Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Sejatinya manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon) sehingga
membutuhkan manusia lainnya, di mana hal ini mengakibatkan adanya hubungan
diantara manusia termasuk hubungan keperdataan/perikatan. Dalam aspek kehidupan
dalam memenuhi kebutuhannya manusia, tidak serta merta dapat memperoleh semua
hal yang ia butuhkan tanpa bantuan orang lain, dengan demikian hal ini melahirkan
suatu hubungan di dalam pemenuhan akan kebutuhannya dengan berbagai cara
termasuk dengan cara berdagang antara manusia yang satu dengan yang lainnya.
Luasnya aspek perdagangan menimbulkan suatu gejala yang terjadi secara
sistematis bahwa perdagangan yang lebih besar/luas tidak mampu hanya dilakukan
oleh seorang individu, tetapi ada suatu kebutuhan untuk bekerja sama dalam
melancarkan proses perdagangan. Dalam dunia modern sekarang ini dunia
perdagangan berkembang lebih luas dan lebih maju lagi sehingga untuk mencapai
perdagangan yang lebih sehat maka ada aturan maupun perundang-undangan yang
mengatur berbagai hal termasuk persyaratan maupun ketentuan batasan maupun
pertanggungjawaban para pihak di dalam melaksanakan perdagangan, sehingga
dengan adanya suatu sistem perdagangan dengan batasan yang ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan maka diharapkan terbentuknya suatu usaha
perdagangan yang sehat serta mampu mengakomodasi barang dagangan yang
dibutuhkan oleh masyarakat.

II. RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan diatas adapun
rumusan masalah yaitu, sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dari Perusahaan, Pengusaha, dan Pembantu-Pembantu
Pengusaha?
2. Bagaimana Hubungan hukum Antara pengusaha dengan pembantu pengusaha di
dalam dan di luar perusahaan.
3. Bagaimana Pertanggungjawaban pembantu pengusaha kepada pihak ketiga baik
dalam Perusahaan maupun di luar perusahaan?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Perusahaan, Pengusaha, dan Pembantu-Pembantu Pengusaha


Agar dapat mengetahui hubungan hukum antara pengusaha dengan pembantu
pengusaha, penting untuk terlebih dahulu meninjau definisi masing-masing istilah dari
Perusahaan, Pengusaha, dan Pembantu Usaha.
2.1.1. Perusahaan
Jika merujuk pada Kitab Hukum Dagang hanya terdapat istilah
pedagang, dan bukan pengusaha. Hal ini merujuk pada KUHD yang hanya
mengikat para pedagang. Namun, sebagaimana penjelasan dalam bab
sebelumnya, sejak tahun 1938 dengan dicabutnya pasal 2-5 KUHD, hal ini
telah merubah pengertian perbuatan dagang menjadi perbuatan perusahaan
yang memiliki arti lebih luas, sehingga KUHD tidak hanya berlaku pada para
pedagang tetapi juga bagi setiap pengusaha, yaitu orang yang menjalankan
perusahaan.
Terdapat beberapa pendapat dari para ahli yang memberikan
pengertian mengenai perusahaan, yaitu sebagai berikut (M. N.
Purwosutjipto,1995:15):
- Menurut Molengraaff, perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang
dilakukan secara terus menerus, bertindak keluar, untuk mendapatkan
penghasilan, dengan cara memperniagakan barang-barang,
menyerahkan barang-barang, atau mengadakan perjanjian
perdagangan. Istilah pengertian perusahaan ini dipandang dari sudut
ekonomi karena dengan cara tersebut dapat memperoleh penghasilan.
- Polak berpendapat bahwa ​sebuah perusahaan dianggap ada bila
diperlukan adanya perhitungan mengenai laba-rugi yang dapat
diperkirakan, dan segala sesuatu itu dicatat dalam pembukuan.
- Mulhadi menjelaskan, bahwa pengertian “menjalankan perusahaan”
mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a. Ada perbuatan dengan kualitas tertentu yang dilakukan
b. Dilakukan secara terang-terangan (tidak melanggar hukum)
c. Dilakukan secara terus-menerus (continue, berkesinambungan)
d. Mencari keuntungan
Di dalam perundang-undangan juga dapat dijumpai pengertian dari
perusahaan yang terdapat dalam UU No. 3 Tahun 1992 mengenai wajib
perusahaan dan UU No. 8 Tahun 1997 tentang dokumen perusahaan.
- UU No. 3 Tahun 1992 mengenai Wajib Perusahaan.
Dalam undang-undang ini dijelaskan bahwa: “Perusahaan adalah
bentuk usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan didirikan,
bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Republik Indonesia untuk
tujuan memperoleh keuntungan atau laba.”
- UU No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan.
Dijelaskan bahwa: “perusahaan adalah bentuk usaha yang melakukan
kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh
keuntungan dan atau laba, baik yang diselenggarakan oleh
perseorangan maupun badan usaha, baik berbentuk badan hukum
ataupun bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam
wilayah negara Republik Indonesia.”
Dengan demikian, berdasarkan penjelasan diatas, dapat disebut
perusahaan apabila memenuhi unsur-unsur di bawah ini:
1. Merupakan bentuk usaha;
2. Bentuk usaha itu diselenggarakan oleh perseorangan maupun badan
usaha, baik berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum;
3. Melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus;
4. Bertindak keluar dengan cara memperniagakan barang-barang atau
mengadakan perjanjian-perjanjian;
5. Membuat perhitungan tentang laba-rugi yang dicatat dalam
pembukuan; dan
6. Bertujuan memperoleh keuntungan atau laba.

2.1.2. Pengusaha
Dalam pasal 1C UU No. Tahun 1982 tentang wajib daftar perusahaan,
dijelaskan bahwa pengusaha adalah setiap orang perseorangan atau
persekutuan atau badan hukum yang menjalankan sesuatu jenis perusahaan.
Selain itu, pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal
1 angka 5 menjelaskan bahwa pengusaha adalah; a) orang perseorangan,
persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik
sendiri; b) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara
berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; dan c) orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Menurut Ridwan Khairandy (2013:18) pengusaha adalah seseorang
yang melakukan atau menyuruh menjalankan perusahaannya. Pengusaha
dalam hal ini dapat menjalankan perusahaan dengan 3 (tiga) eksistensi dan
fungsi, yaitu:
1. Pengusaha yang bekerja sendiri, yaitu urusan perusahaan dilakukan
dengan sendiri tanpa pembantu. Oleh karena itu, perusahaan semacam
ini adalah perusahaan kecil dan memiliki sifat sederhana.
2. Pengusaha yang bekerja dengan bantuan pekerja. Berdasarkan
bentuk ini, terlibatnya pengusaha dalam melakukan urusan perusahaan.
Dimana pengusaha pada bentuk ini mempunyai dua kedudukan yaitu
sebagai pengusaha dan pemimpin perusahaan.
3. Pengusaha yang memberi kuasa kepada orang lain menjalankan
perusahaan. Sehingga pengusaha tidak ikut serta dalam melakukan
perusahaan dan orang lain yang diberi perintah oleh pengusaha
tersebut adalah pemegang prokurasi yang menjalankan perusahaan atas
nama pemberi kuasa.
Jika ditinjau lebih lanjut, pada perusahaan persekutuan terutama yang
berbentuk badan hukum, pemimpin perusahaan (bedrijfleider/manager) adalah
pemegang kekuasaan tertinggi dalam menjalankan perusahaan. Dalam hal ini
yang bertanggung jawab penuh mengenai kemajuan dan kemunduran
perusahaan. Pada perusahaan besar pemimpin perusahaan berbentuk dewan
pimpinan yang disebut direksi yang dimana diketuai seorang direktur utama
(dirut). Direktur utama atau direktur secara yuridis sebenarnya bukan
pengusaha, melainkan pemegang kuasa dari pengusaha. Kecuali pada
perusahaan yang dijalankan sendiri oleh pengusahanya, maka dengan
sendirinya pemimpin perusahaan itu adalah pengusaha.
2.1.3. Pembantu-Pembantu Pengusaha
Seperti diketahui bahwa dalam menjalankan suatu usaha pengusaha dalam
menjalankan perusahaan, dibutuhkannya pembantu-pembantu yang dapat mendukung
usahanya. Pembantu pengusaha adalah setiap orang yang melakukan perbuatan
membantu pengusaha dalam menjalankan perusahaan dengan memperoleh upah.
Terdapat 2 (dua) golongan yang terdiri dari:
- Pembantu didalam lingkungan Perusahaan
Mengenai pembantu perusahaan didalam perusahaan dapat diuraikan
sebagai berikut :
a. Pelayan toko, pelayan toko adalah pelayan yang membantu pengusaha
menjalankan usaha tokonya. Pelayan toko juga bermacam-macam. Ada
yang membantu melayani pada saat menjual, ada yang membantu pada
saat menerima uang (kasir), melakukan pembukuan, menyerahkan
barang dan lain-lain.
b. Pimpinan perusahaan, atau yang dikenal dengan istilah manajer dalam
sebuah perusahaan. Manager adalah salah satu pembantu perusahaan
yang memegang kuasa pertama dari perusahaan. Manager
mengemudikan perusahaan. Sehingga maju mundurnya sebuah
perusahaan akan sangat bergantung dari kinerja manajernya.
c. Pengurus filial, pengurus filial adalah pihak yang membantu
perusahaan dalam hal mewakili perusahaan untuk melakukan semua
hal terkait dengan perusahaan. Sebagai gambaran sebuah perusahaan
pimpinannya berada di Surabaya, maka untuk melakukan kegiatan atau
seluruh hal-hal terkait perusahaan pada kota-kota lain akan dibantu
oleh masing-masing pengurus filial dari perusahaan tersebut di
masing-masing kota.
d. Pemegang prokurasi, pemegang prokurasi dapat dikatakan juga
sebagai orang kedua perusahaan setelah manajer yang juga sebagai
wakil pimpinan perusahaan. Biasanya pemegang prokurasi akan
menjadi pimpinan dari suatu bidang besar tertentu dari perusahaan.
e. Pekerja keliling, pekerja keliling adalah pihak yang membantu
perusahaan dalam melakukan usahanya berkeliling di luar kantor
dengan cara memperbanyak perjanjian-perjanjian jual beli antara
perusahaan dengan pihak ketiga
- Pembantu diluar lingkungan perusahaan
Mengenai pembantu perusahaan diluar perusahaan dapat diuraikan
sebagai berikut :
a. Pengacara adalah orang yang membantu pengusaha dalam
menyelesaikan masalah hukum dan mewakili pihak pengusaha untuk
berperkara di muka hakim atau pengadilan. Jadi pengacara adalah
orang yang biasanya mewakili perusahaan dalam hal-hal yang
berkaitan dengan hukum. Hubungan hukum antara pengacara dengan
pihak pengusaha tidak tetap dan sifat hubungan hukum antara pihak
pengacara dengan pengusaha berbentuk pelayanan berkala dan
pemberian kuasa.
b. Agen Perusahaan, agen adalah pembantu perusahaan yang memiliki
hubungan tetap dengan pengusaha serta mewakili pengusaha dalam
melakukan perjanjian dengan pihak ketiga. Hubungan antara agen
dengan pengusaha bukanlah hubungan perburuhan hal ini dikarenakan
hubungan antara agen dengan pengusaha tidak bersifat subordinasi
atau dengan kata lain antara agen dengan pengusaha sama tinggi sama
rendah. Selain itu hubungan antara agen dengan pengusaha tidak
bersifat pelayanan berkala karena sifat hubungan agen dengan
pengusaha adalah tetap.
c. Makelar, apabila didasarkan pada Pasal 62 KUHDagang, definisi
makelar adalah seorang pedagang perantara yang diangkat oleh
gubernur jenderal (sekarang presiden) atau pembesar yang oleh
gubernur jenderal dinyatakan berwenang untuk itu. Saat ini profesi
makelar (broker) harus mendapat izin dari Menteri Hukum dan HAM.
Hubungan antara makelar dengan pengusaha sama halnya dengan
pengacara akan tetapi berbeda dengan hubungan agen perusahaan
dengan pengusaha. Sifat hukum dari hubungan hukum sebagaimana
disampaikan diatas adalah bersifat campuran antara pelayanan berkala
dengan pemberian kuasa.
d. Notaris, berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris didefinisikan
sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik
dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. Akta
notariil adalah akta autentik yang memiliki kekuatan hukum sempurna
dalam suatu pembuktian di depan pengadilan dan akta tersebut
memiliki kekuatan hukum sempurna bagi pihak yang berkepentingan
seperti ahli waris atau pihak-pihak yang berhak atas hal-hal tertentu
sebagaimana yang tercantum, dalam akta tersebut. Hal ini sesuai
dengan Pasal 1870 KUHPerdata. Dalam hal notaris sebagai pembantu
pengusaha, notaris bertugas untuk membuat perjanjian dengan pihak
ketiga.
e. Komisioner, Pasal 76 KUH Dagang memberikan definisi komisioner
sebagai seseorang yang menyelenggarakan perusahaannya dengan
melakukan perbuatan-perbuatan menutup persetujuan atas nama firma
itu sendiri, tetapi atas amanat dan tanggungan orang lain dengan
menerima upah atau provisi tertentu. Ciri-ciri dari komisioner antara
lain, tidak ada syarat pengangkatan resmi dan penyumpahan
sebagaimana halnya makelar, komisioner menghubungkan komiten
dengan pihak ketiga, komisioner tidak berkewajiban menyebut nama
komiten, dan walaupun demikian seorang komisioner juga dapat
bertindak atas nama pemberi kuasanya. Adapun sifat perjanjian komisi
adalah perjanjian antara pihak komisioner dengan komiten berupa
perjanjian pemberian kuasa. Sebagai konsekuensi dari perjanjian
tersebut akan berakibat munculnya hubungan hukum yang sifatnya
tidak tetap sebagaimana yang terjadi pada makelar dan pengacara.
2.2. Hubungan Hukum Antara Pengusaha dengan Pembantu Pengusaha di Dalam dan
di Luar Perusahaan.
Berdasarkan 2 (dua) jenis dari pembantu pengusaha yang telah disebutkan, pada
dasarnya tentu memiliki hubungan hukum antara pengusaha dengan pembantu perusahaan.
2.2.1. Hubungan Hukum antara Pengusaha dengan Pembantu di Dalam
Perusahaan.
Pembantu didalam lingkungan perusahaan memiliki sifat hubungan
kerja tetap dan subordinatif dengan pengusaha dan bekerja dalam lingkungan
perusahaan itu. Hubungan yang bersifat subordinatif yaitu bahwa kedudukan
hukum dari pengusaha dengan pembantu pengusaha adalah tidak setara,
pengusaha sebagai atasan dan pembantu pengusaha sebagai bawahan. Seperti
halnya, pemimpin perusahaan pemegang prokurasi/manager, pekerja keliling
merupakan masih dalam lingkungan perusahaan dan terlibat dalam urusan
teknis perusahaan. Hubungan hukum antara pimpinan perusahaan dengan
pengusaha bersifat :
- Hubungan perburuhan diatur dalam pasal 1601 a KUH Perdata, yaitu
hubungan yang subordinasi antara majikan dan buruh, yang
memerintah dan yang diperintah. Manager mengikatkan dirinya untuk
menjalankan perusahaan dengan sebaik-baiknya, sedangkan pengusaha
mengikatkan diri untuk membayar upahnya. Sedangkan mengenai
hubungan ketenagakerjaan terdapat pada UU No.13 tentang
Ketenagakerjaan yang akan membahas mengenai perjanjian kerja,
kontrak tenaga kerja, dsb.
- Hubungan pemberian kekuasaan, yaitu hubungan hukum yang diatur
dalam pasal 1792 KUHPer yang menetapkan sebagai berikut
“pemberian kuasa adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang
memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya untuk
atas nama pemberi kuasa menyelenggarakan suatu urusan”. Dengan
demikian pengusaha merupakan “pemberi kuasa”, sedangkan manager
merupakan “pemegang kuasa”. Pemegang kuasa mengikatkan diri
untuk melaksanakan perintah si pemberi kuasa, sedangkan si pemberi
kuasa mengikatkan diri untuk memberi upah sesuai dengan perjanjian
yang bersangkutan.

2.2.2. Hubungan Hukum antara Pengusaha dengan Pembantu di Luar


Perusahaan.
Pembantu diluar perusahaan, Makelar, yang diatur dalam Pasal 62-73
KUHD, yaitu seorang perantara yang diangkat oleh Presiden atau oleh seorang
pembesar yang ditunjuk oleh Presiden, dalam hal ini Kepala Pemerintah
Daerah (L.N 1906 No. 479).
- Komisioner, yang diatur dalam Pasal 76-85 KUHD, yaitu orang yang
menjalankan perusahaan dengan membuat perjanjian-perjanjian atas
namanya sendiri, tetapi atas amanat dan tanggungan orang lain dengan
menerima upah atau provisi.
- Ekspeditur, yang diatur dalam Pasal 86-90 KUHD, yaitu orang yang
pekerjaannya menyuruh pihak pengangkut untuk menyelenggarakan
pengangkutan atas nama sendiri dan untuk kepentingan principal.
- Agen perusahaan, hubungan pengusaha dengan agen perusahaan
adalah sama tinggi dan sama rendah, seperti pengusaha dengan
pengusaha. Hubungan agen perusahaan bersifat tetap. Agen
perusahaan juga mewakili pengusaha, maka ada hubungan pemberi
kuasa. Perjanjian pemberian kuasa diatur dalam Bab XVI, Buku II,
KUHPER, mulai dengan pasal 1792, sampai dengan 1819. Perjanjian
bentuk ini selalu mengandung unsur perwakilan (volmacht) bagi
pemegang kuasa (pasal 1799 KUHPER). Dalam hal ini agen
perusahaan sebagai pemegang kuasa, mengadakan perjanjian dengan
pihak ketiga atas nama pengusaha.

2.3. Pertanggungjawaban Kepada Pihak Ketiga dalam Perusahaan


Terdapat persoalan dalam suatu perusahaan apakah tanggung jawab para
pembantu pengusaha dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan hukumnya
pada pihak ketiga atau dalam hal ini, si pengusaha yang bertanggung jawab kepada
pihak ketiga. Misalnya, karyawan (pembantu usaha) membeli barang kepada supplier
(pihak ketiga) dengan menunda atau mengurangi pembayaran, sehingga dapat
merugikan supplier. disamping itu bisa terjadi pula pembantu perusahaan (karyawan)
ditugasi melakukan transaksi (penjualan barang) dengan pihak ketiga (konsumen)
memberikan barang yang tidak sesuai dengan kualitas dan mutu barang sebagaimana
diperjanjikan, sehingga karenanya konsumen dirugikan. intinya akibat perbuatan
melawan hukum yang dilakukan karyawan itu, kemudian dipersoalkan mengenai
tanggung jawab perusahaan sebagai suatu pembantu perusahaan atau usaha
Suatu perusahaan bisa bangkut, baik karena kesalahan pemilik perusahaan
tersebut, maupun adanya perbuatan melawan hukum (kecurangan-kecurangan) yang
dilakukan karyawannya yang berakibat pada pihak ketiga atau konsumen, supplier,
dan lainnya dirugikan. permasalahan hukumnya, bagaimana tanggung jawab
perusahaan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan karyawannya itu.
Sehubungan dengan tanggung jawab perusahaan, mengingat perusahaan
merupakan usaha persekutuan, maka yang bertanggung jawab adalah sekutu
(pembantu usaha) yang bersangkutan saja bertanggung jawab atas
perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan dengan pihak ketiga tersebut.
Pembantu pengusaha dapat menguntungkan dan membantu pengusaha dalam
menjalankan perusahaanya. Namun demikian, tidak sedikit dan tidak jarang
pihak-pihak, baik pengusaha, perantara maupun pihak ketiga terjebak dalam suatu
kesulitan menentukan beban tanggung jawab, bila dan pihak ketiga menderita
kerugian, baik dalam bentuk cacat tersembunyi maupun tidak aman hukum
barang yang dibelinya. Dalam praktik pihak ketiga acap kali komplainnya
dilimpahkan oleh pengusaha kepada perantara dan sebaliknya. Berikut akan
dijabarkan pertanggungjawaban pembantu-pembantu pengusaha terhadap pihak
ketiga, yang antara lain pertanggungjawaban pembantu pengusaha di dalam
perusahaan dan pertanggungjawaban pembantu pengusaha di luar perusahaan.

2.3.1. Pertanggungjawaban Pembantu Pengusaha di Dalam Perusahaan


dengan Pihak Ketiga

❖ Pertanggungjawaban Pemimpin Perusahaan


Menurut Muhammad Abdulkhadir (2010:25) pengusaha memberikan
pengelolaan perusahaannya kepada pemimpin perusahaan atas dasar surat
kuasa atau surat keputusan. Hal seperti ini cenderung terjadi dalam perusahaan
persekutuan terutama dalam badan hukum, seperti perseroan terbatas. Jika
dalam perusahaan yang dipimpin oleh pemimpin perusahaan atas dasar
pemberian kuasa dari pengusaha terjadi sebuah permasalahan ataupun
kerugian, maka yang bertanggung jawab penuh disana adalah pemimpin
perusahaan tersebut. Namun, bilamana masalah yang terjadi sudah tidak
terkendali dan sangat besar, maka pemimpin perusahaan tersebut dapat
dicopot dan diganti.
Berdasarkan Liputan 6.com, seperti halnya pergantian pemimpin PT
Pertamina pada Tahun 2017 lalu, ini dilakukan guna meningkatkan kinerja
perusahaan dan karena beberapa kondisi terakhir seperti masalah kecelakaan
pipa di Teluk Balikpapan (Pebrianto Eko Wicaksono, 2018).
❖ Pertanggungjawaban Pemegang Prokurasi
Pertanggungjawaban pemegang prokurasi ini hampir mirip dengan
pemimpin perusahaan, hanya saja ia bukanlah kepala dari seluruh perusahaan
tetapi hanya diberi tugas sebagai penyelenggara Sebagian dari perusahaan.
Pemegang prokurasi dipandang memiliki kuasa dan bertanggung jawab atas
beberapa tindakan yang timbul dari pengusaha, seperti mewakili perusahaan di
depan hakim, meminjam uang demi perusahaan, menarik dan mengakseptir
surat wesel, mewakili perusahaan dalam hal menandatangani perjanjian
dagang, menandatangani surat keluar, dan lain sebagainya. Namun, kekuasaan
dari pemegang prokurasi ini dapat dibatasi dan hal ini diberitahukan kepada
pihak ketiga.
Menurut Ali Muhayatsyah (2019:49), salah satu bentuk
pertanggungjawaban atas kerugian dan kepailitan yang dialami oleh
perusahaan yang menyebabkan perusahaan tidak dapat menanggung beban
kewajiban yang harus dipenuhi, maka pemegang prokurasi yang bersangkutan
bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian yang dialami
perusahaan, terkecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Selain hal tersebut,
berdasarkan CNN Indonesia (2021) kasus direksi perusahaan terbuka (Tbk)
pada Maret 2021 yang harus mengganti kerugian atas dasar miss management
atau penyalahgunaan tanggung jawab untuk kepentingan pribadinya.

❖ Pertanggungjawaban Pedagang Keliling


Dalam hal ini pedagang keliling merupakan pemegang kuasa yang
diberikan kuasa oleh pemberi kuasa yang merupakan pengusaha itu sendiri. Si
pemegang kuasa tersebut dalam segala tindakan hukumnya dengan
pihak-pihak ketiga selalu bertindak atas nama si pemberi kuasa. Jadi pihak
pemegang kuasa secara formal mewakili pihak pemberi kuasa terhadap
pihak-pihak ketiga itu. Singkatnya, perjanjian pemberian kuasa yang diatur
dalam Bab 16 Kitab III KUH Perdata selalu memuat unsur perwakilan
(volmacht) kepada pemegang kuasa bagi pemberi kuasa. Menurut Pasal 1799
KUH Perdata ditegaskan, bahwa pemberi kuasa dapat langsung menggugat
pihak ketiga dengan siapa pihak pemegang kuasa mengadakan perhubungan
hukum.
2.3.2. Pertanggungjawaban Pembantu Pengusaha di Luar Perusahaan
dengan Pihak Ketiga
❖ Pertanggungjawaban Agen Perusahaan
Perlu diketahui bahwa hubungan pengusaha dengan agen perusahaan
adalah sama tinggi dan sama rendah, seperti layaknya pengusaha dengan
pengusaha. Hubungan agen perusahaan bersifat tetap. Agen perusahaan juga
mewakili pengusaha, maka oleh karena itu ada hubungan pemberi kuasa. Yang
dimana perjanjian pemberi kuasa diatur dalam Bab XVI Buku II KUH
Perdata. Dalam hal ini agen perusahaan sebagai pemegang kuasa, mengadakan
perjanjian dengan pihak ketiga atas nama pengusaha. Namun tanggung jawab
masing-masing pihak dalam jual-beli melalui agen atas komplain pihak
ketiga tidak dapat dibebankan kepada agen.
Hubungan hukum antara agen atau pihak kedua dengan pihak ketiga
bukan sebagai penjual dan pembeli, melainkan sebagai perantara (agen)
antara penjual dengan pembeli. Hubungan antara pengusaha dan agen
sebagai hubungan hukum kuasa, dimana pengusaha sebagai pemberi kuasa
dan agen perusahaan sebagai penerima kuasa, bagi mereka berlakulah
hukum kuasa yang diatur dalam KUHPer.
Oleh karena itu pihak agen berada di luar pihak-pihak yang
melakukan jual-beli yaitu pengusaha sebagai pihak penjual dan pihak
ketiga sebagai pihak pembeli. Maka, komplain atas cacat tersembunyi dan
tidak aman hukum pun haruslah diarahkan dan dipikulkan kepada pihak
pengusaha sebagai penjual. Selain perantara agen perusahaan tidak dapat
dimintakan pertanggungjawabannya atas cacat tersembunyi dan tidak aman
hukum barang yang dibeli oleh pihak ketiga, pihak agen juga tidak berhak
menaikkan/menurunkan harga barang milik prinsipal yang ia jual kepada
pihak ketiga.
❖ Pertanggungjawaban Makelar
Dalam jual-beli melalui makelar, bila pihak ketiga mengalami
kerugian karena barang yang dibelinya cacat tersembunyi dan tidak aman
hukum maka komplain yang harus diajukan kepada pihak pengusaha, karena
sesungguhnya yang berstatus penjual adalah pengusaha (bukan makelar)
wajarlah penjual yang bertanggung jawab terhadap pembelinya.
Berikut Ilustrasinya :
Hubungan hukum antara makelar dan pengusaha (penjual) dapat
diilustrasikan dalam penjelasan berikut ini. Seorang pengusaha A menyuruh
seorang makelar B untuk menjualkan hasil produksinya sehingga B
memperjualkannya kepada pihak ketiga (pembeli) C. Hubungan hukum A dan
B berdasarkan hubungan kuasa yang diatur dalam Pasal 62 KUHD, di mana A
merupakan pemberi kuasa dan B adalah pemegang atau penerima kuasa.
Akibatnya, B dalam menjualkan produk kepada C bertindak untuk dan atas
nama A. Dengan demikian, B tidak termasuk di dalam pihak-pihak yang
melakukan kegiatan jual beli, hanya sebagai yang memperantarainya.
Pertanggungjawaban makelar dalam usaha perniagaan atau kegiatan
jual beli pada awalnya disebabkan oleh pihak ketiga yang mengalami
kerugian. Kerugian-kerugian itu dapat berupa cacat tersembunyi dan tidak
aman hukum atas suatu barang yang telah dibelinya. Untuk mendapatkan
keadilan dari kasus ini, maka pihak ketiga dapat mengajukan komplain kepada
pihak penjual (pengusaha). Mengapa mengkomplain pengusaha, bukan
makelar selaku perantara barang? Karena yang memiliki status sebagai penjual
adalah si pengusaha, bukan si makelar. Dalam hal ini, makelar sebatas berbuat
untuk dan atas nama pengusaha, serta berada di luar pihak-pihak yang
melakukan kegiatan jual beli. Oleh karena itu makelar tidak bertanggung
jawab atas barang yang memiliki cacat tersembunyi dan tidak aman hukum
terhadap pihak ketiga.

❖ Pertanggungjawaban Komisioner
Hubungan hukum antara komisioner dan pengusaha yang lazimnya
disebut komiten tidak sama persis dengan hubungan hukum antara makelar
dan pengusaha. (Ambarini et al., 2018)
Berikut ini adalah ilustrasi hubungan hukum antara pihak dalam
kegiatan jual beli melalui komisioner. Seorang pengusaha A menyuruh
seorang komisioner B untuk menjualkan produknya sehingga B
memperjualkannya kepada pihak ketiga (pembeli) C. Dalam hubungan ini
berdasarkan Pasal 76 KUHD menjual barang kepada C tidak untuk dan atas
nama A, tetapi untuk dan atas nama sendiri. Jadi, hal ini tampak tidak ada
hubungan hukum antara A dan B.
Tanggung jawab seorang komisioner kepada pihak ketiga dalam
berhubungan dengan komiten (pengusaha) dapat diminta oleh pihak ketiga
tersebut. Pertanggungjawaban itu berdasarkan atas suatu barang yang tidak
aman hukum dan memiliki cacat yang tidak diketahui oleh pihak ketiga ketika
membelinya. Dikarenakan hubungan hukum yang terjadi hanya ada pada
pihak komisioner dan pihak ketiga, maka yang wajib menanggung beban atau
tanggung jawab adalah pihak komisioner itu sendiri. Ia bekerja untuk dan atas
nama sendiri. Terlebih, ketika melakukan transaksi jual beli barang dengan
pihak ketiga, ia sendiri yang bertindak sebagai penjual walaupun tetap
mewakili pihak pengusaha atau komiten.

Poin-poin penting terkait tanggung jawab dari pembantu pengusaha di luar


perusahaan yang dalam hal ini yakni agen perusahaan, makelar dan komisioner, dapat
diketahui dari penjelasan di atas bahwa, agen perusahaan tidak dapat bertanggung jawab
kepada pihak ketiga karena hanya sebagai perantara pengusaha dengan pihak ketiga, lalu
Makelar juga tidak dapat bertanggung jawab kepada pihak ketiga karena makelar hanya
sebatas berbuat untuk nama pengusaha dan berada di luar pihak yang melakukan jual beli,
sedangkan komisioner dapat dimintai pertanggungjawaban oleh pihak ketiga dikarenakan
komisioner menjual barang kepada pihak ketiga dengan atas nama sendiri dan tidak adanya
hubungan hukum antara pengusaha dan komisioner maka komisioner lah yang berhak
bertanggung jawab kepada pihak ketiga.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan yang ada dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Terdapat hubungan hukum antara pengusaha dengan pembantu di dalam
perusahaan. Pembantu didalam lingkungan perusahaan memiliki sifat
hubungan kerja tetap dan subordinatif. Hubungan hukum antara pimpinan
perusahaan dengan pengusaha diantaranya Hubungan perburuhan diatur dalam
pasal 1601 a KUHPer, hubungan ketenagakerjaan terdapat pada UU No.13
tentang Ketenagakerjaan, dan hubungan pemberian kekuasaan, yaitu
hubungan hukum yang diatur dalam pasal 1792 KUHPer.
2. Terdapat hubungan hukum antara pengusaha dengan pembantu di luar
perusahaan. Pembantu diluar perusahaan, memiliki hubungan kerja tetap dan
tidak tetap bersifat koordinatif. Adapun hubungan hukum antara pengusaha
dan pembantu pengusaha diantaranya, Makelar yang diatur dalam Pasal 62-73
KUHD, Komisioner diatur pada Pasal 76-85 KUHD, Ekspeditur diatur dalam
Pasal 86-90 KUHD, hubungan pengusaha dengan agen perusahaan adalah
sama tinggi dan sama rendah, seperti pengusaha dengan pengusaha. Perjanjian
pemberian kuasa diatur dalam pasal 1792-1819 KUHPer yang mengandung
unsur perwakilan (volmacht) bagi pemegang kuasa.
3. Pertanggungjawaban dari pembantu pengusaha di dalam perusahaan yakni
pemimpin perusahaan, pemegang prokurasi dan pedagang keliling, dapat
diketahui dari pembahasan bahwa pemimpin perusahaan, pemegang prokurasi
dan pedagang keliling dapat bertanggung jawab kepada pihak ketiga
dikarenakan mereka memiliki kuasa langsung terhadap perusahaan.
4. Pertanggungjawaban dari pembantu pengusaha di luar perusahaan yang dalam
hal ini yakni agen perusahaan, makelar dan komisioner, dapat diketahui dari
pembahasan di atas bahwa, agen perusahaan tidak dapat bertanggung jawab
kepada pihak ketiga karena hanya sebagai perantara pengusaha dengan pihak
ketiga, lalu Makelar juga tidak dapat bertanggung jawab kepada pihak ketiga
karena makelar hanya sebatas berbuat untuk nama pengusaha dan berada di
luar pihak yang melakukan jual beli, sedangkan komisioner dapat dimintai
pertanggungjawaban oleh pihak ketiga dikarenakan komisioner menjual
barang kepada pihak ketiga dengan atas nama sendiri dan tidak adanya
hubungan hukum antara pengusaha dan komisioner maka komisioner lah yang
berhak bertanggung jawab kepada pihak ketiga.

3.2. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini belum dapat dikatakan sempurna.
Oleh Sebab itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritikan dan saran mengenai
makalah ini.

.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Khairandy, Ridwan. (2013). Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia. Yogyakarta: FH
UI Press. hlm.13.

M. N. Purwosutjipto. (1995) Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 1, Jakarta:


Penerbit Djambatan. hlm.15.

Handri Raharjo, S. H. (2012). Hukum Perusahaan. MediaPressindo.

Muhammad, Danang Wahyu dkk. (2018). Buku Ajar Hukum Bisnis. Yogyakarta:
Pustaka Belajar (Anggota IKAPI). hlm 14-19

Irawan Harahap, (2019) Buku Ajar Hukum Dagang, Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta, hlm. 26.

JURNAL
Setiawan, I Ketut Oka., 2019. Tanggung Jawab Pedagang Perantara Terhadap Pihak
Ketiga Menurut Hukum Jual Beli, vol. 13, no. 1, p. 74. Jurnal Law Review,
http://stahdnj.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-LAW-REVIEW-TANGGU
NG-JAWAB....pdf. (Diakses pada tanggal 29 September 2021).

Muhayatsyah, A., 2019. Keputusan Bisnis dan Tanggung Jawab Direksi dalam
Prinsip Fiduciary Duties pada Perseroan Terbatas. Jurnal At-Tijarah, 1(20).
(Diakses pada 29 September 2021)

Yohana, 2015. Tanggung Jawab Hukum Atas Bentuk Usaha Badan Hukum dan
Bentuk Usaha. Jurnal Mercatoria, 8(1). (Diakses pada 29 September 2021)

DASAR HUKUM
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
Undang-Undang No. 3 Tahun 1982 Pasal 1C tentang Wajib Daftar Perusahaan
Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Wajib Perusahaan
Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tentang dokumen perusahaan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Anda mungkin juga menyukai