.21)
∂z2 𝜕𝑥 𝜕𝑦 2

Dari Persamaan (4.21), apabila hanya ditinjau data penampang satu


dimensi (1D) dimana y dianggap mempunyai nilai yang tetap, maka
persamaan turunan vertikal kedua (SVD) dapat dinyatakan sebagai:

126
∂2 ∆g ∂2 ∆g
=- (4.22)
∂z2 ∂x2

Persamaan SVD juga dimanfaatkan untuk mendefinisikan kriteria


dalam penentuan jenis struktur sesar suatu daerah, sebagaimana
dijelaskan oleh Reynolds (1997) sebagai berikut:

∂2 (∆g) ∂2 (∆g)
| | <| | untuk sesar turun (4.23a)
∂z2 min ∂z2 max

∂2 (∆g) ∂2 (∆g)
| | >| | untuk sesar naik (4.23b)
∂z2 min ∂z2 max

∂2 (∆g) ∂2 (∆g)
| | =| | untuk sesar geser (4.23c)
∂z2 min ∂z2 max

Jika harga mutlak minimal SVD lebih kecil dari harga mutlak
maksimalnya, maka memenuhi kriteria sesar turun. Sebaliknya, jika
harga mutlak minimal SVD lebih besar dari harga mutlak maksimalnya,
maka memenuhi kriteria sesar naik. Sedangkan jika harga mutlak
minimal SVD sama dengan harga mutlak maksimalnya, maka memenuhi
kriteria sesar geser. Anomali yang disebabkan oleh struktur cekungan
mempunyai harga mutlak minimal SVD selalu lebih besar daripada harga
mutlak maksimalnya. Sedangkan anomali yang disebabkan struktur
intrusi berlaku sebaliknya, harga mutlak minimalnya lebih kecil daripada
harga maksimalnya (Reynold, 1997).

127
Dimungkinkan untuk menghitung dan memetakan peta turunan
vertikal kedua (SVD) dari data anomali Bouguer. Kontur nol harus
menunjukkan tepi-tepi dari fitur geologi lokal. SVD ini memiliki satuan
dimana 10-6 mGal/cm2 ≡ 10−9 cm−1 s−2 ≡ 1 E cm−1 ≡ (E adalah singkatan
dari Eotvos = 10-6 mGal/cm, yang merupakan ukuran gradien gravitasi).

Gambar 4.5 memperlihatkan perbandingan antara kurva anomali


Bouguer dan kurva turunan vertikal kedua (SVD) dari anomali Bouguer
tersebut untuk tiga jenis anomali massa yang berbeda, yaitu prisma
horisontal, cekungan sedimen, dan batuan pluton granitik. Tatkala ujung-
ujung kurva anomali Bouguer bernilai maksimum dan/atau minimum,
ujung-ujung kurva SVD menunjukkan kecenderungan nilai ke nol. Nilai
maksimum dan minimum dari SVD berasosiasi dengan tepi-tepi dari
anomali massa dari struktur bawah permukaan yang ditelaah. Pada
Gambar 4.5a, tepi atas prisma horisontal berasosiasi dengan 𝑔′′max dan
tepi bawah prisma berasosiasi dengan 𝑔′′min. Hal yang sama juga
berlaku dalam mengestimasi tepi-tepi pada cekungan sedimen (Gambar
4.5b) dan pada batuan pluton granitik (Gambar 4.5c).

Harus ditekankan bahwa tidak mungkin melakukan analisis


kuantitatif apapun dari peta SVD kecuali untuk menghasilkan profil
karakteristik atas bentuk geometris yang diketahui. Kelebihan utama dari

128
Gambar 4.5. Tiga respons trend dari analisa SVD pada anomali
gravitasi (a) prisma horisontal (b) cekungan sedimen (c) batuan pluton
granitik (Reynold, 1997).

129
peta SVD adalah untuk menonjolkan dan memperjelas fitur secara
spasial, seperti dapat dilihat dari Gambar 4.6. Hal-hal yang dapat
digarisbawahi pada Gambar 4.6 adalah sebagai berikut. Pertama, peta
anomali Bouguer tampaknya memiliki tren yang konsisten dengan peta
SVD. Kedua, fitur Sesar Kolaka dan Sesar Konaweha menjadi semakin
jelas terlihat pada peta SVD.

Pada kajian struktur patahan yang memanfaatkan turunan vertikal


kedua (SVD) sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4.6, struktur
patahan dicirikan oleh kontur SVD dari anomali Bouguer bernilai nol
yang diapit oleh kontur SVD yang bernilai tinggi dan rendah.

Gambar 4.6. (a) Kontur anomali Bouguer lengkap sekitar Cekungan


Sampara Sulawesi Tenggara, dan (b) setelah dilakukan SVD (Hamdu,
2017).
130
Analisa jenis patahan dengan menggunakan SVD memberikan hasil
yang dapat memperkirakan jenis sesar serta memberikan gambaran
mengenai struktur sesar jika disandingkan dengan anomali Bouguer
lengkap pada garis penampang yang sama. Gambar 4.7 merupakan
ilustrasi sebuah penampang yang dibuat untuk menganalisa struktur
patahan pada suatu sesar lokal di Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Berdasarkan hasil analisa SVD, sesar lokal tersebut diduga sebagai sesar
naik dengan posisi blok batuan naik (up) dan posisi blok batuan yang
turun (down) sesuai dengan Rusmana, dkk (1993). Hal tersebut dapat
dibuktikan dengan nilai mutlak SVD minimum, yakni
|−12,76573311| mGal, lebih besar dibandingkan dengan nilai mutlak
SVD maksimum yang bernilai |12,07266084 | mGal. Hasil analisa
SVD yang dikorelasikan dengan anomali Bouguer dapat memberikan
gambaran blok batuan yang naik (up) dan blok batuan yang turun (down).
Hal ini sesuai dengan profil anomali Bouguer yang memberikan
gambaran kondisi bawah permukaan, dimana naiknya grafik anomali
tersebut dapat menjadi pertanda adanya suatu blok lapisan dekat
permukaan yang naik (up). Begitu pula sebaliknya, grafik anomali
Bouguer yang mengalami penurunan menandakan adanya blok lapisan
yang turun (down). Selain itu, hasil korelasi antara grafik SVD dan
anomali Bouguer juga dapat memberikan pola grafik yang mirip.

131
Gambar 4.7. Analisa jenis sesar pada sesar lokal di Kolaka, Provinsi
Sulawesi Tenggara.

Hasil yang didapatkan juga menyatakan bahwa sesar lokal tersebut


diduga secara keseluruhan merupakan jenis patahan naik dengan posisi
blok batuan yang naik (up) dan blok batuan yang turun (down) sesuai
dengan peta geologi yang dalam Rusmana, dkk (1993).

4.5. Rangkuman

Metode sumber ekuivalen titik massa (Dampney, 1969) dan metode


pendekatan deret Taylor merupakan dua metode yang umum digunakan
untuk memproyeksikan data anomali dari permukaan topografi yang

132
tidak beraturan ke suatu permukaan datar pada ketinggian tertentu
dengan grid yang teratur. Proyeksi seperti ini diperlukan karena
perangkat lunak yang ada saat ini dalam pemodelan inversi data gravitasi
untuk mengestimasi struktur bawah permukaan masih belum memasuk-
kan variabel ketinggian titik amat. Proyeksi ke bidang datar ini adalah
upaya untuk mengatasi persoalan di atas. Proyeksi ke bidang datar
biasanya dilakukan pada ketinggian rata-rata. Hasil proyeksi akurat
apabila kontur anomali Bouguer hasil proyeksi ke bidang datar
memperlihatkan trend yang sama dengan kontur anomali Bouguer yang
masih terpapar di topografi.

Anomali Bouguer lengkap merupakan superposisi dari anomali


Bouguer regional dan anomali Bouguer lokal. Anomali Bouguer regional
merepresentasikan struktur-struktur bawah permukaan yang lebih dalam
dan dicirikan oleh anomali berfrekuensi rendah. Sedangkan anomali
Bouguer lokal merepresentasikan massa-massa anomali yang lebih
dangkal. Jika pengambilan data dengan spasing antar titik pengukuran
terlalu lebar, maka frekuensi tinggi akibat pengaruh struktur bawah-
permukaan dangkal tidak akan muncul. Dan jika pengambilan spasing
antar titik pengukuran kecil, maka baik frekuensi tinggi maupun
frekuensi rendah akan terekam bersama-sama, sehingga untuk
menganalisis anomali akibat efek struktur bawah-permukaan dangkal
perlu pemisahan efek regional (signal frekuensi rendah) dari anomali
lokalnya. Beberapa metode pemisahan efek regional antara lain metode

133
visual, metode Griffin, metode turunan tegak kedua, metode polinomial,
dan metode kontinuasi keatas/ kebawah (upward/ downward
continuation).

Analisa SVD dimanfaatkan untuk mendefinisikan kriteria dalam


penentuan jenis struktur sesar suatu daerah, sebagaimana dijelaskan oleh
Reynolds (1997). Kelebihan utama dari peta SVD adalah untuk
menonjolkan dan memperjelas fitur secara spasial.

Referensi
Blakely, R. J. 1996. Potential theory in gravity and magnetic
applications. New York: Cambridge University Press.
Bullard, E.C., and Cooper, R.I.B., 1948, The Determination of the
Masses Necessary to Produce a Given gravitational Field, Proc. R. Soc.
Lond., A194, 332-347.
Dampney, C. N. G. 1969. The equivalent source technique. Journal
Geophysics, Vol. 34, 1.
Hamdu, A.Y., 2017, Interpretasi Struktur Bawah Permukaan Cekungan
Sampara Menggunakan Data Garvitasi Citra Geosat, Skripsi, Universitas
Halu Oleo, Kendari.
Jacoby, W., & Smilde, P. L., 2009, Gravity interpretation: Fundamentals
and application of gravity inversion and geological interpretation,
Springer, Berlin.
Lanata, R.R., 2018, Identifikasi Struktur Sesar pada Lapangan Panas
Bumi Mangolo, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara
Menggunakan Data Gravitasi Citra Satelit, Skripsi, Universitas Halu
Oleo, Kendari.

134
LaFehr TR, Nabighian MN, 2012, Fundamentals of Gravity Exploration,
Tulsa: Society of Exploration Geophysicists.
Reynolds, J. M., 1997, An Introduction to Applied and Environmental
Geophysics, John Wiley & Sons, Oxford UK.
Reynolds, J. M., 2011, An Introduction to Applied and Inveronmental
Geophysics, Second Edition, John Wiley & Sons, Oxford UK.
Rusmana, E., Sukido, Sukarna, D., Haryono, D., Simandjuntak, T.O.,
1993, Peta Geologi Lembar Lasusua-Kendari, Sulawesi, skala
1:250.000.
Safani, J., 2000, Analisis Anomali Medan Gravitasi di Atas Sferoida
Referensi (Studi Kasus Daerah Krinjing-Magelang, Jawa Timur), Thesis,
Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Telford, W. M., Geldart, L. P., & Sheriff, R. E. 1990, Applied geophysics
second edition, Press Syndicate of University of Cambridge, New York.
Dubey, C.P.; Tiwari, V.M., 2016, Computation of the gravity field and
its gradient: Some applications. Comput. Geosci., Vol. 88, pp. 83–96.

135
BAB V
INTERPRETASI DATA
GRAVITASI

5.1. Pendahuluan

Permasalahan dalam interpretasi biasanya adalah bagaimana


mendapatkan distribusi massa yang bertanggungjawab atas anomali
residual. Hal ini sering dilakukan melalui pemodelan iteratif. Respons
model (sebut sebagai anomali gravitasi teoritik) dari sebuah distribusi
massa dihitung dan dikurangkan terhadap anomali gravitasi terukur. Jika
respons model yang dihitung belum sesuai dengan anomali gravitasi
terukur, maka model distribusi massa diubah dan perhitungan diulang
sampai selisih antara respons model dan anomali gravitasi terukur sangat
kecil. Untuk membatasi jumlah perubahan-perubahan yang mungkin,
beberapa kendala (constraints) yang telah ditentukan sejak awal
disertakan dalam perhitungan, misalnya, kita mungkin hanya mengubah
permukaan teratas dari distribusi massa. Beberapa model distribusi
massa diuraikan di bawah ini. Contoh-contoh pemodelan inversi juga
akan ditunjukkan pada bagian akhir bab ini.

136
5.2. Efek Gravitasi Benda Dua Dimensi Sembarang

Efek gravitasi dari benda dua dimensi (2-D) dari tampang lintang
sembarang dapat dihitung dengan menggunakan poligon bersisi-N
(Talwani dkk, 1959; Telford dkk, 1990). Ilustrasi sederhana dari model
Talwani dkk ditunjukkan pada Gambar 5.1. ABCDEF pada Gambar 5.1
adalah titik-titik sudut sebuah poligon dan P adalah titik amat dimana
efek gravitasi poligon akan ditentukan. P dianggap sebagai titik pusat
sistem koordinat XZ, dan poligon berada pada bidang XZ ini. Sumbu Z
adalah positif ke bawah dan θ adalah positif dari arah sumbu X-positif ke
sumbu Z-positif.

Hubbert (1948) menunjukkan bahwa komponen vertikal efek


gravitasi benda dua dimensi pada titik P adalah:

Gambar 5.1. Elemen geometris yang dilibatkan dalam perhitungan efek


gravitasi poligon bersisi-N (Talwani, 1959; Telford, 1990).

137
𝑔 = 2𝐺𝜌 ∮ 𝑧 𝑑𝜃 (5.1)

Intergral garis ini dilakukan pada seluruh sisi poligon.

Untuk menghitung kontribusi suatu sisi (Talwani, 1959), misalnya


BC, pada ∮ 𝑧 𝑑𝜃 dibuat garis yang meneruskan CB hingga memotong
sumbu X di titik Q dengan sudut i . Bila jarak PQ adalah ai, maka:

z  x tan  (5.2)

dan untuk sembarang titik, misalkan R, pada BC:

z  ( x  ai ) tan i (5.3)

Dari Persamaan (5.2) dan (5.3) diperoleh:

ai tan  tan i
z (5.4)
tan i  tan 

dan

C
ai tan  tan i

BC
zd  
B
tan i  tan 
d (5.5)

Sehingga komponen vertikal menjadi:


𝑛

𝑔 = 2𝐺𝜌 ∑ 𝑧𝑖 (5.6)
𝑖=1

dan secara umum

138
 cos i (tan i  tan i ) 
zi  ai sin i cos i i  i 1  tan i ln  (5.7)
 cos i 1 (tan i 1  tan i 

dengan

𝜃𝑖 = arctan(𝑧𝑖 ⁄𝑥𝑖 )

∅𝑖 = arctan (𝑧𝑖+1 − 𝑧𝑖 )⁄(𝑥𝑖+1 − 𝑥𝑖 )

𝜃𝑖+1 = arctan(𝑧𝑖+1 ⁄𝑥𝑖+1 )

𝑥𝑖+1 − 𝑥𝑖
𝑎𝑖 = 𝑥𝑖+1 + 𝑧𝑖+1
𝑧𝑖 − 𝑧𝑖+1

Pada beberapa kasus, 𝑧𝑖 , akan menjadi lebih sederhana yaitu

jika 𝑥𝑖 = 𝑥𝑖+1 , maka 𝑧𝑖 = 𝑥𝑖 𝑙𝑛(cos 𝜃𝑖 ⁄cos 𝜃𝑖+1), dan

jika 𝑧𝑖 = 𝑧𝑖+1 , maka 𝑧𝑖 = 𝑧𝑖 (𝜃𝑖+1 − 𝜃𝑖 ).

Kedua kasus ini akan memudahkan perhitungan efek gravitasi dari benda
anomali yang berbentuk persegi empat.

Teknik ini juga dapat digunakan untuk benda tiga-dimensi (3-D)


dengan mengganti kontur-kontur pada bidang horisontal dengan poligon
bersisi-N. Penyelesaian dari integral-integral garis dari poligon pada
dasarnya merupakan versi yang lebih rumit dari Persamaan (5.7).

139
5.3. Efek Gravitasi Dua Dimensi untuk Benda Berbentuk
Persegi Empat

Berikut adalah model 2-D yang digunakan dalam proses inversi


untuk susunan blok-blok persegi empat yang jumlah kolomnya sama
dengan jumlah stasiunnya, dan jumlah barisnya ditentukan oleh
pengguna atau interpreter. Tiap-tiap blok mempunyai titik pusat tepat di
bawah titik stasiun, lebar blok sama dengan interval stasiun pengukuran.

Efek gravitasi dari seluruh blok adalah jumlah keseluruhan dari efek
individual masing-masing blok yang dapat diatur sedemikian sehingga
memiliki lebar dan tinggi yang sama. Namun dapat pula diatur sehingga
lebar dan tinggi blok tidak sama, bergantung pada kebutuhan analisis
interpreter. Dengan menggunakan persamaan (5.6) dan (5.7), efek
gravitasi sembarang blok dalam model sebagaimana ditunjukkan pada
Gambar 5.2 dapat ditentukan.

Pada keadaan ini, dijumpai dua kasus berkaitan dengan x dan z.


Kasus pertama adalah jika 𝑥𝑖 = 𝑥𝑖+1 , dan yang kedua adalah jika 𝑧𝑖 =
𝑧𝑖+1 . Perhitungan ini dilakukan mulai dari titik A bergerak searah dengan
jarum jam.

 Untuk AD : 𝑧𝐴 = 𝑧𝐷

𝑧𝐴𝐷 = 𝑧𝐴 (𝜃𝐷 − 𝜃𝐴) = (𝑧𝑗 − ℎ⁄2)(𝜃3 − 𝜃1 ) (5.8)

140
Gambar 5.2. Geometri sembarang blok pada sistem model 2-D yang
digunakan dalam proses inversi.

 Untuk DC: 𝑥𝐷 = 𝑥𝐶

cos 𝜃 𝑟
𝑧𝐷𝐶 = 𝑥𝐷 ln cos 𝜃3 = (𝑥𝑗 − 𝑥𝑖 + 𝑑 ⁄2) ln 𝑟3 (5.9)
4 4

 Untuk CB: 𝑧𝐶 = 𝑧𝐵

𝑧𝐶𝐵 = 𝑧𝐶 (𝜃𝐵 − 𝜃𝐶 ) = (𝑧𝑗 + ℎ⁄2)(𝜃2 − 𝜃4 ) (5.10)

 Untuk BA: 𝑥𝐵 = 𝑥𝐴
cos 𝜃 𝑟
𝑧𝐵𝐴 = 𝑥𝐵 ln cos 𝜃2 = (𝑥𝑗 − 𝑥𝑖 − 𝑑 ⁄2) ln 𝑟2 (5.11)
1 1

Sehingga untuk satu blok persegi empat diperoleh:

𝑟3
𝑧 = (𝑧𝑗 − ℎ⁄2)(𝜃3 − 𝜃1) + (𝑥𝑗 − 𝑥𝑖 + 𝑑 ⁄2) ln +
𝑟4

141
𝑟2
(𝑧𝑗 + ℎ⁄2)(𝜃2 − 𝜃4 ) + (𝑥𝑗 − 𝑥𝑖 − 𝑑 ⁄2) ln (5.12a)
𝑟1

𝑟4 𝑟1 𝑟4
𝑧 = (𝑥𝑗 − 𝑥𝑖 + 𝑑 ⁄2) ln + 𝑑 ln + (𝑧𝑗 + ℎ⁄2)(𝜃4 − 𝜃2 )
𝑟3 𝑟2 𝑟3
+ (𝑧𝑗 − ℎ⁄2)(𝜃3 − 𝜃1 ) (5.12b)

Dengan memasukkan z ini ke Persamaan (5.6) maka komponen


vertikal efek gravitasi model 2-D empat persegi dapat dinyatakan sebagai
berikut:
𝑛
𝑟4 𝑟1 𝑟4
𝑔 = 2𝐺𝜌 ∑(𝑥𝑗 − 𝑥𝑖 + 𝑑 ⁄2) ln + 𝑑 ln + (𝑧𝑗 + ℎ⁄2)(𝜃4 − 𝜃2 )
𝑟3 𝑟2 𝑟3
𝑖=1

+ (𝑧𝑗 − ℎ⁄2)(𝜃3 − 𝜃1 ) (5.13)

5.4. Pemodelan Kedepan Data Gravitasi dengan Model


2-D Persegi Empat

Model 2-D ini dijelaskan dengan rinci dalam Last & Kubik (1983)
dengan memanfaatkan model Talwani (1959) untuk benda berbentuk
persegi empat. Tiap-tiap blok persegi empat tersebut merepresentasikan
titik data i dan blok j. Susunan tiap-tiap blok tersebut ditunjukkan pada
Gambar 5.3. Blok-blok persegi empat yang memiliki pusat tepat di

142
Gambar 5.3. Model dua-dimensi (2-D) blok-blok persegi empat yang
menggambarkan titik data i, blok j. d dan h adalah dimensi horisontal dan
vertikal blok (Last & Kubik, 1983).

bawah titik pengukuran 𝑥𝑖 sebagai koordinat horisontalnya dan


kedalaman 𝑧𝑗 sebagai koordinat vertikalnya.

Merujuk pada Persamaan (5.13), efek gravitasi pada titik i dapat


ditulis sebagai:

𝑔𝑖 = ∑ 𝑎𝑖𝑗 𝜌𝑗 𝑖 = 1, … 𝑁 (5.14)
𝑗=1

Dengan 𝜌𝑗 adalah densitas blok ke-j, dan 𝑎𝑖𝑗 elemen matriks yang
menjabarkan pengaruh blok ke-j pada harga gravitasi, yaitu

143
𝑟4 𝑟1 𝑟4
𝑎𝑖𝑗 = 2𝐺 [(𝑥𝑗 − 𝑥𝑖 + 𝑑 ⁄2) ln + 𝑑 ln + (𝑧𝑗 + ℎ⁄2)(𝜃4 − 𝜃2 )
𝑟3 𝑟2 𝑟3

+ (𝑧𝑗 − ℎ⁄2)(𝜃3 − 𝜃1 )] (5.15)

dimana:

1
r1  ( z j  h / 2)2  ( xi  x j  d / 2)2  2
(5.16a)

1
r2  ( z j  h / 2)2  ( xi  x j  d / 2)2  2
(5.16b)

1
r3  ( z j  h / 2)2  ( xi  x j  d / 2)2  2
(5.16c)

1
r4  ( z j  h / 2)2  ( xi  x j  d / 2)2  2
(5.16d)

1  arctan ( xi  x j  d / 2) / ( z j  h / 2)  (5.17a)

2  arctan ( xi  x j  d / 2) / ( z j  h / 2)  (5.17b)

3  arctan ( xi  x j  d / 2) / ( z j  h / 2)  (5.17c)

4  arctan ( xi  x j  d / 2) / ( z j  h / 2)  (5.17d)

dan G adalah tetapan gravitasi.

144
5.5. Uji Numerik Pemodelan Kedepan dan Inversi Data
Gravitasi untuk Model 2-D Persegi Empat

5.5.1. Pemodelan kedepan dan Inversi untuk Model Patahan


Homogen

Model ini terdiri dari model geometri (meshgrid) yang dibuat


dengan panjang lintasan 90 m dengan kedalaman 50 m dan model
geologi berbentuk patahan (benda anomali) dengan densitas 1000 kg/m3
serta densitas di sekitaran model ini adalah 0 kg/m 3. Efek medan
gravitasi dihitung pada bidang datar di 10 titik amat dengan interval 10
m dari satu titik ketitik lainnya dan ketebalan setiap blok 10 m (Rubaiyn,
2019). Persamaan (5.14) hingga (5.17d) digunakan dalam menghitung
medan gravitasi. Ilustrasi model patahan homogen dan respons medan
gravitasi-nya ditunjukan oleh Gambar 5.4.

Inversi terhadap model respons medan gravitasi sintetik yang


disajikan pada Gambar 5.4 bagian atas dilakukan dengan menggunakan
algoritma genetika. Secara umum, prosedur inversi data gravitasi
diarahkan untuk meminimumkan misfit antara data medan gravitasi
terukur dan data model respons (data terhitung) untuk mendapatkan
suatu model distribusi densitas bawah permukaan yang merupakan
representasi kondisi geologi bawah permukaan.

145
Gambar 5.4. Respon medan gravitasi sintetik (sisi atas) dan model
sintetik berbentuk patahan homogen (sisi bawah) (Rubaiyn dkk, 2019).

Penyajian solusi ruang pencarian model di buat dalam bentuk mesh


2D yang terdiri dari sel-sel kotak (meshgrid) berukuran seragam.
Panjang lintasan meshgrid yaitu 90 m dan kedalaman dibuat lebih dalam
dari model geometri sintetik yaitu 80 m. Setiap sel memliki panjang dan
lebar yaitu 10m x 10m serta jumlah grid dalam arah x dan z yaitu 9 x 8.
Selama proses inversi, ukuran meshgrid akan tetap dengan nilai densitas
yang berubah-ubah mengikuti perturbasi model dan fungsi obyektif
inversi. Batas pencarian densitas diatur antara 0 kg/m 3 sampai 1000
kg/m3 dengan panjang string 1 bit, jumlah model yang diterima tiap

146
generasi yaitu 1000 model dan jumlah maksimum generasi yaitu 1500
(Rubaiyn dkk, 2019).

Solusi model yang dicari dalam proses inversi dirancang dalam


skema penggkodeaan. Skema pengkodean ini mecakup tiga hal utama
yaitu pembatasan ruang pencarian densitas setiap sel kotak pada
meshgrid, penentuan jumlah bit dan pembatasan jumlah model yang
diterima tiap generasi. Ketiga parameter inversi ini merupakan langka
awal yang harus dipilih dan diatur sedimikian sehingga diperoleh solusi
terbaik sesuai dengan yang diharapkan (Rubaiyn dkk, 2019).

Dasar pertimbangan penentuan parameter inversi merujuk pada


konsep implementasi algoritma genetika konvensional dalam meng-
inversi data gravitasi untuk pemodelan struktur garam (salt) oleh
Krahenbuhl (2005). Dalam penelitian tersebut digunakan konsep inversi
1 bit. Dengan inversi 1 bit kontras densitas terbatas pada dua
kemungkinan: satu atau nol. Satu untuk kontras densitas garam, dan nol
untuk sedimen.

Inversi dilakukan secara berulang, kemudian dipilih solusi yang


memiliki misfit terendah. Salah satu mekanisme inversi dengan motode
algortima genetika adalah dibangkitkan suatu populasi awal secara acak
(random), sehinggga solusi dari tiap inversi dapat berbeda. Oleh karena
itu dilakukan proses inversi secara berulang unutuk mendapatkan solusi
terbaik. Solusi model inversi dan kecocokan kurva medan gravitasi

147
(medan gravitasi terukur dan medan gravitasi hasil inversi) di tunjukan
oleh Gambar 5.5.

Pada Gambar 5.5 tampak bawah kurva medan gravitasi inversi


(terhitung) memperlihatkan kesesuaian yang sangat signifikan dengan
kurva medan gravitasi observasi dengan nilai misfit 1,97x10-6 mGal

Gambar 5.5. Hasil inversi model patahan homogen dengan algoritma


genetika panjang string kromosom 1 bit: (a) perbandingan kurva
gravitasi observasi dan gravitasi hasil inversi (sisi atas), dan (b) model
patahan homogen hasil inversi (sisi bawah) (Rubaiyn dkk, 2019).

148
serta diperoleh model bawah permukaan hasil inversi yang sesuai dengan
model sintetik (Rubaiyn, 2019). Hal ini menunjukkan bahwa inversi
dengan algoritma genetika dengan panjang string kromosom 1 bit dapat
digunakan untuk mengestimasi dengan sangat akurat model benda
anomali homogen. Inversi dengan panjang bit string yang lebih besar
seperti 2 bit, 4 bit, atau 8 bit perlu dilakukan sebagai pembanding untuk
mengukur keakurasian hasil inversi, karena panjang bit string juga
mempengaruhi akurasi hasil inversi data geofika dalam metode
algoritma genetika.

5.5.2. Pemodelan kedepan dan inversi untuk model patahan tak-


homogen

Model ini dibuat menyerupai model patahan homogen (Gambar 5.4)


dari aspek parameter geometri patahannya, namun berbeda dari aspek
densitas pada sistem perlapisan patahannya. Lapisan paling atas dari
patahan memiliki densitas 400 kg/m3, sedangkan lapisan bawahnya
memiliki densitas 1000 kg/m3. Ilustrasi model patahan tak homogen dan
respon medan gravitasinya ditunjukan oleh Gambar 5.6. Posisi patahan
berada pada kedalaman 10 – 50 m dan pada posisi horisontal 20 – 50 m.

Selanjutnya dilakukan proses inversi terhadap data medan gravitasi


sintetik yang disajikan pada Gambar 5.6, dimana selanjutnya ia berperan
sebagai medan gravitasi observasi, untuk mengestimasi balik

149
Gambar 5.6. Respon medan gravitasi sintetik (atas) dan model sintetik
benda berbentuk patahan tak homogen (bawah) (Rubaiyn, 2019).

benda anomali berbentuk patahan tak-homogen. Parameter model yang


diestimasi adalah parameter geometri (bentuk dan kedalaman) dan
densitas benda. Ruang pencarian parameter geometri model dibuat dalam
bentuk sel-sel kotak (meshgrid) dengan panjang dan lebar masing-
masing grid sama seperti inversi untuk kasus patahan homogen di atas.
Batas pencarian densitas juga diatur antara 0 kg/m 3 sampai 1000 kg/m3
dengan panjang string bervariasi, yaitu 1 bit, 2 bit, dan 8 bit. Jumlah
model yang diterima tiap generasi diatur sebanyak 1000 model dan
jumlah maksimum generasi 1500. Hasil inversi medan gravitasi obervasi

150
untuk panjang string 1 bit, 2 bit, dan 8 bit secara berturut-turut ditunjukan
oleh Gambar 5.7, Gambar 5.8 dan Gambar 5.9.

Uji variasi panjang string kromosom (1 bit, 2 bit, dan 8 bit)


dimaksudkan untuk melihat pengaruhnya terhadap akurasi inversi yang
dihasilkan. Resolusi yang dipilih untuk merepresentasikan tiap-tiap gen
yang mengisi bit string adalah 10. Inversi data medan gravitasi observasi
untuk model patahan tak- homogen dengan panjang string

Gambar 5.7. Hasil inversi model patahan tak-homogen dengan


algoritma genetika panjang string kromosom 1 bit: (a) perbandingan
kurva gravitasi observasi dan gravitasi hasil inversi (sisi atas), dan (b)
model patahan tak-homogen hasil inversi (sisi bawah) (Rubaiyn, 2019).

151
kromosom 1 bit memperlihatkan kesesuaian yang baik antara data
gravitasi observasi dan gravitasi terhitung (gravitasi inversi) dengan nilai
misfit atau Ekurva (eror kurva) 5,1 x 10-3 mGal. Namun demikian, model
benda anomali hasil inversi serta belum menunjukan hasil yang
diharapkan. Model distribusi densitas hasil inversi yang ditunjukkan pada
Gambar 5.7 belum sesuai dengan model sintetik patahan tak-homogen
seperti ditunjukkan pada Gambar 5.6. Dengan demikian misfit yang kecil
belum dapat menjamin dihasilkannya model inversi yang akurat.

Inversi data medan gravitasi observasi untuk model patahan tak-


homogen dengan algoritma genetika dan dengan panjang string
kromosom 2 bit memperlihatkan kemajuan yang signifikan. Kurva
anomali medan gravitasi inversi mulai memperlihatkan hasil inversi
dengan keakurasian yang lebih baik (Gambar 5.8). Pertama, terdapat
kesesuaian yang signifikan antara kurva anomali medan gravitasi
observasi (garis putus-putus merah) dan medan gravitasi terhitung (garis
solid biru) dengan nilai misfit atau Ekurva (eror kurva) yang lebih kecil,
yaitu 6,8 x 10-4 mGal (Gambar 5.8 – atas). Kedua, distribusi densitas model
yang diperoleh dari hasil inversi hampir sesuai dengan model sintetik
patahan tak-homogen yang diinginkan (Gambar 5.8 – bawah).

Inversi terhadap data medan gravitasi yang sama seperti pada


Gambar 5.7 dan 5.8 dengan menggunakan metode algoritma genetika,
tetapi dengan panjang string kromosom sebesar 8 bit (Gambar 5.9)
memperlihatkan hasil yang lebih signifikan akurat dari kedua hasil

152
Gambar 5.8. Hasil inversi model patahan tak-homogen dengan
algoritma genetika panjang string kromosom 2 bit: (a) perbandingan
kurva gravitasi observasi dan gravitasi hasil inversi (sisi atas), dan (b)
model patahan tak-homogen hasil inversi (sisi bawah) (Rubaiyn, 2019).

inversi di atas. kurva anomali medan gravitasi observasi memperlihatkan


kesesuaian yang signifikan dengan kurva anomali medan gravitasi
terhitung dengan nilai misfit atau eror kurva yang relatif sama seperti
inversi dengan 2 bit, yaitu 7,12 x 10-4 mGal. Namun demikian, parameter
geometri benda anomali (yaitu kedalaman dan bentuknya) yang diperoleh
dari hasil inversi sesuai dengan geometri sesungguhnya, meskipun
terdapat sedikit perbedaan pada nilai densitas yang diperoleh.

153
Dari ketiga hasil inversi untuk model patahan tak-homogen dengan
panjang bit string kromosom yang berbeda terlihat bahwa semakin tinggi
bit string, semakin akurat hasil inversi yang diperoleh. Jadi panjangnya bit
string kromosom dalam melakukan inversi dengan metode algoritma
genetika sangat mempengaruhi hasil inversi.

Gambar 5.9. Hasil inversi model patahan tak-homogen dengan


algoritma genetika panjang string kromosom 8 bit: (a) perbandingan
kurva gravitasi observasi dan gravitasi hasil inversi (sisi atas), dan (b)
model patahan tak-homogen hasil inversi (sisi bawah) (Rubaiyn, 2019).

5.6. Rangkuman

Akurasi inversi data gravitasi dengan metode algoritma genetika


dipengaruhi oleh tiga aspek, yaitu kesesuaian pembatasan ruang
pencarian, penentuan jumlah bit, dan pembatasan jumlah model.

154
Anomali benda homogen bawah permukaan mampu dimodelkan dengan
sangat baik melalui inversi algoritma genetika terhadap data medan
gravitasi, meski hanya dengan panjang string kromosom 1 bit. Di lain
pihak, anomali benda tak-homogen yang dicirikan oleh variasi densitas
sistem perlapisan benda tersebut dapat dimodelkan dengan sangat akurat
melalui inversi algoritma genetika dengan panjang string 8 bit.

Referensi

Dubey, C.P.; Tiwari, V.M., 2016, Computation of the gravity field and
its gradient: Some applications. Comput. Geosci., Vol. 88, pp. 83–96.
Eteje, S. O., Oduyebo, O. F., Oluyori. P. D., 2019, Modelling Local
Gravity Anomalies from Processed Observed Gravity Measurements for
Geodetic Applications. International Journal of Scientific Research in
Science and Technology, Vol. 6 (5), pp.144-162.
Grandis, H., 2009, Pengantar Pemodelan Inversi Geofisika, Himpunan
Ahli Geofisika (HAGI), Bandung.
Hubbert, M. K., 1948, A line integral method of computing gravimetric
effects of two-dimensional masses, Geophysics, Vol 13, 215-225.
Krahenbuhl, R.A., 2005, Binary Inversion of Gravity Data for Salt
Imaging, Department of Geophysics Colorado School of Mines.
LaFehr TR, Nabighian MN, 2012, Fundamentals of Gravity Exploration,
Tulsa: Society of Exploration Geophysicists.
Last, B.J., and Kubik, K., 1983, Compact Gravity Inversion, Geophysics
Vol.48 74, p.713-721.
Reynolds, J. M., 2011, An Introduction to Applied and Inveronmental
Geophysics, Second Edition, John Wiley & Sons, Oxford UK.

155
Rubaiyn, A., Safani, J., La Hamimu, 2019, Pengembangan Algoritma
Genetika Untuk Inversi Data Gravitasi, Jurnal Rekayasa Geofisika
Indonesia (JRGI), Vol. 1, No. 01, p. 1 - 8.
Talwani, M., Worzel, J. L. and Ladisman, M., 1959., Rapid Gravity
Computation for Two Dimensional Bodies with Application to The
Medicino Submarine Fractures Zone., Journal of Geophysics Research.,
Vol. 64 No.1
Telford, W. M., Geldart, L. P. and Sheriff, R. E., 1990., Applied
Geophysics Second Edition., Cambridge University Press, New York,
USA

156

Anda mungkin juga menyukai