Anda di halaman 1dari 3

“MERAWAT NKRI DALAM KEBERAGAMAN”*

Oleh:
Ferlansius Pangalila****

Pemilu 2019 memberikan banyak pelajaran yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia,
tidak hanya soal kontestasi politik yang akhirnya dimenangkan oleh Pasangan Jokowi dan
Ma’aruf Amin. Melainkan demokrasi yang kita agungkan sebagai solusi terbaik penyelesaian
permasalahan kebangsaan malahan menjadi momok yang sangat menakutkan apabila kita
renungkan kembali. Bangsa kita hampir hancur lebur dan NKRI yang kita bilang sebagai harga
mati ternyata ditawar-tawar. Bahkan apa yang menjadi Hal yang sangat mendasar di Negara
Republik Indonesia ini hampir tergantikan dengan dasar yang baru.

Sebenarnya pelajaran berharga ini sudah mewujud dengan jelas sejak PILKADA Jakarta
pada tahun 2017 yang lalu. Bibit-bibit perpecahan dan rongrongan terhadap Pancasila ini bukan
lagi sebagai potensi ancaman bagi eksistensi Negara, tetapi sudah mewujud dalam berbagai aksi
yang terbuka. Contoh yang kelihatan natara lain berkembangnya politik sektarian, apa-apa
dikafirkan, istilhat thogut dan lain sebagainya. Black campaign dengan phobia komunis serta
tindakan nasionalisme sempit seperti gelora anti asing dan aseng.

Pancasila sebagai dasar negara, yang merupakan sebab utama adanya Negara Kesatuan
Republik Indonesia secara terang benderang dinista oleh kelompok-kelompok yang
mendompleng pesta demokrasi tersebut. Soalnya bukan sekedar perebutan kekuasaan melainkan
upaya mengubah bentuk dan dasar negara. Ini mestinya disimpulkan sebagai Kejahatan terhadap
Dasar Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu penegak hukum mestinya tidak ragu
menindak para perongrong Pancasila sebagai dasar Negara tersebut.

Sejujurnya apa yang terjadi diseputaran Pemilu 2019 yang lalu menjadi berkat tersendiri
bagi bangsa Indonesia, krasak-krusuk politik tersebut telah membuka tabir luka lama yang tidak
sembuh-sembuh sejak awal negara ini berdiri. Kelompok yang menghendaki khilafah dan Syariat
Islam sebagai dasar negara Indonesia menampakan diri dan masih terus berupaya
mewujudkannya dengan berbagai macam upaya. Yang dulunya lebih sulit diamati karena

*
Makalah ini disampaikan pada Seminar dan Rapat Kerja Cabang ISKA Cabang Sintang pada hari Selasa, 17
September 2019. Di Gedung Balai Kenyalang Sintang kalimantan Barat.
****
Wakil Sekretaris Jenderal Presidium Pusat Ikatan Sarjana Katolik Indonesia Periode 2017-2021
gerakan bawah tanah melalui penyusupan di berbagai lembaga negara dan partai politik yang
tujuannya adalah mengganti Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 melalui mekanisme
Demokrasi.

Kenyataan yang tidak dapat disangkal adalah bahwa Negara Indonesia memiliki 1340
Suku bangsa yang terkelompokan kedalam 300 etnik yang tersebar di lebih dari 17 ribu pulau
yang terpisah oleh lautan yang luas. Memiliki semboyan “Bhineka Tunggal Ika” seakan terasa
tidak cukup untuk menyederhanakan keberagaman dan berbagai perbedaan yang ada, baik suku,
agama, ras, keyakinan dan bahkan pandangan hidup.

Dalam sejarahnya Indonesia lahir dari suatu musyawarah mufakat dari para pendiri
bangsa yang berasal dari berbagai perbedaan ini. Yang unik adalah mereka berbeda tetapi
mereka bisa bermusyawarah dan bermufakat untuk melahirkan suatu negara besar yang bernama
Republik Indonesia. Jadi tidaklah benar bahwa negara Indonesia lahir begitu saja pada tanggal 17
Agustus 1945 atau malah sebagai hadiah yang diperoleh dari suatu kesepakatan politik pasca
Perundingan Meja Bundar di Den Haag Belanda pada tahun 1949.

Negara Indonesia tidaklah lahir secara de facto maupun de jure nanti setelah adanya
pengakuan kedaulatan oleh negara-negara asing, melainkan melalui kearifan lokal di setiap
daerah bangsa Indonesia telah merdeka di dalam Kesadaran dan kearifannya masing-masing.

Sebenarnya banyak hal yang telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun berbagai
kelompok masyarakat untuk memperteguh dan merevitalisasi Nilai-Nilai Pancasila sebagai dasar
dan satu-satunya Ideologi negara. Presiden Jokowi telah menetapakan melalui KepPres No. 26
Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945. Tetapi sepertinya masih
sebatas seremonial belaka, masih dipanggung-panggung seminar semacam ini, dan jika ada yang
melibatkan masyarakat banyak masih semacam pawai dan atau festival yang mengusung tema-
tema toleransi dan keberagaman. Hal-hal tersebut tentu penting juga tetapi masih jauh lebih baik
apabila kegiatan-kegiatan tersebut benar-benar lahir dari kesadaran kita masing-masing.

Pancasila adalah pandangan hidup bangsa Indonesia, artinya Pancasila sebenarnya adalah
kesimpulan akhir dari berbagai nilai-nilai kearifan yang tersebar diseluruh budaya dan suku
bangsa Indonesia. Nilai-nilai kearifan lokal inilah yang dirangkum oleh Ir. Soekarno menjadi
rumusan Sila-Sila dalam Pancasila. Sehingga Pancasila adalah nilai-nilai asli bangsa Indonesia
yang tidak asing dan pastinya tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam
budaya masing-masing suku bangsa yang ada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Oleh karena itu, solusi yang dapat diambil dan mudah dilakukan adalah menghidupkan
kembali dan merawat nilai-nilai kearifan lokal tersebut, karena Negara Indonesia dapat terbentuk
dan bahkan tetap eksis hingga saat ini karena komitmen akan nilai-nilai Pancasila yang menjadi
dasar negara, flosofi hidup dan bahkan sumber dari segala sumber hukum yang ada di negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Pancasila sebenarnya adalah karakteristik dan kearifan nilai-nilai hidup yang luhur di
dalam diri kita masing-masing. Maka merawat keberagamaan, merawat NKRI, merawat
Pancasila adalah sama dengan merawat diri kita masing-masing.

Menggali kembali nilai-nilai kearifan lokal yang luhur ini ditengah-tengah kehidupan
yang semakin beragam, tentu menjadi tantangan yang tidak gampang karena akan berbenturan
dengan nilai-nilai baru yang asing yang kadangkala diterima sebagai nilai yang benar dan satu-
satunya kebenaran, karena diajarkan oleh tokoh agama yang dianuti walau barangkali secara
prinsip bertentangan dengan nilai-nilai kearifan lokal yang luhur.

Disini perlu sikap kritis kita, jika kita tidak memulainya dan mengharapkan orang lain
untuk melakukannya maka niscaya negara Republik Indonesia hanya akan menjadi bagian dari
sejarah dunia. Jika tidak sekarang… Kapan lagi!? Jika bukan kita… Siapa lagi!?

Terima kasih.

Anda mungkin juga menyukai