Anda di halaman 1dari 6

Nama :Ahmad Rifqi Mujahid

Nim :220740057
Mk: Teori Belajar Bahasa

Konsep Dasar Pembelajaran Bahasa Dalam Masyarakat


Dwibahasa

Kedwibahasaan, singkatan dari "kedua bahasa," merujuk pada penggunaan dua bahasa atau
lebih dalam berkomunikasi. Konsep ini sering kali muncul dalam konteks sosiolinguistik,
di mana dua atau lebih bahasa digunakan secara bersamaan atau bergantian oleh individu
atau komunitas tertentu.
Penting untuk memahami bahwa kedwibahasaan dapat terjadi dalam berbagai konteks dan
tingkat. Beberapa contoh inklusif kedwibahasaan melibatkan penggunaan dua bahasa
secara seimbang dalam percakapan sehari-hari, sementara kasus lain mungkin melibatkan
beralih antara bahasa-bahasa tertentu tergantung pada konteks atau situasi tertentu.
Kedwibahasaan dapat muncul dalam masyarakat yang multibahasa, di mana individu atau
kelompok memiliki keahlian atau kefasihan dalam lebih dari satu bahasa. Fenomena ini
juga dapat terjadi di antara kelompok etnik atau komunitas yang memiliki warisan bahasa
ganda atau lebih.
Kedwibahasaan dapat menjadi sumber kekayaan budaya dan linguistik, tetapi juga dapat
menciptakan tantangan komunikasi atau identitas bagi individu atau kelompok tertentu,
tergantung pada konteks sosial dan norma-norma budaya yang berlaku.

a. Konsep dasar pembelajaran bahasa dalam masyarakat dwibahasa

1. Komunitas Dwibahasa:
Masyarakat dwibahasa sering membentuk komunitas yang kuat di mana anggota saling
mendukung dalam penggunaan dan pemeliharaan kedua bahasa. Komunitas ini dapat
menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan bahasa dan identitas
dwibahasa.
2. Teknologi dan Pembelajaran Dwibahasa:
Penggunaan teknologi, seperti aplikasi pembelajaran bahasa atau sumber daya online,
dapat memfasilitasi pembelajaran dwibahasa. Teknologi dapat membantu individu
untuk terus memperdalam pengetahuan mereka dalam kedua bahasa dengan cara yang
interaktif.
3. Keseimbangan Bahasa:
Keseimbangan antara kedua bahasa dalam masyarakat dwibahasa dapat menjadi faktor
penting. Upaya untuk mempertahankan keseimbangan ini dapat melibatkan dukungan
dari keluarga, pendidikan formal, dan komunitas secara keseluruhan.

4. Keterlibatan Orang Tua:


Peran orang tua sangat penting dalam pembelajaran bahasa anak dalam masyarakat
dwibahasa. Mendukung pengembangan keterampilan bahasa anak dan memberikan
kesempatan untuk berbicara dalam kedua bahasa adalah bagian integral dari pendekatan
pembelajaran ini.
5. Bahasa sebagai Identitas Budaya:
- Pembelajaran dwibahasa tidak hanya tentang keterampilan berbahasa, tetapi juga
mengenai identitas budaya. Bahasa sering kali merupakan bagian penting dari identitas
seseorang, dan pemeliharaan bahasa memainkan peran kunci dalam mempertahankan
warisan budaya.

6. Kemitraan Komunitas dan Pendidikan:


- Kerjasama yang baik antara komunitas dwibahasa dan lembaga pendidikan dapat
memperkuat pembelajaran bahasa. Program-program yang mencerminkan kebutuhan
dan aspirasi komunitas dapat memberikan kontribusi positif terhadap pembelajaran
bahasa anak-anak.

7. Pemahaman Terhadap Keanekaragaman Bahasa:


Masyarakat dwibahasa cenderung memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap
keanekaragaman bahasa. Ini mencakup penghargaan terhadap variasi dialek, aksen,
dan gaya komunikasi yang mungkin muncul dalam kedua bahasa yang digunakan.
8. Fasilitasi Penerjemahan dan Interpretasi:
Penerjemahan dan interpretasi dapat memainkan peran penting dalam memastikan
bahwa informasi dan layanan tersedia dalam kedua bahasa untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dwibahasa.

9. Pertukaran Budaya dan Pengetahuan:


Pembelajaran dwibahasa dapat memberikan kesempatan untuk pertukaran budaya dan
pengetahuan yang lebih luas, menghubungkan individu dengan ide dan praktik dari
kedua bahasa yang mereka pelajari.
Penting untuk menyadari bahwa konsep-konsep ini bersifat umum dan dapat berubah
sesuai dengan konteks dan karakteristik masyarakat dwibahasa yang spesifik.

b. Contoh pengertian kedwibahasaan

Sebagai contoh pengertian kedwibahasaan, kita bisa membayangkan sebuah keluarga di


mana kedua orang tua berbicara dalam bahasa yang berbeda. Misalnya, ibu berbicara
dalam bahasa Indonesia sementara ayah berbicara dalam bahasa Aceh. Dalam keluarga
ini, anak-anak mungkin terpapar pada kedua bahasa sejak kecil dan secara alami
mengembangkan keterampilan berbahasa dwibahasa.

Pada saat sarapan pagi, keluarga tersebut mungkin berbicara dalam satu bahasa, dan
ketika mereka menonton film bersama-sama, mereka bisa saja beralih antara kedua
bahasa tersebut. Proses ini menciptakan suatu lingkungan yang mendukung
kedwibahasaan di dalam keluarga.

Selain itu, kita dapat membayangkan sebuah sekolah di daerah yang memiliki dua
bahasa resmi, seperti sekolah di wilayah yang menggunakan bahasa nasional dan
bahasa daerah. Di sekolah tersebut, siswa mungkin mendapatkan pengajaran dalam
kedua bahasa dan diharapkan untuk memiliki kemampuan berkomunikasi dan
memahami materi pelajaran dalam kedua bahasa tersebut.

Dengan demikian, kedwibahasaan dapat ditemukan dalam berbagai konteks, mulai dari
tingkat keluarga hingga tingkat institusional, dan melibatkan penggunaan dan
pemahaman dua bahasa atau lebih dalam kehidupan sehari-hari.

c. Permasalahan pembelajaran dalam dwibahasa

Permasalahan pembelajaran dalam dwibahasa dapat melibatkan sejumlah tantangan dan


kompleksitas. Berikut adalah beberapa permasalahan yang sering dihadapi dalam
konteks pembelajaran dwibahasa:

1. Ketidakseimbangan Keterampilan Bahasa:


Siswa dwibahasa mungkin mengalami kesenjangan dalam keterampilan berbahasa
mereka, di mana mereka lebih mahir atau nyaman menggunakan satu bahasa daripada
yang lain. Ini dapat menciptakan ketidakseimbangan dalam kemampuan
mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
2. Kurangnya Materi dan Sumber Daya Pembelajaran Dwibahasa:
Tidak adanya materi pembelajaran atau sumber daya yang memadai dalam kedua
bahasa dapat menjadi hambatan. Kurangnya buku teks, perangkat lunak, atau
permainan pembelajaran dwibahasa dapat membatasi pengalaman pembelajaran siswa.

3. Penilaian yang Tidak Seimbang:


Penilaian keterampilan bahasa dalam konteks dwibahasa dapat menjadi rumit.
Terkadang, penilaian mungkin lebih fokus pada satu bahasa daripada yang lain, atau
tidak mempertimbangkan seimbangnya kemampuan dwibahasa siswa.

4. Tekanan untuk Dominasi Bahasa Tertentu:


Adanya tekanan untuk mengutamakan atau mendominasi satu bahasa tertentu, terutama
jika ada bahasa yang dianggap lebih penting dalam masyarakat atau sistem pendidikan,
dapat menciptakan ketidakseimbangan dalam penggunaan bahasa.

5. Pertentangan Identitas dan Kultural:


Siswa dwibahasa mungkin mengalami pertentangan identitas atau kultural, terutama
jika mereka dihadapkan pada ekspektasi yang bertentangan atau stereotip terkait
dengan penggunaan bahasa dan identitas budaya.

6. Kurangnya Pelatihan Guru Dwibahasa:


Guru yang tidak mendapatkan pelatihan yang memadai dalam strategi dan pendekatan
pembelajaran dwibahasa mungkin kesulitan membimbing siswa dengan efektif.
Pelatihan ini dapat mencakup cara mengelola code-switching, membangun
keterampilan kognitif, dan mendukung perkembangan bahasa.

7. Kurangnya Dukungan Orang Tua:


Kurangnya dukungan dari orang tua atau keluarga dalam memelihara dan mendukung
pembelajaran dwibahasa dapat menjadi hambatan. Orang tua mungkin tidak memiliki
pemahaman yang cukup atau merasa tidak nyaman dengan pendekatan dwibahasa.

Pemecahan permasalahan ini melibatkan keterlibatan berbagai pihak, termasuk guru,


orang tua, dan pembuat kebijakan pendidikan. Sistem pendidikan yang memahami
keunikan dan kompleksitas pembelajaran dwibahasa dapat menciptakan lingkungan
yang lebih inklusif dan mendukung bagi siswa.
d. Kontak bahasa dalam masyarakat

Kontak bahasa dalam masyarakat dwibahasa melibatkan fenomena seperti code-


switching, code-mixing, dan translanguaging. Ini menciptakan variasi bahasa,
pertukaran budaya melalui bahasa, dan penyesuaian gaya bahasa tergantung pada
konteks. Fenomena ini dapat terjadi melalui media, teknologi, dan pertukaran kosa kata
antarbahasa. Kontak bahasa biasanya memperkaya pengalaman berbahasa tanpa selalu
menciptakan masalah.

e. Tipologi kedwibahasaan

Tipologi kedwibahasaan mencakup berbagai bentuk, seperti:

1. Bilingualisme Individu:
Kemampuan berbahasa dalam dua bahasa oleh individu.
2. Bilingualisme Komunitas:
Penggunaan dua bahasa oleh sebuah kelompok atau komunitas.
3. Bilingualisme Situasional:
Kemampuan menggunakan dua bahasa berdasarkan situasi atau konteks tertentu.
4. Bilingualisme Additif:
Penggunaan dua bahasa yang bersifat melengkapi dan memperkaya.
5. Bilingualisme Subtraktif:
Pengalaman kehilangan kemampuan berbahasa dalam satu bahasa akibat dominasi
bahasa lain.

Tipologi ini mencerminkan ragam cara individu atau masyarakat menjalani kehidupan
dwibahasa.

Keywords: Bilingualisme adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk


menggunakan dua bahasa atau lebih. Ini bisa mencakup individu yang fasih dalam dua
bahasa atau masyarakat yang secara kolektif menggunakan dua bahasa dalam
kehidupan sehari-hari. Bilingualisme dapat bersifat additif (memberikan nilai tambah)
atau subtraktif (merugikan satu bahasa).

f. Pengukuran kedwibahasaan

Pengukuran kedwibahasaan merupakan proses evaluasi yang melibatkan berbagai


metode untuk menilai dan memahami kemampuan individu atau masyarakat dalam
menggunakan dua bahasa atau lebih. Beberapa pendekatan umum dalam pengukuran
kedwibahasaan mencakup:
1. Tes Kemampuan Bahasa:
- Melibatkan serangkaian tes untuk mengukur keterampilan dalam mendengar,
berbicara, membaca, dan menulis dalam kedua bahasa. Tujuannya adalah untuk
mengidentifikasi tingkat kefasihan dan pemahaman bahasa pada level tertentu.

2. Penilaian Keseimbangan Bahasa:


- Penilaian ini mencoba untuk menilai sejauh mana seseorang memiliki keseimbangan
dalam penggunaan dan penguasaan kedua bahasa yang dimilikinya. Hal ini dapat
melibatkan pengukuran frekuensi penggunaan setiap bahasa dan pemahaman mendalam
terhadap keduanya.

3. Wawancara Bahasa:
- Melibatkan interaksi langsung untuk mengevaluasi kemampuan berbicara,
memahami, dan merespons dalam kedua bahasa. Wawancara dapat memberikan
wawasan tambahan tentang keterampilan berkomunikasi sehari-hari.

4. Pengamatan Kontekstual:
- Mengamati penggunaan bahasa dalam situasi sehari-hari dan konteks tertentu.
Pendekatan ini memberikan gambaran nyata tentang bagaimana individu atau
komunitas mengintegrasikan kedua bahasa dalam kehidupan mereka.

5. Penilaian Literasi Dwibahasa:


- Menilai kemampuan membaca dan menulis dalam kedua bahasa. Ini dapat
mencakup pemahaman teks, kemampuan menulis, dan interpretasi sastra dalam kedua
bahasa.

6. Survei dan Kuesioner:


- Menggunakan survei atau kuesioner untuk mendapatkan pemahaman tentang
preferensi bahasa, penggunaan bahasa di berbagai konteks, dan persepsi individu atau
masyarakat terhadap kedwibahasaan.

Penting untuk merancang pengukuran kedwibahasaan dengan mempertimbangkan


konteks budaya, sosial, dan linguistik yang spesifik. Gabungan beberapa metode di atas
dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang tingkat kedwibahasaan dan
bagaimana kedua bahasa tersebut digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Anda mungkin juga menyukai