Anda di halaman 1dari 42

RESPON 3 AKSESI BRAMBANGAN (Commelina diffusa Burm. f.

)
TERHADAP 2,4-D

IQBAL MUHAMMAD AKBAR


A24150157

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Respon 3 Aksesi


Brambangan (Commelina diffusa Burm. f.) terhadap 2,4-D” adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2019

Iqbal Muhammad Akbar


NIM A24150157
ABSTRAK

IQBAL MUHAMMAD AKBAR. Respon 3 Aksesi Brambangan (Commelina


diffusa Burm. F.) terhadap 2,4-D. Dibimbing oleh SOFYAN ZAMAN dan
SUGIYANTA.

Brambangan (Commelina diffusa Burm. f.) merupakan gulma yang sulit


untuk dikendalikan karena batang yang terpotong dan tidak mati akan tumbuh
kembali menjadi individu yang baru. Tujuan penelitian ini adalah melihat respon 3
aksesi Brambangan (Commelina diffusa Burm. F.) dan resistensinya terhadap dosis
herbisida 2,4-D. Dosis herbisida yang digunakan sebanyak 0, 343, 686, 1029, 1372
g b.a. ha-1 dan 3 aksesi dari Purbalingga, Jonggol, serta Karawang dengan
rancangan faktorial 2 faktor 3 ulangan sehingga terdapat 45 satuan percobaan.
Herbisida 2,4-D dapat memberikan penekanan pertumbuhan panjang gulma,
jumlah daun, dan bobot kering gulma yang berbeda nyata terhadap kontrol. Respon
tersebut mulai muncul pada minggu pertama setelah aplikasi. Aksesi jonggol
memberikan respon yang lebih toleran terhadap herbisida 2,4-D dan memiliki
resistensi relatif sebesar 6.15 kali dari aksesi Purbalingga dan 2.32 kali dari aksesi
Karawang. LD50 masing-masing aksesi sebesar 26.02, 159.96, dan 68.87 g b.a. ha-
1
untuk aksesi Purbalingga, Jonggol, dan Karawang.

Kata kunci: 2,4-D, Aksesi, Brambangan, LD50, Resistensi.

ABSTRACT

IQBAL MUHAMMAD AKBAR. Response 3 Spreading Dayflower Accession


(Commelina diffusa Burm. F.) to 2,4-D. Supervised by SOFYAN ZAMAN and
SUGIYANTA.

Spreading dayflower (Commelina diffusa Burm. f.) is a weed that is difficult


to control because a cutted and non-dead stem will grow back into new individual.
The purpose of this study was to look at the responses of 3 accessions of Spreading
dayflower (Commelina diffusa Burm. F.) and their resistance to various herbicide
2,4-D dose. The doses of herbicides used were 0, 343, 686, 1029, 1372 g a.i. ha-1
and 3 accessions from Purbalingga, Jonggol, and Karawang with a factorial design
of 2 factors and 3 replications so there were 45 experimental units. Herbicide 2,4-
D can emphasize the growth of weed length, number of leaves, and weed dry weight
which were significantly different from the control. The response starts to appear
in the first week after the application. Jonggol accession gave a more tolerant
response to herbicide 2,4-D and had a relative resistance of 6.15 times that of
Purbalingga accession and 2.32 times that of Karawang accession. LD50
accessions of 26.02, 159.96, and 68.87 g a.i. ha-1 respectively for accession to
Purbalingga, Jonggol and Karawang.

Keywords: 2,4-D , Accession, LD50, Resistance, Spreading dayflower.


RESPON 3 AKSESI BRAMBANGAN (Commelina diffusa Burm. f.)
TERHADAP 2,4-D

IQBAL MUHAMMAD AKBAR


A24150157
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi dengan judul “Respon 3 Aksesi Brambangan
(Commelina diffusa Burm. f.) terhadap 2,4-D” dapat terselesaikan. Penulis
meyampaikan banyak terima kasih kepada :
1. Bapak Ir. Sofyan Zaman, M.P. selaku dosen pembimbing utama yang telah
bersabar dan selalu menginspirasi dalam penelitian saya sehingga
penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik.
2. Bapak Dr. Ir. Sugiyanta, M.Si selaku dosen pembimbing kedua saya yang
telah bersabar dan memberikan banyak masukkan dalam penelitian ini.
3. Bapak Dr. Willy Bayuardi Suwarno, S.P., M.Si. selaku dosen pembimbing
akademik yang terus memotivasi saya dan memberikan banyak semangat
dalam menjalankan perkuliahan.
4. Bapak Ir. Adolf Pieter Lontoh, M.S. selaku dosen penguji yang
memberikan banyak inspirasi dan dukungan emosional.
5. Bapak Sukanto Tanoto beserta Tanoto Foundation yang telah memberikan
bantuan berupa pengembangan softskill, jaringan, dan dana dalam proses
perkuliahan ini.
6. Ibunda tercinta Dwi Rasmawati yang selalu menjadi motivasi serta kasih
sayang yang tidak akan terbalas.
7. Bapak Priyo Sunaryoso yang telah memberikan nafkah secara materi
8. Teman-teman KKN-T Bengkayang yang turut membantu saya dalam
berproses.
9. Mahasiswa Asrama Sylvapinus yang telah membantu saya dalam melatih
softskill saya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat sebagai pedoman peningkatan produksi
hasil pertanian di Indonesia.

Bogor, September 2019

Iqbal Muhammad Akbar


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Hipotesis 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Commelina diffusa 2
2,4-D 4
METODE 5
Tempat dan Waktu Penelitian 5
Bahan dan Alat 5
Rancangan Percobaan 5
Prosedur Percobaan 6
Pengamatan Percobaan 6
Analisis Data 7
HASIL DAN PEMBAHASAN 8
Penekanan Pertumbuhan Gulma 8
Toksisitas Gulma 15
Kematian Gulma 17
Resistensi Herbisida 18
SIMPULAN DAN SARAN 20
Simpulan 20
Saran 20
DAFTAR PUSTAKA 21
LAMPIRAN 23
RIWAYAT HIDUP 26
DAFTAR TABEL

1 Rekapitulasi Sidik ragam berbagai variabel pengamatan 9


2 Jumlah daun Brambangan berdasarkan faktor aksesi dan dosis 10
herbisida 2,4-D
3 Panjang batang Brambangan berdasarkan faktor aksesi dan dosis 12
2,4-D
4 Bobot kering gulma Brambangan pada faktor aksesi dan dosis 13
2,4-D
5 Persentase penekanan bobot kering gulma Brambangan pada 15
faktor aksesi dan dosis herbisida berbahan aktif 2,4-D
6 Skor toksisitas gulma dari faktor aksesi dan dosis 16
7 Persen kematian gulma Brambangan interaksi faktor aksesi dan 18
dosis
8 LD50 tiga aksesi Brambangan 19

DAFTAR GAMBAR

1 Gejala Epinasty pada gulma Brambangan yang diberi perlakuan 8


2,4-D dibandingkan dengan kontrol
2 Gulma survivor pada 2 MSA 16
3 Grafik respon kematian gulma Brambangan 19

DAFTAR LAMPIRAN

1 Jumlah daun rata-rata dari tiga aksesi Brambangan tiap perlakuan 24


perminggu
2 Panjang rata-rata dari tiga aksesi Brambangan tiap perlakuan 24
perminggu
3 Rataan bobot kering dari tiga aksesi Brambangan tiap perlakuan 25
perminggu
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman tumbuh memanfaatkan unsur hara dan cahaya matahari. Unsur hara
dan cahaya matahari dapat disebut sebagai sarana tumbuh. Pertumbuhan tanaman
di lapang memiliki banyak gangguan diantaranya adalah gulma. Gulma bersaing
dengan tanaman budidaya dalam memanfaatkan sarana tumbuh sehingga
pertumbuhan tanaman budidaya terganggu dan terjadi penurunan produksi
(Moenandir, 2010). Kehadiran gulma selama proses budidaya dapat menimbulkan
penurunan hasil sehingga perlunya manajemen pengendalian gulma yang baik.
Brambangan (Commelina diffusa Burm. f.) merupakan gulma yang dapat
ditemukan di pertanaman jagung, kacang tanah, kacang hijau, tanaman kapas, dan
bawang putih (Moenandir, 2010). Gulma tersebut pernah ditemukan di kebun
Cikabayan IPB pada tahun 2011 pada gawangan kelapa sawit (Simangunsong,
2017). Brambangan memiliki ciri batangnya merambat dan bercabang pada bagian
bawahnya. Batang gulma tersebut dapat tumbuh hingga mencapai 1 m. Daunnya
berbentuk lanset agak melebar dengan panjang 4-6 cm memiliki rambut di
pinggiran daun dan dudukan daunnya berseling.
Pengendalian gulma brambangan menjadi sulit karena batang yang terpotong
tidak mati namun akan tumbuh kembali menjadi individu baru ditandai dengan
munculnya tunas di buku-buku yang terpotong (Isaac et al., 2013). Hal tersebut
menjadikan gulma brambangan tidak direkomendasikan dikendalikan dengan cara
dipotong lalu dibiarkan di lahan, sehingga petani menggunakan herbisida untuk
mengendalikan gulma tersebut. Brambangan semakin sulit dikendalikan
menggunakan herbisida 2,4-D sehingga Brambangan diduga merupakan gulma
yang dapat berevolusi sehingga resisten terhadap 2,4-D (Bernards et al., 2012).
Lubis et al. (2012) menemukan munculnya ketahanan gulma terhadap bahan
aktif suatu herbisida merupakan ciri gulma tersebut mulai resisten yang dapat
dibuktikan dengan pengujian efikasi herbisida terhadap gulma dari beberapa aksesi.
Resistensi herbisida dapat terjadi pada gulma yang sering dikendalikan
menggunakan herbisida berbahan aktif yang sama secara berulang-ulang dalam
jangka waktu lama. Resistensi dapat dicegah dilakukan dengan menerapkan sistem
pengendalian gulma terpadu dalam pengendalian gulma. Resistensi herbisida 2,4-
D dapat menyebar dengan cepat karena pada beberapa kasus ditemukan bahwa
resistensi tersebut diekspresikan oleh alel dominan tunggal (Egan et al., 2011). Hal
tersebut menjadikan perlunya dilakukan penelitian yang meneliti resistensi gulma
tersebut pada beberapa wilayah.
Brambangan yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari pertanaman
padi sawah di Karawang Jawa Barat, kebun kelapa sawit Jonggol Jawa Barat, dan
kebun buah petani pepaya di Bukateja kabupaten Purbalingga Jawa Tengah. Ketiga
aksesi tersebut diuji terhadap beberapa dosis herbisida 2,4-D dan dibandingkan
sehingga dapat terlihat aksesi mana yang lebih resisten terhadap herbisida 2,4-D.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengendalian gulma
brambangan di wilayah tersebut.
2

Respon gulma brambangan terhadap bahan aktif herbisida 2,4-D dapat


digunakan untuk menguji kepekaan gulma tersebut terhadap bahan aktif 2,4-D.
Sampel gulma dikoleksi dari berbagai wilayah yang berbeda sebagai acuan respon
beberapa aksesi terhadap bahan aktif 2,4-D. Respon yang didapatkan diharapkan
dapat menjadi acuan dalam penggunaan herbisida 2,4-D dalam wilayah tersebut.
Penelitian ini bertujuan melihat respon 3 aksesi Brambangan (Commelina diffusa
Burm. F.) dan resistensinya terhadap dosis herbisida 2,4-D.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mempelajari respon 3 aksesi Brambangan


(Commelina diffusa Burm. F.) terhadap herbisida 2,4-D.

Hipotesis

1. Terdapat interaksi antara aksesi Brambangan (Commelina diffusa Burm. f.)


dengan dosis aplikasi herbisida berbahan aktif 2,4-D.
2. Terdapat aksesi Brambangan yang menunjukkan resistensi terhadap herbisida
2,4-D.

TINJAUAN PUSTAKA

Commelina diffusa

Brambangan (Commelina diffusa Burm.f.) merupakan gulma tahunan yang


memiliki keping biji monokotil. Brambangan muncul di seluruh dunia bagian tropis
dan sub tropis. Gulma ini memiliki bunga yang kecil dengan 3 petal berwarna biru
dan biasanya memiliki putik dengan lokul dorsal 1 buah (Faden, 2015). Commelina
memiliki pollen yang berbentuk elips, membentung cembung sisinya sehingga
terdapat bagian yang tipis, dan simetris secara bilateral (Shubharani, 2013).
Brambangan ini termasuk spesies C3 sehingga memiliki efisiensi yang tinggi dalam
pemanfaatan CO2 pada penyinaran cahaya yang rendah sehingga gulma ini akan
tumbuh dengan baik pada tempat yang ternaungi (Isaac et al., 2013).
Brambangan menyebar secara luas dalam suatu area dengan menjalar di
permukaan tanah hingga mencapai panjang 1 meter dan membentuk banyak cabang
dan tumbuh akar di setiap nodenya (Bryson dan DeFelice, 2009). Gulma ini
umumnya diperbanyak dengan biji, potongan batang dan buku yang berakar.
Penyebaran Brambangan di timur United States didominasi menggunakan benih
(Faden, 2015). Tunas yang muncul dari buku akan tumbuh dan akan terpisah
dengan potongan batangnya. Tunas tersebut terkadang langsung muncul dan
tumbuh naik tanpa melalui periode dorman. Gulma ini dapat berkembang dengan
sangat intensif apabila pengendalian gulma dilakukan dengan alat pemotong
rumput dan batang yang terpotong tidak dibuang atau menyebar, maka tiap batang
yang tersebar akan menjadi individu baru (Isaac et al., 2013). Devasinghe et al.
(2011) menemukan bahwa dalam 1 m2 petakan populasi Commelina diffusa dapat
mencapai 14 sampai 25 individu gulma.
3

Batang Commelina sp. memiliki tingkat kelembapan yang tinggi dan saat
bukunya telah mengeluarkan akar tanaman dapat bertahan dalam waktu yang lama
tanpa kelembapan. Isaac et al. (2013) menemukan bahwa saat perkebunan pisang
tanamannya masih muda, batang Commelina menjadi kering dan layu karena
terkena paparan cahaya sinar matahari langsung saat musim kering, namun saat
tanaman telah dewasa dan terjadi hujan batang tersebut kembali lembab dan dengan
cepat menyebar dengan sulurnya yang berakar pada tiap buku. Menurut Isaac et al.
(2007) pengendalian Commelina diffusa di perkebunan pisang yang paling efektif
menggunakan mulsa.
Gulma tersebut termasuk salah satu gulma dominan pada pertanaman kedelai
(Jha dan Soni, 2013). Gulma ini juga ditemukan pada beberapa pertanaman seperti
perkebunan pisang, kacang polong, jeruk, lemon, anggur, aprikot, kopi, kapas,
pepaya, tebu, sorgum nanas, padi, dan talas di berbagai negara (Isaac et al., 2013).
Brambangan merupakan gulma yang menjadi masalah pada tanaman yang masih
muda (2-5 minggu). Fitriana et al., (2013) menemukan ketersediaan gulma
Brambangan pada lahan yang diberikan perlakuan bahan organik, sehingga diduga
gulma tersebut dapat menyebar melalui bahan organik yang digunakan untuk
memupuk tanah.
Brambangan merupakan tanaman inang dari nematoda Radopholus similis,
Rotylenchulus reniformis, Pratylenchus goodeyi, dan Meloidogyne exigua.
Brambangan juga ditemukan berkolerasi positif kehadirannya dengan tingginya
kerapatan penyakit cucumber mosaic virus karena Brambangan merupakan inang
bagi virus dan serangga vektornya (Richard et al., 2009). Elb et al. (2010)
menemukan bahwa terdapat 81 larva dan 43 pupa Liriomyza commelinae dalam
satu individu dari famili Commelinaceae, parasitoid tersebut menyerang
Brambangan dengan mengkonsumsi sel parenkim dari mesofil, meskipun demikian,
parasitoid tersebut memiliki mobilitas yang rendah dalam daun Brambangan
sehingga diduga penyebaran parasitoid dalam Brambangan tidak berkembang
dengan cepat. Hal tersebut merupakan beberapa alasan guma tersebut harus
dikendalikan di lapang selain alelopatinya yang dapat menghambat pertumbuhan
tanaman.
Brambangan memiliki sensitivitas terendah untuk absorbsi, translokasi, dan
metabolisme dibandingkan Xanthium strumarium dan Ipomoea purpurea Neto
(2000). Hal tersebut diduga karena sel epidermis C. diffusa berbentuk polygonal,
tipe stomata yang dimiliki merupakan hexacytic serta pada abaksial tidak memiliki
trikoma (Oladipo, 2014). Hal tersebut diduga merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan Brambangan toleran terhadap herbisida.
Mortensen (2012) mengungkapkan bahwa Brambangan telah resisten
terhadap beberapa herbisida salah satunya 2,4-D dan dicamba. Kedua herbisida
tersebut merupakan herbisida yang bekerja pada mode of action yang sama yaitu
pengatur pertumbuhan, namun kedua herbisida tersebut memiliki famili kimia
Phenoxy dan Asam Benzoic. Hal tersebut menjadi dasar bagi Mortensen (2012)
dalam membuat sistem Manajemen Pengendalian gulma Terpadu dengan sistem
rotasi tanaman, penggunaan herbisida campuran, serta penggunaan varietas yang
resisten terhadap herbisida.
4

2,4-D

Herbisida 2,4-D merupakan herbisida auksin sentetik yang dapat


mengendalikan gulma dengan menghambat regulator pertumbuhan gulma sehingga
pertumbuhan gulma akan terhambat. Herbisida ini merupakan herbisida selektif
membunuh gulma berdaun lebar sehingga herbisida ini relatif kurang efektif jika
digunakan pada gulma rumput atau teki.
Herbisida ini merupakan salah satu herbisida yang ramah lingkungan karena
cepat terdegradasi didalam tanah mineral keadaan aerobik. 2,4-D didegradasi oleh
mikroba dalam tanah di proses yang melibatkan hidroksilasi, pemutusan rantai
asam, dekarboksilasi, dan pembukaan cincin ester (Brillas et al., 2000). Craigmyle
et, al (2013) menyatakan bahwa penambahan herbisida 2,4-D dalam aplikasi
herbisida Glufosinat memberikan tingkat keracunan pada tanaman dibawah 3 %
yang relatif kecil jika dibandingkan dengan herbisida lainnya.
Santos (2002) menemukan bahwa dosis efektif herbisida 2,4-D untuk
mengendalikan Commelina diffusa mulai dari 670 g b.a. ha-1. Penggunaan 2,4-D
akan semakin efektif jika dicampur herbisida berbahan aktif Glifosat dengan tingkat
pengendalian yang tinggi. Craigmyle et al., (2013) menemukan bahwa penggunaan
2,4-D sebagai campuran dari glufosinat dengan dosis yang meningkat dari 0.56,
0.84, hingga 1.12 kg ha-1 memiliki nilai pengendalian yang tidak berbeda nyata
pada rumput semusim dan gulma berdaun lebar yang tingginya kurang dari 30 cm.
Hal tersebut sesuai dengan temuan Robinson et al., (2012) bahwa herbisida 2,4-D
dapat mengendalikan gulma yang tidak mati terkena Glifosat sehingga
pencampuran herbisida dapat mencegah resistensi terhadap suatu herbisida. Sarabi
et al., (2011) menemukan bahwa dalam campuran herbisida 2,4-D dan MCPA serta
2,4-D, MCPA, dan foramsulfuron memiliki efektivitas dosis relatif yang berbeda
dari beberapa macam fase pertumbuhan yaitu dua hingga empat daun dan empat
hingga enam daun.
Menurut Egan et al. (2011) Resistensi herbisida 2,4-D dapat menyebar
dengan cepat karena resistensi tersebut diekspresikan oleh alel dominan tunggal.
Sehingga dalam penggunaannya harus sering dirotasi dengan herbisida lain atau
dicampur dengan herbisida lain sesuai dengan temuan santos (2002) agar
pengendalian gulma tersebut dapat maksimal sehingga mengurangi resiko
terjadinya resistensi. Robinson et al. (2012) menyatakan bahwa pencampuran
herbisida memang menunda terjadinya resistensi namun pengendalian gulma
terpadu merupakan solusi yang terbaik karena gulma akan berevolusi menjadi
resisten terhadap suatu bahan aktif jika digunakan terus menerus.
5

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelititan ini dilaksanakan di Kebun Kelapa Sawit Blok 25 Cikabayan,


Institut Pertanian Bogor, mulai bulan Maret hingga bulan Mei 2019.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan merupakan herbisida berbahan aktif 2,4-D (DMA 6


825 SL) dan gulma Commelina diffusa aksesi Purbalingga (C1), Jonggol (C2), serta
Karawang (C3).
Peralatan yang digunakan polybag, tanah, pupuk kandang, ember, gelas
ukur 50 ml, Hand Sprayer 2 l, gunting, label, oven, kantong kertas, dan timbangan
digital.

Rancangan Percobaan

Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap


Teracak (RKLT) faktorial dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah aksesi gulma
Brambangan yang terdiri dari 3 taraf yaitu aksesi C1, C2, dan C3. Faktor kedua
adalah dosis penyemprotan herbisida 2,4-D yang terdiri dari 5 taraf yaitu 0, 343,
686, 1029, dan 1372 g b. a. ha-1 setara dengan 0, 0.5, 1, 1.5, 2 l ha-1 dosis herbisida
DMA 6. Total unit percobaan adalah 45 satuan percobaan masing-masing dalam
satu polybag. Setiap satu polybag memiliki 15 individu gulma.

Rancangan percobaan disusun dengan model linier :


Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + ρk + εijk

Keterangan :
Yijk = Pengamatan pada satuan percobaan ke-i yang memperoleh
kombinasi perlakuan taraf ke-j dari perlakuan 2,4-D dan taraf ke-
k dari aksesi
µ = Rataan populasi
αi = Pengaruh faktor aksesi taraf ke-i (j = 1,2,3)
βj = Pengaruh faktor 2,4-D taraf ke-j (i = 1,2,3,4,5)
(αβ)ij = Pengaruh interaksi taraf ke-i dari Aksesi dan taraf ke-j dari 2.4-D
ρk = Pengaruh faktor kelompok taraf ke-k (k=1,2,3)
εijk = Pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh
kombinasi perlakuan aksesi dan 2,4-D.
6

Prosedur Percobaan

Penanaman Gulma
Propagul Brambangan ditanam dalam polybag sebanyak 15 propagul per
polybag. Propagul gulma berupa stek batang dengan panjang minimal 10 cm dan
memiliki 2 buku. Polybag berisi media tanam berupa tanah dan pupuk kandang
dengan perbandingan 1 : 1. Gulma dipelihara hingga 14 hari dengan kondisi
ternaungi dimana waktu tersebut gulma Brambangan masih dalam fase
pertumbuhan (Boyette et al., 2015). Perawatan gulma hanya dilakukan penyiraman
setiap hari agar kebutuhan air gulma terpenuhi.

Kalibrasi dan Aplikasi Herbisida


Kalibrasi alat semprot dilakukan menggunakan air dengan menghitung lebar
semprot pada ketinggian yang konstan yaitu sekitar 60 cm diatas permukaan tanah
atau setinggi lutut. Kapasitas nosel semprot larutan herbisida disesuaikan dengan
volume semprot 600 l ha-1 sesuai dengan rekomendasi volume semprot penggunaan
herbisida 2,4-D dalam label. Aplikasi herbisida dilakukan 14 hari setelah
penanaman Brambangan (Boyette et al., 2015). Aplikasi menggunakan
Handsprayer kapasitas 2 l.

Pengamatan Percobaan

Peubah yang diamati dalam pengamatan respon aksesi Brambangan


merupakan :

1. Panjang gulma
Pengamatan dilakukan dengan mengukur panjang gulma dari permukaan
tanah hingga ke ujung gulma, jika terdapat cabang pengukuran diambil dari
cabang yang paling panjang. Gulma yang diukur memiliki kriteria yaitu minimal
masih berisi.
Panjang gulma yang diamati mulai dari 0 HSA dan dilakukan setiap
minggu. Pengamatan dilakukan pada 0, 7, 14, 21 dan 28 HSA dengan total 5 kali
pengamatan panjang gulma.

2. Jumlah daun
Pengamatan dilakukan dengan menghitung daun yang telah membuka
sempurna. Fase pertumbuhan gulma dapat dilihat dari jumlah daun yang telah
membuka sempurna (Boyette et al., 2015). Jumlah daun yang terbuka
diklasifikasikan menjadi 0, 1 hingga 2 daun yang terbuka, 3 hingga 4 daun yang
terbuka, 5 hingga 6 daun yang terbuka, dan 7 hingga 8 daun yang terbuka.
Jumlah daun diamati mulai dari 0 HSA dan dilakukan setiap minggu.
Pengamatan dilakukan pada 0, 7, 14, 21 dan 28 HSA dengan total 5 kali
pengamatan jumlah daun gulma.
7

3. Bobot kering gulma


Nilai bobot kering gulma diperoleh dengan cara memanen gulma sebagian
pada 7, 14, 21, dan 28 HSA dengan memotong permukaan gulma yang masih
hidup (Boyette et al., 2015). Gulma kemudian dioven pada suhu 80 oC selama
3 x 24 jam, lalu ditimbang dengan timbangan digital.

4. Persen penekanan gulma


Nilai persen penekanan gulma diperoleh dengan mengkonversi data bobot
kering (BK) dengan rumus sebagai berikut
𝐵𝐾 𝐾𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 − 𝐵𝐾 𝑃𝑒𝑟𝑙𝑎𝑘𝑢𝑎𝑛
𝑃𝑒𝑛𝑒𝑘𝑎𝑛𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑢𝑚𝑏𝑢ℎ𝑎𝑛 =
𝐵𝐾𝐾𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙
5. Toksisitas gulma
Pengamatan dilakukan dengan cara memberi nilai secara visual sesuai
dengan metode Laksmini dan Wahid (2008). Skor 0 menandakan tidak terjadi
keracunan dengan tingkat keracunan secara visual 0-5 %, Skor 1 menunjukkan
keracunan ringan dengan tingkat keracunan secara visual 5-25 %, Skor 2
menunjukkan tingkat keracunan sedang dengan tingkat keracunan secara visual
25-50 %, Skor 3 menunjukkan keracunan berat dengan tingkat keracunan secara
visual 50-75 %, Skor 4 menunjukkan tingkat keracunan berat dengan tingkat
keracunan secara visual lebih dari 75 %.

6. Persentase kematian gulma


Pengamatan Persentase kematian gulma dilakukan saat 7, 14, 21, dan 28
HSA secara visual.
∑𝑔𝑢𝑙𝑚𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑎𝑡𝑖
𝐾𝑒𝑚𝑎𝑡𝑖𝑎𝑛 𝑔𝑢𝑙𝑚𝑎 =
∑𝑔𝑢𝑙𝑚𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑎𝑛𝑎𝑚

7. Resistensi
LD50 dari masing-masing aksesi Brambangan dibandingkan satu dengan
yang lain kemudian data terebut diinterpretasi. Nilai LD50 yang lebih tinggi
menandakan bahwa gulma tersebut lebih resisten terhadap dosis herbisida yang
diberikan (Lubis et al., 2012).

Analisis Data

Data diuji dengan analisis uji-F. Hasil uji-F yang menunjukkan perbedaan
nyata diuji lanjut dengan menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT).
Data kematian gulma yang diperoleh dipaparkan dalam diagram pencar dan dicari
persamaan regresi nonliniernya menggunakan metode kuadrat terkecil.
Metode Finney (1952) digunakan untuk mencari nilai LD50 herbisida 2,4-D
terhadap 3 aksesi tersebut. Nilai LD50 yang lebih tinggi menandakan gulma
tersebut relatif lebih resisten terhadap dosis herbisida yang diberikan (Lubis et al.,
2012). Analisis statistik dibantu dengan perangkat lunak R.
8

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penekanan Pertumbuhan Gulma

Daun gulma Brambangan yang menguning dan mengering merupakan gejala


awal paparan herbisida berbahan aktif 2,4-D. Gejala daun yang menguning
kemudian mengering dapat disebut gejala epinasty. Gejala epinasty merupakan
gejala umum pada tanaman yang akarnya terendam oleh air dan posisi daun berubah
menjadi layu (Bernards et al., 2012).

Gambar 1. Gejala Epinasty pada gulma Brambangan yang diberi perlakuan 2,4-
D dibandingkan dengan kontrol
Penurunan jumlah daun berpengaruh terhadap metabolisme tumbuhan karena
daun merupakan sumber penghasil fotosintat. Fotosintat didistribusikan ke seluruh
bagian tanaman untuk pertumbuhan atau disimpan. Jumlah fotosintat yang menurun
dapat membuat pertumbuhan tanaman terhambat. Pertumbuhan tanaman yang
terhambat dapat dilihat dari penurunan bobot kering tanaman, perubahan warna,
dan perubahan bentuk. Bobot kering tanaman yang terhambat akan lebih rendah
dibanding dengan tanaman yang tidak diberi perlakuan herbisida (kontrol).
Panjang gulma dapat menjadi indikator respon suatu gulma terhadap bahan
aktif. Bahan aktif memiliki site of action yang berbeda-beda, sehingga respon yang
diberikan oleh tanaman terhadap bahan aktif akan berbeda-beda. Panjang gulma
dapat dipengaruhi oleh berbagai macam hal seperti jumlah fotosintat atau respon
sel terhadap paparan bahan beracun. Gulma yang mengalami kerusakan sel
memiliki kemungkinan kematian yang lebih tinggi tergantung tingkat kerusakan sel
dalam gulma. Kerusakan sel yang ditimbulkan oleh paparan bahan beracun
menimbulkan respon yang berbeda pada masing-masing aksesi karena keragaman
genetik aksesi tersebut.
9

Tabel 1. Rekapitulasi Sidik ragam berbagai variabel pengamatan


Variabel Aksesi Dosis Aksesi*Dosis KK (%)
Jumlah daun
0 MSA tn tn tn 6.641
1 MSA tn ** tn 12.071
2 MSA tn ** tn 13.841
3 MSA tn ** tn 20.881
4 MSA tn ** tn 24.311
Panjang Batang
0 MSA tn tn tn 16.371
1 MSA tn tn tn 17.881
2 MSA tn ** tn 23.421
3 MSA tn ** tn 30.831
4 MSA * ** tn 37.271
Bobot Kering
1 MSA tn tn tn 25.931
2 MSA ** ** tn 35.451
3 MSA ** ** tn 45.481
4 MSA ** ** tn 48.731
Persen Kematian
1 MSA tn ** tn 59.112
2 MSA ** ** tn 23.89
3 MSA ** ** ** 12.84
4 MSA ** ** tn 9.79
Keterangan : * = Nyata; ** = Sangat Nyata; tn = tidak nyata; KK = Koefisien Keragaman; MSA =
Minggu Setelah Aplikasi; 1Data transformasi dengan (X+1)1/2,2Data transformasi
dengan Arcsin.
Hasil Sidik ragam pada seluruh variabel yang diamati (Tabel 1) menunjukkan
hanya persen kematian gulma pada 3 MSA yang interaksinya berbeda sangat nyata
berdasarkan hasil uji-F. Faktor dosis dan aksesi memiliki hasil uji-F yang tidak
berbeda nyata pada 0 MSA di seluruh variabel. Tidak nyata hasil uji-F pada 0 MSA
menunjukkan bahwa pada saat penyemprotan Jumlah daun dan Panjang batang
bahan percobaan seragam.
Nilai KK yang besar pada Jumlah daun dan Panjang batang terjadi karena
respon individu gulma terhadap herbisida 2,4-D berbeda. Hal tersebut diduga
disebabkan oleh jumlah Protein Pengikat Auksin (ABP57) dan informasi genetik
yang berbeda. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil uji-F yang menunjukkan
perbedaan sangat nyata pada faktor dosis diatas 1 MSA. Nilai KK yang besar pada
bobot kering sesuai dengan pernyataan Guntoro et al. (2013) yang mendapati data
bobot kering yang diamati tidak stabil meskipun gulma memiliki keseragaman yang
tinggi pada setiap blok/ulangan yang diamati. Nilai Persen kematian memiliki
variasi yang tinggi pada 1 MSA, hal tersebut terjadi karena respon gulma terhadap
bahan aktif tersebut belum stabil.
10

Jumlah Daun
Aplikasi herbisida 2,4-D menunjukkan gejala penekanan pertumbuhan.
Penekanan pertumbuhan memiliki gejala awal terjadi penurunan tekanan turgor sel
mulai minggu pertama. Penurunan tekanan turgor sel terjadi akibat respon tanaman
terhadap bahan aktif 2,4-D. Herbisida tersebut masuk kedalam sel tanaman dan
berikatan dengan protein pengikat auksin (ABP57) dan mengaktifkan Membran
Plasma pemompa proton H+-ATPase (PM H+-ATPase) tipe-P. H+-ATPase
mengakibatkan cepatnya transfer metabolit dalam membran plasma sel dengan
mengaktifkan transporter sekunder seperti simporters, antiporters, atau uniporters
(Lefebvre et al., 2003).
H+-ATPase dalam sel daun yang bertambah belum diketahui pengaruhnya,
namun efek samping dari bertambahnya H+-ATPase dalam sel daun adalah transfer
metabolit lebih cepat karena banyaknya transporter sekunder yang aktif.
Jumlah H+-ATPase dalam sel daun juga mempengaruhi pH pada jalur apoplas
sehingga meningkatkan aktivitas enzim endogluconase yang bekerja
merenggangkan dinding sel (Lefebvre et al., 2003). Hal tersebut mengakibatkan
daun terlihat mengalami gejala epinasty yaitu daun gulma Brambangan menjadi
kuning lemas perlahan mengering kemudian daun tersebut rontok.

Tabel 2. Jumlah daun Brambangan berdasarkan faktor aksesi dan dosis 2,4-D
Faktor 0 MSA 1 MSA 2 MSA 3 MSA 4 MSA
Aksesi
Purbalingga 2.5 1.2 0.9 1.2 1.5
Jonggol 2.5 1.6 1.3 1.7 2.5
Karawang 2.6 1.8 1.3 1.6 2.5
Aksesi (Kontrol)
Purbalingga 2.6 2.6 4.5 5.8 7.7
Jonggol 2.8 4.0 5.2 5.7 7.7
Karawang 3.0 4.3 5.8 7.1 11.4
Dosis (g b.a. ha-1)
0 2.8 3.7a 5.2a 6.2a 9.0a
343 2.7 1.2b 0.6b 0.6b 0.9b
686 2.4 1.2b 0.0c 0.1b 0.1b
1029 2.5 1.0b 0.0c 0.1b 0.2b
1372 2.3 0,7b 0.1c 0.4b 0.7b
Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada
taraf 5 % berdasarkan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) dengan nilai
semakin kecil maka penekanan herbisida terhadap jumlah daun semakin baik; Rataan
jumlah daun kontrol masing-masing aksesi tidak dilakukan pengujian secara statistik
; MSA = Minggu Setelah Aplikasi.
Jumlah daun gulma Brambangan tanpa perlakuan dosis herbisida 2,4-D
masing-masing aksesi berbeda. Tabel 2 menunjukkan jumlah daun gulma
Brambangan kontrol aksesi Karawang memiliki jumlah daun yang lebih banyak
dibandingkan dengan aksesi lainnya. Perbedaan jumlah daun tersebut menandakan
aksesi Karawang memiliki pertumbuhan yang lebih baik dalam pertumbuhan
normalnya, sedangkan aksesi lainnya seperti Purbalingga dan Jonggol memiliki
jumlah daun yang sama.
11

Perlakuan herbisida berbahan aktif 2,4-D terhadap aksesi gulma brambangan


memberikan respon yang tidak berbeda nyata pada jumlah daun gulma. Tidak
terdapat perbedaan yang nyata pada uji statistik membuktikan herbisida berbahan
aktif 2,4-D memberikan penekanan yang sama untuk masing-masing aksesi
terhadap jumlah daun. Jumlah daun pada aksesi Karawang dan Jonggol memiliki
jumlah yang sama pada 4 MSA. Jumlah daun kontrol aksesi Karawang memiliki
nilai yang lebih besar dari kontrol aksesi Jonggol sehingga aksesi Jonggol memiliki
ketahanan yang lebih resisten terhadap perlakuan herbisida berbahan aktif 2,4-D.
Aksesi Jonggol lebih resisten terhadap herbisida berbahan aktif 2,4-D meskipun
dalam keadaan normal pertumbuhan jumlah daunnya tidak lebih baik dari aksesi
Karawang.
Perlakuan dosis herbisida berbahan aktif 2,4-D terhadap gulma brambangan
tidak berbeda nyata pada 0 MSA. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebelum
perlakuan jumlah daun seragam, sehingga perubahan yang berbeda nyata secara
statistik meupakan pengaruh dari perlakuan tersebut. Hasil uji lanjut Duncan
Multiple Range Test (DMRT) menunjukkan perbedaan yang nyata dari notasi huruf
yang terdapat pada Tabel 2. Perlakuan dosis herbisida terendah menunjukkan notasi
huruf yang sama dengan perlakuan dosis herbisida tertinggi. Notasi huruf yang
sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antar dosis herbisida
berbahan aktif 2,4-D
Dosis herbisida terendah memberikan penekanan yang sama dengan dosis
tertinggi terhadap jumlah daun gulma Brambangan. Penekanan pertumbuhan
jumlah daun gulma brambangan dapat dilihat dari penurunan jumlah daun gulma
setiap minggu dan hasil uji statistik yang menunjukkan perbedaan sangat nyata
antara perlakuan herbisida 2,4-D dan kontrol.

Panjang Batang
Layu pada batang Brambangan merupakan pengaruh herbisida 2,4-D.
Menurut Javed et al., (2012) elemen yang beracun dapat menyebabkan pengasaman
pada dinding sel akar dari tanaman. Herbisida 2,4-D mengubah pH dengan
memberikan rangsangan terhadap aktivitas H+-ATPase yang terdapat didalam
dinding sel dengan berikatan dengan protein pengikat auksin. H+-ATPase
menghidrolisis ATP dan menggabungkan dengan gradien proton elektrokimia yang
terbentuk oleh rantai transfer elektron sehingga enzim ini terlibat dalam
pengasaman lumen organel atau kompartemen ekstraseluler (Nakanishi-Matsui et
al., 2010). H+-ATPase tidak berpengaruh secara langsung dalam merenggangkan
dinding sel, namun H+-ATPase merangsang aktivitas enzim endoglucanase yang
bekerja merenggangkan dinding sel.
Tanaman dan fungi memiliki membran plasma pemompa proton H+-ATPase
tipe-P. Hidrolisis ATP pada H+-ATPase tipe-P menggunakan phosporylated
aspartate dalam siklus katalitik. Energi dari hidrolisis ATP digunakan untuk
membuang proton keluar sel sehingga menjadikan membran tersebut memiliki
energi potensial dan derajat pH yang tepat untuk mengaktifkan banyak transporter
sekunder seperti simporters, antiporters, dan uniporters (Lefebvre et al., 2003).
Transporter sekunder tersebut membantu transportasi metabolit sehingga semakin
tinggi aktivitas membran plasma H+-ATPase semakin banyak metabolit yang
ditransfer dan mengakibatkan pertumbuhan yang cepat.
12

Jumlah metabolit yang lebih banyak dari biasanya akan memacu


pertumbuhan dan pembengkakan pada sel sehingga pertumbuhan sel menjadi cepat
dan tidak normal. Pertumbuhan yang tidak normal akan mengakibatkan jaringan
pengangkut rusak sehingga gulma akan mati secara perlahan karena tidak dapat
memenuhi kebutuhan asimilatnya.

Tabel 3. Panjang batang Brambangan berdasarkan faktor aksesi dan dosis 2,4-D
0 MSA 1 MSA 2 MSA 3 MSA 4 MSA
Faktor
-------------------------------- cm ----------------------------------
Aksesi
Purbalingga 5.51 7.44 5.23 4.43 3.80b
Jonggol 5.72 7.12 4.98 6.05 6.99a
Karawang 6.37 7.77 4.42 4.99 5.51b
Aksesi (Kontrol)
Purbalingga 5.89 8.96 11.38 15.51 18.01
Jonggol 5.51 9.54 13.00 14.58 17.33
Karawang 6.50 9.68 13.80 18.10 24.24
Dosis (g b.a. ha-1)
0 5.97 9.39 12.73a 16.07a 19.86a
343 6.77 8.17 3.41b 3.49b 3.53b
686 5.74 6.77 2.65b 2.12b 0.94b
1029 5.37 6.86 2.97b 1.44b 0.85b
1372 5.48 6.03 2.63b 2.67b 2.01b
Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada
taraf 5 % berdasarkan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) dengan arti
semakin kecil nilai semakin baik penekanan bahan aktif; Rataan jumlah daun kontrol
masing-masing aksesi tidak dilakukan pengujian secara statistik ; MSA = Minggu
Setelah Aplikasi.
Panjang batang Brambangan kontrol aksesi Karawang memiliki nilai yang
lebih besar dari aksesi lainnya (Tabel 3). Besarnya nilai panjang batang kontrol
aksesi Karawang membuktikan bahwa aksesi Karawang memiliki pertumbuhan
yang lebih baik dari aksesi lainnya dalam keadaan normal. Pernyataan tersebut
diperkuat dengan bukti jumlah daun aksesi Karawang yang lebih besar dari aksesi
lainnya (Tabel 2) sehingga secara umum aksesi Karawang memiliki pertumbuhan
yang lebih baik dari aksesi lainnya.
Herbisida berbahan aktif 2,4-D menekan panjang batang aksesi Purbalingga
dan Karawang lebih baik dari aksesi Jonggol. Panjang batang aksesi Karawang dan
Purbalingga bernilai lebih rendah dari panjang batang aksesi Jonggol pada 4 MSA
(Tabel 3). Hal tersebut menunjukkan bahwa aksesi Jonggol merupakan aksesi yang
resisten terhadap tekanan yang diberikan oleh herbisida berbahan aktif 2,4-D.
Perlakuan herbisida berbahan aktif 2,4-D memberikan respon panjang batang
gulma Brambangan yang berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 3). Panjang batang
gulma dari 0 MSA ke 1 MSA meningkat nilainya. Pertambahan panjang dari 0 MSA
ke 1 MSA membuktikan bahwa terjadi perenggangan dinding sel akibat aktivitas
dari enzim endoglucanases (Lefebvre et al., 2003). Batang gulma Brambangan
yang tidak mati menyisakan ruas berwarna hijau bahkan terdapat gulma yang tidak
terlihat gejala toksisitas dari awal perlakuan herbisida. Gulma yang tidak
menunjukkan gejala toksisitas tersebut diduga gulma resisten herbisida berbahan
13

aktif 2,4-D (Gambar 3). Panjang gulma brambangan dari 2 MSA ke 4 MSA
menunjukkan perbedaan yang nyata antara perlakuan dosis dan perlakuan kontrol
sehingga dapat disimpulkan bahwa pengaruh herbisida berbahan aktif 2,4-D
memberikan pengaruh yang nyata terhadap panjang gulma Brambangan.

Bobot Kering Gulma


Bobot kering gulma Brambangan tidak diamati sebelum penyemprotan (0
MSA) karena herbisida berbahan aktif 2,4-D belum memberikan pengaruh terhadap
gulma Brambangan. Herbisida berbahan aktif 2,4-D merupakan herbisida sistemik
yang bekerja masuk ke jaringan tanaman dan memberikan kerusakan pada tanaman
secara perlahan. Kerusakan pada jaringan tanaman akan menyebabkan translokasi
hara dan fotosintat terganggu sehingga aktivitas sel tumbuhan tidak dapat bekerja
secara maksimal. Hal tersebut mengakibatkan biomassa tumbuhan tidak bertambah.

Tabel 4. Bobot kering gulma Brambangan pada faktor aksesi dan dosis 2,4-D
1 MSA 2 MSA 3 MSA 4 MSA
Faktor
---------------------------------mg---------------------------------
Aksesi
Purbalingga 42.37 23.67a 17.57b 29.30b
Jonggol 44.03 28.93a 27.65a 70.60a
Karawang 32.23 12.20b 14.28b 40.54b
Aksesi (Kontrol)
Purbalingga 49.83 60.17 80.17 142.50
Jonggol 49.67 56.50 67.17 256.67
Karawang 43.67 51.17 66.75 195.17
Dosis (g b.a. ha-1)
0 47.72 55.94a 71.36a 198.11a
343 40.50 14.56b 8.88b 19.94b
686 39.94 11.50b 8.83b 3.78b
1029 33.61 13.22b 5.08b 3.67b
1372 35.94 12.78b 5.00b 8.56b
Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada
taraf 5 % berdasarkan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT); Rataan jumlah
daun kontrol masing-masing aksesi tidak dilakukan pengujian secara statistik ; MSA
= Minggu Setelah Aplikasi.
Nilai bobot kering gulma perlakuan kontrol meningkat setiap minggu.
Meningkatnya nilai bobot kering merupakan bukti bahwa gulma yang tidak diberi
perlakuan herbisida (kontrol) tidak mendapat tekanan dan terus tumbuh
menghasilkan fotosintat (Tabel 4). Bobot kering kontrol aksesi jonggol memiliki
nilai yang lebih besar dari bobot kering kontrol aksesi lainnya. Perbandingan nilai
bobot kering kontrol antar aksesi tidak selaras dengan perbandingan panjang gulma
kontrol antar aksesi maupun jumlah daunnya, hal ini dapat terjadi jika gulma
Brambangan aksesi Jonggol dalam pertumbuhannya membentuk percabangan yang
lebih banyak dari aksesi lainnya, namun peubah jumlah cabang gulma brambangan
tidak diamati pada penelitian ini.
14

Bobot kering aksesi Jonggol pada perlakuan herbisida berbahan aktif 2,4-D
terhadap aksesi gulma Brambangan memiliki nilai yang tinggi dan berbeda nyata
dengan aksesi lainnya (Tabel 4). Hal tersebut menunjukkan bahwa gulma
Brambangan aksesi Jonggol memiliki ketahanan yang lebih baik dari aksesi lainnya
terhadap pengaruh yang diberikan herbisida berbahan aktif 2,4-D. Nilai bobot
kering yang tinggi menunjukkan kurang efektifnya herbisida tersebut dalam
menghambat aktivitas sel didalam tumbuhan.
Nilai bobot kering perlakuan dosis herbisida 2,4-D mengalami penurunan
setiap minggunya (Tabel 4). Penurunan bobot kering merupakan akibat penurunan
hasil fotosintat gulma yang dipengaruhi oleh penurunan jumlah daun (Tabel 2) serta
kerusakan yang dialami oleh jaringan tanaman. Kerusakan jaringan tanaman
disebabkan oleh perlakuan dosis herbisida 2,4-D. Hal tersebut sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Budhiawan et al. (2016). Bobot kering gulma
Brambangan pada 1 MSA tidak berbeda nyata antara perlakuan dosis dan kontrol
meskipun telah terjadi penurunan akibat perlakuan dosis tersebut. Nilai bobot
kering pada perlakuan dosis memiliki nilai yang lebih rendah dari nilai bobot kering
pada kontrol dari 2 MSA ke 4 MSA (Tabel 4). Nilai bobot kering perlakuan dosis
yang rendah sesuai dengan penelitian Guntoro et al. (2013) yang mendapati data
rataan bobot kering yang diberi perlakuan herbisida memiliki nilai yang lebih
rendah dari rataan bobot kering tanpa perlakuan herbisida (kontrol). Rataan bobot
kering dosis 343 dan 1372 g b.a. ha-1 meningkat pada 4 MSA dibandingkan 3 MSA.
Peningkatan terjadi karena gulma dari aksesi Jonggol tumbuh tanpa gejala
toksisitas.
Herbisida berbahan aktif 2,4-D memberikan tekanan terhadap gulma
Brambangan. Penekanan tersebut dapat dihitung dengan persen penekanan gulma.
Persentase penekanan gulma membandingkan bobot kering gulma perlakuan
dengan bobot kering gulma kontrol. Persen penekanan gulma bernilai besar jika
nilai bobot kering gulma perlakuan memiliki selisih yang jauh terhadap bobot
kering gulma kontrol. Persen penekanan gulma Brambangan dari 1 MSA ke 2 MSA
meningkat secara signifikan. Besarnya nilai persen penekanan gulma merupakan
indikasi bahwa semakin besar pengaruh perlakuan dosis herbisida yang dapat
menghambat produksi fotosintat gulma.
Tingkat penekanan herbisida berbahan aktif 2,4-D terhadap bobot kering
aksesi Brambangan mermiliki respon yang berbeda setiap aksesi. Aksesi
Purbalingga dan Karawang memiliki nilai yang sama terhadap penekanan herbisida
berbahan aktif 2,4-D dengan nilai diatas 99 % (Tabel 5). Aksesi Jonggol memiliki
tingkat penekanan terhadap herbisida berbahan aktif 2,4-D sebesar 90 %. Tingkat
penekanan herbisida berbahan aktif 2,4-D yang tinggi pada aksesi Karawang dan
Purbalingga menandakan aksesi tersebut rentan terhadap herbisida berbahan aktif
2,4-D. Tingkat penekanan herbisida berbahan aktif 2,4-D yang lebih rendah pada
aksesi Jonggol mengindikasikan aksesi tersebut resisten terhadap herbisida
berbahan aktif 2,4-D. Aksesi Jonggol lebih resisten terhadap herbisida berbahan
aktif 2,4-D dibandingkan dengan aksesi Karawang dan Purbalingga.
15

Tabel 5. Persentase penekanan bobot kering gulma Brambangan pada faktor aksesi
dan dosis herbisida berbahan aktif 2,4-D
1 MSA 2 MSA 3 MSA 4 MSA
--------------------------------%-----------------------------------
Aksesi
Purbalingga 18.73 75.83 97.61 99.30
Jonggol 14.18 60.99 73.54 90.62
Karawang 32.73 95.20 98.25 99.04
Dosis (g b.a. ha-1)
0 - - - -
343 15.25 74.46 86.85 91.78
686 16.86 80.37 87.37 98.25
1029 29.07 76.74 92.43 98.57
1372 26.33 77.79 92.56 96.67
Keterangan : Semakin besar nilai persen menunjukkan semakin kecil bobot kering dan semakin
besar penekanan bahan aktif terhadap gulma
Herbisida berbahan aktif 2,4-D memberikan tekanan terhadap gulma
Brambangan dengan nilai yang terus meningkat setiap minggunya. Peningkatan
yang signifikan terjadi dari 1 MSA ke 2 MSA, setelah itu peningkatan mulai
melambat. Herbisida 2,4-D mampu memberikan penekanan sebesar 80 % terhadap
gulma Brambangan dengan dosis 686 g b.a. ha-1 pada 2 MSA (Tabel 5). Penekanan
yang diberikan terus meningkat hingga mencapai tingkat penekanan sebesar 98 %
pada 4 MSA (Tabel 5). Herbisida berbahan aktif 2,4-D memberikan tekanan
terhadap gulma Brambangan dengan tingkat penekanan diatas 90 % pada 4 MSA
(Tabel 5). Peningkatan persentase penekanan tersebut mengindikasikan herbisida
berbahan aktif 2,4-D bekerja secara perlahan dalam menekan aktivitas sel gulma.
Penekanan aktivitas sel gulma mengakibatkan berkurangnya pembentukan
biomassa tumbuhan sehingga bobot kering gulma rendah.

Toksisitas Gulma

Toksisitas gulma pada 0 MSA yang dipengaruhi oleh herbisida berbahan aktif
2,4-D tidak terjadi sehingga pengamatan dilakukan mulai dari 1 MSA. Pengamatan
toksisitas dilakukan secara visual dengan mempertimbangkan perubahan warna dan
bentuk gulma dalam pengamatannya. Gulma yang beubah warna dan bentuknya
menjadi layu mendapatkan skor toksisitas 4 (100 %) sedangkan gulma yang
warnanya sama dengan kontrol dan bentuknya sama dengan kontrol mendapatkan
skor toksisitas 0 (0 %) sedangkan gulma yang warnanya tidak berubah sepenuhnya
ataupun bentuk gulma tersebut tidak layu seutuhnya akan diberi skor diantaranya
tergantung tingkat perubahan warna dan bentuknya.
Skor toksisitas perlakuan dosis herbisida berbahan aktif 2,4-D pada 1 MSA
telah mencapai nilai maksimal. Nilai maksimal tersebut menandakan herbisida
berbahan aktif 2,4-D telah terdistribusi dalam sistem jaringan gulma secara merata.
Gejala toksisitas mulai muncul pada 2 HSA (Hari Setelah Aplikasi) dengan gejala
pada gambar 2. Toksisitas tersebut diduga karena herbisida berbahan aktif 2,4-D
yang bekerja sebagai auksin sintetik memberikan gejala epinasty kepada gulma
(Bernards et al., 2012). Skor toksisitas ketiga aksesi bernilai sama, sehingga dari
16

1 MSA hingga 3 MSA tidak terlihat perbedaan antar aksesi Brambangan tersebut
(Tabel 6).

Tabel 6. Skor toksisitas gulma pada faktor aksesi dan dosis


1 MSA 2 MSA 3 MSA 4 MSA
Aksesi
Purbalingga 3 3 3 3
Jonggol 3 3 3 2
Karawang 3 3 3 3
Dosis (g b.a. ha-1)
0 0 0 0 0
343 4 3 3 3
686 4 4 4 4
1029 4 4 4 4
1372 4 4 4 4
Keterangan : Skor Toksisitas merupakan klasifikasi data toksisitas rata-rata menjadi 5 kelas dengan
kelas 0 = 0 – 5%, 1 = 5 – 25%, 2 = 25 – 50 %, 3 = 50 – 75%, 4 = 75 – 100%.
Penurunan skor terjadi dari 1 MSA ke 2 MSA pada perlakuan dosis 343 g b.a.
ha-1. Penurunan skor terjadi karena terdapat gulma yang kembali hijau dan segar,
bahkan terlihat seperti tidak terpapar herbisida. Terdapat gulma yang tidak terlihat
gejala toksisitas pada perlakuan dosis herbisida berbahan aktif 2,4-D. Gulma
tersebut menyisakan satu ruas batang dan terdapat gulma yang tidak terlihat efek
toksisitas sama sekali terhadap paparan herbisida berbahan aktif 2,4-D dapat dilihat
pada gambar 2.

Gambar 2. Gulma survivor pada 2 MSA

Skor toksisitas yang dimiliki oleh masing-masing aksesi bernilai sama dengan
nilai 3 mulai dari 1 MSA hingga 3 MSA. Aksesi Jonggol mengalami penurunan
nilai toksisitas pada 4 MSA menjadi 2. Penurunan skor toksisitas terjadi karena
gulma yang menyisakan ruas gulma Brambangan tumbuh kembali menjadi individu
gulma yang segar seperti semula. Gulma yang tumbuh kembali menjadi segar
mempengaruhi nilai toksisitas aksesi Jonggol pada 4 MSA.
17

Kematian Gulma

Respon gulma Brambangan terhadap herbisida berbahan aktif 2,4-D melalui


beberapa tahap. Gulma Brambangan menunjukkan gejala epinasty pada hari ke 2
setelah aplikasi. Gejala tersebut terjadi selama 2 minggu hingga gulma tersebut mati
secara perlahan. Gulma yang layu diamati secara visual dan dibandingkan dengan
kontrol (Gambar 1). Tingkat kematian gulma mengalami peningkatan setiap
minggunya pada perlakuan dosis kecuali kontrol. Kematian gulma yang perlahan
membuktikan herbisida 2,4-D merupakan herbisida sistemik.
Herbisida sistemik mematikan gulma lebih lama dari herbisida kontak.
Herbisida sistemik bekerja masuk kedalam sistem translokasi tanaman, berbeda
dengan herbisida kontak yang merusak jaringan tanaman yang terkena herbisida
tersebut sehingga herbisida sistemik akan memberikan respon lebih lambat.
Herbisida 2,4-D berikatan dengan Protein Pengikat Auksin (ABP57) didalam sel
secara massal sehingga memicu aktivitas dari H+-ATPase.
H+-ATPase berkerja mengubah ATP menjadi ADP dan menghasilkan energi
listrik dan osmotik (pH dan H+). Energi tersebut merangsang transporter sekunder
di membran plasma aktif untuk melakukan transpor ion dan nutrisi. H+ yang
dilewatkan keluar sel (jalur apoplas) akan mempengaruhi pH dalam sistem
translokasi tanaman sehingga pH akan turun (Lefebvre et al., 2003). Penurunan pH
di jalur apoplas akan mengaktifkan enzim endogluconase yang berperan dalam
pembesaran dinding sel.
Dinding sel yang membesar secara tidak normal akibat aktivitas enzim
endogluconase yang berlebihan mengakibatkan dinding sel mengalami kerusakan.
Dinding sel yang rusak akan mengakibatkan bentuk sel yang tidak teratur. Menurut
Moraïs et al. (2015) enzim endoglucanase telah digunakan dalam proses pembuatan
biofuel sebagai perusak dinding sel yang diekstrak dari bakteri. Kerusakan dinding
sel mengakibatkan gulma Brambangan mati secara perlahan.
Aksesi Karawang dan Purbalingga memiliki tingkat kematian yang tinggi
pada perlakuan dosis herbisida berbahan aktif 2,4-D terendah. Tingkat kematian
aksesi Karawang dan Purbalingga pada dosis herbisida berbahan aktif terendah
lebih dari 90 % pada 3 MSA (Tabel 7). Hal tersebut menandakan aksesi Karawang
dan Purbalingga peka terhadap herbisida berbahan aktif 2,4-D. Aksesi Jonggol
memiliki tingkat kematian yang rendah pada perlakuan dosis herbisida berbahan
aktif 2,4-D tertinggi. Tingkat kematian pada dosis herbisida berbahan aktif tertinggi
kurang dari 80 % pada 3 MSA (Tabel 7). Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Bernards et al. (2012) yang menguji respon populasi Amaranthus
tuberculatus resisten 2,4-D dengan herbisida berbahan aktif 2,4-D dosis 2,240 g
b.a. ha-1 dan hanya dapat mengendalikan 46-54 % gulma dari populasi sehingga
aksesi Jonggol merupakan aksesi yang resisten terhadap herbisida berbahan aktif
2,4-D. Perbedaan respon ketiga aksesi tersebut membuktikan terjadinya interaksi
antar perlakuan aksesi dan dosis herbisida 2,4-D.
Tingkat kematian Brambangan memiliki nilai yang beragam (Tabel 7) karena
respon gulma Brambangan terhadap herbisida 2,4-D belum stabil pada 1 MSA
sehingga memiliki nilai KK (Koefisien Keragaman) yang besar(Tabel 1). Gulma
Brambangan sudah memiliki skor toksisitas yang tinggi dari 1 MSA (Tabel 6)
menandakan herbisida berbahan aktif 2,4-D telah aktif dengan memberikan gejala
epinasty seperti Gambar 1.
18

Tabel 7. Persen kematian gulma Brambangan interaksi faktor aksesi dan dosis
1 MSA 2 MSA 3 MSA 4 MSA
Aksesi Dosis
--------------------------------%-----------------------------------
0 0 0 0e 0
ab
343 30 74 95 96
ab
C1 686 35 70 97 97
1029 21 64 88bcd 100
1372 34 79 94ab 100
e
0 0 0 0 0
de
343 9 48 67 84
C2 686 22 44 62e 79
e
1029 15 40 57 75
cde
1372 30 49 78 88
0 0 0 0e 0
bc
343 19 74 86 90
abc
C3 686 30 87 91 100
1029 23 88 100a 100
a
1372 50 93 100 100
Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada
taraf 5 % berdasarkan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT); MSA =
Minggu Setelah Aplikasi; C1 = aksesi Purbalingga, C2 = aksesi Jonggol, C3 = aksesi
Karawang.
Pengendalian aksesi Jonggol menggunakan herbisida berbahan aktif 2,4-D
hanya memberikan tingkat kematian dibawah 80 % (Tabel 7). Tingkat kematian
tersebut lebih rendah dibandingkan dengan aksesi lainnya seperti Purbalingga dan
Karawang. Gulma Brambangan yang tidak mati oleh herbisida berbahan aktif 2,4-
D akan tumbuh menjadi individu baru dan menciptakan populasi yang resisten
terhadap herbisida berbahan aktif 2,4-D, sehingga pengendalian aksesi Jonggol
diperlukan teknologi yang dapat menunda resistensi suatu populasi seperti
penggunaan herbisida campuran atau rotasi bahan aktif herbisida.

Resistensi Herbisida

Aksesi Brambangan memiliki tingkat kematian yang beragam. Keragaman


tingkat kematian tiap aksesi tersebut dibuktikan dengan perbedaan nilai LD50 yang
dimiliki masing-masing aksesi. LD50 merupakan dosis suatu bahan aktif yang dapat
mematikan separuh populasi gulma. LD50 dihitung menggunakan analisis probit
pada tiap aksesi dengan metode Finney (1952). Tingkat kematian aksesi dipetakan
dalam diagram pencar dan ditarik garis menggunakan metode kuadrat terkecil
seperti gambar 3. Garis yang terbentuk pada gambar tersebut mengikuti kurva
logaritma. Tingkat kematian sangat jauh antara perlakuan herbisida dosis 0 dengan
343 g b.a. ha-1 menjadikan grafik tersebut mengikuti kurva logaritma.
19

Gambar 3. Grafik respon kematian


Grafik tersebut menunjukkan respon gulma Brambangan mengikuti model
logaritma. Aksesi Jonggol (C2) memiliki garis yang lebih rendah dan lebih condong
kekanan dibanding aksesi lainnya. Hal tersebut menunjukkan tingkat kematian
aksesi Jonggol lebih rendah sehingga aksesi Jonggol memerlukan dosis herbisida
2,4-D lebih banyak untuk mencapai 50 % kematian dari populasi.

Tabel 8. LD50 tiga aksesi Brambangan


Aksesi LD50 (g b.a. ha-1) Perbandingan
Purbalingga 26,0176 1.00
Jonggol 159,9639 6.15
Karawang 68,8717 2.65
Keterangan : Nilai LD50 didapatkan dengan melakukan analisis probit sesuai metode Finney (1952)
dengan menggunakan perangkat lunak R.
Nilai LD50 aksesi Jonggol dan Karawang sebesar 159.96 g b.a. ha-1 dan 68.87
g b.a. ha-1 sedangkan aksesi Purbalingga sebesar 26.02 g b.a. ha-1 sehinnga aksesi
purbalingga memerlukan herbisida berbahan aktif 2,4-D yang lebih sedikit dalam
pengendaliannya. Hal tersebut membuktikan bahwa aksesi Jonggol dan Karawang
6.15 dan 2.65 lebih resisten dari aksesi Purbalingga. Selisih LD50 menandakan
terdapat perbedaan respon antar aksesi. Respon individu gulma tiap aksesi terhadap
bahan aktif dapat berbeda karena terdapat perbedaan ekspresi genetik. Menurut
Egan et al. (2011) Resistensi herbisida 2,4-D diekspresikan oleh alel dominan
tunggal pada tingkat gen. Alel tersebut kemungkinan dimiliki oleh invidu aksesi
Jonggol.
20

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Gulma Brambangan aksesi Jonggol lebih tahan dan resisten terhadap


herbisida berbahan aktif 2,4-D dibanding aksesi Karawang dan Purbalingga.
Herbisida berbahan aktif 2,4-D dosis 1372 g b.a. ha-1 tidak dapat mematikan aksesi
Jonggol secara efektif sedangkan herbisida berbahan aktif 2,4-D dosis 343 g b.a.
ha-1 dapat mematikan aksesi Purbalingga dan Karawang secara efektif. LD50
herbisida berbahan aktif 2,4-D aksesi Purbalingga sebesar 26.02 g b.a. ha-1, aksesi
Jonggol sebesar 159.96 g b.a. ha-1, aksesi Karawang sebesar 68.87 g b.a. ha-1.

Saran

Gulma Brambangan aksesi Purbalingga dan Karawang dapat dikendalikan


dengan herbisida berbahan aktif 2,4-D dengan dosis 343 g b.a.ha-1. Aksesi Jonggol
resisten herbisida berbahan aktif 2,4-D sehingga herbisida tersebut tidak mematikan
aksesi Jonggol secara efektif. Penelitian lebih lanjut terhadap aksesi Jonggol
disarankan menggunakan herbisida campuran atau bahan aktif lain.
21

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, M.P., A.S. Juraimi, B. Samedani, A. Puteh, A. Man, 2012. Critical Period
of Weed Control in Aerobic Rice. The Scientific World Journal 2012,
Bernards M.L.,R.J. Crespo, G.R. Kruger, R. Gaussoin, P.J. Tranel. 2012. A
Waterhemp (Amaranthus tuberculatus) Population Resistant to 2,4-D.
Journal of Weed Science 60 : 379 – 384.
Boyette, C.D., R.E. Hoagland, K.C. Stetina. 2015. Biological control of spreading
dayflower (Commelina diffusa) with the fungal pathogen Phoma
commelinicola. Agronomi 5:519-536.
Brillas, E., J.C. Calpe, J. Casado. 2000. Mineralization of 2,4-D by advanced
electrochemical oxidation processes. Water Research, 34(8) : 2253-2262.
Bryson, C.T., M.S. DeFelice. 2009. Weeds of the South. University of Georgia.
Athens, GA. USA.
Budhiawan, A., B. Guritno, A. Nugroho. 2016. Aplikasi Herbisida 2,4-D dan
Penoxsulam pada Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Padi Sawah (Oryza
sativa L.). Jurnal Produksi Tanaman 4(1) : 23 – 30.
Craigmyle B.D., J.M. Ellis, K.W. Bradley. 2013. Influence of Herbicides Programs
on Weed Management in Soybean with Resistance to Glufosinate and 2,4-
D. Weed Technology 27 : 78 – 84.
Devasinghe, D.A.U.D., K.P. Premarathne, U.R. Sangakkara. 2011. Weed
Management by Rice Straw Mulching in Direct Seeded Lowland Rice
(Orzya sativa L.). Tropical Agricultural Research 22 (3) : 263 - 272.
Egan, J.F., B.D. Maxwell, D.A. Mortensen, M.R. Ryan, R.G. Smith. 2011. 2,4-
Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D)–resistant crops and the potential for
evolution of 2,4-D–resistant weeds. PNAS 108(11) : E37.
Elb, P.M., G.F. Melo-de-Pinna, N.L.D. Menezes. 2010. Morphology and Anatomy of
Leaf Miners in Two Species of Commelinaceae (Commelina diffusa Burm. f.
And Floscopa glabrata (Kunth) Hassk). Acta bot. bras. 24(1) : 283-287.
Faden, R.B. 2015. The Misconstrued and Rare Species of Commelina
(Commelinaceae) in The Eastern United States. JSTOR Volume 80 (1) :
208 – 218.
Finney, D.J. 1952. Probit Analysis. Cambridge University Press, Cambridge, EN.
Fitriana, M., Y. Parto, Munandar, D. Budianta. 2013. Pergeseran Jenis Gulma
Akibat Perlakuan Bahan Organik pada Lahan Kering Bekas Tanaman
Jagung (Zea mays L.). J. Agron. Indonesia 41 (2) : 118 – 125.
Guntoro, D., T.Y. Fitri. 2013. Aktivitas Herbisida Campuran Bahan Aktif
Cyhalofop-Butyl dan Penoxsulam terhadap Beberapa Jenis Gulma Padi
Sawah. Bul. Agrohorti 1 (1) : 140 – 148.
Hendrival, Z. Wirda, A. Azis. 2014. Periode Kritis Tanaman Kedelai Terhadap
Persaingan Gulma. J. Floratek 9 : 6 – 13.
Isaac, W.A.P., R.A.I. Brathwaite, J.E. Cohen, I. Bekele. 2007. Effects of Alternatice
Weed Management Strategies on Commelina diffusa Burm. Infestation in
Fairtrade Banana (Musa spp.) in St. Vincent and the Grenadines. Journal
Crop Protection 26 : 1219 – 1225.
22

Isaac, W.A., Z. Gao, M. Li. 2013. Managing Commelina species: Prospects and
limitations. in Herbicides-Current Research and Case Studies in Use.
InTech 21 : 543 - 562.
Javed, M.T., E. Stoltz, S. Lindberg, M. Greger. 2012. Changes in pH and Organic
Acid in Mucilage of Eriophorum angustifolium Roots After Exposure to
Elevated Concentrations of Toxic Elements. Environtmental Science and
Pollution Research International 20 (3) : 1876 – 1880.
Jha, A.K., M. Soni. 2013. Weed Management by Sowing Methods and Herbicides
in Soybean. Indian Journal of Weed Science Volume 45 (4) : 250 – 252.
Johnshon, D.E., M.C.S. Wopereis, D. Mbodj, S. Diallo, S. Powers, S.M. Haefele.
2004. Timing of Weed Management and Yield Losses Due to Weeds in
Irrigated Rice in the Sahel. Field Crops Research 85 : 31-42.
Lasmini, S.A., A. Wahid. 2008. Respon Tiga Gulma Sasaran Terhadap Beberapa
Ekstrak Gulma. Jurnal Penelitian Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan,
Universitas Tadulako, Palu.
Lubis, L.A., E. Purba, R. Sipayung. 2012. Respons Dosis Biotip Eleusine indica
Resisten-Glifosat Terhadap Glifosat, Paraquat, dan Glufosinat. Jurnal
Online Agroekoteknologi 1(1) : 109 – 123.
Moenandir, J. 2010. Ilmu Gulma. UB Press. Malang.
Moraïs, S., M.E. Himmel, E.A. Bayer. 2015. Direct Microbial Conversion of Biomass to
Advanced Biofuels . Elsevier.
Mortensen, D.A., J.F. Egan, B.D. Maxwell, M.R. Ryan, R.G. Smith. 2012. Navigating a
Critical Juncture for Sustainable Weed Management. BioScience 62(1) : 75-84.
Nakanishi-Matsui, M., M. Sekiya, R.K. Nakamoto, M. Futai. 2010. The Mechanism of
Rotating Proton Pumping ATPases. Biochimica et Biophysica acta 1797 : 1343
– 1352.
Neto, F.S., H.D. Coble, F.T. Corbin. 2000. Absorption, Translocation, and
Metabolism of 14C-glufosinate in Xanthium strumarium, Commelina
difusa, and Ipomea purpurea. Journal of Weed Science 48 : 171 – 175.
Oladipo, O.T., M.A. Ayo-Ayinde. 2014. Feliar Epidermal Morphology of The
Genera Aneilema and Commelina (Commelinaceae). Life Journal of
Science Volume 16 (2) : 219 – 225.
Padang, W.J., E. Purba, E.S. Bayu. 2014. Periode Kritis Pengendalian Gulma pada
Tanaman Jagung (Zea mays L.). Jurnal Agroekoteknologi FP USU 5(2) :
409 – 414.
Richard, A., K. Farreyrol, B. Rodier, K. Leoce-Mouk-San, M. Wong, M. Pearson,
M. Grisoni. 2009. Control of virus diseases in intensively cultivated vanilla
plots of French Polynesia. Crop Protect. 28:870-877.
Robinson, A.P., D.M. Simpson, W.G. Johnson. 2012. Summer Annual Weed
Control with 2,4-D and Glyphosate. Weed Technology 26(4) : 657 – 660.
Santos, I.C., F.A. Ferreira, A.A. Silva, G.V. Miranda, L.D.T. Santos. 2002. Efficacy
of 2,4-D Applied Alone or in Mixture with Glyphosate in the Control of
Dayflower. Planta Daninha 20 : 299 – 309.
Sarabi, V., M.H.R. Mohassel, M. Valizadeh. 2011. Response of redroot pigweed
(Amaranthus retroflexus L.) to tank mixtures of 2,4-D plus MCPA with
foramsulfuron. AJCS 5(5) : 605 – 610.
23

Simangunsong Y.P. 2017. Manajemen Pengendalian Gulma Kelapa Sawit (Elaeis


guineensis Jacq.): Analisis Faktor-faktor Penentu Dominansi Gulma di
Kebun Dolok Ilir PTPN IV, Serbelawan, Sumatera Utara [Skripsi]. Institut
Pertanian Bogor, Bogor, ID.
Shubharani, R., P. Roopa, V. Sivaram. 2013. Pollen Morphology of Selected Bee
Forage Plants. G.J.B.B. 2(1) : 82-90.
24

LAMPIRAN

Lampiran 1. Jumlah daun rata-rata dari tiga aksesi Brambangan tiap perlakuan
perminggu
Aksesi Dosis 0 MSA 1 MSA 2 MSA 3 MSA 4 MSA
0 2,6 2,6 4,5 5,8 7,7
343 2,5 0,8 0,0 0,0 0,0
C1 686 2,5 1,1 0,0 0,0 0,0
1029 2,8 0,8 0,0 0,0 -
1372 2,2 0,7 0,0 0,0 -
0 2,8 4,0 5,2 5,7 7,7
343 2,6 1,3 1,1 1,0 2,8
C2 686 2,5 0,9 0,1 0,2 1,0
1029 2,3 1,1 0,1 0,3 0,8
1372 2,3 0,7 0,2 1,3 6,0
0 3,0 4,3 5,8 7,1 11,4
343 2,8 1,4 1,2 1,3 2,5
C3 686 2,4 1,5 0,0 0,0 -
1029 2,5 1,0 0,0 - -
1372 2,5 0,8 0,0 - -
Keterangan : Data tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dalam interaksi antara aksesi dan
perlakuan

Lampiran 2. Panjang rata-rata dari tiga aksesi Brambangan tiap perlakuan


perminggu
0 MSA 1 MSA 2 MSA 3 MSA 4 MSA
Aksesi Dosis
(cm) (cm) (cm) (cm) (cm)
0 5,89 8,96 11,38 15,51 18,01
343 5,74 7,99 2,50 1,50 1,50
C1 686 5,34 6,56 3,97 2,00 1,50
1029 6,00 7,74 4,39 1,80 -
1372 4,60 5,95 3,92 4,75 -
0 5,51 9,54 13,00 14,58 17,33
343 6,99 7,51 3,82 5,14 10,13
C2 686 5,37 5,97 2,66 3,20 3,46
1029 4,86 6,82 2,43 2,51 2,55
1372 5,84 5,76 2,97 4,83 9,05
0 6,50 9,68 13,80 18,10 24,24
343 7,58 9,00 5,00 6,50 10,00
C3 686 6,52 7,79 2,00 3,75 -
1029 5,24 6,03 3,13 - -
1372 6,00 6,37 1,50 - -
Keterangan : Data tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dalam interaksi antara aksesi dan
perlakuan
25

Lampiran 3. Rataan bobot kering dari tiga aksesi Brambangan tiap perlakuan
perminggu
Aksesi Dosis 1 MSA (mg) 2 MSA (mg) 3 MSA (mg) 4 MSA (mg)
0 50 60 80 143
343 46 9 7 4
C1 686 44 20 14 8
1029 27 18 - -
1372 45 17 - -
0 50 57 67 257
343 40 33 19 77
C2 686 45 15 23 13
1029 38 14 19 11
1372 48 27 11 39
0 44 51 57 195
343 36 6 14 23
C3 686 31 - - -
1029 36 24 - -
1372 15 - - -
Keterangan : Uji annova menyatakan data tidak berbeda nyata dengan selang kepercayaan 95%
pada interaksi antara faktor dosis dan aksesi. Data yang kosong terjadi karena jumlah
sampel gulma yang tidak cukup untuk pengukuran bobot kering karena sebagian besar
dari populasinya telah mati atau seluruhnya telah mati.
26

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Jepara pada tanggal 11 Agustus 1997, penulis merupakan


putra pertama dari bapak Priyo Sunaryoso dan ibu Dwi Rasmawati. Penulis
menjalankan pendidikannya dari SMP 6 Purwokerto kemudian lulus sebagai alumni
di SMA 5 Purwokerto dan melanjutkan pendidikannya di IPB University Jurusan
Agronomi dan Hortikultura.
Penulis merupakan peraih beasiswa Tanoto Foundation dan aktif dalam
kegiatan sosial yang diadakan oleh Tanoto. Penulis juga merupakan mahasiswa
Asrama Sylvapinus yang aktif dalam kegiatan organisasi didalamnya. Tahun
pertama dan tahun kedua penulis terdaftar sebagai anggota aktif organisasi IPB
“Century” yaitu organisasi yang bergerak di bidang wirausaha sesuai dengan minat
penulis menjadi enterpreneur. Tahun 2018 penulis mendirikan perkumpulan bisnis
pertanian “Sunarm” yang diharapkan akan memudahkan masyarakat mengakses
hasil pertanian.

Anda mungkin juga menyukai