Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

KERAJAAN KERAJAAN MELAYU PRA ISLAM

DISUSUN OLEH :
NAMA : HAFIIZHAH
KELAS : VIII.5

MATA PELAJARAN : BMS ( Budaya Melayu Siak )


GURU MATA PELAJARAN : Pak Agustriwadi

SMPS YPPI
1. kerajaan mandala sriwijaya

Penguatan Politik Kerajaan Sriwijaya terhadap Kerajaan-Kerajaan Besar di Wilayah


Semenanjung Malaka dan Sumatera Abad-Abad Awal Masehi

Oleh: Citra Musthafa Arkhi


Mahasiswa Jurusan Arkeologi UI Angkatan 2008

Penyusunan sejarah kebudayaan pada masa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara,


tentunya tidak terlepas dari bukti-bukti adanya interaksi antarwilayah kekuasaan tiap
kerajaan, yang terkadang cukup luas sehingga selalu menimbulkan persinggungan
antara kerajaan-kerajaan tersebut. Menurut Soewadji Sjafei (1990: 426) adanya
perhubungan interoceanis dan intercontinental di Asia Tenggara dan Asia,
menimbulkan kesejajaran pertumbuhan sejarah negara-negara semenjak permulaan
tahun masehi. Dikatakan pula adanya kesejajaran ini menimbulkan perebutan
hegemoni di antara negara-negara tersebut.

Perebutan hegemoni tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti


adanya suasana tren politik yang dianut oleh sebagian besar kerajaan-kerajaan kuno
di wilayah Asia Tenggara, contohnya kerajaan Funan di Vietnam hingga Kerajaan
Majapahit di Nusantara. Tren politik tersebut oleh para sejarawan dinamakan sistem
tributari, artinya pihak yang lemah dapat terus bertahan setelah kalah asalkan
memberikan suatu imbalan ataupun menjadi bagian dari pihak yang lebih kuat.
Renée Hagesteijn (1989) menyebut tren politik tersebut sebagai suatu lingkaran raja-
raja, yakni terdapat satu kekuasaan tertinggi yang membawahi penguasa-penguasa
lain.
Berdasarkan pendapat para peneliti sebelumnya mengenai indianisasi Asia Tenggara,
Hagesteijn (1989: 46) menegaskan asumsi bahwa bentuk negara-negara di Asia
Tenggara dibentuk berdasarkan pengaruh kebudayaan India yang dibawa para
pedagang, para pendeta Buddha, dan para Brahmana dalam bentuk ideologi seperti
agama Hindu-Buddha, aspek-aspek organisasi politik, dan inovasi-inovasi teknologi
seperti cocok-tanam padi. Menurut Hagesteijn (1989: 46), sistem politik kerajaan-
kerajaan kuno di wilayah Asia Tenggara saat itu kemungkinan besar diadopsi oleh
para pemimpin-pemimpin politik di wilayah Asia Tenggara kuno berdasarkan konsep
mandala dari India yang bertujuan untuk menciptakan suatu “dunia-dunia” tersendiri
bagi para raja dan penguasa.

Konsep mandala sendiri secara harfiah berarti lingkaran di dalam bujur sangkar.
Menurut Jakob Soemardjo (2002: 43) lingkaran adalah lambang waktu dan bujur
sangkar adalah lambang ruang. Jadi adanya keharusan memiliki “dunia-dunia”
kekuasaan khusus bagi seorang penguasa memungkinkan suatu wilayah hanya
memiliki seorang penguasa tertinggi yang akan melakukan perluasan wilayah
kekuasaan demi mendapatkan suatu wibawa bagi diri, bangsa dan rakyatnya. Melalui
konsep politik yang demikian, maka akan terjadi suatu penaklukan suatu daerah
kekuasaan atas daerah kekuasaan lainnya. Penaklukan yang dimaksudkan di sini
dapat berarti tunduk kepada sang penguasa tertinggi dengan cara memberikan upeti
sebagai suatu tanda pengakuan atau persembahan atau tersingkir selamanya dari
wilayah yang ditaklukkan tersebut. Dengan kata lain negara-negara yang ditaklukkan
oleh suatu negara yang lebih kuat dapat dilenyapkan atau mengakui kekuasaan
penakluknya.
Sebagai balasan atas pengakuan tersebut tentunya negara tersebut akan
mendapatkan perlindungan secara ekonomi, militer, dan politik. Walaupun “negara-
negara bawahan” tersebut telah dinaungi oleh negara yang lebih kuat, namun secara
administratif tetap merupakan suatu negara independen yang dapat mengatur
sendiri kebijakan di wilayahnya.

Keberadaan politik semacam ini bahkan tampak jelas terus bertahan hingga masa
kerajaan Majapahit terhadap kerajaan Cina. Belum dapat dipastikan secara pasti
apakah betul hal ini merupakan suatu tren yang dianut oleh mayoritas banyak
kerajaan di wilayah semenanjung Malaka, seperti kerajaan Ayudhya dan Melayu
Kuno. Akan tetapi banyak data tertulis seperti prasasti maupun berita perjalanan
Cina dan pedagang Arab yang menyebutkan secara tersirat pola politik penaklukan
semacam ini digunakan oleh beberapa kerajaan di Nusantara.
Slamet Muljana (2006: 245) menyebutkan bahwa kerajaan Shi-li-fo-shih, di dalam
sejarah T`ang dan karya-karya I`tsing merupakan suatu kerajaan yang sering
mengirim utusan ke Tiongkok dalam kurun waktu 670 – 673 M dan 713 – 741 M.
Semenjak itu utusan dari Shi-li-fo-shih tidak lagi kedengaran. Berita mengenai
kerajaan serupa, yang bernama San-fo-tsi, baru timbul kembali pada masa
pemerintahan dinasti Sung (960 – 1279 M). Berdasarkan deskripsi di dalam sumber
sejarah Cina saat itu, kerajaan ini sempat mengirim utusan untuk mendapatkan
perlindungan Tiongkok selagi berperang dengan negara She-Po yang pada 991 M
dipimpin oleh raja Dharmawangsa.

Menurut data prasasti Kotakapur, yang menyebutkan penyerangan kerajaan Sriwijaya


ke bhūmi jawa, dan prasasti-prasasti Sriwijaya lainnya, jelas sekali bahwa Sriwijaya
menganut politik perluasan wilayah ke sekitarnya yang dilakukan dengan penaklukan
secara militer. Apalagi bila dihubungkan dengan sejarah San-fo-tsi yang
memperebutkan keberpihakan bersama kerajaan She-po dengan cara mengirim
utusan dan persembahan kepada Cina semenjak tahun 960 M.
Mendapatkan dukungan dari Cina akan menjadi suatu keuntungan tersendiri bagi
negara yang bersekutu dengannya. Hal ini dikarenakan Cina memang merupakan
negara yang kuat secara politik, ekonomi, dan militer pada saat itu sehingga banyak
negara yang mengincar posisi sebagai kerabat politik Cina. Bahkan beberapa negara
di India banyak pula yang mengincar posisi tersebut. Gokul Seshadri dan Tansen Sen
menyebutkan bahwa memang banyak negara di India yang ingin memiliki keterikatan
dengan Cina disebabkan hal tersebut.
Dengan melihat adanya banyak negara mengagungkan kekuatan Cina, besar
kemungkinan kerajaan Sriwijaya menganggap bahwa akan lebih menguntungkan bila
mendapatkan kekuatan Cina tersebut di pihaknya untuk melawan musuh-musuhnya
dibandingkan harus menghadapinya sebagai lawan politiknya.

Meskipun hingga saat ini letak pusat kerajaannya belum dapat dipastikan, namun
dapat dilihat berdasarkan tinggalan-tinggalan arkeologinya bahwa kerajaan Sriwijaya
mulai berkembang pada awalnya dan seterusnya di wilayah Semenanjung Malaka.
Penelitian-penelitian prasasti oleh George Coedes berjudul Le Royaume de Crivijaya
pada 1918 M hingga penelitian-penelitian arkeologi dan paleogeomorfologi saat ini
mengenai sejarah Asia Tenggara memberikan gambaran bahwa keberadaan Pulau
Sumatera, perairan Malaka, beserta Semenanjung Malaka saat itu sangatlah penting
bagi kerajaan Sriwijaya. Hal ini disebabkan oleh kestrategisan wilayah perairan
Malaka sebagai jalur perlintasan perdagangan laut internasional, serta wilayah
Sumatera yang kaya akan emas. Menyadari adanya keuntungan tersebut maka
kerajaan Sriwijaya mencoba menundukkan kerajaan-kerajaan di sekitarnya dari
kerajaan-kerajaan di wilayah seperti Jambi, Melayu, Kedah, dan kerajaan-kerajaan
lain yang berada di sekitarnya.
Berdasarkan isi prasasti-prasasti kerajaan Sriwijaya yang bahkan mengutuk kepada
keluarga raja sendiri, maka dapat diketahui bahwa sikap raja sangat keras kepada
mereka yang tidak setia. Kebijakan ini tentunya didasarkan oleh suatu sikap tertentu
yang mengacu kepada bentuk negara itu sendiri. Kerajaan Sriwijaya adalah suatu
kerajaan perdagangan.

Suatu negara yang hidup dari perdagangan, berarti penguasanya harus menguasai
jalur-jalur perdagangan dan pelabuhan-pelabuhan tempat barang itu ditimbun untuk
diperdagangkan. Penguasaan jalur-jalur perdagangan dan pelabuhan ini dengan
sendirinya membutuhkan pengawasan langsung dari penguasa. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika raja Sriwijaya tidak dapat membenarkan sikap tidak setia,
meskipun hanya sedikit, termasuk dari anaknya sendiri (Poesponegoro &
Notosusanto, 2009, hal. 95).
Dengan demikian diperlukan suatu kendali yang ketat oleh raja kepada daerah-
daerah kekuasaannya dan disertai militer yang kuat. Penguatan militer ini juga
dibutuhkan, sebab luasnya daerah kekuasaan yang dihubungkan wilayah perairan
menyebabkan jalur antardaerah kekuasaan tersebut selalu menjadi rawan akan
serangan baik oleh musuh maupun oleh perompak. Jadi dengan adanya militer
maritim yang kuat, perjalanan perdagangan dan alur perekonomian kerajaan akan
aman dan lancar.

Seperti dikemukakan sebelumnya bahwa kesejajaran pertumbuhan sejarah antara


kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara kuno yang timbul akibat hubungan perdagangan
tentunya tidak hanya menghasilkan perebutan hegemoni politik saja, namun juga
tukar-menukar kebudayaan pada sosial kulturalnya. Hal ini perlu dipahami karena
sejarah politik-yuridis dan sosio-kultural maupun ekonomis selalu berjalan sejajar
(Sjafei, 1990: 438). Kebijakan politik-yuridis kerajaan Sriwijaya mungkin hingga saat
ini belum jelas karena memang kurangnya data prasasti. Walaupun begitu bukti-bukti
berupa sisa-sisa kebudayaan material masih bisa menunjukkan adanya kesamaan
corak budaya antara daerah yang satu dengan daerah yang lain yang kemungkinan
besar memang merupakan hasil dari suatu interaksi kebudayaan antara kedua
wilayah tersebut.
Sebagai contoh persamaan corak budaya tersebut, misalnya berupa kesamaan gaya
kesenian bangunan-bangunan candi di kaki Bukit Batu Pahat, Kedah dan biaro-biaro
di Padang Lawas (Soekmono, 1982: 135). Berdasarkan penarikhan tahun berdirinya
yang kira-kira sezaman, yaitu kira-kira abad ke-11 hingga abad ke-12, serta kesamaan
gaya seni bangunan pada denah keseluruhan bangunan yang beraliran Buddha
Tantrayana, Soekmono mencoba mengajukan pertanyaan apakah biaro-biaro di
Padang Lawas memang merupakan hasil seni bangunan Sriwijaya atau memang
hanya karena persamaan pengaruh aliran agama Tantrayana pada kedua wilayah.
Selain adanya persamaan-persamaan corak-corak budaya antara wilayah-wilayah
yang diduga mengalami interaksi kebudayaan tersebut, eksistensi kerajaan Sriwijaya
di wilayah Asia Tenggara juga ditunjukkan dengan pengabdian kerajaan tersebut
terhadap agama Buddha. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya pendirian
bangunan suci bagi pelajar agama Buddha seperti yang terungkap di dalam prasasti
Nalanda dan kemashuran Sriwijaya sebagai pusat pengajaran agama Buddha
(Poesponegoro & Notosusanto, 2009: 98).

Sebagai kesimpulan tulisan ini, Sriwijaya, berdasarkan data prasasti dan berita-berita
Cina jelas merupakan suatu kerajaan besar yang melakukan perluasan wilayah
kekuasaan dengan melakukan penguatan politik daerah-daerah kekuasaannya. Dasar
penguatan politik tersebut dapat disebabkan oleh pengaruh konsep kekuasaan
mandala dari India yang mengharuskan penguasa tertinggi berdiri di atas kekuasaan
lainnya demi menyokong dirinya ataupun karena wilayahnya yang berada di wilayah
strategis perdagangan internasional sehingga kebijakan politik seperti itu diperlukan
demi ketahanan negara atas serangan musuh dan perompak.
Keberhasilan kerajaan Sriwijaya berdiplomasi dengan negara-negara besar seperti
Chola dan Cina pun tentunya merupakan suatu prestasi yang dapat mengukuhkan
eksistensi kerajaan ini sebagai bagian dari sejarah Nusantara dan Asia Tenggara,
bahkan Asia pada skala yang lebih besar. Meskipun demikian, eksistensi tersebut
hingga saat ini sering kali hanya dapat dikuatkan berdasarkan pengkajian mendalam
terhadap sumber-sumber sejarah dari prasasti dan berita Cina. Di lain pihak dari
banyaknya tinggalan kebudayaan material yang tersisa dan kemungkinan besar
berasosiasi dengan kerajaan tersebut hingga saat ini hanyalah menjadi tinggalan-
tinggalan yang bersifat fragmentaris di dalam pengukuhannya di dalam sejarah
kebudayaan Nusantara. Oleh karena itu penulis berharap ke depannya akan lebih
banyak pula pengkajian yang seimbang antara data tertulis dan data artefak demi
memungkinkan terciptanya suatu usaha untuk melengkapi sejarah kebudayaan
kerajaan Sriwijaya itu sendiri pada khususnya dan sejarah kebudayaan Nusantara
pada umumnya.

2. kerajaan segati

Kerajaan Segati adalah kerajaan yang didirikan oleh Tuk Jayo Sati, cucu dari Maharajo
Olang dari Kuantan. Penduduk kerajaan Segati beragama Hindu atau Budha.Kerajaan
Segati dulunya berada di daerah hulu Sungai Segati, 15 km dari Negeri Langgam
sekarang, di tepi Sungai Kampar, Riau.

Saat ini posisi Kerajaan Segati berada di Desa Segati, Kecamatan Langgam,Kabupaten
Pelalawan, Riau. Kerajaan Segati mencapai puncak kejayaan pada masa
pemerintahan Tuk Jayo Alam, putra Tuk Jayo Tunggal.

3. kerajaan keritang
Kerajaan Keritang adalah sebuah kerajaan purba yang berpusat di Inderagiri,
Indonesia. Kerajaan ini berdiri sekitar awal abad ke-6 di wilayah Kecamatan Keritang
sekarang. Nama Keritang dipercayai berasal daripada kata akar itang, di mana itang
adalah sejenis tumbuhan yang terdapat di sepanjang anak Sungai Gangsal.
Kebudayaan kerajaan ini banyak dipengaruhi dengan kebudayaan Hindu dan ini jelas
tampak pada peninggalan istananya yang dinamakan Puri Tujuh, bermaksud Pintu
Tujuh, atau Kedaton Gunung Tujuh.
Kerajaan Keritang didirikan sekitar awal abad ke-12 (ada juga sumber lain yang
menyatakan pada abad ke-6).
Berlokasi Sumatera, di Sepanjang Sungai Gangsal. Kini: Kecamatan Keritang,
Kabupaten Indragiri Hilir, prov. Riau.
KERAJAAN KERITANG

Sejarah kerajaan Keritang, abad ke-12

Kerajaan Keritang adalah sebuah kerajaan purba yang berpusat di Inderagiri.


Kerajaan Keritang didirikan sekitar awal abad ke-12 (ada juga sumber lain yang
menyatakan pada abad ke-6) di wilayah Kecamatan Keritang sekarang. Nama Keritang
dipercayai berasal daripada kata akar itang, di mana itang adalah sejenis tumbuhan
yang terdapat di sepanjang anak Sungai Gangsal.
Asal muasal kerajaan Keritang berawal dari kerajaan Sriwijaya yang berpusat di
Palembang.
Keritang adalah sebuah Kecamatan yang ada di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau,
Indonesia. Pada abad ke-13 Keritang pernah menjadi pusat kerajaan yang akhirnya
diganti menjadi kerajaan Indragiri. Mengenai kerajaan Keritang tidak banyak
diketahui dikalangan masyarakat, tetapi kebanyakan masyarakat hanya mengetahui
awal berdirinya, namun kerajaan Keritang diperkirakan semasa dengan kerajaan
Kandis dan Kuantan. Tempat kerajaan Keritang ini berpusat pada sekitar pedesaan
yaitu ditepi Sungai Gangsal di Kecamatan Reteh, Kabupaten Indragiri Hilir.

Kerajaan Keritang pertama kali dipimpin oleh Raja Kecik Mambang, beliau juga
dikenal dengan nama Raja Merlang yang berkuasa pada ta…
Daftar raja kerajaan Keritang

Tercatat dari berbagai sumber Kerajaan Keritang memiliki beberapa orang raja yang
memerintah selama lebih kurang 213 tahun (1298-1508):

1298-1337: Raja Kecik Mambang atau Raja Merlang,


1337-1400: Raja Narasinga I,
1400-1473: Raja Merlang II,
1473-1508: Raja Narasinga II,
1508-1532: Raja Maulana Paduka Sri Alauddin Iskandar Syah Johan.

Kerajaan Keritang, 1330 M

Anda mungkin juga menyukai