A19 Ima
A19 Ima
)
TERHADAP 2,4-D
ABSTRACT
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi dengan judul “Respon 3 Aksesi Brambangan
(Commelina diffusa Burm. f.) terhadap 2,4-D” dapat terselesaikan. Penulis
meyampaikan banyak terima kasih kepada :
1. Bapak Ir. Sofyan Zaman, M.P. selaku dosen pembimbing utama yang telah
bersabar dan selalu menginspirasi dalam penelitian saya sehingga
penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik.
2. Bapak Dr. Ir. Sugiyanta, M.Si selaku dosen pembimbing kedua saya yang
telah bersabar dan memberikan banyak masukkan dalam penelitian ini.
3. Bapak Dr. Willy Bayuardi Suwarno, S.P., M.Si. selaku dosen pembimbing
akademik yang terus memotivasi saya dan memberikan banyak semangat
dalam menjalankan perkuliahan.
4. Bapak Ir. Adolf Pieter Lontoh, M.S. selaku dosen penguji yang
memberikan banyak inspirasi dan dukungan emosional.
5. Bapak Sukanto Tanoto beserta Tanoto Foundation yang telah memberikan
bantuan berupa pengembangan softskill, jaringan, dan dana dalam proses
perkuliahan ini.
6. Ibunda tercinta Dwi Rasmawati yang selalu menjadi motivasi serta kasih
sayang yang tidak akan terbalas.
7. Bapak Priyo Sunaryoso yang telah memberikan nafkah secara materi
8. Teman-teman KKN-T Bengkayang yang turut membantu saya dalam
berproses.
9. Mahasiswa Asrama Sylvapinus yang telah membantu saya dalam melatih
softskill saya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat sebagai pedoman peningkatan produksi
hasil pertanian di Indonesia.
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Hipotesis 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Commelina diffusa 2
2,4-D 4
METODE 5
Tempat dan Waktu Penelitian 5
Bahan dan Alat 5
Rancangan Percobaan 5
Prosedur Percobaan 6
Pengamatan Percobaan 6
Analisis Data 7
HASIL DAN PEMBAHASAN 8
Penekanan Pertumbuhan Gulma 8
Toksisitas Gulma 15
Kematian Gulma 17
Resistensi Herbisida 18
SIMPULAN DAN SARAN 20
Simpulan 20
Saran 20
DAFTAR PUSTAKA 21
LAMPIRAN 23
RIWAYAT HIDUP 26
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
Latar Belakang
Tanaman tumbuh memanfaatkan unsur hara dan cahaya matahari. Unsur hara
dan cahaya matahari dapat disebut sebagai sarana tumbuh. Pertumbuhan tanaman
di lapang memiliki banyak gangguan diantaranya adalah gulma. Gulma bersaing
dengan tanaman budidaya dalam memanfaatkan sarana tumbuh sehingga
pertumbuhan tanaman budidaya terganggu dan terjadi penurunan produksi
(Moenandir, 2010). Kehadiran gulma selama proses budidaya dapat menimbulkan
penurunan hasil sehingga perlunya manajemen pengendalian gulma yang baik.
Brambangan (Commelina diffusa Burm. f.) merupakan gulma yang dapat
ditemukan di pertanaman jagung, kacang tanah, kacang hijau, tanaman kapas, dan
bawang putih (Moenandir, 2010). Gulma tersebut pernah ditemukan di kebun
Cikabayan IPB pada tahun 2011 pada gawangan kelapa sawit (Simangunsong,
2017). Brambangan memiliki ciri batangnya merambat dan bercabang pada bagian
bawahnya. Batang gulma tersebut dapat tumbuh hingga mencapai 1 m. Daunnya
berbentuk lanset agak melebar dengan panjang 4-6 cm memiliki rambut di
pinggiran daun dan dudukan daunnya berseling.
Pengendalian gulma brambangan menjadi sulit karena batang yang terpotong
tidak mati namun akan tumbuh kembali menjadi individu baru ditandai dengan
munculnya tunas di buku-buku yang terpotong (Isaac et al., 2013). Hal tersebut
menjadikan gulma brambangan tidak direkomendasikan dikendalikan dengan cara
dipotong lalu dibiarkan di lahan, sehingga petani menggunakan herbisida untuk
mengendalikan gulma tersebut. Brambangan semakin sulit dikendalikan
menggunakan herbisida 2,4-D sehingga Brambangan diduga merupakan gulma
yang dapat berevolusi sehingga resisten terhadap 2,4-D (Bernards et al., 2012).
Lubis et al. (2012) menemukan munculnya ketahanan gulma terhadap bahan
aktif suatu herbisida merupakan ciri gulma tersebut mulai resisten yang dapat
dibuktikan dengan pengujian efikasi herbisida terhadap gulma dari beberapa aksesi.
Resistensi herbisida dapat terjadi pada gulma yang sering dikendalikan
menggunakan herbisida berbahan aktif yang sama secara berulang-ulang dalam
jangka waktu lama. Resistensi dapat dicegah dilakukan dengan menerapkan sistem
pengendalian gulma terpadu dalam pengendalian gulma. Resistensi herbisida 2,4-
D dapat menyebar dengan cepat karena pada beberapa kasus ditemukan bahwa
resistensi tersebut diekspresikan oleh alel dominan tunggal (Egan et al., 2011). Hal
tersebut menjadikan perlunya dilakukan penelitian yang meneliti resistensi gulma
tersebut pada beberapa wilayah.
Brambangan yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari pertanaman
padi sawah di Karawang Jawa Barat, kebun kelapa sawit Jonggol Jawa Barat, dan
kebun buah petani pepaya di Bukateja kabupaten Purbalingga Jawa Tengah. Ketiga
aksesi tersebut diuji terhadap beberapa dosis herbisida 2,4-D dan dibandingkan
sehingga dapat terlihat aksesi mana yang lebih resisten terhadap herbisida 2,4-D.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengendalian gulma
brambangan di wilayah tersebut.
2
Tujuan Penelitian
Hipotesis
TINJAUAN PUSTAKA
Commelina diffusa
Batang Commelina sp. memiliki tingkat kelembapan yang tinggi dan saat
bukunya telah mengeluarkan akar tanaman dapat bertahan dalam waktu yang lama
tanpa kelembapan. Isaac et al. (2013) menemukan bahwa saat perkebunan pisang
tanamannya masih muda, batang Commelina menjadi kering dan layu karena
terkena paparan cahaya sinar matahari langsung saat musim kering, namun saat
tanaman telah dewasa dan terjadi hujan batang tersebut kembali lembab dan dengan
cepat menyebar dengan sulurnya yang berakar pada tiap buku. Menurut Isaac et al.
(2007) pengendalian Commelina diffusa di perkebunan pisang yang paling efektif
menggunakan mulsa.
Gulma tersebut termasuk salah satu gulma dominan pada pertanaman kedelai
(Jha dan Soni, 2013). Gulma ini juga ditemukan pada beberapa pertanaman seperti
perkebunan pisang, kacang polong, jeruk, lemon, anggur, aprikot, kopi, kapas,
pepaya, tebu, sorgum nanas, padi, dan talas di berbagai negara (Isaac et al., 2013).
Brambangan merupakan gulma yang menjadi masalah pada tanaman yang masih
muda (2-5 minggu). Fitriana et al., (2013) menemukan ketersediaan gulma
Brambangan pada lahan yang diberikan perlakuan bahan organik, sehingga diduga
gulma tersebut dapat menyebar melalui bahan organik yang digunakan untuk
memupuk tanah.
Brambangan merupakan tanaman inang dari nematoda Radopholus similis,
Rotylenchulus reniformis, Pratylenchus goodeyi, dan Meloidogyne exigua.
Brambangan juga ditemukan berkolerasi positif kehadirannya dengan tingginya
kerapatan penyakit cucumber mosaic virus karena Brambangan merupakan inang
bagi virus dan serangga vektornya (Richard et al., 2009). Elb et al. (2010)
menemukan bahwa terdapat 81 larva dan 43 pupa Liriomyza commelinae dalam
satu individu dari famili Commelinaceae, parasitoid tersebut menyerang
Brambangan dengan mengkonsumsi sel parenkim dari mesofil, meskipun demikian,
parasitoid tersebut memiliki mobilitas yang rendah dalam daun Brambangan
sehingga diduga penyebaran parasitoid dalam Brambangan tidak berkembang
dengan cepat. Hal tersebut merupakan beberapa alasan guma tersebut harus
dikendalikan di lapang selain alelopatinya yang dapat menghambat pertumbuhan
tanaman.
Brambangan memiliki sensitivitas terendah untuk absorbsi, translokasi, dan
metabolisme dibandingkan Xanthium strumarium dan Ipomoea purpurea Neto
(2000). Hal tersebut diduga karena sel epidermis C. diffusa berbentuk polygonal,
tipe stomata yang dimiliki merupakan hexacytic serta pada abaksial tidak memiliki
trikoma (Oladipo, 2014). Hal tersebut diduga merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan Brambangan toleran terhadap herbisida.
Mortensen (2012) mengungkapkan bahwa Brambangan telah resisten
terhadap beberapa herbisida salah satunya 2,4-D dan dicamba. Kedua herbisida
tersebut merupakan herbisida yang bekerja pada mode of action yang sama yaitu
pengatur pertumbuhan, namun kedua herbisida tersebut memiliki famili kimia
Phenoxy dan Asam Benzoic. Hal tersebut menjadi dasar bagi Mortensen (2012)
dalam membuat sistem Manajemen Pengendalian gulma Terpadu dengan sistem
rotasi tanaman, penggunaan herbisida campuran, serta penggunaan varietas yang
resisten terhadap herbisida.
4
2,4-D
METODE
Rancangan Percobaan
Keterangan :
Yijk = Pengamatan pada satuan percobaan ke-i yang memperoleh
kombinasi perlakuan taraf ke-j dari perlakuan 2,4-D dan taraf ke-
k dari aksesi
µ = Rataan populasi
αi = Pengaruh faktor aksesi taraf ke-i (j = 1,2,3)
βj = Pengaruh faktor 2,4-D taraf ke-j (i = 1,2,3,4,5)
(αβ)ij = Pengaruh interaksi taraf ke-i dari Aksesi dan taraf ke-j dari 2.4-D
ρk = Pengaruh faktor kelompok taraf ke-k (k=1,2,3)
εijk = Pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh
kombinasi perlakuan aksesi dan 2,4-D.
6
Prosedur Percobaan
Penanaman Gulma
Propagul Brambangan ditanam dalam polybag sebanyak 15 propagul per
polybag. Propagul gulma berupa stek batang dengan panjang minimal 10 cm dan
memiliki 2 buku. Polybag berisi media tanam berupa tanah dan pupuk kandang
dengan perbandingan 1 : 1. Gulma dipelihara hingga 14 hari dengan kondisi
ternaungi dimana waktu tersebut gulma Brambangan masih dalam fase
pertumbuhan (Boyette et al., 2015). Perawatan gulma hanya dilakukan penyiraman
setiap hari agar kebutuhan air gulma terpenuhi.
Pengamatan Percobaan
1. Panjang gulma
Pengamatan dilakukan dengan mengukur panjang gulma dari permukaan
tanah hingga ke ujung gulma, jika terdapat cabang pengukuran diambil dari
cabang yang paling panjang. Gulma yang diukur memiliki kriteria yaitu minimal
masih berisi.
Panjang gulma yang diamati mulai dari 0 HSA dan dilakukan setiap
minggu. Pengamatan dilakukan pada 0, 7, 14, 21 dan 28 HSA dengan total 5 kali
pengamatan panjang gulma.
2. Jumlah daun
Pengamatan dilakukan dengan menghitung daun yang telah membuka
sempurna. Fase pertumbuhan gulma dapat dilihat dari jumlah daun yang telah
membuka sempurna (Boyette et al., 2015). Jumlah daun yang terbuka
diklasifikasikan menjadi 0, 1 hingga 2 daun yang terbuka, 3 hingga 4 daun yang
terbuka, 5 hingga 6 daun yang terbuka, dan 7 hingga 8 daun yang terbuka.
Jumlah daun diamati mulai dari 0 HSA dan dilakukan setiap minggu.
Pengamatan dilakukan pada 0, 7, 14, 21 dan 28 HSA dengan total 5 kali
pengamatan jumlah daun gulma.
7
7. Resistensi
LD50 dari masing-masing aksesi Brambangan dibandingkan satu dengan
yang lain kemudian data terebut diinterpretasi. Nilai LD50 yang lebih tinggi
menandakan bahwa gulma tersebut lebih resisten terhadap dosis herbisida yang
diberikan (Lubis et al., 2012).
Analisis Data
Data diuji dengan analisis uji-F. Hasil uji-F yang menunjukkan perbedaan
nyata diuji lanjut dengan menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT).
Data kematian gulma yang diperoleh dipaparkan dalam diagram pencar dan dicari
persamaan regresi nonliniernya menggunakan metode kuadrat terkecil.
Metode Finney (1952) digunakan untuk mencari nilai LD50 herbisida 2,4-D
terhadap 3 aksesi tersebut. Nilai LD50 yang lebih tinggi menandakan gulma
tersebut relatif lebih resisten terhadap dosis herbisida yang diberikan (Lubis et al.,
2012). Analisis statistik dibantu dengan perangkat lunak R.
8
Gambar 1. Gejala Epinasty pada gulma Brambangan yang diberi perlakuan 2,4-
D dibandingkan dengan kontrol
Penurunan jumlah daun berpengaruh terhadap metabolisme tumbuhan karena
daun merupakan sumber penghasil fotosintat. Fotosintat didistribusikan ke seluruh
bagian tanaman untuk pertumbuhan atau disimpan. Jumlah fotosintat yang menurun
dapat membuat pertumbuhan tanaman terhambat. Pertumbuhan tanaman yang
terhambat dapat dilihat dari penurunan bobot kering tanaman, perubahan warna,
dan perubahan bentuk. Bobot kering tanaman yang terhambat akan lebih rendah
dibanding dengan tanaman yang tidak diberi perlakuan herbisida (kontrol).
Panjang gulma dapat menjadi indikator respon suatu gulma terhadap bahan
aktif. Bahan aktif memiliki site of action yang berbeda-beda, sehingga respon yang
diberikan oleh tanaman terhadap bahan aktif akan berbeda-beda. Panjang gulma
dapat dipengaruhi oleh berbagai macam hal seperti jumlah fotosintat atau respon
sel terhadap paparan bahan beracun. Gulma yang mengalami kerusakan sel
memiliki kemungkinan kematian yang lebih tinggi tergantung tingkat kerusakan sel
dalam gulma. Kerusakan sel yang ditimbulkan oleh paparan bahan beracun
menimbulkan respon yang berbeda pada masing-masing aksesi karena keragaman
genetik aksesi tersebut.
9
Jumlah Daun
Aplikasi herbisida 2,4-D menunjukkan gejala penekanan pertumbuhan.
Penekanan pertumbuhan memiliki gejala awal terjadi penurunan tekanan turgor sel
mulai minggu pertama. Penurunan tekanan turgor sel terjadi akibat respon tanaman
terhadap bahan aktif 2,4-D. Herbisida tersebut masuk kedalam sel tanaman dan
berikatan dengan protein pengikat auksin (ABP57) dan mengaktifkan Membran
Plasma pemompa proton H+-ATPase (PM H+-ATPase) tipe-P. H+-ATPase
mengakibatkan cepatnya transfer metabolit dalam membran plasma sel dengan
mengaktifkan transporter sekunder seperti simporters, antiporters, atau uniporters
(Lefebvre et al., 2003).
H+-ATPase dalam sel daun yang bertambah belum diketahui pengaruhnya,
namun efek samping dari bertambahnya H+-ATPase dalam sel daun adalah transfer
metabolit lebih cepat karena banyaknya transporter sekunder yang aktif.
Jumlah H+-ATPase dalam sel daun juga mempengaruhi pH pada jalur apoplas
sehingga meningkatkan aktivitas enzim endogluconase yang bekerja
merenggangkan dinding sel (Lefebvre et al., 2003). Hal tersebut mengakibatkan
daun terlihat mengalami gejala epinasty yaitu daun gulma Brambangan menjadi
kuning lemas perlahan mengering kemudian daun tersebut rontok.
Tabel 2. Jumlah daun Brambangan berdasarkan faktor aksesi dan dosis 2,4-D
Faktor 0 MSA 1 MSA 2 MSA 3 MSA 4 MSA
Aksesi
Purbalingga 2.5 1.2 0.9 1.2 1.5
Jonggol 2.5 1.6 1.3 1.7 2.5
Karawang 2.6 1.8 1.3 1.6 2.5
Aksesi (Kontrol)
Purbalingga 2.6 2.6 4.5 5.8 7.7
Jonggol 2.8 4.0 5.2 5.7 7.7
Karawang 3.0 4.3 5.8 7.1 11.4
Dosis (g b.a. ha-1)
0 2.8 3.7a 5.2a 6.2a 9.0a
343 2.7 1.2b 0.6b 0.6b 0.9b
686 2.4 1.2b 0.0c 0.1b 0.1b
1029 2.5 1.0b 0.0c 0.1b 0.2b
1372 2.3 0,7b 0.1c 0.4b 0.7b
Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada
taraf 5 % berdasarkan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) dengan nilai
semakin kecil maka penekanan herbisida terhadap jumlah daun semakin baik; Rataan
jumlah daun kontrol masing-masing aksesi tidak dilakukan pengujian secara statistik
; MSA = Minggu Setelah Aplikasi.
Jumlah daun gulma Brambangan tanpa perlakuan dosis herbisida 2,4-D
masing-masing aksesi berbeda. Tabel 2 menunjukkan jumlah daun gulma
Brambangan kontrol aksesi Karawang memiliki jumlah daun yang lebih banyak
dibandingkan dengan aksesi lainnya. Perbedaan jumlah daun tersebut menandakan
aksesi Karawang memiliki pertumbuhan yang lebih baik dalam pertumbuhan
normalnya, sedangkan aksesi lainnya seperti Purbalingga dan Jonggol memiliki
jumlah daun yang sama.
11
Panjang Batang
Layu pada batang Brambangan merupakan pengaruh herbisida 2,4-D.
Menurut Javed et al., (2012) elemen yang beracun dapat menyebabkan pengasaman
pada dinding sel akar dari tanaman. Herbisida 2,4-D mengubah pH dengan
memberikan rangsangan terhadap aktivitas H+-ATPase yang terdapat didalam
dinding sel dengan berikatan dengan protein pengikat auksin. H+-ATPase
menghidrolisis ATP dan menggabungkan dengan gradien proton elektrokimia yang
terbentuk oleh rantai transfer elektron sehingga enzim ini terlibat dalam
pengasaman lumen organel atau kompartemen ekstraseluler (Nakanishi-Matsui et
al., 2010). H+-ATPase tidak berpengaruh secara langsung dalam merenggangkan
dinding sel, namun H+-ATPase merangsang aktivitas enzim endoglucanase yang
bekerja merenggangkan dinding sel.
Tanaman dan fungi memiliki membran plasma pemompa proton H+-ATPase
tipe-P. Hidrolisis ATP pada H+-ATPase tipe-P menggunakan phosporylated
aspartate dalam siklus katalitik. Energi dari hidrolisis ATP digunakan untuk
membuang proton keluar sel sehingga menjadikan membran tersebut memiliki
energi potensial dan derajat pH yang tepat untuk mengaktifkan banyak transporter
sekunder seperti simporters, antiporters, dan uniporters (Lefebvre et al., 2003).
Transporter sekunder tersebut membantu transportasi metabolit sehingga semakin
tinggi aktivitas membran plasma H+-ATPase semakin banyak metabolit yang
ditransfer dan mengakibatkan pertumbuhan yang cepat.
12
Tabel 3. Panjang batang Brambangan berdasarkan faktor aksesi dan dosis 2,4-D
0 MSA 1 MSA 2 MSA 3 MSA 4 MSA
Faktor
-------------------------------- cm ----------------------------------
Aksesi
Purbalingga 5.51 7.44 5.23 4.43 3.80b
Jonggol 5.72 7.12 4.98 6.05 6.99a
Karawang 6.37 7.77 4.42 4.99 5.51b
Aksesi (Kontrol)
Purbalingga 5.89 8.96 11.38 15.51 18.01
Jonggol 5.51 9.54 13.00 14.58 17.33
Karawang 6.50 9.68 13.80 18.10 24.24
Dosis (g b.a. ha-1)
0 5.97 9.39 12.73a 16.07a 19.86a
343 6.77 8.17 3.41b 3.49b 3.53b
686 5.74 6.77 2.65b 2.12b 0.94b
1029 5.37 6.86 2.97b 1.44b 0.85b
1372 5.48 6.03 2.63b 2.67b 2.01b
Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada
taraf 5 % berdasarkan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) dengan arti
semakin kecil nilai semakin baik penekanan bahan aktif; Rataan jumlah daun kontrol
masing-masing aksesi tidak dilakukan pengujian secara statistik ; MSA = Minggu
Setelah Aplikasi.
Panjang batang Brambangan kontrol aksesi Karawang memiliki nilai yang
lebih besar dari aksesi lainnya (Tabel 3). Besarnya nilai panjang batang kontrol
aksesi Karawang membuktikan bahwa aksesi Karawang memiliki pertumbuhan
yang lebih baik dari aksesi lainnya dalam keadaan normal. Pernyataan tersebut
diperkuat dengan bukti jumlah daun aksesi Karawang yang lebih besar dari aksesi
lainnya (Tabel 2) sehingga secara umum aksesi Karawang memiliki pertumbuhan
yang lebih baik dari aksesi lainnya.
Herbisida berbahan aktif 2,4-D menekan panjang batang aksesi Purbalingga
dan Karawang lebih baik dari aksesi Jonggol. Panjang batang aksesi Karawang dan
Purbalingga bernilai lebih rendah dari panjang batang aksesi Jonggol pada 4 MSA
(Tabel 3). Hal tersebut menunjukkan bahwa aksesi Jonggol merupakan aksesi yang
resisten terhadap tekanan yang diberikan oleh herbisida berbahan aktif 2,4-D.
Perlakuan herbisida berbahan aktif 2,4-D memberikan respon panjang batang
gulma Brambangan yang berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 3). Panjang batang
gulma dari 0 MSA ke 1 MSA meningkat nilainya. Pertambahan panjang dari 0 MSA
ke 1 MSA membuktikan bahwa terjadi perenggangan dinding sel akibat aktivitas
dari enzim endoglucanases (Lefebvre et al., 2003). Batang gulma Brambangan
yang tidak mati menyisakan ruas berwarna hijau bahkan terdapat gulma yang tidak
terlihat gejala toksisitas dari awal perlakuan herbisida. Gulma yang tidak
menunjukkan gejala toksisitas tersebut diduga gulma resisten herbisida berbahan
13
aktif 2,4-D (Gambar 3). Panjang gulma brambangan dari 2 MSA ke 4 MSA
menunjukkan perbedaan yang nyata antara perlakuan dosis dan perlakuan kontrol
sehingga dapat disimpulkan bahwa pengaruh herbisida berbahan aktif 2,4-D
memberikan pengaruh yang nyata terhadap panjang gulma Brambangan.
Tabel 4. Bobot kering gulma Brambangan pada faktor aksesi dan dosis 2,4-D
1 MSA 2 MSA 3 MSA 4 MSA
Faktor
---------------------------------mg---------------------------------
Aksesi
Purbalingga 42.37 23.67a 17.57b 29.30b
Jonggol 44.03 28.93a 27.65a 70.60a
Karawang 32.23 12.20b 14.28b 40.54b
Aksesi (Kontrol)
Purbalingga 49.83 60.17 80.17 142.50
Jonggol 49.67 56.50 67.17 256.67
Karawang 43.67 51.17 66.75 195.17
Dosis (g b.a. ha-1)
0 47.72 55.94a 71.36a 198.11a
343 40.50 14.56b 8.88b 19.94b
686 39.94 11.50b 8.83b 3.78b
1029 33.61 13.22b 5.08b 3.67b
1372 35.94 12.78b 5.00b 8.56b
Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada
taraf 5 % berdasarkan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT); Rataan jumlah
daun kontrol masing-masing aksesi tidak dilakukan pengujian secara statistik ; MSA
= Minggu Setelah Aplikasi.
Nilai bobot kering gulma perlakuan kontrol meningkat setiap minggu.
Meningkatnya nilai bobot kering merupakan bukti bahwa gulma yang tidak diberi
perlakuan herbisida (kontrol) tidak mendapat tekanan dan terus tumbuh
menghasilkan fotosintat (Tabel 4). Bobot kering kontrol aksesi jonggol memiliki
nilai yang lebih besar dari bobot kering kontrol aksesi lainnya. Perbandingan nilai
bobot kering kontrol antar aksesi tidak selaras dengan perbandingan panjang gulma
kontrol antar aksesi maupun jumlah daunnya, hal ini dapat terjadi jika gulma
Brambangan aksesi Jonggol dalam pertumbuhannya membentuk percabangan yang
lebih banyak dari aksesi lainnya, namun peubah jumlah cabang gulma brambangan
tidak diamati pada penelitian ini.
14
Bobot kering aksesi Jonggol pada perlakuan herbisida berbahan aktif 2,4-D
terhadap aksesi gulma Brambangan memiliki nilai yang tinggi dan berbeda nyata
dengan aksesi lainnya (Tabel 4). Hal tersebut menunjukkan bahwa gulma
Brambangan aksesi Jonggol memiliki ketahanan yang lebih baik dari aksesi lainnya
terhadap pengaruh yang diberikan herbisida berbahan aktif 2,4-D. Nilai bobot
kering yang tinggi menunjukkan kurang efektifnya herbisida tersebut dalam
menghambat aktivitas sel didalam tumbuhan.
Nilai bobot kering perlakuan dosis herbisida 2,4-D mengalami penurunan
setiap minggunya (Tabel 4). Penurunan bobot kering merupakan akibat penurunan
hasil fotosintat gulma yang dipengaruhi oleh penurunan jumlah daun (Tabel 2) serta
kerusakan yang dialami oleh jaringan tanaman. Kerusakan jaringan tanaman
disebabkan oleh perlakuan dosis herbisida 2,4-D. Hal tersebut sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Budhiawan et al. (2016). Bobot kering gulma
Brambangan pada 1 MSA tidak berbeda nyata antara perlakuan dosis dan kontrol
meskipun telah terjadi penurunan akibat perlakuan dosis tersebut. Nilai bobot
kering pada perlakuan dosis memiliki nilai yang lebih rendah dari nilai bobot kering
pada kontrol dari 2 MSA ke 4 MSA (Tabel 4). Nilai bobot kering perlakuan dosis
yang rendah sesuai dengan penelitian Guntoro et al. (2013) yang mendapati data
rataan bobot kering yang diberi perlakuan herbisida memiliki nilai yang lebih
rendah dari rataan bobot kering tanpa perlakuan herbisida (kontrol). Rataan bobot
kering dosis 343 dan 1372 g b.a. ha-1 meningkat pada 4 MSA dibandingkan 3 MSA.
Peningkatan terjadi karena gulma dari aksesi Jonggol tumbuh tanpa gejala
toksisitas.
Herbisida berbahan aktif 2,4-D memberikan tekanan terhadap gulma
Brambangan. Penekanan tersebut dapat dihitung dengan persen penekanan gulma.
Persentase penekanan gulma membandingkan bobot kering gulma perlakuan
dengan bobot kering gulma kontrol. Persen penekanan gulma bernilai besar jika
nilai bobot kering gulma perlakuan memiliki selisih yang jauh terhadap bobot
kering gulma kontrol. Persen penekanan gulma Brambangan dari 1 MSA ke 2 MSA
meningkat secara signifikan. Besarnya nilai persen penekanan gulma merupakan
indikasi bahwa semakin besar pengaruh perlakuan dosis herbisida yang dapat
menghambat produksi fotosintat gulma.
Tingkat penekanan herbisida berbahan aktif 2,4-D terhadap bobot kering
aksesi Brambangan mermiliki respon yang berbeda setiap aksesi. Aksesi
Purbalingga dan Karawang memiliki nilai yang sama terhadap penekanan herbisida
berbahan aktif 2,4-D dengan nilai diatas 99 % (Tabel 5). Aksesi Jonggol memiliki
tingkat penekanan terhadap herbisida berbahan aktif 2,4-D sebesar 90 %. Tingkat
penekanan herbisida berbahan aktif 2,4-D yang tinggi pada aksesi Karawang dan
Purbalingga menandakan aksesi tersebut rentan terhadap herbisida berbahan aktif
2,4-D. Tingkat penekanan herbisida berbahan aktif 2,4-D yang lebih rendah pada
aksesi Jonggol mengindikasikan aksesi tersebut resisten terhadap herbisida
berbahan aktif 2,4-D. Aksesi Jonggol lebih resisten terhadap herbisida berbahan
aktif 2,4-D dibandingkan dengan aksesi Karawang dan Purbalingga.
15
Tabel 5. Persentase penekanan bobot kering gulma Brambangan pada faktor aksesi
dan dosis herbisida berbahan aktif 2,4-D
1 MSA 2 MSA 3 MSA 4 MSA
--------------------------------%-----------------------------------
Aksesi
Purbalingga 18.73 75.83 97.61 99.30
Jonggol 14.18 60.99 73.54 90.62
Karawang 32.73 95.20 98.25 99.04
Dosis (g b.a. ha-1)
0 - - - -
343 15.25 74.46 86.85 91.78
686 16.86 80.37 87.37 98.25
1029 29.07 76.74 92.43 98.57
1372 26.33 77.79 92.56 96.67
Keterangan : Semakin besar nilai persen menunjukkan semakin kecil bobot kering dan semakin
besar penekanan bahan aktif terhadap gulma
Herbisida berbahan aktif 2,4-D memberikan tekanan terhadap gulma
Brambangan dengan nilai yang terus meningkat setiap minggunya. Peningkatan
yang signifikan terjadi dari 1 MSA ke 2 MSA, setelah itu peningkatan mulai
melambat. Herbisida 2,4-D mampu memberikan penekanan sebesar 80 % terhadap
gulma Brambangan dengan dosis 686 g b.a. ha-1 pada 2 MSA (Tabel 5). Penekanan
yang diberikan terus meningkat hingga mencapai tingkat penekanan sebesar 98 %
pada 4 MSA (Tabel 5). Herbisida berbahan aktif 2,4-D memberikan tekanan
terhadap gulma Brambangan dengan tingkat penekanan diatas 90 % pada 4 MSA
(Tabel 5). Peningkatan persentase penekanan tersebut mengindikasikan herbisida
berbahan aktif 2,4-D bekerja secara perlahan dalam menekan aktivitas sel gulma.
Penekanan aktivitas sel gulma mengakibatkan berkurangnya pembentukan
biomassa tumbuhan sehingga bobot kering gulma rendah.
Toksisitas Gulma
Toksisitas gulma pada 0 MSA yang dipengaruhi oleh herbisida berbahan aktif
2,4-D tidak terjadi sehingga pengamatan dilakukan mulai dari 1 MSA. Pengamatan
toksisitas dilakukan secara visual dengan mempertimbangkan perubahan warna dan
bentuk gulma dalam pengamatannya. Gulma yang beubah warna dan bentuknya
menjadi layu mendapatkan skor toksisitas 4 (100 %) sedangkan gulma yang
warnanya sama dengan kontrol dan bentuknya sama dengan kontrol mendapatkan
skor toksisitas 0 (0 %) sedangkan gulma yang warnanya tidak berubah sepenuhnya
ataupun bentuk gulma tersebut tidak layu seutuhnya akan diberi skor diantaranya
tergantung tingkat perubahan warna dan bentuknya.
Skor toksisitas perlakuan dosis herbisida berbahan aktif 2,4-D pada 1 MSA
telah mencapai nilai maksimal. Nilai maksimal tersebut menandakan herbisida
berbahan aktif 2,4-D telah terdistribusi dalam sistem jaringan gulma secara merata.
Gejala toksisitas mulai muncul pada 2 HSA (Hari Setelah Aplikasi) dengan gejala
pada gambar 2. Toksisitas tersebut diduga karena herbisida berbahan aktif 2,4-D
yang bekerja sebagai auksin sintetik memberikan gejala epinasty kepada gulma
(Bernards et al., 2012). Skor toksisitas ketiga aksesi bernilai sama, sehingga dari
16
1 MSA hingga 3 MSA tidak terlihat perbedaan antar aksesi Brambangan tersebut
(Tabel 6).
Skor toksisitas yang dimiliki oleh masing-masing aksesi bernilai sama dengan
nilai 3 mulai dari 1 MSA hingga 3 MSA. Aksesi Jonggol mengalami penurunan
nilai toksisitas pada 4 MSA menjadi 2. Penurunan skor toksisitas terjadi karena
gulma yang menyisakan ruas gulma Brambangan tumbuh kembali menjadi individu
gulma yang segar seperti semula. Gulma yang tumbuh kembali menjadi segar
mempengaruhi nilai toksisitas aksesi Jonggol pada 4 MSA.
17
Kematian Gulma
Tabel 7. Persen kematian gulma Brambangan interaksi faktor aksesi dan dosis
1 MSA 2 MSA 3 MSA 4 MSA
Aksesi Dosis
--------------------------------%-----------------------------------
0 0 0 0e 0
ab
343 30 74 95 96
ab
C1 686 35 70 97 97
1029 21 64 88bcd 100
1372 34 79 94ab 100
e
0 0 0 0 0
de
343 9 48 67 84
C2 686 22 44 62e 79
e
1029 15 40 57 75
cde
1372 30 49 78 88
0 0 0 0e 0
bc
343 19 74 86 90
abc
C3 686 30 87 91 100
1029 23 88 100a 100
a
1372 50 93 100 100
Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada
taraf 5 % berdasarkan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT); MSA =
Minggu Setelah Aplikasi; C1 = aksesi Purbalingga, C2 = aksesi Jonggol, C3 = aksesi
Karawang.
Pengendalian aksesi Jonggol menggunakan herbisida berbahan aktif 2,4-D
hanya memberikan tingkat kematian dibawah 80 % (Tabel 7). Tingkat kematian
tersebut lebih rendah dibandingkan dengan aksesi lainnya seperti Purbalingga dan
Karawang. Gulma Brambangan yang tidak mati oleh herbisida berbahan aktif 2,4-
D akan tumbuh menjadi individu baru dan menciptakan populasi yang resisten
terhadap herbisida berbahan aktif 2,4-D, sehingga pengendalian aksesi Jonggol
diperlukan teknologi yang dapat menunda resistensi suatu populasi seperti
penggunaan herbisida campuran atau rotasi bahan aktif herbisida.
Resistensi Herbisida
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, M.P., A.S. Juraimi, B. Samedani, A. Puteh, A. Man, 2012. Critical Period
of Weed Control in Aerobic Rice. The Scientific World Journal 2012,
Bernards M.L.,R.J. Crespo, G.R. Kruger, R. Gaussoin, P.J. Tranel. 2012. A
Waterhemp (Amaranthus tuberculatus) Population Resistant to 2,4-D.
Journal of Weed Science 60 : 379 – 384.
Boyette, C.D., R.E. Hoagland, K.C. Stetina. 2015. Biological control of spreading
dayflower (Commelina diffusa) with the fungal pathogen Phoma
commelinicola. Agronomi 5:519-536.
Brillas, E., J.C. Calpe, J. Casado. 2000. Mineralization of 2,4-D by advanced
electrochemical oxidation processes. Water Research, 34(8) : 2253-2262.
Bryson, C.T., M.S. DeFelice. 2009. Weeds of the South. University of Georgia.
Athens, GA. USA.
Budhiawan, A., B. Guritno, A. Nugroho. 2016. Aplikasi Herbisida 2,4-D dan
Penoxsulam pada Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Padi Sawah (Oryza
sativa L.). Jurnal Produksi Tanaman 4(1) : 23 – 30.
Craigmyle B.D., J.M. Ellis, K.W. Bradley. 2013. Influence of Herbicides Programs
on Weed Management in Soybean with Resistance to Glufosinate and 2,4-
D. Weed Technology 27 : 78 – 84.
Devasinghe, D.A.U.D., K.P. Premarathne, U.R. Sangakkara. 2011. Weed
Management by Rice Straw Mulching in Direct Seeded Lowland Rice
(Orzya sativa L.). Tropical Agricultural Research 22 (3) : 263 - 272.
Egan, J.F., B.D. Maxwell, D.A. Mortensen, M.R. Ryan, R.G. Smith. 2011. 2,4-
Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D)–resistant crops and the potential for
evolution of 2,4-D–resistant weeds. PNAS 108(11) : E37.
Elb, P.M., G.F. Melo-de-Pinna, N.L.D. Menezes. 2010. Morphology and Anatomy of
Leaf Miners in Two Species of Commelinaceae (Commelina diffusa Burm. f.
And Floscopa glabrata (Kunth) Hassk). Acta bot. bras. 24(1) : 283-287.
Faden, R.B. 2015. The Misconstrued and Rare Species of Commelina
(Commelinaceae) in The Eastern United States. JSTOR Volume 80 (1) :
208 – 218.
Finney, D.J. 1952. Probit Analysis. Cambridge University Press, Cambridge, EN.
Fitriana, M., Y. Parto, Munandar, D. Budianta. 2013. Pergeseran Jenis Gulma
Akibat Perlakuan Bahan Organik pada Lahan Kering Bekas Tanaman
Jagung (Zea mays L.). J. Agron. Indonesia 41 (2) : 118 – 125.
Guntoro, D., T.Y. Fitri. 2013. Aktivitas Herbisida Campuran Bahan Aktif
Cyhalofop-Butyl dan Penoxsulam terhadap Beberapa Jenis Gulma Padi
Sawah. Bul. Agrohorti 1 (1) : 140 – 148.
Hendrival, Z. Wirda, A. Azis. 2014. Periode Kritis Tanaman Kedelai Terhadap
Persaingan Gulma. J. Floratek 9 : 6 – 13.
Isaac, W.A.P., R.A.I. Brathwaite, J.E. Cohen, I. Bekele. 2007. Effects of Alternatice
Weed Management Strategies on Commelina diffusa Burm. Infestation in
Fairtrade Banana (Musa spp.) in St. Vincent and the Grenadines. Journal
Crop Protection 26 : 1219 – 1225.
22
Isaac, W.A., Z. Gao, M. Li. 2013. Managing Commelina species: Prospects and
limitations. in Herbicides-Current Research and Case Studies in Use.
InTech 21 : 543 - 562.
Javed, M.T., E. Stoltz, S. Lindberg, M. Greger. 2012. Changes in pH and Organic
Acid in Mucilage of Eriophorum angustifolium Roots After Exposure to
Elevated Concentrations of Toxic Elements. Environtmental Science and
Pollution Research International 20 (3) : 1876 – 1880.
Jha, A.K., M. Soni. 2013. Weed Management by Sowing Methods and Herbicides
in Soybean. Indian Journal of Weed Science Volume 45 (4) : 250 – 252.
Johnshon, D.E., M.C.S. Wopereis, D. Mbodj, S. Diallo, S. Powers, S.M. Haefele.
2004. Timing of Weed Management and Yield Losses Due to Weeds in
Irrigated Rice in the Sahel. Field Crops Research 85 : 31-42.
Lasmini, S.A., A. Wahid. 2008. Respon Tiga Gulma Sasaran Terhadap Beberapa
Ekstrak Gulma. Jurnal Penelitian Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan,
Universitas Tadulako, Palu.
Lubis, L.A., E. Purba, R. Sipayung. 2012. Respons Dosis Biotip Eleusine indica
Resisten-Glifosat Terhadap Glifosat, Paraquat, dan Glufosinat. Jurnal
Online Agroekoteknologi 1(1) : 109 – 123.
Moenandir, J. 2010. Ilmu Gulma. UB Press. Malang.
Moraïs, S., M.E. Himmel, E.A. Bayer. 2015. Direct Microbial Conversion of Biomass to
Advanced Biofuels . Elsevier.
Mortensen, D.A., J.F. Egan, B.D. Maxwell, M.R. Ryan, R.G. Smith. 2012. Navigating a
Critical Juncture for Sustainable Weed Management. BioScience 62(1) : 75-84.
Nakanishi-Matsui, M., M. Sekiya, R.K. Nakamoto, M. Futai. 2010. The Mechanism of
Rotating Proton Pumping ATPases. Biochimica et Biophysica acta 1797 : 1343
– 1352.
Neto, F.S., H.D. Coble, F.T. Corbin. 2000. Absorption, Translocation, and
Metabolism of 14C-glufosinate in Xanthium strumarium, Commelina
difusa, and Ipomea purpurea. Journal of Weed Science 48 : 171 – 175.
Oladipo, O.T., M.A. Ayo-Ayinde. 2014. Feliar Epidermal Morphology of The
Genera Aneilema and Commelina (Commelinaceae). Life Journal of
Science Volume 16 (2) : 219 – 225.
Padang, W.J., E. Purba, E.S. Bayu. 2014. Periode Kritis Pengendalian Gulma pada
Tanaman Jagung (Zea mays L.). Jurnal Agroekoteknologi FP USU 5(2) :
409 – 414.
Richard, A., K. Farreyrol, B. Rodier, K. Leoce-Mouk-San, M. Wong, M. Pearson,
M. Grisoni. 2009. Control of virus diseases in intensively cultivated vanilla
plots of French Polynesia. Crop Protect. 28:870-877.
Robinson, A.P., D.M. Simpson, W.G. Johnson. 2012. Summer Annual Weed
Control with 2,4-D and Glyphosate. Weed Technology 26(4) : 657 – 660.
Santos, I.C., F.A. Ferreira, A.A. Silva, G.V. Miranda, L.D.T. Santos. 2002. Efficacy
of 2,4-D Applied Alone or in Mixture with Glyphosate in the Control of
Dayflower. Planta Daninha 20 : 299 – 309.
Sarabi, V., M.H.R. Mohassel, M. Valizadeh. 2011. Response of redroot pigweed
(Amaranthus retroflexus L.) to tank mixtures of 2,4-D plus MCPA with
foramsulfuron. AJCS 5(5) : 605 – 610.
23
LAMPIRAN
Lampiran 1. Jumlah daun rata-rata dari tiga aksesi Brambangan tiap perlakuan
perminggu
Aksesi Dosis 0 MSA 1 MSA 2 MSA 3 MSA 4 MSA
0 2,6 2,6 4,5 5,8 7,7
343 2,5 0,8 0,0 0,0 0,0
C1 686 2,5 1,1 0,0 0,0 0,0
1029 2,8 0,8 0,0 0,0 -
1372 2,2 0,7 0,0 0,0 -
0 2,8 4,0 5,2 5,7 7,7
343 2,6 1,3 1,1 1,0 2,8
C2 686 2,5 0,9 0,1 0,2 1,0
1029 2,3 1,1 0,1 0,3 0,8
1372 2,3 0,7 0,2 1,3 6,0
0 3,0 4,3 5,8 7,1 11,4
343 2,8 1,4 1,2 1,3 2,5
C3 686 2,4 1,5 0,0 0,0 -
1029 2,5 1,0 0,0 - -
1372 2,5 0,8 0,0 - -
Keterangan : Data tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dalam interaksi antara aksesi dan
perlakuan
Lampiran 3. Rataan bobot kering dari tiga aksesi Brambangan tiap perlakuan
perminggu
Aksesi Dosis 1 MSA (mg) 2 MSA (mg) 3 MSA (mg) 4 MSA (mg)
0 50 60 80 143
343 46 9 7 4
C1 686 44 20 14 8
1029 27 18 - -
1372 45 17 - -
0 50 57 67 257
343 40 33 19 77
C2 686 45 15 23 13
1029 38 14 19 11
1372 48 27 11 39
0 44 51 57 195
343 36 6 14 23
C3 686 31 - - -
1029 36 24 - -
1372 15 - - -
Keterangan : Uji annova menyatakan data tidak berbeda nyata dengan selang kepercayaan 95%
pada interaksi antara faktor dosis dan aksesi. Data yang kosong terjadi karena jumlah
sampel gulma yang tidak cukup untuk pengukuran bobot kering karena sebagian besar
dari populasinya telah mati atau seluruhnya telah mati.
26
RIWAYAT HIDUP