Inti PKN
Inti PKN
Pada tahun 2002, Polri telah ditetapkan sebagai lembaga yang memberikan perlindungan HAM
rakyat Indonesia. Hal ini sesuai dengan ketetapan yang tertuang dalam UU (Undang-Undang) No. 2
Tahun 2002 “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam
negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegak hukum,
terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta terbinanya
ketentraman masyarakat, dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”. Untuk melaksanakan UU
tersebut, polisi harus menjaga supremasi HAM dengan melaksanakan tugas-tugas yang dijelaskan
dalam UU yang sama, meliputi:
Polri harus menjaga dan melindungi keamanan masyarakat, tata tertib serta penegakan
hukum dan HAM
Polri harus menjaga keamanan umum dan hak milik, serta menghindari kekerasan dalam
menjaga tata tertib bermasyarakat dengan menghormati supremasi HAM
Polri dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka harus menghormati asas praduga
tak bersalah sebagai hak tersangka sampai dinyatakan terbukti bersalah oleh pengadilan
Polri harus mematuhi norma-norma hukum dan agama untuk menjaga supremasi HAM.
Dalam melaksanakan tugasnya terkadang polri harus melakukan kekerasan jika berada dalam situasi
yang kritis dan ini dibenarkan oleh hukum. Meskipun demikian, terdapat koridor-koridor aturan yang
tetap harus dipatuhi oleh polri dalam melakukan kekerasan.
Berdasarkan Keppres (Keputusan Presiden) No. 50 Tahun 1993, pemerintah membentuk Komnas
HAM untuk meningkatkan pelaksanaan HAM di Indonesia. Komisi Nasional ini bersifat mandiri dan
berasaskan pada Pancasila. Kemudian Keppres ini direvisi yang selanjutnya dikeluarkanlah UU No. 39
Tahun 1999. Di dalam UU tersebut, tujuan Komnas HAM tertuang dalam Pasal 75, yakni:
Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta
Deklasari Universal Hak Asasi Manusia,
Untuk melaksanakan tujuan tersebut maka Komnas HAM harus melaksanakan fungsi pengkajian,
penelitian, penyuluhan, pemantauan, serta mediasi yang terkait dengan hak asasi manusia.
Penjabaran dari fungsi-fungsi ini tertuang dalam Keppres No. 39 Tahun 1999 Pasal 89.
Komnas Perempuan bertujuan untuk memberikan perlindungan pada kaum perempuan. Komnas ini
dibentuk pada tanggal 9 Oktober 1998 berdasarkan Keppres No. 181 Tahun 1998 dan diperkuat
dengan PP (Peraturan Presiden) No. 65 Tahun 2005. Pada Keppres No. 181 Tahun 1998 dalam Pasal
4 menuangkan tentang tujuan dibentuknya Komnas Perempuan, diantaranya adalah:
Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka Komnas Perempuan harus melaksanakan berbagai
kegiatan seperti yang tertuang dalam Pasal 5 pada Keppres yang sama, yakni:
Pemantauan dan penelitian, termasuk pencarian fakta, tentang segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan serta memberikan pendapat, saran dan pertimbangan kepada
pemerintah,
Penyebarluasan hasil pemamtauan dan penelitian atas terjadinya segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan kepada masyarakat,
lembaga perlindungan HAM Pada awalnya KPAI diberinama KPAN (Komisi Perlindungan Anak).
Kemudian seiring berjalnnya waktu nama tersebut berubah menjadi KPAI. KPAI memiliki fokus untuk
melindungi HAM anak-anak. Didirikannya lembaga ini didasarkan pada UU No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas perlindungan terhadap
anak. Tugas dari KPAI tertuang pada Pasal 76 dalam UU yang sama, meliputi:
Memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka
perlindungan anak.
Terdapat beberapa aspek hak-hak anak yang harus dilindungi baik oleh pemerintah, negara,
keluarga, lembaga sosial, maupun orangtua seperti tertuang dalam Pasal 42 sampai Pasal 71 UU No.
23 Tahun 2002 yang secara garis besar berisi tentang:
Hak Agama, Untuk melindungi hak anak yang terkait agama maka diperlukan perlindungan
berupa pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak
Hak Kesehatan, Upaya perlindungan kesehatan anak dilakukan secara komprehensif
meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, baik untuk pelayanan kesehatan
dasar maupun rujukan
Hak Pendidikan, Semua anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak tanpa kecuali dan
dilindungi dari tindak kekerasan yang terjadi di sekolah
Hak Sosial, Dalam hal ini hak yang dimaksud adalah pelindungan terhadap anak-anak
terlantar baik yang berada di dalam lembaga maupun di luar lembaga
Hak Perlindungan Khusus, Hak perlindungan yang satu ini ditujukan kepada anak-anak yang
menjadi pengungsi, korban kerusuhan, korban bencana alam, dan dalam situasi konflik
bersenjata.
5. Pengadilan HAM
Pada tahun 2000 dibentuklah Pengadilan HAM melalui UU No. 26 Tahun 2000. Pengadilan ini
dibentuk secara khusus untuk mengadili jenis-jenis pelanggaran HAM. Pengadilan HAM
berkedudukan di kota atau kabupaten yang mana daerah hukumnya meliputi daerah hukum
Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Adapun lingkup kewenangan Pengadilan HAM dalam
peraturan tersebut adalah:
Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara peanggaran hak asasi
manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia
oleh warga negara Indonesia (Pasal 5),
Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi
manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan
belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan (Pasal 6).
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat seperti yang dimaksud dalam ketentuan ini meliputi
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejahatan Genosida, Kejahatan yang dimaksud disini adalah setiap perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian
kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, dan kelompok agama dengan berbagai cara-cara
seperti yang tertuang dalam Pasal 8.
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, Dalam hal ini kejahatan yang dimaksud adalah satu
perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil,
adapun penjabaran tindakannya juga tertuang dalam pasal yang sama yaitu Pasal 8.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibentuk Pada tahun 2004 melalui UU No. 27 Tahun 2004.
Keberadaan komisi ini juga menitik beratkan pada pelanggaran ham yang berat selain berupaya
dalam rekonsiliasi. Dalam ketetapan tersebut, tujuan dari dibentuknya komisi ini tertuang dalam
Pasal 3, yaitu:
Menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa lalu di luar
pengadilan, guna mewujudkan perdamaian dan persatuan bangsa, dan
Adapun tugas-tugas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tertuang dalam Pasal 6 yang dijabarkan
seperti di bawah ini:
Menerima pengaduan atau laporan dari pelaku, korban, atau keluarga korba yang
merupakan ahli warisnya,
Melakukan penyelidikan dan klarifikasi atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat,
7. Menyampaikan laporan tahunan dan laporan akhir tentang pelaksanaan tugas dan
wewenang berkaitan dengan perkara yang ditanganinya, kepada Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat dengan tembusan kepada Mahkaah Agung
YLBHI merupakan termasuk salah satu LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang berdiri sejak
tanggal 26 Oktober 1970. Yayasan ini berdiri atas inisiatif Dr. Adnan Buyung Nasution, S. H dan tidak
luput dari dukungan Gubernur Jakarta yang menjabat pada saat itu yaitu Ali Sadikin. Yayasan ini
bertujuan untuk mendukung kinerja LBH yang tersebar di berbagai provinsi di Indonesia. YLBHI
memberikan bantuan hukum kepada rakyat miskin untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai
korban pelanggaran HAM. Adapun visi yang diusung oleh YLBHI untuk memberikan bantuan hukum
kepada rakyat miskin seperti diuraikan di bawah ini:
Terwujudnya suatu sistem masyarakat hukum yang terbina di atas tatanan hubungan sosial
yang adil dan beradab/berperikemanusiaan secara demokratis,
Terwujudnya suatu sistem hukum dan administrasi yang mampu menyediakan tata cara
(prosedur-prosedur) dan lembaga-lembaga melalui mana setiap pihak dapat memperoleh
dan menikmati keadilan hukum,
Terwujudnya suatu sistem ekonomi, politik dan budaya yang membuka akses bagi setiap
pihak untuk turut mentukan setiap keputusan yang berkenaan dengan kepentingan mereka
dan memastikan bahwa keseluruhan sistem itu tetap menghormati dan menjunjung tinggi
HAM.