Di Susun Oleh:
Erly Marlinda, 6670230115
Puput Aurelia, 6670230034
KERANGKA TEORI
Teori Kelas Menengah
Technoscape, yang mencakup penggunaan internet secara luas oleh masyarakat di
ruang publik, adalah salah satu dampak globalisasi modern. Pada awalnya diciptakan sebagai
alat bantu, internet sekarang berfungsi sebagai alat untuk menciptakan identitas kelompok
masyarakat. Mangunwijaya (1983) menjelaskan bahwa ketergantungan manusia pada
teknologi mempengaruhi dinamika kehidupan, mendorong spesialisasi, dan fungsi kerja
dalam masyarakat industri. Era Fordisme menjadi titik penting, dengan produksi komoditas
yang tinggi dan konsumsi yang tinggi. Teknologi meningkatkan nilai tambah produk, yang
berdampak pada gaya hidup kelas menengah. Teknologi dipandang sebagai simbol selain
utilitasnya. Ini menciptakan perbedaan dan menandai masuknya kelas menengah ke dalam
kelas konsumerisme baru.
Penggunaan teknologi secara masif memicu konsumerisme komoditas kelas
menengah di Indonesia; ini terlihat dari peningkatan transaksi e-money, menurut data Bank
Indonesia; transaksi e-money tumbuh 120% antara tahun 2009 dan 2010. Hingga 2014,
jumlah transaksi dan nilai terus meningkat. Pentingnya transaksi berbasis uang elektronik
bagi kelas menengah bukan hanya karena kemudahan teknologi, tetapi juga karena simbol
sebagai ekspresi identitas. Dengan mengartikulasikan perilaku sosial, simbol ini menciptakan
eksklusivitas kelas. (Jati, 2015) Sebagian besar pengguna internet di Indonesia menggunakan
perangkat bergerak untuk mengakses internet; kurang dari 10% dari mereka menggunakan
internet di rumah. 92% penggunaan media sosial digunakan untuk berkomunikasi dan
mendapatkan informasi. Segmentasi terbesar pengguna internet, kelas menengah, yang
cenderung "over-connected", memiliki dua aplikasi media sosial di setiap perangkat mereka.
Perilaku "over-connected" kelas menengah membentuk preferensi publik dan mengubah cara
publik melihat dan menilai masalah. Karena proses penyampaian pesan yang langsung,
egaliter, dan dialogis, media sosial lebih efektif daripada media konvensional dalam
memengaruhi preferensi dan orientasi publik. Akibatnya, pesan yang disampaikan di media
sosial dianggap lebih kredibel dan dapat diandalkan oleh publik.
Kasus-kasus besar seperti Prita Mulyasari, KPK vs. Polri, dan relawan pemilihan
presiden 2014 banyak dibicarakan di media sosial, membentuk jejaring masalah dan
menyebarkan gagasan dengan cepat. Media sosial memainkan peran penting dalam
membentuk aktivisme politik, seperti yang ditunjukkan oleh aktivisme politik yang dipicu
oleh kelas menengah melalui media sosial selama Pemilu 2014. Sejak Pemilu 2009, sosial
media telah menjadi alat kampanye; namun, pada Pemilu 2014, perannya menjadi semakin
penting dalam mendorong massa untuk berpartisipasi aktif dalam pemilukada. Sejak
pertengahan 2013, tujuan penggunaan media sosial beralih dari "pencitraan" ke "pencerahan".
Media sosial dianggap oleh kelas menengah sebagai sumber informasi penting yang
membentuk pilihan politik mereka. Studi ini akan mempelajari peran media sosial dalam
membentuk aktivisme politik, khususnya dengan melihat relawan kelas menengah. Kelas
menengah memainkan peran penting dalam mendorong cyberactivism dan aktivisme politik
di lanskap sosial politik Indonesia. Dalam beberapa penelitian sebelumnya tentang politik
kelas menengah, seperti Tanter & Young (1996), Heryanto (1999), dan Haris (2014),
ditunjukkan bahwa akademisi menghadapi masalah dalam mendefinisikan kelas menengah,
termasuk masalah terminologi, konsep kelas, dan ragam keanggotaan kelas.
Pertama, masalah terminologi mencakup perdebatan tentang penggunaan istilah
"kelas" atau "golongan" yang dikaitkan dengan istilah "menengah". Perdebatan ini
mencakup dinamika antara ideologi, hubungan negara-masyarakat, dan legitimasi
kekuasaan. Kelompok perantara, juga dikenal sebagai intermediaries, berfungsi
sebagai kelompok penekan atau kelompok kepentingan.
Kedua, kelas menengah didefinisikan sebagai kelompok yang berpolitik, menentang,
dan kritis terhadap kekuasaan. Meskipun demikian, kelas menengah memiliki status,
materi, dan properti yang berbeda, yang membuat definisi mereka menjadi rumit. Ini
menyebabkan ambiguitas dalam memahami peran mereka sebagai kelompok ekonomi
mapan atau agen perubahan.
• Ketiga, redistribusi materi, pertumbuhan kapital, dan penguasaan aset memengaruhi
konteks keanggotaan kelas menengah di Indonesia. Kelas menengah Indonesia adalah
masyarakat majemuk yang independen secara ekonomi dan politik karena faktor-faktor ini.
Meskipun demikian, situasi ini menimbulkan keraguan dalam definisi kelas menengah dalam
konteks sosial politik Indonesia.
Kelas menengah didefinisikan sebagai kelompok masyarakat yang independen dan
rasional yang berpolitik, terutama melalui media sosial. Media sosial menyediakan ruang
publik alternatif di mana kelas menengah dapat menyuarakan kepentingan dan aspirasi
mereka. Istilah akademik "cyberactivism" merujuk pada pola gerakan politik yang
mengutamakan pembicaraan dan informasi melalui internet dan media sosial. Kelas
menengah memainkan peran penting dalam mendorong cyberactivism, menjadi netizen aktif
atau pasif. Cyberactivism berhubungan dengan gerakan sosial baru, studi budaya, dan studi
media. Peran kelas menengah sebagai agen politik dan pentingnya diskusi di ruang publik
internet telah ditunjukkan dalam transformasi gerakan politik pasca reformasi. Karena
internet terbuka dan dapat diakses secara independen oleh semua netizen, cyberactivism
memberi mereka kesempatan untuk mengekspresikan identitas mereka. Studi tentang
cyberactivism menggabungkan penelitian tentang gerakan sosial baru, studi budaya, dan studi
media. Pada akhirnya, cyberactivism menjadi pilihan utama untuk melihat gerakan politik
kelas menengah di Indonesia. Ini mencakup pembentukan diskursus politik, pembentukan
cyberwars, atau perang wacana politik di ruang internet, dan penyediaan alat untuk gerakan
politik. Jati (2016)
Studi Kasus
Teknologi, budaya, dan ekonomi adalah beberapa dari banyak aspek perubahan sosial
yang terjadi di Indonesia. Beberapa tren yang dapat diamati termasuk peningkatan urbanisasi,
peningkatan akses dan penggunaan teknologi informasi, perubahan dalam prinsip sosial dan
gaya hidup masyarakat. Lanskap sosial Indonesia dibentuk oleh semua faktor ini secara
bersama-sama. Penguatan kelas menengah telah dilakukan di negara berkembang untuk
memodernisasi politik. Tetapi hasilnya berbeda-beda; beberapa negara, seperti Indonesia,
bahkan mengalami liberalisasi politik daripada demokratisasi. Meskipun konteks sejarah dan
pertumbuhan kelas menengah di negara maju dan berkembang berbeda, kesalahan umum
dalam proses ini adalah mengaitkan modernisasi dengan Amerikanisasi. Kemandirian politik
menjadi tantangan terhadap kohesivitas budaya di masyarakat timur, karena kelas menengah
di negara berkembang sering menjadi instrumen represi pasar dan kekuasaan.
Setelah reformasi di Indonesia, modernisasi politik dimulai dengan penerapan
pemilihan langsung kepala daerah melalui pemilihan umum. Hal ini memberi masyarakat
kesempatan untuk berpartisipasi langsung dalam pemilihan melalui pencalonan. Peningkatan
transparansi dan keterlibatan publik dalam pembuatan kebijakan parlemen dan birokrasi di
tingkat daerah mendorong partisipasi ini. Selain itu, masyarakat lokal dapat berpartisipasi
dalam berbagai program pembangunan, menjadi pelaksana, dan mengawasi langsung
program-program lokal. Dengan peningkatan akses, transparansi, dan partisipasi warga,
suasana politik menjadi dinamis dan kadang-kadang menarik. Namun, hal ini juga dapat
menyebabkan kritik publik dan konflik dengan para penguasa. Sebaliknya, para penguasa
lokal menanggapi dengan menggunakan kekayaan untuk mempertahankan kekuasaan,
melibatkan tokoh masyarakat dan pemilik modal untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
Karena kecurangan dalam beberapa pemilu di Madura, perhatian nasional meningkat.
Masyarakat dapat dimobilisasi dengan efektif dengan bantuan kelas menengah—terutama
kepala desa, media, tokoh masyarakat, dan tokoh agama lokal—dan elit penguasa. Dengan
budaya patriarkhi dan tradisi takdim, atau penghormatan, kepada guru dan elit penguasa,
independensi warga rendah dalam pemilu. Broker politik memanfaatkan keadaan ini untuk
mendekati para kiai dengan menggunakan politik uang. Politik uang dan nepotisme
menciptakan tren baru di mana kekuatan kiai bersaing dengan kekuatan keuangan. Wilayah
kultural yang sebelumnya dikuasai oleh kiai mulai dimasuki oleh kekuatan kapital. Dengan
membawa norma dan rasionalitas pasar, politik keuangan menyebar ke berbagai lapisan
masyarakat. Terutama untuk kepentingan aktor dominan, proses politik penuh dengan
perjanjian dan pembagian kekuasaan.
Menurut Hidayat (2009), perubahan ini menyebabkan pergeseran hubungan antara
negara dan pasar, dengan banyak pemodal masuk ke dalam kekuasaan negara. Hanya
politikus dan pemodal yang dapat berpartisipasi dalam pemilu untuk menjadi kandidat
pejabat publik. Oleh karena itu, kelas menengah sangat penting untuk modernisasi politik
karena mereka memainkan peran penting dalam membentuk masyarakat sipil, bersikap kritis
terhadap kebijakan pemerintah, dan memberikan ruang publik untuk partisipasi publik.
Madura adalah wilayah di Provinsi Jawa Timur yang memiliki budaya dan topografi
unik. Warga Madura tersebar di sepanjang perairan utara Jawa Timur karena kondisi
geografis yang mayoritas terdiri dari wilayah kapur. Seperti yang ditunjukkan oleh studi oleh
Kuntowijoyo (2002), Jonge (2011), dan Wiyata (2013), geografi ini juga membentuk
karakteristik tegas dan kuat masyarakat Madura, yang kemudian dapat menjadi sumber
konflik dalam politik dan Masyarakat. Budaya religius masyarakat Madura dipengaruhi oleh
tokoh agama, yang menyebabkan ketergantungan, fanatisme, dan ketaatan yang kuat terhadap
mereka. Sebagai nahdliyin yang menganut aliran Ahli Sunnah dari Nahdlatul Ulama,
mayoritas orang Madura mengutamakan tawadhu (kesederhanaan) dan taat kepada kiai
daripada pemimpin resmi. Dasar pengikat sosial warga Madura, baik di Madura maupun di
perantauan, adalah solidaritas yang kuat. Kiai memiliki kekuatan politik yang signifikan
karena posisi mereka sebagai pemimpin spiritual. Kiai tidak hanya menentukan kemenangan
seseorang dalam kontestasi politik, tetapi juga menjadi rujukan dan tempat bertanya bagi
masyarakat saat memilih dukungan politik. Struktur masyarakat Madura mulai mengalami
perubahan sebagai akibat dari peningkatan pendidikan formal. Pelajar dan mahasiswa mulai
berani menyuarakan aspirasi masyarakat kelas bawah dan menyuarakan kritik.
Masyarakat bawah dan menengah sangat bergantung pada peran pemerintah lokal dan
kiai. Pemimpin sering mengambil keputusan politik, dan takzim politik dianggap sebagai
bagian dari berkah dan barokah. Perguruan tinggi di Madura menjadi tonggak penting dalam
memfasilitasi partisipasi masyarakat dan pengawasan terhadap elit politik, meskipun ada
kendala dalam mencapai kemerdekaan politik. Nilai-nilai keagamaan Islam dan kebudayaan
yang didasarkan pada agama Islam tradisional masih dipegang teguh oleh masyarakat
Madura hingga saat ini. Dinamika sosial-politik Madura terus dipengaruhi oleh rasa
solidaritas, semangat kerja tinggi, dan keberanian mereka. Meskipun komunikasi sosial-
politik sangat kompleks, terutama dalam hal ekonomi dan agama, peran kiai dan hubungan
politik mereka menjadi sangat penting, sementara partai politik menjadi kurang penting
dibandingkan dengan dukungan tokoh politik.
Masyarakat Madura Membutuhkan Kelas Menengah! Kelas menengah di Madura
sangat penting untuk modernisasi politik lokal dan mendorong warga untuk menjadi
independen dan mandiri dalam pemilihan umum. Untuk meningkatkan kualitas pemilu,
warga Madura harus didorong untuk berpikir logis sehingga mereka dapat berpartisipasi
dalam pengawasan, kritik, dan evaluasi untuk meningkatkan demokrasi. Keaktifan
masyarakat dapat meningkatkan pelayanan publik dan meningkatkan transparansi
pemerintahan daerah melalui pengawasan publik. Keberadaan kelas menengah di Madura,
sayangnya, belum sepenuhnya ideal karena belum ada konsolidasi yang selesai. Di Madura
sendiri, kalangan terpelajar masih sedikit dan lebih banyak terlibat dalam elit kekuasaan
lokal, tetapi sebagian besar kalangan menengah tinggal di luar pulau. Selain itu, LSM dan
media di Madura gagal mendapatkan dukungan masyarakat karena dianggap mencari
masalah, yang mengakibatkan pembentukan citra negative di Masyarakat.
Kesalahan yang masih dilakukan oleh beberapa anggota LSM dan wartawan yang
memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadi daripada kepentingan publik telah
menciptakan persepsi yang buruk tentang mahasiswa Madura. Mahasiswa dianggap tidak
sopan dan tidak memahami aturan, sehingga mereka tidak dapat melakukan sesuatu secara
mandiri. Pengawasan kelas menengah di Madura juga terkendala oleh ketidakmampuan
untuk membangun jaringan yang efektif untuk menangani masalah publik yang dapat
memengaruhi kebijakan pemerintah.
Selain itu, sekolah menengah di Madura tidak memiliki dukungan ekonomi yang kuat
karena pekerjaan mereka sering dianggap berbahaya oleh politik. Karena kelemahan ini,
banyak kalangan menengah cenderung mengambil jalan aman dan menghindari mengkritik
dan mengawasi mereka yang berkuasa. Oleh karena itu, kelas menengah di Madura harus
direvitalisasi agar mereka dapat berkontribusi pada peningkatan kualitas politik dan
demokrasi di daerah tersebut. Memulai diskusi publik melalui media lokal sangat
memengaruhi masyarakat. Media memiliki kemampuan untuk mengubah perspektif
masyarakat, mendukung agenda perubahan, dan mendorong kritik. Namun, fokus media
cetak dan elektronik di Madura beralih dari fokus publik ke fokus bisnis. Media lokal
awalnya mendukung desentralisasi dan otonomi daerah, tetapi kemudian menjadi lebih
seperti bisnis media pusat dan mengalami konglomerasi. Dengan motivasi pendirian media,
karakteristik media lokal cenderung menjadi alat untuk memperoleh keuntungan melalui
iklan.
Media lokal di Madura masih cenderung mencerminkan kepentingan pemerintah dan
penguasa daripada kepentingan masyarakat secara keseluruhan, dan tidak banyak
berkontribusi pada perkembangan dinamika sosial dan budaya di tingkat lokal. Selain itu,
media lokal belum berhasil menjadi wadah publik yang dapat memicu diskusi dan
mengangkat isu-isu lokal secara menyeluruh, yang dapat memengaruhi kebijakan pemerintah
daerah dan membuka ruang untuk demokrasi. Media lokal menghadapi tantangan karena
fokus mereka pada produksi kapital dan tekanan pasar untuk memenuhi kebutuhan
perusahaan induk, dengan fokus pada aktivitas bisnis daripada aktivitas sosial media. Peran
media dan kelas menengah harus ditingkatkan untuk modernisasi politik. Media harus
menjadi wadah untuk menetapkan agenda publik sehingga kelompok elit dapat
mengaksesnya.
Namun, pers lokal Madura masih sangat sedikit dan cenderung menjadi alat
kapitalisme yang lebih memperhatikan kepentingan industri dan pasar daripada kepentingan
orang lain. Jumlah media publik yang lebih besar, termasuk yang berbasis komunitas,
diperlukan untuk mengatasi hal ini. Untuk meningkatkan peran media lokal di Madura,
prinsip keberagaman isi dan pemilik media harus menjadi dorongan.
Hambatan yang di hadapi
Beberapa faktor berkontribusi pada hambatan yang dihadapi dalam membangun kelas
menengah Madura, yang akan memainkan peran penting dalam mendorong demokratisasi di
daerah tersebut. Beberapa hambatan tersebut adalah sebagai berikut: 1) kekuatan tradisi
masyarakat untuk bergantung pada kiai; 2) ketidakpercayaan masyarakat terhadap peran kelas
menengah, seperti LSM dan wartawan; 3) ketidakmerataan pendidikan formal dan tinggi di
Madura; 4) tradisi pernikahan dini di kalangan pemuda; 5) migrasi orang berpendidikan ke
luar daerah; dan 6) kurangnya dukungan pemilik modal untuk investasi di Madura.
Haliq (2014) menyatakan bahwa ulama dan masyarakat Madura cenderung
memprioritaskan harmoni dan nilai-nilai keagamaan saat membangun masyarakat sipil; ini
memberikan pelajaran untuk masa depan masyarakat Madura. Karena masyarakat Madura
menerapkan nilai-nilai Islam dalam budayanya secara keseluruhan, konflik dan adaptasi
dapat diatasi melalui pendekatan keagamaan. Kepatuhan masyarakat Madura terhadap prinsip
"bapa'-babu', guru, dan rato" adalah faktor yang tidak dapat diperdebatkan karena dianggap
sebagai internalisasi nilai-nilai keagamaan yang menghargai peran orang tua dan otoritas
dalam keluarga. Haliq (2014) juga menekankan bahwa institusi seperti pesantren dan jamiah
Nahdlatul Ulama bertanggung jawab untuk mempertahankan nilai-nilai budaya dan moral
masyarakat Madura. Pemahaman politik struktural juga menunjukkan kecurangan pemilu di
Madura, di mana Pemilihan Umum seringkali dianggap sebagai aspek sosial yang diabaikan.
KESIMPULAN
Fokus kajian dalam skripsi ini adalah peran kelas menengah sebagai agen perubahan
sosial dalam masyarakat. Setelah melakukan analisis menyeluruh, hasilnya adalah bahwa
peran kelas menengah memiliki pengaruh yang signifikan terhadap dinamika sosial
masyarakat. Kesimpulan ini, bagaimanapun, memiliki beberapa kritik yang perlu
diperhatikan.
Pertama, peran kelas menengah mengalami kesulitan untuk dikonsolidasikan. Kelas
menengah tampaknya tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam mendorong
modernisasi politik dan memberikan akses media kepada masyarakat Madura. Seringkali,
kelas menengah gagal menjadi kekuatan penyeimbang dan kontrol terhadap para penguasa
karena pasifitas dan ambivalensinya. Kemandirian dan daya kritis warga Madura dibatasi
oleh budaya ketaatan yang kuat terhadap guru dan rato.
Kedua, media lokal seharusnya menjadi sarana kelas menengah untuk membuka ruang
publik, tetapi mereka sering terjebak dalam kepentingan perusahaan. Mereka lebih
mementingkan aspek bisnis daripada menjalankan fungsi sosialnya untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat akan informasi. Selain itu, media cetak yang berorientasi pada aparat
pemerintah menunjukkan keterbatasan dalam menangani masalah kritis dan memberikan
kesempatan untuk diskusi yang independen..
Revitalisasi kelas menengah—terutama dengan melibatkan mahasiswa dan lulusan perguruan
tinggi sebagai agen perubahan—dapat membantu mengarahkan strategi perubahan. Melalui
modernisasi lembaga pendidikan pesantren, diperlukan peningkatan kemandirian politik dan
daya kritis masyarakat Madura, serta dukungan untuk media publik dan komunitas.
Jadi, meskipun peran kelas menengah memiliki potensi besar untuk membentuk perubahan
sosial, ada beberapa masalah dan hambatan yang perlu diatasi agar dampaknya dapat lebih
kuat dan berkelanjutan dalam mendorong modernisasi dan perubahan positif dalam
masyarakat Madura.
DAFTAR PUSTAKA
Jati, Wasisto Raharjo. 2016. Kelas Menengah Dalam Bingkai Middle Indonesia. Jurnal
Politik Volume 1 Nomor 2, Februari 2016.
Jati, Wasisto Raharjo. 2016. Aktivisme Kelas Menengah Berbasis Media Sosial: Munculnya
Relawan dalam Pemilu 2014. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 20
Nomor 2, November 2016. ISSN 2502-7883.
Rahadian, Dian. 2018. Pergeseran Paradigma Pembelajaran Pada Pendidikan Tinggi. Jurnal
Pendidikan Teknologi Informasi dan Komunikasi Volume 2 Nomor 1, May
2018.
Nasdian, Fredian Tonny . 2014. Pengembangan Masyarakat. DKI Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.
Saifuddin, Achmad Fedyani. 2015. Logika Antropologi Suatu Percakapan ( Imajiner )
Mengenai Dasar Paradigma. Jakarta: Kencana.
Waluya, Bagja. 2007. Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat. Bandung: PT
Setia Purna Inves.
Burlian, Paisol. 2022. Patologi Sosial. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Sugihartati, Rahma. 2014. Perkembangan Masyarakat Informasi & Teori Sosial
Kontemporer. Jakarta: Kencana.
Rosyadi, Khoirul., & Iqbal Nurul Azhar. 2016. Madura 2045: Merayakan Peradaban.
Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara.
Cahyono, A. S. 2016. Pengaruh media sosial terhadap perubahan sosial masyarakat di
Indonesia. Volume 9 No 1.
Rosana, Ellya. 2011. Modernisasi dan Perubahan Sosial. Jurnal Teropong Aspirasi Politik
Islam Volume 7 Nomor 1.