Anda di halaman 1dari 189

p-ISBN : 978-602-5791-81-9

e-ISBN : 978-602-5791-82-6

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR Holothuria scabra


TERIPANG PASIR, Holothuria scabra

Diterbitkan oleh :

BUNGA RAMPAI
AMAFRAD Press
Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan
Gedung Mina Bahari III, Lantai 6,
Jl. Medan Merdeka Timur No. 16, Jakarta Pusat 10110
Telp. (021) 3513300, Fax. (021) 3513287
No. Anggota IKAPI : 501/DKI/2014
ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR
(Holothuria Scabra)

Editor :

Ketut Sugama
I Nyoman Adiasmara Giri
Muhammad Zairin
ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR
Holothuria scabra

Editor :
Ketut Sugama
I Nyoman Adiasmara Giri
Muhammad Zairin

Proofreader :
Ketut Masiani

Penata Isi :
I Nyoman Adiasmara Giri
Putu Sarjana

Desainer Sampul :
Putu Sarjana

Edisi /Cetakan :
Cetakan Pertama, 2019

Diterbitkan oleh :
AMAFRAD Press
Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan
Gedung Mina Bahari III, Lantai 6, Jl Medan Merdeka Timur,
Jakarta Pusat 10110
Telp (021) 3513300 Fax : 3513287
Email :amafradpress@gmail.com
Nomor IKAPI: 501/DKI/2014

p-ISBN : 978-602-5791-81-9
e-ISBN : 978-602-5791-81-6

©2019 Hak Cipta Dilindungi oleh Undang-undang.


ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR
Holothuria scabra
Dilarang memproduksi atau memperbanyak seluruh atau sebagian dari
modul dalam bentuk atau cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
©Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang No.28 Tahun 2014

All Rights Reserved


KATA PENGANTAR

Teripang pasir (Holothoria scabra) merupakan salah satu


komoditas perikanan yang mempunyai nilai ekonomi penting, baik di
pasaran domestik maupun internasional, karena harganya yang tinggi.
Indonesia merupakan salah satu pemasok utama teripang dunia dengan
pasar utama Hongkong dan Singapura. Selama ini sebagian besar
teripang masih diperoleh dari hasil tangkapan di laut. Aktivitas
penangkapan berlebih serta kurangnya strategi pengelolaan dan
konservasi yang efektif mengakibatkan populasi teripang di alam dan
produksi teripang cenderung mengalami penurunan. Bahkan untuk jenis
teripang pasir, H. scabra diusulkan sebagai biota yang terancam punah
dan masuk dalam daftar the IUCN Red List of Threatened Species.
Dalam mengantisipasi menurunnya populasi teripang di alam, maka
Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan
(BBRBLPP), Gondol-Bali telah melakukan riset budidaya teripang pasir,
khususnya pada fase produksi benih selama tahun 1994-1998. Kegiatan
yang sama juga dilakukan oleh Balai Bio Industri Laut LIPI, Lombok,
dan Balai Budidaya Laut Lampung. Mulai tahun 2015, riset pembenihan
teripang pasir ini dilakukan secara lebih intensif di BBRBLPP dan
teknologi pembenihan yang diperoleh telah diaplikasikan untuk produksi
benih teripang pasir secara masal. Tersedianya benih ini merupakan titik
awal untuk pengembangan budidaya teripang pasir. Ujicoba budidaya
pembesaran teripang pasir juga telah dilakukan, baik di tambak maupun
di laut dengan menggunakan kurungan tancap.
Dalam buku ini disajikan hasil riset teripang pasir yang terkait
dengan aspek biologi, penanganan induk untuk mendukung pembenihan,
pemeliharaan larva dalam produksi benih, budidaya pembesaran di
tambak dan di laut, aspek pakan, penyakit dan peran teripang sebagai
sumber senyawa bioaktif dan pangan fungsional. Dengan terbitnya buku
dalam bentuk Bunga Rampai ini diharapkan dapat dijadikan referensi
untuk program riset dan pengembangan budidaya untuk mendukung
peningkatan produksi teripang pasir dan menjaga kelestarian populasinya
di alam.

Kepala BBRBLPP-Gondol

Ir. Bambang Susanto M.Si.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | i


ii ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)
UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada:


Prof. Dr. Ketut Sugama, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Sonny
Koeshendrajana, Prof. Dr. Ir. Ngurah N. Wiadnyana, DEA., Dr. Singgih
Wibowo, M.S, Dr. Ing Widodo S. Pranowo, M.Si., dan Dr. Ir. I Nyoman
Suyasa, M.S, yang telah mengkoreksi dan memberikan masukan kepada
Penulis sehingga buku ini menjadi lebih sempurna dan penyajian materi
buku yang lebih baik.
Ucapan terima kasih juga Penulis sampaikan kepada Kepala Balai
Besar Riset Budidaya Laut- Gondol, Ketua Departemen Ilmu Kelautan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, Kepala
Balai Bio Industri Laut, LON, LIPI, Lombok dan Kepala Balai Besar
Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan,
KKP, Jakarta serta jajarannya serta rekan-rekan peneliti dan teknisi atas
bantuannya secara administratif dan teknis.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. I Nyoman
Adiasmara Giri, M.S. dan Prof. Dr. Ir. Muhammad Zairin, M.Sc. serta
Prof. Dr. Ir. Mochamad Fatuchri Sukadi, MSc. atas masukan yang
berharga bagi penyempurnaan materi buku ini.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | iii


iv ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)
PROLOG

Teripang atau sering disebut timun laut merupakan komoditas laut


yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Secara umum teripang
diperdagangkan sebagai bahan pangan. Selain sebagai bahan pangan,
teripang juga merupakan sumber senyawa bioaktif yang bermanfaat
untuk kesehatan. Di Indonesia terdapat 26 jenis timun laut yang pernah
atau masih tercatat dan diolah untuk diperdagangkan sebagai teripang.
Indonesia merupakan salah satu pemasok teripang dunia dengan pasar
utama Hongkong dan Singapura. Data Badan Pusat Statistik (BPS)
menunjukkan volume ekspor produk teripang Indonesia baik hidup,
segar, beku, kering maupun olahan pada tahun 2016 mencapai 2.003.783
kg. Sementara produksi teripang secara global pada tahun 2012 mencapai
411.878 ton. .
Salah satu jenis teripang dengan nilai ekonomis tinggi dan
dieksploitasi secara komersial di kawasan tropis, termasuk di perairan
Indonesia adalah teripang pasir (Holothuria scabra) yang juga dikenal
sebagai teripang gosok atau sandfish.Teripang pasir banyak ditemukan di
daerah berpasir atau campuran pasir dan lumpur pada kedalaman 1-40
meter dan sering pula ditemukan di perairan dangkal yang banyak
ditumbuhi lamun. Beberapa nama lokal berdasarkan daerahnya antara
lain adalah teripang saleh (Bojonegoro), teripang gamat betul (Riau),
teripang tai kucing (Pulau Bangka), teripang buang kulit (Lampung),
teripang susuan (Menado), dan teripang kapur/teripang putih (Indonesia
Bagian Timur). Teripang jenis ini biasanya diekspor sebagai teripang
kering (beche-de-mer) ke berbagai negara seperti Tiongkok, Taiwan,
Korea, Hongkong, dan Singapura. Dengan nilai ekonomi yang baik dan
permintaan pasar yang terus berkembang menyebabkan upaya
penangkapan teripang di laut semakin intensif dan bahkan
ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | v
mengakibatkan terjadinya tangkap lebih (overfishing). Belum adanya
manajemen stok yang baik terhadap teripang pasir ini berdampak pada
penurunan populasinya di alam dan mendorong spesies ini digolongkan
sebagai salah satu biota yang terancam (endangered) dalam the IUCN
Red List of Threatened Species. Dengan demikian upaya untuk
mempertahankan stok teripang pasir di alam dan juga sekaligus untuk
dapat memenuhi permintaan pasar, maka beberapa riset terkait teripang
pasir ini telah dan terus dilakukan, antara lain mencakup aspek biologi,
reproduksi, teknik pembenihan, budidaya pembesaran, pengembangan
pakan, penyakit, dan pasc panen serta pengolahan.
Secara morfologi tubuh teripang pasir berbentuk bulat panjang
dengan garis oral dan aboral sebagai sumbu yang menghubungkan bagian
anterior dan posterior. Bagian perutnya berwarna putih kekuning-
kuningan dan punggungnya berwarna abu-abu sampai kehitaman.
Teripang mempunyai cara untuk melindungi diri dari predatornya dengan
mengeluarkan racun (saponin) dari kulitnya, melepaskan benang-benang
lengket, atau melakukan eviserasi, yaitu melepaskan organ dalamnya
melalui anus. Mulut teripang pasir dikelilingi oleh tentakel yang
berbentuk perisai sebanyak 20 buah. Tentakel ini berfungsi untuk
mengambil dan menghisap makanan yang berada di sekitarnya. Saluran
pencernaan berbentuk bulat panjang terbentang dalam rongga
tubuh.Teripang pasir merupakan hewan epibentik yang bersifat deposit
feeder yang melakukan pemangsaan di dasar perairan dengan
tentakelnya. Makanan utama teripang adalah organisme-organisme kecil,
detritus, diatomae, protozoa, nematoda, alga filamen, kopepoda,
ostrakoda, dan rumput laut. Substrat dasar perairan yang berupa pasir,
lumpur, dan pecahan karang merupakan habitat khas teripang karena
mengandung zat organik yang juga merupakan makanan utamanya.

vi ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


Alat kelamin jantan dan betina terdapat pada individu yang
berbeda, tetapi secara morfologi sulit dibedakan antara individu jantan
dengan betina. Beda jenis kelamin teripang pasir dapat dilihat dari warna
gonadnya, yaitu warna merah muda sampai merah kekuningan
menunjukkan betina, dan warna putih sampai krem menunjukkan jantan.
Reproduksi teripang pasir terjadi secara seksual, dimana induk jantan
mengeluarkan spermanya terlebih dahulu, diikuti denga keluarnya sel
telur oleh induk betina dan fertilisasi terjadi di kolom air. Sejak menetas
menjadi larva (fase auricularia, doliolaria dan pentactula), mengalami
metamorfosis menjadi juvenil dan teripang muda dalam waktu 2 bulan.
Juvenil teripang pasir ini dapat dipelihara dalam usaha pembesaran, Sea
ranching atau untuk pengkayaan stok sebagai salah satu upaya
konservasi untuk memulihkan populasinya di alam.
Penyediaan benih merupakan faktor kunci untuk mendukung
sistem produksi teripang. Riset pembenihan teripang pasir
menggunakan induk dari alam telah dirintis di Balai Besar Riset
Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan (BBRBLPP) pada tahun
1994-1998. Mulai tahun 2015, riset pembenihan teripang pasir ini
dilakukan secara lebih intensif dan teknologi pembenihan yang
diperoleh telah diaplikasikan untuk produksi benih teripang pasir secara
masal. Kegiatan yang sama juga telah dilakukan di Balai Bio Industri
Laut LIPI, Lombok. Namun demikian, ketersediaan induk dari alam
mulai langka, sehingga penggunaan induk hasil domestikasi merupakan
alternatif solusi untuk dapat memproduksi benih secara berkelanjutan.
Dari hasil produksi benih di BBRBLPP telah diperoleh teripang dewasa
yang siap dimanfaatkan sebagai induk (induk terdomestikasi). Hasil
domestikasi ini merupakan turunan pertama dan kedua dari induk alam.
Induk teripang F-1 hasil domestikasi sudah berhasil memijah dan

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | vii


menghasilkan benih serta calon induk generasi kedua (F-2). Faktor
pakan dan lingkungan pemeliharaan sangat menentukan kualitas induk
terdomestikasi. Faktor ini sangat penting dan mendasar untuk
memperoleh telur berkualitas, menghasilkan larva serta benih teripang
berkualitas baik. Pakan alami berupa bentos dengan komposisi
fitoplankton dari kelas Diatoms dan famili Melosiraceace;
Naviculaceae; Nitzschiaceae serta zooplankton dari famili Acartiidae
sangat mendukung pertumbuhan benih teripang. Pakan bentos yang
dikombinasikan dengan Ulva sp. dan atau Gracilaria sp. juga sangat
baik untuk proses rematurasi gonad induk teripang sampai terjadi
pemijahan. Induk teripang pasir terdomestikasi dapat diproduksi dalam
masa pemeliharaan 12 bulan dalam wadah terkontrol dan pakan berupa
diatom yang dipadatkan. Performa genotip induk teripang pasir F-1
hasil domestikasi diperoleh dari nilai heterosigositas dengan metode
analisis mikrosatelit menggunakan 4 primer yaitu : Hsc-11; Hsc-28;
Hsc-49 dan Hsc-59 menunjukkan bahwa nilai heterosigositas (He &
Ho) induk F-1 sebesar 0,289 dan0,346. Apabila dibandingkan dengan
nilai He & Ho induk alam (F-0), ternyata terjadi reduksi gen dengan
nilai reduksi sekitar 2,0%. Namun dari performa reproduksinya, yaitu
jumlah, diameter dan daya tetas telur indukF-1 terdomestikasi tidak
berbeda nyata dibandingkan dengan induk alam (F-0).
Pemijahan dan pemeliharaan larva merupakan factor krusial
dalam produksi teripang pasir. Metode pemijahan yang tepat dan
kemampuan induk menghasilkan telur yang baik merupakan factor kunci
keberhasilan produksi benih skala komersial. Teknik rangsang pijah
yang umum digunakan untuk memacu pemijahan adalah metode kejut
suhu dengan menaikkan suhu air laut 3-5°C menggunakan water heater
atau menambahkan air laut panas secara perlahan. Untuk menurunkan

viii ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


temperatur air dapat dilakukan dengan menambahkan es. Beberapa
teknik rangsang pijah lainnya meliputi; a) Tekanan air, menyemprotkan
air laut dengan kencang selama beberapa menit; b) Pengeringan, induk
teripang diletakkan dalam bak kering atau bak berisi air laut setinggi 20
cm, dibiarkan selama 30-45 menit; c) Pemberian pakan berlebih, dengan
menambah bubuk Spirulina kering atau Algamac 2000, memberi pakan
berupa makroalga Gracilaria sp. dan Ulva sp. Fase pemijahan terjadi
sekitar satu jam setelah dilakukan rangsang pijah. Individu jantan
mengeluarkan sperma terlebih dahulu. Adanya sperma tersebut
menstimulasi individu betina untuk mengeluarkan sel telurnya. Proses
pembuahan terjadi di kolom air.
Telur yang dibuahi mengalami pembelahan dari 1 sel menjadi 2
sel, 4 sel, 8 sel, 16 sel dan seterusnya berdifferensiasi (blastula) yang
kemudian membentuk organ (gastrula). Telur menetas menjadi larva
stadia auricularia. Larva diberi pakanalami berupa fitoplankton jenis
Chaetoceros sp., Isochrysis galbana, Dunaliella salina, Tetraselmis sp.,
atau Rhodomonas salina. Hasil ujicoba menunjukkan bahwa penggunaan
campuran beberapa jenis pakan lebih baik dibandingkan hanya dengan
satu jenis fitoplankton. Larva stadia auricularia yang bersifat planktonik
mengalami metamorfosa menjadi stadia doliolaria. Selanjutnya doliolaria
mengalami metamorfosa menjadi stadia pentacula. Pada saat pentacula,
larva mengalami perubahan dengan munculnya tentakel disekitar mulut
yang berfungsi sebagai alat peraba dan mencari makan, dan kaki tabung
sebagai alat gerak. Individu pentacula mencari substrat sebagai tempat
menempel, mulai memakan diatom penempel atau bahan organik yang
terdapat pada substrat. Sekitar 26-33 hari setelah pemijahan, larva
memasuki stadia benih dengan penampakan eksternal teripang utuh dan
dapat dilakukan pemanenan. Lebih lanjut perlu dilakukan pendederan

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | ix


untuk mendapatkan ukuran benih yang lebih besar sesuai kebutuhan
untuk budidaya atau sea ranching.
Penyebaran benih dari hatcheri ke lokasi budidaya memerlukan
teknik yang tepat untuk menekan kematian benih dan kegagalan
budidaya. Teknik transportasi benih teripang pasir secara tertutup
menggunakan kantong plastic dengan media pasir yang dibasahi air laut
dan ditambah oksigen memungkinkan transportasi dilakukan hingga 20
jam dengan sintasan rata-rata diatas 80 %.Teknik transportasi ini dapat
digunakan baik dengan moda transportasi darat maupun udara, dan jika
melebihi 20 jam maka kantong plastic perlu dibuka untuk menambah
oksigen. Teknik transportasi ini juga dapat digunakan untuk mengangkut
induk teripang pasir.
Selain ketersediaan benih, ketersediaan pakan yang sesuai juga
merupakan faktor penting untuk pengembangan budidaya teripang pasir.
Pada ujicoba di laboratorium diperoleh bahwa teripang pasir dapat
memanfaatkan pakan buatan dalam bentuk pelet kering dengan baik
untuk mendukung pertumbuhannya. Pakan buatan dalam bentuk pelet
yang diformulasi mengandung 30% tepung Sargassum sp., 35% tepung
Ulva sp., 4% tepung kedelai, 18% tepung beras serta 6% tepung klekap
menghasilkan pertumbuhan yang baik untuk teripang pasir yang
dipelihara di dalam bak beton dan dalam karamba jaring apung di
tambak. Pakan tersebut mempunyai kandungan air 12,8%, protein 13,5%,
lemak 2,4%, abu 22,7%, serat kasar 17,4%.
Pembesaran teripang pasir hingga mencapai ukuran pasar dapat
dilakukan dengan sistem budidaya di tambak, budidaya di laut, atau sea
ranching. Budidaya teripang pasir di laut berpotensi dikembangkan di
kawasan pesisir dengan menggunakan wadah pemeliharaan berupa
keramba tancap, atau dengan Sea ranching yang dikelola oleh komunitas

x ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


pesisir. Namun demikian, perlu dipilih lokasi yang sesuai diantaranya
dengan mengidentifikasi habitat dimana teripang biasa ditemukan secara
alami, atau ekosistem padang lamun yang terlindung dalam teluk atau
laguna. Tiga karakteristik habitat yang perlu diperhatikan untuk budidaya
teripang pasir meliputi kedalaman, kondisi tutupan vegetasi lamun, serta
ukuran partikel dan kandungan nutrien pada substrat dasar perairan.
Perairan yang dangkal dengan kedalaman kurang dari 2 m serta kondisi
vegetasi lamun dengan kepadatan sedang baik untuk budidaya teipang
karena memungkinkan cahaya matahari mencapai substrat dasar untuk
mendukung pertumbuhan lamun dan mikroalga, memungkinkan
pergerakan teripang pada sedimen secara leluasa namun tetap
memberikan perlindungan dari predator. Teripang pasir memiliki
kebiasaan membenamkan diri pada siang hari dan muncul ke permukaan
pada sore hari. Dengan demikian kondisi sedimen juga merupakan faktor
yang menentukan keberhasilan budidaya teripang pasir. Juvenil teripang
pasir cenderung memilih substrat pasir berlumpur untuk membenamkan
diri dan mencari makandengan banyaknya bahan organik pada substrat.
Budidaya teripang pasir dapat dilakukan di tambak bekas
budidaya udang ataupun ikan dengan tetap memperhatikan kedalaman air
dan karakteristik substrat dasar tambak. Tambak dangkal dengan substrat
berlumpur tidak sesuai untuk budidaya teripang pasir. Tipe tambak
pasang surut dengan substrat berpasir atau pasir berlumpur dengan
kedalamandan sirkulasi air yang baik adalah ideal untuk budidaya
teripang pasir. Walaupun teripang pasir mampu bertahan hidup pada
salinitas 20 – 45 ppt, namun kisaran salinitas 30-34 ppt adalah optimum
untuk pertumbuhannya.
Kepadatan benih teripang saat tebar di tambak atau karamba rata-
rata 1 ekor/m2 dengan ukuran benih sekitar 15 g. Benih dengan ukuran

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | xi


lebih besar relatif aman dari resiko serangan predator seperti ikan dan
kepiting. Secara umum sintasan teripang cenderung lebih tinggi dalam
sistem budidaya di tambak dibandingkan dengan pemeliharaan di laut,
karena tambak merupakan sistem budidaya yang relatif tertutup dan lebih
mudah untuk dikelola dibanding dengan budiaya di laut. Pertumbuhan
teripang pada keramba di laut secara umum juga lebih lambat
dibandingkan dengan yang dipelihara tambak, yang diduga sangat terkait
dengan ketersediaan pakan.
Kegiatan budidaya tidak terlepas dari resiko hama dan penyakit
yang menyerang biota yang dibudidayakan. Serangan hama dan penyakit
pada budidaya teripang di tambak maupun di laut perlu diperhatikan
walaupun sulit penanggulangannya. Upaya pencegahan dapat dilakukan
dengan memilih lokasi yang tepat, mempunyai kualitas air yang baik dan
tidak ada predator, serta pembersihan lokasi budidaya dari hewan
predator secara berkala. Pada kegiatan pembenihan, induk dan benih
teripang juga beresiko terinfeksi penyakit. Secara visual terlihat teripang
yang terinfeksi penyakit mengalami luka bahkan borok pada permukaan
tubuhnya. Borok tersebut berkembang cepat bahkan dapat menyebabkan
kematian. Selain itu kadang-kadang permukaan tubuh teripang terlihat
berwarna keputihan. Bakteri Vibrio alginolyticus merupakan salah satu
agen penyebab penyakit luka dan borok pada teripang pasir di hatcheri
BBRBLPP Gondol. Jamur Lagenidium callinectesjuga menyebabkan
terjadinya borok dan luka pada teripang pasir di hatcheri namun tidak
menyebabkan kematian. Hal ini menandakan bahwa kematian teripang
terjadi karena infeksi sekunder setelah adanya luka borok yang
disebabkan oleh jamur L. callinectes. Hasil uji laboratorium
menunjukkan bakteri Vibrio alginolyticus sebagai agen penyebab luka
borok pada teripang pasir dapat ditanggulangi dengan antibiotik

xii ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


oksitetrasiklin pada dosis 25 ppm dan vetstrep pada dosis 2,5 ppm.
Sementara infeksi jamur Lagenidium callinectes dapat ditanggulangi
menggunakan fungisida trifluralin 2,5 ppm, anti-fungi 10 ppm atau
formalin 30 ppm.
Teripang pasir sebaiknya dipanen pada ukuran minimum 300
g/ekor untuk memperoleh nilai ekonomi yang baik, baik untuk bahan
pangan maupun sebagai sumber senyawa bioaktif. Ekstrak dari teripang
ini memiliki nilai nutrisi dan kandungan senyawa aktif yang dapat
dimanfaatkan untuk pangan fungsional maupun kesehatan. Produk
olahan dari teripang ini diantaranya teripang kering (beche-de-mer),
gonad kering (konoko), usus kering (konowata) dan kerupuk.Teripang
pasir memiliki nutrisi berkualitas tinggi yang terdiri dari protein, asam-
asam amino, vitamin, mineral, dan asam-asam lemak. Kandungan protein
teripang pasir sekitar 43% tetapi kandungan lemaknya rendah (2%).
Protein pada teripang mempunyai asam amino yang lengkap, baik asam
amino essensial maupun asam amino non essensial. Lemak teripang
mengandung asam lemak tidak jenuh yang sangat baik bagi kesehatan.
Teripang pasir mempunyai kandungan senyawa-senyawa aktif
yang sangat beragam mulai dari golongan saponin, fenol, protein hingga
kolagen. Senyawa aktif tersebut dapat berfungsi sebagai antiangiogenik,
antikanker, antiokoagulan, anti hipertensi, antiinflamasi, antimikroba,
antioksidan, antitrombotik, sebagai penyembuh luka, dan sebagai bahan
kosmetika. Komersialisasi ragam produk inovasi berbasis teripang pasir
saat ini masih terkendala dengan suplai bahan baku, yang mana
diharapkan dapat dipenuhi melalui pengembangan budidaya teripang
pasir.
Memperhatikan status populasi teripang pasir di alam yang mulai
terancam, permintaan pasar yang terus meningkat baik sebagai bahan

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | xiii


pangan maupun sebagai sumber senyawa bioaktif, dan potensi lahan
budidaya yang tersedia, maka kedepan kegiatan budidaya teripang pasir
perlu terus dipacu untuk meningkatkan produksi teripang secara
berkelanjutan. Untuk itu, buku “Aspek Biologi dan Budidaya Teripang
Pasir, Holothuria scabra” ini dapat menjadi salah satu acuan dalam
meningkatkan produksi teripang pasir melalui pengembangan budidaya
yang berkelanjutan.

xiv ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


DAFTAR ISI

Kata Pengantar i
Ucapan Terima Kasih iii
Prolog v
Daftar Isi xv
Daftar Tabel xix
Daftar Gambar xx

BAB I. Biologi Teripang Pasir, Holothuria scabra 1


1. Pendahuluan 1
2. Morfologi Teripang Pasir 1
3. Anatomi Teripang Pasir 3
4. Reproduksi Teripang Pasir 4
5. Perkembangan Larva 9
6. Makanan dan Cara Makan 11
7. Habitat Tempat Hidup Teripang Pasir 11
8. Penutup 13

BAB II. Domestikasi Induk Untuk Mendukung 17


Pembenihan Teripang Pasir , Holothuria scabra
1. Pendahuluan 17
2. Domistikasi Induk Teripang Pasir 18
3. Performa Fenotipe dan Genotipe Induk 21
Domistikasi
4. Penutup 23

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | xv


BAB III. Pemijahan, Inkubasi Telur dan Teknik 27
Pemeliharaan Larva Teripang Pasir Holothuria
scabra
1. Pendahuluan 27
2. Rangsang Pijah dan Pemijahan Induk Teripang 28
Pasir
2.1. Penanganan induk dan persiapan pemijahan 28
2.2. Rangsang pijah 29
2.3. Pemijahan 30
3. Inkubasi Telur Teripang Pasir 30
4. Teknik Pemeliharaan Larva 32
5. Penutup 37
BAB IV. Teknik Transportasi Teripang Pasir, Holothuria 43
scabra
1. Pendahuluan 43
2. Sistim Transportasi Teripang Pasir 42
3. Tahapan Transportasi 45
4. Penutup 49
BAB V. Aspek Pembesaran Dalam Budidaya Teripang 53
Pasir, Holothuria scabra
1. Pendahuluan 53
2. Metode Budidaya 55
2.1. Konstruksi wadah budidaya di laut 55
2.2. Konstruksi budidaya di tambak 63
3. Penebaran Benih dan Pengukuran Pertumbuhan 65
4. Penyediaan Pakan 71
5. Pengelolaan Kualitas Air pada Budidaya 73
Teripang Pasir

xvi ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


6. Hama dan Penyakit pada Budidaya Teripang 74
Pasir
7. Panen, Pasca Panen dan Pemasaran Teripang 77
Pasir
8. Penutup 80
BAB VI. Aplikasi Pakan Buatan Pada Budidaya Teripang 89
Pasir, Holothuria scabra
1. Pendahuluan 89
2. Kebiasaan Makan Teripang 91
3. Kebutuhan Nutrien Pakan Teripang 93
4. Pengembangan dan Aplikasi Pakan Buatan 95
Untuk Teripang Pasir
5. Penutup 99
BAB VII. Penyakit Pada Teripang Pasir, Holothuria scabra 105
1. Pendahuluan 105
2. Jenis-Jenis Penyakit Pada Teripang Pasir, 108
Holothuria scabra
2.1. Infeksi bakteri 108
2.2. Infeksi jamur 114
3. Penanggulangan Infeksi Penyakit 115
3.1. Penanggulangan infeksi bakteri 115
3.2. Penanggulangan infeksi jamur 118
4. Penutup 120

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | xvii


BAB VIII. Prospek Pengembangan Teripang Pasir, 125
Holothuria scabra Sebagai Sumber Senyawa
Bioaktif dan Pangan Fungsional

1. Pendahuluan 125
2. Proses Penanganan Bahan Baku Teripang H. 127
scabra
3. Komposisi Nutrisi Teripang H. scabra 127
4. Kandungan Senyawa Bioaktif Teripang H. 130
scabra
4.1. Pemanfaatan saponin H. scabra sebagai 130
bahan antikanker
4.2. Pemanfaatan lektin dari teripang H. scabra 133
dalam imunologi
4.3. Polisakarida dari teripang 134
4.4. Kolagen teripang 136
5. Prospek Teripang H. scabra untuk Aneka 138
Pengembangan Inovasi Produk Kelautan
6. Penutup 140

Epilog 145
Indeks 147
Curriculum vitae 149

xviii ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


Daftar Tabel
Halaman
Tabel 2.1. Umur dan ukuran induk teripang pasir, H. scabra
hasil domestikasi (F-1), jumlah, diameter dan daya
tetas telur .................................................................. 20
Tabel 3.1. Stadia larva teripang pasir Holothuria scabra ......... 33
Tabel 3.2. Nilai parameter kualitas air pada pemeliharaan larva
teripang pasir Holothuria scabra .............................. 37
Tabel 5.1. Kondisi lokasi yang sesuai untuk budidaya teripang
pasir di laut ....... ..................................... ................ 56
Tabel 5.2. Karakteristik utama keramba dan kurungan untuk
pemeliharaan teripang pasir ...................................... 62
Tabel 5.3. Kondisi lokasi yang sesuai untuk budidaya teripang
pasir di tambak ......................................................... 64
Tabel 5.4. Data pembesaran teripang pasir pada berbagai
sistem budidaya ......... .............................. ............. 71
Tabel 7.1. Karakteristik isolat bakteri yang diisolasi dari
teripang pasir, Holothuria scabra ............................. 109
Tabel 7.2. Hasil blast bakteri Vibrio alginolyticus .................... 113
Tabel 7.3. Karakteristik isolat jamur yang diisolasi dari
teripang pasir, Holothuria scabra dibandingkan
dengan Lagenidium callinectes ................................ 116
Tabel 7.4. Uji daya hambat terendah oksitetrasiklin dan
vetstrep terhadap pertumbuhan V. alginolyticus
yang diisolasi dari luka borok teripang pasir, H.
scabra yang dilakukan tahun 2016 di Laboratorium
BBRBLPP Gondol .................................................... 117
Tabel 7.5. Uji daya hambat terendah fungisida terhadap isolat
jamur Lagenidium callinectes yang diisolasi dari
luka borok teripang pasir, H. scabra yang dilakukan
tahun 2016 di Laboratorium Patologi BBRBLPP
Gondol ...................................................................... 118

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | xix


Daftar Gambar
Halaman
Gambar 1.1. Anatomi teripang pasir , Holothuria scabra............. 4
Gambar 2.1. Pertumbuhan induk teripang pasir, Holothuria
scabra F-1 hasil domestikasi mulai dari juvenil ..... 21
Gambar 3.1. Seleksi induk teripang pasir Holothuria scabra
untuk persiapan pemijahan........................................ 29
Gambar 3.2. Tahap embriogenesis teripang pasir Holothuria
scabra ....................................................................... 31
Gambar 3.3. Fase Auricularia dan Doliolaria larva teripang pasir
Holothuria scabra ..................................................... 34
Gambar 3.4. Bak pemeliharaan larva teripang pasir Holothuria
scabra (a); Proses ganti air saat pemeliharaan larva
(b) ............................................................................. 35
Gambar 3.5. Persiapan substrat penempelan fase Doliolaria akhir
larva teripang Holothuria scabra (a); Bak
pemeliharaan larva fase penempelan (b) ................. 36
Gambar 4.1. Alat dan bahan untuk transportasi induk/benih
teripang pasir secara tertutup ................................... 46
Gambar 4.2. Pasir dibasahi dengan air laut yang bersih
kemudian ditiriskan hingga tidak ada air yang
menetes (a) ; Pasir basah tersebut dimasukkan ke
dalam kantong plastik hingga ketinggian 6 cm (1,5
L pasir) (b) ............................................................... 47
Gambar 4.3. Induk teripang siap untuk dimasukkan ke dalam
kantong plastik (1-2 ekor/plastik) (a); Benih ukuran
5 cm (50 ekor/kantong) dan ukuran lebih besar dari
5 cm (25 ekor/kantong) (b) ...................................... 47
Gambar 4.4. Oksigen murni (a); memasukkan oksigen sampai
dua bagian (1:3) (b); ikat ketat plastik dengan karet
(c) dan teripang siap ditempatkan dalam wadah
transportasi (d) ......................................................... 48

xx ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


Gambar 4.5. Teripang dalam plastik yang telah diikat dengan
erat disusun dalam styrofoam (1 Styrofoam diisi 8
plastik) (a); Air mineral dalam botol yang telah
dibekukan/es dibungkus dengan koran (b); sisipkan
satu botol es tersebut diantara plastik yang telah
tersusun dalam styrofoam (c) .................................. 49
Gambar 4.6. Styrofoam ditutup dengan baik menggunakan
lakban coklat ........................................................... 49
Gambar 5.1. Kondisi padang lamun untuk budidaya teripang: a)
Lamun jenis Enhalus acoroides dan Cymodocea sp.
dengan kepadatan sedang tumbuh pada substrat
pasir berlumpur; b) Juvenil teripang yang hidup di
padang lamun ........................................................... 58
Gambar 5.2. Lokasi budidaya teripang pasir di Teluk Sunsak,
Lombok Timur: a). Posisi teluk sunsak di Pulau
Lombok; b) Kondisi system teluk di Jeriwaru; c)
Lokasi keramba budidaya teripang di Teluk Sunsak;
d) Kondisi keramba teripang pasir saat surut dengan
kedalaman air 20-30 cm; e) Kondisi pasang dengan
kedalaman air + 150 cm ............................................ 60
Gambar 5.3. Kegiatan pemasangan wadah budidaya teripang
pasir di laut: a) Pemasangan kandang (Foto: S.A.P.
Dwiono); b) Pemasangan kurungan tancap .............. 63
Gambar 5.4. Tambak budidaya teripang pasir: a) Tambak
budidaya teripang di Dusun Empol, Lombok Barat;
b) Tambak budidaya teripang di Tambak Diskelkan
Lombok Timur, Pijot, Lombok Timur ..................... 67
Gambar 5.5. Benih teripang pasir untuk pembesaran: a) Benih
berukuran <1 g yang dihasilkan panti benih BBIL
LIPI; b) Benih berukuran + 5 g/ekor yang telah
didederkan di Tambak Diskelkan Lombok Timur,
Pijot, Lombok Timur; c) Benih siap tebar berukuran
minimum 15 g/ekor ................................................. 69
Gambar 5.6. Kegiatan sampling pertumbuhan teripang pasir di
Tambak Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Lombok Barat ........................................................... 70

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | xxi


Gambar 5.7. Teripang hasil budidaya: a) Pengumpulan teripang
pasir dengan cara pengambilan manual; b) Teripang
pasir yang diperlihara dalam keramba di Teluk
Sunsak, Lombok Timur; c) Teripang pasir yang
diperlihara dalam tambak di Tambak Diskelkan
Lombok Timur, Pijot, Lombok Timur ..................... 77
Gambar 5.8. Proses pengeringan teripang: a) Proses pengeringan
teripang; b) Teripang yang telah direbus; c)
Teripang kering hasil olahan.................................... 78
Gambar 5.9. Perdagangan teripang pasir kering secara daring
pada salah satu situs perdagangan ............................ 80
Gambar 6.1. Wadah pemeliharaan (A : Bak beton; B : KJA
Tambak) dan bobot teripang pasir (C) yang diberi
pakan buatan ............................................................ 98
Gambar 7.1. Pewarnaan gram – (Vibrio alginolyticus) ............... 110
Gambar 7.2. Produk PCR bakteri Vibrio alginolyticus pada
agarose gel 1%. Ket: M = Marker, 1-6 = Vibrio
alginolyticus ........................................................... 113
Gambar 7.3a. Induk teripang pasir, H. scabra yang mengalami
luka borok ................................................................. 117
Gambar 7.3b. Isolat jamur Lagenidium callinectes yang tumbuh
pada media PYGSA ................................................. 117
Gambar 8.1. Gambaran secara umum proses penanganan bahan
Gambar 8.1.
baku teripang menurut Ram et al. (2017). 128
Gambar 8.2. Kandungan senyawa bioaktif dari teripang H.
scabra ............................. ............................... ......... 130
Beberapa contoh senyawa saponin antikanker yang
Gambar 8.3
terdapat pada H. scabra 132
Struktur holothurian fucosylated kondroitin sulfat
Gambar 8.4
menurut Pomin (2014) 135
Gambar 8.5 Diagram proses pemanfaatan teripang H. scabra 139

xxii ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


BAB I
BIOLOGI TERIPANG PASIR, Holothuria scabra

Retno HARTATI
WIDIANINGSIH

1. Pendahuluan
Teripang sering juga disebut sebagai gamat, gamet atau timun
laut karena bentuknya yang menyerupai ketimun, dengan karakteristik
tubuh lunak, bentuk tubuh silindris, dan berotot melingkar yang
memanjang dari mulut hingga anus (Conand, 1990). Secara taksonomi
teripang termasuk Kelas Holothuroidea bersama-sama dengan bintang
laut, bintang mengular, lili laut dan bulu babi dalam filum
Echinodermata. Teripang terdiri dari + 1.250 spesies yang tersebar dalam
200 genus. Salah satu jenis teripang yang telah berhasil dibudidayakan
adalah teripang pasir dengan nama latin Holothuria scabra. Nama lokal
teripang pasir tergantung dari daerahnya, misalkan teripang gosok di
Kepulauan Karimunjawa, teripang pasir (Kepulauan Seribu), teripang
saleh (Bojonegoro), teripang gamat betul (Riau), teripang tai kucing
(Pulau Bangka), teripang buang kulit (Lampung), teripang susuan
(Menado), dan teripang kapur/teripang putih (Indonesia Bagian Timur).

2. Morfologi Teripang Pasir


Tubuh teripang pasir (H. scabra) bulat panjang dengan garis oral
dan aboral sebagai sumbu yang menghubungkan bagian anterior dan
posterior. Bagian perutnya berwarna putih kekuning-kuningan dan
punggungnya berwarna abu-abu sampai kehitaman. Pada bagian
punggungnya terdapat sekat-sekat yang melintang berwarna putih dan di
antara sekat-sekat tersebut terdapat garis-garis hitam. Seluruh bagian

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 1


tubuhnya apabila diraba akan terasa kasar seperti butiran-butiran pasir
(Panggabean, 1987; Martoyo et al., 1994). Walaupun termasuk dalam
kelompok hewan berkulit duri (Echinodermata), teripang pasir tidak
nampak berduri, karena durinya merupakan butir-butir kapur
mikroskopis (kecil) yang tersebar dalam lapisan dermis (kulit) yang
disebut spikula. Di bawah lapisan kulit tersebut terdapat otot melingkar
dan memanjang.
Pada permukaan tubuh teripang terdapat lima baris kaki tabung
(tube feet) yang tersusun radier dari mulut ke arah anus. Tiga baris kaki
tabung terdapat pada sisi tubuh ventral dan dua baris yang lain pada sisi
dorsal. Kaki-kaki tabung pada sisi ventral disebut juga trivium yang
berfungsi sebagai organ penggerak (locomotory organ), sedangkan dua
baris di sisi dorsal disebut juga bivium yang berfungsi sebagai alat
respirasi dan sebagai saraf penerima (Clark &Rowe, 1971). Bivium dan
trivium ini pada H. scabra berupa bintil-bintil atau papila berwarna abu-
abu dan dikelilingi lingkaran kecil berwarna abu-abu pula. Mulut dan
anus teripang pasir terletak pada poros yang berlawanan, yaitu mulut di
bagian anterior dan anus pada bagian posterior.
Teripang mempunyai cara untuk melindungi diri dari predatornya
dengan mengeluarkan racun dari kulitnya (Saponin), melepaskan benang-
benang lengket (tabung cuverian) atau melakukan eviserasi, yaitu suatu
reaksi yang melepaskan organ-organ dalamnya, termasuk pohon
respirasi, usus dan gonad melalui anusnya. Pada saat stress karena
lingkungan hidup yang tidak baik atau ada ancaman predator H. scabra
melakukan eviserasi. Teripang dapat mengeras secara temporer
(sementara) apabila dipegang, yang disebabkan oleh cross-linking
protein pada dinding tubuh akibat aktivitas sistem syarafnya (Richmond

2 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


et al., 1996). Kebanyakan teripang yang bernilai ekonomi tinggi, dinding
tubuhnya tertutama terdiri dari collagen protein.

3. Anatomi Teripang Pasir


Untuk mengetahui organ-organ anatomi teripang pasir maka
tubuhnya harus dibedah dari anus ke arah mulut. Adapun penampakan
bagian dalam teripang H. scabra tersaji pada Gambar 1.1. Mulut teripang
pasir dikelilingi oleh tentakel yang berbentuk perisai sebanyak 20 buah.
Tentakel ini sesungguhnya modifikasi dari kaki tabung (Richmond et al.,
1996) dan berfungsi untuk mengambil dan menghisap makanan yang
berada di sekitarnya. Saluran pencernaan berbentuk bulat panjang
terbentang dalam rongga tubuh. Faring merupakan penghubung mulut
dan lambung dikelilingi oleh cincin oral (calcareous oral ring) yang
melingkar yang terdiri dari 10 lempengan berkapur. Setelah faring
terdapat esofagus yang pendek berhubungan dengan lambung. Setelah
penyempitan lambung akan berlanjut ke usus (intestine). Usus
merupakan bagian dari sistem pencernaan yang paling panjang.
Panjangnya dapat mencapai dua sampai tiga kali atau lebih dari panjang
tubuhnya dan bergelung didalam rongga perut. Usus ini mula–mula
memanjang kearah pasterior sepanjang garis mediodorsal dari rongga
tubuh, kemudian berbelok kearah anterior sepanjang sisi kiri dari rongga
tubuh sampai mendekati daerah faring (Hartati et al., 2016). Usus
kemudian kembali berbelok kearah pasterior sepanjang garis
medioventral dari rongga tubuh. Usus akan bermuara dikloaka yang
berbentuk tabung yang berotot dan berakhir pada anus (Barnes, 1991).
Organ respirasi pada teripang pasir disebut pohon respirasi
(respiratory trees) yang terletak di bagian posterior, berpangkal pada
kloaka, membentuk dua percabangan dan memanjang ke arah rongga
tubuh bahkan sering juga sampai ke pharyngeal bulb. Dengan memompa
ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 3
air keluar dan masuk pembuluh pohon respirasi juga berfungsi sebagai
alat ekskresi (Hartati et al., 2009). Selain pohon respirasi, oksigen dapat
juga diambil dari dinding tubuh (Lawrence, 1987).

usus

mulut

gonad
anus

Pohon respirasi

Gambar 1.1. Anatomi teripang pasir (Holothuria scabra)

4. Reproduksi Teripang Pasir


Teripang pasir termasuk jenis hewan dioecious atau gonochoris,
yaitu alat kelamin jantan dan betina terdapat pada individu yang berbeda,
tetapi secara morfologis keduanya sangat sulit untuk dibedakan.
Walaupun secara umum teripang dapat bereproduksi baik secara seksual
(kawin) maupun aseksual (pembelahan/fission), namun teripang pasir
tidak bisa bereproduksi secara aseksual (Hartati et al., 2015). Reproduksi
seksual pada teripang pasir terdiri dari gametogenesis dan spawning.
Gametogenesis adalah pembentukan telur dan sperma yang prosesnya
berada pada gonad masing-masing teripang, sedangkan spawning adalah
proses pelepasan sel telur dan sperma ke air laut dimana larva akan
berkembang.

4 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


Teripang pasir mempunyai gonad tunggal yang terletak pada
bagian anterior tubuhnya. Gonad ini terdiri atas dua untaian tubula-tubula
yang panjang dan mempunyai percabangan. Jenis kelamin teripang pasir
dapat dilihat dari warna gonadnya. Secara makroskopis gonad H. scabra
ini memberikan penampakan warna merah muda kekuningan, dan putih
kecoklatan. Warna gonad merah muda sampai merah kekuningan
menunjukkan kelamin betina, dan warna putih sampai krem
menunjukkan kelamin jantan. Warna gonad transparan yang
menunjukkan belum diketahuinya jenis kelamin (Yuliantari et al., 2005).
Warna ini akan semakin tua seiring dengan peningkatan kematangan
gonadnya. Dari beberapa pengamatan diperoleh perbandingan jumlah
individu jantan dan betina di alam adalah 1 : 1.
Seperti teripang pada umummya, menurut Conand (1981) tingkat
kematangan gonad (TKG) teripang pasir dapat dibagi menjadi 5 stadia,
yaitu stadia I (belum matang), II (istirahat), III (tumbuh), IV (matang),
dan V (selesai memijah) dengan warna serta karakteristik tubula yang
berbeda pada tiap tingkat kematangan gonadnya (Yuliantari et al., 2005).
Secara umum gonad betina memiliki tubula yang lebih panjang daripada
jantan. Peningkatan jumlah dan percabangan tubula pada gonad jantan
dan betina seiring dengan berkembangnya TKG dan mencapai
puncaknya pada TKG-IV, serta akan mengalami penurunan pada TKG-
V. Sakula (perbesaran tubula pada bagian-bagian tertentu sehingga
membentuk kantung-kantung kecil) hanya ditemui pada gonad jantan dan
jumlahnya meningkat seiring dengan peningkatan TKG.
Gonad pada H. scabra juga dapat diamati secara mikroskopis
dengan menggunakan mikroskop. Yuliantari et al. (2005) mendapatkan
diameter tubula bertambah sejalan kenaikan tingkat kematangan gonad.
Diameter tubula gonad jantan dan betina hampir sama. Bagian tengah

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 5


tubula merupakan bagian yang berdiameter paling besar, dan bagian
anterior tubula lebih besar dibandingkan bagian posteriornya. Secara
detail pada TKG-I, gonad H. scabra jantan dan betina tersusun atas
tubula-tubula kecil dan pendek dengan percabangan yang masih
sederhana. Ujung tubula tampak membulat dan terdapat tunas-tunas pada
ujung percabangannya. Pada TKG-II, gonad H. scabra jantan dan betina
menunjukkan penambahan jumlah tubula dan percabangan. Tubula
tampak lebih panjang dari TKG-I walaupun masih terdapat tubula yang
pendek. Pada TKG-III, warna gonad jantan dan betina menjadi lebih
pekat dari TKG sebelumnya. Gonad jantan berwarna putih kekuningan
dan gonad betina berwarna kuning sampai oranye. Bertambah pekatnya
warna gonad tersebut disebabkan oleh bertambah padatnya jumlah
sperma dan sel telur yang terbentuk. Terdapat peningkatan jumlah dan
perubahan bentuk terutama pada gonad jantan, yaitu bertambahnya
sakula (kantung-kantung kecil akibat perbesaran tubula). Conand (1981)
menyatakan bahwa jumlah tubula akan meningkat dan terjadi perubahan
bentuk pada setiap tingkat kematangan gonad. Lebih lanjut Conand
(1993) menjelaskan bahwa penambahan jumlah sakula selalu mengikuti
pertambahan panjang tubula dan percabangannya. Pada TKG-IV, warna
gonad jantan menjadi krem dan gonad betina menjadi merah kekuningan
sampai bening. Pada TKG-IV ini ditandai dengan gonad jantan dan
betina yang mencapai ukuran tubula maksimum. Kisaran panjang tubula
H. scabra jantan dan betina masing-masing 3,3–8,3 cm dan 1,9–10,8 cm.
Menurut Ramofafia dan Byrne (1991), sangat khas bahwa tubula-tubula
dengan ukuran kecil adalah stadia awal gametogenesis dan tubula-tubula
paling besar adalah pada stadia matang. Gonad jantan pada TKG-V
mempunyai sakula yang sangat banyak sehingga tampak seperti ruas-
ruas. Dinding tubula pada TKG-V ini sangat rapuh dan mudah sekali

6 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


pecah karena dindingnya semakin menipis dan rapuh. Pada TKG-V ini
jumlah percabangan dan panjang tubula menurun. Hal ini diduga terjadi
karena beberapa tubula mengalami pengerutan dan telah dikeluarkannya
sebagian sperma saat pemijahan. Teripang jantan jarang mengeluarkan
seluruh gametnya sekaligus.
Di dalam gonad betina diameter telur dan fekunditas meningkat
seiring dengan meningkatnya TKG. Pada TKG-I diameter telur 60–160
μm, nampak banyak oosit muda dan sel telur yang terbungkus oleh
semacam selaput atau membran. Diameter sel telur pada TKG-II 150–
180 μm dengan bentuk bervariasi (bulat sampai lonjong), dan masih
terlihat adanya oosit muda. Pada TKG-III diameter telurnya 170–230 μm,
berbentuk bulat penuh dan susunannya teratur, selaput yang mengelilingi
sel telur masih ada walaupun terlihat lebih renggang. Pada TKG-IV sel
telur berdiameter 200-250 μm, berbentuk bulat penuh dan susunannya
sudah tidak teratur karena sebagian sel telur tampak sudah tidak
berselaput. Jumlah sel telur pada TKG-I, II, II dan IV masing-masing
23.816–189.499; 84.488–849.520; 486.157–3.333.047; dan 2.852.340–
3.799.311. Pengamatan terhadap sperma lebih sulit karena ukurannya
lebih kecil.
Pada pengamatan histologis gonad H. scabra, Yuliantari et al.
(2005) mendapatkan bahwa pada TKG-I dinding tubula gonad jantan
yang masih tebal dan terisi oleh spermatosit pada bagian tepinya,
sedangkan bagian tengah kosong sepanjang tubula dan hanya terisi oleh
lumen. Pada gonad betina, TKG-I ditandai dengan banyaknya jumlah
germ sel dan oosit muda (previtellogenic oocyte) yang menempel pada
dinding germinal epithelium. TKG-II, pada gonad jantan dinding tubula
masih tebal dengan spermatosit di bagian tepi dalamnya. Spermatozoa
sudah tampak mengisi sebagian kecil lumen. Gonad betina pada TKG ini

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 7


ditandai dengan masih banyaknya germ sel yang menempel pada
germinal epithelium dan oosit muda yang baru tumbuh serta oosit dengan
ukuran yang bervariasi. Gonad jantan pada TKG-III, dinding tubulanya
mulai menipis dengan spermatosit yang masih tampak di bagian tepi
dalamnya. Spermatozoa telah memenuhi lumen. Pada gonad betina, germ
sel hampir tidak ditemui lagi dan oosit muda sudah berkembang. Jumlah
sel telur sangat banyak dan padat, seluruh oosit sudah tampak nukleusnya
dan beberapa sudah tampak nukleolusnya. Oosit-oosit matang memiliki
dinding oosit yang tebal dan tiap oosit tampak dibungkus oleh semacam
membran. Ruang diantara membran ini diisi oleh jaringan pengikat. Pada
TKG-IV, dinding tubula gonad jantan semakin menipis. Lumen terisi
penuh oleh spermatozoa dan tidak ditemui lagi adanya spermatosit. Pada
gonad betina, oosit-oosit matang tampak mengisi lumen dengan bentuk
yang sudah seragam bundar (polygonal). Semua sel telur sudah tampak
bernukleus bahkan banyak yang tampak nukleolusnya. Beberapa sel telur
yang mengalami sitolisis/penyerapan, sehingga sitoplasma, nukleus, dan
dinding selnya mulai rusak. Tampak pula jaringan pengikat mengisi
ruang diantara membran yang mengelilingi oosit. Gonad jantan pada
TKG-V ditandai dengan spermatozoa yang telah berkembang menjadi
relic spermatozoa. Relic spermatozoa ini tampak memenuhi lumen.
Perkembangan gonad pada H. scabra terjadi secara asinkron,
sehingga spawningnya terjadi secara terus-menerus sepanjang tahun.
Pemijahan teripang pada umumnya berlangsung pada sore atau malam
hari pada perairan di sekitar lingkungan hidupnya (Bakus, 1973). Selama
proses pemijahan, induk jantan selalu mengeluarkan spermanya terlebih
dahulu dan diikuti dengan keluarnya sel telur oleh induk betina (James,
1999). Tiap spesies teripang memiliki waktu pemijahan tertentu,
biasanya terjadi selama satu atau dua bulan setiap tahunnya. Sebagai

8 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


contoh musim pemijahan teripang pasir di Indonesia adalah pada bulan
April di perairan Saugi, Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan (Tuwo,
1999). Padabulan Mei s/d Agustus merupakan fase istirahat (rest
reproductive), bulan Agustus s/d Februari menunjukkan aktif reproduksi
dan puncak pemijahan (peak spawning) pada bulan Januari s/d Februaridi
di perairan Lampung (Notowinarto et al., 1993). Menurut Mackey
(2001) H. scabra menunjukkan ritme pemijahan bulanan pada musim
pemijahan dengan memijah pada saat petang, mendekati bulan baru atau
bulan penuh, ketika pasang tertinggi. Beberapa faktor yang
mempengaruhi reproduksi teripang meliputi: temperatur air, blooming
phytoplankton, periode bulan, dan hubungan kimiawi. Phytoplankton
diperkirakan dapat menjadi komponen penting yang mempengaruhi
pemijahan teripang karena H. scabra mempunyai larva planktotrofik
yang memakan phytoplankton.

5. Perkembangan Larva
Setelah terjadi pemijahan dimana sel telur dan sel sperma
dikeluarkan oleh individu H. scabra betina dan jantan maka fertilisasi
terjadi di kolom air. Setelah terjadi perkembangan embrional dan
menetas menjadi larva yang berkembang secara bertahap melalui proses
metamorfosis menjadi juvenil dan teripang muda dalam waktu 2 bulan.
Perkembangan larva tersebut melalui beberapa tahap yaitu Auricularia,
Doliolaria dan Pentactula. Larva Auricularia berukuran 812,50-987,10
µm, karena mempunyai buccal cavity, barisan silia, cloaca dan anus
maka mulai aktif makan. Pakannya berupa mikroalga, Isochrysis
galbana, atau campuran Chaetoceros spp. dan Skeletonema spp. (Hartati
et al., 2009). Auricularia kemudian bertambah transparan dan tonjolan
pada bagian lateral mulai nampak. Pada salah satu sisi larva auricularia
akhir muncul empat tonjolan lateral dan pada tiap ujungnya terdapat
ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 9
hyaline sphere. Esophagus dan stomach berbentuk buah pir akan
terbentuk dan stomatocoel kanan dan kiri dapat terlihat jelas. Barisan
silia memperlihatkan sejumlah titik pigment. Setelah 10 hari larva
auricularia berkembang menjadi Doliolaria yang berbentuk drum dengan
lima hyalinespheres pada tiap sisinya. Kemudian dua tentakel pertama
akan terbentuk pada ujung anteriornya. Menurut James (2004)
panjangnya bervariasi antara 420-570 µm dan lebar 240-390 µm. Hartati
et al. (2009) menunjukkan bahwa doliolaria dapat bergerak dengan cepat
ke depan dan badan bagian belakang berbentuk cincin datar. Pada setiap
sudut terdapat lima kelompok silia (bulu getar). Pada tahapan berikutnya,
doliolaria berubah menjadi pentactula dengan tubuh berbentuk tabung
dengan lima tentakel di ujung anteriornya dan satu kaki tabung pendek di
ujung posterior yang membantunya untuk bergerak dengan lubang anal
sudah nampak jelas. Panjang larva bervariasi 330-750 µm (rata-rata 307
µm). Pada hari ke delapan belas, kaki tabung dan tentakel bertambah
jelas. Dua kaki tabung yang panjang berkembang di ujung posterior.
Panjang larva pentactula 550-720 µm dan lebar bervariasi 210-320 µm
(James, 2004).
Pada saat awal, larva teripang pasir bersifat planktotropik
(pemakan plankton), menetas dengan cadangan makanan yang sangat
sedikit dan menghabiskan waktunya sebagai plankton yang berada di
kolom air. Di alam, larva teripang pasir dapat hanyut pada tempat yang
cukup jauh dari tempat pemijahan misalkan ke daerah laguna atau pantai
dimana akhirnya melekat pada substrat dan nampaknya kenaikan suhu air
memacu pelekatan larva pada substrat (Hartati et al., 2009). Metamorfosa
teripang pasir selesai pada saat berubah menjadi juvenil yang bersifat
bentik atau hidup di dasar perairan dan kemudian akan berkembang
menjadi anakan/benih.

10 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


6. Makanan dan Cara Makan
Kebanyakan teripang bersifat nokturnal (aktif hanya pada malam
hari) atau kriptik (bersembunyi) dan bersifat fototaksis negatif
(menghindari cahaya matahari), tetapi ada juga jenis yang berada di
ruang terbuka dan aktif makan selama siang hari (Richmond et al., 1996).
Menurut Cannon dan Silver (1987), aktivitas nokturnal ini merupakan
wujud respon terhadap pemangsaan oleh ikan, seperti yang terjadi pada
beberapa invertebrata tropis lainnya. Berdasarkan aktifitas makannya, H.
scabra termasuk kelompok teripang yang makan 2-3 kali sehari dan sisa
waktunya digunakan untuk berlindung di bawah batu karang atau
menggali lubang di bawah permukaan pasir atau alga hijau. Teripang
pasir merupakan hewan epibentik (hewan yang hidup diatas dasar
perairan) yang bersifat deposit feeder yang melakukan pemangsaan di
dasar perairan dengan tentakelnya (Barnes, 1991). Makanan utama
teripang adalah organisme-organisme kecil, detritus (sisa-sisa
pembusukan bahan organik), diatomae, protozoa, nematoda, alga
filamen, kopepoda, ostrakoda, dan rumput laut. Jenis makanan lainnya
adalah radiolaria, foraminifera, partikel-partikel pasir ataupun hancuran-
hancuran karang, dan cangkang-cangkang hewan lainnya (Martoyo et al.,
1994). Hartati et al. (2004) telah menemukan phytobenthik
Bacillariophyceae, Chlorophyceae, Diniphyceae; dan zoobenthik
cangkang Gastropoda dan bivalvia, Protozoa, Foraminifera, Ciliata dan
Ascidian pada saluran pencernaan teripang pasir.

7. Habitat Tempat Hidup Teripang Pasir


Teripang terdistribusi sangat luas di semua lautan dan kedalaman,
dari pantai intertidal (yang dipengaruhi pasang surut) sampai abisal (laut
dalam), serta beradaptasi pada habitat yang beraneka ragam (Kubota &
Tomari, 1998). Teripang hidup sebagai epifauna (di atas substrat) atau
ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 11
infauna (terkubur dalam sedimen) atau bersembunyi diantara bebatuan
atau rongga karang. Teripang pasir (H. scabra) banyak ditemukan di
daerah berpasir atau campuran pasir dan lumpur pada kedalaman 1-40
meter dan sering pula ditemukan di perairan dangkal yang banyak
ditumbuhi lamun (Martoyo et al., 1994). Teripang umumnya
berkelompok dan bersifat relatif sessile atau bergerak dalam jarak yang
tidak terlalu jauh. Karena sebagian besar teripang bersifat detritivor yang
mengolah dan melewatkan pasir dan semua material yang berasosiasi
dengannya melewati ususnya yang panjang maka secara ekologis
mempunya fungsi yang sangat penting, yaitu sebagai agen bioturbasi
(pencampur substrat dasar), mengaerasi sedimen dan mendaur ulang
nutrien, dan merupakan penghubung yang sangat penting dalam rantai
makanan, dimana larvanya merupakan sumber makanan bagi hewan
pemakan plankton dan juvenilnya menjadi makanan kepiting, siput dan
cacing.
Kwalitas perairan berpengaruh terhadap hidup H. scabra. Suhu
perairan berkisar antara 24–30ºC sangat baik bagi kehidupan teripang
(Martoyo et al., 1994), walaupun bisa mentolerir sampai suhu 37ºC
(Bakus, 1973). Menurut Martoyo et al. (1994), teripang hidup dengan
baik pada daerah yang terlindung dalam kisaran kecepatan arus antara
0,3-0,5 m/detik. Kedalaman 1,5 m pada saat air surut dan kecerahan
sampai dasar merupakan lokasi yang baik untuk kehidupan teripang,
meskipun teripang dapat dijumpai hidup pada daerah pasang surut
sampai laut dalam (Martoyo et al., 1994). Substrat dasar perairan yang
berupa pasir, lumpur, dan pecahan karang merupakan habitat khas
teripang karena mengandung zat organik yang merupakan makanan
utamanya.

12 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


8. Penutup
Mengingat potensi ekonomisnya yang cukup besar, teripang pasir
sangat rentan terhadap penangkapan berlebih yang dapat menurunkan
stok secara cepat. Penelitian mengenai biologi dan reproduksinya telah
banyak dilakukan sehingga hasilnya dapat diterapkan dalam usaha
budidaya, baik pembenihan maupun pembesarannya. Juvenil atau anakan
teripang pasir dari usaha pembenihan dapat dipelihara dalam usaha
pembesaran maupun di alam pada usaha Sea ranching sebagai salah satu
upaya konservasi untuk memulihkan populasinya di alam.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 13


Daftar Pustaka
Bakus, G.J. (1973). The Biology and Ecology of Tropical Holothurians
In. Jones, O.A. & Endean, R (eds.), Biology and Geology of
Coral Reef. Vol II, Biology I, pp: 326-363. Academic Press, New
York.
Barnes, R.D. (1991). Invertebrate Zoology.6th ed. Sounders College
Publishing, USA. pp: 966–975.
Cannon, L.R.G. & Silver, H. (1987). Sea Cucumber of Northen
Australia, Queensland Cultural Center South Brisbane Australia.
60 p.
Clark, A.M. & Rowe, F.W.E. (1971). Monograph on Shallow Water
Indo-West Pacifik Echinoderms, Trustees of The British Museum
(Natural History), London. pp: 171-210.
Conand, C. (1981). Sexual cycle of three commercially important
Holothurian species (Echinodermata) from the Lagoon of The
New Caledonia. Bulletin of Marine Science, 31 (3), 523-543.
Conand, C. (1990). The Fishery Resources of Pacifik Island Countries,
Part II: Holothurians. FAO Fisheries Technical Paper, Rome, 272
(2), 43-56.
Conand, C. (1993). Ecology and reproductive biology of Stichopus
variegatus in Indo Pacific coral reef sea cucumber
(Echinodermata: Holothuroidea). Bulletin of Marine Science, 52
(3), 970–981.
Hartati, R., Widianingsih, & Pringgenies, D. (2004). Teknologi
Penyediaan Pakan Bagi Teripang Putih (Holothuria scabra).
Laporan Penelitian Hibah Bersaing XII Tahun 1. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Undip. 40 hal.
Hartati, R., Widianingsih, & Pringgenies, D. (2009). Pembenihan dan
Pembesaran Teripang Pasir (Holothuria scabra : Echinodermata).
Badan Penerbit, Universitas Diponegoro. 128 hal.
Hartati, R., Widianingsih, & Pringgenies, D. (2015). Teknologi Produksi
Benih Teripang Tril Stichopus hermanii Melalui Reproduksi
Aseksual. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun I. Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Universitas Diponegroro.
129 hal.

14 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


Hartati, R., Widianingsih, & Djunaedi, A. (2016). Ultrastruktur
alimentary canal teripang Holothuria scabra dan Holothuria atra
(Echinodermata : Holothuroidea). Buletin Oseanografi Marina,
5(1), 86–96.
James, D.B. (1999). Hatchery and Culture Technology for The Sea
Cucumber H. scabra Jaeger in India. Naga, the International
Culture Living Aquatic Resources Management Quarterly, 22 (4),
12-16.
James, D.B. (2004). Captive breeding of the se cucumber Holothuria
scabra. In Advance in Sea Cucumber Aquaculture and
Management (A. Lovatelli Ed.). FAO Fish. Tech. Paper 463, 385
– 395.
Kubota, T. & Tomari, M. (1998). Reproduction in the apoid sea
cucumber Polycheira rufescens: Semilunar spawning rythm and
sex change. Journal Marine Biology, 78, 249-267.
Lawrence, J. M. (1987). A Functional Biology of Echinoderms. The
Johns Hopkins University Press, Baltimore, USA, 340 p.
Mackey, A. (2001). Factors That Influence the Reproduction of Sea
cucumber.http://www.sci.sdsu.edu/biology/bio515/hentshel/PDFs
/Mackey%283001%29.pdf, March 17, 2001.
Martoyo, J., Aji, N., & Winarto, T. (1994). Budidaya Teripang. Cetakan
Pertama, Penebar Swadaya, Jakarta. 69 hal.
Notowinarto, Putro, D.H., Suyanto, & Sugeng. (1993). Laporan Akhir
Kegiatan Operasional SGT Teripang Tahun Ke-II. Balai
Budidaya Laut, Lampung.46 hal.
Panggabean, T.M. (1987). Membudidayakan Teripang/Ketimun Laut
Dalam Rangka Meningkatkan Produksi Hasil Laut Indonesia.
INFIS, Manual Seri 44. 34 hal.
Ramofafia, C. & Byrne, M. (1991). Assessment of „the tubule
recruitment model‟ in the three Tropical Aspidochirote
Holothurians. SPC Beche de-mer Information Bulletin, 15, 13–16.
Richmond, R.H., Hopper, D. & Martinez, P. (1996). The biology and
ecology of sea cucumbers. In: R.H. Richmond (ed.), Suggestions
for the Management of Sea Cucumber Resources in Micronesia.
University of Guam Marine Laboratory Technical Report No.
101, 75 p.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 15


Tuwo, A. (1999). Reproductive cycle of the Holothurian Holothuria
scabra in Saugi Island, Spermonde Archipelago, Southwest
Sulawesi, Indonesia. SPC Beche de-mer Information Bulletin, 11,
9–12.
Yuliantari, D.P., Hartati, R. & Widianingsih. (2005). Studi aspek
reproduksi teripang pasir H. scabra dari Perairan Pejarakan, Bali
Utara. Laporan penelitian. Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat. Universitas Diponegroro. 60 hal.

16 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


BAB II

DOMESTIKASI INDUK UNTUK MENDUKUNG PERBENIHAN


TERIPANG PASIR, Holothuria scabra

Sari Budi Moria SEMBIRING


I Nyoman Adiasmara GIRI
HARYANTI
Ketut SUGAMA

1. Pendahuluan
Permintaan teripang pasir cukup tinggi untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi dan sebagai bahan obat-obatan. Selama ini untuk
memenuhi kebutuhan ini masih mengandalkan tangkapan dari alam.
Penurunan jumlah stok teripang yang drastis terjadi di negara-negara
seperti Indonesia, Thailand, Philipina, Maldives dan negara tropis lainnya
(Akamine, 2000; Bussarawit & Thongtham, 1999; Reieichenbach &
Holloway, 1995). Sejak 1987, jumlah teripang alam yang ditangkap di
seluruh dunia diperkirakan 120.000 ton per tahun, dan pasokan terbesar
berasal dari Indonesia dengan negara pengimpor terbesar adalah
Hongkong dan Singapura (Conand & Byrne, 1993).
Budidaya teripang merupakan salah satu alternatif untuk
mengantisipasi kelangsungan produksi akibat tangkap lebih. Sebagai
mata rantai utama dalam sistem produksi teripang, penyediaan benih
merupakan faktor kunci. Pengembangan teknologi pembenihan teripang
pasir dengan menggunakan induk dari alam telah berhasil dilakukan di
Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan (BBRBLPP)
(Sembiring et al., 2016).
Akhir-akhir ini ketersediaan induk dari alam mulai langka,
sehingga pemanfaatan induk terdomestikasi merupakan solusi yang harus
ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 17
dilakukan untuk mendukung produksi benih secara berkelanjutan. Hasil
produksi benih di BBRBLPP telah diperoleh teripang dewasa yang siap
dimanfaatkan sebagai induk (induk terdomestikasi). Penyediaan induk
domestikasi dalam jumlah maupun ukuran yang optimum dan berkualitas
baik harus didukung faktor lingkungan dan pakan yang tepat. Hal ini
menjadi penting dan mendasar untuk memperoleh telur yang berkualitas
dalam menghasilkan larva dan benih teripang yang berkualitas baik
(Hamel et al., 2001; Battaglene et al., 2002; James, 2004).

2. Domestikasi Induk Teripang Pasir


Pengertian induk yang terdomestikasi menurut Effendi (2004)
adalah menjadikan spesies liar (wild species) menjadi spesies budidaya.
Terdapat tiga tahapan domestikasi spesies liar, yaitu (1) mempertahankan
agar tetap bisa bertahan hidup (survive) dalam lingkungan akuakultur
(wadah terbatas, lingkungan artificial, dan terkontrol), (2) menjaga agar
tetap bisa tumbuh, dan (3) mengupayakan agar bisa berkembang biak
dalam lingkungan terkontrol.
Dua aspek penting yang perlu diperhatikan untuk pemeliharaan
induk yaitu: pertama wadah pemeliharaan dan pakan. Wadah
pemeliharaan meliputi aspek ketersediaan air laut dan substrat tempat
hidup teripang. Teripang harus diberi pakan yang tepat karena dipelihara
dalam tempat terbatas dan diluar habitat aslinya.
Wadah pemeliharaan induk teripang tidak memerlukan bentuk
yang spesifik, namun untuk memudahkan dalam pengelolaan sebaiknya
berbentuk persegi panjang dengan ketinggian 0,7 m dan terbuat dari
beton atau fiberglass. Bagian dasar bak diisi dengan pasir yang telah
dicuci dengan air tawar setebal 10 cm sebagai substrat. Penyiponan untuk
membersihkan kotoran dan sisa pakan dilakukan setiap pagi. Pergantian
air pada bak pemeliharaan diterapkan sistem air mengalir dengan debit 1

18 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


L/menit. Dalam mempertahankan kebersihan pasir dan menghindari
kondisi anaerob pada pasir, maka seminggu sekali dilakukan pencucian
dengan sistem pembalikan pasir sambil disemprot dengan air laut
(Sembiring et al., 2015).
Di alam, teripang memanfaatkan makanan dari partikel substrat
yang ada di dasar air. Jenis makanan teripang terdiri atas organisme-
organisme kecil seperti: detritus, protozoa, diatom, alga, kopepoda,
ostrakoda, dan rumput laut. Di samping itu, juga foraminifera,
radiolarian, dan partikel-partikel pasir atau hancuran karang (Bakus,
1970; Hyman, 1965).
Selama pemeliharaan induk teripang, jenis pakan yang diberikan
adalah pakan alami berupa diatom bentos yang dipadatkan. Hasil analisis,
jenis bentos yang tumbuh adalah fitoplankton dari kelas Diatoms dan
famili Melosiraceace; Naviculaceae; Nitzschiaceae serta zooplankton
dari famili Acartiidae. Pakan alami berupa diatom bentos ini, selain dapat
mempercepat pertumbuhan benih (Sembiring et al., 2016), juga dapat
memacu proses rematurasi gonad induk teripang sampai memijah melalui
pemberian bentos yang dikombinasikan dengan Ulva sp. dan atau
Gracilaria sp (Sembiring et al., 2017).
Perbenihan yang telah berhasil dilanjutkan dengan domestikasi
calon induk dalam bak beton secara terkontrol dan seleksi secara
periodik. Hasil domestikasi ini merupakan turunan pertama dan kedua
dari induk alam melalui pembenihan secara masal di hatcheri dari tahun
2015-2017 di BBRBLPP-Gondol. Induk teripang F-1 hasil domestikasi
sudah berhasil memijah dan menghasilkan benih serta calon induk
generasi kedua (F-2). Ukuran rata-rata panjang dan bobot tubuh induk F-
1, jumlah telur, diameter telur dan daya tetas dapat terlihat pada Tabel
2.1.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 19


Tabel 2.1. Umur dan ukuran induk teripang pasir, H. scabra hasil
domestikasi (F-1), jumlah, diameter dan daya tetas telur

No Umur Jumlah Daya


Induk Panjang Berat Total Diameter
Telur Tetas
(Bulan) Total (cm) (g) telur (µ)
(butir) (%)
1 11 8,22 ± 1,16 61,44 ± 23,31 170.000 181,26 ± 4,78 41,18

2 11 10,61 ± 1,61 69,03 ± 19,32 124.000 175,19 ± 6,83 70,97

3 12 9,46 ± 1,01 81,63 ± 16,58 440.000 173,55 ± 6,68 54,55

4 15 11,16 ± 0,69 125,72 ± 12,26 80.000 176,83 ± 6,98 58,25

5 23 12,02 ± 1,21 164,08 ± 53,23 780.000 181,05 ± 5,16 57,40

Rata-rata diameter telur yang dihasilkan dari induk (F-1) adalah


173,55 ± 6,68 μ – 181,05 ± 5,16 µ, berkisar antara minimum 172,34 μ
sampai maksimum 188,51 μ. Diameter telur lebih tinggi dibanding
diameter telur induk alamnya (F-0) dengan diameter telur rata-rata
172,86 ± 6,82 μ dan berkisar dari minimum 166,48 μ sampai maksimum
182,69 μ.
Rata-rata daya tetas telur dari pemijahan induk F-1 adalah sebesar
54,55 – 70,97% dan tidak berbeda nyata dibandingkan dengan induk
alam (F-0) dengan rata-rata sebesar 50,0 - 80,0% (Sembiring et al.,
2016). Faktor utama yang mempengaruhi daya tetas telur adalah suhu
dengan kisaran optimum adalah 29-30oC. Hal ini sesuai dengan pendapat
Wolkenhauer (2008); Mercier et al., (1999); Purcell & Kirby (2005),
yang menyatakan bahwa suhu air sangat penting untuk aktivitas biologis
teripang seperti pemijahan, inkubasi telur dan juga untuk pertumbuhan.
Berdasarkan aspek keberhasilan pemijahan, jumlah dan daya tetas telur,
ternyata induk hasil domestikasi layak digunakan untuk program
perbenihan untuk mendukung budidaya teripang pasir.

20 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


3. Performa Fenotipe dan Genotipe Induk Domistikasi
Induk domestikasi perlu dikarakterisasi baik secara fenotip
maupun genotipnya agar diketahui kualitasnya secara pasti. Sejalan
dengan pendapat Dunham (2004), yang menyatakan bahwa potensi
genetik yang dimiliki oleh populasi yang dibenihkan merupakan salah
satu faktor yang menentukan keberhasilan perbenihan. Selanjutnya, Tave
(1994) dan Soewardi (2007), juga mengemukakan bahwa karakter
fenotipe seperti panjang, bobot, dan kecepatan tumbuh dipengaruhi juga
oleh faktor genetik dan interaksinya.
Performa pertumbuhan induk teripang pasir hasil domestikasi
melalui pengukuran panjang total dan berat total mulai dari benih terlihat
pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Pertumbuhan induk teripang pasir, Holothuria scabra F-1


hasil domestikasi mulai dari juvenil

Selama 11 bulan pemeliharaan secara terkontrol, ternyata induk


F-1 sudah memijah dengan ukuran rata-rata panjang dan bobot seperti
tertera pada Tabel 2.1. Hal ini membuktikan bahwa induk F-1 yang
selama pemeliharaan diberi pakan bentos yang dipadatkan yang
mempunyai kandungan protein 10,2%, lemak 3,5%, dan abu 73,8%

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 21


berdasarkan berat kering dapat meningkatkan pertumbuhan dan memacu
pematangan gonad induk teripang pasir serta menghasilkan benih
teripang generasi kedua (F-2) (Sembiring et al., 2017).
Performa genotip induk teripang pasir F-1 hasil domestikasi
diperoleh dari nilai heterosigositas dengan metode analisis mikrosatelit
menggunakan 4 primer yaitu : Hsc-11; Hsc-28; Hsc-49 dan Hsc-59. Dari
hasil analisis tersebut terlihat bahwa nilai Heterosigositas (He & Ho)
induk F-1 sebesar 0,289 dan 0,346. Apabila dibandingkan dengan nilai
He & Ho induk alam (F-0), ternyata terjadi reduksi gen dengan nilai
reduksi sekitar 2,0%. Sebenarnya hal ini terjadi akibat adanya genetic
drift (penghanyutan gen) yang terjadi dalam proses pembenihan di
hatchery. Beberapa peneliti menyatakan bahwa diversitas genetik harus
dipertahankan dalam proses pembenihan, karena reduksi atau peluruhan
karakter genetik akan menyebabkan beberapa gen pengontrol sifat atau
karakter tertentu menjadi hilang pada turunannya. Penurunan kualitas
genetik secara umum ditandai dengan sifat-sifat seperti pertumbuhan
lambat, tingkat kematian tinggi, kematangan gonad pada usia dini, dan
ukuran individu yang kecil (Leary et al., 1985; Sugama et al., 1988).
Dibandingkan dengan organisme lainnya, ternyata nilai
heterosigositas teripang lebih rendah. Rendahnya nilai heterosigositas
tersebut kemungkinan diakibatkan oleh adanya perkawinan acak yang
sangat sedikit, sehingga terjadi pembatasan pertukaran gen dari beberapa
pasangan yang melakukan perkawinan. Selain itu, di alam, teripang
hidup di padang lamun dangkal yang memudahkan untuk penangkapan
sehingga disamping menyebabkan penurunan populasi dalam hal ukuran
dan jumlah, juga secara proporsional akan berdampak terhadap jumlah
alel (Uthiche et al., 2009). Dampak dari hal tersebut di atas, akan
menyebabkan terjadinya perkawinan sekerabat (inbreeding) yang tinggi

22 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


dan apabila inbreeding dibiarkan terjadi secara berulang-ulang maka
peluang munculnya individu homozigot akan lebih tinggi.

4. Penutup
Induk teripang pasir terdomestikasi dapat diproduksi dalam masa
pemeliharaan 11 bulan dalam wadah terkontrol dan pakan berupa
diatom yang dipadatkan. Jumlah, diameter dan daya tetas telur induk
terdomestikasi tidak berbeda nyata dibandingkan dengan induk alam.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 23


Daftar Pustaka
Akamine, J. (2000). Sea cucumbers from the coral reef to the world
market. In Bisayan knowledge, movement & identity (Ushijima, I.
& C.N. Zayas eds.). Quezon city, the Philippines : 223-244.
Bakus, G.J. (1970). The biology and ecology of tropical holothurians.
London: Academic Press, p. 121- 139.
Bussarawit, S. & Thongtham, N. (1999). Sea cucumber fisheries and
trade in Thailand. Proc. International Conference: The
conservation of sea cucumbers in Malaysia, their taxonomy,
ecology and trade. Kuala Lumpur. Malaysia: 26-36.
Conand, C. & Byrne, M. (1993). A review of recent developments in the
world sea cucumber fisheries. Marine Fisheries Review, 55(4), 1-
13.
Dunham, R.A. (2004). Aquaculture and fisheries biotechnology: genetic
approaches. (2nd Eds.). USA: CABI Publishing Cambridge, 368
pp.
Effendi, I. (2004). Pengantar Akuakultur. Penerbit Penebar Swadaya.
Jakarta.
Hamel, J.F., Conand, C., Pawson, D.L., & Mercier, A., (2001). The sea
cucumber Holothuria scabra (Holothuroidea: Echinodermata): Its
biology and exploitation as beche-demer. Advances in Marine
Biology, 41, 129-223.
Hyman, L.H. (1965). The invertebrates. The Echinoderms Vo. IV. New
York: Mc Graw-Hill Book Company Co. Inc., 763 pp.
James, D.B. (2004). Captive breeding of the sea cucumber, Holothuria
scabra, from India. Advances in sea cucumber aquaculture and
management. FAO Fisheries Technical Paper, 463, 385 – 395.
Leary, F.L., Allendorf, F.W. & Knudsen, K.L. (1985). Developmental
instability as an indicator of reduced genetic variation in hatchery
trout. Trans.Am.Fish.Soc., 114, 230-235.
Mercier A., S.C. Battaglene & Hamel, J.F. (1999). Daily burrowing
cycle and feeding activity of juvenile sea cucumbers Holothuria
scabra in response to environmental factors. Journal of
Experimental Marine Biology and Ecology, 239(1), 125–156.
Purcell S.W. & Kirby, D.S. (2005). Restocking the sea cucumber
Holothuria scabra: Sizing no-take zones through individual-based
movement modelling. Fisheries Research, 80, 53–61.
24 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)
Reichenbach, N. & Holloway. (1995). Potential for asexual propagation
of several commercial important species of tropical sea cucumber
(Echinodermata). Journal of the World Aquaculture Society, 26
(3), 272-278.
Sembiring, S.B.M., Hutapea, J. H., Sugama, K.,Susanto, B., Giri, N.A. &
Haryanti. (2015). Teknik perbenihan teripang pasir, Holothuria
scabra. Dalam: Rekomendasi Teknologi Kelautan dan Perikanan
2015 (Soekadi, F.,Sugama, K., Nurhakim, S., Heruwati, E.S.,
Purba, M., Kusnendar, E.,Djunaidah, I.S., Sudibjo, E.R. &Sakti, I.
eds.). pp. 187-200. Badan Litbang Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Sembiring, S.B.M., Wardana, I.K. & Haryanti. (2016). Performa benih
teripang pasir (Holothuria scabra) dari sumber induk yang
berbeda. Jurnal Riset Akuakultur, 11(2), 147-154.
Sembiring, S.B.M., Wardana, I.K., Giri, N.A. & Haryanti. (2017).
Keragaan rematurasi gonad induk teripang pasir, Holothuria
scabra dengan pemberaian jenis pakan berbeda. Jurnal Riset
Akuakultur, 12(1), 147-159.
Soweardi, K. (2007). Pengelolaan keragaman genetik sumberdaya
perikanan dan kelautan. Departemen Manajemen Sumberdaya
Perairan, Institut Pertanian Bogor. Bogor, 153 hlm.
Sugama, K., Taniguchi, N., & Umeda, S. (1988). An experimental study
on genetic drift in hatchery population of red sea bream. Bull.
Japan Sci. Soc., 54, 739-744.
Tave, D. (1994). Selective breeding programs for medium-sized fish
farm. Rome: FAO Fisheries Technical Paper, 122 pp.
Uthicke, S., Schaffelke, B., & Byrne, M. (2009). A boom-bust phylum?
Ecological and evolutionary consequences of density variations in
echinoderms. Ecological Monographs, 79, 3-24.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 25


26 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)
BAB III
PEMIJAHAN, INKUBASI TELUR DAN TEKNIK
PEMELIHARAAN LARVA TERIPANG PASIR Holothuria scabra

Lisa Fajar INDRIANA

1. Pendahuluan
Holothuria scabra atau yang sering disebut dengan teripang pasir
merupakan salah satu jenis teripang yang bernilai ekonomis dengan
permintaan pasar yang cukup tinggi (Purcell, 2014; Purcell et al., 2018).
Populasinya di alam semakin menurun diakibatkan meningkatnya
penangkapan secara global dan eksploitasi berlebih (Conand, 2017;
Conand, 2018). Oleh karena itu, H. scabra diusulkan sebagai biota yang
terancam punah dan masuk dalam daftar the IUCN Red List of
Threatened Species (Hamel et al., 2013).
Kegiatan budidaya diperlukan untuk mengatasi permasalahan yang
ada dengan tujuan utama pemulihan populasi di alam, konservasi dan
produksi (Conand, 2017; Juinio-Menez et al., 2017). Dalam beberapa
dekade, akuakultur H. scabra berkembang dengan cepat dan berekspansi
secara global (Lovatelli et al., 2004; Purcell, 2014; Juinio-Menez et al,
2017). Tahapan dalam kegiatan budidaya teripang pasir terdiri dari
pemeliharaan induk, pemijahan, pemeliharaan larva, pemeliharaan
juvenil (anakan) dan pembesaran (Indriana et al., 2015a). Pemijahan dan
pemeliharaan larva merupakan faktor krusial dalam produksi H. scabra,
karena pada fase tersebut rentan terjadi kegagalan dan kematian. Metode
pemijahan yang tepat dan kemampuan induk menghasilkan telur
merupakan faktor kunci keberhasilan produksi benih skala komersial
(Morgan, 2000).

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 27


2. Rangsang Pijah dan Pemijahan Induk Teripang Pasir
Tahapan rangsang pijah dan pemijahan dilakukan untuk
memproduksi larva, dan untuk memperoleh hasil yang optimal maka
beberapa faktor yang perlu diperhatikan diantaranya:

2.1. Penanganan induk dan persiapan pemijahan


Untuk menghasilkan larva, tahap awal yang dilakukan adalah
mempersiapkan induk. Dalam penanganan induk dan persiapan
pemijahan, Morgan (2000); Battaglene et al. (2002); Agudo (2006)
menjelaskan beberapa aspek yang perlu dicermati diantaranya adalah
mengetahui dan mencari sumber atau asal induk teripang H. scabra yang
akan dipijahkan. Biasanya induk berasal dari alam. Namun induk juga
dapat diperoleh dari hasil pemeliharaan di bak, dalam kurungan di laut
atau tambak. Pentingnya teknik pengemasan (packing) dan transportasi
induk menuju laboratorium juga perlu diperhatikan. Penanganan yang
tidak tepat dapat mengakibatkan stress sehingga induk akan memijah
spontan atau mengeluarkan organ dalam (eviserasi). Selanjutnya, induk
diaklimatisasi di laboratorium dengan cara dipelihara dalam bak yang
sudah dicuci bersih menggunakan desinfektan dan diisi air laut yang
telah melalui saringan dengan suhu kamar yang konstan. Selama proses
aklimatisasi dan persiapan pemijahan, teripang dipelihara dalam bak
berisi air laut dengan aerasi dan tidak diberi pakan. Hal ini dilakukan
untuk mengosongkan isi perut sehingga tidak mengeluarkan kotoran pada
saat pemijahan. Apabila mengeluarkan feses, maka kotoran tersebut
dibersihkan dengan cara di sifon. Seleksi induk dilakukan sebelum
rangsang pijah dimulai. Kriteria induk yang berpotensi untuk dipijahkan
diantaranya dewasa, matang gonad, sehat, tidak terdapat luka dan segar.
Induk jantan dan betina dewasa yang matang gonad tidak dapat
dibedakan secara morfologi. Untuk itu berat tubuh dijadikan indikator

28 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


dalam seleksi induk. Idealnya teripang dewasa yang berpotensi untuk
dipijahkan mempunyai kisaran berat ˃250 gram. Berikutnya, pada tahap
persiapan pemijahan, bak pemijahan dicuci bersih menggunakan
desinfektan dan diisi air laut (suhu kamar) yang sudah disaring dan
menggunakan UV dengan ketinggian air 30-50 cm dari dasar bak. Induk
yang sudah diseleksi, dibersihkan dengan cara disiram air laut perlahan
untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada tubuhnya dan
diletakkan dalam bak pemijahan. Parameter yang diamati adalah jumlah,
panjang dan berat induk yang akan dipijahkan.

Gambar 3.1. Seleksi induk teripang pasir Holothuria scabra untuk


persiapan pemijahan (Foto: Lisa F. Indriana)

2.2. Rangsang pijah


Teknik rangsang pijah yang umum digunakan adalah metode
kejut suhu (Indriana et al., 2014). Metode ini dilakukan dengan cara
menaikkan suhu air laut 3-5°C (Battaglene et al., 2002) menggunakan
water heater atau menambahkan air laut panas secara perlahan. Untuk
menurunkan temperatur air dapat dilakukan dengan menambahkan es.
Lebih lanjut Agudo (2006) menjelaskan beberapa teknik rangsang pijah

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 29


yang dapat dilakukan antara lain; a) Ekstraksi gonad, membedah individu
dewasa untuk diambil gonadnya; b) Tekanan air, menyemprotkan air laut
dengan kencang selama beberapa menit; c) Pengeringan, induk teripang
diletakkan dalam bak kering atau diisi air laut dengan ketinggian 20 cm,
dibiarkan selama 30-45 menit; d) Pemberian pakan berlebih,
menambahkan bubuk Spirulina kering (± 30 gram dalam 300-500 liter air
laut) atau Algamac 2000 dengan konsentrasi 0,1 gram per liter.
Sedangkan Dwiono & Setyono (2011) melakukan rangsang pijah dengan
cara memberi pakan berlebih berupa makroalga Gracilaria sp. dan Ulva
sp., kemudian dipindahkan ke dalam bak pemijahan dan ketinggian air
laut dikurangi dari 30 cm menjadi 3 cm.

2.3. Pemijahan
Fase pemijahan terjadi sekitar satu jam setelah dilakukan
rangsang pijah. Individu jantan mengeluarkan sperma terlebih dahulu dan
kemudian individu betina mengeluarkan sel telur (Morgan, 2000;
Indriana et al., 2015b). Adanya sperma tersebut menstimulasi individu
betina untuk mengeluarkan sel telur (Battaglene et al., 2002; Agudo,
2006). Selanjutnya diikuti proses pembuahan (bersatunya sel sperma dan
sel telur) yang terjadi di kolom air. Selama proses pemijahan dilakukan
pengamatan jumlah individu jantan dan betina yang memijah. Menurut
Agudo (2006) dan Battaglene et al. (2002) tingkah laku teripang pada
saat memulai memijah ditandai dengan gerakan berputar, merayap di
dinding, menegakkan dan mengayunkan kepala. Induk jantan
mengeluarkan sperma dari bagian anterior tubuhnya.

3. Inkubasi Telur Teripang Pasir


Proses pembuahan terjadi di kolom air, secara kasat mata ditandai
dengan keruhnya air di bak pemijahan. Untuk memastikan terjadinya
pembuahan, pengamatan menggunakan mikroskop dilakukan untuk
30 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)
melihat terjadinya proses pembelahan sel telur. Seluruh proses inkubasi
telur menggunakan air laut yang telah disterilisasi menggunakan UV
sterilizer dan disaring menggunakan filter catridge bertingkat dengan
diameter berbeda. Telur bersama sperma didiamkan selama 30 – 60
menit (Agudo, 2006; Dabbagh & Sedaghat, 2012). Setelah itu, telur yang
ada di kolom air disifon dengan hati-hati dari bak pemijahan dan disaring
menggunakan saringan (plankton net) untuk menghilangkan kotoran.
Pengumpulan telur dilakukan dengan menyaring menggunakan saringan
bertingkat dengan mata jaring berbeda untuk menseleksi ukuran telur.
Selama proses penyaringan, air laut dialirkan secara perlahan dan terus
menerus untuk membilas telur dan menghilangkan sperma yang masih
menempel (Agudo, 2006; Dabbagh & Sedaghat, 2012).

150 µm 160 µm 230 µm

Telur dibuahi Blastula Gastrula

Gambar 3.2. Tahap embriogenesis teripang pasir Holothuria scabra


(Foto: Sigit A.P. Dwiono)

Telur yang sudah disaring dimasukkan ke dalam bak inkubator


berisi air laut untuk dilakukan pengamatan. Fase embriogenesis
berlangsung sekitar 36 jam. Telur yang dibuahi mengalami pembelahan
dari 1 sel menjadi 2 sel, 4 sel, 8 sel, 16 sel dan seterusnya berdifferensiasi
(blastula) yang kemudian membentuk organ (gastrula) (Gambar 3.2).
Setelah 48 jam, telur menetas menjadi larva stadia auricularia awal
(Girapsy & Walsalam, 2010; Dabbagh & Sedaghat, 2012), kemudian
dipindahkan dengan hati-hati ke dalam bak pemeliharaan larva dengan
ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 31
cara disifon dan disaring. Observasi yang perlu dilakukan antara lain
pengamatan ukuran diameter telur, daya tetas telur (hatching rate),
kepadatan dan jumlah telur yang menetas. Telur yang sudah dihitung
dipindahkan ke dalam bak pemeliharaan fiberglass volume 500 liter yang
sudah diisi air laut yang sudah disaring menggunakan rangkaian filter
catridge dan lampu UV. Aerasi tidak diberikan pada awal pemeliharaan,
selanjutnya aerasi lemah mulai diberikan pada saat larva mencapai umur
10 hari (Dwiono & Setyono, 2011).

4. Teknik Pemeliharaan Larva


Teripang pasir H. scabra fase larva terdiri atas preauricularia,
auricularia awal, auricularia tengah, auricularia akhir, dolioraria (awal,
tengah, akhir) dan pentactula (Morgan, 2001; Agudo, 2006; Indriana et
al., 2013b) (Tabel 3.1). Beberapa hal yang perlu diperhatikan selama
masa pemeliharaan larva secara in door di laboratorium antara lain
kepadatan larva, jenis dan kepadatan pakan fitoplankton, tingkat
kelangsungan hidup (Survival rate), pertumbuhan, kualitas air dan
predator (kopepod, protozoa, dll.). Air laut yang digunakan berasal dari
laut, disaring menggunakan filter alami berupa pecahan batu karang dan
pasir yang kemudian ditampung di bak penampungan. Dari bak
penampungan, air laut di saring menggunakan filter bag (kantong
saringan) untuk di distribusikan ke bak pemeliharaan. Sebelum
digunakan, semua peralatan harus dalam keadaan bersih dan steril.
Peralatan di cuci bersih dan dibilas menggunakan klorin dan air bersih.

32 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


Tabel 3.1. Stadia larva teripang pasir Holothuria scabra
Umur
Stadia larva (Hari Setelah Pakan Keterangan
Pembuahan)
Auricularia Transparan, sistem
- Awal pencernaan terbentuk,
- Tengah 1-14 Fitoplankton alat gerak berupa bulu
- Akhir getar, melayang di kolom
air, pergerakan lambat
Doliolaria
Coklat gelap, transisi
- Awal
10-16 Tanpa pakan dari planktonik ke
- Tengah
bentik, pergerakan cepat
- Akhir
Terbentuk tentakel
Diatom penempel, disekeliling mulut, kaki
bahan organik di tabung di permukaan
Pentactula 14-20 substrat, bubur daun tubuh, membutuhkan
lamun Enhalus substrat untuk
acoroides menempel, pergerakan
lambat

Pada stadia auricularia, pakan alami yang diberikan pada larva


berupa fitoplankton. Menurut Duy (2012) fitoplankton bersel tunggal
mendukung produksi larva. Jenis plankton yang diberikan antara lain
Chaetoceros spp. (Battaglene, 1999; Mercier et al., 2012), C. calcitrans
(Battaglene et al., 1999; Girapsy & Ivy, 2005; Girapsy & Walsalam,
2010; Gamboa et al., 2012;), C. muelleri (Battaglene et al., 1999;
Girapsy & Ivy, 2005; Girapsy & Walsalam, 2010; Duy, 2012; Hair,
2012;), C. simplex (Chen, 2003), Isochrysis galbana (Laxminarayana,
2005; Ivy & Girapsy, 2006; Girapsy & Walsalam, 2010), Dunaliella
salina, Phaeodactylum tricornutum (Chen, 2003; Laxminarayana, 2005;
Mercier et al., 2012), Pavlola lutheri (Laxminarayana, 2005; Ivy &
Girapsy, 2006; Girapsy & Walsalam, 2010), Tetraselmis sp (Battaglene
et al., 1999; Ivy & Girapsy, 2006; Hair, 2012), Thalassiosira weissflogii
(Hair, 2012) dan Rhodomonas salina (Ivy & Girapsy, 2006; Girapsy &
Walsalam, 2010; Mercier et al., 2012). Pemberian campuran beberapa
jenis pakan lebih baik daripada pemberian pakan tunggal atau satu jenis
ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 33
fitoplankton. Indriana et al. (2013a) menggunakan kombinasi Isochrysis
sp, Chaetoceros sp. dan Tetraselmis sp. sebagai pakan campuran fase
auricularia.
Larva auricularia terlihat transparan. Pakan yang dicerna ditandai
dengan warna hijau atau coklat pada saluran pencernaan larva, dan hal ini
menunjukkan bahwa kebutuhan pakan larva tercukupi. Pemberian pakan
dilakukan setiap hari terutama setelah pergantian air. Aerasi dengan
kekuatan lemah mulai diberikan pada saat larva berumur 10 hari. Larva
mengalami perubahan bentuk tubuh atau metamorfosa pada saat fase
doliolaria. Fase ini merupakan peralihan dari cara hidup planktonik
(melayang dalam kolom air) ke bentik (menempel pada substrat). Untuk
stadia ini tidak dilakukan pemberian pakan (Agudo, 2006), dimana larva
masih mengandalkan cadangan energi yang tersimpan pada saat
auricularia.

450 µm 560 µm 1100 µm


Auricularia awal Auricularia tengah Auricularia akhir

600 µm 500 µm 1 mm
Doliolaria awal Doliolaria akhir Pentactula

Gambar 3.3. Fase Auricularia dan Doliolaria larva teripang pasir


Holothuria scabra (Foto: Sigit A.P. Dwiono)

34 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


Pada stadia auricularia sampai doliolaria, larva dipelihara
menggunakan bak fiber bulat volume 500 – 1.000 liter berisi air laut yang
sudah disaring (Girapsy & Walsalam, 2010; Mazlan & Hashim, 2015)
(Gambar 3.4a). Pergantian air sebesar 75% dilakukan setiap dua hari
sekali untuk menjaga kualitas air dan menghilangkan residu pakan, larva
mati, kotoran atau feses yang mengendap di dasar bak (Indriana et al.,
2014) (Gambar 3.4b). Larva yang tersangkut pada saringan dikembalikan
ke bak pemeliharaan. Larva yang sehat akan bergerak aktif di kolom air
sedangkan larva yang tidak sehat akan mengendap di dasar bak.

a b

Gambar 3.4. Bak pemeliharaan larva teripang pasir Holothuria scabra


(a); Proses ganti air saat pemeliharaan larva. (Foto: Lisa F
Indriana)

Menurut (Indriana et al., 2014) umur larva doliolaria bervariasi


tergantung pakan dan kondisi lingkungan. Pada saat pentactula, larva
mengalami metamorfosis dengan munculnya tentakel disekitar mulut
yang berfungsi sebagai alat peraba dan mencari makan, dan kaki tabung
sebagai alat gerak. Pada fase ini terjadi proses penempelan di mana
individu teripang akan mencari substrat sebagai tempat menempel (Ivy &
Girapsy, 2006; Indriana et al., 2013b). Individu pentactula mulai
memakan diatom penempel atau bahan organik yang terdapat pada
substrat. Substrat yang digunakan dapat berupa lembaran daun lamun

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 35


jenis Enhalus acoroides atau lembaran waring ber mata jaring 1 mm
(Indriana et al., 2013b) (Gambar 3.5a). Alternatif bahan lain yang dapat
digunakan sebagai substrat antara lain lembaran plastik PVC (Purcell et
al., 2002; Dabbagh & Sedaghat, 2012), fiber glass (Battaglene &
Seymour, 1998), fiber glass dengan lapisan biofilm diatom (Pitt, 2001).
Sebelum digunakan sebagai tempat penempelan, lembaran waring
dan PVC bergelombang direndam dalam bak outdoor berisi air laut
selama satu minggu dan diberi aerasi, dengan harapan akan ditumbuhi
diatom penempel, biofilm atau bahan organik yang dapat digunakan
sebagai sumber makanan larva. Larva dipindahkan ke dalam bak
pemeliharaan berisi air laut dan substrat penempelan yang siap digunakan
(Gambar 3.5b). Pemberian aerasi dilakukan terus menerus selama masa
pemeliharaan larva. Pergantian air sebanyak 75% dilaksanakan setiap dua
hari sekali (Indriana et al., 2014). Pemanenan benih dilakukan pada umur
26-33 hari setelah pemijahan (HSP) ketika sudah memasuki stadia
juvenile dengan penampakan eksternal teripang utuh.

a b

Gambar 3.5. Persiapan substrat penempelan fase Doliolaria akhir larva


teripang Holothuria scabra (a); Bak pemeliharaan larva
fase penempelan (b). (Foto: Lisa F. Indriana)

Kualitas air merupakan faktor yang sangat penting dalam


budidaya teripang (Girapsy & Walsalam, 2010). Selama masa

36 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


pemeliharaan larva, kualitas air dikondisikan optimal seperti disajikan
pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Nilai parameter kualitas air pada pemeliharaan larva teripang
pasir Holothuria scabra
Parameter Kisaran optimal
Suhu (°C) 26-27 (Ivy & Girapsy, 2006), 26,7-26,8 (Indriana et al., 2013b);
24-27 (Girapsy & Ivy, 2008), 26-29 (Kumara et al., 2013);
28-31 (Lavitra et al., 2010); 26-30 (Mazlan & Hashim, 2015)
25-27 (Girapsy & Walsalam, 2010);
pH 6-9 (James, 1999); 8-8,3 (Kumara et al., 2013);
8,2 (Ivy & Girapsy, 2006); 8-8,2 (Mazlan & Hashim, 2015)
7,5-7,6 (Indriana et al., 2013b);
Salinitas 26,2-32,7 (James, 1999); 37,5 -38 (Girapsy & Walsalam,
(ppt) 15-25 (Mercier et al., 1999); 2010);
33-34 (Mercier et al., 2000); 33,6-33,7 (Indriana et al., 2013b);
37,5-38 (Ivy & Girapsy, 2006); 33-37 (Kumara et al, 2013);
34 - 35,5 (Girapsy & Ivy, 2008); 32-36 (Mazlan & Hashim, 2015)

5. Penutup
Pemijahan, inkubasi telur dan pemeliharaan larva adalah bagian
dari tahapan budidaya teripang pasir Holothuria scabra. Untuk
memperoleh benih atau anakan yang berkualitas dan menghindari
kegagalan, beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain proses
pengepakan (packing) dan transportasi induk, seleksi induk, metode
rangsang pijah yang digunakan, metode pemeliharaan larva dan jenis
pakan yang diberikan. Pada proses penempelan, pemilihan jenis substrat
yang tepat akan mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup dan
pertumbuhan larva.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 37


Daftar Pustaka
Agudo, N. (2006). Sandfish Hatchery Teqniques. Australian Centre for
International Agricultural Research (ACIAR), the Secretariat of
the Pacific Community (SPC) and the WorldFish Center. New
Caledonia; pp. 45.
Battaglene, S.C. & Seymour, J.E. (1998). Detachment and grading of the
tropical sea cucumber sandfish, Holothuria scabra, juveniles from
settlement substrates. Aquaculture, 159, 263-274
Battaglene, S.C. (1999). Culture of tropical sea cucumbers for the
purposes of stock restoration and enhancement. In The
conservation of Sea Cucumbers in Malaysia: Their Taxonomy,
Ecology and Trade. Proceedings of an International Conference.
Heriot-Watt University, Kuala Lumpur, Malaysia. Pp. 11–25
Battaglene, S.C., Seymour, T.E. & Ramofafia, C. (1999). Survival and
growth of cultured juvenile sea cucumbers, Holothuria scabra.
Aquaculture, 78, 293–322
Battaglene, S.C., Seymour, T.E., Ramofafia, C. & Lane, I. (2002).
Spawning induction of three tropical sea cucumbers, Holothuria
scabra, Holothuria fuscogilva and Actinopyga mauritiana.
Aquaculture, 207, 29–47.
Chen, J. (2003). Overview of sea cucumber farming and Sea ranching
practices in China. SPC Beche-de-mer Information Bulletin, 18,
18-23
Conand, C. (2017). Expansion of global sea cucumber fisheries buoys
exports. Rev. Biol. Trop. (Int. J. Trop. Biol), 65, 1-10.
Conand, C. (2018). Tropical sea cucumber fisheries: Changes during the
last decade. Marine Pollution Bulletin, 133, 590–594.
Dabbagh, A.R. & Sedaghat, M.R. (2012). Breeding and rearing of the sea
cucumber Holothuria scabra in Iran. SPC Beche-de-mer
Information Bulletin, 32, 49-52.
Duy, N.D.Q. (2012). Large-scale sandfish production from pond culture
in Vietnam. Asia–Pacific tropical sea cucumber aquaculture.
ACIAR Proceedings. Proceedings of an International Symposium
Held in Noumea, New Caledonia 210, pp.34-39

38 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


Dwiono, S. A. P & Setyono, D. E. D. (2011). Pemijahan teripang pasir
(Holothuria scabra Jaeger) di Loka Pengembangan Bio Industri
Laut Mataram. Seminar Nasional kelautan VII. Universitas Hang
Tuah Suarabaya 20 April 2011. B79-86.
Gamboa, R.U., Aurelio, R.M., Ganad, D.A., Concepcion, L.B. & Abreo,
N.A.S. (2012). Small-scale hatcheries and simple technologies for
sandfish (Holothuria scabra) production. Asia–Pacific Tropical
Sea Cucumber Aquaculture. ACIAR Proceedings. Proceedings of
an International Symposium Held in Noumea, New Caledonia.
210, pp. 63-73
Giraspy, D.A.B. & Ivy, G. (2005). Australia‟s first commercial sea
cucumber culture and Sea ranching project in Hervey Bay,
Queensland, Australia. SPC Beche-de-mer Information Bulletin,
21, 29 – 31
Giraspy, D.A.B. & Ivy, G. (2008). The influence of commercial diets on
growth and survival in the commercially important sea cucumber
Holothuria scabra var. versicolor (Conand, 1986)
(Echinodermata: Holothuroidea). SPC Beche de Mer Information
Bulletin, 28, 46–52
Giraspy, D.A.B. & Walsalam, I.G. (2010). Aquaculture potential of the
tropical sea cucumbers Holothuria scabra and H. lessoni in the
Indo-Pacific region. SPC Beche-de-mer Information Bulletin, 30,
29-32
Hair, C.A. (2012). Sandfish (Holothuria scabra) production and sea-
ranching trial in Fiji. In Asia–Pacific Tropical Sea Cucumber
Aquaculture. ACIAR Australian Centre For International
Agricultural Research. Canberra Australia Proceedings 136.pp.
129-141
Hamel, J.F., Mercier, A., Conand, C., Purcell, S., Toral-Granda, T.G. &
Gamboa, R. (2013). Holothuria scabra. The IUCN Red List of
Threatened Species 2013: e.T180257A1606648.
http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2013-
1.RLTS.T180257A1606648.en. Downloaded on 03 February
2019

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 39


Indriana, L.F, Tarmizi, A. & Lumbessy, S.Y. (2013a). Pengaruh
kombinasi pakan fitoplankton terhadap kelangsungan hidup larva
teripang pasir (Holothuria scabra) pada fase auricularia.
Prosiding Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan
Dan Perikanan. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 31 Agustus
2013. 6 Hal
Indriana, L.F., Tarmin, N. & Amin, M. (2013b). Kelangsungan hidup dan
pertumbuhan larva teripang pasir Holothuria Scabra pada substrat
penempelan yang berbeda. Prosiding Pertemuan Ilmiah Nasional
Tahunan X ISOI 2013. Jakarta, 11-12 November 2013. Pp. 353-
359
Indriana, L.F., Hilyana, H. & Marjuky. (2014). Pengaruh jenis substrat
lamun dan makroalga terhadap tingkat kelangsungan hidup larva
teripang pasir (Holothuria scabra) pada fase penempelan. Jurnal
Akuakultur Indonesia, 13 (1), 68–72
Indriana, L. F., Hadi, A. & Waspodo, S. (2015a). Pengaruh padat tebar
terhadap tingkat kelangsungan hidup larva Auricularia teripang
pasir Holothuria scabra. Prosiding Seminar Nasional Kelautan X.
Universitas Hang Tuah, 21 Mei 2015.
Indriana, L. F., Saputro, E. S & Lumbessy, S. Y. (2015b). Pengaruh
komposisi pakan yang berbeda terhadap pertumbuhan dan tingkat
kelangsungan hidup juvenil teripang pasir Holothuria scabra.
Prosiding Seminar Nasional Tahunan XII Hasil Penelitian
Perikanan dan Kelautan. Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 8
Agustus 2015.
Ivy, G. & Giraspy, D.A.B. (2006). Development of large-scale hatchery
production techniques for the commercially important sea
cucumber Holothuria scabra var. versicolor (Conand, 1986) in
Queensland, Australia. SPC Bechede-mer Information Bulletin,
24, 28–34.
James, D.B. (1999). Hatchery and culture technology for the sea
cucumber, Holothuria scabra Jaeger in India. Naga the ICLARM
Quarterly, 22, 4.
Juinio-Meñez, M.A., Tech, E.D., Ticao, I.P., Gorospe, J.R.C.,
Edullantes, C.M.A. & Rioja, R.A.V. (2017). Adaptive and
integrated culture production systems for the tropical sea
cucumber Holothuria scabra. Fisheries Research, 186, 502-513

40 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


Kumara, P.A.D.A., Jayanatha, J.S., Pushpakumara, J., Bandar,a W. &
Dissanayake, D.C.T. (2013). Artificial breeding and larval rearing
of three tropical sea cucumber species – Holothuria scabra,
Pseudocolochirus violaceus and Colochirus quadrangularis in Sri
Lanka. SPC Beche-de-mer Information Bulletin, 33, 30-37
Lavitra, T., Fohy, N., Gestin, P.G., Rasolofonirina, R., & Eeckhaut, I.
(2010). Effect of water temperature on the survival and growth of
endobenthic Holothuria scabra Echinodermata: Holothuroidea
juveniles reared in outdoor ponds. SPC Beche-de-mer Information
Bulletin, 30, 25–28
Laxminarayana, A. (2005). Induced spawning and larval rearing of the
sea cucumbers, Bohadschia marmorata and Holothuria atra in
Mauritius. SPC Beche-de-mer Information Bulletin, 22, 49-52
Lovatelli, A., Conand, C., Purcell, S.W., Uthicke, S., Hamel, J.F., &
Mercier, A. (2004). Advances in sea cucumber aquaculture and
management, FAO Fisheries Technical Paper No. 463, Rome,
Italy.
Mazlan, N. & Hashim, R. (2015). Spawning induction and larval rearing
of the sea cucumber Holothuria scabra in Malaysia. SPC Beche-
de-mer Information Bulletin, 35, 32-36
Mercier, A., Battaglene, S.C., & Hamel, J.F. (1999). Daily burrowing
cycle and feeding activity of juvenile sea cucumbers Holothuria
scabra in response to environmental factors. J. Exp. Mar. Biol.
Ecol., 239, 125−156
Mercier, A., Battaglene, S.C., & Hamel, J.F., (2000). Settlement
preferences and early migration of the tropical sea cucumber
Holothuria scabra. J. Exp. Mar. Biol. Ecol., 249, 89–110.
Mercier, A., Ycaza, R.H., Espinoza, R., Haro, V.M.A & Hamel, J.F.
(2012). Hatchery experience and useful lessons from Isostichopus
fuscus in Ecuador and Mexico. Asia–Pacific Tropical Sea
Cucumber Aquaculture. ACIAR PROCEEDINGS. Proceedings
of an International Symposium Held in Noumea, New Caledonia
210. pp: 79-90
Morgan, A. D. (2000). Induction of spawning in the sea cucumber
Holothuria scabra (Echinodermata: Holothuroidea). Journal of
The World Aquaculture Society, 31(2), 186-194

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 41


Morgan, A.D. (2001). The effect of food availability on early growth,
development and survival of the sea cucumber Holothuria scabra
(Echinodermata: Holothuroidea). SPC Bechede-mer Information
Bulletin, 14, 6–12
Pitt, R. (2001). Review of sandfish breeding and rearing methods. SPC
Beche-de-mer Information Bulletin, 14, 14-21
Purcell S.W. (2014). Value, market preferences and trade of Beche-De-
Mer from Pacific Island sea cucumbers. PLoS ONE, 9(4), e95075.
doi:10.1371/journal.pone.0095075
Purcell, S.W., Gardner, D. & Bell, J. (2002). Developing optimal
strategies for restocking sandfish: a collaborative project in New
Caledonia. SPC Bechede-mer Information Bulletin, 16, 2-4
Purcell, S.W., Williamson, D.H., & Ngaluafe, P. (2018). Chinese market
prices of beche-de-mer: Implications for fisheries and
aquaculture. Marine Policy, 91, 58–65

42 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


BAB IV

TEKNIK TRANSPORTASI TERIPANG PASIR, Holothuria scabra

Jhon Harianto HUTAPEA


Gigih Setia WIBAWA
Sari Budi Moria SEMBIRING

1. Pendahuluan
Teripang merupakan salah satu sumberdaya hayati laut yang
mendapat perhatian besar karena merupakan produk perikanan yang
potensial, baik karena nilai ekonomisnya dan kandungan gizi yang tinggi.
Penangkapan teripang di alam terus mengalami peningkatan, Badan
Pusat Statistik (2012) mencatat volume produksi perikanan tangkap
komoditas teripang tahun 2012 sebesar 6.501 ton dan mengalami
kenaikan 18,83% dari tahun 2008. Nilai ekonomis teripang ini
berdasarkan laporan Padang et al. (2014), teripang pasir kering memiliki
nilai jual sebesar Rp. 750.000,-/kg di pasar domestik. Hal ini
menyebabkan eksploitasi teripang pasir di alam oleh nelayan terus
meningkat.
Hasil pengamatan di beberapa lokasi penangkapan teripang
seperti di Kepulauan Seribu, Maluku, Karimun Jawa, Nusa Tenggara
Barat, Nusa Tenggara Timur dan P. Bunaken, peningkatan produksi
teripang hasil penangkapan tidak dapat dilanjutkan karena akan
mengakibatkan penurunan populasi (Nuraini et al., 1992; Hartati et al.,
2011; Mustofa, 2014). Oleh karena itu perlu dilakukan upaya menjaga
kelestarian teripang di alam melalui usaha budidaya.
Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan
(BBRBLPP) telah berhasil memproduksi benih teripang pasir sejak
tahun 1994 namun karena pertumbuhan benih sangat lambat (Sembiring
ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 43
et al., 2004) sehingga dianggap tidak ekonomis maka pendanaan
penelitian ini dihentikan oleh pemerintah. Tekanan dari lembaga swadaya
masyarakat baik dalam maupun luar negeri tentang penurunan populasi
teripang pasir di alam, telah mendorong pemenintah untuk kembali
mendanai penelitian ini. BBRBLPP tahun 2015 diberi mandat untuk
kembali melakukan penelitian dan berhasil dalam pemijahan dan
produksi benih. Bahkan telah berhasil memacu pertumbuhan benih
dengan menggunakan pakan berupa benthos maupun pakan buatan
dengan bahan dasar utama rumput laut (Sembiring et al., 2015;
Sembiring et al., 2016; Giri et al., 2017).
Usaha budidaya teripang dapat berkelanjutan jika penyediaan
benih dapat dilakukan dalam sentra perbenihan dan terdistribusi dengan
baik ke sentra budidaya. Namun karena teknik transportasi induk dan
benih belum dikuasai, pengembangan budidaya masih terkendala. Oleh
karena itu teknologi pengangkutan teripang baik induk maupun benih
perlu dikembangkan.

2. Sistim Transportasi Teripang Pasir


Dalam transportasi perlu diketahui beberapa faktor pembatas
seperti, suhu, kadar oksigen, kepadatan, dan media transportasi,
(Andasuryani 2003). Masalah yang dihadapi dalam transportasi biota
hidup perairan adalah bagaimana menekan aktifitas metabolisme
organisme tersebut agar kebutuhan oksigen maupun hasil
metabolismenya sekecil mungkin. Dengan menekan aktifitas
metabolisme serendah mungkin, maka biota perairan tersebut dapat
mempertahankan hidupnya dalam waktu yang lebih lama pada saat
transportasi. Perbedaan tersebut diusahakan sekecil mungkin agar
teripang yang diangkut dapat hidup sampai ke tempat tujuan atau paling
tidak memperkecil tingkat kematian selama pengangkutan (Utomo,

44 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


2003). Disamping itu, proses transportasi ini berpeluang terjadinya suatu
lingkungan yang berbeda dengan lingkungan asalnya, sehingga setelah
proses transportasi, teripang tersebut dapat beradaptasi dengan
lingkungan barunya.
Transportasi biota hidup perairan terbagi dua yaitu sistem basah
dan sistem kering. Pada transportasi sistem basah, media terdiri dari air
dan oksigen (Wibowo, 1993). Sedangkan transportasi sistem kering
merupakan transportasi yang tidak menggunakan air sebagai media
transportasi, namun demikian bisa membuat lingkungan atau wadah
dalam keadaan lembab.
Beberapa media yang biasa digunakan dalam transportasi ikan
sistem kering seperti serbuk gergaji, serutan kayu, kertas koran, busa, dan
lain sebagainya yang berfungsi sebagai penahan ikan hidup agar tidak
bergeser dalam kemasan, menjaga suhu kemasan tetap rendah, dan ikan
imotil sehingga lingkungan dalam kemasan memadai untuk
kelangsungan hidup ikan (Suryaningrum et al., 2000). Namun demikian,
teknik tersebut di atas tidak berhasil diterapkan untuk teripang pasir.
Moda transportasi yang digunakan juga akan berpengaruh
terhadap teknik pengangkutan yang diterapkan. Hal ini berkaitan dengan
jarak tempuh, lama transportasi, wadah yang digunakan. Semua ini juga
akan berkaitan dengan tingkat kepadatan induk atau benih dalam wadah
transportasi (Imanto, 2008).
Tulisan ini akan menyampaikan sistem transportasi induk atau
benih teripang pasir dengan sistem transportasi kering dengan moda
transportasi darat maupun udara.

3. Tahapan Transportasi
Teknik transportasi induk teripang secara terbuka hanya efektif
untuk pengangkutan jarak dekat, cukup dengan menggunakan ember
ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 45
plastik yang diisi air laut sedikit. Namun untuk transportasi dari/ke luar
pulau atau daerah lain yang membutuhkan waktu yang lebih lama, teknik
pengangkutan secara terbuka ini tidak dapat diterapkan lagi. Beberapa uji
coba yang telah dilakukan baik dengan menggunakan media air laut,
serbuk gergaji, handuk basah, memberikan hasil yang kurang
memuaskan. Teripang yang ditransportasikan mengalami kematian yang
tinggi dan walaupun ada yang hidup akan mengalami luka dan berakhir
dengan kematian. Perbaikan teknik transportasi terus dilakukan dan pada
akhirnya mendapatkan hasil yang terbaik dengan menggunakan media
pasir.
Penyiapan media pasir untuk transportasi induk maupun benih
teripang pasir dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a) Pasir laut dicuci dengan air tawar dan kemudian ditiriskan.
Selanjutnya dibasahi dengan air laut, dimasukkan ke dalam kantong
plastik ukuran 30 x 50 cm dengan ketinggian pasir 6 cm hingga
diperkirakan induk atau benih dapat bersembunyi dalam pasir.

Gambar 4.1. Alat dan bahan untuk transportasi induk/benih teripang


pasir secara tertutup

46 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


b) Induk teripang dimasukkan sebanyak 1-2 ekor/kantong tergantung
ukuran induk. Sedangkan untuk benih ukuran 5 cm sebanyak 50
ekor/kantong dan ukuran lebih besar dari 5 cm panjang total
sebanyak 25 ekor/kantong (Gambar 4.3). Selanjutnya kantong plastik
diisi dengan oksigen sebanyak 2 bagian dari tinggi pasir kemudian
diikat dengan karet gelang dan diyakinkan bahwa tidak terjadi
kebocoran oksigen (Gambar 4.4).

a b

Gambar 4.2. Pasir dibasahi dengan air laut yang bersih kemudian
ditiriskan hingga tidak ada air yang menetes (a); Pasir
basah tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik
hingga ketinggian 6 cm (1,5 L pasir) (b)

a b

Gambar 4.3. Induk teripang siap untuk dimasukkan ke dalam


kantong plastik (1-2 ekor/plastik) (a); Benih ukuran 5
cm (50 ekor/kantong) dan ukuran lebih besar dari 5 cm
(25 ekor/kantong) (b).

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 47


c) Plastik yang telah berisi induk teripang, disusun dalam Styrofoam
berukuran 80 x 45 x 35 cm. Untuk mempertahankan suhu selama
pengangkutan, diberi es batu dengan pembungkus kertas pada bagian
sudut Styrofoam (Gambar 4.5). Langkah selanjutnya styrofoam
ditutup dan direkatkan dengan menggunakan lakban (Gambar 4.6).
Dengan menerapkan teknik transportasi induk atau benih teripang
pasir seperti di atas, memungkinkan transportasi dilakukan hingga 20 jam
dengan sintasan rata-rata diatas 80 %. Teknik transportasi ini dapat
digunakan baik untuk moda transportasi darat maupun udara dengan
lama transportasi maksimum 20 jam. Jika melebihi maka kantong plastik
perlu dibuka untuk menambah oksigen.

a b

c d

Gambar 4.4. Oksigen murni (a); memasukkan oksigen sampai dua


bagian (1:3) (b); ikat ketat plastik dengan karet (c) dan
teripang siap ditempatkan dalam wadah transportasi
(d).

48 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


b c
a

Gambar 4.5. Teripang dalam plastik yang telah diikat dengan erat
disusun dalam styrofoam (1 Styrofoam diisi 8 plastik)
(a); Air mineral dalam botol yang telah dibekukan/es
dibungkus dengan koran (b); sisipkan satu botol es
tersebut diantara plastik yang telah tersusun dalam
styrofoam (c).

Gambar 4.6. Styrofoam ditutup dengan baik menggunakan lakban


coklat

4. Penutup
Teknik transportasi induk dan benih teripang pasir secara tertutup
dapat dilakukan dengan menggunakan media pasir yang dibasahi dan
ditambah dengan oksigen dalam kantong plastik dan menghasilkan
sintasan lebih dari 80 %. Perbaikan teknik transportasi di atas,
memungkinkan penyediaan induk dan benih teripang pasir bagi
kebutuhan hatchery maupun untuk budidaya.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 49


Daftar Pustaka
Andasuryani. (2003). Pengendalian suhu dan pengukuran oksigen pada
peti kemas transportasi sistem kering udang dan ikan dengan
kendali fuzzy [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Badan Pusat Statistik. (2012). Buku Statistik Kelautan dan Perikanan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 319 hlm.
Giri, N.A., Sembiring, S. B. M., Marzuqi, M. & Andamari, R. (2017).
Formulasi dan aplikasi pakan buatan berbasis rumput laut untuk
pendederan benih teripang pasir (Holothuria scabra). Jurnal Riset
Akuakultur, 12(3), 263-273.
Hartati, T., Tjahjo, D.W.H. & Kasim, K. (2011). Status pemulihan stok
teripang di perairan Kepulauan Seribu. Prosiding Forum
Nasional Pemacuan Sumber Daya Ikan III. 12 halaman.
Imanto, P.T. (2008). Beberapa teknik transportasi ikan laut hidup dan
fasilitasnya pada perdagangan ikan laut di Belitung. Media
Akuakultur, 3(2), 181-188.
Mustofa, A. (2014). Frekuensi kematangan gonad teripang
(Holothuroidea) di pantai Bandengan Kabupaten Jepara. Jurnal
Disprotek, 5(1), 44-54.
Nuraini, S., Wahyuni, I.S. & Hartini, S.T. (1992). Studi tentang
sumberdaya teripang dan ikan karang di Perairan Pulau-Pulau
Sembilan, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian
Perikanan Laut, 71, 81-88.
Padang, A., Lukman, E., Sangadji, M. & Subiyanto, R. (2014).
Komposisi makanan dalam lambung teripang. Jurnal Ilmiah
agribisnis dan Perikanan, 7 (2), 26-30.

Sembiring, S.B.M., Sugama, K., Suastika, I M., Makatutu, D. & Jufri.


(2004). Pedoman teknis teknologi perbenihan teripang pasir
(Holothuria scabra). Pusat Riset Perikanan Budidaya. Badan
Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan
Perikanan. Jakarta. 23 hal.

50 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


Sembiring, S.B.M., Hutapea, J. H., Sugama, K., Susanto, B., Giri, N.A.
& Haryanti. (2015). Teknik perbenihan teripang pasir, Holothuria
scabra. Dalam: Rekomendasi Teknologi Kelautan dan Perikanan
2015 (Soekadi, F.,Sugama, K., Nurhakim, S., Heruwati, E.S.,
Purba, M., Kusnendar, E.,Djunaidah, I.S., Sudibjo, E.R. &Sakti, I.
eds.). pp. 187-200. Badan Litbang Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Sembiring, S.B.M., Wardana, I.K. & Haryanti. (2016). Performa benih
teripang pasir (Holothuria scabra) dari sumber induk yang
berbeda. Jurnal Riset Akuakultur, 11(2),147-154.
Suryaningrum, T.D., Indriati, N. & Amini, S. (2000). Penelitian model
kemasan transportasi hidup ikan kerapu sistem kering. Prosiding
Seminar Hasil Penelitian Perikanan 1999/2000. Sukamandi.
Puslitbang Eksplorasi Laut dan Perikanan. Jakarta. Hal. 278 - 284.
Utomo, N.B.P. (2003). Modul Pemanenan dan Pengangkutan Ikan,
Depdiknas, http://bos.fkip.uns.ac.id/pub/ono/pendidikan/materi-
kejuruan/pertanian/budi-daya-ikan air tawar/pembesaran_ikan_
karper_pemanenan_dan_pengangkutan_ikan.pdf.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 51


52 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)
BAB V
ASPEK PEMBESARAN DALAM BUDIDAYA
TERIPANG PASIR, Holothuria scabra

Muhammad FIRDAUS

1. Pendahuluan
Teripang merupakan kelompok biota laut yang termasuk ke
dalam filum Echinodermata. Kelompok biota yang dikenal juga dengan
istilah timun laut atau sea cucumber merupakan hasil laut bernilai
ekonomis tinggi yang diperdagangkan sebagai bahan pangan yang
dipercaya memiliki berbagai manfaat kesehatan. Indonesia telah lama
dikenal sebagai salah satu pemasok utama produk teripang utamanya dari
hasil perikanan tangkap. Volume ekspor produk teripang Indonesia baik
hidup, segar, beku, kering maupun olahan pada tahun 2016 adalah
sebesar 2.003.783 kg dengan nilai US$ 9.444.780 (BPS, 2016).
Salah satu jenis teripang dengan nilai ekonomis tinggi (US$ 15-
1500/kg) dan dieksploitasi secara komersial di kawasan tropis, termasuk
di perairan Indonesia adalah teripang pasir (Holothuria scabra, Jaeger)
yang juga dikenal sebagai teripang gosok atau sandfish. Teripang jenis
ini biasanya diekspor sebagai beche-de-mer (teripang kering) ke berbagai
negara seperti Tiongkok, Taiwan, Korea, Hongkong, Singapura dan
beberapa negara di Eropa serta dipasarkan dalam betuk olahan siap
masak (haisom) untuk pasar lokal tropis (Purcell et al., 2012; Purcell,
2014a; Robinson et al., 2013).
Nilai ekonomis yang tinggi, volume perdagangan yang besar, dan
relatif mudah ditemukan di perairan dangkal menyebabkan spesies
teripang ini mengalami praktek tangkap lebih (overfishing). Teripang

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 53


pasir diambil secara terus menerus dari alam tanpa memperhatikan umur
dan ukuran, dari anakan muda sampai dewasa. Hal ini dilakukan untuk
memenuhi tingginya permintaan pasar. Belum adanya manajemen stok
yang baik berdampak pada penurunan populasi di alam di seluruh dunia
dan mendorong spesies ini digolongkan sebagai salah satu biota yang
terancam (endangered) dalam the IUCN Red List of Threatened Species
(Hamel et al., 2013). Hal ini mendorong penguasaan teknologi budidaya
sebagai upaya mengurangi eksploitasi stok di alam, membantu pemulihan
populasi, serta menyediakan suplai teripang pasir dengan kualitas yang
baik dan berkelanjutan (Junio-Menez et al., 2016)
Teripang pasir merupakan jenis teripang tropis yang paling umum
dibudidayakan (Purcell et al., 2012). Beberapa negara seperti Australia,
Filipina, Vietnam, Madagaskar, Fiji dan Indonesia telah mengembangkan
budidaya teripang pasir pada skala yang beragam (Bowman, 2012; Duy,
2012; Eeckhaut et al., 2008; Firdaus et al., 2017; Hair et al., 2011;
Juinio-Menez et al., 2012; Lavitra et al., 2010; Olavides et al., 2011).
Berkembangnya teknologi budidaya teripang pasir terutama didasari oleh
fakta bahwa biota ini merupakan deposit feeders yang hidup pada zona
intertidal yang dangkal dan berair tenang, umumnya berupa ekosistem
padang lamun yang berdekatan dengan ekosistem mangrove dengan
substrat pasir berlumpur (Hamel et al., 2001). Habitat tersebut memiliki
kondisi yang lebih mudah diduplikasi dan disesuaikan untuk keperluan
budidaya dibandingkan kondisi habitat yang diperlukan oleh jenis-jenis
teripang bernilai ekonomis tinggi lainnya yang sebagian besar hidup pada
perairan yang lebih dalam.
Budidaya pembesaran teripang pasir hingga mencapai ukuran
yang layak dipasarkan dapat dilaksanakan dalam beberapa sistem
budidaya antara lain budidaya tambak, budidaya di laut, dan Sea

54 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


ranching (Purcell et al., 2012). Sistem budidaya tambak berpotensi untuk
dikembangkan di Indonesia mengingat potensi lahan budidaya tambak
Indonesia mencapai 2,96 juta hektar, dengan tingkat pemanfaatan baru
sebesar 22,50% (0,65 juta hektar) (KKP, 2015). Dari keseluruhan lahan
yang dimanfaatkan, sekitar 8,72% (258 ribu hektar) merupakan lahan
yang dapat digolongkan sebagai tambak dengan kondisi marjinal dan
terbengkalai (idle). Sedangkan sistem budidaya teripang pasir di laut
maupun Sea ranching berpotensi untuk dikembangkan di kawasan pesisir
dengan karakteristik geografis berupa teluk, laguna atau selat yang
terlindung dari arus dan gelombang ekstrem serta memiliki sirkulasi
perairan yang baik, termasuk di dalamnya pulau-pulau kecil terluar
Indonesia yang belum dikelola dengan baik. Sebagai upaya untuk
mendorong perkembangan budidaya teripang pasir di Indonesia, makalah
ini mencoba mendeskripsikan prinsip, metode dan perkembangan terbaru
terkait budidaya teripang pasir, khususnya dalam aspek pembesaran.

2. Metode Budidaya
2.1. Konstruksi wadah budidaya di laut
Budidaya teripang di laut pada umumnya dilaksanakan secara
ekstensif dengan padat tebar yang rendah, satuan skala usaha yang relatif
kecil dengan menggunakan wadah pemeliharaan berupa keramba tancap
(pen) (Bell et al., 2008a), kurungan atau kandang (cage) (Ahmed et al.,
2018) atau dengan Sea ranching yang dikelola oleh komunitas pesisir
(Bell et al., 2008b; Hair et al., 2011). Budidaya pada kawasan terbuka
seperti laut cenderung lebih sulit untuk dikontrol secara penuh berhubung
kompleksnya berbagai variabel biotik, abiotik, dan aspek sosial ekonomi
terkait. Tanpa kemampuan secara penuh untuk mengelola interaksi
berbagai varibel yang mempengaruhi kegiatan budidaya, pemilihan
lokasi yang sesuai dan memenuhi prasyarat biologis maupun teknis
ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 55
menjadi faktor utama yang harus dipertimbangkan untuk meningkatkan
peluang keberhasilan budidaya teripang pasir di laut. Secara ringkas,
beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam pemilihan lokasi
budidaya teripang di laut dapat dilihat pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1. Kondisi lokasi yang sesuai untuk budidaya teripang pasir di
laut
No Kriteria Lokasi Kondisi Yang Diharapkan
1 Kondisi geografis Perairan yang terlindung dari arus dan
gelombang ekstrem. Dapat berupa teluk,
laguna atau selat yang terlindung. Memiliki
sirkulasi perairan yang baik.
2 Jenis ekosistem Padang lamun yang sehat, terutama yang
berdampingan dengan ekosistem mangrove
dan terumbu karang, aman dari tekanan
antropogenik akibat aktivitas manusia serta
terhindar dari intrusi air tawar yang berasal
dari sungai atau air tanah.
3 Kondisi vegetasi Didominasi oleh lamun jenis Enhalus
acoroides dengan diselingi jenis lamun
lainnya seperti Cymodocea rotundata,
Cymodocea serrulata, Thalassia
hemprecchii dan Syringodium sp. dengan
kepadatan sedang.
4 Kedalaman perairan Kedalaman perairan berada pada kisaran 50
cm (saat surut terendah) dan maksimum
200 cm (saat pasang tertinggi).
5 Kondisi substrat Butiran pasir berlumpur (antara 100 – 300
µm) dengan kandungan nutrien dan bahan
organik cukup tinggi, terutama karbon (C)
organik. Memiliki kelimpahan mikrobiota
bentik sebagai pakan teripang.
6 Kualitas air Salinitas stabil sepanjang tahun pada
kisaran 30-35 ppt, oksigen terlarut > 5
mg/L, pH 8-9, suhu 26-30oC, perairan
mesotrofik, tidak tercemar oleh sampah dan
limbah dari aktivitas antropogenik

56 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


7 Kondisi iklim Curah hujan relatif rendah sepanjang
tahun, bukan merupakan lokasi rawan
siklon/badai
8 Predator dan Kelimpahan kompetitor dan predator yang
kompetitor rendah terutama jenis kepiting, ikan
karnivora, udang, moluska karnivora,
bintang laut, isopoda, dan amphipoda.
9 Aksesibilitas Mudah dijangkau oleh pembudidaya dan
memungkinkan pengangkutan material dan
bahan kegiatan budidaya serta pemasaran.
10 Aspek sosial Aman dari pencurian, diutamakan lahan
budidaya agar memiliki konsesi atau izin
dari pemerintah lokal/masyarakat.

Indikator utama dalam menentukan lokasi yang sesuai untuk


budidaya teripang pasir di laut adalah dengan mengidentifikasi habitat
dimana biota ini biasa ditemukan secara alami, yaitu ekosistem padang
lamun yang terlindung dalam teluk atau laguna (Ahmed et al., 2018; Hair
et al., 2016) yang pada umumnya didominasi oleh lamun jenis Enhalus
acoroides dengan diselingi jenis lamun lainnya seperti Cymodocea
rotundata, Cymodocea serrulata dan Syringodium sp. Thalassia
hemprecchii (Ceccarelli et al., 2018; Hair et al., 2016; Mercier et al.,
2000a) (Gambar 5.1). Ekosistem padang lamun yang sehat, terutama
yang berdampingan dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang,
memiliki kelimpahan predator yang rendah (terutama kepiting, ikan
karnivora, udang, moluska karnivora dan bintang laut), aman dari
tekanan antropogenik akibat aktivitas manusia serta jauh dari intrusi air
tawar dari sungai atau air tanah, serta memiliki curah hujan relatif rendah
sepanjang tahun merupakan pilihan yang baik untuk memulai kegiatan
budidaya.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 57


Meskipun demikian, tentunya tidak semua padang lamun sesuai
untuk budidaya teripang pasir mengingat banyaknya variabel yang dapat
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup teripang
pasir. Ceccarelli et al. (2018) melaporkan bahwa setidaknya terdapat tiga
karakteristik kunci habitat untuk budidaya teripang pasir yaitu
kedalaman, kondisi tutupan vegetasi lamun, serta ukuran partikel dan
kandungan nutrien pada substrat budidaya. Perairan yang dangkal dengan
kedalaman kurang dari 2 m serta kondisi vegetasi lamun dengan
kepadatan sedang baik untuk budidaya teipang karena memungkinkan
cahaya matahari mencapai substrat sehingga mendukung pertumbuhan
lamun dan mikroalga, memungkinkan pergerakan teripang pada sedimen
secara leluasa namun tetap memberikan perlindungan dari predator
(Ceccareli et al., 2018; Mercier et al., 2000a). Selain itu, jika ditinjau
dari aspek teknis perairan yang relatif dangkal dapat memudahkan
aktivitas budidaya seperti pemasangan keramba atau kandang serta
perawatan dan pemantauan pertumbuhan biota (Purcell et al., 2012).

Gambar 5.1. Kondisi padang lamun untuk budidaya teripang: a) Lamun


jenis Enhalus acoroides dan Cymodocea sp. dengan
kepadatan sedang tumbuh pada substrat pasir berlumpur; b)
Juvenil teripang yang hidup di padang lamun. (Foto: M.
Firdaus).

58 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


Kondisi sedimen merupakan faktor lain yang sangat berpengaruh
untuk keberhasilan budidaya teripang pasir. Teripang pasir dilaporkan
memiliki kebiasaan membenamkan diri pada siang hari dan muncul ke
permukaan pada sore hari (Battaglene et al., 1999; Mercier et al., 1999;
Purcell, 2010). Perilaku ini terkait strategi untuk menghindari pemangsa
(Mercier et al., 1999) dan perilaku makan untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi. Tingkah laku membenamkan diri pada teripang juga terkait
dengan siklus pasang surut terutama untuk teripang pasir yang menetap
pada zona intertidal, dimana teripang umumnya akan membenamkan diri
ketika surut dan keluar ke permukaan saat air mulai pasang.
Juvenil teripang pasir dilaporkan cenderung memilih substrat
pasir berlumpur untuk membenamkan diri dan mencari makan (Mercier
et al., 2000b; Altamirano et al., 2017). Pasir berlumpur merupakan
substrat yang dianggap ideal karena tidak hanya memiliki kandungan
bahan organik yang cukup namun juga mudah untuk dikonsumsi dan
membenamkan diri kedalamnya (Hamel, 2001). Teripang diketahui lebih
menyukai partikel sedimen yang lebih kasar dibandingkan partikel
berukuran halus (Hair et al., 2016; Altamirano et al., 2017) dan tentunya
hanya memiliki sedikit pecahan karang (Purcell et al., 2012). Butiran
pasir berukuran antara 100 – 300 µm dengan kandungan nutrien dan
bahan organik cukup tinggi, terutama karbon (C) organik dan memiliki
kelimpahan mikrobiota bentik sebagai pakan teripang merupakan substrat
yang baik (Ceccareli et al., 2018). Selain itu, Tsiresy et al. (2011)
menemukan bahwa kegemburan substrat merupakan aspek penting yang
dapat meningkatkan laju pertumbuhan karena memudahkan teripang
mengambil makanan yang berada pada substrat, sehingga penggemburan
substrat budidaya merupakan hal yang dianjurkan.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 59


Gambar 5.2. Lokasi budidaya teripang pasir di Teluk Sunsak, Lombok
Timur: a). Posisi Teluk Sunsak di Pulau Lombok; b)
Kondisi system teluk di Jeriwaru; c) Lokasi keramba
budidaya teripang di Teluk Sunsak. (Foto: Google Map);
d) Kondisi keramba teripang pasir saat surut dengan
kedalaman air 20-30 cm; e) Kondisi pasang dengan
kedalaman air + 150 cm. (Foto: M. Firdaus).

Aspek lain yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan


budidaya teripang pasir di laut adalah aksesibilitas dan aspek sosial.
Lokasi yang mudah dijangkau oleh pembudidaya dan memungkinkan
pengangkutan material dan bahan kegiatan budidaya serta pemasaran
sangat diutamakan karena dapat mengurangi biaya transpotasi.
Sedangkan untuk aspek sosial karateristik yang diharapkan adalah aman
dari pencurian, merupakan lahan budidaya memiliki konsesi atau izin
dari pemerintah lokal dan masyarakat setempat sehingga terhindar dari
potensi konflik. Salah satu lokasi uji coba pembesaran teripang di laut
yang dilaksanakan oleh LIPI berada di Teluk Sunsak, Lombok Timur
(Gambar 5.2). Lokasi ini dianggap ideal secara biologis, teknis, maupun
60 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)
dari aspek sosial ekonomi dan memenuhi hampir seluruh persyaratan
pada Tabel 5.1. Pembesaran di lokasi ini dilaksanakan oleh masyarakat
Dusun Sunut, Desa Sekaroh, Kecamatan Jerowaru, Kab. Lombok Timur
yang berlokasi sangat dekat dengan lokasi uji coba sehingga sangat
memudahkan pemantauan dan pemeliharaan.
Selain pemilihan lokasi, jenis konstruksi wadah budidaya teripang
di laut merupakan hal yang perlu dipertimbangkan. Jenis wadah dapat
sangat bervariasi sesuai dengan kondisi perairan dan ketersediaan bahan.
Meskipun demikian prinsip utama dari wadah budidaya tersebut adalah
mampu menjaga teripang agar tidak keluar/hilang, mencegah serangan
predator, memungkinkan terjadinya sirkulasi air, tahan terhadap
dinamika perairan dan perubahan cuaca, bahan mudah didapat dengan
harga dan biaya konstruksi yang terjangkau. Dewasa ini, budidaya
teripang di laut pada umumnya menggunakan pilihan wadah berupa
kandang atau keramba tancap dengan karakteristik sebagaimana
tercantum pada Tabel 5.2. Jenis wadah tesebut dipilih terutama karena
sesuai dengan sifat hidup teripang pasir sebagai organisme bentik yang
hidup di dasar perairan.
Pemilihan jenis wadah pemeliharaan perlu disesuaikan dengan
kondisi perairan untuk mengurangi resiko kerusakan wadah yang
berakibat pada kegagalan budidaya. Sebagai contoh, pada perairan
dengan pasang surut dan arus yang cukup kuat pada musim tertentu
budidaya dapat dilaksanakan pada kurungan, sedangkan untuk perairan
yang lebih tenang sepanjang tahun dapat menggunakan keramba tancap.
Material utama keramba atau kurungan pada umumnya terdiri atas kayu
atau bambu sebagai tiang, papan kayu sebagai pembatas dasar, serta
jaring.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 61


Tabel 5.2. Karakteristik utama keramba dan kurungan untuk
pemeliharaan teripang pasir.
Karakteristik Keramba Kurungan
Bentuk Berbentuk serupa pagar, Berbentuk serupa kandang
mengelilingi area yang menutupi areal
budidaya, bagian atas budidaya, seluruh bagian
umumnya tidak tertutup. wadah tertutup. Biasanya
Ketinggian keramba memiliki ketinggian yang
umumnya melebihi relatif rendah < 1 m untuk
pasang tertinggi di menjamin kekompakan
struktur.
Bahan Kayu atau bambu sebagai Kayu atau bambu sebagai
tiang, papan kayu sebagai tiang, papan kayu sebagai
pembatas dasar, serta pembatas dasar, serta
jaring jaring
Kondisi Lokasi Sesuai untuk lokasi Sesuai untuk lokasi
terlindung dengan arus dengan arus dan
dan gelombang yang gelombang relatif kuat
relatif tenang sepanjang dengan resiko kondisi
tahun serta kecepatan ekstrem saat musim
angin rendah. tertentu atau berpotensi
dilalui badai /siklon tropis
Aspek Teknis Bentuk yang tinggi Ruang tersedia relatif
memungkinkan adanya sempit, cukup menyulitkan
ruang yang cukup untuk untuk pemeliharaan,
proses pemeliharaan dan perawatan harus lebih
panen, perawatan lebih rutin
mudah
Pemasangan Lebih mudah dipasang Pemasangan lebih sulit
untuk area budidaya yang untuk area budidaya yang
luas luas
Perlindungan Masih berpeluang Peluang masuk predator
terhadap dimasuki predator dari sisi lebih rendah karena semua
predator atas yang tidak tertutup permukaan tertutup
Skala Dapat dilaksanakan pada Dapat dilaksanakan pada
pemeliharaan skala kecil hingga skala skala kecil hingga skala
besar menengah

62 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


Faktor yang perlu diperhatikan dalam budidaya menggunakan
keramba atau kurungan adalah daya dukung sistem budidaya tersebut
yang dipengaruhi oleh variabel ukuran keramba atau kurungan, padat
tebar teripang dan daya dukung lingkungan utamanya kualitas sedimen
dan kualitas air laut (Purcell & Simutoga, 2008; Robinson & Pascal,
2012; Junio-Menez et al., 2016). Setelah memastikan lokasi yang akan
dipilih untuk budidaya teripang dan mengidentifikasi karakter perairan
tersebut maka dapat diputuskan tipe wadah budidaya apa yang cocok.
Prinsip pemasangan keramba tancap maupun kurungan tidak terlampau
berbeda, hal utama yang harus diperhatikan adalah pemasangan
patok/tiang yang harus tertambat kuat serta bagian bawah jaring pada
seluruh jaring samping harus tertanam sedalam 15-20 cm guna
menghindari keluarnya teripang dari wadah pemeliharaan (Purcell &
Simutoga, 2008; Robinson & Pascal, 2012; Hair et al., 2016) ketika
melaksanakan aktivitas menimbun diri di pada substrat (Gambar 5.3).

Gambar 5.3. Kegiatan pemasangan wadah budidaya teripang pasir di


laut: a) Pemasangan kandang (Foto: S.A.P. Dwiono);
b) Pemasangan kurungan tancap (Foto: M. Firdaus).
2.2. Konstruksi budidaya di tambak
Teripang pasir hidup di daerah pesisir yang berlumpur sehingga
masih relatif sesuai dengan kondisi budidaya di tambak (Agudo, 2012;
Hamel et al., 2001). Hal ini kontras jika dibandingkan dengan jenis
teripang lain yang umumnya hidup pada ekosistem terumbu karang dan

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 63


tidak bisa mentoleransi kondisi tambak terutama karena substrat yang
berlumpur dan adanya perbedaan kualitas air (Purcell et al., 2012).
Budidaya teripang pasir pada dasarnya dapat dilaksanakan di tambak
bekas budidaya udang ataupun ikan. Meskipun demikian, tambak
dangkal dengan substrat berlumpur tidak sesuai untuk budidaya teripang
pasir (Junio-Menez 2016; Altamirano et al., 2017). Tipe tambak pasang
surut dengan substrat berpasir atau pasir berlumpur dengan kedalaman
dan sirkulasi air yang baik seperti di Vietnam merupakan tambak yang
ideal untuk budidaya teripang pasir (Duy, 2012). Secara ringkas,
karakteristik lokasi tambak yang sesuai untuk budidaya teripang pasir,
diuraikan dalam Tabel 5.3.

Tabel 5.3. Kondisi lokasi yang sesuai untuk budidaya teripang pasir di
tambak

No Kriteria Lokasi Kondisi Yang Diharapkan


1 Kondisi geografis Berada di daerah pesisir yang terlindung dari
arus dan gelombang ekstrem berupa teluk,
laguna atau selat yang terlindung, kondisi
perairan laut di sekitarnya relatif baik dan
jauh dari intrusi air tawar dari sungai atau air
tanah
2 Konstruksi Kondisi tambak baik, pematang kokoh,
saluran dan pintu air tidak mengalami
kebocoran, memiliki sirkulasi air yang baik
diutamakan dapat dioperasikan dengan pasang
surut air laut harian.
4 Kedalaman Kedalaman tambak berada pada kisaran 50
tambak cm (saat surut terendah) dan maksimum 150
cm (saat pasang tertinggi). Kedalaman tambak
dapat dipertahankan dengan baik.
5 Kondisi substrat Butiran pasir berlumpur (antara 100 – 300 µm)
dengan kandungan nutrien dan bahan organik
cukup tinggi, terutama karbon (C) organik.

64 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


6 Predator dan Kelimpahan predator yang rendah terutama
kompetitor kepiting, ikan karnivora, udang, moluska
karnivora, isopoda, dan amphipoda.
7 Kualitas air Salinitas stabil sepanjang tahun pada kisaran
30-35 ppt, oksigen terlarut > 5 mg/L, pH 8-9,
suhu 26-30oC, perairan mesotrofik, tidak
tercemar oleh sampah dan limbah dari aktivitas
antropogenik.
8 Kondisi iklim Curah hujan relatif rendah, bukan merupakan
lokasi rawan siklon/badai.
9 Aksesibilitas Mudah dijangkau oleh pembudidaya dan
memungkinkan pengangkutan material dan
bahan kegiatan budidaya serta pemasaran.
10 Aspek sosial Aman dari pencurian, diutamakan lahan
budidaya adalah hak milik atau sewa yang jelas
legalitasnya.

Dari keseluruhan parameter yang perlu dipertimbangkan dalam


pemilihan lokasi, hal utama yang harus diperhatikan adalah bahwa
kualitas air laut perairan sekitar tambak harus dalam keadaan yang baik
dengan salinitas yang dapat dipertahankan secara stabil pada kisaran 30-
35 ppt sepanjang tahun baik pada musim hujan maupun pada musim
kemarau. Budidaya teripang yang memerlukan waktu selama 6-12 bulan
hingga mencapai ukuran panen menyebabkan faktor resiko kegagalan
akibat perubahan salinitas perlu dimitigasi lebih awal. Pada musim hujan
salinitas di tambak cenderung terus menurun akibat masuknya air hujan
sementara pada musim kemarau rendahnya kelembaban udara dan
intensitas sinar matahari yang kuat menyebabkan tingginya laju
evaporasi air tambak yang berakibat pada peningkatan salinitas.
Perubahan salinitas yang bersifat ekstrem dapat mengakibatkan
kegagalan dalam budidaya (Pitt el al., 2001; Lavitra et al., 2009).
Teripang pasir diketahui masih mampu bertahan pada salinitas minimum

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 65


20 ppt (Mercier et al., 1999; Pitt & Duy, 2004) dan salinitas maksimum
45 ppt (Firdaus et al, data belum dipublikasikan). Meskipun demikian,
pertumbuhan optimum teripang pasir pada fase pembesaran diperoleh
pada salinitas 30-34 ppt (Mills et al., 2012).
Sebelum melakukan kegiatan budidaya di tambak, langkah
pertama yang harus diperhatikan adalah kondisi infrastuktur serta
pengelolaan dasar dan air tambak. Kondisi infrastuktur tambak yang
meliputi kondisi saluran air, pintu air, dan pematang harus dipastikan
berada dalam kondisi baik (Gambar 5.4). Jika terdapat kebocoran pada
bagian saluran, pematang, dan pintu tambak maka perlu dilakukan
penambalan dan perbaikan sesuai dengan skala kerusakan. Perbaikan
harus dilakukan dengan mempertimbangkan siklus pasang surut untuk
mengantisipasi kemungkinan terjadinya limpasan air saat pasang dan
resiko kebocoran susulan. Selain itu, pada dasar tambak sebaiknya
dilengkapi caren dengan kedalaman minimal 20 cm dengan posisi
mengelilingi sisi dalam pematang.
Langkah selanjutnya adalah pengelolaan dasar tambak untuk
menciptakan kondisi optimum substrat sebagai tempat hidup teripang
pasir. Pengelolaan dasar tambak meliputi pengolahan tanah, pengapuran
dan pemupukan. Pengolahan tanah adalah pengeringan tanah dasar
tambak, membuang endapan lumpur berwarna hitam di dasar tambak,
pembalikan dasar tambak, dan pencucian dasar tambak dengan mengisi
terlebih dahulu dengan memasukkan air dalam pelataran minimal satu
kali dalam 24 jam, selanjutnya air dibuang. Apabila tanah dasar tambak
memiliki pH yang relatif asam, maka diperlukan pengapuran
menggunakan kapur dolomit [CaMg(CO3)2], kapur pertanian (CaCO3),
atau kapur tohor [Ca(OH)2] ke dasar tambak pada saat pengeringan
hingga pH tanah berada pada kondisi netral.

66 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


Gambar 5.4. Tambak budidaya teripang pasir: a) Tambak budidaya
teripang di Dusun Empol, Lombok Barat; b) Tambak
budidaya teripang di Tambak Diskelkan Lombok Timur,
Pijot, Lombok Timur (Foto: M. Firdaus).

Pemupukan bertujuan menyuburkan tanah untuk menumbuhkan


pakan alami berupa klekap, lumut, dan plankton. Pakan alami
ditumbuhkan dengan menggunakan pupuk organik berupa pupuk
kandang dan atau pupuk anorganik berupa urea (sumber nitrogen),
TSP/SP 36 (sumber posfat), maupun pupuk majemuk seperti NPK. Dosis
pemupukan perlu disesuaikan dengan kondisi nitrogen dan pospat di
tambak dan perairan. Jika tambak dan perairan relatif subur, jumlah
pupuk yang digunakan bisa lebih rendah. Pengisian air dilakukan setelah
pemupukan selesai dengan membuka pintu air yang telah dilengkapi
dengan saringan untuk mengurangi potensi masuknya predator,
kompetitor, maupun organisme penyebab penyakit. Pengisian dan
pergantian air tambak sebaiknya dapat dilakukan dengan mengandalkan
pasang surut sepanjang tahun. Selain itu pengisian air dapat pula dengan
menggunakan pompa air, meskipun tentunya dapat menambah biaya
produksi.
Budidaya teripang pasir di tambak dapat dilaksanakan secara
bergantian dengan budidaya biota lain terutama udang (Pitt & Duy, 2004;
Duy, 2012). Selain itu, budidaya teripang pasir di tambak juga dapat
ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 67
dilaksanakan secara polikultur antara lain dengan komoditas ikan
bandeng Chanos chanos, rumput laut Gracilaria sp. (Firdaus et al.,
2017), ikan kakap putih Lates calcalifer, dan ikan bawal bintang
Trachinotus blochii (Mills et al., 2012). Teripang pasir diketahui dapat
memanfaatkan limbah dari aktivitas akuakultur secara terbatas misalnya
berupa feses dari biota budidaya (Watanabe, 2012). Meskipun demikian,
keberadaan kandungan lain dalam sedimen tambak seperti senyawa
sulfida dan nitrogen dapat beracun bagi teripang (Altamirano et al.,
2017) sehingga pengelolaan tambak tetap perlu dilaksanakan untuk
mengurangi resiko kegagalan.

3. Penebaran Benih dan Pengukuran Pertumbuhan


Benih teripang pasir untuk kegiatan pembesaran dapat diperloleh
dari benih alam maupun benih hasil budidaya di panti benih. Saat ini,
beberapa panti benih di Indonesia telah mampu memproduksi benih
teripang secara massal antara lain Balai Besar Riset Budidaya Laut dan
Penyuluhan Perikanan (BBRBLPP) Gondol, KKP dan Balai Bio Industri
Laut (BBIL), LIPI. Penggunaan benih hasil budidaya sebaiknya tetap
memperhatikan aspek keragaman genetik, dimana induk yang digunakan
untuk memproduksi benih sebaiknya berasal dari kelompok yang sama
dengan populasi alami di lokasi budidaya untuk mencegah dampak
negatif akibat terlepasnya individu hasil budidaya ke populasi alam
(Ravago-Gantaco & Kim, 2019).
Benih teripang yang ditebar sebaiknya berukuran minimum 15 g
agar relatif aman dari resiko serangan predator seperti ikan dan kepiting
(Battaglene, 1999; Lavitra, 2008; Eckhaut et al., 2008). Meskipun
demikian, penggunaan benih berukuran lebih besar berukuran 50 g/ekor
lebih dianjurkan agar dapat dipanen secara parsial setelah 6 bulan
pemeliharaan. Apabila benih dengan ukuran tersebut tidak tersedia, dapat

68 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


menggunakan benih dengan ukuran lebih kecil (<5 g) dengan catatan
harus didederkan terlebih dahulu selama kurang lebih 1-3 bulan,
sehingga pengadaan benih harus dilakukan lebih awal (Gambar 5.5).

Gambar 5.5. Benih teripang pasir untuk pembesaran: a) Benih


berukuran <1 g yang dihasilkan panti benih BBIL LIPI;
b) Benih berukuran + 5 g/ekor yang telah didederkan di
Tambak Diskelkan Lombok Timur, Pijot, Lombok
Timur; c) Benih siap tebar berukuran minimum 15
g/ekor (Foto: M. Firdaus).

Jumlah benih teripang yang diperlukan untuk luasan 1 hektar


adalah minimum 10.000 ekor dengan asumsi bahwa daya dukung tambak
atau keramba adalah 250 g/m2 sehingga padat tebar adalah 1 ekor/m2.
Tambak dan keramba/kandang di laut dilaporkan dapat memiliki daya
dukung lingkungan potensial yang lebih tinggi dibandingkan sistem
alami, seperti dilaporkan bahwa daya dukung dapat mencapai >500 g/m2
pada keramba (Lavitra et al., 2010; Pitt et al., 2001) dan 434 g/m2 pada
tambak (Agudo, 2012).
Benih teripang sebaiknya ditebar pada minggu ke-2 setelah proses
persiapan wadah budidaya selesai. Selama pemeliharaan, pemantauan
pertumbuhan dilaksanakan secara rutin setiap 2 minggu sekali dengan
cara menimbang dan mengukur panjang beberapa biota sebagai sampel
dari populasi yang dipelihara di tambak (Gambar 5.6). Selain itu
dilaksanakan pemantauan kelangsungan hidup dengan mengobservasi
jumlah biota dalam wadah pemeliharaan.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 69


Gambar 5.6. Kegiatan sampling pertumbuhan teripang pasir di Tambak
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Barat
(Foto: M. Firdaus).

Pertumbuhan dan kelangsungan hidup teripang dalam berbagai


sistem budidaya sangatlah bervariasi (Tabel 5.4). Secara umum
kelangsungan hidup teripang cenderung lebih tinggi dalam sistem tambak
dibandingkan dengan pemeliharaan di laut. Hal ini disebabkan tambak
merupakan sistem budidaya yang relatif tertutup dan lebih mudah untuk
dikelola dibanding dengan budiaya di laut. Pertumbuhan teripang pada
keramba dan kurungan budidaya di laut secara umum juga lebih lambat
dibandingkan dengan yang dipelihara tambak, diduga karena sedimen
alami tidak diperkaya oleh sisa pakan dan feses dari biota dan terdapat
lebih banyak kompetitor maupun predator (Purcell et al., 2012).
Meskipun demikian, kecenderungan tersebut tidak selalu konsisten
karena dalam beberapa contoh kegiatan budidaya seperti pada Tabel 5.4,
diketahui bahwa pemeliharaan di laut juga dapat memiliki pertumbuhan
dan kelangsungan hidup yang lebih baik. Adanya perbedaan tersebut
diduga turut dipengaruhi oleh berbagai faktor selain sistem budidaya
antara lain kondisi lokasi budidaya, metode pemeliharaan, dan
sumberdaya manusia yang melaksanakan kegiatan budidaya.
Tabel 5.4. Data pembesaran teripang pasir pada berbagai sistem budidaya

70 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


Bobot Laju
Waktu Padat Kelangsun
Sistem awal; Pertumbuhan
Pemeliha tebar gan hidup Sumber
Budidaya bobot Spesifik (%
raan (hari) (ekor/m2) (%)
akhir (g) bobot/hari)

Tambak 365 11,7; 400 0,8 0,96 75 Bell et al.


(2007)
Tambak 420 2; 350 1 0,83 80 Duy (2012)
Tambak 305 10; 310 1 0,97 85 Duy (2012)
Tambak 360/390 0,9/11,7; 1,6 0.90/1,01 69/73 Agudo
325/395 (2012)

Tambak 150 10/150 1 1,81 70 Firdaus et al.


(data belum
dipublikasik
an)
Keramba 365 8-20; 150 18 0,6-0,85/ 20 Purcell &
1-1,8 Simutoga
(2008)
Keramba 250 15; 350 1 1,25/1,4 80 Robinson &
Pascal
(2012)
Keramba 162 21,9; 0,6 0,52 80 Junio-Menez
106,20 et al. (2016)
Keramba 110 10; 95,9 5 2,08 40 S.A.P.
Dwiono,
(komunikasi
pribadi).
Kurungan 216 40; 47 4,4 0,22 53 Junio-Menez
et al. (2016)
Kurungan 124 20,6; 10 1,58/1,0 97,15 Ahmed et al.
147,05 (2018)

4. Penyediaan Pakan
Untuk meningkatkan daya dukung lingkungan dalam budidaya
teripang dapat dilakukan penambahan pakan dengan menggunakan
berbagai bahan antara lain pakan udang komersial (Mills et al., 2012),
rumput laut Sargassum (Liu et al., 2010; Sinsona & Junio-Menez, 2018),
bentos (Sembiring et al., 2017), limbah padat akuakultur (Robinson et
al., 2019), pakan formulasi (Ahmed et al., 2018) serta beberapa bahan
ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 71
yang biasa digunakan dalam pembesaran teripang secara tradisional
seperti kotoran ternak, pupuk kompos, ampas tahu, dan dedak.
Prinsip pemberian pakan dalam budidaya teripang dapat
digolongkan menjadi dua pendekatan, yang pertama adalah menyediakan
bahan pakan yang dapat dikonsumsi dan dicerna oleh teripang (Ahmed et
al., 2018), yang kedua adalah menyediakan bahan yang dapat
menginduksi pertumbuhan sumber pakan alami teripang pada substrat
berupa mikroorganisme bentos (Sinsona & Junio-Menez, 2018). Pakan
biasanya diberikan dalam jumlah 3-5% dari biomassa teripang dalam
wadah budidaya (Ahmed et al., 2018). Pemberian pakan dapat dilakukan
dengan cara menebar pakan secara langsung pada substrat atau
dicampurkan secara merata dengan substrat (Sinsona & Junio-Menez,
2018).
Beberapa penelitian telah mengungkap bahwa karakteristik
sedimen seperti kandungan bahan organik, mikroalga, bakteri, dan
ukuran partikel substrat adalah faktor yang mungkin berpengaruh secara
signifikan terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup teripang pasir
(Hamel et al., 2001; Lavitra et al., 2010; Plotieau et al., 2014a,b; Slater
& Jeffs, 2010). Penambahan bahan pakan menyebabkan daya dukung
lingkungan meningkat dan teripang pasir dapat mengonsumsi particulate
organic matter dan mengekstrak nutrien dari sedimen secara efisein
untuk pertumbuhan. Hal ini dibuktikan oleh keberadaan mikroba,
mikroalga dan bahan organik lebih tinggi pada substrat yang diperkaya
dengan Sargassum (Sinsona & Junio-Menez, 2018).
Kualitas dan ketersediaan pakan yang lebih baik akan
memberikan waktu bagi teripang pasir untuk membenamkan diri lebih
lama pada siang hari karena waktu yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi lebih singkat. Hal ini memberikan keuntungan

72 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


tambahan berupa pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang lebih baik
karena biota cenderung membenamkan diri saat siang hari sehingga
terhindar dari predator (Sinsona & Junio-Menez, 2018). Meskipun dapat
meningkatkan daya dukung lingkungan yang berakibat pada
meningkatnya padat tebar, pemberian pakan atau bahan penyubur
substrat harus dilaksanakan secara cermat untuk menghindari
pencemaran bahan organik. Teripang pasir pada dasarnya memiliki
kemampuan bioremediasi namun overfeeding dapat berakibat pada
peningkatan kandungan bahan organik melebihi batas toleransi sehingga
menyebabkan kematian (Mills et al., 2012) maupun munculnya biota
pengganggu seperti isopoda dan amphipoda.

5. Pengelolaan Kualitas Air pada Budidaya Teripang Pasir


Salah satu faktor penentu untuk menjaga biota tumbuh dengan baik
adalah memastikan terjadinya sirkulasi air yang baik. Pada budidaya
teripang pasir di laut, air laut berganti setiap saat dipengaruhi siklus
alami arus, gelombang, dan pasang surut. Hal yang dapat dilakukan
untuk menjaga sirkulasi tetap baik adalah dengan secara rutin
membersihkan jaring permukaan keramba/kurungan dari kotoran maupun
biota penempel (Robinson & Pascal, 2009; Ahmed et al., 2018).
Pada budidaya teripang pasir di tambak terdapat resiko terjadinya
kematian akibat perubahan salinitas (penurunan salinitas di musim hujan
dan peningkatan salinitas di musim kemarau) serta terjadinya stratifikasi
pada air tambak (Agudo, 2006; Pitt & Duy, 2004). Untuk mengurangi
resiko perubahan salinitas, maka diperlukan pergantian air sehingga
salinitas tetap dapat dipertahankan pada kisaran 30-35 ppt. Oleh karena
itu, tambak sebaiknya memiliki saluran irigasi yang baik dan tetap
memungkinkan terjadinya pergantian air dalam berbagai kondisi sikus
pasang surut (Mills et al., 2012).
ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 73
Pergantian air yang baik adalah minimum 50% volume perhari
agar air lama dapat berganti dengan air baru yang membawa bahan
organik tersuspensi serta biota renik yang dapat dimanfaatkan sebagai
pakan oleh biota dalam tambak. Sirkulasi air mengikuti siklus pasang
surut secara teratur sebenarnya dianggap cukup untuk mengatasi
permasalahan stratifikasi (Duy, 2012). Meskipun demikian, apabila
percampuran air karena pengaruh pasang surut dirasa kurang
berpengaruh, upaya lain seperti penggunaan kincir, pompa air laut, atau
blower dapat dilakukan untuk mengatasi terjadinya stratifikasi walaupun
akan disertai dengan peningkatan biaya produksi (Mills et al., 2012,
Purcell et al., 2012).
Permasalahan lain yang umum dijumpai di tambak adalah
terjadinya ledakan populasi alga berfilamen dalam tambak yang dapat
mengurangi laju pertumbuhan atau bahkan membunuh teripang (Agudo,
2012; Hair & Johnston, 2008). Kondisi tersebut dapat diatasi dengan
merangsang pertumbuhan mikroalga pada kolom perairan (Purcel et al.,
2012) maupun melepas biota pemakan alga filamen seperti ikan bandeng
(Firdaus et al., 2017)

6. Hama dan Penyakit pada Budidaya Teripang Pasir


Kegiatan budidaya pada umumnya tidak terlepas dari resiko
gangguan hama dan penyakit. Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan
memilih lokasi dengan kualitas perairan yang baik dengan intensitas
predator dan kompetitor yang rendah, serta melalui penerapan aspek
biosecurity berupa desinfeksi (pada budidaya tambak) dan pembersihan
lokasi budidaya dari organisme pengganggu secara rutin dan
berkelanjutan.
Teripang pada dasarnya jarang mengalami serangan penyakit.
Predasi merupakan penyebab utama kematian juvenil setelah dilepas ke

74 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


alam (Bell et al., 2005; Robinson & Pascal, 2012). Predator teripang
yang diketahui meliputi jenis-jenis dari krustasea, gastropoda (terutama
dari genus Tonna sp.), asteroid, ikan, burung, and beberapa mamalia laut
(Dance et al., 2003; Zamora & Jeffs, 2013) yang dapat menyebabkan
luka bahkan kematian pada teripang. Resiko predasi terkait dengan
ukuran teripang, dimana ukuran yang lebih besar cenderung memiliki
peluang hidup yang lebih baik (Bell et al., 2005; Purcell & Simutoga,
2008). Upaya untuk mengurangi potensi predasi dapat dilakukan antara
lain melalui 1) penggunaan benih berukuran besar; 2) perbaikan metode
penebaran; 3) pembasmian predator di lokasi budidaya; 4) melindungi
teripang dari predator (Hair et al., 2016). Pencegahan pada budidaya di
tambak dilakukan dengan melakukan pengelolaan setiap pergantian
siklus melalui pengeringan dan pengapuran, jika diperlukan sebelum
pengisian dilakukan sterilisasi dengan saponin dan menyaring air untuk
mencegah biota predator masuk.
Kepiting merupakan salah satu predator yang sangat perlu
diwaspadai (Pitt & Duy 2004; Lavitra, 2008; Tsiresy et al., 2011).
Beberapa studi melaporkan bahwa kepiting terutama dari genus
Thalamita sp. telah diidentifikasi sebagai predator yang menyerang
teripang pasir terutama yang berukuran lebih kecil dari 50 g (Lavitra et
al., 2009). Serangan hama kepiting sangat fatal karena dapat
mengakibatkan hingga 100% kematian dalam jangka waktu yang singkat.
Cara mengatasi serangan kepiting, antara lain dengan melakukan
penangkapan secara manual maupun menggunakan perangkap (Tsiresy et
al., 2011), cara tersebut juga dapat digunakan untuk mengatasi udang,
ikan maupun predator besar lainnya.
Selain predator, serangan parasit juga perlu diwaspadai. Parasit
yang diketahui menyerang teripang pasir antara lain isopoda (Lavitra et

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 75


al., 2009; Junio-Menez et al., 2016), amphipoda, dan moluska (J.P.
Altamirano, komunikasi pribadi). Isopoda dan amphipoda dapat muncul
jika kondisi lingkungan mendukung kehidupan biota tersebut, antara lain
dipengaruhi oleh musim dan terjadinya penumpukan bahan organik di
dasar perairan. Gejala serangan isopoda dan amphipoda umumnya berupa
luka terbuka akibat gigitan pada integumen teripang pasir. Dalam jangka
waktu yang panjang, luka akan semakin membesar dan dapat
mengundang infeksi oleh bakteri oportunistik yang selanjutnya
menyebabkan lesi dan kerusakan pada tubuh teripang pasir.
Penyebab lain kematian pada teripang adalah penurunan salinitas
(Lavitra et al., 2009) maupun peningkatan salinitas di luar batas toleransi
fisiologis. Lavitra et al. (2009) melaporkan bahwa saat teripang berada
pada kisaran salinitas 20-25 ppt dapat terjadi stress yang mengakibatkan
penurunan imunitas, perubahan fungsi fisiologi, serta dalam jangka
waktu yang panjang dapat mengakibatkan penurunan laju pertumbuhan
dan kematian. Pada salinitas lebih rendah dari 20 ppt, teripang dapat
mengalami kematian jika terpapar dalam jangka waktu kurang dari 48
jam. Dengan demikian penurunan salinitas perlu diwaspadai.
Adanya luka pada tubuh teripang atau buruknya kondisi air dalam
wadah budidaya dapat menyebabkan infeksi. Infeksi bakteri pada juvenil
dan teripang dewasa menyebabkan lesi pada kulit dan kerusakan dinding
tubuh (Agudo, 2012; Eeckhaut et al., 2004; Hair & Johnston, 2008;
Purcell & Eeckhaut, 2005). Penyakit akibat bakteri tergolong sangat
menular (Eeckhaut et al., 2004). Pencegahan dan pengobatan terbaik
adalah dengan memindahkan teripang sakit ke dalam air laut yang bersih
dan bersirkulasi baik (Mercier et al., 2012). Upaya pengobatan lainnya
adalah dengan merendam teripang dalam larutan antibiotik (Morgan,
2000) atau formalin (Eeckhaut et al., 2004).

76 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


7. Panen, Pasca Panen dan Pemasaran Teripang Pasir
Teripang pasir sebaiknya dipanen pada ukuran minimum 300
g/ekor untuk memastikan harga jual yang diperoleh relatif baik. Hal ini
disebabkan karena teripang pasir dipasarkan sebagai hidangan eksklusif
sehingga semakin besar ukuran dan semakin baik kualitas hasil
olahannya maka akan semakin tinggi pula harganya (Purcell, 2014a;
Purcell et al., 2018). Ukuran tersebut dapat dicapai setelah 6-8 bulan
pemeliharaan. Panen dilaksanakan dengan cara mengambil teripang
secara manual menggunakan tangan (Gambar 5.7). Teripang selanjutnya
diletakkan dalam wadah berisi air secara hati-hati, tidak terkena matahari
secara langsung, dan tidak ditumpuk untuk mencegah terjadinya luka
pada tubuh. Apabila tidak langsung diolah, teripang sebaiknya disimpan
dalam wadah berisi es (Purcell, 2014b).

Gambar 5.7. Teripang hasil budidaya: a) Pengumpulan teripang pasir


dengan cara pengambilan manual; b) Teripang pasir yang
diperlihara dalam keramba di Teluk Sunsak, Lombok
Timur; c) Teripang pasir yang diperlihara dalam tambak di
Tambak Diskelkan Lombok Timur, Pijot, Lombok Timur.
(Foto: M. Firdaus).
Secara umum tahapan pengolahan teripang segar menjadi bache-
de-mer atau teripang kering adalah sebagai berikut: 1) Pengeluaran isi
perut; 2) Pencucian; 3) Penggaraman; 4) Perebusan; 5) Peluruhan zat
kapur pada permukaan tubuh secara mekanis atau enzimatis; 6)
Pengasapan (Opsional, sesuai permintaan konsumen); 7) Pengeringan
dengan oven atau sinar matahari; dan 8) Pengemasan (Purcell, 2014b).

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 77


Dalam praktek di lapangan, urutan dan teknis proses pengolahan tersebut
dapat sangat bervariasi sesuai dengan ketersedian bahan, sarana dan
prasarana pengolahan, maupun pengetahuan dan kebiasaan pengolah.
Menurut SNI 01-2732.1:2009, kenampakan teripang kering yang
berkualitas adalah bekas belahan tertutup baik, serat-serat dalam utuh dan
kulit luar memiliki tekstur keras, padat, kompak dan liat. Warna teripang
kering yang diolah dengan baik juga akan terlihat hitam merata tanpa
noda putih kapur di seluruh permukaan tubuhnya. Teripang kering
diperoleh dari bahan baku basah dengan persentase rendemen 9-12%
(Hair et al., 2018).

Gambar 5.8. Proses pengeringan teripang: a) Proses pengeringan


teripang (Purcell, 2014b); b) Teripang yang telah direbus; c)
Teripang kering hasil olahan (Foto: E.A. Siahaan)

Teripang pasir kering memiliki umur simpan yang sangat


panjang jika dijaga dalam kondisi baik. Selain itu produk ini juga
memiliki volume kecil dengan nilai tinggi sehingga memudahkan dalam
proses perdagangan, bahkan sangat umum untuk diperdagangkan lintas
negara. Di dalam negeri, jual beli dilaksanakan dalam skala kecil
(eceran) hingga skala besar. Keunggulan dari produk teripang hasil
78 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)
budidaya adalah aspek traceability dan sustainabilty. Teripang yang
dihasilkan dari proses budidaya merupakan produk yang ramah
lingkungan karena tidak mengganggu populasi di alam. Citra ramah
lingkungan dapat semakin diperkuat dengan adanya sertifikasi Good
Aquaculture Practises sehingga dapat meningkatkan harga jual.
Perdagangan teripang skala eceran dapat dilaksanakan secara
offline maupun online melalui situs jual beli (Gambar 5.9). Khusus untuk
perdagangan skala besar, biasanya melibatkan pengumpul dan eksportir
dengan jaringan yang relatif tertutup. Harga jual teripang kering di dalam
negeri bervariasi tergantung ukuran dan kualitas pengolahan dengan
harga minimum Rp 1.000.000/kg. Sementara harga jual akhir teripang
pasir kering untuk konsumen akhir di negera importir berada pada
kisaran yang relatif lebih tinggi. Purcell et al. (2018) melaporkan bahwa
harga rata-rata teripang pasir kering di Hongkong pada tahun 2016
mencapai USD 369/kg dan untuk kualitas premium bahkan mencapai
harga USD 1.898/kg.

Gambar 5.9. Perdagangan teripang pasir kering secara daring pada salah
satu situs perdagangan

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 79


8. Penutup
Pembesaran teripang pasir pada dasarnya merupakan suatu
kegiatan yang sederhana dan mudah untuk diadaptasi oleh pelaku
budidaya. Hambatan pengembangan budidaya secara nasional, terutama
disebabkan oleh teripang pasir masih dianggap sebagai komoditas
budidaya baru yang belum dikenal secara luas serta terbatasnya teknologi
dan informasi yang tersedia terkait komoditas ini. Nilai ekonomis yang
tinggi dan potensi pengembangan budidaya teripang pasir yang sangat
besar di Indonesia perlu didukung oleh kegiatan riset dan pengembangan
sehingga kualitas produk dan produktivitas metode budidaya eksisting
yang masih bersifat ektensif bisa ditingkatkan lebih lanjut.

80 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


Daftar Pustaka
Agudo, N.S. (2006). Sandfish Hatchery Techniques. Australian Centre
for International Agricultural Research, Secretariat of the Pacific
Community and The WorldFish Center, Nouméa, New Caledonia.

Agudo, N. (2012). Pond grow-out trials for sandfish (Holothuria scabra)


in New Caledonia. In: Hair, C., Pickering, T., Mills, D. (Eds.),
Asia-Pacific Tropical Sea Cucumber Aquaculture. Proceedings of
an International Symposium held in Noumea, New Caldonia, 15–
17 February, 2011. Australian Centre for International
Agricultural Research, Canberra, pp. 104–112.
Ahmed, H., Shakeel, H., Naeem, S., & Sano, K. (2018). Pilot Study on
Grow-out Culture of Sandfish (Holothuria scabra) in Bottom-set
Sea Cages in Lagoon. SPC Beche-de-mer Information Bulletin,
38, 45-50.
Altamirano, J.P., Recente, C.P., & Rodriguez, J.C. Jr. (2017). Substrate
preference for burying and feeding of sandfish Holothuria scabra
juveniles. Fish. Res., 186, 514−523
Badan Pusat Statistik. Buletin Statistik Perdagangan Luar Negeri Ekspor
Desember 2016. Badan Pusat Statistik. Jakarta. 122 hal
Battaglene, S., Seymour, J., & Ramofafia, C. (1999). Survival and
growth of cultured sea cucumbers Holothuria scabra.
Aquaculture, 178, 93–322.
Bell, J.D., Agudo, N.N., Purcell, S.W., Blazer, P., Simutoga, M., Pham,
D., & Patrona, L.D. (2007). Grow-out of sandfish Holothuria
scabra in ponds shows that co-culture with shrimp Litopenaeus
stylirostris is not viable. Aquaculture, 273, 509–519.
Bell, J.D., Purcell, S., & Nash, W. (2008a). Restoring small-scale
fisheries for tropical sea cucumbers. Ocean Coast. Manage., 51,
589–593.
Bell, J.D., Leber, K., Blankenship, H.L., Loneragan, N., & Masuda, R.
(2008b). A new era for restocking, stock enahncement and Sea
ranching of coastal fisheries resources. Rev. Fish. Sci., 16 (1–3),
1–9, http://dx.doi.org/10.1080/10641260701776951.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 81


Bell, J.D., Rothlisberg, P.C., Munro, J.L., Loneragan, N.R., Nash,W.J.,
Ward, R.D., & Andrew, N.L. (2005). Restocking and stock
enhancement of marine invertebrate fisheries. Adv. Mar. Biol., 49,
1−374
Bowman, W. (2012). Sandfish production and development of Sea
ranching in Northern Australia. In: Hair, C., Pickering, T., Mills,
D. (Eds.), Asia-Pacific Tropical Sea Cucumber Aquaculture.
Proceedings of an International Symposium held in Noumea, New
Caledonia, 15–17 February, 2011. Australian Centre for
International Agricultural Research, Canberra, pp. 75–78.
Ceccarelli, D.M., Logan, M., & Purcell, S.W. (2018). Analysis of optimal
habitat for captive release of the sea cucumber Holothuria scabra.
Mar. Ecol. Prog. Ser., 588, 85–100. https://doi.org/10.3354/
meps12444.
Duy, N.D. (2012). Large-scale sandfish production from pond culture in
Vietnam. In: Hair, C., Pickering, T., Mills, D. (Eds.), Asia-Pacific
Tropical Sea Cucumber Aquaculture. Proceedings of an
International Symposium held in Noumea, New Caledonia, 15–17
February, 2011. Australian Centre for International Agricultural
Research, Canberra, pp. 34–39.
Dance, S.K., Lane, I., & Bell, J.D. (2003). Variation in short-term
survival of cultured sandfish (Holothuria scabra) released in
mangrove−seagrass and coral reef flat habitats in Solomon
Islands. Aquaculture, 220, 495−505.
Eeckhaut, I., Parmentier, E., Becker, P., da Silva, S.G., & Jangoux, M.
(2004). Parasites and biotic diseases in field and cultivated sea
cucumbers. In Advances in sea cucumber aquaculture and
management, A. Lovatelli, C. Conand, S.W. Purcell, S. Uthicke,
J.F. Hamel, A. Mercier, and E. Parmentier (eds.), 311–325. FAO
Fisheries Technical Paper. Rome: FAO.
Eeckhaut, I., Lavitra, T., Rasoforinina, R., Rabenevanana, M. W., Gildas,
P., & Jangoux, M. (2008). Madagascar Holothurie SA: The first
trade company based on sea cucumber aquaculture in
Madagascar. SPC Beche-de-mer Information Bulletin, 28, 22-23.
Firdaus, M., Indriana, L.F., Dwiono, S.A.P., & Munandar H. (2017).
Konsep dan Proses Alih Teknologi Budidaya Terpadu Teripang
Pasir, Bandeng dan Rumput Laut. Prosiding Seminar Nasional
Teknopreneurship dan Alih Teknologi. Pusat Inovasi, Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia, 12-13 Oktober 2016, Bogor.

82 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


Hair, C., & Johnston, A. (2008). Sea cucumber aquaculture in far North
Queensland. Australia. Aquaculture, 22 (1), 55–59.
Hair, C., Pickering, T., Meo, S., Vereivalu, T., Hunter,J., & Cavakiqali,
L. (2011). Sandfish culture in Fiji Islands. SPC Beche-de-mer
Information Bulletin, 31, 3–11.
Hair, C., Mills, D.J., McIntyre, R., & Southgate, P.C. (2016). Optimising
methods for community-based sea cucumber ranching:
experimental releases of cultured juvenile Holothuria scabra into
seagrass meadows in Papua New Guinea. Aquacult. Rep., 3,
198−208.
Hair, C., Ram, R., & Southgate, P.C. (2018). Is there a difference
between bêche-de-mer processed from ocean-cultured and wild-
harvested sandfish (Holothuria scabra)?. Aquaculture, 483, 63-
68.
Hamel, J.F., Conand, C., Pawson, & D.L., Mercier, A. (2001). The sea
cucumber Holothuria scabra (Holothuroidea: Echinodermata): its
biology and exploitation as bechede-mer. Advances in Marine
Biology, 41, 129–223.
Hamel, J. F., Mercier, A., Conand, C., Purcell, S., Toral-Granda, T. G., &
Gamboa, R. (2013). Holothuria scabra. The IUCN Red List of
Threatened Species, 2013, e-T180257A1606648.
Juinio-Meñez, M.A., Paña, M.A., de Peralta, G.M., Olavides, R.D.,
Catbagan, T.O., Edullantes, C.M.A., & Rodriguez, B.D.R. (2012).
Establishment and management of communal sandfish
(Holothuria scabra) Sea ranching in the Philippines. In: Hair,
C.A., Pickering, T.D., Mills, D.J. (Eds.), Australian Centre for
International Agricultural Research, Canberra. Asia–Pacific
Tropical Sea Cucumber Aquaculture, ACIAR Proceedings No.
136, pp. 121–127.
Juinio-Menez, M.A.T., Ticao, E.D., Gorospe, I.P., Edullantes, J.R.C.,
Rioja, C.M.A., & Rioja, R.A.V. (2016). Adaptive and integrated
culture production systems for the tropical sea cucumber
Holothuria scabra. Fisheries Research, 186(2),502–13.
Kementrian Kelautan dan Perikanan. (2015). Kementrian Kelautan dan
Perikanan dalam Angka Tahun 2015. Jakarta: Pusat Data Statistik
dan Informasi. 308 hal.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 83


Lavitra, T., Rachelle, D., Rasolofonirina, R., Jangoux, M., & Eeckhaut, I.
2008. Processing and marketing of holothurians in the Toliara
region, Southwestern Madagascar. SPC Beche-de-mer Inf. Bull.,
28, 24-33.
Lavitra, T., Rasolofonirina, R., Jangoux, M., & Eeckhaut, I. (2009).
Problems related to the farming of Holothuria scabra (Jaeger,
1833). SPC Beche-de-mer Information Bulletin, 29, 20–30.
Lavitra, T., Rasolofonirina, R., & Eeckhaut, I. (2010). The effect of
sediment quality and stocking density on survival and growth of
the sea cucumber Holothuria scabra reared in nursery ponds and
sea pens. West Indian Ocean J. Mar. Sci., 9, 153−164
Liu, Y., Dong, S., Tian, X., Wang, F., & Gao, Q. (2010). The effect of
different macroalgae on the growth of sea cucumbers
(Apostichopus japonicus Selenka). Aquacult. Res., 2, 1–5.
Mercier, A., Battaglene, S.C., & Hamel, J.F. (1999). Daily burrowing
cycle and feeding activity of juvenile sea cucumbers Holothuria
scabra in response to environmental factors. J. Exp. Mar. Biol.
Ecol., 239, 125−156
Mercier, A., Battaglene, S.C., & Hamel, J.F. (2000a). Periodic
movement, recruitment and size-related distribution of the sea
cucumber Holothuria scabra in Solomon Islands. Hydrobiologia,
440, 81–100.
Mercier, A., Battaglene, S.C., & Hamel, J.F. (2000b). Settlement
preferences and early migration of the tropical sea cucumber
Holothuria scabra. J. Exp. Mar. Biol. Ecol., 249, 89–110.Mercier,
A., Ycaza, R.H., Espinoza, R., Haro, V.M.A. & Hamel, J.F. 2012.
Hatchery experience and useful lessons from Isostichopus fuscus
in Ecuador and Mexico Asia–Pacific tropical sea cucumber
aquaculture. ACIAR PROCEEDINGS. Proceedings of an
International Symposium held in Noumea, New Caledonia. 210
pp: 79-90
Mills, D., Duy, N.D., Juinio-Me˜nez, M.A., Raison, C., & Zarate, J.
(2012). Overview of sea cucumber aquaculture and Sea ranching
research in the South-East Asian region. In: Hair, C., Pickering,
T., Mills, D. (Eds.), Asia-Pacific Tropical Sea Cucumber
Aquaculture. Proceeding of an International Symposium held in
Noumea, New Caledonia, 15–17 February, 2011. Australian
Centre for International Agricultural Research, Canberra, pp. 22–
31.

84 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


Morgan, A.D. (2000). Induction of spawning in the sea cucumber
Holothuria scabra (Echinodermata: Holothuroidea). Journal of
the World Aquaculture Society, 31, 186–194.
Olavides, R.D., Rodriguez, B.D., & Juinio-Me˜nez, M.A. (2011).
Simultaneous mass spawning of Holothuria scabra in Sea
ranching sites in Bolinao and Andamunicipalities, Philippines.
SPC Beche-de-mer Inf. Bull., 31, 23–24.
Pitt, R., Thu, N.T.X., Minh, M.D., & Phuc H.N. (2001). Preliminary
sandfish growth trials in tanks, ponds and pens in Vietnam. SPC
Beche-de-mer Information Bulletin, 15, 17–27.
Pitt, R., & Duy, N.D. (2004). Breeding and rearing of sea cucumber
Holothuria scabra in Vietnam. In: Lovatelli, A., Conand, C.,
Purcell, S., Uthicke, S., Hamel, J.F., Mercier, A. (Eds.) Advances
in Sea Cucumber Aquaculture and Management. FAO Fisheries
Technical Paper, Rome, pp. 333–346.
Plotieau, T., Lepoint, G., Lavitra, T., & Eeckhaut, I. (2014a). Isotopic
tracing of sediment components assimilated by epibiontic
juveniles of Holothuria scabra (Holothuroidea). J. Mar. Biol.
Assoc. U.K., 94 (7), 1485–1490.
https://doi.org/10.1017/S0025315414000502.
Plotieau, T., Lepoint, G., Baele, J.-M., Tsiresy, G., Rasolofonirina, R.,
Lavitra, T., & Eeckhaut, I. (2014b). Mineral and organic features
of the sediment in the farming sea pens of Holothuria scabra
(Holothuroidea, Echinodermata). SPC Beche-de-mer Inf. Bull.,
34, 29–33.
Purcell, S., & Eeckhaut, I. (2005). An external check for disease and
health of hatchery produced sea cucumbers. SPC Beche-de-mer
Information Bulletin, 22, 34–38.
Purcell, S.W. (2014a). Value, Market Preferences and Trade of Beche-
De-Mer from Pacific Island Sea Cucumbers. PLoS ONE 9(4):
e95075. doi:10.1371/journal.pone.0095075.
Purcell, S.W. (2014b). Processing sea cucumbers into beche-de-mer: A
manual for Pacific Island fishers. Southern Cross University,
Lismore, and the Secretariat of the Pacific Community, Noumea.
44 p.
Purcell, S. W., Williamson, D. H., & Ngaluafe, P. (2018). Chinese
market prices of beche-de-mer: implications for fisheries and
aquaculture. Marine Policy, 91, 58-65.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 85


Purcell, S.W. (2010). Diel burying by the tropical sea cucumber
Holothuria scabra: effects of environmental stimuli, handling and
ontogeny. Mar. Biol., 157, 663−671.
Purcell, S.W., & Simutoga, M. (2008). Spatio-temporal and size
dependent variation in the success of releasing cultured sea
cucumbers in the wild. Rev. Fish. Sci., 16, 204−214.
Purcell, S.W., Hair, C.A., & Mills, D.J. (2012). Sea cucumber culture,
farming and Sea ranching in the tropics: progress, problems and
opportunities. Aquaculture, 368−369, 68−81.
Ravago-Gotanco, R., & Kim, K. M. 2019. Regional genetic structure of
sandfish Holothuria (Metriatyla) scabra populations across the
Philippine archipelago. Fisheries Research, 209, 143-155.
Robinson, G., & Pascal, B. (2012). Sea cucumber farming experiences in
south-west Madagascar. In: Hair, C., Pickering, T., Mills, D.
(Eds.), Asia-Pacific Tropical Sea Cucumber Aquaculture.
Proceeding of an International Symposium Held in Noumea, New
Caledonia, 15–17 February, 2011 142–155.
Robinson, G,, Slater, M.J., Jones, C.L.W., & Stead, S.M. (2013). Role
of sand as substrate and dietary component for juvenile sea
cucumber Holothuria scabra. Aquaculture, 392−395, 23−25.
Robinson, G., Caldwell, G. S., Jones, C. L., & Stead, S. M. (2019). The
effect of resource quality on the growth of Holothuria scabra
during aquaculture waste bioremediation. Aquaculture, 499, 101-
108.
Sembiring, S.B.M., Wardana, I K., Giri, N.A. & Haryanti. (2017).
Keragaan rematurasi gonad induk teripang pasir, Holothuria
scabra dengan pemberian jenis pakan berbeda. J. Ris. Akuakultur,
12(1), 147-159.
Sinsona, M. J., & Juinio-Meñez, M. A. (2018). Effects of sediment
enrichment with macroalgae, Sargassum spp., on the behavior,
growth, and survival of juvenile sandfish, Holothuria scabra.
Aquaculture Reports, 12, 56-63.
Slater, M.J., & Jeffs, A.G. (2010). Do benthic sediment characteristics
explain the distribution of juveniles of the deposit feeding sea
cucumber Australostichopus mollis? J. Sea Res., 64, 241−249.
Tsiresy, G., Pascal, B., & Plotieau, T. (2011). An assessment of
Holothuria scabra growth in marine micro-farms in southwestern
Madagascar. SPC Beche-de-mer Inf Bull., 31, 17−22.
86 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)
Watanabe, S., Kodama, M., Zarate, J.M., Lebata-Ramos, M.J.H., &
Nievales, M.F.J. (2012). Ability of sandfish (Holothuria scabra)
to utilise organic matter in black tiger shrimp ponds. In: Hair,
C.A., Pickering, T.D., Mills, D.J. (Eds.), Asia–Pacific Tropical
Sea Cucumber Aquaculture. ACIAR Proceedings, 136. Australian
Centre for International Agricultural Research, Canberra, pp.
113–120.
Zamora, L.N., & Jeffs, A.G. (2013). A Review of the Research on the
Australasian Sea Cucumber, Australostichopus mollis
(Echinodermata: Holothuroidea) (Hutton 1872), with Emphasis
on Aquaculture. J. Shellfish Research, 32(1), 613-627.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 87


88 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)
BAB VI

APLIKASI PAKAN BUATAN PADA BUDIDAYA


TERIPANG PASIR, Holothuria scabra

I Nyoman Adiasmara GIRI


Sari Budi Moria SEMBIRING
Gigih Setia WIBAWA

1. Pendahuluan
Teripang atau sering juga disebut dengan istilah mentimun laut
merupakan salah satu komoditas perikanan yang mempunyai nilai
ekonomi penting, baik di pasaran domestik maupun internasional, karena
harganya yang tinggi. Di Indonesia sedikitnya terdapat 26 jenis
mentimun laut yang pernah atau masih tercatat dan diolah untuk
diperdagangkan sebagai teripang (Purwati, 2005). Indonesia merupakan
salah satu pemasok utama teripang dunia, dengan pasar utama Hongkong
dan Singapura (Conand & Byrne, 1993). Hongkong sebagai salah satu
pasar utama teripang dunia mengimpor sedikitnya 5.296 ton teripang
dalam bentuk kering pada tahun 2007. Papua New Guenia merupakan
pemasok teripang terbesar ke Hongkong yaitu mencapai 704 ton. Disusul
oleh Indonesia sebagai pemasok terbesar kedua dengan jumlah 653 ton
dan pemasok terbesar ketiga adalah Jepang dengan volume mencapai 585
ton. Dari total impor teripang Hongkong tersebut sejumlah 4.149 ton
diekspor kembali ke berbagai negara termasuk ke China yang mencapai
3.576 ton (Akamine, 2012).
Selama ini sebagian besar teripang masih diperoleh dari hasil
tangkapan di laut. Kegiatan penangkapan teripang yang tinggi
dikawatirkan dapat mengancam kelestarian populasi teripang di alam.
Produksi teripang secara global pada kurun waktu 1995 sampai 2012

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 89


mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari 130.000 ton menjadi
411.878 ton (Rahman et al., 2015). Namun demikian aktivitas
penangkapan berlebih serta kurangnya strategi pengelolaan dan
konservasi yang efektif diduga mengakibatkan produksi teripang di
negara-negara Asia, seperti di China, Jepang, India, Philippines,
Indonesia dan Malaysia cenderung mengalami penurunan (Rahman et al.,
2015).
Dalam mengantisipasi menurunnya populasi teripang di alam dan
sekaligus untuk meningkatkan produksi teripang maka perlu dilakukan
upaya produksi teripang melalui budidaya yang dimulai dengan
pengembangan teknologi produksi benih teripang secara terkontrol di
hatcheri. Terkait dengan budidaya ini, setidaknya ada tiga kegiatan yang
dapat dilakukan yaitu (a) produksi benih teripang di hatcheri dan
melepaskannya (rilis) kembali ke alam pada area yang tertutup bagi
aktivitas penangkapan sehingga berkembang biak dan populasinya di
alam meningkat; (b) melakukan sea ranching, dimana benih teripang dari
hatcheri dilepaskan ke alam untuk nantinya ditangkap kembali; (c) benih
teripang yang diproduksi di hatcheri selanjutnya dipelihara dalam kolam
dan/atau kurungan tancap di laut (Agudo, 2006; Purcell et al., 2012).
Keberhasilan alternatif kegiatan tersebut sangat ditentukan oleh
keberhasilan produksi benih teripang secara masal di hatcheri (Militza et
al., 2018).
Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan
(BBRBLPP), Gondol- Bali pada tahun 1994-1998 telah merintis
perbenihan teripang pasir (Holothuria scabra) dengan melakukan
serangkaian penelitian yang meliputi pematangan gonad, pemijahan,
serta pemeliharaan larva hingga produksi benih (Sembiring et al., 2004).
Selanjutnya mulai tahun 2015 kegiatan riset pembenihan teripang pasir

90 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


ini dilakukan secara lebih intensif dan saat ini telah diperoleh teknologi
yang mantap untuk peroduksi benih secara masal (Sembiring et al.,
2015). Keberhasilan produksi benih secara masal membuka peluang
untuk pengembangan kegiatan budidaya teripang pasir secara lebih luas,
baik dalam kolam atau tambak maupun di laut. Pengembangan budidaya
teripang secara masal membutuhkan dukungan ketersediaan pakan
buatan yang efektif dan efisien. Untuk itu, berdasarkan informasi
kebiasaan makan, kebutuhan nutrien, serta ketersediaan bahan baku
pakan yang sesuai maka perlu segera dikembangkan pakan buatan yang
efektif untuk budidaya teripang pasir.

2. Kebiasaan Makan Teripang


Semua organisme mendapatkan makanan untuk mendukung
kelangsungan hidupnya, pertumbuhan dan reproduksi. Kebanyakan
hewan telah berevolusi yang memungkinkan mereka untuk dapat
membeda-bedakan makanan, yang akhirnya menemukan makanan yang
lebih disukainya. Lebih lanjut, pengetahuan tingkat kesukaan makanan
ini dapat digunakan dalam memformulasi pakan buatan untuk
menghasilkan pakan yang lebih disukai oleh hewan budidaya dan
meningkatkan konsumsinya.
Teripang merupakan biota laut yang bersifat omnivora dan juga
cenderung herbivora (Zhang et al., 1995). Teripang memanfaatkan tiga
macam sumber makanan, yaitu: kandungan bahan organik dalam lumpur,
detritus dan plankton. Plankton dari jenis diatom bentik, alga hijau, alga
biru berfilamen yang hidup maupun mati pada permukaan karang
biasanya banyak dimakan oleh teripang (Bakus, 1973). Sebagai hewan
kelompok tingkat tropik rendah makanan teripang ukuran kecil (2,5 – 5,0
cm) terutama terdiri dari diatom menempel dan detritus organik.
Sedangkan untuk teripang dengan ukuran lebih besar makan moluska
ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 91
kecil, kopepoda, diatom menempel dan rumput laut. Pada ekosistem
bentos pesisir kebanyakan teripang memilih sedimen yang banyak
mengandung detritus alga makro sebagai makanannya (Uthicke & Karez,
1999). Pada habitatnya, teripang bergerak di dasar perairan/laut sambil
mengumpulkan partiket seperti campuran mineral, berbagai organisme
hidup, bahan serpihan, termasuk feses dari organisme lainnya dengan
memperpanjang peltate tentakel (berbentuk perisai) yang mengelilingi
mulut (Zamora & Jeffs, 2011). Tentakel berfungsi sebagai perangkap
partikel dan kemudian membawanya ke dalam mulut. Sekali telah berada
dalam mulut, partikel dipadatkan dan diangkut secara peristaltik
sepanjang sistem pencernaan yang berbentuk tabung sederhana dan
berakhir di anus yang terletak di bagian posteriornya (Penry, 1989).
Hasil analisis dan pengamatan isi saluran pencernaan dari
teripang kelompok Holothuria menunjukkan bahwa makanannya
terutama terdiri dari detritus bahan anorganik dan organik, detritus alga
makro, bagian dari hewan mati dan mikroorganisme (Dar & Ahmad,
2006; Sukmiwati, 2012). Dalam saluran pencernaan teripang pasir
(Holothuria scabra) juga ditemukan beberapa fitobentik, meliputi
Bacillariophyceae, Chlorophyceae, dan Diniphyceae. Berdasarkan
informasi kebiasaan makan teripang di alam tersebut maka pada
pemeliharaan induk dan benih teripang pasir di BBRBLPP Gondol
digunakan bentos yang dikultur dalam bak sebagai pakannya. Bentos
memberikan respon pertumbuhan yang baik terhadap benih teripang
pasir. Hasil analisis menunjukkan benthos tersebut mengandung
fitoplankton dari kelas Diatoms dan famili Melosiraceace; Naviculaceae;
Nitzschiaceae serta zooplankton dari famili Acartiidae (Sembiring et al.,
2015).

92 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


3. Kebutuhan Nutrien Pakan Teripang
Dari beberapa laporan yang ada sampai saat ini mengenai pakan
untuk pemeliharaan teripang, informasi tentang aspek nutrisi teripang
masih terbatas sekali. Namun demikian, mengacu pada kebiasaan
makanannya dan habitat teripang di alam, yang mana makanan teripang
banyak mengandung bahan organik dan detritus, maka dapat diduga
teripang tidak membutuhkan pakan dengan kandungan protein yang
tinggi untuk mendukung pertumbuhannya. Pernyataan ini sesuai juga
dengan hasil penelitian Soe & Lee (2010) dan Huiling et al. (2004) yang
menyatakan bahwa untuk mendukung pertumbuhan teripang
Apostichopus japonicus dibutuhkan pakan dengan kandungan protein
20% dan 21,5% untuk teripang ukuran 1,3 g dan 4,5 – 4,8 g. Sementara
itu pakan dengan kandungan protein 11% dinyatakan sudah cukup untuk
mendukung pertumbuhan teripang Apostichopus japonicus ukuran 5,0 g
(Bai et al., 2016). Lebih lanjut Wu et al. (2015) bahkan melaporkan
teripang Apostichopus japonicus dapat tumbuh baik pada pakan yang
mengandung 4,38% protein. Dari data tersebut terlihat bahwa kandungan
protein pakan untuk mendukung pertumbuhan optimal dari teripang
sangat bervariasi. Bervariasinya nilai ini dapat dikarenakan perbedaan
bahan baku pakan yang digunakan, spesies teripang, dan juga kondisi
pemeliharaan. Selain kandungan protein dalam pakan, lebih lanjut dari
hasil percobaan Huiling et al. (2004) menunjukkan bahwa tingkat
pertumbuhan maksimum benih teripang diperoleh ketika pakan yang
diberikan kaya akan asam amino treonin, valin, leusin, fenilalanin, lisin,
histidine dan arginin. Hasil percobaan pemeliharaan benih teripang pasir
Holothuria scabra yang diberi pakan berupa bentos pertumbuhannya
lebih rendah dibandingkan dengan yang diberi pakan buatan yang
diformulasi menggunakan tepung rumput laut Sargassum sp. dan Ulva

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 93


sp. Bentos mempunyai kandungan protein 11,1%, lebih rendah
dibandingkan dengan kandungan protein pakan buatan yang berkisar
13,3-15%. Berdasarkan hasil ini dapat diduga bahwa teripang pasir
ukuran rata-rata 2,0 g membutuhkan pakan dengan kandungan protein
lebih tinggi dari 11% untuk mendukung pertumbuhan yang optimal (Giri
et al., 2017).
Lemak merupakan nutrien penting dalam pakan yang berfungsi
sebagai sumber energi dan fungsi fisiologis lainnya. Dari beberapa hasil
percobaan menunjukkan bahwa teripang tidak membutuhkan pakan
dengan kandungan lemak yang tinggi. Benih yang diberi pakan dengan
kandungan lemak 2,0 – 2,8% sudah cukup untuk mendukung
pertumbuhannya (Bai et al., 2016; Soe & Lee, 2010). Selain itu, tingkat
pertumbuhan tertinggi teripang Apostichopus japonicus diperoleh ketika
pakan yang diberikan mempunyai rasio antara kalsium dan fosfor (Ca/P)
berkisar sekitar 6,8-8,8 : 1. Sebaliknya, laju pertumbuhan benih teripang
ini menurun ketika diberi pakan dengan kandungan serat yang tinggi
(Huiling et al. (2004). Beberapa studi juga telah dilakukan untuk
mengetahui kebutuhan vitamin benih teripang, khususnya untuk teripang
Apostichopus japonicus. Okorie et al. (2008) melaporkan bahwa teripang
Apostichopus japonicus ukuran rata-rata 1,49 g membutuhkan pakan
dengan kandungan vitamin C antara 100 - 105,3 mg/kg pakan untuk
mendukung pertumbuhan yang baik. Dalam hal ini vitamin C yang
digunakan adalah L-ascorbyl-2-monophosphate (AMP).` Studi lebih
lanjut juga menemukan bahwa jenis teripang ini membutuhkan pakan
dengan kandungan vitamin E (dalam bentuk dl--tocopheryl acetate)
antara 23,1 – 44 mg/kg pakan (Ko et al., 2009), dan riboflavin antara
9,73 – 17,9 mg/kg pakan (Okorie et al., 2011) untuk pertumbuhan
optimal.

94 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


Seperti telah diuraikan sebelumnya, dalam saluran percernaan
teripang banyak ditemukan partikel organik dan anorganik seperti pasir.
Untuk itu, selain memperhatikan aspek nutrisi, aspek lain juga harus
mendapat perhatian pada pembuatan pakan teripang. Teripang juga
memerlukan campuran pasir atau lumpur dengan ukuran partikel tertentu
pada pakannya yang diduga berperan mengatur waktu lamanya pakan
berada dalam saluran pencernaan dari teripang. Teripang Apostichopus
japonicus tumbuh lebih baik ketika diberi pakan mengandung pasir dan
lumpur laut dengan ukuran partikel lebih kecil dari 0,008 mm (Shi et al.,
2015). Namun demikian, peran pasir dalam pakan untuk mendukung
pertumbuhan teripang pasir Holothuria scrabra yang dipelihara pada
sistim resirkulasi (RAS) tidak nyata, tetapi peran pasir sebagai substrat
memang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan teripang (Robinson
et al., 2013).

4. Pengembangan dan Aplikasi Pakan Buatan Untuk Teripang


Pasir
Dalam budidaya, pakan merupakan salah satu faktor yang
mempunyai peran penting dalam mendukung pertumbuhan dan
kelangsungan hidup hewan budidaya, termasuk teripang. Peran
ketersediaan pakan semakin penting pada budidaya dengan kepadatan
yang lebih tinggi, yang mana ketersediaan pakan alami sudah tidak
mencukupi. Pada laporan FAO (1988) disebutkan bahwa pembudidaya
teripang di Teluk Sopura, Kolaka, Sulawesi Tenggara menggunakan
pupuk kotoran ayam sebagai pakan tambahan pada budidaya teripang
dengan menggunakan benih dari alam. Lebih lanjut disebutkan bahwa
penggunaan dedak, tepung ikan atau pakan buatan dapat memberikan
hasil yang lebih baik. Pada uji coba pemeliharaan benih teripang pasir
Holothuria scabra dalam bak diperoleh bahwa benih teripang dapat

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 95


memanfaatkan pakan buatan dengan baik untuk pertumbuhannya. Benih
teripang pasir yang diberi pakan buatan bahkan tumbuh lebih baik
dibandingkan dengan yang diberi pakan segar berupa bentos (Giri et al.,
2017).
Budidaya teripang Apostichopus japonicus (Selenka) di China
menggunakan alga coklat Sargassum thunbergii sebagai pakannya (Shi et
al., 2013). Alga ini diketahui kaya akan asam amino dan mempunyai
kandungan protein yang cukup. Jenis alga lain seperti Undaria
pinnatifida (Seo et al., 2011), Gracilaria lemaneiformis (Gao et al.,
2011), and Ulva lactuca (Xia et al., 2012a) juga dilaporkan telah dicoba
sebagai pakan sumber protein untuk teripang Apostichopus japonicus
(Selenka). Lebih lanjut Xia et al. (2012b) menyatakan pakan campuran
dari alga yang mengandung 50% Laminaria japonica sangat cocok untuk
budidaya teripang Apostichopus japonicus. Ekstrak rumput laut
Sargassum telah digunakan sebagai pakan pada pengembangan teknik
produksi benih teripang Holothuria scabra di India. Sementara tepung
Ulva lactula juga telah digunakan sebagai pakan teripang ukuran yang
lebih besar dengan panjang 10-20 mm (Battaglene et al., 1999).
Beberapa informasi tentang aspek pakan pada budidaya teripang sampai
saat ini sangat beragam. Wu et al. (2015) melaporkan bahwa pakan yang
diformulasi mengandung 70% sea mud, 18,8% tepung Sargassum
thunbergii dan 11,2% tepung daun jagung memberikan pertumbuhan
yang baik untuk teripang Apostichopus japonicus.
Ujicoba pemanfaatan berberapa jenis rumput laut, baik secara
tunggal maupun dicampur dengan tepung klekap sebagai pakan untuk
pemeliharaan teripang Apostichopus japonicus telah dilaporkan Wen et
al. (2016). Hasil percobaan ini menunjukkan teripang yang diberi pakan
masing-masing hanya dengan bahan tepung rumput laut Sargassum

96 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


maticum, Gracilaria lemaneiformis atau Ulva lactuca, atau masing-
masing tepung rumput laut yang dicampur dengan tepung klekap (benthic
matter) menghasilkan pertumbuhan yang sama atau lebih baik
dibandingkan dengan yang diberi pakan hanya tepung rumput laut. Hal
ini menunjukkan klekap mempunyai peran penting sebagai pakan
teripang. Giri et al. (2017) memformulasi pakan teripang pasir dengan
menggunakan campuran tepung rumput laut Sargassum sp. dan Ulva sp.
yang dikombinasikan dengan tepung ikan dan bentos. Kombinasi tepung
Sargassum sp. dan tepung Ulva sp. masing-masing sebanyak 44% dan
40% dalam pakan menghasilkan pertumbuhan (368,3%) dan sintasan
(97,5%) terbaik untuk benih teripang pasir ukuran 2,0 g yang dipelihara
selama 120 hari. Pada percobaan selanjutnya diperoleh bahwa pakan
buatan dalam bentuk pelet yang diformulasi mengandung 30% tepung
Sargassum sp., 35% tepung Ulva sp., 4% tepung kedelai, 18% tepung
beras serta 6% tepung klekap menghasilakan pertumbuhan yang baik
untuk teripang pasir yang dipelihara di dalam bak beton dan dalam
karamba jaring apung (KJA) di tambak (Gambar 6.1). Pakan tersebut
mempunyai kandungan air 12,8%, protein 13,5%, lemak 2,4%, abu
22,7%, serat kasar 17,4% (Sembiring et al., 2017). Pada Gambar 6.1-C
terlihat bahwa laju pertumbuhan teripang yang dipelihara di KJA di
tambak lebih tinggi (0,39 g/hari) dibandingkan dengan yang dipelihara
dalam bak beton (0,20 g/hari).
Battaglene (1999) melaporkan pertumbuhan rata-rata juvenil
teripang pasir Holothuria scabra mencapai 0,2-0,8 mm per hari pada
kondisi pemeliharaan yang normal. Pertumbuhan juvenil teripang pasir
ukuran 2 cm atau lebih sangat bervariasi dan tergatung dari kepadatan,
kondisi pemeliharaan, dan ketersediaan pakan. Pemakaian pakan
komersil Algamac protein plus dan tepung Spirulina telah diujicokan

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 97


pada pendederan teripang pasir Holothuria scabra. Algamac
memberikan pertumbuhan yang lebih baik yaitu dari panjang awal 1,7
mm tumbuh menjadi 46,8 mm (0,65 mm/hari) dalam waktu 70 hari.
Sementara yang diberi pakan tepung Spirulina hanya tumbuh menjadi
18,6 mm (0,24 mm/hari). Data ini menunjukkan bahwa kandungan
protein pakan yang tinggi (Algamac protein plus 42,9% dan tepung
Spirulina yang 57,0%) tidak berbanding lurus dengan respon
pertumbuhan benih teripang pasir.

C
A B
B

Gambar 6.1. Wadah pemeliharaan (A : Bak beton; B : KJA Tambak) dan


bobot teripang pasir (C) yang diberi pakan buatan

Pertumbuhan benih teripang pasir pada stadia ini juga sangat


dipengaruhi oleh kepadatannya dalam wadah pemeliharaan (Giraspy &
Ivy, 2008). Penggunaan pakan udang windu untuk pemeliharaan benih
teripang pasir di dalam bak tidak memberikan respon pertumbuhan yang
baik. Tetapi ketika dasar bak diisi pasir sebagai substratnya ternyata
memberikan respon pertumbuhan yang baik bagi teripang. Dalam hal ini
diduga pasir berperan membantu proses pencernaan pakan dalam saluran
pencernaan teripang pasir (Watanabe et al., 2012). Pada uji coba
pemeliharaan teripang pasir di tambak bekas budidaya udang tanpa
permberian pakan diperoleh laju pertumbuhan teripang berkisar 0,60-
0,77 g/hari selama 21 bulan pemeliharaan dan bobot akhir teripang
mencapai 390-395 g dari bobot awal 0,9-11,7 g (Agudo, 2012).

98 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


5. Penutup
Dari beberapa hasil percobaan terlihat bahwa laju pertumbuhan
teripang pasir sangat bervariasi, dipengaruhi oleh kondisi dan sistim
pemeliharaan serta pakan yang digunakan. Pakan buatan berbasis
rumput laut Sargassum sp. dan Ulva sp. dalam bentuk pelet dengan
komposisi 30% tepung Sargassum sp., 35% tepung Ulva sp., 4% tepung
kedelai, 18% tepung beras serta 6% tepung klekap adalah efektif dan
dapat direkomendasikan untuk pemeliharaan teripang pasir. Rumput laut
Sargassum sp. dan Ulva sp. merupakan bahan baku yang mudah
diperoleh dari alam (laut).

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 99


Daftar Pustara
Agudo, N.S., (2006). Sandfish Hatchery Techniques. Australian Centre
for International Agricultural Research, Secretariat of the Pacific
Community and The WorldFish Center, Nouméa, New Caledonia.
Agudo, N.S. (2012). Pond grow-out trials for sandfish (Holothuria
scabra) in New Caledonia. In: Hair, C.A., Pickering, T.D., Mills,
D.J. (Eds.), Proceedings of an International Symposium on Asia–
Pacific Tropical Sea Cucumber Aquaculture. ACIAR
Proceedings, 136. Australian Centre for International Agricultural
Research, Canberra, pp. 104-112.
Akamine, J. (2012). World sea cucumber markets: Hong Kong,
Guangzhou and New York. In: Hair, C.A., Pickering, T.D., Mills,
D.J. (Eds.), Proceedings of an International Symposium on Asia–
Pacific Tropical Sea Cucumber Aquaculture (pp.203-204).
ACIAR Proceedings No. 136. Australian Centre for International
Agricultural Research, Canberra. Australia.
Bai, Y., Zhang, L., Xia, S., Liu, S., Ru, X., Zhang, T., & Yang, H.
(2016). Effects of dietary protein levels on the growth, energy
budget, and physiological and immunological performance of
green, white and purple color morphs of sea cucumber,
Apostichopus japonicus. Aquaculture, 450, 375-382.
Battaglene, S.C., Seymour, J.E., & Ramofafia, C. (1999). Survival and
growth of cultured juvenil sea cucumbers, Holothuria scabra.
Aquaculture, 178, 293-322.
Bakus, G. J. (1973). The biologi and ecology of tropical Holothurians. In
Jones, OA. & Endean, R. (Eds.) Biologi and Ecologi of Coral
Reefs. Academic Press. London. 326-367.
Conand, C. & Byrne, M. (1993). A review of recent developments in the
world sea cucumber fisheries. Marine Fisheries Review, 55(4), 1-
13.
Daniel Azari Beni Giraspy, D.A.B. & and Ivy, G. (2008). The influence
of commercial diets on growth and survival in the commercially
important sea cucumber Holothuria scabra var. versicolor
(Conand, 1986) (Echinodermata: Holothuroidea). SPC Beche de
Mer Information Bulletin, 28, 46-52.
Dar, M.A., & Ahmad, H.O., (2006). The feeding selectivity and
ecological role of shallow water holothurians in the Red Sea.
Bêche-de-mer Information Bulletin, 24, 11–21.

100 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


FAO. (1988). Sea cucumber culture: potential and prospects.
INS/81/008/MANUAL 14, June 1988.
Gao, Q.F., Wang, Y.S., Dong, S.L., Sun, Z.L., & Wang F. (2011).
Absorption of different foo source by sea cucumber Apostichopus
japonicus (Selenka) (Echinodermata: Holothuroidea): evidence
from carbon stable isotope. Aquaculture, 319, 272–276.
Giri, N.A., Sembiring, S.B.M., Marzuqi, M., & Andamari, R. (2017).
Formulasi dan aplikasi pakan buatan berbasis rumput laut untuk
pendederan benih teripang pasir (Holothuria scabra). Jurnal Riset
Akuakultur, 12 (3), 263-273.
Huiling, S., Mengqing, L., Jingping, Y., & Bijuan, C. (2004). Nutrient
requirements and growth of the sea cucumber, Apostichopus
japonicus. In: Lovatelli, A., Conand, A., Purcell, C., Uthicke, S.,
Hamel, S., & Mercier, J. F. (Eds), Advances in sea cucumber
aquaculture and management (pp. 327–331). FAO Fisheries
Technical Paper No. 463. FAO, Rome, Italy.
Ko, S. H., Go, S.G., Okorie, O.E., Kim, Y.C., Lee, S.H., Yoo, G.Y., &
Bai, S.C. (2009). Preliminary study of the dietary -tocopherol
requirement in sea cucumber, Apostichopus japonicus. Journal of
the World Aquaculture Society, 40(5), 659–666.
Militza, T.A., Leinib, E., Duyc, N.D.Q., & Southgatea, P.C. (2018).
Successful large-scale hatchery culture of sandfish (Holothuria
scabra) using micro-algae concentrates as a larval food source.
Aquaculture Reports, 9, 25-30.
Okorie, O.E., Ko, S.H., Go, S.G., S. H. Lee, S.H., Bae, J.Y., Han, K.M.,
& Bai, S.C. (2008). Preliminary study of the optimum dietary
ascorbic acid level in sea cucumber, Apostichopus japonicus
(Selenka). Journal of the World Aquaculture Society, 39(6), 758–
765.
Okorie, O.E, Ko, S.H., Go, S.G., Bae, J.Y., Yoo, G.Y., Lee, J.H., Kim,
T.I., & Bai, S.C. (2011). Preliminary study of the optimum
dietary riboflavin level in sea cucumber, Apostichopus japonicus
(Selenka). Journal of the World Aquaculture Society, 42(5), 657–
666.
Penry, D.L. (1989). Test of kinematic models for deposit-feeders' guts:
patterns of sediment processing by Parastichopus californicus
(Stimpson) (Holothuroidea) and Amphicteis scaphobranchia
Moore (Polychaeta). J. Exp. Mar. Biol. Ecol., 128, 127–146.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 101


Purcell, S.W., Hair, C.A., & Mills, D,J. (2012). Sea cucumber culture,
farming and Sea ranching in the tropics: Progress, problems and
opportunities. Aquaculture, 368-369, 68–81.
Purwati, P. (2005). Teripang indonesia: komposisi jenis dan sejarah
perikanan. Oseana, XXX (2), 11 – 18.
Rahman, M.A., Yusoff, F.M., & Arshad, A. (2015). Sea cucumber
fisheries: global status, culture, management and extinction risks.
International Journal of Chemical, Environmental & Biological
Sciences (IJCEBS), 3(4), 344-348.
Robinson, G., Slater, M.J., Jones, C.L.W., & Stead, S.M. (2013). Role of
sand as substrate and dietary component for juvenile sea
cucumber Holothuria scabra. Aquaculture, 392–395, 23–25.
Sembiring, S.B.M., Sugama, K., Swastika, I.M., Makatutu, D., & Jufri.
(2004). Pedoman Teknis Teknologi Perbenihan Teripang Pasir,
Holothuria scabra. Pusat Riset Perikanan Budidaya, Badan Riset
Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan,
Jakarta, 23 hlm.
Sembiring, S.B.M., Hutapea, J.H., Sugama, K., Susanto, B., Giri, N.A.,
& Haryanti. (2015). Teknik perbenihan teripang pasir Holothuria
scabra. Dalam: Rekomendasi Teknologi Kelautan dan Perikanan
2015 (Soekadi, F., Sugama, K., Nurhakim, S., Heruwati, E.S.,
Purba, M., Kusnendar, E., Djunaidah, I.S., Sudibjo, E.R., & Sakti,
I. eds.). Hlm. 187-200. Badan Litbang Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Sembiring, S.B.M., Giri, N.A., Haryanti, Wibawa, G.S., & Andamari, R.
(2017). Keragaan reproduksi induk turunan pertama (F-1) dan
pendederan teripang pasir, Holothuria scabra dengan aplikasi
pakan buatan. Laporan Teknis Kegiatan Riset, Balai Besar Riset
Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan. Singaraja, Bali. 22
Hal.
Seo, J.Y. & Lee, S.M. (2010). Optimum dietary protein and lipid levels
for growth of juvenile sea cucumber Apostichopus japonicus.
Aquaculture Nutrition, 17 (2), e56-e61.
Seo, J.Y., Shin, I.S., & Lee, S.M. (2011). Effect of dietary inclusion of
various plant ingredients as an alternative for Sargassum
thunbergii on growth and body composition of juvenile sea
cucumber Apostichopus japonicus. Aquaculture Nutrition, 17,
549–556.

102 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


Shi, C., Dong, S.L., Wang, F., Gao, Q.F., & Tian, X.L. (2013). Effects of
four fresh microalgae in diet on growth and energy budget of
juvenile sea cucumber Apostichopus japonicus (Selenka).
Aquaculture, 416–417, 296–301.
Shi, C., Dong, S., Wang, F., Gao, Q., & Tian, X. (2015). Effects of the
sizes of mud or sand particles in feed on growth and energy
budgets of young sea cucumber (Apostichopus japonicus).
Aquaculture, 440, 6-11.
Sukmiwati, M. (2012). Komposisi makanan alami berbagai jenis
teripang dari Perairan Natuna Kepulauan Riau. Jurnal Perikanan
dan Kelautan, 17(1), 75-87.
Uthicke, S., & Karez, R., (1999). Sediment patch selectivity in tropical
sea cucumbers (Holothurioidea: Aspidochirotida) analyzed with
multiple choice experiments. Journal of Experimental Marine
Biology and Ecology, 236, 69–87.
Watanabe, S., Kodama, M., Zarate, J.M., Maria J.H. Lebata-Ramos,
M.J.H., & Nievales, M.F.J. 2012. Ability of sandfish (Holothuria
scabra) to utilise organic matter in black tiger shrimp ponds. In:
Hair, C.A., Pickering, T.D., Mills, D.J. (Eds.), Proceedings of an
International Symposium on Asia–Pacific Tropical Sea Cucumber
Aquaculture (pp. 113-120). ACIAR Proceedings 136. Australian
Centre for International Agricultural Research, Canberra,.
Wu, B., Xia, S., Rahman, M.M., Rajkumar, M., Fu, Z., Tan, J. & Yang,
A. (2015). Substituting seaweed with corn leaf in diet of sea
cucumber (Apostichopus japonicus): Effects on growth, feed
conversion ratio and feed digestibility. Aquaculture, 444, 88-92.
Xia, S., Yang, H., Li, Y., Liu, S., Zhou, Y., & Zhang, L. (2012a). Effects
of different seaweed diets on growth, digestibility, and ammonia-
nitrogen production of the sea cucumber Apostichopus japonicus
(Selenka). Aquaculture, 338–341, 304–308.
Xia, S., Zhao, P., Chen, K., Li, Y., Liu, S., Zhang, L., & Yang, H.
(2012b). Feeding preferences of the sea cucumber Apostichopus
japonicus (Selenka) on various seaweed diets. Aquaculture, 344-
349, 205-209.
Zamora, L.N., & Jeffs, A.G., (2011). Feeding, selection, digestion and
absorption of the organic matter from mussel waste by juveniles
of the deposit-feeding sea cucumber, Australostichopus mollis.
Aquaculture, 317, 223–228.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 103


Zhang, B., Sun, D. & Wu, Y. (1995) Preliminary analysis on the feeding
habit of Apostichopus japonicus in the rocky coast waters off
Lingshan Island. Marine Sciences, 3, 11–13.

104 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


BAB VII

PENYAKIT PADA TERIPANG PASIR, Holothuria scabra

Des ROZA
ZAFRAN

1. Pendahuluan
Teripang pasir, Holothuria scabra menurut Pranoto et al. (2012)
merupakan salah satu anggota hewan berkulit duri (Echinodermata).
Teripang pasir dapat mencapai ukuran hingga 1 kg/ekor, namun
diperlukan waktu 2-3 tahun untuk mencapainya. Ukuran konsumsi
umumnya antara 150-250 g/ekor atau rata-rata 200 g/ekor dan
dibutuhkan 20-24 bulan untuk mencapai ukuran tersebut. Habitat yang
ditempati umumnya adalah perairan laut dangkal (Sembiring et al.,
2016). Teripang ditemukan secara luas di perairan Indo-Pasifik terutama
di daerah pantai berpasir sampai berlumpur (Mercier et al., 2000).
Teripang pasir, H. scabra mempunyai kandungan senyawa
bioaktif yang dapat digunakan sebagai antikoagulan dan antitrombotik,
menurunkan kadar kolesterol dan lemak darah, antikanker dan antitumor,
antibakteri, imunostimulan, antijamur, antivirus, antimalaria dan
antirematik (Farouk et al., 2007). Hal ini menjadikan teripang sebagai
komoditi perikanan yang sebagian besar produknya untuk ekspor. Akan
tetapi produk ini masih menggantungkan ketersediaan stok populasi
alami yang makin menurun secara drastis (Martoyo et al., 2006).
Sebanyak 120 ribu ton teripang diperkirakan ditangkap setiap tahunnya
di seluruh dunia sejak tahun 1987. Dari jumlah tersebut, Indonesia
merupakan pemasok terbesar teripang, dengan negara pengimpor terbesar
adalah Hongkong dan Singapura (Mercier et al., 2000). Untuk

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 105


mengantisipasi menurunnya populasi teripang secara kontinyu di alam,
maka kegiatan budidaya teripang yang dimulai dari produksi benih telah
mulai dikembangkan, baik untuk mendukung pemulihan stok di alam,
maupun untuk tujuan budidaya pembesaran.
Di perairan Indonesia terdapat banyak jenis teripang. Namun
demikian, yang memiliki nilai ekonomi tinggi hanyalah beberapa jenis,
diantaranya teripang pasir, Holothuria scabra, teripang perut hitam, H.
atra, teripang susuan, H. nobilis, teripang perut merah, H. edulis dan
teripang nanas, Thelenota ananas. Teripang merupakan lauk yang lezat
dan disukai masyarakat Cina dan bernilai jual tinggi di pasaran. Teripang
diperdagangkan dalam bentuk awetan/kering.
Belum banyak negara yang membudidayakan teripang. Tetapi di
Indonesia jenis teripang yang umum dibudidayakan adalah teripang pasir,
H. scabra. Budidaya teripang pasir memungkinkan dilakukan oleh
masyarakat pantai. Hal ini disebabkan teknik budidayanya cukup
sederhana dan investasi yang diperlukan relatif kecil. Selain itu teripang
merupakan komoditas bernilai ekonomis penting karena kandungan
nutrisinya sangat tinggi yaitu protein 82%, lemak 1,7%, kadar air 8,9%,
kadar abu 8,6% dan karbohidrat 4,8% (Martoyo et al., 2006). Selain itu
teripang juga banyak digunakan sebagai bahan obat tradisional Cina
karena mengandung anti tumor, anti jamur dan anti koagualan (Fan,
2001; Pranoto et al., 2012).
Teripang pasir mempunyai sifat-sifat yang menguntungkan antara
lain adalah : dapat hidup bergerombol dengan padat penebaran tinggi;
metoda budidayanya dapat dilakukan secara sederhana dan tidak
memerlukan teknologi tinggi serta modal yang besar; makanannya
berupa ganggang penempel, detritus, moluska kecil yang banyak tersedia
di perairan secara alami; dagingnya enak dengan kandungan protein yang

106 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


sangat tinggi dan mudah diproses menjadi makanan serta merupakan
komoditi ekspor (Chen, 2003; Martoyo et al., 2006).
Menurut Chen (2003) dan Martoyo et al. (2006) teripang adalah
biota laut yang bergerak lambat, hidup pada dasar substrat pasir, lumpur
pasiran maupun dalam lingkungan terumbu karang, dan merupakan salah
satu sumber protein hewani dan telah lama dikonsumsi oleh masyarakat
didalam maupun diluar negeri. Teripang merupakan komponen penting
dalam rantai makanan di terumbu karang dan ekosistem asosiasinya pada
berbagai tingkat struktur pakan (trophic levels). Sanaye et al. (2013)
menyatakan bahwa teripang berperan penting sebagai pemakan deposit
(deposit feeder) dan pemakan suspensi (suspensi feeder). Teripang atau
timun laut, adalah salah satu komoditi ekspor sub sektor perikanan yang
cukup potensial.
Di Indonesia, pemanfaatan teripang sebagai bahan pangan,
dibanding produk perikanan lainnya, tergolong kurang populer karena
nilai estetika yang rendah dilihat dari bentuk fisik teripang yang terkesan
menjijikkan. Namun demikian teripang sesungguhnya mengandung
protein cukup tinggi yaitu 82% (Martoyo et al., 2006). Mutu teripang
kering dari Indonesia masih dibawah standar perdagangan sehingga nilai
jual produk teripang lebih rendah dari produk negara-negara pesaingnya.
Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan
(BBRBLPP) Gondol, Bali telah berhasil melakukan pembenihan teripang
pada tahun 1994. Namun banyak terjadi kematian teripang selama masa
aklimatisasi. Teripang yang dipelihara sering mengalami luka dan borok
pada permukaan tubuhnya, borok tersebut berkembang cepat sehingga
dapat menyebabkan kematian. Dari induk teripang yang terinfeksi
tersebut telah berhasil diisolasi isolat bakteri Vibrio alginolyticus dan V.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 107


harveyi (Koesharyani et al., 1996), V. alginolyticus dan Streptococcus sp.
(Roza et al., 2016) bahkan virus (Deng et al., 2009).
Pada masa aklimatisasi induk maupun pembenihan teripang pasir
di hatchery sering mengalami kematian yang tinggi. Secara visual terlihat
teripang yang terinfeksi mengalami luka bahkan borok pada permukaan
tubuhnya, borok tersebut berkembang cepat sehingga menyebabkan
kematian. Selain itu kadang-kadang permukaan tubuhnya terlihat
berwarna keputihan. Untuk mencegah terjadinya infeksi penyakit pada
teripang perlu dilakukan diagnosa terhadap agen penyebabnya dan
penanggulangannya secara cepat serta akurat.

2. Jenis-jenis Penyakit pada Teripang Pasir, Holothuria scabra


2.1. Infeksi bakteri
Infeksi bakteri Vibrio alginolyticus dikenal dengan Vibriosis.
Bakteri ini merupakan salah satu agen penyebab penyakit luka dan borok
pada teripang pasir, H. scabra di hatchery BBRBLPP Gondol.
Karakteristik V. alginolyticus antara lain gram negatif, oksidase dan
katalase positif, fermentatif, motil dan tidak dapat mensintesa sukrosa
sehingga koloni pada TCBSA berwarna kuning dan menyebar
(swarming) pada TSA. Karakteristik isolat bakteri V. alginolyticus
disajikan pada Tabel 7.1.

108 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


Tabel 7.1. Karakteristik isolat bakteri yang diisolasi dari teripang pasir,
Holothuria scabra (Holt et al., 2000; Cowan & Steel‟s, 2003)
Karakteristik Isolat V. alginolyticus
Vibrio alginolyticus
Gram - -
Oksidase + +
Katalase + +
Motil + +
O-F F F
Koloni pada TCBSA Y Y
Koloni menyebar + +
pda TSA
Bentuk basil basil
Ket : - = negatif, + = positif, F = fermentatif, Y = yellow

Perbedaan warna pada bakteri gram negatif dan positif karena


perbedaan susunan kimia dinding sel kedua bakteri tersebut. Bakteri
gram negatif, dinding selnya tersusun dari 2 lapisan, yaitu lapisan luar
yang tersusun oleh lipopolisakarida (lipid) dan protein serta lapisan
dalam yang tersusun oleh peptidoglikan. Kedua lapisan dinding tersebut
yang kemudian mengakibatkan bakteri gram negatif berwarna merah.
Sedangkan warna ungu bakteri gram positif karena pada dinding bakteri
tersebut terdapat satu jenis lapisan yakni peptidoglikan yang tebal yang
tersusun dari banyak lapisan polimer peptidoglikan. Prokariot atau
organisme yang tidak memiliki membran inti termasuk bakteri memiliki
struktur sel yang relatif sederhana. Karena tidak mempunyai membran
inti, maka materi genetik yaitu DNA dan RNA bakteri melayang-layang
di daerah sitoplasma yang disebut nukleoid.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 109


Secara morfologi berdasarkan hasil pewarnaan gram, maka isolat
bakteri tersebut termasuk ke dalam bakteri gram negatif yang berbentuk
batang silinder yang menyerap warna merah, hal ini sama dengan yang
dilaporkan Sanaye et al. (2013) dan Roza (2017). Metode yang
digunakan untuk membedakan kedua jenis kelompok bakteri gram
negatif dan positif dikembangkan pertama kali oleh ilmuwan Denmark
yakni Hans Christian Gram pada tahun 1884 (Cowan & Steel‟s, 2003).

Gambar 7.1. Pewarnaan gram – (Vibrio alginolyticus)

Gambar 7.1 menunjukkan proses kimiawi yang terjadi pada


bakteri gram negatif yang memiliki 2 lapisan dinding sel, lapisan terluar
yaitu lipopolisakarida (lipid) akan tercuci oleh alkohol, sehingga pada
saat diwarnai dengan safranin akan bewarna merah karena safranin
masuk kedalam sel. Menurut Holt et al. (2000), bahwa struktur bakteri
yang terpenting adalah dinding sel karena bakteri dapat diklasifikasikan
dalam dua kelompok besar berdasarkan struktur dinding selnya, yaitu
bakteri gram negatif dan bakteri gram positif.
Bakteri gram negatif adalah bakteri yang tidak mempertahankan
zat warna metil ungu sedangkan bakteri gram positif akan
mempertahankan zat warna metil ungu gelap setelah dicuci dengan
alkohol. Pengujian ini berguna untuk mengklasifikasikan kedua tipe

110 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


bakteri ini berdasarkan perbedaan struktur dinding selnya. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Roza & Johnny (2007) bahwa perbedaan dasar
antara bakteri gram positif dan negatif adalah pada komponen dinding
selnya. Kompleks zat iodin terperangkap antara dinding sel dan membran
sitoplasma organisme gram positif, sedangkan penyingkiran zat lipid dari
dinding sel organisme gram negatif dengan pencucian alkohol
memungkinkan hilang dari sel (Roza, 2017). Bakteri gram positif
memiliki membran tunggal yang dilapisi peptidoglikan yang tebal antara
25-50 nm, sedangkan bakteri gram negatif lapisan peptidoglikogennya
tipis hanya 1-3 nm, hal ini sesuai dengan Cowan & Steel‟s (2003).
Keganasan Vibriosis ini berhubungan dengan produksi siderofor
atau agen penyapit zat besi yang berfungsi mengikat zat besi dari darah
inang. Zat besi dalam sel darah merah mempunyai peran penting dalam
memproduksi hemoglobin, dimana hemoglobin berfungsi untuk
mengangkut oksigen dari insang ke jaringan tubuh dalam proses
metabolisme sel. Karena terganggunya metabolisme sel maka akan
mempengaruhi sistem kerja organ sehingga berdampak terjadinya
penyakit. Hal ini diperkuat oleh Roza (2017) bahwa bakteri Vibrio dapat
melisiskan haemoglobin dan mempengaruhi metabolisme sel.
Roza et al. (2016) dan Toranzo et al. (2005) menyatakan Vibriosis
menyebabkan gejala septisemia dengan luka menyebar pada kulit, terjadi
nekrosis pada hati, ginjal dan jaringan yang lain. Bahkan menurut Becker
et al. (2004), Roza et al. (2016) dan Roza (2017) Vibrio menyerang ikan
dan organisme lainnya dimulai dari bagian lendir (mukus) yang
diproduksi oleh tubuh karena lendir merupakan lapisan pertama
pertahanan ikan. Irianto (2005) menyatakan tanda klinis infeksi bakteri
adalah terjadi septisemia, hemoragik pada kulit, insang dan ekor serta
borok pada kulit, hemoragik pada jaringan otot juga permukaan serosal.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 111


Limpa ikan yang terinfeksi mengalami pembengkakan dan berwarna
merah cerah, secara histologis hati, ginjal, limpa dan mukosa usus
mengalami nekrosis. Apalagi bakteri ini diisolasi dari infeksi eksternal.
Koesharyani et al. (1996) juga menyatakan bahwa luka pada kutikula
(kulit) memungkinkan sebagai jalan masuknya bakteri patogen
oportunistik. Di antara patogen, bakteri adalah agen etiologi yang paling
signifikan, terutama vibriosis (Deng et al., 2009; Wang et al., 2005).
Pemilihan identifikasi organisme berdasarkan DNA ribosom
karena secara fungsional dan evolusioner DNA ribosom memiliki sifat
homolog dari berbagai organisme yang berbeda, molekul purba dengan
struktur dan sekuen nukleotida konservatif yang sangat banyak di dalam
sel sehingga besar kemungkinan perbedaan satu dengan yang lain
(Tamura et al., 2011). Keseluruhan fragmen 1342 pasang basa (base
pair/bp) dari hasil sekuen dengan primer universal domain bakteri
forward 63f dan reverse 1387r. Hasil analisa sekuensing gen isolat
bakteri V. alginolyticus pada situs National Centre for Biotechnology
Information/NCBI BLAST-N 2.0 menunjukkan adanya kemiripan
dengan bakteri V. alginolyticus strain CIFRI V-TSBI (Nomor aksesi
gb|JF784015.1|) dengan tingkat kemiripan 99% dengan 1342 nukleotida
(Tabel 7.2.). Dibandingkan dengan hasil penelitian Aris et al. (2013)
maka ada kemiripannya dengan isolat V. alginolyticus yang
menyebabkan luka dan borok pada teripang pasir, H. scabra ini. Hal ini
mungkin ada hubungannya dengan lingkungan perairan karena sama-
sama berada di wilayah Buleleng, Bali. Hasil elektroforesis gel
amplifikasi PCR produk bakteri V. alginolyticus yang diisolasi dari luka
dan borok teripang pada agarose gel 1% dapat dilihat pada Gambar 7.2.

112 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


M 1 2 3 4 5 6

1500
bp 1342
1400 bp
bp

Gambar 7.2. Produk PCR bakteri Vibrio alginolyticus pada agarose gel
1%. Ket: M = Marker, 1-6 = Vibrio alginolyticus

Sekuensing adalah salah satu cara untuk mengidentifikasi suatu


gen, dimana identitas gen tersebut dapat ditentukan dengan
membandingkannya dengan data sekuenyang terdapat pada Genbank.
Ada 3 genbank diseluruh dunia (Picard et al., 2004) yaitu European
Bioinformatics Institute/EBI (http://www.ebi.ac.uk), National Centre for
Biotechnology Information/NCBI (http://www.ncbi.nlm.nih.gov) dan
DNA Data Bank of Japan/DDBJ (http://www.ddbj.nig.ac.jp).

Tabel 7.2. Hasil blast bakteri Vibrio alginolyticus


Sampel Sekuen Hasil Blast Homologi Ket.
(bp) (%)

Isolat Vibrio 1342 Vibrio alginolyticus 99 Con


alginolyticus strain, Xmb015 firm
KT986145.1

Berdasarkan pada Tabel 7.2, isolat bakteri diberi nama V.


alginolyticus dengan jarak genetik sebesar 0,051. Vibrio alginolyticus ini
mudah ditemukan pada luka dan borok, hal ini mengindikasikan bahwa
V. alginolyticus merupakan mikroflora normal yang ditemukan pada
lingkungan laut dan payau (Suyasa et al. 2013; Dahlia et al., 2017; Roza,
2017).
ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 113
2.2. Infeksi jamur
Infeksi jamur yang umum ditemukan patogen pada budidaya laut
terutama dari Ordo Lagenidiales antara lain genus Haliphtoros,
Halocrusticida dan Lagenidium. Menurut beberapa laporan infeksi
Lagenidium callinectes tergolong patogen (Roza & Johnny, 2007; Roza,
2012; Roza et al., 2012). Hasil penelitian Roza et al. (2016)
menyebutkan bahwa L. callinectes hanya sebagai penyebab borok dan
luka namun tidak menyebabkan kematian pada teripang pasir, H. scabra.
Hal ini menandakan bahwa kematian teripang terjadi karena infeksi
sekunder setelah adanya luka borok yang disebabkan oleh jamur L.
callinectes. Kasus ini sesuai dengan pernyataan dari Koesharyani et al.
(1996) yang menyatakan bahwa luka pada kutikula (kulit)
memungkinkan sebagai jalan masuknya bakteri patogen oportunistik.
Klasifikasi L. callinectes menurut Roza et al. (2016) adalah
sebagai berikut: Kingdom/Kerajaan: Chromista, Divisi: Oomycota,
Kelas: Oomycetes, Ordo: Pythiales, Famili: Pythiaceae, Genus:
Lagenidium, Spesies: Lagenidium callinectes. Karakteristik L. callinectes
mirip dengan Lagenidium scyllae, yang membedakannya adalah pada
proses pembentukan zoospora dimana pembentukan zoospora L. scyllae
terjadi lebih cepat yaitu 2-3 jam setelah miselia dipindah ke dalam air
laut steril, sedangkan L. callinectes memerlukan waktu yang lebih lama
yaitu 12 jam. Selain itu pada L. scyllae kantong gelatin tidak kelihatan
sedangkan pada L. callinectes terlihat dengan jelas di mana di dalam
vesikula terdapat protoplasma (Roza & Johnny, 2007). Menurut Roza
(2012) L. callinectes toleran terhadap air tawar dan payau, namun
tumbuh optimum pada air laut. Frekuensi infeksi jamur ini menurut Roza
et al. (2016) lebih sering terjadi pada musim hujan. Jamur ini hidup dan
memakan jaringan tubuh inangnya sebagai sumber makanan.

114 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


Karakteristik dari isolat jamur yang menginfeksi teripang pasir,
H. scabra antara lain koloni pada media PYGSA berwarna keputih-
putihan dengan diameter 37 mm setelah 5 hari inkubasi pada suhu 25°C.
Hifa halus, kuat, bercabang tidak beraturan dan tanpa sekat mempunyai
septum yang tipis dengan granula yang lebarnya 5-20 µm. Pada kultur
murni hifa tumbuh tidak seragam dengan diameter 5-15 µm dengan
sitoplasma yang tidak beraturan. Pembentukan spora terjadi dari butiran-
butiran kecil dan kasar. Vesikula (vesicle) terbentuk pada akhir tabung
pelepasan (discharge tube) dengan ukuran 30-5000 µm dan diameter 25-
70 µm dan banyak mengandung protoplasma dengan diameter 20-65 µm.
Pembentukan zoospora terjadi setelah 12 jam miselia dipindahkan ke
dalam air laut steril dan berlangsung selama seminggu. Zoospora
monoplanetik dengan 2 flagela, bentuk dan ukurannya tidak beraturan
seperti bola memanjang dengan ukuran 7-15 x 8-15 (rata-rata 7,5 x 15
µm). Perkecambahan terjadi setelah 3 jam setelah zoospora menemukan
inang. Karakteristik lengkap dari isolat jamur tersebut disajikan pada
Tabel 7.3. Hasil isolasi jamur dari induk teripang pasir, H. scabra yang
mengalami luka borok (Gambar 7.3a) dan diperoleh satu isolat jamur
Lagenidium callinectes (Gambar 7.3b).

3. Penanggulangan Infeksi Penyakit


3.1. Penanggulangan infeksi bakteri
Untuk penanggulangan infeksi penyakit yang disebabkan oleh
bakteri umumnya digunakan antibiotik, tetapi hal yang harus
diperhatikan dalam penggunaan antibiotik adalah mengetahui jenis
bakteri yang akan dikontrol, apakah bakteri gram negatif atau positif
karena antibiotik yang direkomendasikan untuk bakteri gram negatif
justru tidak efektif untuk bakteri gram positif, begitu juga sebaliknya.
Selain itu yang perlu diperhatikan adalah dosis pemakaiannya karena
ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 115
akan berdampak terhadap resistensi bakteri yang sangat merugikan
pembudidaya di masa datang. Berdasarkan permasalahan tersebut dipilih
jenis antibiotik yang mempunyai spektrum luas, bahkan diupayakan yang
efektif membunuh bakteri gram negatif dan gram positif.
Tabel 7.3. Karakteristik isolat jamur yang diisolasi dari teripang pasir,
Holothuria scabra dibandingkan dengan Lagenidium
callinectes
Isolat
Karakteristik L. callinectes
L. callinectes
Diameter koloni (mm) 37 35-40
Formasi vesikula + +
Tabung pelepasan Panjang panjang
Hifa halus + +
Cabang hifa + +
Fragmen - -
Vakuola hifa +/- +/-
Sekat hifa +/- +/-
Disartikulasi - -
Formasi zoospora Vesikula vesikula
Diameter zoospora (µm) 7,5 x 15 7,0 x 15
Diameter zoospora yang
dikeluarkan (µm) 7,0 x 15 7,0 x 15
Ket : + = positif; - = negatif

Pada Tabel 7.4. terlihat efektivitas 2 jenis antibiotik yang umum


digunakan dalam budidaya laut. Perlakuan oksitetrasiklin dengan dosis
0,0-10,0 ppm masih menunjukkan pertumbuhan bakteri V. alginolyticus
yang optimum tetapi pada perlakuan 25 ppm sama sekali tidak terlihat
adanya pertumbuhan bakteri tersebut. Hal ini juga dibuktikan dari hasil
reisolasi. Sedangkan untuk vetstrep, terlihat bakteri masih tumbuh pada
dosis 1,0 ppm dan tidak tumbuh sama sekali pada dosis 2,5 ppm.
116 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)
Sebagaimana diketahui vetstrep tergolong antibiotik yang mempunyai
spektrum luas karena efektif untuk membunuh bakteri gram negatif dan
gram positif. Sementara oksitetrasiklin hanya efektif untuk
menanggulangi infeksi bakteri gram negatif.

Gambar 7.3a. Induk teripang Gambar 7.3b. Isolat jamur


pasir, H. scabra yang Lagenidium callinectes yang
mengalami luka borok tumbuh pada media PYGSA

Tabel 7.4. Uji daya hambat terendah oksitetrasiklin dan vetstrep


terhadap pertumbuhan V. alginolyticus yang diisolasi dari
luka borok teripang pasir, H. scabra yang dilakukan tahun
2016 di Laboratorium BBRBLPP Gondol
Konsentrasi Antibiotik Reisolasi
(ppm) Oksitetrasiklin Vetstrep Oksitetrasiklin Vetstrep
0,0 ++ ++ + +
0,1 ++ ++ + +
0,2 ++ ++ + +
0,5 ++ + + +
1,0 ++ + + +
2,5 ++ - + -
5,0 ++ - + -
10,0 ++ - + -
25,0 - - - -
50,0 - - - -
100,0 - - - -
Ket: ++ = tumbuh optimal, + = tumbuh, - = tidak tumbuh
ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 117
3.2. Penanggulangan infeksi jamur
Pemakaian anti jamur atau fungisida untuk menanggulangi infeksi
jamur juga tidak berbeda dengan antibiotik karena beberapa penelitian
menunjukkan kecenderungan resistensi jamur (Castrillo et al., 2005).
Pemilihan jenis dan dosis fungisida yang tepat sangat menentukan
kesuksesan dan kontinyuitas budidaya laut kedepan.

Tabel 7.5. Uji daya hambat terendah fungisida terhadap isolat jamur
Lagenidium callinectes yang diisolasi dari luka borok teripang
pasir, H. scabra yang dilakukan tahun 2016 di Laboratorium
Patologi BBRBLPP Gondol
Fungisida
Konsentrasi (ppm)
Anti-Fungi Trifluralin Formalin
0,0 +++ +++ +++
0,1 ++ ++ +++
0,2 ++ ++ +++
0,5 + + +++
1,0 + + +++
2,5 + - +++
5,0 + - +++
10,0 - - ++
15,0 - - ++
20,0 - - +
30,0 - - -
50,0 - - -
100,0 - - -
Ket: +++ = tumbuh cepat; ++ = tumbuh agak cepat; + = tumbuh lambat; -
= tidak tumbuh

118 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


Hasil uji daya hambat terendah 3 jenis fungisida terhadap
pertumbuhan isolat jamur L. callinectes yang tercantum pada Tabel 7.5,
memperlihatkan bahwa trifluralin terbukti paling efektif dibanding kedua
fungisida lainnya, yakni pada konsentrasi 0-1 ppm masih terlihat
pertumbuhan jamur, sedangkan pada konsentrasi 2,5 ppm jamur sudah
tidak dapat tumbuh. Urutan ke-2 adalah Anti-Fungi, jamur sudah tidak
dapat tumbuh pada konsentrasi 10 ppm, sedangkan pada konsentrasi 0-5
ppm jamur masih tumbuh dengan baik. Urutan terakhir adalah formalin
dimana konsentrasi efektifnya adalah 30 ppm, sedangkan pada
konsentrasi 0-20 jamur masih dapat tumbuh subur.
Menurut Roza (2012), siklus hidup jamur ini tergolong pendek
hanya 48 jam untuk satu siklus hidupnya, maka dengan teknik memotong
siklus hidupnya melalui penggunaan fungisida diharapkan akan dapat
membasmi jamur tersebut. Akan tetapi Roza et al. (2016) menyatakan
bahwa pengendalian infeksi jamur menggunakan bahan kimia yang
berlebihan akan menimbulkan masalah baru karena akan memunculkan
generasi jamur baru yang resisten dan kebal terhadap bahan kimia, maka
dari itu metode penggunaanya harus tepat dan bahan kimia yang
digunakan harus dipilih yang tidak menimbulkan dampak terhadap
lingkungan maupun komoditi budidaya serta konsumennya. Resistensi
jamur L. callinectes terhadap fungisida sudah mulai terjadi mengingat
data dari penelitian sebelumnya oleh Zafran & Taufik (1996) menyatakan
bahwa pengendalian jamur Lagenedium spp. hanya memerlukan
konsentrasi 0,1 ppm untuk penggunaan trifluralin dan 15 ppm untuk
formalin. Untuk itu perlu segera ditemukan solusi lain untuk
penanggulangan infeksi jamur selain menggunakan bahan kimia.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 119


4. Penutup
Bakteri Vibrio alginolyticus dan jamur Lagenidium callinectes
merupakan agen penyebab luka borok pada teripang pasir Holothuria
scabra. Oksitetrasiklin dengan dosis 25 ppm dan vetstrep 2,5 ppm efektif
untuk membunuh bakteri tersebut. Untuk menanggulangi infeksi jamur
Lagenidium callinectes dapat digunakan fungisida trifluralin 2,5 ppm,
Anti-Fungi 10 ppm atau formalin 30 ppm.

120 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


Daftar Pustaka
Aris, M., Sukenda, Harris, E. & Sukadi, F. (2013). Identifikasi molekular
bakteri patogen dan desain primer PCR. Jurnal Budidaya
Perairan, 1(3), 43-50.
Becker, P., Gillanb, D., Lanterbecq, D., Jangoux, M., Rasolofonirina, R.,
Rakotovaod, J. & Eekhauta, I. (2004). The skin ulceleration
disease in cultivated juveniles of Holothuria scabra. Aquaculture,
242, 13-30.
Castrillo, A., Roberts, D.W., & Vandenberg, J.D. (2005). The fungal
past, present and future : Germination, ramification and
reproduction. Journal of Invertebrate Pathology, 80, 46-56.
Chen, J. (2003). Overview of sea cucumber farming and Sea ranching
practices in China. SPC Beche-de-mer Info Bull., 18, 18-23.
Cowan & Steel‟s. (2003). Manual for The Identification of Medical
Bacteria. Cambridge: Cambridge University Press.
Dahlia, Suprapto, H. & Kusdarwati, R. (2017). Isolasi dan identifikasi
bakteri pada benih ikan kerapu cantang (Epinephelus sp.) dari
kolam pendederan Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP)
Situbondo, Jawa Timur. Journal of Aquaculture and Fish Health,
6(2), 57-66.
Deng, H., Zhou, Z.C. & Wang, N.B. (2009). The syndrome of sea
cucumber (Apastichopus japonicas) infected by virus and
bacteria. Virology Sinica, 23, 63-67.
Fan, H. (2001). Sea cucumber: Research and development on health care
functioning of sea cucumber and its ingredients. China
Mariculture Medicine, 4, 37-42.
Farouk, A.E., Faizal, A.H.G. & Ridzwan, B.H. (2007). New bacterial
species isolated from Malaysian sea cucumbers with optimized
secreted antibacterial activity. American Journal of Biochemistry
and Biotechnology, 2(3), 60-65.
Holt, J.G., Krieg, N.R., Sneath, P.H.A., Staley, J.T. & Williams, S.T.
(2000). Bergey‟s Manual of Determinative Bacteriology, Ninth
Edition. Maryland, USA. 787 p.
Irianto, A. (2005). Patologi Ikan Teleostei. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta. 256 hlm.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 121


Koesharyani, I., Girsang, M.A. & Taufik, I. (1996). Isolasi dan
identifikasi bakteri penyebab vibriosis pada teripang pasir,
Holothuria scabra. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 2(2),
22-29.
Martoyo, J., Aji, N. & Winanto. T. (2006). Budidaya Teripang. Penebar
Swadaya. Jakarta. 69 hal.
Mercier, A., Battalene, S.C. & Hamel, J.F. (2000). Settlement
preferences and early migration of the tropical sea cucumber
Holothuria scabra. Journal of Experimental Marine Biology and
Ecology, 249, 89-110.
Picard, F.J., D. Ke, D.K. Boudreau, M. Boissinot, A. Huletsky, D.
Richard, M. Ouellette, P.H. Roy, M.G. Bergeron. (2004). Use of
tuf sequences for genus-specific PCR detection and phylogenetic
analysis of 28 streptococcal species. Journal Clinical
Microbiology, 42, 3686–3695.
Pranoto, E.N., Ma‟ruf, W.F. & Pringgenies, D. (2012). Kajian aktifitas
bioaktif ekstrak teripang pasir, Holothuria scabra terhadap jamur
Candida albicans. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil
Perikanan, 1(1), 1-8.
Roza, D. & Johnny, F. (2007). Lagenidium callinectes infection on
rotifers, Brachionus sp. Indonesian Aquaculture Journal, 2(1),
15-22.
Roza, D. (2012). Kematian massal larva udang windu, Penaeus monodon
Fabricius akibat infeksi Lagenidium callinectes. Prosiding
Indoaqua-Forum Inovasi Teknologi Akuakultur ” Seri Penyakit
Ikan & Lingkungan. Hal. 691-697. ISBN 978-979-789-041-4.

Roza, D., Johnny, F. & Setiawati, K.M. (2012). Infeksi jamur ordo
Lagenidiales, Lagenidium callinectes pada ikan klon, Amphiprion
ocellaris di hatchery dan penanggulangannya. Prosiding Seminar
Nasional Mikologi: 299-305. ISBN 978-979-16109-5-7.
Roza, D., Mastuti, I., Zafran & Sembiring, S.B.M. (2016). Penyakit pada
Teripang Pasir, Holothuria sabra. Laporan Teknis Akhir Kegiatan
Tahun 2016. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan. Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut. 18 hal.

122 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


Roza, D. (2017). Peningkatan imunitas benih ikan kerapu hibrid cantik
dengan lipolisakarida (LPS). J. Ilmu dan Teknologi Kelautan
Tropis, 9(1), 161-172.
Sanaye, S.V., Pawar, H.B., Murugan, A., Sreepada, R.A., Singh, T. &
Ansari, Z.A. (2013). Diseases and parasites in cultured yellow
seahorse, Hippocampus kuda (Bleeker 1852). Fish Chimes,
32(11), 65-67.
Sembiring, S.B.M., Wardana, I.B. & Haryanti. (2016). Performa benih
teripang pasir, Holothuria scabra dari sumber induk yang
berbeda. Jurnal Riset Akuakaultur, 11(2), 147-154.
Suyasa, I.B.O., Mahardika, I.G.N.K. & Ramona, Y. (2013). Identifikasi
molekuler bakteri Streptococcus yang berasosiasi dengan ikan
kerapu yang diperjualbelikan di pasar-pasar ikan di Bali. Jurnal
Biologi, XVIII(1), 10-13.
Tamura, K., Peterson, D., Peterson, N., Stecher, G., Nei, M. & Kumar, S.
(2011). MEGA 5 : Molecular evolutionary genetics analysis using
maximum likelihood, evolutionary distance and maximum
parsimony methods. Mol. Biol. Evol., 10.1093/ molbev/msr121.
Toranzo, A.E., Magarinos, B. & Romalde, J.L.. (2005). A Review of the
main bacterial fish diseases in mariculture systems. Aquaculture,
246, 37-61.
Wang, Y.G.,. Xu, G.R., Zhang, B.C.Y. & Sun, S.F. (2005). Main
diseases of cultured Apostichopus japonicas : Prevention and
treatment. Mar. Sci., 29, 1-7.
Zafran &. Taufik, I. (1996). Efektifitas berbagai fungisida dalam
menghindarkan Lagenidium spp. pada larva kepiting bakau,
Scylla serrrata. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 2(1), 15-
21.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 123


124 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)
BAB VIII

PROSPEK PENGEMBANGAN TERIPANG PASIR (Holothuria


scabra) SEBAGAI SUMBER SENYAWA BIOAKTIF DAN
PANGAN FUNGSIONAL

Muhammad NURSID

1. Pendahuluan
Teripang merupakan anggota dari timun laut (sea cucumber) yang
termasuk dalam filum Echinodermata kelas Holothuroidae. Kelompok
hewan ini berbentuk seperti timun dan hidup di laut. Teripang juga
dikenal dengan nama bêche-de-mer, atau gamat, telah sejak lama
dimanfaatkan oleh masyarakat Asia dan Timur Tengah sebagai makanan
dan obat tradisional. Teripang mengandung nutrisi berkualitas tinggi
yang terdiri dari protein, asam-asam amino, vitamin, mineral, dan asam-
asam lemak (Boardbar et al., 2011; Ram, 2017). Teripang mengandung
berbagai macam senyawa bioaktif dalam jumlah yang tinggi seperti
peptida, asam lemak tak jenuh ganda, triterpene glikosida, dan kondroitin
sulfat. Khasiat atau manfaat teripang yang sudah dilaporkan adalah dapat
menyembuhkan asma, memiliki sifat sitotoksik-antikanker, anti-
inflamasi, antioksidan, imunomodulator, antiokoagulan, dan lain-lain
(Sroyraya et al., 2017; Khotimchenko, 2018)
Selain manfaat teripang sebagai sumber senyawa bioaktif
farmakologis, teripang juga memiliki potensi untuk dikembangkan dalam
bidang kosmetika. Seperti diketahui, teripang memiliki kandungan
protein yang cukup tinggi, sekitar 70%-nya adalah kolagen. Kolagen
merupakan salah satu jenis protein struktural penyusun komponen kulit,
gigi, tulang, otot dan rambut. Hidrolisis kolagen secara enzimatis

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 125


menghasilkan hidrolisat yang mengandung peptida kolagen. Kolagen
tersusun dari asam-asam amino yang terutama didominasi oleh asam
amino prolin, hidroksi prolin, alanin dan glisin (Boardbar et al., 2011).
Kolagen tidak saja diaplikasikan pada produk-produk kesehatan namun
juga banyak digunakan untuk kosmetika terutama sebagai agen untuk
menjaga kelembaban kulit dan sebagai anti aging (Silva et al., 2014;
Alhana et al., 2015). Selain kolagen, manfaat dalam bidang kosmetik dan
personal-care dari teripang juga berhubungan dengan kandungan
polisakarida yang terdapat dalam teripang seperti kondroitin sulfat dan
fukoidan.
Holothuria scabra (teripang pasir atau sandfish) merupakan salah
satu jenis teripang yang memiliki nilai komersial yang sangat tinggi.
Ekstrak dari teripang ini dikenal memiliki nilai nutrisi dan kandungan
senyawa aktif yang dapat dimanfaatkan untuk pangan fungsional maupun
kesehatan. Teripang H. scabra memiliki nutrisi berkualitas tinggi yang
terdiri dari protein, asam-asam amino, vitamin, mineral, dan asam-asam
lemak. Berbagai bioaktivitas dari teripang sudah banyak diketahui
terutama sebagai antiangiogenik, antikanker, antiokoagulan, anti
hipertensi, antiinflamasi, antimikroba, antioksidan, antitrombotik, dan
sebagai penyembuh luka. Bioaktivitas teripang ini berkaitan dengan
kandungan senyawa-senyawa aktif terutama saponin, chondroitin sulfat,
glikosaminoglikan, polisakarida sulfat, sterol, peptida, cerberosides dan
lektin (Bordbar et al., 2011). Senyawa antioksidan dari teripang juga
membantu mengurangi kerusakan sel dan jaringan tubuh, efek
antinosisetif (penahan rasa sakit) dan anti-inflamasi (mengurangi
peradangan) (Karnila, 2011).
Teripang yang telah banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan
adalah dari jenis teripang pasir (Holothuria scabra). Teripang ini

126 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


selanjutnya dipasarkan dalam bentuk kering. Produk olahan teripang
diantaranya adalah teripang kering (beche-de-mer), gonad kering
(konoko), usus kering (konowata) dan kerupuk. Potensi teripang H.
scabra di Indonesia cukup besar. Teripang ini telah diekspor ke berbagai
negara dan merupakan salah satu komoditas perikanan yang mempunyai
nilai ekonomis tinggi. Kandungan gizi, asam lemak dan mineral yang
tinggi menjadikan teripang sebagai sumber pangan yang menyehatkan.
Dalam paper ini akan dibahas kandungan nutrisi, senyawa bioaktif dan
kolagen pada teripang H. scabra termasuk prospeknya sebagai sumber
bahan untuk pangan fungsional, kesehatan dan kosmetika.

2. Proses Penanganan Bahan Baku Teripang H. scabra


Teripang H. scabra yang saat ini beredar dipasaran berasal dari
hasil tangkapan di alam. Secara rinci penanganan bahan baku dimulai
ketika teripang segar yang diperoleh dibersihkan, dibuang isi perutnya,
dilanjutkan dengan perebusan, penggaraman, pengeringann dan
pengemasan (Gambar 8.1). Tetapi meskipun demikian, proses
penanganan bahan baku teripang bisa berbeda tergantung dari tujuan
penggunaan dari teripang tersebut.

3. Komposisi Nutrisi Teripang H. scabra


Sebagai sumber nutrisi dan delicacy, beberapa jenis teripang seperti
teripang pasir (Holothuria scabra) telah menjadi komoditas penting yang
diekspor Indonesia dalam bentuk kering asap. Dalam perdagangan
teripang dunia produk teripang kering ini sering disebut dengan nama
Beche-de-mer. Meskipun data yang pasti mengenai jumlah dan nilai
teripang yang diekspor sulit diperoleh, beberapa laporan menyebutkan
bahwa Indonesia merupakan salah satu sumber teripang di pasar Asia
Tenggara selain Philipina, Vietnam, Thailand dan Malaysia dengan

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 127


tujuan utama ekspor adalah Singapura dan Hongkong (Perez & Brown,
http://www.worldfishcenter.org/resource_centre/WF_3034.pdf).

Gambar 8.1. Gambaran secara umum proses penanganan bahan baku


teripang menurut Ram et al. (2017).

128 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kandungan
protein teripang H. scabra sekitar 43% tetapi kandungan lemaknya
rendah (2%). Protein teripang yang cukup tinggi ini menunjukkan bahwa
teripang memiliki nilai gizi yang baik sebagai makanan. Protein pada
teripang mempunyai asam amino yang lengkap, baik asam amino
essensial maupun asam amino non essensial. Kadar protein yang cukup
besar memberikan nilai gizi yang cukup baik dan protein teripang
mempunyai asam amino yang lengkap. Kandungan lemaknya
mengandung asam lemak tidak jenuh yang sangat diperlukan bagi
kesehatan jantung (Boardbar et al., 2011)
Teripang merupakan makanan berkualitas tinggi yang memiliki
nilai kesehatan, dikonsumsi mentah, dikeringkan atau direbus (Conand,
1990) untuk mengoptimalkan sifat medisinal dari teripang. Teripang
mengandung mikronutrien tingkat tinggi seperti mineral (sekitar 21%),
termasuk tembaga, magnesium dan potassium, asam amino, kolagen dan
asam lemak termasuk yang dianggap penting untuk kesehatan manusia
seperti asam eicospentaenoic yang sangat tidak jenuh (20: 5n-3, EPA),
asam docosahexaenoic (C22: 6n-3, DHA) dan asam arakidonat (C20: 4n-
6, AA). Kehadiran asam lemak dalam teripang berkisar 5-61%
tergantung pada spesies dan telah dikaitkan dengan penurunan risiko
penyakit jantung koroner dan kanker (Boardbar et al., 2011; Ram, 2017).
Hasil analisis proksimat H. scabra memperlihatkan kadar abu
2,26 %, kadar protein 43,43%, lemak total 5,66% dan total karbohidrat
48,65% (Omran, 2013). Hasil penelitian Sroyraya et al., (2017)
memperlihatkan bahwa teripang H. scabra mengandung protein sebesar
55,18% di dalam dinding tubuh dengan kadar lipid sangat rendah (1,02%
di dinding tubuh). Asam amino yang paling banyak ditemukan di seluruh
tubuh dan dinding tubuh adalah glisin, asam glutamat, dan prolin. Asam

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 129


lemak utama yang ditemukan di seluruh tubuh adalah asam stearat dan
asam sarafonat, dan di dinding tubuh ada asam arakidonat dan asam
stearat. Seluruh tubuh dan dinding tubuh juga mengandung asam amino
esensial, asam lemak esensial, dan kolagen dalam kadar tinggi, vitamin E
dalam jumlah sedang dan GABA (gamma amino butyric acid) dan
vitamin C dalam jumlah rendah.

4. Kandungan Senyawa Bioaktif Teripang H. scabra


H. scabra memiliki kandungan nutrisi tinggi dan senyawa
biokatif yang sangat beragam mulai dari golongan saponin, fenol, protein
hingga kolagen. Secara ringkas, komposisi senyawa bioaktif disajikan
dalam Gambar 8.2.

Keterangan : Gambar diadopsi dari Janakiram et al. (2015) dan Siahaan


et al. (2016).
Gambar 8. 2. Kandungan senyawa bioaktif dari teripang H. scabra

4.1. Pemanfaatan saponin H. scabra sebagai bahan antikanker


Komponen mayor dari senyawa metabolit sekunder yang ada
pada teripang adalah saponin. Saponin merupakan golongan bahan alam
yang sangat penting yang pertama kali ditemukan pada tanaman tingkat
130 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)
tinggi. Triterpen glikosida, juga dikenal dengan nama holothurian atau
saponin, merupakan senyawa metabolit sekunder yang banyak dihasilkan
oleh teripang dari kelas Holothuroidea. Secara struktural saponin
holothurian terdiri dari sebuah rantai oligisakarida dan aglikon berupa
holostane-3b-ol (Gambar 8.3). Saponin Holothuriidae mengandung
ikatan ganda D pada sisi aglikon dan rantai karbohidrat yang bisa
mencapai 6 unit gula termasuk xylose, glukosa, 3-O-metilglukosa dan
quinovosa. Beberapa dari saponin tersebut dapat mengandung sulfat pada
bagian xilosa (Caulier et al., 2011; Mondol et al., 2017).
Lebih dari 300 glikosida triterpene telah diisolasi dan dikarakterisasi
dari berbagai spesies teripang, yang diklasifikasikan sebagai holostane
dan nonholostane tergantung pada ada atau tidak adanya unit struktural
spesifik γ (18, 20)-lakton pada gugus aglikon. Glikosida triterpen
mengandung rantai karbohidrat hingga enam unit monosakarida terutama
terdiri dari D-xylose, 3-O-methy-D-xylose, D-glukosa, 3-O-metil-D-
glukosa, dan D-quinovose. Sitotoksisitas adalah sifat biologis umum dari
glikosida triterpen yang diisolasi dari teripang. Selain sitotoksisitas,
glikosida triterpen juga menunjukkan aktivitas antijamur, antivirus, dan
hemolitik.

Kandungan senyawa saponin pada H. scabra adalah scabrasides


B, D, echinoside A, 24-dehydroechinoside A, HS-1, holothurins A, A1,
A3, A4, B, B4, dan fuscocineroside C (Khotimchenko, 2018) (Gambar
8.3). Scabraside merupakan senyawa sitotoksik yang terdapat pada H.
scabra. Scabraside D memiliki aktivitas sitotoksisk terhadap sel HeLa,
HepG2, K562 dengan nilai IC50 berkiasar antara 3.33–10.06 µg/mL
(Wang et al., 2014). Demikian juga Holothurins A3 dan A4 dari H.
scabra memiliki sitotoksisitas yang kuat terhadap sel epidermoid
carcinoma (KB) dan hepatocellular carcinoma (Hep-G2) dengan nilai
ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 131
IC50 berturut-turut sebesar 0,87 dan 0,32 µg/ml (untuk A3) dan 1,12 dan
0,57 µg/ml (untuk A4) (Dang et al., 2007).

Holothurin

Fuscocineroside

Fuscocineroside

Gambar 8.3. Beberapa contoh senyawa saponin antikanker yang terdapat


pada H. scabra
132 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)
Echinoside A menunjukkan aktivitas induksi apoptosis terhadap
sel HepG2. Mekanisme induksi apoptosis terjadi melalui melalui
penurunan potensial transmembran mitokondria dan rasio Bcl-2/Bax
mRNA serta dalam waktu yang sama membantu pengaturan ekspresi
caspase-3, caspase-8 dan caspase-9 pada sel HepG2 (Wang et al., 2014).
Scabraside D menghambat proliferasi sel human
cholangiocarcinoma dengan IC50 sebesar 12,8 µg/ml. Kemampuan
induksi apoptosis pada scabraside D terjadi melalui penurunan ekspresi
Bcl-2 dan ekspresi gene yang mengatur caspase-3. Aktvitas
penghambatan sel kanker Scabraside D menunjukkan perbedaan yang
tidak nyata dengan obat antitumor 5-fluorouracil. Hasil uji dengan
hewan coba (in vivo), scabraside pada dosis 1 mg/kgBB/hari secara
signifikan menurunkan laju pertumbuhan sel cholangiocarcinoma tanpa
efek samping yang berarti pada tikus BALB/cMlac-nu (Assawasuparerk
et al., 2016).

4.2. Pemanfaatan lektin dari teripang H. scabra dalam imunologi


Komponen utama sistem imun tubuh adalah limfosit. Sel limfosit
mampu bermitosis jika ada aktivasi dari agen mitogen. Salah satu agen
yang bisa mengaktivasi sel-sel limfosit adalah lektin. Lektin adalah suatu
jenis protein yang mampu mengikat karbohidrat secara spesifik dan
reversible. Lektin mampu mengenali dan berinteraksi dengan karbohidrat
bebas ataupun glikokonjugat (glikoprotein, glikolipid) (Singh & Walia,
2018). Sifat lektin dalam mengenali dan berikatan dengan karbohidrat
secara spesifik dan reversibel membuka peluang untuk menjadikannya
sebagai tools dalam bidang imunologi dan glikobiologi (Holanda et a.,
2012, Singh & Walia, 2018; Fajarningsih et al., 2018). Lektin sangat
menarik bagi ahli imunologi karena kemampuan mereka untuk
berinteraksi dengan limfosit dan menginduksi pembentukan sel blast (sel
ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 133
yang belum matang, prekursor sel). Lektin bersifat mitogenik pada sel
limfosit T. Dalam hal ini sel T akan bermitosis jika dirangsang oleh
mitogen lektin. Mitogen akan membantu memperbaiki sistem imun pada
organisme. Stimulasi limfosit oleh lektin meningkatkan produksi
imunoglobulin, limfokin, limfotoksin, dan interferon pada kasus tertentu.
Oleh karena itu mitogen ini sering digunakan untuk memicu proliferasi
sel limfosit sehingga memperkuat sistem imun. Induksi limfosit dengan
mitogen sering diterapkan pada pasien yang menderita kanker dengan
harapan pasien kanker meningkat sistem imunnya (Khurtsidze &
Gaidamashvili, 2015). Hasil peneliitian dari Mojika & Merca (2015)
memperlihatkan bahwa lectin yang diisolasi dari H. scabra yang berasal
dari perairan Bauan Batangan Filipina menunjukkan aktivitas mitogenik.
Selain itu lektin dari H. scabra tersebut juga memperlihatkan aktivitas
anti hemolisis pada sel eritrosit sehingga potensial untuk digunakan
dalam terapi anemia. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk
mengekstraksi, mengisolasi dan mengkarakterisasi lektin dari teripang,
khususnya teripang H. scabra hasil budidaya sehingga pengembangan
dan pemanfaatan lektin dari teripang H. scabra sebagai tools dalam
imunologi dapat dilakukan.

4.3. Polisakarida dari teripang


Biota laut misalnya makro-mikroalga dan teripang kaya dengan
berbagai macam polisakarida. Polisakarida tersebut ada yang
mengandung sulfat maupun tidak (non sulfat). Novel polisakarida dari
teripang saat ini banyak ditemukan dari teripang. Polisakarida sulfat
memiliki prospek yang cerah sebagai ingredient dalam industri kosmetik
dan farmasi. Salah satu polisakarida sulfat dari teripang adalah
holothurian fucosylated kondroitin sulfat (FuCS). Secara struktural, FuCS
terdiri tersusun dari polisakarida yang sama dengan yang biasa

134 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


ditemukan pada mamalia, tetapi residu asam uronatnya memiliki cabang
fukosil sulfat pada karbon no 3 (Myron et al., 2014) (Gambar 8.4).

Gambar 8.4. Struktur holothurian fucosylated kondroitin sulfat menurut


Pomin (2014)

Beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa polisakarida


sulfat dari teripang memiliki bioaktivitas yang luas. Misalnya, Anisimova
et al. (2017) memperlihatkan bahwa FuCS dari teripang Massinium
magnum memiliki aktivitas sebagai stimulator hematopoiesis. Potensi
antikoagulan FuCS yang berasal dari teripang Isostichopus badionotus,
Holothuria edulis, Apostichopus japonicas dan Holothuria nobilis
diungkap oleh Luo et al. (2013) dan Li et al. (2016). Secara umum dapat
diringkas bahwa bioaktivitas dari poliskarida sulfat diantaranya adalah
sebagai antitumor, inaktivasi trombin, antioksidan, antihiperlipidemik
dan antiosteoklastogenesis (Pomin, 2014; Siahaan et al., 2016).
Mengingat besarnya potensi polisakarida pada teripang, maka saat proses
penelitian untuk mengisolasi dan mengkarakterisasi polisakarida sulfat
dari teripang terus dilakukan, lebih khusus lagi adalah teripang H. scabra
hasil budidaya.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 135


Polisakarida penting lainnya yang terdapat pada teripang adalah
fukoidan. Fukoidan merupakan salah satu zat bioaktif utama teripang
yang terdiri dari kelompok ester L-fucosa dan sulfat. Fukoidan dari
teripang tersusun atas (α1––>3)- dan/atau (α1––>4)- yang terhubung
dengan fukosil atau bercabang dengan C-2 dan/atau C-4 dengan gugus
sulfat (Mansour et al., 2019). Bioaktivitas fukoidan dari teripang telah di
laporkan oleh beberapa peneliti misalnya sebagai antikoagulan dan
antitrombotik (Chen et al., 2013). Perlu eksplorasi lebih lanjut tentang
fukoidan dari teripang agar pemanfaatannya dapat berjalan dengan
maksimal.

4.4. Kolagen teripang


Kolagen merupakan salah satu jenis protein struktural yang
tersusun dari asam-asam amino, terutama didominasi oleh asam amino
prolin, hidroksi prolin, alanin dan glisin. Kolagen adalah protein fibrosa
dan merupakan komponen utama jaringan ikat yang pada tulang, tendon,
kulit, gigi, pembuluh darah, kornea mata dan rambut. Hidrolisis kolegen
secara enzimatis menghasilkan hidrolisat yang mengandung peptida
kolagen. Menurut Safithri et al. (2018), jumlah kolagen pada manusia
mencapai sepertiga dari protein total, dan menyumbang tiga perempat
dari berat kering kulit.
Kolagen memiliki aplikasi yang luas dalam bidang kesehatan
terutama yang berkaitan dengan kecantikan (beauty care). Kolagen yang
terdapat dalam tubuh berperan dalam mempertahankan integritas,
elastisitas, dan keteguhan struktur. Kolagen sangat membantu dalam
regenerasi jaringan sehingga kolagen membuat kulit tampak muda.
Kerusakan dan penurunan jumlah kolagen pada manusia terjadi karena
faktor usia dapat dikurangi dengan penambahan kolagen dalam formulasi
kosmetik. Disebabkan perannya dalam memberikan elastisitas kulit,

136 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


terapi kolagen dapat memberikan penampilan yang sehat, bercahaya,
mencegah kerutan, dan membuat kulit tampak montok. Selain itu kolagen
banyak diaplikasikan pada produk-produk kosmetika yang berkaitan
dengan pelembab kulit dan pelindung dari sinar UV (Silva et al., 2014).
Penambahan kolagen pada formulasi kosmetik ini juga didasarkan pada
sifat kolagen yang dapat mengontrol penguapan cairan serta dapat
memberikan dari bakteri (Khan & Khan, 2013).
Sumber kolagen dan gelatin komersial umumnya berasal dari sapi
atau babi yang perlu diwaspadai kehalalannya. Kolagen dari teripang dan
hasil perikanan lainnya menjadi alternatif lain yang halal dan relatif
aman. Teripang dapat digunakan sebagai alternatif sumber kolagen
dikarenakan sebagian besar protein pada dinding tubuh teripang tersusun
atas kolegen (60-80%). Kolagen tersebut yang menentukan bentuk tubuh
teripang, membantu pada saat makan, respirasi, menggali lubang dan
pertahanan.
Kandungan kolagen bervariasi antar jenis teripang, sebagai
contoh teripang pasir (Holothuria scabra) sebesar 8,16% (Ram et al.,
2017), teripang emas (Sticophus hermanii) sebesar 0,66% (Safithri et al.,
2018), dan teripang gama (Sticophus variegatus) sebesar 16,4% (berat
kering) (Fawzya et al., 2016). Kandungan kolagen teripang S. variegatus
hasil budidaya masih sangat terbatas.
Kolagen hewan air dari daerah tropis memiliki kualitas yang
serupa dengan kolagen dari hewan darat (sapi dan babi). Berdasarkan hal
itu, pengembangan kolagen dari teripang dan hewan air lainnya
mempunyai prospek ke depan yang sangat baik untuk dikembangkan
(Fawzya et al., 2016; Zhong et al., 2015), apalagi kolagen dari teripang
yang berasal dari kegiatan budidaya sehingga bisa bersifat kontinyu dan
ramah lingkungan.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 137


5. Prospek Teripang H. scabra untuk Aneka Pengembangan
Inovasi Produk Kelautan
Dalam bagian sebelumnya telah dibahas kandungan senyawa
bioaktif yang terdapat dalam teripang H. scabra dan potensinya untuk
dikembangkan dalam bidang kesehatan, kosmetika maupun pangan
fungsional. Dapat dikatakan bahwa teripang H. scabra adalah “buah
emas” yang dapat diolah menjadi bermacam-macam produk inovasi
kelautan yang bernilai tinggi. Sekarang ini kita bisa melihat banyak
sekali produk-produk berbasis teripang yang bermanfaat untuk
kesehatan. Namun banyak dari produk-produk tersebut yang belum
melalui uji khasiat dan keamanan, ijin edar dari BPOM, bahan baku dan
proses pembuatannya belum terstandarisasi. Satu hal yang juga sangat
penting adalah belum adanya sistem untuk menelusuri asal bahan baku
teripang, apakah berasal dari area yang sudah over exploitasi atau belum.
Salah satu tantangan terbesar dalam mengembangkan dan
mengkomersialisaikan senyawa bioaktif dari lingkungan laut adalah
pasokan bahan baku yang kontinyu. Dapat dikatakan bahwa syarat agar
komersialisasinya dapat berjalan baik adalah jika sumber bahan baku
tersebut dapat dijamin yang dapat dicapai melalui budidaya
(marineculture), produksi secara bioteknologi maupun sintesis kimia.
Keberhasilan dalam melakukan budidaya H. scabra tentunya menjadi
salah satu pondasi kuat dalam usaha untuk mengkomersialisasikan
senyawa bioaktif dari H. scabra. Hal ini disebabkan karena suplai bahan
baku secara kontinyu yang dibutuhkan oleh industri dapat terpenuhi.
Penyediaan bahan baku selain melalui budidaya, juga bisa dilakukan
melalui penangkapan dari alam tetapi dengan pengaturan yang ketat.
Area tempat tumbuh teripang H. scabra perlu dilindungi baik melalui
sistem konservasi maupun zonasi sehingga penangkapan dan

138 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


pemanfataanya bisa berjalan secara lestari. Secara ringkas, diagram alir
pemanfaatan H. scabra disajikan pada Gambar 8.5.

Gambar 8.5. Diagram proses pemanfaatan teripang H. scabra

Hal yang diperlukan untuk menjawab tantangan pengembangan


senyawa bioaktif dari laut H. scabra meliputi optimasi proses
penanganan pasca panen, optimasi ekstraksi, standarisasi, formulasi, uji
khasiat dan uji kemananan, dan regulasi yang mendukung. Hal yang juga
sangat dibutuhkan adalah registrasi produk dan proses bisnis yang
kondusif sehingga dihasilkan suatu produk inovasi yang bermutu tinggi.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 139


6. Penutup
Teripang H. scabra memiliki kandungan nutrisi dan senyawa
bioaktif yang dapat dikembangkan sebagai pangan nutraseutika,
farmaseutika dan kosmetika (personal care). Hilirisasi ataupun
komersialisasi ragam produk inovasi berbasis teripang H. scabra
tergantung pada salah satu titik kritis yaitu suplai bahan baku. Apabila
suplai bahan baku dapat dilakukan secara kontinyu baik melalui
teknologi budidaya ataupun penangkapan di alam secara lestari, maka
proses industrialisasi teripang H. scabra dapat dilakukan. Kebarhasilan
dalam melakukan proses komersialisasi produk inovasi berbasis H.
scabra bisa dijadikan model bagi teripang jenis lain ataupun biota laut
lainnya.

140 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


Daftar Pustaka
Alhana, Suptijah, P., & Tarman, K. (2015). Ekstraksi dan karakterisasi
kolagen dari daging teripang gamma. Jurnal Pengolahan Hasil
Perairan Indonesia, 18 (2), 150 -161.
Assawasuparerk, K., Vanichviriyakit, R., Chotwiwatthanakun, C.,
Nobsathian, S., Rawangchue, T., & Wittayachumnankul, D.
(2016). Scabraside D extracted from Holothuria scabra induces
apoptosis and inhibits growth of human cholangiocarcinoma
xenografts in mice. Asian Pac. J. Cancer Prev., , 17, 511–517.
Bordbar, S., Anwar, F. & Saari, N. (2011). High-value components and
bioactives from sea cucumber for functional foods-a review. Mar
Drugs., 9, 1761-1805.
Caulier, G., Dyck, S.V., Gerbaux, P., Eeckhaut, I., & Flammang, F.
(2011). Review of saponin diversity in sea cucumbers belonging
to the family Holothuriidae. SPC Beche-de-mer Information
Bulletin, 31, 48-54.
Chatterji, A., Kassim, Z., Hassan, A., Therwath, A., & Shaharom, F.
(2010). Marine living resources in the practice of traditional
medicine. Journal Coastal Environment, 1(1), 41-5.
Chen, S.; Li, G.; Wu, N.; Guo, X.; Liao, N.; Ye, X.; Liu, D.; Xue, C.; &
Chai, W. (2013). Sulfation pattern of the fucose branch is
important for the anticoagulant and antithrombotic activities of
fucosylated chondroitin sulfates. Biochim. Biophys. Acta, 1830,
3054–3066
Conand, C., (1990). The fishing resources of the Pacific Island Countries.
Part 2: Holothuria. In Kinch, J (eds). Overview of Beche-de-mer
industry in Milne Bay Province, Papua New Guinea. SPC Beche-
de-mer information bulletin, 17, 2-15.
Dang, N.H., Van Thanh, N., Van Kiem, P., Huong, L.M., Van Minh, C.,
& Kim, Y.H. (2007). Two new triterpene glycosides from the
Vietnamese sea cucumber Holothuria scabra. Arch. Pharm. Res.,
30, 1387–1391.
Fawzya, Y.N., Chasanah, E., Poernomo, A., & Khirzin, M.H. (2016).
Isolasi dan karakterisasi parsial kolagen dari teripang gamma
(Stichopus variegatus). JPB Kelautan dan Perikanan, 11(1), 91 -
100.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 141


Fajarningsih, N.D., Intaqta, N., Praseptiangga, D., Anam, C., &
Chasanah, E. (2018). Karakterisasi biokimia lektin makroalga
Sargassum polycystum dan Turbinaria ornata. JPB Kelautan dan
Perikanan, 13 (2), 91-100.
Holanda, E., Sousa Arruda, F. V., do Nascimento, K. S., Alves, V.,
Shiniti, C., da Silva, B. R. & Sousa, B. (2012). Biological
applications of plants and algae lectins: an overview. In
Carbohydrates - Comprehensive Studies on Glycobiology and
Glycotechnology, (pp.533–558). InTech. Croatia.
Janakiram, N.B., Mohammed, A. & Rao, C.V. (2015). Sea cucumbers
metabolites as potent anti-cancer agents. Mar Drugs, 13, 2909-
2923.
Karnila, R., Astawan, M., Sukarno & Wresdiyat, T. (2011). Karakteristik
konsentrat protein teripang pasir (Holothuria scabra J.) dengan
bahan pengekstrak aseton. Jurnal Perikanan dan Kelautan, 16(1),
90-102.
Khan, R. & Khan, M.H. (2013). Use of collagen as a biomaterial: An
update. Journal of Indian Society of Periodontology, 17(4), 539-
542.
Khotimchenko, Y. (2018). Pharmacological potential of sea cucumbers.
Int. J. Mol. Sci., 19, 1342; doi:10.3390/ijms19051342.
Khurtsidze, E. & Gaidamashvili, M. (2015). Mitogenic activity of
mulberry lectin (Morus alba L.) on human peripheral blood
lymphocytes. International Conference on Plant, Marine and
Environmental Sciences (PMES-2015) Jan. 1-2, 2015 Kuala
Lumpur (Malaysia).
Li, J.H., Li, S., Zhi, Z.J., Yan, L.F., Ye, X.Q., Ding, T., Yan, L.,
Linhardt, R.J. & Chen, S.G. (2016). Depolymerization of
fucosylated chondroitin sulfate with a modified fenton-system and
anticoagulant activity of the resulting fragments. Mar. Drugs, 14,
170; doi:10.3390/md14090170.
Luo, L., Wu, M., Xu, L., Lian, W., Xiang, J., Lu, F., Gao, N., Xiao, C.,
Wang, S. & Zhao, J. (2013). Comparison of physicochemical
characteristics and anticoagulant activities of polysaccharides
from three sea cucumbers. Mar. Drugs, 11, 399-417.

142 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


Mansour, M.B., Balti, R., Yacoubi, L., Ollivier, V., Chaubet, F., &
Maaroufi, R.M. (2019). Primary structure and anticoagulant
activity of fucoidan from the sea cucumber Holothuria polii.
International of Biological Macromolecule, 121, 1145-1153.
Mojika, E.R.E. & Merca, F.E. (2015). Biological propertries of lectin
from sea cucumber (Holothuria scabra Jaeger). Journal of
Biological Sciences, 5 (4), 472-477.
Mondol, M.A.M., Shin, H.J., Rahman, A. & Islam, M.T. (2017). Sea
cucumber glycosides: Chemical structures, producing species and
important biological properties. Mar. Drugs, 15(10),
317; https://doi.org/10.3390/md15100317
Myron, P., Siddiquee, S. & Al-Azad, S.A. (2014). Fucosylated
chondroitin sulfate diversity in sea cucumbers: A review.
Carbohydrate Polymers, 112, 173–178.
Omran, E.S.N.E.S. (2013). Nutritional value of some Egyptian sea
cucumbers. African Journal of Biotechnology, 12(35), 5466-5472.
Pomin, V.H. (2012). Structure-function relationship of anticoagulant
and antithrombotic well-defined sulfated polysaccharides from
marine invertebrates. Adv. Food Nutr. Res., 65, 195–209.
Pomin, V.H. (2014). Holothurian fucosylated chondroitin sulfate: A
Review. Mar. Drugs, 12, 232-254.
Ram, R., Chand, R.V., Forrest, A. & Southgate, P.C. (2017). Effect of
processing method on quality, texture, collagen and amino acid
composition of sandfish (Holothuria scabra). LWT - Food
Science and Technology, 86, 261-269.
Siahaan, E.A., Pangestuti, R., Munandar, H., & Kim, S.K. (2016).
Review cosmeceuticals properties of sea cucumbers: Prospects
and trends. Cosmetics, 4, 26. doi:10.3390/cosmetics4030026.
Singh, R. S., & Walia, A. K. (2018). Lectins from red algae and their
biomedical potential. Journal of Applied Phycology, 30(3), 1833–
1858. http://doi.org/10.1007/ s10811-017-1338-5.
Silva, T.H., Moreira-Silva, Marques, A.L.P., Domingues, A., Bayon, I. &
Reis, L. (2014). Marine origin collagens and its potential
applications. Mar. Drugs; 12(12), 5881–5901. doi:
10.3390/md12125881

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 143


Safithri, M., Setyaningsih, I., Tarman, K., Suptijah, P., Yuhendri, V.M.,
& Meydia. (2018). Potensi kolagen teripang emas sebagai
inhibitor tirosinase. Jurnal Pengolahan Hasil Perairan Indonesia,
21(2), 295-303.
Sroyraya, M., Hanna, P.J., Siangcham, T., Tinikul, R., Jattujan, P.,
Poomtong, T., & Sobhon, P. (2017). Nutritional components of
the sea cucumber Holothuria scabra. Functional Foods in Health
and Disease, 7(3), 168-181.
Wang, J., Han, H., Chen, X., Yi, Y. & Sun, H. (2014). Cytotoxic and
apoptosis-inducing activity of triterpene glycosides from
Holothuria scabra and Cucumaria frondosa against HepG2 cells.
Mar. Drugs, 12, 4274–4290.
Zhong, M., Chen, T., Hu, C., & Ren, C. (2015). Isolation and
characterization of collagen from body wall of sea cucumber
Stichopus monotuberculatus. Journal of food science, 80(4), c1-
c9. doi: 10.1111/1750-3841.12826.

144 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


EPILOG

Teripang pasir, Holothuria scabra merupakan produk perikanan


yang bernilai ekonomis tinggi baik sebagai sumber pangan yang luxury
dan nutraseutika, maupun sebagai bahan baku farmaseutika dan
kosmetika. Permintaan pasar khusus untuk teripang pasir saat ini terus
meningkat, karenanya terjadi penangkapan populasi alam yang berlebih
sehingga stok alam menurun sangat drastis. Usaha untuk memenuhi
permintaan akan teripang dan memulihkan populasi alam adalah dengan
cara penyiapan benih dan pembesaran secara terkontrol. Teknologi
domestikasi induk teripang, biologi reproduksi, pemijahan dan
pembesaran larva sudah dikuasai. Teknologi transportasi induk dan
juvenile teripang, manajemen pembesaran, penyediaan pakan buatan dan
kebutuhan nutrisinya serta penanggulangan penyakit juga telah dikuasai.
Hilirisasi ataupun komersialisasi ragam produk inovasi berbasis
teripang H. scabra sangat terkendala dengan pasok bahan baku teripang.
Oleh karena itu pengembangan budidaya teripang baik secara terkontrol
dalam tambak atau kolam perlu segera dikembangan. Selain
pengembangan budidayanya, study tentang stock enhancement ke alam
dan pemetaan lokasi yang layak perlu segera dilakukan sebagai dasar
pelaksanaan release benih teripang.
Perbaikan mutu genetika teripang untuk memproduksi teripang
yang tumbuh cepat, tahan terhadap perubahan lingkungan dan yang
mudah beradaptasi pada berbagai kondisi lingkungan serta tahan
terhadap berbagai serangan penyakit perlu dikembangkan dalam rangka
pemenuhi permintaan teripang yang terus meningkat dikemudidan hari.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 145


146 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)
INDEKS

Auricularia 9, 10, 31, 32, 33, 34, 35


Antikoagulan 105, 135, 136
Antioksidan 125, 126, 135
Asam amino 93, 96,125, 126, 129, 136
Asam lemak 125, 126, 127, 130
Bentos 19, 21, 71, 72, 92, 93, 94, 96, 97
Bioaktivitas 126, 135, 136
Deposit feeder 11, 54, 107
Detritus 11, 91, 92
Doliolaria 9, 10, 33, 34, 35, 36
Domestikasi 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 145
Eviserasi 2, 28
Fukoidan 126, 136
Gametogenesis 4, 6
Hemoragik 111
Heterosigositas 22
Hifa 115, 116
Inkubasi 20, 27, 30, 31, 37, 115
Isolat 107, 108, 109, 110, 112, 113, 115, 116, 118, 119, 144
Klekap 67, 96, 97, 99
Kolagen 125, 126, 127, 129, 130, 136, 137, 144
Lagenidium 114, 115, 116, 117, 118
Laguna 10, 55, 56, 57, 54
Lamun 12, 22, 33, 34, 54, 57, 58
Limfosit 133, 134
Lipopolisakarida 109, 110
Mangrove 54, 56, 57
Mikroalga 9, 58, 72, 74, 134
Nekrosis 111, 112
Nokturnal 11
Oosit 7, 8
Pakan buatan 44, 89, 91, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 145
Patogen 112, 114
Pemijahan 8, 9, 10, 20, 27, 28, 29, 30, 31, 36, 37, 44, 90, 145
Pentactula 9, 10, 32, 33, 34, 35, 147
ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 147
Peptidoglikan 109, 111
Scabraside 131, 133
Sea ranching 13, 55,
Spermatosit 7, 8
Spirulina 30, 97, 98
Tentakel 3, 10, 11, 33, 35, 92
Trifluralin 118, 119, 120
Ulva 19, 30, 93, 96, 97, 99
Vegetasi 56, 58
Vibrio 107, 108, 109, 110, 111, 112, 120

148 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


CURRICULUM VITAE

Editor :

Ketut Sugama, Prof. PhD. MSc, Ir.


Setelah mendapat gelar sarjana Perikanan
IPB jurusan akuakultur tahun 1980 mulai
bekerja manjadi calon Peneliti di Loka
Penelitian Budidaya Laut Serang
bekerjasama dengan JICA-ATA 192. Pada
tahun 1985-1990 dengan sponsor
Monbusho-Japan mendapat kesempatan
mengikuti Master- S-2 di Kochi University
dan berlanjut ke program doctor S-3 di
Ehime University-Japan dengan bidang studi Breeding dan Genetik ikan.
Setelah menyelesaikan PhD bertugas kembali di Loka Penelitian
Budidaya Laut Serang. Pada tahun 1991 mendapat tugas di Loka
Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut–Gondol, Bali. Sejak tahun
1992 menjadi coordinator kerja sama penelitian dan pengembangan
Multi species Hatchery dengan Japan JICA- ATA 379, Tahun 1995 -
2001 menduduki jabatan sebagai Kepala Loka Penelitian Perikanan
Budidaya Laut, Dengan upayanya status Loka Penelitian Perikanan
Budidaya Laut Gondol berubah menjadi Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Perikanan Budidaya Laut. Selama menjabat kepala Loka
Penelitian Perikanan Budidaya Laut, juga aktif menjadi team leader
dalam kerjasama penelitian dengan ACIAR-Australia,dan SPICE-
German, kemudian pada tahun 2001-2006 mendapat tugas menjadi
kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya –Badan
Riset dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan
dan Perikanan di Jakarta. Pada tahun 2005 mendapat gelar Profesor
Riset dari LIPI. Pada tahun 2006-2009 sebagai Direktur Perbenihan dan
tahun 2010-2012 sebagai DirekturJenderal Perikanan Budidaya. Sejak
tahun 2013 bekerja kembali sebagai pejabat fungsional peneliti utama,
editor-board Journal Elsevier Aquaculture, Ketua Redaksi Jurnal Riset
Akuakultur, team redaksi Indonesian Aquaculture Journal dan
AMAFRAD. Saat ini juga aktif melakukan kerjasama riset dengan FAO,
ACIAR dan Kiel University-German.
ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 149
Prof. Dr. Ir. I Nyoman Adiasmara Giri, MS.
Menyelesaikan studi S1 Program
Manajemen Sumberdaya Perikanan, Fakultas
Perikanan pada tahun 1982, dan S2 Program
Studi Ilmu Perairan pada tahun 1988 di
Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1994
melanjutkan pendidikan S3 di Fakultas
Perikanan, Universitas Kagoshima, Jepang
dengan beasiswa dari Monbusho-Japan, dan
memperoleh gelar Doktor pada tahun 1997
untuk bidang Nutrisi dan Pakan Ikan. Pada tahun 1983 mulai bekerja
sebagai peneliti pada Sub-Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai,
Gondol-Bali yang saat ini telah berubah menjadi Balai Besar Riset
Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan, Badan Riset dan Sumberdaya
Manusia Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Penelitian yang telah dilakukan meliputi komoditas bandeng, udang
windu, ikan kerapu, kakap merah, abalon, teripang pasir dan lobster,
khususnya terkait aspek nutrisi dan pakan. Pada tahun 2006 – 2011
mendapat tugas sebagai Kepala Balai Besar Riset Perikanan Budidaya
Laut, Gondol, Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Selanjutnya pada
tahun 2011 – 2013 ditugaskan sebagai Kepala Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perikanan Budidaya, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kelautan dan Perikanan. Melakukan orasi ilmiah dan
memperoleh Profesor (Riset) dari LIPI pada tahun 2013. Pada tahun
1989 – 1998 sebagai Countepart expert Kerjasama Penelitian dan
Pengembangan Hatchery Udang, JICA Project ATA-379. Tahun 1999 –
2003 dan 2004 – 2008 Peneliti “Improved hatchery and grow-out
technology for grouper aquaculture in the Asia-Pacific region”,
Kerjasama dengan ACIAR, Australia. Tahun 2016 – 2019 koordinator
kegiatan Riset untuk Kerjasama Riset Budidaya Lobster dengan ACIAR,
Australia. Tahun 2016 – sekarang sebagai Chief Editor Indonesian
Aquaculture Journal. Juga sebagai Tim Redaksi Jurnal Riset Akuakultur
pada tahun 2014- sekarang.

150 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


Penulis;

Ir. Retno Hartati, MSc.

Menjadi Staf Pengajar pada Departemen Ilmu


Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Universitas Diponegoro, lahir di
Semarang pada tanggal 11 Juli 1962.
Memperoleh gelar Sarjana Perikanan dari IPB
(1986), Diplome of Fisheries Management
dari Humberside College of Higher Education,
Grimby, England (1990), dan Master of
Science in Aquaculture dari Institute of
Aquaculture-University of Stirling-Scotland (1991). Saat ini sedang
menyelesaikan Program Doktor Ilmu Kelautan di Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro. Penelitian mengenai teripang
telah dimulai sejak tahun 1994, diawali dengan penelitian mandiri yang
melibatkan mahasiswa Program Studi Ilmu Kelautan-FPIK-UNDIP,
diteruskan dengan dukungan dana penelitian kompetitif yang diperoleh
dari Universitas Diponegoro, dari Kerjasama UNDIP dan Mc Master
University Canada, SEAMEO-BIOTROP, dan dari Kementerian Riset
dan Pendidikan Tinggi melalui berbagai skim penelitian seperti program
penelitian Berbagai Bidang Ilmu (BBI) (Sekarang Dosen Muda),
Penelitian Dasar, Hibah Bersaing IX-XII, Hibah Kemitraan, penelitian
Fundamental, Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional,
Hibah Disertasi dan Riset Publikasi Internasional. Saat ini Retno Hartati
masih melanjutkan penelitian di bidang biologi teripang secara khusus
dan echinodermata secara umum serta usaha-usaha konservasinya.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 151


Dr. Ir. Widianingsih, M.Sc.

Lahir di Jakarta, pada tanggal 25 Juni 1967.


dan menyelesaikan program Strata-1 di tahun
1991 pada Program Studi Ilmu dan
Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan,
Institut Pertanian Bogor. Pendidikan S2
diselesaikan di Aarhus University, Denmark
pada tahun 2001 dengan beasiswa dari
Danida Pemerintah Denmark. Selanjutnya S3
diselesaikan pada tahun 2018 pada Program
Doktor Manajemen Sumber Daya Pantai, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Diponegoro. Bekerja pada Departemen Ilmu
Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNDIP sejak tahun
1994. Penelitian yang telah dilakukan meliputi (a) ekosistem bentik
komunitas, populasi organisme bentik baik mikro maupun makro; (b)
Kajian fenotipe dan genotip untuk Famili Stichopodidae dan Famili
Holothuriidae dari Kep. Karimunjawa, Jepara; (c) Teknologi Produksi
benih teripang tril Stichopus hermanii melalui reproduksi aseksual; (d)
Kajian nutrisi pakan alami (mikroalga) untuk pakan teripang; (e) Kajian
nutrisi dari teripang Paracaudina sp.; (f) Strategi Ekofisiologi
Pengelolaan Teripang Paracaudina sp dari Perairan Pantai Kenjeran
Surabaya. Hingga saat ini masih aktif sebagai pengajar pada program
studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Diponegoro.

152 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


Ir. Sari Budi Moria Sembiring, M.Biotech.
Lahir di Medan, Sumatera Utara pada tanggal
02 Oktober 1968 dan menyelesaikan program
Strata -1 di Fakultas Pertanian, Universitas
Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 1992 dan
S2 di Program Studi Bioteknologi,
Universitas Gadjah Mada tahun 2008.
Bergabung dengan Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian sejak tahun 1994 di
Jakarta. Sejak tahun 1997 bekerja sebagai
peneliti di Sub Balai Perikanan Pantai,
Gondol-Bali. Penelitian yang telah dilakukan antara lain teknologi
perbenihan teripang pasir (Holothuria scabra) (1995-1996), perbenihan
udang windu (Penaeus monodon) (1997-2006) dan perbenihan kerapu
sunu (Plectropomus leopardus) (2008-2014). Penelitian molekuler
genetik merupakan fokus utamanya yaitu populasi genetic udang windu,
kakap merah (Lutjanus sp.) dan ikan hiu serta penyandi gen tumbuh
cepat pada kerapu sunu. Mendapat kesempatan sebagai guest scientist
dan research fellow di Australian Institute of Marine Sciences-AIMS
Australia, ACIAR-CSIRO Australia dan OFCF –Japan. Pada tahun 2000
menerbitkan buku Petunjuk Teknis Perbenihan Teripang Pasir. Mulai
pada tahun 2015 sampai saat ini mendapat tugas melakukan penelitian
perbenihan teripang pasir. Beberapa capaian yang telah diperoleh
mencakup, perbaikan teknik pemijahan dan pendederan, baik dengan
pemberian pakan alami berupa bentos maupun pellet. Produksi induk
berdasarkan parameter pertumbuhan dan variasi genetic hingga
terbentuknya induk terdomestikasi dan memproduksi telur dan benih.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 153


Prof. Dr.Haryanti, MS.
Bekerja di Balai Besar Riset Budidaya Laut
dan Penyuluhan Perikanan Gondol,Singaraja –
Bali, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia,
Kementerian Kelautan dan Perikanan, sejak
tahun 1988 hingga sekarang sebagai peneliti
perikanan, khususnya bidang bioteknologi
akuatik laut . Gelar Philosophy of Doctor
bidang Aquatic Biotechnology diperoleh pada
tahun 2002 dari Ehime University, Japan dan
mendapat kesempatan menjadi peneliti tamu (quest scientist) serta
research fellow di Japan (Kochi University 1989, 1993,1997,dan 1999);
China (Qingdao University,1996), Australia (ACIAR dan AIMS,
1998,2000,2004), Jerman (Franshoufer Institute dan Hans Knol Institute
2003,2007-2013). Hingga sekarang masih berkecimpung dalam riset
breeding, genetik molekuler dan bioteknologi molekuler udang windu,
vaname, lobster dan ikan laut. Dikukuhkan sebagai Prof Riset pada
tahun 2010.

Lisa Fajar Indriana M.Sc.


Menyelesaikan studi Strata 1 pada tahun
2004 di Fakultas Biologi Universitas
Jenderal Soedirman dan melanjutkan studi
Master di Manajemen Sumber Daya Pantai
dalam program Double Degree Universitas
Diponegoro dan Universite de La Rochelle
Perancis. Menjadi visiting researcher di
Centre for Tropical Marine Ecology ZMT
Bremen Jerman pada tahun 2012 dan 2014.
Mengikuti Short Term Award Integrated
Coastal Management di Australia pada tahun
2017. Bekerja di Balai Bio Industri Laut
LIPI, Lombok sejak tahun 2005 sampai sekarang. Fokus penelitian di
bidang budidaya biota laut tidak bertulang belakang. Penelitian yang
telah dilakukan antara lain budidaya rumput laut Gracilaria sp di tambak,
penyediaan pakan alami fitoplankton, pematangan gonad kerang mutiara
Pinctada maxima, studi kandungan logam berat di kekerangan, budidaya
teripang Holothuria atra secara seksual dan aseksual serta budidaya
154 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)
teripang pasir Holothuria scabra yang terdiri dari penyediaan induk,
pembenihan dan pembesaran baik di tambak maupun di laut.

Ir. Jhon Harianto Hutapea, M.Sc.


Lahir di Tarutung, Sumatera Utara pada
tanggal 31 Januari 1963 dan menyelesaikan
pendidikan S1 di Fakultas Perikanan, Jurusan
Manajemen Sumberdaya Perairan, Institut
Pertanian Bogor pada tahun 1990 dan
menyelesaikan Program Magister Ilmu Ilmu
Kelautan di Faculty of Natural Sciences,
Aarhus University-Denmark pada tahun
2000. Sejak tahun 1992, bergabung dengan
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan ditempatkan di Sub
Balai Perikanan Pantai, Gondol Bali sebagai calon peneliti dan menjadi
peneliti pada tahun 1994. Masuk dalam tim penelitian pembesaran calon
induk udang windu (Penaeus monodon) di tambak dan pematangan
gonad di hatcheri dari 1992-1996. Selanjutnya melakukan penelitian
domestikasi dan pemijahan induk kerapu dalam wadah terkontrol 1996-
1998 dilanjutkan dengan penelitian perbenihan kerapu dari tahun 2000-
2003. Ketiga kegiatan ini (1992-2003) merupakan kerjasama penelitian
antara Indonesia dengan Jepang dibawah koordinasi teknis oleh JICA.
Sejak tahun 2003-2018 tercatat sebagai peneliti ikan tuna sirip kuning
(Thunnus albacares) mulai dari pengembangan teknik penangkapan
calon induk, transportasi, pembesaran, pemijahan dan pemeliharaan larva
hingga benih. Riset ini merupakan kerjasama antara Indonesia dan
Jepang dengan koordinasi teknis oleh OFCF (2003-2006), ACIAR
Australia (2008-2010) dan pendanaan APBN tahun 2013-sekarang.
Disamping tugas sebagai peneliti di komoditas tuna, juga ditugaskan
dalam jabatan struktural yang menangani Kerjasama Riset perbenihan
teripang pasir (Holothuria scabra). Pada 13-18 Februari 2011 mengikuti
“Symposium on the Sea Cucumber Aquaculture in Noumea, New
Caledonia” atas undangan Australian Centre for International
Agricultural Research (ACIAR), Australia dan Secretariat of the Pacific
Community (SPC), New Caledonia sebagai delegasi Indonesia dengan
menginformasikan kondisi/status perkembangan perbenihan dan
ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 155
budidaya teripang (Sea Cucumber) di Indonesia. Keterlibatan dalam
kegiatan perbenihan teripang pasir secara terbatas juga diikuti sejak tahun
2015.

Gigih Setia Wibawa, S.Pi.


Mendapatkan gelar Sarjana dari Universitas
Brawijaya setelah menamatkan pendidikan di
Program Studi Budidaya Perairan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan pada tahun 2008.
Pernah menjadi bagian dari peneliti di Balai
Riset Budidaya Ikan Hias dan tergabung dalam
Expedisi Ilmiah Rainbowfish Papua 2009 dan
Lengguru Kaimana 2010 yang bekerjasama
dengan IRD Prancis, LIPI, dan Akademi
Perikanan Sorong. Sejak 2012 bergabung dengan Balai Besar Riset
Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan, Gondol-Bali sebagai peneliti
yang telah berkecimpung pada multi spesies, yakni bandeng, kerapu,
kakap putih, dan teripang pasir dengan orientasi kepakaran pembenihan
dan pembesaran ikan laut. Pernah menjadi anggota penelitian
pengembangan budidaya laut di Belitung Timur dengan spesies yang
dikembangkan yakni kerapu, bandeng, kakap putih dan teripang pasir
dalam kurung tancap.

Muhammad Firdaus, S.Pi.


Menyelesaikan studi S1 pada Program Studi
Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya,
Institut Pertanian Bogor dengan predikat cum
laude di tahun 2012. Bekerja sebagai peneliti
dengan kepakaran budidaya laut (Mariculture) di
Balai Bio Industri Laut, Pusat Penelitian
Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, sejak tahun 2014. Memiliki
ketertarikan riset di bidang perikanan budidaya khususnya aspek
reproduksi, genetika dan aquculture engineering terutama pada
komoditas invertebrata laut antara lain teripang pasir, teripang hitam,
156 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)
lobster, kerang mutiara, abalon dan siput mata bulan. Selain penelitian,
juga memiliki pengalaman praktis terkait budidaya laut dan manajamen
panti benih sehingga dipercaya sebagai koordinator budidaya teripang
pasir sistem IMTA sejak tahun 2016, koordinator panti benih teripang
pasir BBIL LIPI sejak tahun 2017, serta sebagai konsultan pada beberapa
perusahaan swasta. Hingga saat ini telah mengikuti berbagai kursus
terkait budidaya biota laut, antara lain "Training on Sandfish Seed
Production Nursery and Management" di SEAFDEC AQD, Filipina pada
tahun 2017.

Ir. Des Roza, M.Pi.


Lahir di Padang, 27 Juni 1962 dan
menyelesaikan pendidikan S-1 di Fakultas
Perikanan, Universitas Bung Hatta Padang
tahun 1989 dan S-2 Program Pasca Sarjana
Universitas Terbuka Jurusan Manajemen
Perikanan tahun 2017. Mulai bekerja sebagai
peneliti di Balai Besar Riset Budidaya Laut dan
Penyuluhan Perikanan sejak 1991 sampai
sekarang. Penelitian yang telah dilakukan
antara lain penyakit pada udang windu,
Penaeus monodon (1991-1997) penyakit pada
kepiting bakau, Scylla serrata dan teknik
pengendaliannya (1993-2002), penyakit dan peningkatan imunitas ikan
kerapu bebek, Cromileptes altivelis, penyakit pada ikan hias laut dan
penanggulangannya (2000-2010) dan fokus pada penelitian vaksin,
imunostimulan dan lipopolisakarida untuk meningkatkan imunitas ikan
laut (2010-sekarang). Mengikuti training JICA pada tahun 1992, 1996
dan 2000 dan memperoleh research fellow dari Nippon Veterinary and
Animal Science Tokyo, Jepang (1997-1998). Pada 9 November 2017
mendapat Sertifikat Paten yaitu vaksin Vibrio polivalen untuk mencegah
infeksi bakterial pada ikan laut.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 157


Ir. Zafran, M.Sc.
Menyelesaikan studi S1 di Jurusan Perikanan,
Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran
Bandung pada tahun 1984, dan pada tahun 2001
memperoleh “Master of Science in Fisheries” di
“University of the Philippines in the Visayas”,
Filipina. Pada tahun 1985 mulai bekerja sebagai
peneliti pada Balai Penelitian Budidaya Pantai,
Maros, Sulawesi Selatan. Tahun 1990 pindah
tugas ke Sub Balai Penelitian Perikanan Pantai,
Gondol, Bali yang saat ini telah berubah
menjadi Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan,
Badan Riset dan Sumberdaya Manusia Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Penelitian yang telah dilakukan
meliputi komoditas bandeng, udang windu, ikan kerapu, kakap merah,
abalon, teripang pasir, kepiting, dan rajungan, khususnya terkait aspek
penyakit. Pada tahun 1990 – 1998 sebagai Countepart Expert Kerjasama
Penelitian dan Pengembangan Hatchery Udang, JICA Project ATA-379.
Tahun 2012 memperoleh penghargaan “Satyalancana Wira Karya” dari
Presiden Republik Indonesia. Pada tahun 2017 memperoleh Paten dari
Kemenkumham (No IDP000048439) untuk invensi dengan judul “Vaksin
Vibrio Polivalen untuk Mencegah Penyakit Bakterial pada Ikan Laut”.
Tahun 2015-2017, Peneliti “Improving fish health management and
production protocols in marine finfish aquaculture in Indonesia and
Australia”, Kerjasama dengan ACIAR, Australia (ACIAR Project
FIS/2010/101). Sekarang sebagai Kakelti Kesehatan Ikan dan
Lingkungan.

158 ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra)


Dr. Muhammad Nursid, M.Si.
Dilahirkan di Langkat, Sumatera Utara 18
Pebruari 1974. Gelar sarjana diperoleh dari
Fakultas Biologi Universitas Jenderal
Soedirman (UNSOED), Purwokerto (tahun
2000) dan gelar S2 diperoleh dari Ilmu
Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB),
Bogor (tahun 2002). Pada tahun 2007
menjadi Research Student di Natural Product
Chemistry Laboratorium, Pukyong National
University, Busan, Korea Selatan.
Menyelesaikan program doktor pada tahun 2012 dari Program Studi
Bioteknologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Saat ini bekerja di
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan
Perikanan, KKP, Jakarta. Penelitian yang digeluti terutama berkaitan
dengan biodiscovery senyawa bioaktif yang berasal dari invertebrata laut
termasuk teripang, rumput laut dan mikroba laut.

ASPEK BIOLOGI DAN BUDIDAYA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) | 159

Anda mungkin juga menyukai