Anda di halaman 1dari 11

M A T E R I XVI

ETIKA MAH
Dalam Materi Ini Dijelaskan Tentang:

1. Konsep Etika Mahasiswa Islami


2. Etika Pergaulan
3. Etika Berpakaian
4. Etika Makan dan Minum
5. Etika Menuntut Ilmu

1. KONSEP ETIKA MAHASISWA ISLAMI


Secara etimologi kata “etika” berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua kata yaitu
Ethos dan ethikos. Ethos berarti sifat, watak kebiasaan, tempat yang biasa. Ethikos berarti
susila, keadaban, kelakuan dan perbuatan yang baik. Secara terminologi etika bisa disebut
sebagai ilmu tentang baik dan buruk atau kata lainnya ialah teori tentang nilai. Dalam Islam
teori nilai mengenal lima kategori baik-buruk, yaitu baik sekali, baik, netral, buruk dan buruk
sekali. Nilai terbaik ditentukan oleh Tuhan, karena Tuhan adalah Maha Suci yang bebas dari
noda apa pun jenisnya. Dalam penerapannya, etika mengandung beberpa prinsip yang perlu
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu: 1. Keindahan, 2. Persamaan 3. Kebiasaan 4.
Keadilan 5. Kebebasan. dan 6. Kebenaran. Sehubungan dengan pemahaman pengertian ini,
maka yang dimaksud dengan etika mahasiswa Islam adalah mahasiswa yang mau dan mampu
mengimplentasikan/menerapkan nilai-nilai kebaikan sesuai dengan prinsip-prinsip di atas
dalam kehidupan untuk dirinya maupun untuk masyarakat. Penerapan nilai-nilai
kebaikan/etika ini dapat dikelompokkan kepada beberapa aktivitas kehidupan sehari-hari,
yaitu:

2. ETIKA PERGAULAN

Sebagai mahasiswa Islam, etika pergaulan yang harus diterapkan adalah etika yang
bersumber dari ajaran Islam (al-Quran) dan dicontohkan oleh Rasulullah melalui
hadist/sunnah. Etika pergaulan sesama muslim dalam Alquran yaitu,
1. Mengadakan perdamaian,
2. Menciptakan persaudaraan,
3. Tidak menghina sesama muslim,
4. Menjauhi prasangka buruk, mencari-cari kesalahan orang lain, dan menggunjing
5. Saling mengenal satu sama lain, dan terakhir
6. Berkasih sayang sesama mereka.

Dalam agama Islam ada beberapa aspek atau hal menyangkut pergaulan yang perlu
diperhatikan di antaranya adalah dengan siapa dan bagaimana cara berbicara, bersikap,
bertindak dan menghargai orang yang dihadapi dengan mempertimbangkan waktu dan kondisi
yang dihadapi. Dalam etika pergaulan ini ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian
sebagai objek pergaulan.

a. Etika Pergaulan dengan sebaya

Teman sebaya atau karib adalah orang-orang atau teman yang usianya tidak terpaut jauh
dengan kita baik sama maupun lebih muda. Adapun dalam bergaul dengan teman sebaya kita
harus senantiasa berbuat baik dan mengutamakan akhlak yang mulia. Hal-hal yang perlu
diperhatika dalam pergaulan dengan teman sebaya antara lain:

a.1. Mengucapkan salam setiap bertemu dengan teman sebaya dan sesama muslim. Jika perlu
kita bisa berjabat tangan tentunya jika orang tersebut berjenis kelamin sama
ataupun mahram kita.

a.2. Mengucapkan salam hukumnya sunnah bagi umat islam dan menjawab salam hukumnya
wajib. Senantiasa menyambung tali silaturahmi dengan saling berkunjung dan berkumpul
untuk hal-hal yang baik atau belajar bersama

a.3. Saling mengerti serta memahami kebaikan dan kekurangan masing-masing dan
menghindari segala macam jenis perselisihan

a.4. Teman sebaya hendaknya saling tolong menolong dalam hal kebaikan dan menolong
teman sebaya yang sedang dalam kesusahan tentunya sangat dicintai Allah SWT misalnya
dengan cara bersedekah.

a.5. Mengasihi dan memberi perhatian satu sama lain terutama jika ada teman yang sedang
kesusahan atau ditimpa suatu masalah, kita sebagai teman wajib mendukung dan bila
perlu memberi pertolongan

a.6. Senantiasa menjaga teman dari pengaruh buruk atau gangguan orang lain

a.7. Memberikan nasihat kebaikan satu sama lain

a.8. Mendamaikan teman jika ada yang berselisih

a.9. Mendoakan teman agar mereka senantiasa berada dalam kebaikan

a.10. Menjenguknya jika ia sakit, datang jika diberi undangan serta mengantarkannya ke
makam jika ia meninggal sesuai dengan hadits berikut ini

Dari Abu Hurairah RA berkata ” Kewajiban orang muslim terhadap orang muslim lain enam
perkara. Orang beratnya kepada beliau; apakah itu ya Rasulallah? Jawab Rasulallah SAW.: “
Jika berjumpa dengannya diberi salam, jika diundang mendatanginya, jika dimintanya nasihat
diberikan, jika bersin dan ia menyebut nama Allah, dido’akan dengan beroleh rahmat,jika ia
sakit ditengok dan jika ia meninggal diantarkan”. (H.R.Muslim)

b. Etika Pergaulan dengan orang yang lebih tua

Islam senantiasa mengajarkan untuk berbuat baik kepada orang tua dan orang yang
lebih tua, menghormati dan menghargainya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
bergaul dengan orang yang lebih tua adalah:

b.1. Menghormati mereka dengan sepenuh hati dan senantiasa mengikuti nasihat mereka
dalam kebaikan

b.2. Mencontoh tingkah laku mereka yang baik dan menjadikannya pelajaran

b.3. Memberi salam setiap kali bertemu dan senantiasa bertutur kata dengan lemah lembut
dan menjaga sopan santun

b.4. Tidak berkata kasar pada mereka dan menjaga perasaannya walaupun ia berkata tidak
baik, janganlah kita membalasnya dengan perkataan yang tidak baik juga untuk
menghidari konflik.

b.5. Senantiasa mendoakan terutama jika mereka adalah orangtua atau saudara kita

c. Etika Pergaulan dengan lawan jenis

Hal yang perlu diperhatikan dan tak kalah penting dalam pergaulan islam adalah tata cara
bergaul dengan lawan jenis. Islam sendiri mengatur pola hubungan antara pria dan wanita
serta memisahkan keduanya sesuai dengan syariat yang berlaku. Adapun hal-hal yang perlu
kita ketahui dan pegang dengan teguh mencakup hal-hal berikut ini :

c.1. Menghindari berkhalwat atau berdua-duaan seperti halnya dalam berpacaran apalagi jika
sampai memiliki hubungan pacaran beda agama. Berkhalwat dikhawatirkan dapat
menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan seperti zina dan lain sebagainya. Dalam
sebuah hadis Nabi menjelaskan yang artinya sebagai berikut: “Jauhilah berkhalwat
dengan perempuan. Demi (Allah) yang diriku berada dalam genggaman-Nya, tidaklah
berkhalwat seorang laki-laki dengan seorang perempuan kecuali syetan akan masuk di
antara keduanya.” (HR. al- Thabarani).

c.2. Tidak memandang lawan jenis dengan syahwat atau pandangan nafsu. Hindari
memandang lawan jenis kecuali jika benar-benar diperlukan

c.3. Hindari berjabat tangan dengan lawan jenis kecuali mahram


c.4. Menutup aurat jika bertemu dengan sejenis maupun lawan jenis sebagaimana disebutkan
dalam hadits yang artnya sebagai berikut: “Tidak dibolehkan seorang laki-laki melihat
aurat (kemaluan) seorang laki-laki lain, begitu juga seorang perempuan tidak boleh
melihat kemaluan perempuan lain. Dan tidakboleh seorang laki-laki berselimut dengan
laki-laki lain dalam satu selimut baju, begitu juga seorang perempuan tidak boleh
berselimut dengan sesama perempuan dalam satu baju.” (HR. Muslim).

c.5. Hendaknya menghindari perbuatan yang menjurus pada zina seperti bersentuhan,
berpelukan, berpegangan tangan, berciuman apalagi sampai melakukan zina dan
mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan seperti hamil diluar sesuai dengan firman
Allah SWT dalam surat Al isra ayat 32 yang yang artinya sebagai berikut: “Dan janganlah
kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu
jalan yang buruk.”

Dalam pada itu, jika ingin memenuhi hak sesama muslim, maka pertama perlakukanlah
setiap muslim itu sebagaimana engkau suka diperlakukan. Perlakuan itu bukan hanya ketika
berhadapan langsung dengannya, tapi juga saat ia tak ada di hadapan (ghaib).

Tidak ada perbedaan sikap ketika bersama dengannya maupun saat tidak bersamaan. Sehingga
ada kejujuran dan keselarasan antara tindakan dan ucapan. Ini juga bisa diartikan tidak
bermuka dua. Jangan sampai berlaku manis berhadapan, tapi mencemooh saat dibelakang.
Bersikap seolah hormat saat di hadapannya tapi melecehkan namanya di hadapan orang
lainnya. Prinsipnya, jangan memperlakukan orang lain dengan sikap yang kita juga tidak suka
jika diperlakukan demikian.
Berusahalah untuk menyediakan hati agar menyukai kebaikan bagi muslim lainnya
sebagaimana kamu menyukai kebaikan itu bagimu, serta membenci keburukan baginya
sebagaimana kamu membenci keburukan itu untukmu.
Etika pergaulan dengan muslim lainnya jangan hanya demi keuntungan menguntungkan diri
sendiri sajai, tetapi mesti hadir dan memberikan apa yang bisa menguntungkan dan berfaedah
untuk orang lain, serta hindarilah hal-hal yang bisa merugikan dan berefek buruk bagi saudara
muslim lain. Hubungan yang saling menguntungkan ini hendaknya dilandasi dengan cinta dan
sayang kepada sesama. Bukan berinteraksi demi keuntungan pribadi dan membeda-bedakan
takaran kebaikan karena melihat potensi keuntungan. Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW
mengingatkan, artinya: “tidaklah (sempurna) iman seorang dari kamu sehingga mencintai
saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari).

3. ETIKA BERPAKAIAN

Islam tidak menentukan model pakaian tertentu bagi umatnya. Agama menyerahkan
sepenuhnya pada manusia untuk berkreasi dalam berpakaian asalkan mengikuti aturan Islam.
Artinya, meskipun Islam tidak menjelaskan secara detil model pakaian Islami, tetapi Islam
menjelaskan aturan umum dan etika berpakaian yang mesti dipahami dan diamalkan.

Dalam Islam fungsi utama pakaian adalah “menutup aurat” sebagaimana tercantum dalam
surah al-A’raf .7:26
ً ُ ُ ً َ ْ ُ ْ َ َ َ َْ َْ ْ َ َ َ َ َ
‫اسا ي َو ِإري َس ْوآ ِتك ْم َو ِريشا‬ ‫يا ب ِ ين آدم قد أنزلنا عليكم ِلب‬
Artinya: “Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk
menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan”.

Walaupun Islam tidak merekomendasikan satu model pakaian tertentu, tetapi Islam
memiliki aturan umum berpakaian. Aturan umum antara lain, tidak terbuka (tutup aurat), tidak
transparan, tidak ketat, dan tidak menyerupai lawan jenis.

a. Menutup Aurat

Menutup aurat merupakan prinsip pertama yang menjadi dasar agar pakaian tersebut
dapat dikatakan sesuai dengan hukum Islam. Sebagaimana telah dijelaskan oleh ulama
fikih bahwa aurat laki-laki adalah antara pusar sampai lutut dan aurat perempuan adalah
seluruh badan kecuali dua telapak tangan dan wajah. Syariat untuk menutup aurat ini telah
ada sejak zaman nabi Adam dan Hawa ketika mereka berdua mendakati pohon yang dilarang
oleh Allah swt untuk mendekatinya di syurga. Hal ini terdapat dalam surah al-A’raf .7: 22,
َّ َ ْ ْ ََ َ ْ َ َ َ ُُ ُ َ ْ َ َ َ َ َّ َ َ َ َ
‫فل َّما ذإقا إلشج َرة بدت له َما َس ْوآته َما َوط ِفقا يخ ِصف ِان عل ْي ِه َما ِمن َو َر ِق إلجن ِة‬

Artinya: “Yakni serta-merta dan dengan cepat tatkala keduanya telah merasakan buah pohon
itu, tampaklah bagi keduanya, aurat masing-masing dan mulailah keduanya menutupinya
dengan daun-daun surga secara berlapis-lapir,”

c. Tidak Transparan

Pakaian yang tembus pandang, yang memperlihatkan bentuk tubuh yang harusnya
ditutup secara samar-samar bukan merupakan pakaian yang Islami. Sebab, secara tidak
langsung pakaian yang transparan berarti tidak menutup aurat, “hanya mebungkus tubuh”.
Memilih warna dan bahan pakaian menentukan pakaian tersebut transparan atau tidak
khususnya dalam keadaan keringatan atau kehujanan. Sehingga ketika membeli pakaian
sangat dianjurkan untuk memilih bahan yang baik agar tidak transparan.

Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim dalam kitabnya Shohih
Muslim/2128 sebagai berikut,
َ ْ َ َ ٌ َ ْ ُ َ َ ٌ ْ َ َ ُ َ َ ْ َ َّ ْ َ ْ َْ ‫ى‬ ََ ُ ‫ى‬ َ ‫ َق‬،‫َع ْن َأب ُه َر ْي َر َة‬
َ ‫ َق‬:‫ال‬
‫اب‬ِ َ َّ ‫اط ك ْأ َذن‬ ‫ قوم معهم ِسي‬،‫ « ِصنف ِان ِمن أه ِل َإلن ِار لم أرهما‬:‫هللا عل ْي ِه َو َسل َم‬ ‫هللا َصَّل‬
ِ
ُ ‫ال َر ُس‬
‫ول‬
َ ْ ُ َْ َ َ ْ ْ ْ َ َّ ُ ُ ُ ُ ٌ َ َ ٌ َ ُ ٌ َ َ ٌ َ َ ٌ َ َ َ َّ َ َ ُ ْ َ ‫ْ َ َ ِ ي‬
،‫ َل يدخلن َإلجن َة‬،‫وسهن كأ ْس ِن َم ِة إل ُبخ ِت َ إل َما ِئل ِة‬ ‫ رء‬،‫اسيات ع ِاريات م ِميَلت مائَلت‬ ِ ‫ و ِنساء ك‬،‫ضبون ِبها إلناس‬ ِ ‫إلبق ِر ي‬
َ َ َ َ َ ْ ُ َ ُ َ َ َّ َ َ َ َ ْ َ َ َ ِ
‫ و ِإن ِريحها ليوجد ِمن م ِس ري ِة كذإ وكذإ‬،‫»وَل ي ِجدن ِريحها‬
Artinya:

“Diriwayatkan oleh Abu Hurairah: ”Dua (jenis manusia) dari ahli neraka yang aku belum
melihatnya sekarang yaitu; kaum yang membawa cemeti-cemeti seperti ekor sapi, mereka
memukul manusia dengannya, dan wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, berjalan
berlenggak lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang condong. Mereka tidak akan
masuk surga bahkan tidak akan mendapat wanginya, dan sungguh wangi surga itu telah
tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian”.

d. Tidak Ketat/Sempit

Pakaian yang digunakan oleh seorang muslim mesti longgar dan tidak ketat. Pakaian yang
baik ialah pakaian yang tidak memperlihatkan lekukan tubuh supaya orang yang melihat tidak
terpancing untuk melakukan perbuatan negative atau pelecehan.

e. Tidak Menyerupai Lawan Jenis


Dalam sebuah Hadis yang terdapat dalam Shohih Bukhari/159, dijelaskan sebagai berikut:
َ ِّ َ َ ُ َ َ ِّ َ ِّ َ َ ِّ َ َ ُ َ ‫ُ َ َ ْ َ َ ى‬ ‫َ َ ىُ َ ُْ َ َ َ ََ َ َ ُ ُ ى َ ى‬ َّ َ ‫َعن ْإب‬
‫ات‬
ِ ‫ وإلمتشبه‬،‫ال ِبالِّس ِاء‬ ِ ‫ لعن رسول‬:‫ض إَّلل عنهما قال‬
ِ ‫إَّلل صَّل هللا علي ِه وسلم إلمتشب ِه ري ِمن إلرج‬ ‫اس َر ِ ي‬
ٍِّ ‫ن عب‬
‫ال‬ َ ِ ِّ ِ َ
ِ ‫ِمن إلِّس ِاء ِبالرج‬

Artinya: “Diriwayatkan Ibn ‘Abbas Ra., berkata: “Rasulullah saw melaknat laki-laki yang
menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki.
Hadis di atas tidak secara eksplisit menjelaskan bahwa laki-laki tidak boleh menyerupai
pakaian perempuan atau sebaliknya. Secara umum hadis di atas menjelaskan bahwa Nabi saw
melarang umatnya untuk menyerupai lawan jenisnya, termasuk dalam dalam hal berpakaian.

Di samping itu etika berpakaian yang perlu diperhatikan adalah kesederhanaan. Karena
kesederhanaan dalam segala hal termasuk dalam berpakaian adalah bagian dari iman. Dalam
sebuah Hadis Rasulullah saw, menjelaskan sebagai berikut:
َ ‫ « ْإل َب َذ َإذ ُة م َن ْإْل‬:‫هللا َع َل ْيه َو َس ىل َم‬
‫يم ِان‬
‫َ َ َ ُ ُ ى‬
ُ ‫إَّلل َص ىَّل‬ ‫قال رسول‬
ِ ِ ِ ِ
Artinya: “Rasulullah saw., bersabda kesederhanaan adalah bagian dari iman”.
Keempat kriteria di atas perlu diperhatikan ketika memilih, membeli, dan
menggunakan pakaian. Perempuan yang menggunakan “hijab” tidak akan ada gunanya kalau
pakaian yang mereka gunakan transparan dan ketat. Begitu pula laki-laki, tidak ada gunanya
memakai jubah, kalau tembus pandang dan auratnya terlihat oleh orang lain.

4. ETIKA MAKAN DAN MINUM


Adapun etika makan dan minum sesuai sunnah yang diajarkan Rasulullah sallallahu'alaihi
wasallam:
a. Minum Harus Duduk

Terlepas dari perbedaan pendapat yang sudah dijelaskan oleh para ulama tentang
hokum makan atau minum sambil berdiri, setidaknya secara medis sudah dijelaskan bahwa
minum sambil duduk itu dianggap lebih baik daripada minum sambil berdiri atau sambil
tiduran. Bahkan secara adat-istiadat, di sebagian tempat mungkin makan dan minum sambil
berdiri itu dianggap sebagai tindakan yang tidak sopan. Maka jika mau mengikuti pendapat
ulama yang menyatakan kebolehan makan dan minum sambil berdiri, setidaknya jangan
sampai melanggar aturan adat-istiadat yang berlaku di suatu tempat.

b. Mengucapkan Basmalah

Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah Radhiyallahu'anha "Apabila salah
seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia mengucapkan Bismillah (menyebut nama
Allah Ta'ala). Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah di awal, hendaknya ia mengucapkan:
"Bismillahi awwalahu wa aakhirotu (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya)". (HR.
Tirmidzi).

c. Makan dan Minum dengan Tangan Kanan

Dari Umar bin Abi Salamah, ia berkata, "Waktu aku masih kecil dan berada di bawah
asuhan Rasulullah shallallhu'alaihi wa sallam, tanganku bersileweran di nampan saat makan.
Maka Rasulullah Saw bersabda: "Wahai Ghulam, sebutlah nama Allah (bacalah "Bismillah"),
makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang ada dihadapanmu." Maka
seperti itulah gaya makanku setelah itu, (HR. Bukhari).

d. Tidak Meniup Makanan atau Minuman

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu'anhu dijelaskan
tentang larangan meniup untuk mendinginkan makanan atau minuman yang masih panas:
"Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu'anhuma bahwa Nabi Muhammad Saw melarang pengembusan
nafas dan peniupan (makanan atau minuman) pada bejana," (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

e. Minum dengan Tiga Tegukan


Sabdaa Rasulullah SAW: "Janganlah kalian minum seperti minumnya hewan. Tetapi
minumlah kalian dengan dua atau tiga kali, dan jika kalian minum sebutlah nama Allah
(membaca basmallah), kemudian pujilah Dia (membaca hamdalah), ketika kalian
mengangkatkan (selesai minum)." (HR. At-Tirmidzi).
f. Menuangkan Air Ke Gelas Secukupnya

Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu'anhuma: "Rasulullah melarang


minum langsung dari mulut qibrah (wadah air yang terbuat dari kulit) atau wadah air minum
yang lainnya." (HR Bukhari).

g. Makan dan Minum tidak Berlebihan

Allah sangat tidak menyukai orang yang berlebihan dalam segala sesuatu, termasuk
makan. Makanlah secukupnya dan jangan mengambil makanan melebihi apa yang dapat kita
makan. Jika berlebihan, maka tentu akan menjadi mubazir dan akhirnya boros. Sedangkan
boros adalah temannya setan. Allah berfirman: “Makan dan minumlah, dan janganlah
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
(QS. Al-A’raf 7: 31). Rasulullah menjelaskan bahwa perut manusia dibagi menjadi tiga ruang,
ruang pertama untuk makanan, ruang ke dua adalah udara dan ruang ke tiga adalah air/cairan.
Ketiga ruang ini harus diisi dengan proporsi yang seimbang, tanpa berlebihan.

h. Mengucapkan Hamdallah

Sebagaimana yang sudah dipraktikkan Rasulullah, ketika beliau selesai dari makan atau
minum, beliau membaca: "Puji syukur kepada Allah yang telah memberi makan dan memberi
minum kepada kami serta menjadikan kami termasuk orang-orang Islam." (HR. Abu Dawud)

5. ETIKA MENUNTUT ILMU

Kata ilmu dalam bahasa Indonesia berasal dari kata al-‘ilmu dalam bahasa Arab. Secara
bahasa (etimologi) kata al-‘ilmu adalah bentuk masdar atau kata sifat dari kata `alima –
ya`lamu- `ilman. Dijelaskan bahwa lawan kata dari al-‘ilmu adalah al-jahl (bodoh/tidak tahu).
Sehingga jika dikatakan alimtu asy-syai’a berarti “saya mengetahui sesuatu”. Sementara secara
istilah (terminologi) ilmu berarti pemahaman tentang hakikat sesuatu.
Setiap penuntut ilmu merindukan untuk menjadi penuntut ilmu yang baik, walaupun tidak
selalu diikuti oleh kesediaan dalam menempuh jalan kesuksesan. Sebagaimana setiap penuntut
ilmu tidak menginginkan dirinya menjadi atau tergolong sebagai penuntut ilmu yang gagal.
Karena itu setelah memaparkan dua kategori penuntut ilmu, berikut ini penulis ketengahkan
beberapa kiat dan jalan menuju kesuksesan dalam menuntut ilmu berdasarkan nash-nash Al-
Qur`an, hadits, maupun penjelasan dan contoh dari para ulama.

a. Ikhlas karena Allah

Ikhlas merupakan kunci sukses yang pertama dan mendasar dalam upaya seseorang
mewujudkan cita-citanya meraih ilmu yang bermanfaat. Karena hanya dengan dasar ikhlas,
segala tindakan kebaikan yang dilakukan akan menjadi amal shalih yang layak mendapatkan
balasan kebaikan dari Allah, Tuhan semesta alam. Syaikh Muhammad bin Shalih al-
Utsaimin rahimahullah berkata :”Tidaklah diragukan lagi, bahwa menuntut ilmu adalah sebuah
ibadah, bahkan ia merupakan ibadah yang paling mulia lagi utama. Maka oleh karenanya,
wajib atas seorang penuntut ilmu harus memenuhi syarat diterimanya ibadah, yaitu ikhlas”.
Juga hadits Nabi SAW ;
َّ َ َ ُ ُ َ َ ْ َ َ َ َّ ُ ْ ُ ُ ُ ْ َ َ َ َ َ ُّ ْ ‫َم ْن َت َع ىل َم ْإلع ْل َـم ل ُي َبـاه به ْإل ُـع َل َم َاء َو ُي َج‬
‫ـاس ِؤل ْي ِـه أدخلـه إللـه جهن َـم‬‫ضف ِب ِه وجـوه إلن‬ِ ‫ـاري ِب ِه إلسفهـاء وي‬
ِ ِِ ‫ِ ِ ِي‬
“Barangsiapa yang mempelajari ilmu untuk membanggakan diri di hadapan para
ulama, mempermainkan diri orang-orang bodoh dan dengan itu wajah orang-orang berpaling
kepadanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka Jahannam. “ (HR. Ibn Majjah
dari sahabat Abu Hurairah)

b. Berdo`a

Dalam Islam, seorang penuntut ilmu di samping didorong untuk berusaha Allah SWT
memerintahkan kepada penuntut ilmu untuk berdo’a dengan do’a. Sebagaimana tersebut
dalam firman–Nya Surat Thaha ayat 114: Artinya: “Dan katakanlah ,”Ya Tuhanku,
tambahkanlah ilmu kepadaku” Rasulullah juga mengajarkan sebuah do’a khusus bagi para
penuntut ilmu. Do’a itu adalah:
َ ْ َ َ ْ ْ َ ُ ُ َ ً َ ً ْ َ ُ َ َ ِّ ُ
‫ َوأع ْوذ ِبك ِمن ِعلم َلينف ُـع‬،‫الله َّم ؤن ْـي أ ْسألك ِعلما ن ِافعـا‬
Artinya: “Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat dan Aku
berlindung kepada Engkau dari (mendapatkan) ilmu yang tidak bermanfaat.” (HR. Al-Nasa’i
dari sahabat Jabir bin Abdillah ra)

c. Bersungguh-Sungguh

Termasuk juga kunci sukses dalam menuntut ilmu adalah bersungguh-sungguh dan
diniatkan untuk mencari keridhaan Allah. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan Allah SWT.
dalam Surat al-Ankabut ayat 69: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan)
Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya
Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”
Seorang penuntut ilmu memerlukan kesungguhan. Tidak layak para penuntut ilmu
bermalas-malasan dalam mencarinya. Kita akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat-dengan
izin Allah-apabila kita bersungguh-sungguh dalam menuntutnya. Sebab jika seorang penuntut
ilmu malas maka ia tidak akan mendapatkan ilmu yang dicarinya, sebagaimana pendapat
Yahya bin Abi Katsir rahimahullah bahwa ilmu tidak akan diperoleh dengan tubuh yang
dimanjakan (santai). Karena itulah dalam ayat di atas Allah menjanjikan kabar gembira dan
kemuliaan bagi orang yang bersungguh-sungguh. Syaikh Abu Bakar al-Jazairy menjelaskan: “Di
dalam ayat ini terdapat busyra dan janji yang benar lagi mulia, demikian itu karena orang
yang bersungguh-sungguh berada di jalan Allah, karena mencari ridha Allah dengan berusaha
untuk meninggikan kalimat-Nya.”
Para ulama terdahulu selalu bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Sebagai
contoh, kisah Imam Syafi`i rahimahullah dalam menuntut ilmu. Beliau berasal dari keluarga
yang fakir, namun hal itu tidak dianggap aib oleh beliau, justru sebaliknya, dijadikan sebagai
kekuatan yang dapat mendorongnya untuk senantiasa menuntut ilmu. Imam Syafi’i,
sebagaimana yang dikisahkan Humaidi, pernah bercerita:
Aku adalah seorang anak yatim yang berada dalam pengayoman ibu, ia selalu
mendorongku untuk hadir ke majelis ilmu. Guru sangat sayang pada aku, sampai-sampai aku
menempati tempatnya ketika ia berdiri. Tatkala aku sudah merapikan Al-Qur’an, kemudian
aku masuk ke dalam masjid dan duduk bersama para ulama. Di sana aku mendengarkan
hadits beserta rinciannya kemudian aku hafal semuanya. Ibuku tidak dapat memberikan
kepadaku sesuatu yang dengannya aku dapat belikan kertas. Aku melihat tulang maka aku
ambil, kemudian aku menulisnya, tatkala sudah penuh, maka aku menghafalnya sekuat
tenagaku.

d. Menjauhi Kemaksiatan

Syarat lain bagi penuntut ilmu yang ingin sukses adalah menjauhi kemaksiatan. Syarat ini
merupakan syarat unik yang hanya dimiliki oleh agama Islam. Ibn al-Qayyim al-
Jauziyah rahimahullah misalnya berkata: “Maksiat memilki pengaruh jelek lagi tercela, dan
juga dapat merusak hati dan badan baik di dunia maupun di akhirat. Diantara bahaya dari
maksiat antara lain: Terhalangnya mendapatkan ilmu, karena sesungguhnya ilmu itu adalah
cahaya yang telah Allah berikan di dalam hati, dan maksiat itu memadamkannya (cahaya itu)”.

Pengaruh kemaksiatan terhadap terhalangnya ilmu pernah terbukti menimpa Imam


Syafi’i. hal ini terlihat dari pengaduan Imam Syafi’i kepada salah seorang gurunya yang
bernama Waki’. Kisah ini diceritakan Imam Syafi’i dalam sebuah syair beriku, Artinya: “Aku
mengadu kepada guruku bernama Waqi’, tentang jeleknya hafalanku, maka ia memberikan
petunjuk kepadaku agar meninggalkan kemaksiatan. Karena sesungguhnya ilmu
itu adalah cahaya, dan cahaya Allah itu tidak akan diberikan kepada orang yang berbuat
maksiat”

f. Tidak Malu dan Tidak Sombong

Sombong dan malu menyebabkan pelakunya tidak akan mendapatkan ilmu selama
kedua sifat itu masih ada dalam dalam dirinya.
Sementara mengenai larangan sombong, Allah SWT. jelaskan dalam Surat al-Baqarah
ayat 34: Artinya: ”Dan ingatlah ketika kami berfirman kepada para malaikat : Sujudlah kamu
kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis, ia enggan dan takabbur dan adalah ia
termasuk golongan orang–orang yang kafir.
Kesombongan dalam menuntut ilmu dilarang sebab ia akan menyebabkan tertolaknya
kebenaran. Seorang yang sombong akan cenderung merendahkan manusia lainnya dan
menolak kebenaran, sehingga ia akan kesulitan untuk mendapatkan guru dan ilmu. Orang
sombong akan merasa dirinya selalu lebih baik dari orang lain sehingga tidak lagi memerlukan
tambahan ilmu. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah dalam salah satu sabdanya:
َّ ُ ْ َ َ ِّ َ ْ ُ َ َ ُ ْ ْ َ
‫اس‬
ِ ‫إل ِكي بطر إلحق وغمط إلن‬
“ Sombong itu adalah, menolak kebenaran dan merendahkan manusia .”(HR. Muslim dari
sahabat Ibn Mas’ud ra)
g. Mengamalkan dan Menyebarkan Ilmu

Di dalam ajaran Islam, ada tiga perintah yang saling bertautan kepada para penuntut
ilmu. Perintah itu adalah mencari ilmu, mengamalkan dan menyampaikannya kepada orang
lain. Trilogi menuntut ilmu ini tidak boleh lepas dari diri seseorang, sebab antara satu dengan
yang lainnya mempunyai shilah (hubungan) yang erat. Islam mensyariatkan wajibnya
menuntut ilmu atas setiap muslim, dan di sisi lain ia juga memerintahkan agar ilmu yang sudah
diketahui harus diamalkan dan dida’wahkan kepada orang lain. Banyak ayat dan hadits yang
menjelaskan keutamaan orang yang mengamalkan ilmu dan menda’wahkannya, dan banyak
pula nushûsh yang berbicara tentang ancaman orang yang tidak mau mengamalkan dan
menda’wahkan ilmunya. Mengenai keutamaan menda’wahkan ilmu, misalnya dapat disimak
dari sabda Nabi SAW. berikut ini: َ ْ َ ْ ُ ََ َ ََ َ ْ
‫َمن د َّل عَّل خ ر ْ ٍي فله ِمث ُل أج ِر ف ِاع ِل ِه‬
“Siapa orang yang menunjukkan kebaikan, maka baginya pahala seperti orang yang
melakukkannya”(HR. Tirmidzi dari sahabat Abi Mas’ud ra).

Dalam hadits di atas, Rasulullah memberikan dorongan berupa janji pahala bagi orang
yang mengajarkan ilmunya. Pahala itu berupa kebaikan semisal kebaikan yang didapat oleh
orang yang diajari ilmu olehnya dari ilmunya itu.

Anda mungkin juga menyukai