Anda di halaman 1dari 15

1

MODUL 2 HIDROLGI

NERACA AIR (WATER BALANCE) DAN PRESIPITAS (HUJAN)

NERACA AIR (WATER BALANCE)

Neraca air atau water balance merupakan bagian dari keilmuan hidrogeometeorologi
yang menggambarkan hubungan antara inflow (aliran masuk) dengan outflow (aliran keluar)
pada suatu wilayah selama periode tertentu. Dalam perhitungannya, neraca air dapat
menggambarkan curah hujan yang tertampung dalam daerah recharge, penguapan kembali
sebagai evapotrans pirasi, air yang megalir di permukaan sebagai surface direct run off maupun
infiltrasi air tanah. Neraca air memegang peranan sangat penting dalam ilmu kerekayasaan
terutama rekayasa teknik sipil bidang infrastruktur air seperti irigasi (Rinaldi,2015).
Neraca air (water balance) merupakan neraca masukan dan keluaran air disuatu tempat
pada periode tertentu, sehingga dapat untuk mengetahui jumlah air tersebut kelebihan (surplus)
ataupun kekurangan (defisit). Kegunaan mengetahui kondisi air pada surplus dan defisit dapat
mengantisipasi bencana yang kemungkinan terjadi, serta dapat pula untuk mendayagunakan air
sebaik-baiknya. Dalam konsep siklus hidrologi bahwa jumlah air di suatu luasan tertentu di
permukaan bumi dipengaruhi oleh besarnya air yang masuk (input) dan keluar (output) pada
jangka waktu tertentu. Semakin cepat siklus hidrologi terjadi maka tingkat neraca air nya
semakin dinamis. Kesetimbangan air dalam suatu sistem tanah-tanaman dapat digambarkan
melalui sejumlah proses aliran air yang kejadiannya berlangsung dalam satuan waktu yang
berbeda-beda.
Bentuk umum persamaan water balance disajikan pada persamaan (1) (Mulya et al.
2013). P = Ea + ΔGS + TRO (1) Keterangan : P = presipitasi (mm) Ea = evapotranspirasi (mm)
ΔGS = perubahan groundwater storage (mm) TRO = total runoff (mm).
Pengantar Hidrologi Water balance merupakan siklus tertutup yang terjadi untuk suatu
kurun waktu pengamatan tahunan tertentu, dimana tidak terjadi perubahan groundwater storage
atau ΔGS = 0. Artinya awal penentuan groundwater storage adalah berdasarkan bulan terakhir
dalam tinjauan kurun waktu tahunan tersebut. Sehingga persamaan water balance yang baru
disajikan pada persamaan (2) (Mulya et al. 2013):
2

P = Ea + TRO
A. Neraca Air
Perkiraan secara kuantitatif dari siklus hidrologi dapat dinyatakan berdasarkan konservasi
massa, yang dikenal dengan persamaan neraca air.
Persamaan tersebut menggambarkan bahwa di dalam suatu sistem hidrologi (DAS, waduk,
danau, aliran permukaan) dapat dievaluasi air yang masuk dan yang keluar dari sistem tersebut
dalam suatu periode waktu tertentu.

Gambar 3.1 Imbangan Air di Danau


Neraca air dapat dinyatakan dalam interval waktu singkat atau untuk durasi panjang,
untuk suatu DAS atau badan air seperti waduk atau danau. Secara umum persamaan neraca air
dapat ditulis dalam bentuk (lihat Gambar1):
3

B. Imbangan Air untuk DAS Besar dan Durasi Panjang


Bila evaluasi dilakukan dalam periode panjang (siklus tahunan), variasi tampungan air
relatif seimbang sehingga perubahan tampungan ΔS dapatdiabaikan. Pada DAS, jika tidak ada
aliran yang masuk melalui batas DAS, maka Q1 = 0. Dalam suatu DAS dianggap tidak ada
transfer air tanah, dari satu DAS ke DAS di dekatnya, sehingga Gi=Go = 0. Persamaan 1 akan
berubah menjadi:
P – E – T – Q = 0 (persamaan 2)
Dengan Q adalah debit sungai, yang merupakan aliran dari DAS ke dalam sungai.

C. Imbangan Air untuk Badan Air dalam Periode Singkat


Pengaruh perubahan kondisi hidrologi di suatu waduk, danau atau sungai dapat
diperkirakan dengan menggunakan persamaan imbangan air untuk periode waktu sangat singkat,
misalnya dalam waktu menitan atau jam-jaman. Dalam hal ini, Perubahan tampungan harus
diperhitungkan, sedangkan evaporasi, presipitasi dan aliran air tanah dapat diabaikan.
Bentuk persamaan imbangan air menjadi:
∆𝑆
Q𝑖 − Q𝑜 − ∆𝑡 = 0 (persamaan 3)
4

Persamaan 3, sering digunakan untuk hitungan penelusuran banjir (flood routing) di waduk.

D. Imbangan Air untuk Aliran Permukaan


Persamaan imbangan air yang hanya memperhitungkan air permukaan adalah:
P – E – T – I – Q – SD = 0 (persamaan 4)
Dengan I adalah infiltrasi dan SD adalah tampungan cekungan. Apabila SD = 0, maka persamaan
menjadi: Q=P–E–T–I (persamaan 5)
Persamaan (5), menyatakan bahwa aliran permukaan sama dengan presipitasi dikurangi
kehilangan air yaitu jumlah dari evaporasi, evapotranspirasi dan infiltrasi. Konsep ini
meruapakan dasar untuk menghitung limpasan atau debit sungai untuk periode waktu yang relatif
panjang, misalnya debit setengah bulanan atau bulanan.
Dalam memperkirakan debit aliran yang ditimbulkan oleh hujan lebat, evaporasi dan
evapotranspirasi yang terjadi dalam periode waktu singkat adalah kecil dan dapat diabaikan,
sehingga persamaan (5) menjadi:
Q=P–I (persamaan 6)
Persamaan (6), digunakan untuk memperkirakan debit (hidrograf) banjir yang ditimbulkan oleh
hujan deras yang terjadi dalam waktu singkat (hujan jam-jaman atau harian maksimum).

PRESIPITASI
A. Pengertian Presipitasi
Presipitasi adalah proses turunnya air dari atmosfer ke permukaan bumi dan laut. Air
yang turun bisa berbentuk curah hujan maupun salju tergantung dengan dimana posisi turunnya
air tersebut. Jika di daerah tropis, presipitasi yang terjadi berupa air hujan. Mengingat lokasi
Indonesia berada di daerah tropis, maka presipitasi yang terjadi adalah curah hujan. Oleh karena
itu, presipitasi secara umum yang akan dibahas pada bab ini adalah presipitasi curah hujan.
5

Gambar 2.1 Proses Kondensasi dan Presipitasi


Sumber: The COMET Program

Presipitasi adalah peristiwa klimatik yang bersifat alamiah, merupakan perubahan bentuk
air dari uap menjadi cairan sebagai akibat dari proses kondensasi. Peristiwa presipitasi secara
mendetail dapat dilihat pada siklus hidrologi. Proses presipitasi diawali naiknya uap air dari
permukaan bumi ke atmosfer. Uap air di atmosfer menjadi dingin dan terkondensasi membentuk
awan (clouds). Kondensasi terjadi ketika suhu udara berubah menjadi lebih dingin. Ketika awan
yang terbentuk tidak mampu lagi menampung air maka awan akan melepas uap air yang ada di
dalamnya ke dalam bentuk presipitasi. Secara sederhana, agar presipitasi dapat terjadi, kondisi
atmosfer harus mendukung 4 hal berikut, yaitu:
1. Kelembaban udara yang cukup
2. Terdapat inti yang cukup untuk pembentukan kondensasi
3. Kondisi udara cukup baik untuk proses penguapan terjadi
4. Awan pembentukan kondensasi harus mencapai bumi

Curah hujan yang diperlukan dalam penyusunan peta Isohiet untuk suatu rancangan
pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata di seluruh
daerah yang bersangkutan, bukan curah hujan pada titik tertentu. Curah hujan ini disebut curah
hujan wilayah atau daerah dan dinyatakan dalam mm. Distribusi curah hujan wilayah atau daerah
(regional distribution) adalah persebaran intensitas curah hujan yang dihitung dengan mengacu
6

pada pengukuran curah hujan di stasiun–stasiun meteorologi dengan menggunakan metode


tertentu (Asdak, 2007).
Apabila awan yang terbentuk di angkasa terus naik akan menjadi butir-butir halus dan
berubah menjadi butir-butir air yang besar-besar dan akhirnya jatuh ke bumi sebagai air hujan.
Jadi hujan dapat didefinisikan sebagai peristiwa jatuhnya butir-butir air dari langit ke permukaan
bumi. Hujan juga dapat diartikan sebagai presipitasi yang berbentuk cair (presipitasi: semua
bentuk hasil konsumsi uap air yang terkandung di atmosfer). Hujan merupakan salah satu gejala
cuaca yang memiliki peranan penting bagi kehidupan di bumi (hujan sebagai sumber air tawar).
Jumlah curah hujan yang diterima oleh suatu daerah di samping tergantung sirkulasi uap air, juga
tergantung dari faktor-faktor:
1. Letak garis lintang
2. Ketinggian tempat
3. Jarak dari sumber-sumber air
4. Posisi daerah terhadap benua/daratan
5. Arah angin terhadap sumber-sumber air (menjauhi/mendekati)
6. Hubungannya dengan deretan gunung
7. Suhu nisbi tanah dan samudera yang berbatasan (Eagleson, 1970 dalam Seyhan, 1995)

1.Berdasarkan Bentuk
Berdasarkan bentuknya hujan dapat dibedakan menjadi hujan air, hujan salju dan hujan es.
a. Hujan air (rain)
Hujan air berupa air yang jatuh dalam bentuk tetesan yang dikondensasikan dari uap air
di atmosfer. Di wilayah Indonesia hujan ini sering terjadi dan biasa disebut dengan rain karena
berbentuk cair. Ukuran diameter butir hujan berkisar antara 0,5 - 4 mm.
b. Hujan salju (snow)
Hujan salju merupakan jumlah salju basah yang jatuh dalam suatu periode terbatas. Salju
adalah kristal-kristal kecil air yang membeku dalam butiran kecil yang secara langsung dibentuk
dari uap air di udara bila suhunya pada saat kondensasi < 0C (0C: titik beku air). Proses
terbentuknya adalah antar butir air saling bertumbukan tetapi tidak menyatu (hanya menempel)
sehingga jika hujan jatuh tidak teratur bentuknya. Diameter butir berkisar < 0,5 mm, dan dapat
terjadi pada suhu 6 0C .
7

c. Hujan es (hail stone)


Adanya panas akan mengakibatkan uap air terangkat ke atas dan semakin ke atas butiran
air akan semakin besar. Uap air tersebut selanjutnya berkondensasi dan akhirnya jatuh menjadi
hujan es. Hujan es sering terjadi di daerah sedang dan peluang terjadi di daerah tropis juga besar,
akan tetapi karena di daerah tropis untuk membeku awan harus naik setinggi 5000 m, maka
akibat ketinggian tersebut es yang jatuh ke bawah sudah tidak berbentuk es lagi tetapi berbentuk
cair. Ukuran diameter butir hujan berkisar > 4 mm.
 Snow , kristal es yang tumbuh sejalan dengan pertumbuhan awan. Pada suhu > -5 oC, kristal
es biasanya berkelompok membentuk snowflake.
 Snow pelletsatau graupel, butiran es berbentuk bundar, konikal maupun bulat tipis berwarna
putih dengan diameter 2 – 5 mm. Biasanya terjadi dalam hujan ringan ketika suhu di dekat
permukaan mendekati 0 oC.
 Snow grain, ukurannya sangat kecil < 1 mm, putih, bulat tipis.
 Sleet atau ice pellets, fenomena khas musim dingin berupa partikel es kecil dengan diameter
< 5 mm dan transparan. Terbentuk karena adanya lapisan udara hangat di atas lapisan udara
yang lebih dingin di dekat permukaan (profil suhu inversi). Ketika butir air terbentuk dan
jatuh memasuki lapisan di bawahnya, butiran itu membeku dan jatuh dalam bentuk butiran es
kecil yang tidak lebih besar dari butir hujan sebelumnya.
 Glaze (freezeng rain), bentuk hujan yang membeku ketika tiba di permukaan. Kondisinya
hampir menyerupai kondisi pembentukan sleet, tetapi lapisan dingin di dekat permukaan tidak
terlalu tebal sehingga butiran air yang jatuh dapat melaluinya tanpa membeku hanya
menjadi supercooled. Namun ketika menumbuk benda padat akan membeku, sehingga
menjadi lapisan es tebal yang membungkus benda-benda padat yang ditumbuknya, yang
cukup berat untuk mematahkan batang-batang pohon.
 Hail, presipitasi dalam bentuk butir-butir es yang tidak beraturan, dengan diameter sekitar 1
cm dengan variasi dari 5 hingga 75 mm. Hail dihasilkan hanya oleh awan cumulonimbus
yang ketika terangkat sangat kuat dan mengandung air superdingin yang berlimpah.
8

Gambar 2.2 Bentuk-bentuk Presipitasi Sumber: https://www.aboutcivil.org/mechanism-of-


precipitation.html

2. Jenis Hujan
Hujan terjadi karena udara basah yang naik ke atmosfer mengalami pendinginan sehingga
terjadi proses kondensasi. Naiknya udara ke atas dapat terjadi secara siklonik, orografis, dan
konvektif. Jenis hujan dibedakan berdasarkan proses terjadinya. Beberapa jenis hujan antara lain
1. Hujan Konvektif (Convectional Storms)
Pada daerah tropis saat musim kemarau, udara yang berada di dekat permukaan tanah
mengalami pemanasan yang intensif. Pemanasan tersebut menyebabkan kerapatan massa udara
berkurang. Udara basah naik ke atas dan mengalami pendinginan sehingga terjadi kondensasi
dan hujan. Proses kondensasi membentuk awan cumulonimbus. Hujan yang terjadi karena proses
ini disebut hujan zenithal, mempunyai intensitas tinggi, durasi singkat dan cakupan wilayah yang
tidak terlalu luas. Hujan konvektif biasanya terjadi pada akhir musim kering. Hujan konvektif
disebut juga dengan hujan zenithal.
9

Gambar 2.3 Hujan Konvektif

2. Hujan Siklonik (Frontal/Cyclonic Storms)


Jika massa udara panas yang relatif ringan bertemu dengan massa udara dingin yang
relatif berat, maka udara panas tersebut akan bergerak di atas udara dingin. Udara yang bergerak
ke atas mengalami pendinginan akan terjadi kondensasi sehingga membentuk awan dan hujan.
Hujan yang terjadi disebut hujan siklonik, mempunyai sifat tidak terlalu lebat dan berlangsung
dalam waktu lebih lama. Tergantung pada tipe hujan yang dihasilkan, hujan siklonik dapat
dibedakan menjadi hujan siklonik dingin dan hujan siklonik hangat. Hujan siklonik dingin
biasanya mempunyai kemiringan permukaan frontal yang besar sehingga gerakan massa udara
ke tempat yang lebih tinggi menjadi cepat dan menghasilkan hujan lebat dalam waktu singkat.
Sedangkan hujan siklonik hangat, kemiringan permukaan frontal tidak terlalu besar sehingga
gerakan massa udara ke tempat yang lebih tinggi berangsur perlahan, pembentukan awan lambat.
Tipe hujannya bercirikan tidak terlalu lebat dan berlangsung dalam waktu lebih lama. Hujan
badai dan hujan monsoon adalah tipe hujan siklonik/frontal yang sering dijumpai.

Gambar 2.4 Hujan Siklonik

3. Hujan Orografis
Udara lembab yang tertiup angin yang melintasi daerah pegunungan akan naik
mengalami pendinginan, sehingga terbentuk awan dan hujan. Sisi gunung yang dilalui oleh
udara, akan banyak mendapatkan hujan maka disebut lereng hujan. Sisi belakangnya yang dilalui
udara kering disebut lereng bayangan hujan. Daerah tersebut tidak permanen, dapat berubah
tergantung musim (arah angin). Hujan ini terjadi di daerah pegunungan (hulu DAS), merupakan
pemasok air tanah, danau, bendungan, dan sungai. Besarnya intensitas hujan orografis cenderung
10

lebih besar sebanding dengan ketebalan lapisan udara lembab di atmosfer yang bergerak ke
tempat yang lebih tinggi.

Gambar 2.5 Hujan Orografik

4. Hujan Konvergensi
Hujan ini terjadi karena adanya pertemuan dua massa udara yang tebal dan besar sehingga udara
tersebut naik dan menyebabkan pembentukkan awan lalu hujan.
11

4. Parameter Hujan
Beberapa parameter hujan yang perlu untuk diketahui adalah sebagai berikut:
1. Jumlah hujan yang jatuh di permukaan bumi dinyatakan dalam kedalaman air (mm), yang
terdistribusi secara merata pada seluruh daerah tangkapan air.
2. Intensitas hujan adalah jumlah curah hujan dalam suatu satuan waktu (mm/jam; mm/hari;
dsb).
3. Durasi hujan adalah waktu yang dihitung dari saat hujan mulai turun sampai berhenti (jam).
4. Intensitas hujan rerata adalah perbandingan antara kedalaman hujan dan durasi hujan.
Misalnya hujan selama 5 jam menghasilkan kedalaman 50 mm, yang berarti intensitas hujan
rerata adalah 10 mm/jam. Demikian juga hujan selama 5 menit sebesar 6 mm, yang berarti
intensitas hujan adalah 72 mm/jam. Tetapi untuk daerah tangkapan kecil perlu ditinjau durasi
jam yang sangat singkat seperti 5 menit, 10 menit, dsb. Sebaliknya untuk daerah tangkapan
yang besar sering digunakan durasi hujan yang lebih lama, misalnya 1 hari, 2 hari, dst.
5. Distribusi hujan sebagai fungsi waktu menggambarkan variasi kedalaman hujan selama
terjadinya hujan, dinyatakan dalam bentuk diskret atau kontinyu.
Bentuk diskret: hyctograph yaitu histogram kedalaman hujan atau intensitas hujan dengan
pertambahan waktu sebagai absis dan kedalaman hujan atau intensitas hujan sebagai ordinat.
Bentuk kontinyu menggambarkan hubungan laju hujan kumulatif sebagai fungsi waktu,
durasi hujan (absis) dan kedalaman hujan (ordinat) dapat dinyatakan dalam persentasi dari
kedua nilai.

5. Pengukuran Curah Hujan


Data curah hujan dapat berupa data curah hujan harian atau curah hujan pada periode
waktu yang lebih pendek, misal setiap menit. Alat ukur hujan dapat dibedakan menjadi 2 macam,
yaitu penakar hujan biasa (manual raingauge) dan penakar hujan otomatis (automatic
raingauge). Data hujan tipe pertama dapat diukur dengan penakar hujan biasa terdiri dari bejana
dan corong seluas 200 cm2 yang dipasang setinggi 120 cm dari permukaan tanah. Data hujan
untuk periode pendek didapat dari alat penakar hujan otomatis ARR (automatic rainfall
recorder) yang dapat merekam setiap kejadian hujan selama jangka waktu tertentu. Berdasarkan
mekanisme perekaman data hujan ada tiga jenis ARR, yaitu tipe weighing bucket, tipping bucket
dan float.
12

1 Alat Penakar Hujan Biasa


Alat penakar hujan biasa terdiri dari corong dan botol penampung yang berada di dalam
suatu tabung silinder. Hujan yang jatuh pada corong akan tertampung di dalam tabung silinder,
kemudian kedalaman hujan di dapat dari pengukuran volume air yang tertampung dan luas
corongnya. Curah hujan kurang dari 0,1 mm dicatat sebagai 0,0 mm, sedangkan jika tidak ada
hujan dicatat dengan garis (-).
13

2 Alat Penakar Hujan Jenis Timbangan


Tipe timbangan (weighing bucket) dapat merekam jumlah kumulatif hujan secara
kontinyu. Alat ini tidak dilengkapi dengan sistem pengurasan otomatik.
14

3 Alat Penakar Hujan Jenis Timba Jungkit


Alat penakar hujan otomatis dengan tipping bucket digunakan untuk pengukuran khusus.
Air hujan yang tertampung ke dalam corong akan diteruskan ke saringan kemudian masuk ke
dalam tipping bucket. Kapasitas bucket ini didesain khusus setara dengan 0.5 mm, sehingga
apabila tampungan air hujan tercapai akan terjungkir (tipping) yang akan diteruskan dengan
proses perekaman.
15

4 Alat Penakar Hujan Jenis Pelampung


Prinsip mekanisme kerja alat penakar hujan otomatis tipe ketiga yaitu float adalah dengan
memanfaatkan gerakan naik pelampung dalam bejana akibat tertampungnya curah hujan.
Pelampung ini berhubungan dengan sistem pena perekam di atas kertas berskala yang
menghasilkan grafik rekaman data hujan. Alat ini dilengkapi dengan sistem pengurasan otomatis,
yaitu pada saat air hujan yang tertampung telah mencapai kapasitas receivernya akan dikeluarkan
dari bejana dan pena akan kembali pada posisi dasar kertas rekaman data hujan.

Anda mungkin juga menyukai