Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

MENGENAL DAN MEMAHAMI UNGGGAH-UNGGUH JAWA


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Bahasa Daerah Dan Pembelajarannya

Dosen Pengampu : Bapak Nova Khairul Anam

Di susun oleh :

Hanik Hanifah _ 5220010

FAKULTAS TARBIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT) PEMALANG

TAHUN AJARAN 2023/2024

Jl. Letjand Di Panjaitan No.KM 3, Paduraksa, Kec. Pemalang, Kabupaten Pemalang, Jawa
Tengah 52319

i
KATA PENGANTAR

Assalamualikum Wr. Wb

Puji sukur kehadirat Allah SWT, berkat limpahan rahmat dan karunianya penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah tentang Mengenal dan Memahami Unggah-Ungguh Jawa untuk
memenuhi tugas Makalah.Ucapan terimaksih juga penulis hanturkan untuk kedua orang tua yang
selalu memberi dukungan dan semangat kepada penulis.

Tidak lupa ucapan terimaksih penulis haturkan kepada Bapak Nova Khairuul Anam
sebagai dosen pembimbing yang selalu memberi batunan dan bimbingan hingga makalah ini
dapat penulis selesaikan dengan lancar dan tepat waktu.

Ucapan dari penulis adalah semoga makalah ini membawa banyak manfaat dan kebaikan
untuk kita semua.

Kritik dan saran juga sangat penulis harapkan untuk membuat makalah ini menjadi lebih
baik, melengkapi apa yang belum tercantum, memperbaiki yang kurang, dan meningkatkan yang
sudah baik. Apabila dalan penyusunan makalah ini masih terdapat kekurangan penulis
sampaikan permohonan maaf, semoga hal-hal tersebut dapat penulis perbaiki untuk lebih
menyempurnakan tugas makalah ini, Terimaksih.

Waalikumsalam Wr. Wb.

Pekalongan,19 September 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

JUDUL..............................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULAN..................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................4
1.2 Rumusan masalah..................................................................................................................6
1.3 Tujuan masalah......................................................................................................................6
1.4 Sistematika Penulisan............................................................................................................6
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................8
A. Pengertian Umum Etika Jawa.................................................................................................8
B. Perkembangan Unggah-Ungguh Basa Jawa............................................................................9
C. Ragam Unggah-Ungguh Dalam Sikap Dan Tindakan..........................................................12
D. Pemakaian Bentuk Hormat Dalam Bahasa Jawa..................................................................14
BAB III PENUTUP.......................................................................................................................16
A. Kesimpulan...........................................................................................................................16
B. Saran......................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................17

iii
BAB I
PENDAHULAN

1.1 Latar Belakang

Bangsa Indonesia dari zaman purba telah mempunyai kumpulan norma-norma dan nilai-
nilai etikanya, yang mengatur tata kehidupan mereka. Masuknya agama dan kebudayaan Hindhu
kemudian ke Indonesia membawa etika yang bersumber dari agama Hindhu. Di dalam epos
Mahabharata misalnya digambarkan perbuatan-perbuatan kepahlawanan dari tokoh-tokoh
sejarah Hindhu, yang kemudian dijadikan teladan yang dimasukkan dalam ceritera atau lakon
wayang di Jawa.1 Demikian juga Islam yang disebarkan oleh Walisongo, sangat mendominasi
hampir semua tanah di Jawa. Selain itu, Barat juga membawa etika yang bersumber dari Katolik,
dan dipakai didaerahdaerah yang penduduknya memeluk agama ini. Sejalan dengan ini mulai
pula dibawa etika filosofis, yang berpangkal pada filsafat Yunani Kuno. 2 Etika filosofis inipun
dipelajari pula oleh orang Indonesia, lebih-lebih di perguruan tinggi.

Masuknya etika tersebut sedikit banyak mewarnai masyarakat baik dalam hal pandangan
hidup, prilaku, pola hidup bahkan ideologi. Di Indonesia khususnya suku Jawa memiliki corak
budaya yang khas sehingga menarik perhatian para sarjana lokal bahkan tidak sedikit sarjana
asing yang melakukan penelitian tentang Jawa. Sebagai orang Suku Jawa, penulis juga merasa
terpanggil dengan eksistensi budaya Jawa tersebut. Namun untuk meneliti secara sistematis dan
kronologis membutuhkan waktu dan biaya tidak sedikit. Etika secara umum mencakup hampir
semua yang berkaitan dengan aktifitas manusia. Di samping itu pembahasan etika sangat luas,
sehingga Frans Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi. Dalam hal
ini manusia berusaha menggunakan akal budi dan daya pikirannya untuk memecahkan masalah
bagaimana ia harus hidup kalau ingin menjadi lebih baik.3

Disebut etika secara umum karena cakupannya sangat luas, sedangkan yang lingkupnya
lebih terbatas adalah etika khusus. Yang terakhir ini seperti etika Barat, etika Timur, etika Islam,
dan sebagainya termasuk etika Jawa yang cakupannya lebih spesifik atau khusus pada daerah
tertentu yaitu Jawa. Etika Jawa merupakan usaha lahir batin orang Jawa untuk mencari solusi
terbaik dalam menelusuri jalan hidup. Bicara etika Jawa tidak terlepas dari sifat dan prilaku
orang Jawa. Orang Jawa memiliki pola hidup yang unik. Mereka mempunyai baik dan buruk
yang khas sebagai orang Timur. Tingkah laku dan sifat orang Jawa dalam hidup bermasyarakat
sulit dipahami bahkan tidak dapat ditebak dengan pasti. Pada kehidupan sehari-hari sering
dijumpai bahwa ketika orang Jawa merasa sungkan malu-malu ketika disuguhi hidangan. Hal ini
sulit dipastikan apakah dia tidak suka atau pantangan terkait dengan kesehatannya ataukah dia
merasa sudah kenyang dan sebagainya. Jelasnya, orang Jawa sangat pandai dalam hal
1
Sahat Simamora, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: PT. Bina Aksara,1987), h. 11
2
Sujamto, Wayang dan Budaya Jawa, (Semarang: Dahara Prize, 1992), h. 24. Selanjutnya ditulis Sujamto, Wayang
dan Budaya Jawa ... .
3
Frans Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat, (Yogyakarta: Kanisisus, 2002), h.15.
Selanjutnya ditulis Frans Magnis Suseno, Etika Dasar ... .

4
menyembunyikan maksud hatinya. Selain itu yang tidak kalah menariknya adalah cara mereka
memegang prinsip hidup seperti: saiyeg saeka praya, patembayan, pasrah, narimo ing
pandum,8manunggaling kawula-gusti9 dan sebagainya, adalah prinsip yang bermakna filosofis
bagi orang Jawa. Prinsip seperti ini menunjukkan bahwa orang Jawa selalu merendah hati, sangat
hormat kepada orang lain bahkan rela berkorban apapun demi orang lain sehingga terwujud
hidup rukun dan damai.4

Jika demikian yang terjadi adalah sesuatu yang sangat positif dan mulia. Akan tetapi yang
kurang baik apabila terjadi sebaliknya, dimana orang Jawa yang selalu atau memang seharusnya
memberi hormat di depan orang yang lebih tua atau lebih tinggi derajatnya tetapi di belakang ada
dendam dan sakit hati. Karena sikap yang demikian, dimana orang Jawa meskipun hatinya tidak
rela bahkan dendam kepada orang lain yang lebih tua atau derajatnya lebih tinggi dia harus
memberi hormat pada orang lain yang lebih tinggi baik usia, derajat maupun kedudukannya.

Hal inilah yang membuat penulis tertarik pada sikap orang Jawa terutatama masalah
unggah-ungguh. Unggah-ungguh atau yang berarti tata sopan santun dalam sikap dan perilaku
manusia dalam kehidupan sehari-hari telah mengalami pergeseran eksistensi pemaknaannya.
Dalam perkembangannya, dahulu orang Jawa masih taat dan patuh atau dengan kata lain tunduk
terhadap sesuatu yang dianggap leluhur atau wejangan sesepuh terlepas dari unsur yang
melatarbelakanginya. Akan tetapi ketika gerbong zaman yang selalu berputar manusiapun
menjadi roda putarannya, bahkan menjadi sebuah pemberontakan. Hal ini karena pengaruh ilmu
pengetahuan yang semakin maju, budaya Timur (keramahan) telah tergeser, atau bahkan
pengaruh ekonomi dan lain sebagainya.

Hal ini modernisasi menjadi tolak ukur dan alasan seseorang pada saat ini yang dianggap
lebih maju. Dalam hal menghormati orang lain, hampir semua orang Jawa dapat melakukannya,
terutama di lingkungan kraton. Prinsip hormat yang dilakukan di lingkungan kraton oleh orang
Jawa terkesan ada sikap wedi (takut), isin (malu) dan sungkan (enggan). Namun sebaliknya sikap
orang Jawa jika hidup diluar kraton selalu memegang prinsip hormat seperti tepo sliro, andhap
asor, terutama sikap unggah-ungguh yang menjadi dasar kerukunan bermasyarakat.

Unggah-ungguh sebagai salah satu unsur pokok tata krama dalam etika jawa dapat
memberikan warna disetiap tindakan yang lebih baik tanpa adanya unsur pamrih atau agar
mendapat pujian dari orang lain. Berdasarkan uraian di atas, maka sangatlah perlu untuk
diuraikan dan dijelaskan tentang pemaknaan dan pengetahuan secara mendalam unggahungguh
sehingga dapat diaktualisasikan dalam penerapan kehidupan pada saat ini yang nilai-nilai dan
norma-normanya telah mulai pudar eksistensinya. Tentu saja hal ini sangat menarik dan penulis

4
0Frans Magnis Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Filsafat Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, (Jakarta: Gramedia,
1985), h. 58. Selanjutnya ditulis Frans Magnis Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Filsafat Tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa ... .
5
merasa tertantang untuk mengkajinya, yang kemudian akan ditulis dalam sebuah tulisan ilmiah
yang diberi judul ”Unggah-Ungguh Dalam Etika Jawa”.

1.2 Rumusan masalah

Dari uraian di atas, untuk mempermudah dalam penelitian ini, maka penulis membatasi
masalah yang diteliti yaitu:

a. Apa pengertian Unggah-ungguh dalam etika jawa?


b. Apa saja perkembangan unggah-ungguh basa jawa?
c. Apa saja unggah-ungguh dalam beberapa aspek?
d. Apa saja ragam unggah-ungguh dalam sikap dan tindakan?

1.3 Tujuan masalah

Adapun tujuan penelitian skripsi ini tidak terlepas dari permasalahan yaitu untuk:

a. Mengetahui pengertian Unggah-ungguh dalam etika jawa


b. Mengetahui perkembangan unggah-ungguh basa jawa
c. Mengetahui unggah-ungguh dalam beberapa aspek
d. Mengetahui ragam unggah-ungguh dalam sikap dan tindakan

1.4 Sistematika Penulisan

Sistematika yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

Bab I membahas Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, metode penelitian, tujuan penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II membahas Memuat etika Jawa yang mencakup tentang gambaran umum etika,
baik menurut bahasa maupun istilah.

Bab III membahas Penulis mencoba memaparkan tinjauan tentang unggah-ungguh yang
mengandung isi: pengertian umggah-ungguh baik secara etimologi maupun terminologi,
perkembangan unggah-ungguh yang dilihat dari segi perkembangan dialektika Jawa dan karya
sastra Jawa dan ragam unggah-ungguh yang dilihat dari segi kedudukan, usia, dan status sosial.

Bab IV merupakan bab penutup. Pada bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran yang
dapat membangun dan menambah kesempurnaan skripsi ini.

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Umum Etika Jawa

Etika Jawa terbentuk dari dua kata yaitu kata ”etika” dan ”Jawa”. Etika sebagaimana
tersebut di atas yaitu suatu ilmu yang membahas tentang arti baik dan buruk, benar dan salah
kemudian manusia menggunakan akal dan hati nuraninya untuk mencapai tujuan hidup yang
baik dan benar sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Sedangkan yang dimaksud Jawa di sini
memiliki banyak pengertian. Bisa berarti orang Jawa, masyarakat Jawa, bahasa Jawa, dan
sebagainya.

Karena berkaitan dengan etika dimana obyek dan sasarannya adalah manusia, maka
pembahasan ini difokuskan pada pengertian Jawa dalam arti orang Jawa. Menurut Budiono
Herususanto yang mengutip istilah dari Koentjaraningrat, suku Jawa adalah orang-orang yang
memakai bahasa Jawa secara turun-temurun dengan beberapa macam dialek dalam kehidupan
seharihari. Mereka berasal dan bertempat tinggal di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. 5
Mayoritas orang Jawa itu berbudaya satu. Mereka berperasaan dan berfikir seperti nenek
moyangnya, di Jawa Tengah dengan kota Yogyakarta dan Solo sebagai pusat kebudayaan.
Meskipun mereka telah hengkang dari pulau Jawa, dalam menghayati budaya hidup mereka tetap
berkiblat pada Solo dan Yogyakarta.6

Menurut Clifford Geertz, orang Jawa dikategorikan dalam bentuk tiga golongan, yaitu
santri, abangan dan priyayi. Santri dikonotasikan sebagai pemeluk agama Islam yang taat,
sedangkan abangan adalah pemeluk agama yang kurang taat, dan priyayi merupakan golongan
konglomerat, para pegawai dan pejabat pemerintah atau kelas ekonominya kelas menengah ke
atas.7

Sedangkan menurut Frans Magnis Suseno, orang Jawa adalah orang yang bahasa ibunya
adalah bahasa Jawa yang sebenarnya. Jadi orang Jawa adalah penduduk asli bagian tengah dan
timur pulau Jawa yang berbahasa Jawa yakni mencakup Jawa Tengah dan Jawa Timur. F.M.
Suseno membedakan orang Jawa menjadi dua golongan sosial yaitu: 1). Wong cilik (orang
kecil), terdiri dari sebagian besar massa petani dan mereka yang berpendapatan rendah di kota,
2). Kaum priyayi, di mana termasuk kaum pegawai dan orang-orang intelektual, dan kelompok
kecil tetapi tetap mempunyai prestise yang cukup tinggi, yaitu kaum ningrat (ndara) yaitu kaum
yang tidak berbeda dari kaum priyayi sebagai dasar lapisan-lapisan sosial-ekonomis dan
keagamaan.

5
Budiono Herususanto, Simbolisme Manusia Dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 2001), h. 37
6
Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa (Jakarta: Haji Masagung, 1989), h. 7.
7
Clifford Geertz, Abangan Santri Priyayi Dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1983), h. 480.
7
Dengan demikian kata etika dan Jawa merupakan bentuk kata yang mempunyai makna
yang padu dan membentuk suatu aturan dalam masyarakat Jawa. Apabila digabungkan arti etika
Jawa mengandung makna filosofis yang mendalam. Jadi etika Jawa dapat diartikan sebagai
usaha lahir batin orang Jawa untuk mencari solusi terbaik dalam menelusuri jalan hidup demi
tercapainya tujuan yang diinginkan berdasarkan adat, faham dan keyakinan masyarakat Jawa
menurut golongan dan kedudukannya asing-masing. Orang padu dan membentuk suatu aturan
dalam masyarakat Jawa. Apabila digabungkan arti etika Jawa mengandung makna filosofis yang
mendalam. Jadi etika Jawa dapat diartikan sebagai usaha lahir batin orang Jawa untuk mencari
solusi terbaik dalam menelusuri jalan hidup demi tercapainya tujuan yang diinginkan
berdasarkan adat, faham dan keyakinan masyarakat Jawa menurut golongan dan kedudukannya
asing-masing. Orang Jawa dapat dilihat dari segi kebudayaan atau adat, dari segi kenikmatan
hidup dan dari segi keyakinan atau kepercayaan Jawa.

B. Perkembangan Unggah-Ungguh Basa Jawa

Pada dasarnya angoko-krama mengalami perkembangan dan perubahan. Terkait dengan


terbatasnya literatur yang mengungkap munculnya tataran ngoko-krama, sebenarnya tidak begitu
banyak literatur yang mencatat secara sistematis mengenai kronologis munculnya ngoko-krama.
Namun ada beberapa bukti secara tidak langsung yang dapat dijadikan sumber pijakan,
diantaranya adalah:

1. Perkembangan Dialektika Jawa


a. Percakapan antara Ken Angrok dengan ayah angkatnya, Lohgawe:
Ken Angrok : ”Bapa danghyang, hana wong istri murub rahasyane, punapa
laksananing stri lamun mangkana, yen hala rika yen hayu rika
laksananipun”.
Lohgawe : ”Sapa iku kaki”
Ken Angrok : ”Wonten, bapa, wong wadon katinghalan rahasyanipun”.
Lohgawe : ”Yen hana istri mangkana, kaki, iku stri nariswari arane,
adikmukyaning istri iku, kaki, yadyan wong papa angalapa ring
wong wadon iku, dadi ratu anakrawati”.
Ken Angrok : ”Bapa danghyang, kang murub rahasyanipun punika rabinira
sang akuwu ring tumapel; lamun mangkana manirabahud
angeris sirakuwu, kapasti mati de mami, lamun pakanira
angadyani”.
Lohgawe : ”Mati, bapa kaki, Tunggul Ametung denira, anghing ta ingsun
tanyogya yan angadyanana ring kaharepira, tan ulahaning
pandita ahingan sakaharepira”.

b. Percakapan antara Ken Dedes dengan putranya, Anusapati:

8
Anusapati : ”Ibu ingsun ataken ing sira, punapa kelinganira bapa yen
tuminghal ing ingsun, pahe tinghalira kalawan sanakingsun
kabeh, tan ucapen lawan putranira ibu anom, mangkin pahe
tinghalira bapa”.
Ken Dedes : ”Kaya dudu kang angadeli, yen sira kaki ayun wruha, sira
Tunggul Ametungarane Ramanira; katinggal ingsun tigang
cacihta, ingsun ingalap denira sang Amurwabhumi”
Anusapati : ”Kalingane, ibu dudu bapaningsun sang Amurwabhumi, punapita
ibu pademanira bapa”.
Ken Dedes : ”Sang Amurwabhumi, kaki, amateni”.
Anusapati : ”Ibu, wanten duhungipun bapa antukipun Gandring akarya,
ingsun-tedanipun ibu”.8

kutipan tersebut merupakan dialog Jawa kuno yang lebih muda. Menurut
Poerbatjaraka, kitab yang mengutip percakapan tersebut termasuk sastra Jawa Tengahan.
Meskipun penggunaan bahasa Jawa lebih mudah dipahami dan nampak adanya unsur-
unsur baru, seperti kata hana menjadi wonten, akhiran ne menjadi ipun dan sebagainya.
Hal ini seolah-olah merupakan embrio yang menuju jalan lahirnya tataran ngoko-krama.

2. Perkembangan Sastra Jawa


Penggunaan bahasa tersebut akan terasa beda kalau kita bandingkan dengan
bahasa Jawa dalam bentuk sastra yang dimuat dalam prasasti yang dikeluarkan oleh
Sultan Agung atau Mangku Rat II yang dikeluarkan pada tahun 1632 M.
a. Penget : ”Kang surat piagem saking insun sultan Mataram, kagadhuh
deneng si wanda, Wedana Surakarta kang satja marang isun,
lahiring surat piyagem: si wanda sun pradikakensarta
wewengkone. Mandala Tjipiniha-Bodjongeren, iku kang
kawerat, deneng si wanda iku adja ana kang nganisiku,
disakarepe, angulon watas Banten ngalor ing Tjarebon, pitung
pandjenengan adja temu maranginsun.
b. Penget : ”Layangingsun Singaprabangsa kacekel deneng ki Astrawardana
kalayan Wanayuda. Mila manira kacekel layang sawios manira
angjuput pari kagengan Susuhunan kang kagadheh dening
kirangga Sumedhang, lumbung kalaphadhuwa kang tininggu
dening ki Astrawadana kalih Wanayuda.

Bahasa dalam prasasti tersebut sudah hampir sama dengan bahasa Jawa sekarang
(abad 20), meskipun masih terdapat kata-kata kuna. Lebih dari itu kutipan prasasti di atas
juga menunjukkan adanya tatanan ngoko yang dapat di mengerti dan nampaknya telah
8
Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa, h. 49
9
ada kata-kata krama yang dipakai untuk memuliakan raja dan untuk menghormati orang
yang lebih tua atau status sosial nya lebih tinggi.

Dari uraian di atas nampak bahwa sampai tahun 1500 M. unggahungguhing basa
atau tataran ngoko-krama belum ada dan baru nampak jelas setelah tahun 1600 M.
Sedangkan pada pertengahan antara tahun 1500-1600 M ini merupakan masa proses ke
arah munculnya unggahungguhing basa. Pada masa tersebut di Jawa merupakan rezim
Mataram. Jadi dapat dikatakan bahwa munculnya unggah-ungguhing basa tersebut pada
masa kerajaan Mataram.9

3. Latar Belakang Munculnya Unggah-Ungguh Basa jawa


Dalam masyarakat Jawa Kuna, yang terpengaruh oleh kebudayaan Hindu-Budha
tadi ternyata unggah-ungguhing basa belum ada. Dalam abad ke-16 terjadi perkembangan
kerajaan Islam di Jawa, seperti Demak dan Pajang. Namun tidak berlangsung lama,
karena pada abad ke-17 berubah menjadi kabupaten yang dibawahkan Mataram. Oleh
karena itu baik Demak maupun Pajang tidak meninggalkan banyak sumbangan dalam
pengembangan kebudayaan, khususnya yang berupa karya sastra yang dapat mendukung
studi kita tentang kebudayaan Jawa dalam masa itu. Tidak juga kita temukan kraton
maupun babad. Karena itu kita tidak menemukan zaman kasusasteraan Demak atau
Pajang, meskipun ada zaman kasusasteraan Islam.

Contoh kata-kata krama yang diambil dari bahasa asing

Ngoko Krama Bahasa Asing Indonesia


Omah Griya Sanskrit Rumah
Wadon Putri/Setri Sanskrit Perempuan
Anak Putra/Atmaja Sanskrit Anak
Ratu Nata Sanskrit Ratu
Batur Abdi Arab/Parsi Teman

Kata-kata krama diambil dari Bahasa Jawa Kuna.

Ngoko Krama Indonesia


Kuping Talingan Telinga
Endhog Tigan Telur
Cangkem Tutuk Mulut
Katon Katingal Kelihatan
Omah Dalem Rumah

Jika perkembangan tataran ngoko-krama bersamaan dengan berkembangnya


babad, persoalannya adalah kapankah sastra babad Berkembang? Berbagai peneliti
9
Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa, h. 53
10
menyimpulkan bahwa sastra babad berkembang dalam abad ke-17, atau sejak zaman
Sultan Agung, raja terbesar dari Mataram yang lebih mulia dan berkuasa dari pada para
pendahulunya dan para pemimpin masyarakat yang lain, termasuk keturunan para wali
semuanya. Perjuangannya sebagai raja tidak hanya bertujuan untuk mencapai kejayaan
politik, tetapi juga untuk kejayaan budaya.

C. Ragam Unggah-Ungguh Dalam Sikap Dan Tindakan

1. Unggah-Ungguh dalam keluarga


Keluarga merupakan bagian terkecil dalam masyarakat. Secara umum keluarga
terdiri dari paling tidak suami dan istri. Keluarga kecil biasanya terdiri dari suami istri
dan anak, sedangkan keluarga yang terdapat ibu dan ayah, kakek, nenek dan seterusnya
ke atas juga terdapat anak, cucu dan seterusnya. Ke bawah disebut keluarga besar.
Disinilah kefasihan dalam mempergunakan sikap-sikap hormat yang tepat dikembangkan
pada orang Jawa sejak kecil melalui pendidikan dalam keluarga.
Keluarga merupakan pusat keamanan dan kedamaian dalam masyarakat Jawa, 10
sehingga untuk mewujudkannya harus didukung dengan aturan-aturan yang sesuai
dengan nilai-nilai adat yang berlaku di Jawa. Salah satu aturan yang masih berlaku adalah
aturan sopan santun yang disebut dengan unggah-ungguh.
Pada saat itu anak diharapkan untuk berbahasa Jawa halus (krama) yang resmi
untuk berbicara dengan ayahnya, dan memakai bahasa keluarga yaitu bahasa untuk
memanggil kepada seluruh anggota keluarga, baik keluarga inti maupun keluarga
besarnya menggunakan bahasa krama seperti: Embah, Mbak, Kakang, mbakyu, paklek,
budhe. Sejak saat itu dan seterusnya anak diharapkan untuk mengenal lebih banyak lagi
adat-istiadat, tatanan dan sopan santun yang mengatur bermasyarakat.

2. Unggah-Ungguh Terhadap Orang Lain


Orang Jawa cenderung untuk mempunyai kesadaran tinggi terhadap keberadaan
orang lain. Dalam hidup orang tidaklah sendiri, orang-orang terus bergerak ke dalam dan
ke luar dari ruang pribadi masing-masing, dan hanya bijaksanalah kalau kontak-kontak
semacam itu dapat tetap tanpa percekcokan dan menyenangkan dengan mengakui secara
sopan kehadiran yang lain, seperti misalnya dengan memberi salam dengan
menganggukkan kepala sedikit atau membungkukkan badan ketika berjalan melewatinya.
Dalam ungkapan Jawa disebutkan ”ajining diri saka ing lathi” yang artinya harga
diri seseorang dapat dilihat dari lidahnya (cara bicara). Dalam berbicara atau bertutur
sapa selalu mengutamakan perkataan yang akan disampaikan kepada lawan bicaranya.
Orang Jawa dalam bertutur sapa selalu memperhatikan dengan siapa mereka bicara atau

10
Maria A. Sardjono, Paham Jawa (Jakarta: Pusat Sinar Harapan, 1992), h. 14.
11
lingkungan yang bagaimana. Pendek kata orang Jawa yang mampu mengendalikan
ucapannya akan dilihat orang lain sudah dewasa wis dadi wong (sudah menjadi orang)
atau wong Jowo tulen (orang Jawa asli).
Untuk mengetahui kepada siapa saja orang Jawa harus mengimplementasikan
unggah-ungguh dalam bersosialisasi di masyarakat. Hal itu akan dijelaskan lebih rinci
sebagai berikut:
a. Kepada orang yang mempunyai kedudukan
Kata kedudukan sebenarnya mengandung banyak pengertian. Namun
dalam hal ini yang dimaksud adalah raja dan orang-arang penting lainnya
dalam kraton, pemimpin negara dan para menterinya, pemimpin
perusahaan, dan pemimpin-pemimpin lainnya.

b. Kepada orang yang lebih tua usianya


Yang dimaksud orang yang lebih tua di sini adalah kakek, nenek, ayah,
ibu, pakdhe, bulik, kakak dan yang lain. Terhadap mereka biasanya orang
jawa menggunakan bahasa krama bahkan krama inggil dalam bertutur
sapa.

c. Kepada Orang Asing


Adapun yang dimaksud orang asing disini adalah orang yang belum
dikenal dengan mengesampingkan usia dan kedudukan. Orang asing yang
belum dikenal bisa dari daerah sendiri maupun dari luar daerah. Dalam
menghadapi orang asing mayoritas orang Jawa akan bersikap rendah hati,
menghormatinya karena salah satu faktor unggah-ungguh adalah
menghormati yang baru dikenal. Hal ini bertujuan agar keselarasan sosial
terwujud dan menghindari terjadinya konflik terbuka.

d. Kepada orang yang setara atau sederajat


Orang Jawa yang setara baik usia, derajat dan sudah dikenal akrab
kebanyakan menggunakan tataran bahasa ngoko. Hal ini bukan berarti
tanpa ada penghormatan di antara mereka atau mengesampingkan unggah-
ungguh, tetapi dengan bahasa ngoko sudah dianggap sebagai prinsip saling
menghormati. Sikap pada saat mereka berkomunikasi atau tepatnya
berbicara, mereka bebas dengan tidak meninggalkan sopan santun.11

e. Kepada orang yang lebih muda atau bawahan


Untuk menjaga keharmonisan dan kesalarasan sosial, maka orang yang
lebih tua harus dapat menjaga kehormatannya dihadapan orang yang

11
Soegeng Reksodihardjo, dkk., Tata Kelakuan di Lingkungan Keluarga, h. 42.
12
usianya lebih muda. Kebanyakan orang tua menggunakan bahasa Jawa
ngoko atau krama madya terhadap orang usianya lebih muda

3. Unggah-Ungguh terhadap Dunia lain


Telah disebut dalam bab sebelumnya bahwa orang Jawa terutama abangan telah
mewarisi keyakinan dari nenek moyangnya. Keyakinan itu disebut animisme dan
dinamisme. Animisme adalah suatu keyakinan adanya roh atau jiwa dalam benda hidup
maupun benda mati, sedangkan dinamisme yaitu suatu keyakinan adanya kekuatan gaib
yang terkandung dalam benda mati12 dalam keyakinan semacam itu orang Jawa
menganggap adanya roh yang paling berkuasa. Agar terhindar dari kekuatan roh tersebut
maka orang Jawa menghormatinya dengan cara menyediakan sesaji dan mengadakan
upacara-upacara agar roh tersebut tidak menyakiti manusia dan sebaliknya bersedia
melindungi manusia.

4. Unggah-Ungguh Terhadap Tuhan


Orang Jawa melakukan hormat terhadap Tuhan yang diyakininya seperti tersebut
di atas dengan mengadakan upacara dan ritual-ritual tertentu. Hal ini bertujuan untuk
mereka tenang dan selalu di lindungi oleh ruh maupun kekuatan gaib yang dianggap
sebagai Tuhan.

D. Pemakaian Bentuk Hormat Dalam Bahasa Jawa

Peristilahan Jawa yang terdapat dalam semua publikasi tentang pokok ini, baik publikasi
dalam bahasa Jawa maupun non-Jawa, sifatnya dwiarti. Istilah utama, yaitu krama, 'tata krama,
sopan santun', madya, `tengah, di antara', dan ngoko, yang dapat dibandingkan dengan kata
Perancis tutoyer baik dalam makna maupun dalam struktur bentuk, dipakai dengan dua cara yang
berbeda.

Bisa dikatakan bahwa seseorang berbicara atau dalam menggunakan krama, madya dan
ngoko, atau bahwa sebuah kalimat adalah krama, madya dan ngoko. Dalam hal ini dalam istilah
tersebut mengacu kepada gaya pertuturan yang dipilih pembicara. Tetapi bisa dikatakan juga
bahwa sepatah kata atau suatu unsur gramatikal itu krama, madya atau ngoko. Berikut ini sebuah
contoh sederhana: kula badhe ngaso ‘saya ingin beristirahat' bisa disebut kalimat krama, oleh
tampilnya kata kula 'saya' dan badhe 'ingin', berniat'. Kata kula dan badhe sendiri disebut kata
krama, yang berarti bahwa kata itu adalah bentuk hormat dan kata aku dan arep yang dalam hal
lainnya mempunyai arti yang sama dengan kula dan badhe dan yang disebut kata ngoko.

12
Hj. Ismawati, “Budaya dan Kepercayaan Jawa Pra-Islam”, dalam HM. Darori Amin, (ed), Islam kebudayaan Jawa
(Yogyakarta: Gama Media, 2000), h. 9.
13
Bentuk bahasa Jawa tersebut dikorelasikan antara berbagai gaya tutur dengan berbagai
golongan sosial dalam masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan pembicara yang dinyatakan
sebagai: 1) golongan non priyayi, penduduk kota yang agak terpelajar, 2) petani dan penduduk
kota yang tidak terpelajar dan 3) priyayi. Menurut Greetz masing-masing golongan mempunyai
sejumlah kemungkinan yang berbeda yang bertalian dengan pemakaian kosa kata ragam hormat.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Unggah-ungguh merupakan salah satu etiket orang Jawa dalam interaksi sosial dan
merupakan salah satu sarana untuk mencapai tujuan hidup yang sempurna, yang mana
tujuan hidup orang Jawa adalah manunggaling kawula gusti. Untuk mencapainya orang
Jawa terutama abangan harus mengawali jalannya dengan bersikap menghormati orang
lain. Dalam menghormati orang lain, orang Jawa harus mampu memperhalus perilaku
dan cara bicaranya.

2. Dari paparan di atas penggunaan ngoko-krama dalam masyarakat mempunyai fungsi


sebagai berikut: 1. Sebagai norma pergaulan masyarakat, 2. Sebagai tata unggah-ungguh
yang berarti unggahungguhing basa berarti tataran ngoko-krama,dan unggah-ungguh
berarti tata sopan santun, 3. Tataran berfungsi sebagai alat untuk menyatakan rasa hormat
dan keakraban, 4. Tataran bahasa Jawa juga berfungsi sebagai pengatur jarak sosial
(sosial Distance).

B. Saran

Ada beberapa saran yang perlu disampaikan bagi para pembaca. Saran tersebut antara
lain:
1. Sebagai orang Jawa seharunya kita menjunjung tinggi etiket unggahungguh, karena
unggah-ungguh merupakan warisan nenek moyang yang patut dilestarikan.
2. Kesempurnaan skripsi ini masih jauh dari sempurna, sehingga penelitian lebih lanjut
sangat dibutuhkan. Di samping itu juga dibutuhkan kritik dari para pembaca.

15
DAFTAR PUSTAKA

Abdulsyani, Sosiologi Skematika Teori dan Terapan, Jakarta: Bumi Aksara, 1994.

Amin, Ahmad, Etika (Ilmu Akhlak), Jakarta: Bulan Bintang, 1983.

Amin, Darori (ed.), Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000.

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2000.

Bakry, Hasbullah, Sistematika Filsafat, Jakarta: Wijaya, 1978.

Bertens, K, Etika, Jakarta: Gramedia, 1999.

Ciptoprawira, Abdullah, Filsafat Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1986.

Dwirahardjo, Maryono, Bahasa Jawa Krama, Surakarta: Yayasan Pustaka Cakra, 2001.

Geertz, Clifford, Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin,
Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1983.

Hardjowirogo, Marbangun, Manusia Jawa, Jakarta: Haji Masagung, 1989.

Hatta, Muhammad, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Tirtamas, 1986.

Herusatoto, Budiono, Simbolisme Manusia dalam Budaya Jawa, Yogyakarta: Hanindita


Graha Widia, 2001.

Mangunsuwito, S.A, Kamus Lengkap Bahasa Jawa, Bandung: Yrama Widya, 2002.

Moedjanto,G, Konsep Kekuasaan Jawa Penerapannya oleh Raja-Raja Mataram, Yogyakarta:


Kanisius, 1987.

Moedjanto, G, Konsep Kekuasaan Jawa, Yogyakarta: Kanisius, 1987.

16

Anda mungkin juga menyukai